Pelajaran ke Tiga: Penggunjing Bukanlah Musuh Kita

PADA suatu hari, Syaqiq al-Balkhi beliau termasuk salah seorang dokter hati- berkata kepada muridnya, Hatim al-Asham, “Apa yang telah engkau pelajari dariku sejak menyertaiku (selama 30 tahun)?” Hatim al-Asham menjawab, “Ada enam hal:

Ketiga, saya memandang bahwa setiap orang mempunyai musuh. Lalu saya merenung. Ternyata orang yang menggunjingku bukanlah musuhku, bukan pula orang yang berbuat zalim kepadaku, dan bukan pula orang yang berbuat buruk kepadaku. Sebab, dia justru memberi hadiah kepadaku dengan amal-amal kebaikannya dan memikul perbuatan-perbuatan burukku. Akan tetapi, musuhku ialah sesuatu yang pada saat saya melakukan ketaatan kepada Allah, dia membujukku berbuat maksiat kepada-Nya. Hal tersebut adalah iblis, nafsu, dunia, dan keinginan. Oleh karena itu, saya menjadikan hal tersebut sebagai musuh, saya menjaga dirinya, dan saya mempersiapkan diri untuk memeranginya. Maka, saya tidak akan membiarkan salah satu dari semua itu mendekati saya.

Lalu beliau berkata, “Engkau benar.”

Keempat, saya memandang bahwa setiap orang hidup adalah orang yang dicari sedangkan malaikat Maut adalah pihak yang mencari. Oleh karena itu, saya mencurahkan diri saya untuk bertemu dengannya. Sehingga, ketika dia telah datang, saya dapat bersegera berangkat dengannya tanpa rintangan.”

Lalu beliau berkata, “Engkau benar.”

[baca lanjutan]

Pelajaran Pertama: Ragu Mengenai Rezeki

PADA suatu hari, Syaqiq al-Balkhi beliau termasuk salah seorang dokter hati- berkata kepada muridnya, Hatim al-Asham, “Apa yang telah engkau pelajari dariku sejak menyertaiku (selama 30 tahun)?” Hatim al-Asham menjawab, “Ada enam hal:

Pertama, saya melihat orang-orang masih ragu mengenai rezeki. Tidak ada di antara mereka melainkan kikir terhadap harta yang ada di sisinya dan tamak terhadap hartanya. Lantas saya bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa Taala berdasarkan firman-Nya: “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya.” (QS. Hud: 6)

Karena saya termasuk makhluk bergerak, maka saya tidak peru menyibukkan hatiku dengan sesuatu yang telah dijamin oleh Dzat yang Maha Kuat dan Kokoh.”

Beliau berkata, “Engkau benar.”

Kedua, saya memandang bahwa setiap orang mempunyai teman yang menjadi tempat baginya untuk membuka rahasia dan mencurahkan isi hatinya. Akan tetapi mereka tidak akan menyembunyikan rahasia dan tidak mampu melawan takdir. Oleh karena itu, yang saya jadikan sebagai teman ialah amal saleh agar dapat menjadi pertolongan bagiku pada saat dihisab, mengokohkanku di hadapan Allah Azza wa Jalla, serta menemaniku melewati shirath.

Lalu beliau berkata, “Engkau benar.”

[baca lanjutan]

 

 

INILAH MOZAIK

Teladan Peradaban Islam dalam Menerima Musafir (3)

Tidak ada diskriminasi, termasuk yang atas nama agama

Constable dalam Housing the Stranger in the Mediterranean World (2003) mengklasifikasi funduq tidak jauh berbeda daripada sistem perhotelan saat ini. Mereka memakai klasifikasi “bintang-bintang.”

berpendapatan menengah ke bawah memilih funduq dengan harga sewa yang relatif terjangkau—mungkin sekelas “hotel melati” saat ini.

Setiap unit funduq, apa pun kelasnya, biasanya dilengkapi toko untuk memenuhi kebutuhan harian para tamu. Letak funduq juga cenderung berdekatan dengan pasar, sehingga para pedagang yang menginap di sana dapat menyelesaikan keperluan bisnisnya dengan mudah.

Sebagaimana funduq yang didirikan atas dasar wakaf atau charity, tidak ada aturan yang mendiskriminasi antara tamu Muslim dan non-Muslim. Constable mengungkapkan, khususnya pada abad pertengahan, tidak ada bukti yang menunjukkan segregasi antara yang beragama Islam dan non-Islam.

Fasilitas lainnya yang selalu tersedia di setiap funduq adalah jasa penitipan barang. Standar pelayanannya mungkin setara bank dalam konteks zaman modern.

Pengurusnya merupakan laki-laki dan/atau perempuan yang begitu amanah. Mereka tidak diperkenankan menyerahkan barang titipan kecuali kepada pemiliknya.

Ambil contoh kisah yang dituturkan Ibnu Jauzi, sebagaimana dikutip dalam buku karya Raghib. Pada 1175, seorang pedagang yang menginap di hotel Anbar, Baghdad, menitipkan sejumlah hartanya ke funduq tersebut.

Dia pulang dengan ditemani seorang budak. Dalam perjalanan, budak itu membunuhnya. Pelaku lantas pergi ke Anbar untuk mengambil harta tuannya dengan alibi menjalankan perintah.

“Demi Allah, kami tidak akan membukakan pintu kepadamu, sehingga tuanmu sendiri yang datang ke sini,” tegas perempuan yang menjaga tempat penitipan barang.

Singkat cerita, budak itu berhasil ditangkap aparat keamanan dan kemudian dihukum mati setelah terbukti melakukan pembunuhan.

Teladan Peradaban Islam dalam Menerima Musafir (2)

Banyak ‘funduq’ yang menjadi tempat penginapan para saudagar yang singgah dari luar

Para pemilik hotel pada era keemasan Islam selalu memiliki juru masak terbaik yang dibayar dengan upah sepadan. Seperti halnya kamar-kamar tidur, dapur menjadi tolok ukur reputasi suatu funduq–sebutan untuk hotel pada masa itu.

Terlebih lagi bagi hotel-hotel yang memang bertujuan komersial. Hidangan yang tersaji kepada para pelanggan mesti sempurna dan menunjukkan cita rasa khas setiap daerah. Tentu saja bahan baku yang dipakai terjamin halal.

Apa yang kini secara unik dinamakan “hotel syariah” merupakan hal yang sangat lumrah ditemui pada masa itu.

Di luar aspek tanggung jawab sosial negara, funduq juga berkaitan dengan ranah bisnis. Dia menjadi tempat menginap para saudagar asing yang mengunjungi negeri-negeri Islam. Raghib as-Sirjani dalam buku Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia (2011), mengambil keterangan dari sejarawan Muslim era Dinasti Mamluk, al-Maqrizi.

Penulis klasik itu mengarang Kitāb al-Sulūk li Ma’rifat Duwal al-Mulūk.Dijelaskannya, ada hotel-hotel di Mesir yang memang dikhususkan bagi para saudagar Italia dan Swiss, serta bangsa-bangsa lainnya asal Eropa.

Segenap fasilitas umum tersebut mematuhi syariat—semisal tidak menjual minuman memabukkan. Kendati demikian, kualitas pelayanannya tidak berkurang sama sekali.

Olivia Remie Constable dalam Housing the Stranger in the Mediterranean World(2003) mengutip catatan pengelana Muslim dari abad ke-10, Ibn Hawqal. Saat mengunjungi Nishapur (Iran) pada 970, disaksikannya bahwa kota tersebut memiliki banyak funduq yang diperuntukkan bagi kalangan saudagar dari mancanegara.

Wednesday, 20 Feb 2019 19:45 WIB

Teladan Peradaban Islam dalam Menerima Musafir (2)

Banyak ‘funduq’ yang menjadi tempat penginapan para saudagar yang singgah dari luar
Red: Hasanul Rizqa
saharamet.org

Ilustrasi kafilah dagang di gurun pasir

Ilustrasi kafilah dagang di gurun pasir

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Para pemilik hotel pada era keemasan Islam selalu memiliki juru masak terbaik yang dibayar dengan upah sepadan. Seperti halnya kamar-kamar tidur, dapur menjadi tolok ukur reputasi suatu funduq–sebutan untuk hotel pada masa itu.

ADVERTISEMENT

Terlebih lagi bagi hotel-hotel yang memang bertujuan komersial. Hidangan yang tersaji kepada para pelanggan mesti sempurna dan menunjukkan cita rasa khas setiap daerah. Tentu saja bahan baku yang dipakai terjamin halal.

Apa yang kini secara unik dinamakan “hotel syariah” merupakan hal yang sangat lumrah ditemui pada masa itu.

Di luar aspek tanggung jawab sosial negara, funduq juga berkaitan dengan ranah bisnis. Dia menjadi tempat menginap para saudagar asing yang mengunjungi negeri-negeri Islam. Raghib as-Sirjani dalam buku Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia (2011), mengambil keterangan dari sejarawan Muslim era Dinasti Mamluk, al-Maqrizi.

Penulis klasik itu mengarang Kitāb al-Sulūk li Ma’rifat Duwal al-Mulūk.Dijelaskannya, ada hotel-hotel di Mesir yang memang dikhususkan bagi para saudagar Italia dan Swiss, serta bangsa-bangsa lainnya asal Eropa.

Segenap fasilitas umum tersebut mematuhi syariat—semisal tidak menjual minuman memabukkan. Kendati demikian, kualitas pelayanannya tidak berkurang sama sekali.

Olivia Remie Constable dalam Housing the Stranger in the Mediterranean World(2003) mengutip catatan pengelana Muslim dari abad ke-10, Ibn Hawqal. Saat mengunjungi Nishapur (Iran) pada 970, disaksikannya bahwa kota tersebut memiliki banyak funduq yang diperuntukkan bagi kalangan saudagar dari mancanegara.

Rata-rata, di dalamnya dilengkapi ruangan khusus untuk transaksi atau perundingan bisnis. Barangkali, ruangan itu setara balai sidang atau aula (hall) hotel zaman sekarang.

Tidak sedikit pula funduq yang dikhususkan bagi pedagang komoditas tertentu. Hal ini mengingatkan kita pada catatan al-Maqrizi yang menyebutkan adanya Hotel Tharanthay di Kairo yang hanya dihuni para penjual minyak wangi asal Suriah.

Sumber: Islam Digest Republika

Teladan Peradaban Islam dalam Menerima Musafir (1)

Prof Raghib as-Sirjani menguraikan di dalam buku Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia (2011), sistem perhotelan yang dibina dinasti-dinasti Muslim amat memerhatikan aspek sosial.

kota Islam menyediakan makanan dan minuman cuma-cuma kepada para fakir miskin dan ibnu sabil.

Maka dari itu, funduq dinamakan pula sebagai rumah perjamuan (dar adh-dhiyafah). Malahan, ada cukup banyak hotel yang berfungsi khusus menampung para pengelana yang miskin atau kehabisan bekal. Hal itu seperti kelanjutan dari mekanisme Suffah di sekitar Masjid Nabawi pada zaman Nabi SAW.

Ada banyak contoh funduq. Sebut saja, yang dibangun Khalifah al-Mustansir Billah dan Amir Nuruddin Mahmud. Demikian pula bangunan-bangunan penginapan di Damaskus (Suriah) yang diinisiasi istri pahlawan Perang Salib Shalahuddin al-Ayyubi, Ismat ad-Din Khatun.

Ada lagi funduq yang dikelola Abu Ya’qub, pemimpin Dinasti al-Muriniyyin di Maghrib (Maroko) sebagai hasil renovasi hotel asy-Syamain di Fez yang lantas diwakafkannya demi menjamu musafir.

Keberadaan segala fasilitas publik itu amat bermanfaat untuk menjamin rasa aman. Para pengelana, utamanya yang ibn sabil, dapat terlindungi dari teriknya matahari dan malam yang dingin.

Tidak pula dibeda-bedakan antara pengelana Muslim dan non-Muslim. Seluruhnya menerima perlakuan yang sama sebagai musafir, selama tidak berperangai layaknya mata-mata asing.

Raghib mengutip data wakaf hotel Qarah Thay pada masa Dinasti Saljuq abad ke-10. Orang-orang yang menginap di sana—baik itu Muslim maupun non-Muslim, pria maupun perempuan, merdeka maupun budak—akan diberi jatah per hari dengan roti kualitas bagus senilai tiga uqiyah, daging yang siap saji senilai beberapa uqiyah, dan satu mangkok hidangan lainnya yang variatif. Sumber menyebutkan, satu uqiyah setara dengan 40 dirham.

 

KHAZANAH REPUBLIKA

Jangan Saling Memata-matai (Tujuh Larangan Rasulullah)

SAUDARAKU, dalam buku Hayatush Shahabah, ada sebuah riwayat mengenai khalifah Umar bin Khatab ra. Suatu malam, Umar berjalan bersama Abdullah bin Masud memeriksa keadaan kota Madinah. Tiba- tiba, mata beliau melihat sebuah rumah yang diterangi cahaya dari bagian dalamnya. Kemudian, Umar menghampiri sumber cahaya itu sehingga ia melihat ke dalam rumah tersebut.

Ternyata di rumah itu, ada seorang lelaki tua sedang minum arak dan menari- nari bersama budak perempuan yang menyanyi untuknya. Kemudian, Umar masuk sendirian dan menghardik lelaki tua itu, Wahai fulan, tidak pernah aku saksikan pemandangan yang lebih buruk dari ini, orang tua yang sudah tua meminum arak dan menari- nari!

Lelaki tua itu menjawab, Wahai Amirul Mukminin, apa yang engkau sampaikan adalah lebih buruk dari apa yang kau saksikan. Engkau telah memata- matai pribadi orang, padahal Allah telah melarangnya dan engkau telah masuk rumahku tanpa seizinku!

Umar membenarkan ucapannya kemudian ia keluar dari rumah itu dengan menyesali perbuatannya. Umar berucap Sungguh telah celakalah Umar apabila Allah tidak mengampuninya. Umar menyadari kesalahannya yang telah mengendap-endap melihat aib orang lain dan memasuki rumah orang lain tanpa seizing penghuninya. Kedua perbuatan ini adalah hal yag dilarang oleh Allah Swt melalui firman-Nya dalam surat Al- Hujurat ayat 12 dan surat An Nur ayat 27.

Lelaki tua itu merasa sangat malu kepada Umar karena kepergok melakukan maksiat. Dia khawatir akan dihukum atau setidaknya akan diumumkan dihadapan banyak orang oleh Umar. Sehingga ia tidak datang ke majelis Umar dalam waktu yang cukup lama.

Sampai pada suatu hari lelaki itu diam-diam datang ke majelis Umar secara diam-diam. Dia duduk di paling belakang sambil menundukan kepala agar tidak terlihat oleh Umar. Tiba-tiba Umar memanggilnya dengan usara yang agak keras, Wahai Fulan mari duduk di dekatku!

Lelaki tua itu merasa gentar. Tubuhnya gemetar. Dia mengira akan dipermalukan di depan umum. Dengan wajah pucat pasi, dia pasrah menghampiri Umar. Kepalanya menunduk, tegang membayangkan apa yang akan terjadi kemudian.

Setelah lelaki itu duduk di dekatnya, Umar berbisik, Wahai fulan, demi Allah yang telah mengutus Muhammad sebagai seorang Rasul, tidak akan aku beritahu seorangpun tentang apa yang aku lihat di dalam rumahmu, meskipun kepada Abdullah bin Masud yang saat itu ikut bersamaku.

Lelaki itu takjub sekaligus heran kemudian ia menjawab dengan berbisik, Wahai Amirul Mukminin, demi Allah yang telah mengutus Muhammad sebagai seorang Rasul, sejak malam itu sampai saat ini aku telah meninggalkan perbuatan maksiatku.

Salah satu pelajaran berharga dari kisah di atas adalah tentang larangan memata-matai sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al Hujurat ayat 12 seperti disampaikan pada bagian awal.

Kegiatan memata-matai dalam ayat ini disebut dengan istilah Tajassus. Yaitu kegiatan atau aktifitas mengorak- ngorek suatu berita dengan tujuan meneliti lebih dalam. Sedangkan jika suatu berita didapatkan secara alami, atau sekedar dikumpulkan lalu diinformasikan kembali, maka itu tidak termasuk aktifitas memata- matai

Memang ada kegiatan memata-matai yang diperbolehkan. Yaitu kegiatan mematai-matai pihak yang memusuhi dan memerangi Islam. Sedangkan di luar itu, maka tidak diperbolehkan. Baik terhadap non muslim yang hidup di tengah- tengah umat Islam dan tidak memerangi umat Islam.

Jika demikian, apalagi perbuatan memata-matai kehidupan saudara kita sendiri, sesama muslim, atau tetangga kita. Setiap orang tentu tidaklah sempurna. Selalu ada kekurangan dan kesalahan. Terlebih lagi di dalam tempatnya yang privat semisal di dalam rumahnya, di tengah keluarganya.

Memata- matai kehidupan orang lain adalah hal yang diharamkan dan sangat dikecam oleh Rasulullah Saw. Apalagi jika setelah memata- matai itu, informasi yang didapatkan kemudian dibicarakan disebarkan kepada orang lain. Tentu ini lebih besar lagi dosanya.

Saking besarnya kecaman Rasulullah Saw terhadap perbuatan memata- matai ini, sampai- sampai dalam sebuah keterangan yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, beiau bersabda, Jika seseorang melihatmu dalam keadaan tanpa pakaian, tanpa seizinmu, lalau engkau membutakan kedua matanyadengan lemparan batu, maka tidak ada celaan atas perbuatanmu itu. (HR. Muslim, shahih).

Apa yang dimaksud dengan keadaan tanpa pakaian dalam hadits diatas adala aurat. Aurat ini tidak hanya bermakna aurat fisik, melainkan kiasan juga yang maksudnya adalah aib atau kekurangan pada diri seseorang.

Dalam Raudhah Al Uqala, Abu Hatim bin Hibban Al Busti menerangkan bahwa orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan memata-matai saudaranya, dan senantiasa sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri

Karena sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan kejelekan diri sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, hatinya akan tentram dan tidak akan lelah. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat kejelekan serupa ada pada saudaranya.

Sementara orang yang selalu sibuk mencari kejelekan orang lain dan lupa pada kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta. Ia akan merasa letih dan sulit meninggalkan kejelekan dirinya sendiri.

Demikianlah betapa buruknya perbuatan memata- matai, mengorek- ngorek informasi tentang diri orang lain tanpa kita berhak melakukannya. Apalagi perbuatan itu dilakukan sekedar untuk mengetahui aib orang lain kemudian memperbincangkan dan menyebarluaskannya. Sungguh betapa busuknya perilaku yang demikian itu. Tak hanya bertentangan dengan keteladanan suri tauladan kita, Rasulullah Saw. Namun juga bertentangan dengan kehendak Allah Swt. Semoga kita terhindar dari perbuatan demikian. [smstauhiid/bersambung]

 

KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Pentingnya Menjaga Adab terhadap Para Ulama

“INGATLAH bahwa orang yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Abu Dawud: 4682).

Syeikh Abdul Aziz bin Baz rohimahulloh mengatakan: Apabila dalil telah tegak dalam suatu masalah, maka wajib hukumnya mengambil pendapat yang sesuai dengan dalil tersebut, baik dalil dari Kitabullah ataupun dari sunah Rasul shallallahu alaihi wasallam-, meskipun pendapat itu menyelisihi imam besar, bahkan walaupun menyelisihi sebagian sahabat.”

Karena Allah menfirmankan (yang artinya): Jika kalian berselisih dalam suatu masalah, maka kembalikanlah masalah itu kepada Allah dan RasulNya. Allah subhanah TIDAK mengatakan: kembalikanlah kepada orang ini dan orang itu.

Akan tetapi, sudah seharusnya ada langkah memastikan kabar yang sampai kepada kita, serta menghormati dan menjaga adab terhadap para ulama. Jika seseorang menemukan pendapat yang lemah dari salah satu imam, atau ulama, atau ahli hadits yang tepercaya; (harusnya dia ingat bahwa) hal itu tidak menurunkan kedudukan mereka.

Harusnya dia menghormati para ulama, menjaga adab terhadap mereka dan mengatakan perkataan yang baik, serta tidak mencela dan merendahkan mereka. Tapi seharusnya dia menjelaskan yang benar beserta dalilnya, sekaligus mendoakan kebaikan untuk ulama tersebut, juga mendoakan agar dirahmati dan diampuni.

Beginilah harusnya akhlak seorang ulama terhadap ulama lainnya, (yaitu) menghormati para ulama karena kedudukan mereka, dan mengerti akan keagungan, keutamaan, dan kemuliaan mereka. [Majmu Fatawa Ibnu Baz 26/305, Ust. Musyaffa Ad Darini, Lc., MA]

 

INILAH MOZAIK

Siapa Saja yang Bergelar Sahabat?

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Seperti halnya Nabi Isa AS yang ditemani para hawariyyun (penolong), Nabi Muhammad SAW juga memiliki teman perjuangan dalam dakwah Islam. Mereka biasa dikenal dengan sebutan para sahabat dan sahabiyah bagi kaum Mukminah. Para sahabat digelari dengan radhiallahu anhu (semoga ridha Allah atas mereka).

Penyebutan gelar itu dinisbatkan dari Alquran surah at-Taubah ayat 100. “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalirkan sungaisungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”

Sahabat didefinisikan sebagai siapa saja yang pernah bertemu dan melihat Nabi Muhammad SAW serta memeluk Islam. Namun, para ulama berbeda pendapat dalam mengategorikan siapa saja yang disebut sahabat Nabi SAW.

Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al- Qusyairi an-Naisaburi atau yang lebih dikenal dengan Imam Muslim, seorang ulama pakar hadis masyhur, mengelompokkan sahabat Nabi dalam 12 peringkat. Pengelompokan ini didasarkan pada peristiwa yang mereka alami atau saksikan.

Derajat pertama, yaitu as-sabiqun al-awalun (mereka yang pertama sekali masuk Islam). Mereka yang masuk golongan ini, di antaranya Abu Bakar as-Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan seterusnnya. Peringkat kedua, yakni mereka yang tergabung dalam baiat di Dar an-Nadwah (gedung pertemuan bagi orang Quraisy pada masa se belum dan awal Islam). Golongan ketiga merupakan mereka yang turut hijrah ke Habasyah. Peringkat keempat, yaitu mereka yang membaiat Nabi SAW di Bukit Aqabah pertama.

Selanjutnya, para sahabat pada baiat Aqabah kedua digolongkan dalam kelompok kelima. Keenam, orang-orang yang menemui Rasulullah SAW di Quba sesaat sebelum memasuki Madinah saat hijrah. Ketujuh, mereka yang turut serta dalam Perang Badar. Peringkat delapan mereka yang hijrah ke suatu tempat antara Badar dan Hudaibiyah.

Kelompok kesembilan merupakan kaum Muslimin yang terlibat dalan baiat ar-Ridwan (baiat kaum Muslimin saat perjanjian Hudaibiyah). Derajat kesepuluh, mereka yang ikut hijrah antara Hudaibiyah dan al-Fatah (penaklukan Makkah). Peringkat ke-11, yaitu berdasarkan urutan masuk Islam, dan peringkat terakhir merupakan para remaja dan anak-anak yang sempat melihat Rasulullah SAW pada waktu penaklukan Kota Makkah dan haji wada.

Menurut Imam Muslim, jumlah sahabat saat Nabi SAW wafat mencapai 144 ribu orang. Mereka merupakan orang-orang yang pernah langsung melihat Nabi SAW dan memeluk Islam. Ulama hadis besar lainnya, Imam Bukhari, menyebut sahabat adalah orang Islam yang hidup bersama Nabi SAW atau pernah melihatnya. Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat sahabat adalah orang yang pernah hidup bersama Rasulullah SAW, sebulan atau sehari atau sesaat atau hanya melihatnya.

Seorang pemuka tabiin, Sa’id bin Musayyab, me-ngatakan bahwa sahabat adalah orangorang yang hidup bersama Rasulullah satu atau dua tahun dan pernah ikut berperang bersama beliau satu atau dua kali. Ibnu Hajar al-Haitami mendefinisikan sahabat sebagai orang yang pernah berjumpa dengan Nabi SAW dan orang itu menjadi mukmin dan hidup bersama Beliau baik lama maupun sebentar, baik orang itu meriwayatkan hadis atau tidak, atau pernah melihat Beliau barang sekali atau tidak bisa melihat Beliau karena buta, namun hidup pada masa Rasulullah hidup.

Jumhur ulama memberi sifat para sahabat merupakan orang-orang yang arif, ahli ijtihad dan ’adalah (keadilan dan integritas) yang dijamin oleh Alquran dan sunah. (QS al- Anfal [8]:74, QS al-Hashr [59]: 8-10, QS al-Fath [48]: 29 dan 18).

Meski ada perbedaan batasan sahabat, para sahabat memiliki peran yang sangat sentral dalam pewarisan agama Islam. Mereka merupakan generasi terbaik umat Islam karena memiliki sumber Islam, yaitu Nabi Muhammad SAW. Setiap ada permasalahan dalam agama mereka mendapat pencerahan langsung dari Rasulullah SAW atau mereka berijtihad berdasarkan pemahaman murni mereka akan Alquran dan sunah.

Para sahabat juga perawi hadis yang paling dekat dengan Nabi SAW. Sehingga, dari merekalah ilmu-ilmu tentang Islam tersampaikan secara utuh dan terjaga kepada umat Islam hingga kini. Para sahabat ada yang menjadi khalifah, gubernur, hakim, dan ulama. Mereka menyebar ke penjuru dunia untuk mengabarkan Islam. Merekalah guru para tabiin (generasi kedua dalam Islam) yang kemudian mengajarkan hal yang sama kepada tabi’at attabi’in (generasi ketiga dalam Islam) hingga sampai kepada kita.

Haji Furada Jadi Duri dalam Daging Pemerintah Indonesia

IHRAM.CO.ID, JAKARTA — Komisi VIII DPR RI tengah menyelesaikan revisi Undang-Undang tentang penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UU PIHU). RUU ini ditargetkan selesai pembahasan dan diusahakan menjadi UU pada Agustus mendatang.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzili mengatakan RUU ini menjadi penting dilakukan lantaran masih ada pelaporan terkait penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Salah satunya, keberadaan haji furada. Mengingat dari aspek hukum di Indonesia, haji furada tidak diakui karena dasar hukum penyelenggaraan haji di Indonesia berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2008 yang diubah menjadi UU Nomor 34 Tahun 2009.

“Kami mendesak haji furodah bagian dari regulasi yang diatur revisi UU haji, supaya jika terjadi apa-apa maka jamaah yang menggunakan haji furada tersebut tetap dalam pengawasan Pemerintah Indonesia. Haji furada ada pelaporan kasus, ada jamaah haji yang telantar yang menggunakan visa furada maka Pemerintah Indonesia yang akan bertanggung jawab,” ujarnya kepada Republika.co.id, Kamis (14/2).

Menurutnya, haji furodah merupakan haji yang menggunakan visa dari pemerintah Saudi. Artinya, haji ini tidak masuk ke dalam reguler atau khusus yang diberikan kuota oleh Pemerintah Saudi ke Pemerintah Indonesia.

“Kami punya komitmen akan segera mengesahkan UU haji yang baru. Ada beberapa hal krusial, termasuk haji furada, bisa menjadi duri dalam daging, tidak masuk UU, tetapi kalau ada masalah yang disalahkan pemerintah,” ucapnya.

Untuk itu, pihaknya terus menggodok RUU ini hingga tuntas. Setidaknya, jika ada permasalahan terkait penyelenggaraan ibadah haji dan umrah memiliki payung hukum, sehingga akuntabilitasnya bisa terjaga dengan baik.

IHRAM REPUBLIKA