Tiga Bukti Mengapa Angka Tujuh Begitu Istimewa dalam Islam

Bagi para pemerhati numerologi, masing-masing angka menyimpan rahasia dan misteri. Tak terkecuali sebagian intelektual Muslim, memiliki concern dalam kajian yang cukup unik ini.

Di antara bilangan yang sangat akrab dalam keilmuan Islam adalah angka tujuh. Mengutip Ensiklopedia Mukjizat Alquran dan Hadits volume 10, angka tujuh memiliki keistimewaan selain angka satu.

Keistimewaan lebih ini ada pada kisah-kisah Alquran, hadis, dan lainnya yang terkait dengan ibadah umat Islam.

Peneliti Alquran mengamati ada sebuah sistem integral dalam Alquran yang terkait dengan angka tujuh. Angka tujuh merupakan angka yang bersaksi atas keesan Allah SWT.

Sistem alam ini sebenarnya didasarkan atas angka tujuh, karena seringkali angka ini diulang secara sistematis dalam kitab Allah SWT. Jika kita mengamati lingkungan sekitar, angka tujuh menjadi sebuah petunjuk untuk alam dan kehidupan.

Pertama, alam semesta tak lepas dari angka 7

“Hanya Allah yang menciptakan tujuh lapis langit dan menciptakan bumi seperti itu (langit) juga susunannya. (Maknanya tujuh lapisan bumi). Di antara semua itu perintah dan takdir Allah berlaku. Dia juga menerapkan hukum-hukumnya di semua itu, supaya kalian mengetahui wahai para hambaku bahwa sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu dan ilmuNya meliputi segala sesuatu sehingga tidak ada yang tersembunyi dari-Nya. (QS ath-Thalaq: 12).

Dalam firman Allah tersebut dijelaskan bahwa Allah menciptakan alam dengan memilih angka tujuh untuk dijadikan jumlah tingkatan langit dan bumi. Penjelasan penciptaaan tujuh lapisan langit ini juga dijelaskan Allah dalam tujuh ayat Alquran.

Penyebutan angka tujuh pertama kali dalam Alquran terdapat dalam surah al-Baqarah ayat ke-29, “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Ini juga berlaku pada satuan dasar pembentuk alam, atom. Atom sesuai aturannya terdiri dari tujuh tingkatan elektron dan tidak lebih dari itu.

Kedua, Rasulullah sering menyebut angka 7

Angka tujuh adalah yang memiliki banyak keistimewaan dalam hadis  Rasulullah. Angka ini memiliki posisi penting karena sering diulang-ulang oleh Rasulullah.

Ketika Rasulullah berbicara tentang dosa-dosa besar, beliau menyebutkan dosa-dosa besar hingga tujuh macam. Demikian juga saat berbicara siksaan di hari akhir, Rasulullah sebutkan tingkatkan siksaan hingga tujuh kali lipat besar bumi.

“Siapa saja yang berbuat lalim sepanjang satu jengkal tanah, maka dia akan dibebani beban seberat tujuh bumi.” (HR Bukhari dan Muslim).

Begitu juga dalam hal ibadah, Rasulullah mengulang angka tujuh ini dalam surah al-Fatihah sebagai surah wajib yang dibaca dalam shalat. Selain itu Allah pun memerintahkan bahwa sujud menggunakan tujuh anggota badan.

Ketiga, bilangan para nabi 

Banyak nabi dan rasul yang sering menyebutkan angka tujuh dalam kisahnya. Nabi Nuh, misalnya dia menjelaskan mengenai penciptaan langit yang tujuh lapis.

Nabi Yusuf sering menyebutkan angka tujuh dalam tafsir mimpinya. Dua ayat firman Allah di antaranya yang mengisahkan angka tujuh dalam cerita Nabi Yusuf ada dalam surah Yusuf ayat ke 43, dan 46-48.

Demikian juga siksaan yang ditimpakan kepada kaum Nabi Hud, Kaum Ad. “Kaum Ad telah dibinasakan dengan angin topan yang sangat dingin. Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus.” (QS al- Haqqah ayat 6-7).

KHAZANAH REPUBLIKA

Tiga Mukjizat Angka Tujuh

Dalam Ensiklopedia Mukjizat Alquran dan Hadits volume 10, angka tujuh memiliki keistimewaan, seperti dijelaskan pada kisah-kisah Alquran, hadis, dan lainnya, yang terkait dengan ibadah umat Islam.

Peneliti Alquran mengamati ada sistem integral dalam Alquran yang terkait dengan angka tujuh yang diulang secara sistematis dalam kitab Allah. Jika kita mengamati lingkungan sekitar, angka tujuh menjadi petunjuk untuk alam dan kehidupan. Berikut ini adalah uraian tentang angka tersebut.

Angka Tujuh di Alam

Dalam Alquran (QS at-Thalaq:12) Allah menjelaskan telah menciptakan alam dengan memilih angka tujuh untuk dijadikan jumlah tingkatan langit dan bumi. Penjelasan penciptaan tujuh lapisan langit ini juga ada dalam tujuh ayat Alquran.

Penyebutan angka tujuh pertama kali dalam Alquran terdapat dalam al-Baqarah ayat 29, “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Mahamengetahui segala sesuatu. Ini juga berlaku pada atom yang terdiri dari tujuh tingkatan elektron dan tidak lebih dari itu.

Angka Tujuh di Hadis

Angka tujuh memiliki banyak keistimewaan dalam hadis Rasulullah. Ketika Rasulullah berbicara tentang dosa-dosa besar, beliau menyebutkan dosa-dosa besar hingga tujuh macam. Demikian juga saat berbicara siksaan pada hari akhir, Rasulullah sebutkan tingkatkan siksaan hingga tujuh kali lipat besar bumi.

“Siapa saja yang berbuat lalim sepanjang satu jengkal tanah, maka dia akan dibebani beban seberat tujuh bumi,” (HR al Bukhari dan Muslim). Begitu juga dalam hal ibadah, Rasulullah mengulang angka tujuh ini dalam surah al-Fatihah sebagai surat wajib yang dibaca dalam shalat. Selain itu, Allah pun memerintahkan bahwa sujud menggunakan tujuh anggota badan

Angka Tujuh dalam Kisah Nabi

Banyak nabi dan rasul yang sering menyebutkan angka tujuh dalam kisahnya. Nabi Nuh, misalnya, dia menjelaskan menge nai penciptaan langit yang tujuh lapis. Nabi Yusuf sering menyebutkan angka tujuh dalam tafsir mimpinya. Dua ayat firman Allah di antaranya yang mengisahkan angka tujuh dalam cerita Nabi Yusuf ada dalam surah Yusuf ayat 43 dan ayat 46-48.

Demikian juga siksaan yang ditimpakan kepada kaum Nabi Hud, kaum Ad. “Kaum Ad telah dibinasakan dengan angin topan yang sangat dingin. Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus,” (Al Haqqah ayat 6-7).

Jangan Saling Membenci (Tujuh Larangan Rasulullah-6)

FIRMAN Allah “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surge yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang- orang yang bertakwa. (yaitu) orang- orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang- orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang- orang yang berbuat kebajikan.” (QS Ali Imran [3]: 133-134)

Mengapa harus ada rasa saling benci jika kita ditakdirkan sebagai umat yang bersaudara satu sama lain. Persaudaraan yang jauh lebih mulia daripada persaudaraan karena ikatan darah, bahasa atau suku bangsa.

Mengapa harus ada rasa saling benci hanya karena kita berbeda daerah, berbeda suku, berbeda organisasi, berbeda partai, jika kita masih meyakini Allah sebagai satu- satunya Dzat Yang Maha Kuasa yang patut disembah. Mengapa kita saling membenci jika tuhan kita adalah sama yaitu Allah Swt dan Allah menegaskan bahwa kita bersaudara.

Sahabatku, sungguh tak ada alasan bagi kita untuk membenci saudara kita sendiri. Karena jangankan untuk membenci, kita malah tidak berhak berprasangka buruk sedikitpun kepada sesama dan muslim. Jikapun ada prasangka itu muncul, maka kita diharuskan untuk menepisnya dan sebisa mungkin mencarikan alasan agar kita tetap bisa berprasangka baik terhadapnya. Dengan diiringi itikad untuk tabayyun dan memberikan nasehat demi kebaikannya.

Tentu manusiawi jikalau kita mencintai seseorang atau membenci nya. Karena manusia diberikan karunia berupa perasaan. Akan tetapi islam diturunkan oleh Allah adalah sebagai pedoman untuk kita agar bisa mengendalikan setiap apapun karunia Allah kepada kita. Tak hanya rasa benci, bahkan rasa cinta pun perlu untuk dikendalikan.

Imam Ali bin Abi Thalibn radiyallahuanhu pernah berkata, “Cintailah orang yang engkau cintai sekedar nya saja, sebab boleh jadi bisa jadi kelak ia akan menjadi orang yang engkau benci. Dan, bencilah orang yang engkau benci sekedarnya saja, sebab bisa jadi kelak ia akan menjadi orang yang engkau cintai.”

Membenci janganlah disebabkan karena benci terhadap fisik, melainkan bencilah dikarenakan adanya tingkah laku atau kebiasaan yang tidak di ridhai Allah Swt. Bencilah perilaku, sifat yang tidak di ridhai-Nya, janganlah membenci orangnya. Sehingga rasa benci yang demikian akan mendorong seseorang untuk mengoreksi, mengingatkan dan memperbaiki saudaranya. Benci yang demikian hakikatnya adalah cinta.

Ketika sang ayah memukul anaknya karena tidak shalat sedangkan usia anaknya sudah melewati masa baligh, maka pukulan ayahnya bukanlah kebencian, melainkan rasa cinta. Jikapun pukulan sang ayah karena kebencian, maka kebencian itu kepada perbuatan tidak shalat, bukan kebencian kepada diri anaknya. Sang ayah memukul anaknya itu agar ia shalat, agar ia mendapat pelajaran dan keselamatan.

Bagaimana rasa mengelola rasa benci yang tidak jarang muncul di dalam hati kita terhadap seseorang. Saudaraku, kebencian kita biasanya dipicu karena ada hal pada dirinya yang tidak kita sukai. Padahal harus kita sadari, bahwa sangat sulit bahkan mustahil segala apa yang terjadi di dunia ini adalah hal- hal yang kita sukai. Apalagi setiap diri manusia bukanlah makhluk yang sempurna.

Trik yang bisa kita lakukan untuk menepis rasa benci pada seseorang adalah dengan melihat sisi lain dari diri orang itu. Karena seburuk- buruknya perilaku seseorang, ia pasti memiliki sisi baiknya. Bahkan bisa jadi kebencian kita padanya hanya disebabkan secuil perilaku kecilnya yang tidak sesuai dengan kita. Dibalik itu, boleh jadi justru amat banyak hal- hal baik yang akan kita sukai

Rasulullah Saw pernah bersabda, “Tidak boleh seorang mumin (suami) membenci seorang muminah (istrinya), bila dia tidak menyenangi satu dari perilakunya, dia tentu menyukai (perilakunya) yang lain.” (HR. Muslim, Shahih)

Apa pelajaran berharga dari hadits diatas. Hendaknya kita selalu siap menerima kenyataan bahwa orang yang memiliki hubungan dengan kita, baik itu pasangan, kerabat atau teman, tidaklah sempurna. Jika ada satu hal atau lebih yang tidak kita sukai dari dirinya, maka carilah sisi lain dari dirinya yang positif dan kita sukai. insyaAllah hal ini akan semakin mempererat persaudaraan kita dengannya

Dengan demikian, kita bisa terhindar dari perasaan saling membenci. Bahkan, kita bisa memiliki kemampuan mengelola rasa benci di dalam hati kita dan mengubahnya menjadi rasa cinta yang memperkokoh tali persaudaraan. [smstauhiid/bersambung]

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

Pentingnya Memperkuat Tauhid Umat Islam

Para pemikir Islam dalam perkembangan agama Islam berbeda pendapat tentang ajaran ketuhanan. Kiai As’ad sendiri dalam Risalah As’adiyah menganggap tauhid sebagai sesuatu yang sangat penting untuk diperkuat di kalangan umat Islam.

Tauhid harus selalu diajarkan pertama kali kepada manusia dengan sebenar-benarnya. Kewajiban pertama kali atas manusia adalah dengan mengenal Allah dengan penuh keyakinan. Dan setiap orang yang beramal tidak disadari dengan ilmu maka amal nya tidak diterima/ditolak, tulis Kiai As’ad mengutip dari kitab Zubad, dalam muqadimah Risalah at-Tauhid. Dalam kitab tersebut, Kiai As’ad menjelaskan tauhid dengan mengutip dari kitab Risalah al-Qusyairiyyah.

Kiai As’ad mengatakan bahwa tauhid adalah hukum tentang sesuatu yang satu, sedangkan ilmu adalah hukum tentang sesuatu yang satu juga. Menurut Kiai As’ad, tauhid juga bisa diartikan hati yang mendominasi atas yang haq.

Barang siapa yang berkeyakinan atau mengetahui terhadap dalil-dalil bahwasanya Allah adalah tunggal atau pandangan hati mendominasi terhadap yang Haq, sehingga melupakan yang tidak haq (makhluk). Maka, dia adalah orang yang bertauhid.

Sebagai seorang ulama, Kiai As’ad benar-benar menekankan tauhid dalam diri umat Islam. Hal ini juya bisa dilihat di kitab Risalah at-Tauhid. Di awal kitab tersebut, Kiai As’ad langsung menjelaskan tentang sifat dua puluh yang wajib diketahui dan sifat dua puluh yang harus ditentang. Sifat-sifat tersebut harus diketahui secara minimum oleh seorang Islam untuk mengenal Tuhannya.

Kiai As’ad juga pernah mengatakan bahwa segala ilmu yang sebelumnya tidak dijiwai ketauhidan jangan diharap memuaskan hasilnya. Segala ilmu yang hinggap ke lubuk hati seseorang yang kosong tauhidnya, ilmu tersebut malah bisa mencelakakan orang tersebut. Namun, jika tauhidnya sudah melekat, ilmu tersebut akan bermanfaat dan berkah.

Kiai As’ad menilai, kenakalan dan kebrutalan para pelajar juga disebabkan karena sistem pendidikan yang keliru. Pelajaran agama yang diterapkan di sekolah amat minim. Jiwa mereka sangat gersang lantaran ilmu tauhid tidak terpatri di hati mereka. Padahal, tauhid meru pakan fondasi segala sesuatu.

Dengan tauhid, seseorang tidak akan mudah goyah dan tertipu ekstasi keduniawian. Karena itu, Kiai As’ad menganggap tauhid juga sangat penting diajarkan di sekolahsekolah sejak dini.

 

KHAZANAH REPUBLIKA

Ciri Orang Kuat Menurut Nabi Muhammad

DALAM sebuah hadis Nabi SAW bersabda, Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat. Orang yang kuat adalah yang mampu menahan dirinya di saat marah. (HR. Al Bukhari).

Ketika membaca hadis ini, kita lebih sering mengartikannya sebagai kekuatan mental, kekuatan karakter. Dan tidak salah. Namun, ada kekuatan lain yang ditemukan oleh para peneliti sehubungan dengan hadis ini.

Penelitian dari University of California San Diego tahun 2012 menemukan bahwa orang-orang yang bisa melepaskan kemarahannya dan memaafkan kesalahan orang lain cenderung lebih rendah risikonya mengalami lonjakan tekanan darah. Pada penelitian itu, 200 relawan diminta memikirkan saat temannya menyinggung perasaan. Separuh relawan diperintahkan untuk berpikir mengapa hal tersebut bisa membuatnya marah, sedangkan separuh lainnya didorong untuk memaafkan kesalahan tersebut.

Worthington Jr, Pakar Psikologi di Virginia Commonwealth University AS, mempublikasikan hasil penelitiannya pada 2005 di jurnal ilmiah Explore. Pada penelitian hubungan antara memaafkan dan kesehatan itu ditemukan, sikap memaafkan mendatangkan manfaat kesehatan. Dengan menggunakan tekonologi canggih, terungkap perbedaan pola gambar otak orang pemaaf dan yang tidak memaafkan.

Orang yang tidak memaafkan atau terbawa kemarahan dan dendam ditemukan mengalami penurunan fungsi kekebalan tubuh, tekanan darah lebih tinggi, ketegangan otot dan detak jantung.

Sebaliknya, sikap memaafkan meningkatkan pemulihan penyakit jantung dan pembuluh darah.

Lebih rinci, ditemukan lima manfaat memaafkan seperti dikutip Hidayatullah dari sejumlah penelitian:

Mengurangi stress

Marah dan dendam membuat tubuh melalui strain yang sama dengan gangguan stres: ketegangan otot dan tekanan darah meningkat. Memaafkan membuat tubuh terhindar dari hal-hal tersebut.

Menyehatkan jantung

Salah satu studi menemukan, memaafkan membuat denyut jantung menjadi stabil dan beban kerja jantung menurun.

Hubungan lebih kuat

Studi lainnya menunjukkan bahwa perempuan yang mampu memaafkan pasangan mereka dan merasa baik hati terhadap mereka bisa menyelesaikan konflik secara lebih efektif. Hubungan yang lebih kuat secara otomatis berkebalikan dengan hubungan penuh ketegangan. Hal ini juga berdampak positif terhadap kesehatan.

Mengurangi rasa sakit

Sebuah studi kecil pada orang dengan sakit punggung kronis menemukan bahwa orang-orang yang berlatih meditasi yang berfokus pada menekan kemarahan bisa mengurangi rasa nyeri.Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Duke University Medical Center, memaafkan juga dapat menurunkan rasa sakit pada fisik.

Lebih sehat

Salah satu survei menunjukan bahwa orang yang berbicara tentang memaafkan selama sesi psikoterapi mengalami peningkatan kesehatan yang lebih besar dibanding mereka yang tidak.

Dari kelima hal ini saja, nyatalah bahwa orang yang memaafkan dan mampu menahan diri ketika marah memang orang yang kuat; bahkan secara kesehatan. Wallahu alam bish shawab.

 

[bersamadakwah]

Jangan Saling Mendengki (Tujuh Larangan Rasulullah)

DENGKI atau hasad adalah sikap yang sangat tercela. Yaitu sikap seseorang yang tidak senang apabila melihat saudaranya mendapatkan kenikmatan, keuntungan atau karunia. Ia mengharapkan semua kebaikan itu sirna dari saudaranya, dan kalau bisa berpindah kepada dirinya.

Sebagaimana firman Allah Swt, Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. (QS. Ali Imran [3]: 120).

Dengki sangatlah tercela karena penyakit ini bisa menyebabkan berbagai penyakit lain yang tidak kalah busuk nya. Yaitu dengki bisa mendatangkan rasa dendam, permusuhan, fitnah hingga kemunafikan yang merupakan dosa besar.

Betapa berbahayanya dengki itu, sampai- sampai Allah memperingatkan kita dari karakter dengki. Allah Swt berfirman, Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subug. Dari kejahatan makhluk-Nya. Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita. Dan dari kejahatan wanita- wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul- buhul. Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki. (QS Al Falaq [113]: 1-5)

Seperti seorang pedagang yang kiosnya bertetanggaan dengan pedagang lain. Mereka berjualan barang- barang yang kurang lebih sama. Namun, kios pedagang X lebih ramai dikunjungi pembeli dibanding kios pedagang Y. lantas, pedagang Y tidak suka atas apa yang terjadi pada pedagang X. ia berharap dirinya lah yang mendapat keuntungan, bukan X. timbul kegelisahan dalam hati Y, sehingga ia berfikir negatif, mengharap apa yang dialami X, terjadi pada dirinya. Bahkan ia mengharapkan karunia yang dirasakan X itu berakhir.

Pendengki adalah orang yang paling rugi. Dia berbuat dzhalim yang di rugikan dan yang menderita adalah dirinya sendiri. Padahal kedengkiannya pada orang lain tak akan mengubah apa yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya. Takdir Allah terhadap seseorang tak pernah bisa dihalang-halangi oleh seorangpun atau sesuatu apapun.

Malangnya seorang pendengki adalah ia akan semakin bertambah nelangsa dan menderita jika pemberian Allah kepada orang yang di dengki itu semakin bertambah. Kedengkian adalah bukti kurang iman. Dengki itu bukti tidak ridha pada perbuatan Allah terhadap hamba-Nya. Dengki itu sikap ingin mengatur Allah sesuai hawa nafsunya. Tentulah dengki itu sikap yang tak punya adab. Yaitu adab terhadap Allah, Tuhan semesta alam.

Padahal sesungguhnya Allah berbuat sesuai kehendak-Nya pasti dengan ke Maha adilan-Nya. Harus kita bersyukur atas apa yang telah Allah karuniakan kepada kita, dan juga turut bersyukur atas apa yang Allah berikan kepada hamba- Nya yang beriman lainnya.

Setiap orang mendapatkan kapling ketentuannya masing- masing. Jangankan satu kampong, bahkan kakak-adik saja atau kembar sekalipun tetap saja berbeda. Rezeki, kemampuan, postur tubuh, jodoh dan hal lainnyatidak akan sama.

Allah Swt memerintahkan sesama muslim untuk saling mendukng, membantu, mendoakan dan turut merasa gembira atas kegembiraan yang sedang dirasakan oleh sesama muslim. Inilah yang disebut dengan sikap Ghibthah, sikap yang bertolak belakang dengan dengki.

Para ulama menerangkan bahwa Ghibthan adalah rasa ingin mendapatkan kenikmatan atau keberuntungan yang didapatkan oleh orang lain, tanpa diiringi hawa nafsu yang menginginkan kenikmatan atau keberuntungan itu hilang dari orang yang mendapatkannya. Orang yang Ghibthah juga tidak merasa benci manakala melihat orang lain mendapatkan nikmat atau keberuntungan.

Inilah yang dimaksud dengan dengki atau hasad pada hadits berikut ini. Rasulullah Saw bersabda, Tidak ada hasad yang dianjurkan kecuali pada dua perkara, (yaitu) (1) orang yang diberi pemahaman Al- Quran lalu dia mengamalkannya di waktu- waktu malam dan siang; dan (2) orang yang Allah karuniai harta lalu dia menginfakkannya di waktu-waktu malam dan siang. (HR. Muslim. Shahih).

Ghibthah terhadap dua orang yang dijelaskan dalam hadits di atas merupakan sikap yang baik. Bolehkah kita ghibthah pada urusan dunia? Hal ini memiliki hokum asal yaitu boleh. Seperti kita ingin memiliki kendaraan seperti yang dimiliki oleh saudara kita, maka itu diperbolehkan.

Namun, perlu kita waspadai bahwa sesuatu yang hukumnya boleh akan menjadi tercela jika berlebih- lebihan. Demikian juga Ghibthah dalam urusan dunia. Ini seperti yang terjadi pada kaum Qarun. Ketika mereka melihat kemewahan dan kekayaan Qarun, maka mereka berangan- angan memiliki kemewahan seperti Qarun. Hal ini diterangkan oleh Allah Swt dalam surat Al Qashash ayat 79-80.

Adapun Ghibthah yang dianjurkan adalah Ghibthah dalam urusan akhirat. Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Ghibthah dalam urusan akhirat dalah terhadap dua orang yang melakukan dua perbuatan sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas. Atau perbuatan yang semisal dengannya.

Ghibthah dalam urusan akhirat akan mendorong kita menjadi semakin semangat dalam beramal shaleh. Melihat seorang yang hafidz Al-Quran, maka kita menjadi semangat menghafal Al- Quran. Melihat orang yang gemar bersedekah, maka kita menjadi semangat bekerja agar bisa leluasa sedekah. Emikianlah contoh Ghibthah dalam urusan akhirat

Sahabatku, dengki adalah perkara yang buruk. Lawanlah dengki dengan Ghibthah. Semoga kita tidak tergolong orang- orang yang merugi karena sesungguhnya dengki hanya mendatangkan dosa dan menyengsarakan diri sendiri. [smstauhiid/bersambung]

 

KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

 

Jangan Saling Bersaing (Kemegahan Dunia) (Tujuh Larangan Rasulullah)

DALAM sejarah kita banyak menemukan kisah-kisah manusia yang hidupnya sibuk dalam kemegahan dunia. Perjalanannya adalah perjalanan mengumpulkan harta. Seolah harta yang dimiliki tidak pernah cukup. Namun ironisnya, kebanyakan dari kisah-kisah seperti itu berakhir dengan kehancuran. Salah satu kisah yang paling termahsyur adalah kisah Qarun.

Di dalam surat Al-Qashash [28] ayat 76-82 kisah Qarun dijelaskan secara terang-benderang. Bahwa Qarun adalah sepupu dari Nabi Musa AS, yang diberikan karunia oleh Allah Swt berupa harta yang berlimpah ruah banyaknya. Akan tetapi dengan harta itu ia bersikap takabur dan memamerkan kekayaannya. Sikapnya itu bahkan hampir-hampir saja mencelakakkan umat Bani Israil lainnya dikarenakan mereka merasa iri terhadapnya. Sebelum akhirnya, ia binasa disebabkan sikapnya yang mengkufuri nikmat Allah Swt.

Sungguh, Allah tiada pernah melarang hamba-hamba-Nya untuk bekerja guna mendapatkan harta. Malah, justru giat bekerja adalah bagian dari bentuk kepatuhan terhadap-Nya. Bekerja dengan giat juga salah satu bentuk menghidupkan sunnah Rasul-Nya. Bukankah Rasulullah Saw juga bekerja bahkan sejak usianya sangat belia.

Allah Swt menciptakan alam raya dengan segala kekayaannya ini adalah untuk digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Allah Swt berfirman, Artinya: Dialah yang menjadikan bumi segala hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. (QS. Al Baqarah: 22)

Jelas sudah, bahwa kekayaan ala mini memang diperuntukkan bagi manusia. Allah tidaklah melarang hamba-Nya untuk memiliki bagian dari kekayaan yang berlimpah itu. Akan tetapi yang dilarang oleh-Nya adalah persaingan tidak sehat dalam mendapatan kekayaan dunia. Yang dilarang oleh-Nya adalah bersikap sombong dan kufur atas kekayaannya.

Saat ini bukan hal asing ketika manusia berlomba- lomba mengumpulkan harta kekayaan, kemudian memamerkannya dengan harapan mendapat sanjungan, pujian dan pengakuan bahwa dirinya adalah orang yang kaya raya. Bukan ha lasing pula ketika manusia menghalalkan berbagai macam cara hanya demi memiliki harta. Ada yang korupsi, ada yang mencuri, memalsukan uang hingga mencoba-coba ilmu hitam

Jika memang yang diharapkan dari limpahan kekayaan itu adalah pujian orang. Setelah orang lain memuji kita, maka itusama sekali tak member pengaruh apa-apa. Jika memang yang diharapkan dari limpahan kekayaan itu adalah rasa puas dan bahagia, maka camkanlah bahwa justru semakin berlimpah kekayaan, semakin bertambah pula kegelisahan. Gelisah harta itu dicuri orang, gelisah harta itu berurang dan lain sebagainya.

Saudaraku, marilah kita renungkan pesan Allah Swt yang terkandung dalam surat At Takatsur ini, Artinya: Bermegah-megah telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. Niscaya kamu benar-benarakan melihat neraka jahiim. Dan sesungguhnya kamu enar-benar akan melihatnya dengan ainul yakin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (QS. At Takatsur [102]: 1-8).

Penting untuk selalu kita sadari, bahwa Allah-lah pemilik segala karunia. Dia-lah Yang Maha Memberi kepada seluruh makhluk-Nya. Sedangkan manusia, tidak lebih dari sekedar makhluk yang dititipi oleh-Nya. Sungguh tidak ada artinya apa yang kita miliki dibandingkan kekayaan-Nya.

Menyikapi kekayaan yang kita miliki, alangkah baiknya jika kita memakai teori tukang parker. Seorang tukang pasrkir tidak pernah merasa jumawa, sombong dan ujub atas berbagai kendaraan yang berada di dalam kekuasaannya, karena ia menyadari betul bahwa semua kendaraan itu hanyalah titipan semata yang dating dititipkan kepadanya untuk nanti diambil kembali oleh pemiliknya.

Demikian pula dengan harta kekayaan kita. Tiada lain hanyalah titipan Allah semata. Dia yang Maha Kaya telah menitipkannya kepada kita sebagai ujian apakah kita amanah ataukah tidak. Apakah kita menggunakan titipan- titipan-Nya itu sesuai dengan kehendak-Nya ataukah malah sebaliknya.

Tak perlu sibuk berlomba-lomba dalam kemegahan dan kekayaan. Sibuklah berlomba- lomba dalam berbagi, bersedekah, berwakaf dan amal kebaikan lainnya. Berlomba dalam kemegahan akan berujung di garis finish penyesalan. Sedangkan berlomba dalam kebaikan akan berujung di garis finish kebahagiaan. [smstauhiid/bersambung]

 

KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Jangan Saling Mencari Aib (Tujuh Larangan Rasulullah)

DALAM Al Bidayah wan Nihayah karya Imam Ibnu Katsir disebutkan sebuah kisah. Satu ketika Sufyan bin Husain berkata, Aku pernah menyebutkan kejjelekan seseorang di hadapan Iyas bin Muawiyyah. Lalu ia memandangi wajahku seraya berkata, Apakah engkau pernah ikut memerangi bangsa romawi? Aku menjawab, Tidak.

Ia bertanya lagi, Kalau memerangi bangsa Sind, Hind (India) atau Turki? Aku juga menjawab, Tidak

Kemudian ia berkata, Apakah layak, bangsa Romawi, Sind, Hind dan Turki selamat dari kejelekanmu sementara saudaramu yang muslim tidak selamat dari kejelekanmu?!. Setelah kejadian itu, aku tidak pernah mengulangi lagi berbuat seperti itu.

Saudaraku, setelah kita dilarang untuk saling memata- matai, selanjutnya kita dilarang untuk saling mengumbar aib. Kedua hal ini sangat berkaitan erat. Karena biasanya jikalau kita sudah terjangkit perbuatan buruk gemar memata- matai kehidupan saudara kita maka kita akan terpancing untuk mencari- cari aib keburukannya. Padahal sudah jelas manusia bukanlah makhluk yang bersih dari kesalahan.

Begitu banyak nasihat Rasulullah Saw yang mengingatkan kita bahwasanya sesama muslim itu terdapat ikatan persaudaraan. Ikatan persaudaraan yang nilai atau derajatnya lebih tinggi dibandingkan persaudaraan yang diikat karena pertalian darah, suku bangsa atau negara. Karena persaudaraan sesame muslim itu diikat dengan iman.

Oleh karena itulah sesama muslim dilarang untuk saling menyakiti dengan cara apapun. Baik dengan cara bisikan hati, ucapan lisan, atau perbuatan. Sebaliknya, sesame muslim justru diperintahkan untuk saling mencintai, saling melindungi, saling membela.

Seorang muslim berhak untuk ditabayunkan atas kesalahpahamannya. Seorang muslim berhak untuk dibaiksangkai atas perbuatannya yang dalam pandangan kita adalah keliru. Seorang muslim berhak untuk mendapatkan rasa aman dari perkataan dan perbuatan sesamanya.

Bukankah Rasulullah Saw pernah ditanya tentang siapakah muslim yang paling utama. Kemudian, beliau menjawab, Yaitu orang yang bisa menjaga lisan dan tangannya dari perbuatan buruk terhadap saudaranya. (HR. Bukhari. shahih)

Dalam hadits yang lain, Rasulullah Saw menegaskan bahwa perbuatan mencari-cari aib orang lain apalagi membukanya dan menyebarkannya adalah perbuatan orang yang tidak memiliki iman di dalam hatinnya. Bahkan tergolong kepada golongan orang munafik, karena ciri kemunafikan adalah hanya menyatakan iman dengan ucapan, tanpa menghadirkan iman di dalam hatinya.

Rasulullah Saw bersabda, Wahai sekalian manusia yang beriman dengan lidahnya, (namun) belum masuk iman ke dalam hatinya, janganlah kalian mengumpat orang- orang islam dan janganlah membuka aib mereka. Sesungguhnya orang yang membuka aib saudaranya yang muslim, maka Allah akan membuka aibnya. Dan siapa yang aibnya dibuka oleh Allah, maka Allah akan membukanya sekalipun di dalam rumahnya. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi. Hasan Gharib menurut Imam Tirmidzi).

Jikalau Allah membuka aib-aib kita, maka sungguh tiada seorang pun atau sesuatu apapun yang bisa menutupinya. Tak ada yang bisa menyelamatkan kita. Sedikitpun kita tak akan bisa mengelak. Namun sebaliknya, jikalau Allah menyelamatkan kita sebagai balasan atas sikap kita yang membela, menolong dan menutupi aib sesama muslim, maka sungguh tak ada yang bisa menghalanginya.

Mencari-cari dan membuka aib orang lain adalah perbuatan tercela. Bahkan jangankan aib orang lain, membuka aib diri sendiri saja adalah perbuatan yang dilarang oleh Rasulullah Saw. Beliau bersabda, Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan (melakukan maksiat). Dan termasuk terang-terangan adalah seseorang yang melakukan perbuatan maksiat di malam hari , kemudian di pagi harinya ia berkata: Wahai fulan, kemarin aku telah melakukan ini dan itu- padahal Allah telah menutupnya- dan di pagi harinya ia membuka tutupan Allah atas dirinya. (HR. Bukhari Muslim, Shahih).

Namun, penting untuk dipahami bahwa maksud menutupi aib sesama muslim itu bukan berarti menutup-nutupi perbuatan muslim yang berbuat kezhaliman. Apalagi jika itu adalah perbuatan jahat yang sudah seharusnya diadili dan mendapatkan hukuman. Tolong- menolong hendaknya dilakukan dalam kebaikan, tidak dalam kejahatan.

Khususnya apabila seseorang dimintai kesaksian didepan hukum mengenai perbuatan salah atau jahat saudaranya yang merugikan orang lain bahkan orang banyak, maka wajib baginya untuk memberiksn kesaksian sejujur mungkin, bukan menutup-nutupi kebenaran yang ia ketahui dengan alasan solidaritas, kesetiakawanan atau persaudaraan. Justru, memberikan kesaksian yang sejujurna demi tegaknya keadilan, itu adalah sikap solidaritas dan persaudaraan yang hakiki.

Lantas, bagaimana wujud menutupi aib saudara itu? Misalnya adalah ketika ada beberapa orang membicarakan aib orang lain, maka kita mencegah hal itu dengan cara menegur mereka atau membelikkan pembicaraan secara halus agar mereka tidak kebablasan membicarakan aib orang yang sedang dibicarakan itu.

Demikian juga jika kita mengetahui salah seorang saudara kita memiliki aib berupa perbuatan maksiat yang tidak merugikan orang lain, seperti meminum khamar. Maka, wujud menutupi aibnya itu adalah dengan tidak menceritakannya kepada orang lain. Akan tetapi, tetap menasehati dan mengingatkannya agar bertaubat kepada Allah Swt dan meninggalkan perbuatan maksiatnya itu.

Ada keteladanan yang amat mulia dicontohan oleh Rasulullah Saw. Ketika itu, usai menunaikan shalat Ashar di Masjid Q uba, salah seorang sahabat mengundang Rasulullah dan jamaah singgah ke rumahnya untuk menikmati sajian daging unta. Ketika sedang makan- makan, tiba-tiba tercium aroma kurang sedap. Rupanya ada salah seorang dari yang hadir yang buang angin. Para sahabatpun saling menoleh.

Rasulullah nampak kurang berkenan dengan keadaan itu. Maka, ketika waktu shalat Maghrib hampir tiba, sebelum bubar, Rasulullah Saw berkata, Barangsiapa yang makan daging unta, hendaklah ia berwudhu. Mendengar perintah Rasulullah itu, maka semua yang hadirpun mengambil air wudhu. Sehingga terhindarlah aib orang yang buang angin. Karena jika Rasulullah tidak memberikan perintah tersebut, amat mudahlah hadirin mengetahui siapa yang buang angin tadi.

Tentang aib yang dirahasiakan, ada satu kisah terkenal yang ditulis oleh Syaikh DR. Muhammad Al Ariifi dalam bukunya yang berjudul, Fi Bathni al Hut. Berikut ini kisahnya.

Ketika itu Bani Israil ditimpa musim kemarau yang berkepanjangan. Mereka pun berkumpul mendatangi Nabi mereka. Mereka berkata, Wahai Kalimallah, berdoalah kepada Rabbmu agar Dia menurunkan hujan kepada kami. Maka berangkatlah Nabi Musa bersama kaumnya menuju padang pasir yang luas bersama lebih dari 70 ribu orang. Mulailah mereka berdoa dengan kondisi yang lusuh penuh debu, haus dan lapar.

Musa berdoa, Wahai Tuhan kami, turunkanlah hujan kepada kami, tebarkanlah rahmat-Mu, kasihilah anak- anak dan orang- orang yanmg mengandung, hewan-hewan dan orang-orang tua yang rukuk dan sujud.

Setelah itu langit tetap saja terang benderang. Mataharipun bersinar makin terik. Kemudian, musa berdoa lagi, Wahai Tuhanku berilah kami hujan.

Allah pun berfirman kepada Musa, Bagaimana Aku akan menurunkan hujan kepada kalian sedangkan di antara kalian ada seorang hamba yang bermaksiat sejak 40 tahun yang lalu. Keluarkanlah ia di depan manusia agar dia berdiri di depan kalian semua. Karena dialah, Aku tidak menurunkan hujan untuk kalian.

Maka, Musa pun berteriak di tengah-tengah kaumnya, Wahai hamba yang bermaksiat kepada Allah sejak 40 tahun, keluarlah dihadapan kami, karena engkaulah hujan tak kunjung turun.

Seorang laki-laki melirik ke kanan dan kiri. Tak seorangpun yang keluar di depan manusia, saat itu pula ia sadar kalau dirinyalah yang dimaksud. Ia berkata dalam hatinya, kalau aku keluar ke depan manusia, maka akan terbuka rahasiaku. Kalau aku tidak berterus terang, maka hujanpun tak akan turun.

Maka, kepalanya tertunduk malu dan menyesal. Air matanya pun menetes, sambil berdoa di dalam hati kepada Allah, Ya Allah, aku telah bermaksiat kepadamu selama 40 tahun, selama itu pula Engkau menutupi aibku. Sungguh sekarang aku bertobat kepada- Mu, maka terimalah taubatku.

Belum sempat ia mengakhiri doanya maka awan- awan tebalpun bergumpal. Semakin tebal menghitam lalu turunlah hujan. Nabi Musa pun keheranan dan berkata, Ya Allah, Engkau telah turunkan hujan kepada kami, padahal tak seorang pun yang keluar di hadapan manusia.

Allah berfirman, Aku menurunkan hujan karena seorang hamba yang karenanya hujan tak kunjung turun.

Musa brkata. Ya Allah, tunjukkan padaku hamba yang taat itu.

Lalu Allah berfirman, Wahai Musa, Aku tidak mebuka aibnya padahal ia bermaksiat kepada- Ku, maka apakah Aku akan membuka aibnya sedangkan ia taat (taubat) kepada- Ku?!

Saudaraku, jelas sudah bahwa mencari-cari dan membuka aib orang lain adalah perbuatan yang amat tercela. Semoga kita tergolong orang- orang yang lebih sibuk mencari aib diri sendiri untuk kemudian memperbaikinya. Daripada mencari-cari aib orang lain apalagi tanpa memperbaikinya.

Rasulullah Saw bersabda, Seseorang muslim dengan muslim yang lain adalah bersaudara, dia tidak boleh berbuat dzalim dan aniaya kepada saudaranya. Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa yang membebaskan seorang muslim dari suatu kesulitan, maka Allah akan membebaskannya dari kesulitan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat kelak. (Muttafaq alaih. Shahih). [smstauhiid/bersambung]

 

KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Siapakah Kaum Tubba’ itu?

Kaum Tubba’, dalam Alquran disebutkan sebanyak dua kali

Kaum Tubba’, dalam Alquran disebutkan sebanyak dua kali, pertama dalam surah Ad-Dukhan [44] ayat 37 dan surah Qaaf [50] ayat 14. ‘’Apakah mereka (kaum musyrikin) yang lebih baik ataukah kaum Tubba’ dan orang-orang yang sebelum mereka. Kami telah membinasakan mereka karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berdosa.’’ (QS Ad-Dukhan [44] : 37). ‘’Dan, penduduk Aikah serta kaum Tubba’ semuanya telah mendustakan rasul-rasul, maka sudah semestinya mereka mendapat hukuman yang sudah diancamkan.’’ (QS Qaaf [50] : 14).

Berdasarkan keterangan ayat ini, kaum Tubba’ adalah orang-orang yang menyekutukan Allah (musyrik) dengan yang lain. Selain itu, mereka juga termasuk orang-orang yang mendustakan rasul-rasul Allah yang diutus kepada mereka.

Namun, seperti umat lainnya, kaum Tubba’ mengingkari dan menyekutukan Allah dengan yang lain. Menurut penjelasan sejumlah ahli tafsir, kaum Tubba’ ini adalah orang-orang Himyar yang tinggal di daerah Yaman. Dan, Tubba’ sendiri merupakan gelar raja-raja mereka.

Dr Wahbah Az-Zuhaili dalam At-tafsir al-Muniir fi al-Aqidah wa as-Syriah wa al- Manhaj, ketika menafsirkan surat Ad- Dukhan ayat 37 ini mengatakan, ‘’Maksudnya, apakah mereka orang-orang kafir Quraisy karena mereka itu adalah bangsa Arab dari Adnan, lebih kuat dan lebih tangguh daripada kaum Tubba’ dari Kabilah Himyar. Mereka itu adalah bangsa Arab dari Qahthan yang paling kuat pasukannya, paling banyak jumlahnya, serta memiliki negara, peradaban yang mengakar, dan kejayaan.

Demikian juga, bangsa-bangsa sebelum mereka, seperti bangsa ‘Ad dan Tsamud. Allah telah membinasakan mereka semuanya karena kekafiran dan kejahatan. Jadi, membinasakan kaum yang lebih rendah dari mereka karena kejahatannya, kelemahannya, dan ketidakmampuannya tentu jauh lebih mudah. Mereka (orang-orang kafir Quraisy itu) tidak lebih baik dibanding kaum Tubba dalam jumlah, kekuatan, dan ketangguhan.

Menurut Sami bin Abdullah al-Maghluts dalam bukunya Atlas Sejarah Nabi dan Rasul, kaum Tubba’ ini memiliki peradaban yang sangat maju. Di antara peradaban mereka yang masih bisa disaksikan hingga saat ini berupa tangki-tangki tempat penyimpanan air, termasuk bendungan irigasi untuk pengairan. Kaum Tubba’ ini diperkirakan hidup sekitar seribu tahun sebelum kelahiran Rasulullah SAW, beberapa abad sebelum kelahiran Isa AS bin Maryam.

Sementara itu, menurut Syauqi Abu Kha lil dalam bukunya Atlas Alquran, Tub ba’ adalah gelar yang diberikan kepada raja-raja di negeri al-Himyar di Yaman. Dari sana, mereka dikenal dengan sebutan kaum Tubba’. Orang Tubba’ yang paling terkemuka adalah Hassan bin As’ad bin Abi Karb, yang disebut-sebut sebagai orang yang hidup pada abad ke-10 sebelum masehi (SM).

Ditambahkan Syauqi, Hassan ini Dia telah mengembangkan wilayah kekuasaannya ke berbagai arah. Dia berhasil memperluas kekuasaan sampai ke Syam (Syria) dan Urkistan. Selain itu, dia juga berhasil memasuki Samarkand. Dalam perkembangannya, Tubba’ kemudian menjadikan Kota Ma’rib yang terkenal dengan bendungannya dan Kota Zufar (Zhafar) sebagai ibu kota.

Sedangkan Himyar, menurut Syauqi (dalam Atlas Hadis), adalah keluarga dari Dzul Kala’, yaitu kabilah keturunan Himyar bin Al-Ghauts bin Sa’ad bin ‘Auf bin Himyar bin Saba’ bin Yasyhab. Himyar bin Saba bin Yasyhab adalah Himyar yang agung dan Himyar bin Al-Ghauts adalah Himyar kecil. Permukiman mereka terletak di Yaman, di suatu tempat yang disebut Himyar, sebelah barat Kota Sana’a. (Mu’jam al-Buldan, II/307).

Zhafar adalah kota di negara Yaman dekat Sana’a. Di kota inilah banyak bertempat tinggal raja-raja Himyar. Adapun Zhafar yang terkenal, berada di pantai laut Arav bagian dari daerah sibuk asy-Syihr, dekat Shuhar. Saat ini, ia merupakan salah satu wilayah Negara Oman. Luasnya mencapai 40 ribu kilometer persegi, pusat kotanya Shalalah (970 km dari Muscat). Disana terdapat jutaan tumbuhan kemenyan (Styrax benzoin). (Lihat Al-Qamus al-Is lam, IV/605; dan Mu’jam Al-Buldan, IV/60).

Jejak Kaum Tubba’

Berbagai peninggalan kaum Tubba’ di Himyar, menunjukkan mereka adalah entrepreneur yang andal. Mereka mampu membangun pusat pengairan dan mengalirkannya ke area persawahan. Selain itu air yang melimpah sebagiannya mereka alirkan ke tangki-tangki penampung air untuk kebutuhan di musim kemarau.

Prof Dr M Suyanto, ketua STMIK AMIKOM Yogyakarta, dalam website pribadinya menulis, kaum Tubba’ atau Himyar adalah kaum Homerite yang merupakan kaum di Arab Selatan kuno yang menggantikan kaum Saba. Konon, kaum Himyar (Tubba’) ini sudah mempunyai peradaban sejak tahun 115 SM.

Salah satu peninggalan peradaban mereka adalah bendungan air. Reruntuhan bendungan tersebut terletak di Pegunungan Mudawwar di dekat Yarim. Zhafar (pada masa klasik disebut Sapphar dan Saphar, atau Sephar dalam Kitab Kejadian 10 : 30), kota di bagian dalam semenanjung sekitar 100 mil sebelah timur laut Mukha di atas jalan menuju Shana’a, adalah ibu kota Dinasti Himyar.

Kota itu menggantikan posisi Ma’rib, kota orang-orang Saba, dan Qarnaw, kota orang-orang Minea. Reruntuhannya masih dapat dilihat di puncak bukit dekat Kota Yarim. Pada masa penyusunan The Periplus, rajanya adalah Kariba-il Watar (Charibael, dalam The Periplus).

Kaum Himyar selama beberapa tahun menjadi perantara utama perdagangan antara Afrika dan Mediterania. Kaum Himyar membeli gading dari Afrika dan menjualnya ke daerah kekuasaan Romawi. Kapal kaum Himyar berlayar secara regular ke pantai Afrika Timur dan juga menggunakan pertimbangan kontrol secara politik terhadap kota perdagangan Afrika Timur.

Perdagangan kaum Himyar mulai menurun, setelah adanya dominasi dari kaum Nabasia yang berasal dari utara Hijaz dan superioritas Romawi atas perdagangan laut setelah Romawi menundukkan Mesir, Syiria, dan Utara Hijaz, serta terjadinya peperangan antarsuku di wilayah Himyar.

Mata uang

Bangsa Himyar sudah mempunyai mata uang sendiri, yang terbuat dari emas, perak, dan tembaga dengan menampilkan gambar wajah pada salah satu sisinya dan seekor burung hantu (lambang orangorang Athena) dan kepala banteng di sisi lainnya.

Beberapa uang logam yang lebih tua memuat gambar raja Athena, menunjukkan ketergantungan orang Arab Selatan kepada model-model Athena sejak abad ke-4 sebelum masehi. Di samping uang logam, ditemukan juga sejumlah patung perunggu karya pengrajin Yunani dan Sasaniyah dalam penggalian di Yaman.