Hukum Shalat Sunnah Dua Raka’at Ihram

Tentang shalat sunnah dua raka’at ihram, para ulama berselisih pendapat tentang disyariatkannya shalat tersebut. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat dianjurkannya (baca: sunnah) shalat dua rakaat ihram sebelum memulai talbiyah sebagai tanda memulai rangkaian manasik haji atau umrah.

Di antara dalil yang dipakai oleh jumhur ulama adalah hadits yang diriwayatkan dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

َسَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَادِي العَقِيقِ يَقُولُ: أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّي، فَقَالَ: صَلِّ فِي هَذَا الوَادِي المُبَارَكِ ، وَقُلْ: عُمْرَةً فِي حَجَّةٍ

“Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di lembah Al-‘Aqiq, beliau berkata, “Malaikat yag diutus oleh Rabbku datang kepadaku dan berkata, “Shalatlah di lembah yang penuh berkah ini dan katakanlah, “Aku berniat melaksanakan ‘umrah dalam ibadah haji ini.” (HR. Bukhari no. 1534)

Jumhur ulama mengatakan bahwa berdasarkan hadits ini, dianjurkan untuk shalat sunnah (khusus) dua raka’at sebelum memulai ihram(Majmu’ Fataawa Ibnu Baaz, 17: 68-69)

Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa tidak terdapat dalil yang menunjukkan disyariatkannya shalat sunnah dua rakaat ihram, yaitu shalat sunnah khusus dua raka’at yang dikerjakan oleh jamaah haji atau umrah sebelum memasuki rangkaian manasik haji atau umrah.

Yang terdapat dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau memulai ihram setelah shalat fardhu (yaitu shalat dzuhur) di Dzul Hulaifah (sekarang disebut Bir ‘Ali), kemudian beliau mulai berihram. Dzul Hulaifah adalah miqat jamaah haji yang datang dari arah Madinah. Oleh karena itu, dianjurkan untuk memulai ihram setelah melaksanakan shalat fardhu, jika hal itu memungkinkan (mudah) baginya.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala berkata,

َينلأمته صلاة للإحرام لا بقوله ولا بفعله ولا بإقربغي أن نعلم أن الإحرام ليس له صلاة فإنه لم يرد عن النبي صلى الله عليه وسلّم أنه شرع اره.

“Hendaknya diketahui bahwa ihram itu tidak memiliki shalat tertentu (yang dikerjakan sebelum ihram, pent.). Karena tidak terdapat dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mensyariatkan untuk umatnya shalat ihram, baik dengan perkataan, perbuatan, atau dengan persetujuannya.” (60 Su’aalan fi Ahkaamil Haidh wan Nifaas, hal. 43)

Beliau rahimahullahu Ta’ala juga menjelaskan,

َوذهب شيخ الإسلام ابن تيمية ـ رحمه الله ـ إلى أن ركعتي الإحرام لا أصل لمشروعيتهما، وأنه ليس للإحرام صلاة تخصه لكن إن كان في الضحى، فيمكن أن يصلي صلاة الضحى ويحرم بعدها، وإن كان في وقت الظهر، نقول: الأفضل أن تمسك حتى تصلي الظهر، ثم تحرم بعد الصلاة، وكذلك صلاة العصر. وأما صلاة مستحبة بعينها للإحرام، فهذا لم يرد عن النبي صلّى الله عليه وسلّم وهذا هو الصحيح.

“Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala berpendapat bahwa tidak terdapat dalil yang menunjukkan disyariatkannya shalat dua raka’at ihram. Ihram tidak memiliki shalat khusus sebelumnya. Akan tetapi, jika seseorang berada di waktu dhuha, dan memungkinkan baginya untuk shalat dhuha dan memulai ihram setelahnya, meskipun dia ihram di waktu dhuhur, maka kami katakan bahwa yang lebih baik adalah menunggu sampai tiba waktu dhuhur, kemudian memulai ihram setelah shalat dzuhur. Demikian pula untuk shalat ashar. Adapun shalat sunnah khusus untuk memulai ihram, maka tidak terdapat dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah pendapat yang shahih.” (Asy-Syarhul Mumti’, 7: 69)

Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Adapun shalat sebelum ihram, maka pendapat yang benar adalah ihram itu tidak memiliki shalat khusus. Akan tetapi, jika bertepatan dengan waktu shalat fardhu, maka dia ihram setelah shalat fardhu tersebut. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai talbiyah pertama setelah shalat fardhu (yaitu shalat dzuhur, pent.).” (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, hal. 198)

Ibnul Qayyim rahimahullahu Ta’ala berkata,

َولم ينقل عنه أنه صلى للإحرام ركعتين غير فرض الظهر.

“Tidaklah dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shalat dua raka’at untuk ihram, kecuali shalat dzuhur.” (Zaadul Ma’aad, 2: 101)

Adapun sebagai sanggahan terhadap hadits yang dipakai sebagai dalil oleh jumhur ulama, perkataan malaikat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Shalatlah di lembah yang penuh berkah ini” tidaklah menunjukkan diperintahkannya shalat sunnah dua raka’at ihram. Karena kalimat ini mengandung kemungkinan yang lain, yaitu melaksanakan shalat wajib (shalat fardhu) yang lima, dan bukan shalat sunnah dua raka’at ihram.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz rahimahullahu Ta’ala berkata,

َوكونه أحرم بعد الفريضة لا يدل على شرعية ركعتين خاصة بالإحرام وإنما يدل على أنه إذا أحرم بالعمرة أو بالحج بعد صلاة ، يكون أفضل إذا تيسر ذلك .

“Adapun yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berihram setelah shalat wajib, hal ini tidak menunjukkan disyariatkannya dua raka’at khusus sebelum ihram. Hal tersebut hanyalah menunjukkan bahwa jika seseorang berihram untuk umrah atau haji setelah shalat wajib, itulah yang lebih baik (lebih afdhal) ketika mudah (memungkinkan) baginya untuk mengerjakannya.” (Majmu’ Fataawa Ibnu Baaz, 17: 69)

Bagaimana jika diniatkan sebagai shalat sunnah setelah wudhu’?

Terdapat pertanyaan yang ditujukkan kepada Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala, “Jika seseorang berwudhu dan kemudian shalat dua raka’at setelah wudhu, bukankah hal ini disyariatkan?”

Beliau rahimahullahu Ta’ala menjawab,

َنعم مشروعة، وعلى هذا فنقول: أنت إذا اغتسلت وتوضأت فصلِّ ركعتين سنة الوضوء، ولكن يبقى النظر إذا كان ليس من عادته في غير هذا المكان أن يصلي ركعتي الوضوء، فأراد أن يصلي هنا، أليس سوف يشعر في نفسه أن هذه الصلاة من أجل الإحرام؟ أو على الأقل من أجل الاشتراك بين الإحرام والوضوء؟
الجواب: هذا هو الظاهر، ولذلك نقول: إذا كان سيبقى الإنسان في الميقات حتى يأتي وقت الفريضة، فالأفضل أن يهل بعد الفريضة.

“Betul bahwa ini perkara yang disyariatkan. Oleh karena itu kami katakan, jika Engkau mandi dan berwudhu, shalatlah sunnah dua raka’at wudhu’. Akan tetapi, terdapat ganjalan bagi mereka yang tidak memiliki kebiasaan untuk shalat sunnah wudhu selain di tempat ini (yaitu miqat jama’ah haji dan umrah, pent.), kemudian ingin shalat sunnah wudhu di tempat (miqat) tersebut. Tidakkah akan muncul dalam dirinya bahwa shalat ini dia kerjakan dalam rangka ihram? Atau minimal karena adanya irisan (pertemuan) antara ihram dan wudhu’? Jawabannya, inilah yang lebih tampak (dzahir). Oleh karena itu kami katakan, jika seseorang berada di miqat sampai tiba waktu shalat wajib, maka yang lebih afdhal adalah memulai ihram setelah shalat fardhu.” (Asy-Syarhul Mumti’, 7: 69)

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/46447-hukum-shalat-sunnah-dua-rakaat-ihram.html

10 Kiat Istiqomah (Bag.17)

Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqomah (Bag.16)

(Lanjutan kaedah kesembilan)

Mengikuti syahwat dan syubhat adalah induk penyakit yang merusak kekuatan hati!

Adapun induk penyakit yang merusak keimanan seorang hamba adalah mengikuti syahwat dan syubhat.

Allah Ta’ala mensucikan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dari dua induk penyakit ini, Allah Ta’ala berfirman :

وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَىٰ

(1) Demi bintang ketika terbenam.

مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَىٰ

(2) kawanmu (Nabi Muhammad) tidak sesat dan tidak pula menyimpang. [Q.S. An-Najm: 1-2].

Dua penyakit yang ditiadakan dari diri Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ayat yang mulia tersebut adalah penyakit sesat (dholal) atau mengikuti syahwat dan menyimpang (ghoy) atau mengikuti syubhat.

Allah Ta’ala berfirman tentang adanya penyakit syubhat:

فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

(10) Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. [Q.S. Al-Baqarah: 10].

Pakar Tafsir dikalangan tabi’in : Mujahid dan Qotadah rahimahumallah menafsirkan “penyakit dalam hati” dalam ayat yang mulia tersebut, yaitu : keraguan, dan ini termasuk penyakit syubhat.

Dan Allah Ta’ala pun berfirman tentang adanya penyakit mengikuti syahwat :

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ ۚ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا

(32) Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. [Q.S. Al-Ahzaab: 32].

Ikrimah rahimahullah menafsirkan “penyakit dalam hati” dalam ayat yang mulia tersebut yaitu : syahwat zina. Hal ini menunjukkan adanya penyakit syahwat yang merusak hati.                                                                                                    

Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya Ighotsatul Lahfan min Mashaidisy Syaithan kembali menjelaskan :

جماع أمراض القلب هي: أمراض الشبهات وأمراض الشهوات، والقرآن شفاء للنوعين

“Induk penyakit hati adalah penyakit mengikuti syahwat dan penyakit mengikuti syubhat, sedangkan dalam Al-Qur`an terdapat obat bagi dua macam induk penyakit tersebut!” 

Beliau juga menerangkan :

والفتن التي تعرض على القلوب هي أسباب مرضها، وهي فتن الشهوات و فتن الشبهات، فتن الغي و الضلال، فتن المعاصي و البدع، فتن الظلم و الجهل.
فالأولى توجب فساد القصد و الإرادة، و الثانية توجب فساد العلم و الاعتقاد

“Fitnah yang terpampang kepada hati itulah yang merupakan sebab hati berpenyakit, yaitu : fitnah syahwat, dan fitnah syubhat, (yaitu) fitnah menyimpang (syubhat) dan sesat (syahwat), fitnah maksiat (syahwat) dan bid’ah (syubhat), fitnah kezholiman (syahwat) dan kebodohan (syubhat).

Fitnah pertama (fitnah syahwat) menjerumuskan kepada kerusakan tujuan dan kehendak, adapun fitnah yang kedua (fitnah syubhat) menjerumuskan kepada kerusakan ilmu dan keyakinan”

Penyakit mengikuti syahwat itu akan menjerumuskan seseorang kedalam kerusakan amal, sedangkan syubhat itu mengelincirkan seseorang dari jalan yang lurus dengan kerusakan ilmu yang ada dalam dirinya.

(Bersambung, in sya Allah)

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47675-10-kiat-istiqomah-bag-17.html

10 Kiat Istiqamah (16)

Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqamah (15)

Dalil tentang kekuatan hati

Banyak dalil yang menunjukkan adanya kekuatan hati berupa kekuatan ilmiah dan amaliah, seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 1-5, 186, dan 177, Al-A‘raaf: 157, serta surat Al-Ashr. Berikut ini penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah tentang surat Al-Ashr,

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Dengan hanya menyebut setiap nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

وَالْعَصْرِ

(1) Demi masa.

إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ

(2) Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,

إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

(3) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan surat tersebut,

فأقسم سبحانه وتعالى بالدهر الذى هو زمن الأعمال الرابحة والخاسرة، على أن كل واحد فى خسر، إلا من كمل قوته العلمية بالإيمان بالله، وقوته العملية بالعمل بطاعته. …… فكمل نفسه بالعلم النافع والعمل الصالح، وكمل غيره بتعليمه إياه ذلك، ووصيته له بالصبر عليه

Allah subhanahu wa ta‘ala (dalam surat ini) bersumpah dengan masa yang merupakan waktu untuk beramal, baik amal yang menguntungkan maupun yang merugikan (pelakunya) bahwa setiap orang berada dalam kerugian, kecuali orang yang menyempurnakan kekuatan ilmiah dengan beriman kepada Allah dan menyempurnakan kekuatan amaliah dengan taat kepada-Nya. Maka ia menyempurnakan dirinya dengan ilmu yang bermanfaat dan beramal shalih, serta menyempurnakan orang lain dengan mengajarkan kepadanya hal itu, dan berwasiat kepadanya dengan bersabar atas hal itu.

Ucapan emas bagi orang yang menyayangi hatinya agar bisa istiqamah

Ibnul Qayyim rahimahullah bertutur dalam Ighatsatul Lahfan min Mashaidisy Syaithan, hal. 22, “Hendaknya (seorang hamba) ketahui bahwa kedua kekuatan (hati) ini tidak pernah berhenti beraktifitas, bahkan (kemungkinan yang ada) yaitu:

  1. Jika tidak ia gunakan kekuatan ilmiahnya untuk mengenal kebenaran dan mencarinya, maka ia akan gunakan kekuatan tersebut untuk mengetahui sesuatu yang selaras dan cocok dengan kebatilan.
  2. Begitu pula, jika tidak ia gunakan kekuatan kehendak amalnya untuk beramal shalih, maka ia akan gunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan amal shalih.

Jadi, (Kesimpulannya) bahwa manusia itu, secara tabiat, disifati dengan harits dan hammam, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ta’ala ‘alaihi wa alihi wa sallam,

أَصْدَقُ الأَسْمَاءِ: حَارِثٌ وَهَمَّامٌ

“Nama yang paling jujur adalah Harits dan Hammam.

Harits adalah orang yang (suka) beraktifitas. Sedangkan hammam adalah orang yang banyak berkeinginan/selera ham. Karena sesungguhnya jiwa itu sifatnya dinamis dan gerakannya sesuai kehendak jiwa itu. Hal ini adalah bagian dari konsekuensi dzatnya.

Sedangkan kehendak itu mengharuskan bahwa sesuatu yang dikehendaki akan tergambar pada jiwanya dan memiliki keistimewaan tersendiri menurut jiwanya. Jadi, jika jiwa (manusia) tidak menggambarkan kebenaran, mencarinya dan menghendakinya, maka akan menggambarkan kebatilan, mencarinya dan menghendakinya. Dan itu pasti!”

Setelah kita mengetahui penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah maka dapat disimpulkan bahwa keistiqamahan seorang hamba dipengaruhi oleh dua kekuatan hati tersebut, karena apabila kekuatan hati itu baik, maka baik pula ucapan dan amalan seluruh anggota tubuh lainnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ

Ingatlah seseungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik, maka baik pula seluruh jasad, dan apabila segumpal daging itu rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati” (Hadits dalam Shahihain).

Sebaliknya, apabila dua kekuatan hati itu rusak, maka hal itu akan merusak keistiqamahan seorang hamba, dan ketahuilah bahwa syahwat dan syubhat adalah induk penyakit yang merusak dua kekuatan hati.

[Bersambung]

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/33598-10-kiat-istiqamah-16.html

Lansia Naik Haji dengan Modal Menabung Rp 30 Ribu

Tingginya biaya ibadah haji, plus daftar tunggu yang begitu lama bagi masyarakat Indonesia ke Tanah Suci Makkah, Arab Saudi tidak menyurutkan keinginan banyak umat Muslim di Banua Kalimantan Selatan untuk bisa berangkat menunaikan Rukun Islam kelima itu. Materi pun tak jadi halangan. Dengan niat lurus ingin jadi tamu Allah SWT beribadah menatap Ka’bah secara langsung, ternyata ada saja jalan dan rezekinya.

Seperti yang dilakukan Ibu bernama Inar Amit Undal. Lansia yang pada 19 Oktober 2019 nanti genap berusia 85 tahun ini hanya mengumpul uang dari hasil berjualan di kantin sekolah, akhirnya bisa berhaji tahun ini.

“Saya menabung Rp30 ribu sehari dari hasil jualan. Setelah terkumpul Rp25 juta, saya lakukan setoran awal daftar haji pada tahun 2016,” kata Mama Idil, begitu biasa dia kerap disapa di kampung tempat tinggalnya.

Mama Idil pun terbilang sangat beruntung. Doanya untuk bisa berhaji di sisa masa hidupnyadiijabah oleh Allah SWT. Betapa tidak, jika sesuai daftar tunggu haji di Kalsel saat ini 31 tahun, maka seharusnya dia mendapat giliran berangkat pada tahun 2047 nanti. Tentu waktu yang sangat lama dan rasanya kecil peluang untuknya yang sudah lansia.

Namun, tidak ada yang mustahil di dunia, sepanjang ada niat pasti ada jalan. Rezeki untuk beribadah haji pun datang menghampirinya. Dimana ada kuota tambahan untuk haji Indonesia keberangkatan 2019 sebanyak 10 ribu jamaah, setelah Pemerintah Arab Saudi memberikannya setelah Presiden RI Joko Widodo bertemu dengan Raja Kerajaan Arab Saudi, Raja Salman di Istana Al-Qahr al-Khas di Riyadh pada 14 April 2019.

Sang anak bungsu, Badrun tiba-tiba dihubungi petugas Kantor Kementerian Agama Kota Banjarmasin pada Ramadhan lalu yang memberitahukan bahwa ibunda tercinta termasuk dalam kuota tambahan untuk berangkat tahun ini.

Uang tabungan yang dikumpulkannya pun dibuka dan dihitung untuk segera melunasi sisa biaya haji reguler yang tahun ini Rp 37.885.084.

“Alhamdulilah uangnya cukup dan saya bisa melunasi,” tutur wanita kelahiran Desa Masukau Luar, Kecamatan Murung Pudak, Kabupaten Tabalong ini saat ditemui di kantin MAN 3 Banjarmasin, tempatnya berjualan makanan ringan dan aneka minuman instan khas kantin sekolah.

Sebelum mulai berjualan secara menetap di kantin sekolah sejak 2005, wanita yang memiliki enam anak ini hanya jadi pedagang kue tradisional Banjar secara keliling dari kampung ke kampung sekitar rumahnya Jalan Sutoyo S Komplek Hidayatullah RT 30 Banjarmasin Tengah.

Lantaran kerap menitipkan dagangannya di kantin sekolah, dia pun mendapat tawaran untuk menggunakan satu blok kantin sekolah berukuran tidak lebih dari 1,5 meter persegi untuk berjualan. Alhasil, sejak saat itulah Mama Idil berjualan dengan dibantu anaknya.

Sepeninggal sang suami, Jamhari (alm) 17 tahun silam, Mama Idil memang harus banting tulang bekerja mencari nafkah. Niatnya pun hanya satu yaitu ingin naik haji.

“Mama memang niatnya kuat mau naik haji dan hasil untung berjualan beliau tabung terus,” ujarBadrun, sang anak yang kerap membantu ibunya berjualan.

Badrun mengungkapkan jika ibunya rajin shalat malam untuk Tahajut dan puasa Senin Kamis. Lantunan bacaan shalawat juga terus mengalir di bibir sang ibunda.

“Alhamdulilah beliau juga sangat sehat. Mengangkat air dua ember saja masih kuat. Insya Allah beliau dapat mengikuti seluruh rangkaian ibadah haji nanti dan kembali dengan selamat menjadi haji mabrur,” tandasnya.

Atas keberangkatan ibunya, Badrun menyampaikan terima kasih tak terhingga kepada Allah SWTdan Presiden RI Joko Widodo yang telah berhasil memperjuangkan tambahan kuota haji, sehingga para calon jamaah haji kategori lansia seperti ibunya dapat terpilih untuk berangkat tahun ini.

Ditemui terpisah, Kasi Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kantor Kementerian Agama Kota Banjarmasin H Burhan Noor mengatakan, Mama Idil termasuk dalam kloter 19 yang akan masuk Asrama Haji pada tanggal 3 Agustus 2019 dan berangkat ke Tanah Suci hari berikutnya.

Burhan juga menjelaskan terkait kuota tambahan, dimana dari 10.000 jamaah, Kalsel mendapatkan jatah 324 orang dan termasuk di dalamnya untuk Kota Banjarmasin 58 orang.

Adapun kategori terseleksi dijatah 50 persen untuk urut umur paling tua hingga ke bawah sampai 75 tahun dan 50 persen nomor porsi selanjutnya.Berita Terkait

“Setelah ada kepastian tambahan kuota, lalu dibuka pelunasan tahap ketiga dan ada 49 orang melunasi dengan rincian 30 lansia dan pendamping serta 19 orang untuk nomor porsi selanjutnya. Kemudian masih ada tersisa dari jatah 324 orang tadi, ditambah lagi sembilan orang terdiri dari empat lansia dan lima orang nomor porsi selanjutnya,” kata Burhan sembari mengatakan jika tahun ini total untuk kota Banjarmasin 690 jamaah calon haji yang berangkat.

Berdasarkan data Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Selatan, calon jamaah haji yang terdaftar melakukan setoran awal haji sebanyak 118 ribu orang. Itu artinya, masa tunggu jika daftar sekarang, maka perkiraan 31 tahun baru dapat giliran berangkat.

Agar Jamaah Haji tak Mudah Lelah

Direktur Utama Rumah Sakit Haji Jakarta, dr. Syarief Hasan Luthfie (SHL) memberikan tips kepada jamaah haji Indonesia agar tidak mudah lelah saat akan melaksanakan ibadah haji. Menurut dia, agar tidak mudah lelah jamaah haji perlu meningkatkan endurance (daya tahan), bahkan sejak berada di tanah air. 

“Agar jamaah haji tidak mudah lelah ya dengan meningkatkan endurance,” ujar dr. Syarief saat menjadi pembicara dalam acara seminar Temu Ilmiah Nasional II Perhimpunan Kedokteran Haji Indonesia di Puspitek Serpong, Tangerang Selatan, Sabtu (20/7). 

Dia menjelaskan, latihan kontinyu merupakan salah satu jenis latihan endurance. Menurut dia, latihan kontinyu tersebut termasuk jenis latihan aerobik yang menyebabkan perubahan pada otot rangka dan sistem kardiorespirasi.

“Latihan secara kontinyu juga dapat meningkatkan kemampuan mengonsumsi oksigen,” ucapnya.

Untuk meningkatkan endurance, jamaah haji bisa berolarhaga dengan latihan berjalan kaki. Menurut dia, untuk berjalan kaki dengan benar, maka yang pertama kali harus menyentuh tanah adalah tumitnya dan kemudian menapak. Setelah itu, jempol kakinya digunakan untuk mengungkit.

“Frekuensi latihan tergantung tingkat kebugaran seseorang yang dapat ditentukan berdasarkan uji jalan enam menit,” kata dokter spesialis fisik dan rehabilitasi medik ini.

Selain itu, jamaah haji juga bisa menggunakan Sandal Kesehatan Haji dan Umrah yang diciptakan oleh dr. Syarief. Sandal ini didesain khusus untuk mengganjal lengkungan di kaki, sehingga membuat jamaah haji tidak mudah lelah. 

“Menggunakan sandal kesahatan ini agar tidak mudah kenak kecapekan ototnya, sehingga endurance otot dan endurance jantungnya juga bagus,” jelasnya.

Sandal kesehatan ini juga dipamerkan dalam acara Temu Ilmiah Nasional II Perhimpunan Kedokteran Haji Indonesia. Setelah dr. Syarief menyampaikan manfaat sandal kesehatan tersebut, peserta acara itu pun banyak yang segera membelinya ke stan sandal kesehatan. Sandal kesehatan haji tersebut dijual dengan harga Rp 400 ribu.

IHRAM


Hindari Antrian Bus, Jemaah Diimbau Tidak Langsung Pulang Usai Shalat di Haram

Makkah (Kemenag) — Jemaah haji Indonesia di Makkah semakin banyak. Selain dari Madinah, mulai hari ini, jemaah haji Indonesia juga sudah datang dari Tanah Air melalui King Abdul Aziz International Airport (KAAIA) Jeddah.

Hingga sore ini, lebih 31ribu jemaah yang sudah berada di Kota Kelahiran Nabi. Antrian bus shalawat di terminal pun kerap terjadi, utamanya setelah selesai jemaah Isya dan Subuh.

“Kami imbau, jemaah tidak bergegas pulang secara bersamaan usai salat berjemaah. Manfaatkan waktu untuk beribadah di Masjidil Haram kurang lebih hingga setengah jam usai salat sehingga jemaah tidak menumpuk di terminal,” terang Kadaker Makkah Subhan Cholid di Syisyah, Sabtu (20/07).

Menurutnya, sampai hari ini, Daker Makka sudah mengoperasikan 111 bus shalawat untuk melayani jemaah haji Indonesia beribadah di Masjidil Haram. Jumlah ini akan terus ditambah secara bertahap sesuai proporsi jumlah jemaah yang sudah ada di Makkah.

“Total kami akan siapkan 419 armada dan 31 bus cadangan pada fase puncak kepadatan jemaah haji Indonesia di Makkah,” lanjutnya.

Dijelaskan Subhan, bus shalawat melayani seluruh rute jemaah haji Indonesia selama 24 jam, sehingga jemaah tidak perlu khawatir tidak mendapat layanan. Ada 9 rute bus dengan 56 halte terdekat hotel jemaah, serta tiga terminal di sekitar Masjidil Haram,  yaitu: Terminal Bus Jiad, Syib Amir, dan Bab Ali, semuanya beroperasi 24 jam.

“Jangan langsung pulang secara bersamaan usai jemaah di Haram, agar tidak terjadi penumpukan di terminal,” imbau Subhan.

Disinggung soal kekurangan armada, Subhan menjelaskan penggunaan bus shalawat sudah dihitung secara proporsional dan memperhatikan kepadatan lalu lintas di Makkah. Penambahan armada secara tidak terukur, justru berpotensi menambah kemacetan di Makkah. Sebab, ke depan akan semakin banyak jemaah haji dari berbagai negara yang tiba di Makkah.

KEMENAG RI

10 Kiat Istiqomah (15)

Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqomah (14)

Kiat Kesembilan

Penghalang istiqamah adalah syubhat yang menyesatkan, atau syahwat yang menggelincirkan”

Seorang hamba yang meniti jalan lurus akan menyimpang dari jalan tersebut dengan salah satu dari dua perkara, yaitu syubhat yang menyesatkan, atau syahwat yang menggelincirkan, karena keduanya merupakan penghalang keistiqamahan seseorang. Perhatikanlah. Bahwa setiap orang yang menyimpang dalam beragama Islam, pastilah karena penyakit mengikuti syahwat atau tekena penyakit syubhat.

Dua Kekuatan Hati yang Harus Dijaga

Hati memiliki dua kekuatan, yaitu kekuatan ilmu, dan kekuatan kehendak yang membuahkan amal. Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Ighatsatul Lahfan min Mashaidisy Syaithan,

لما كان فى القلب قوتان: قوة العلم والتمييز، وقوة الإرادة والحب. كان كماله وصلاحه باستعمال هاتين القوتين فيما ينفعه، ويعود عليه بصلاحه وسعادته.

Tatkala dalam hati terdapat dua kekuatan hati, yaitu:

  1. Kekuatan mengetahui dan membedakan (quwwatul ‘ilmi wat tamyiz).
  2. Kekuatan kehendak dan cinta (quwwatul iradah wal hubb).

maka kesempurnaan dan kebaikan hati itu diperoleh dengan menggunakan dua kekuatan ini dalam perkara yang bermanfaat bagi hati dan dalam perkara yang kebaikan dan kebahagiaan hati tersebut kembali kepadanya”.

Lalu beliau rahimahullah menyatakan,

أن حياة القلب وصحته لا تحصل إلا بأن يكون مدركا للحق مريدا له، مؤثرا له على غيره.

“Bahwa kehidupan hati dan kesehatannya tidak akan diperoleh kecuali dengan mengenal kebenaran (kekuatan ilmiyah) lagi menginginkannya serta memilihnya, mengalahkan selainnya (kekuatan kehendak atau kekuatan amaliah).”

Oleh karena itu selayaknyalah seorang hamba yang ingin istiqamah dalam meniti jalan yang lurus benar-benar menggunakan kekuatan hatinya dengan sebaik-baiknya.

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan kepada kita bagaimana cara menggunakan kekuatan hati pertama, yaitu kekuatan mengetahui dan membedakan (quwwatul ‘ilmi wat tamyiz).

فكماله باستعمال قوة العلم فى إدراك الحق، ومعرفته، والتمييز بينه وبين الباطل

“Kesempurnaan hati diperoleh dengan menggunakan kekuatan ilmu untuk menemukan dan mengenal kebenaran (dengan baik) serta membedakan antara kebenaran dengan kebatilan (dengan baik).”

Adapun tentang cara menggunakan kekuatan hati kedua:

kekuatan kehendak dan cinta (quwwatul iradah wal hubb),

وباستعمال قوة الإرادة والمحبة فى طلب الحق ومحبته وإيثاره على الباطل

“(Kesempurnaan hati diperoleh) dengan menggunakan kekuatan kehendak dan cinta dalam mencari kebenaran dan mencintainya serta memilihnya, mengalahkan selainnya.”

(Bersambung)

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/33594-10-kiat-istiqomah-15.html

10 Kiat Istiqomah (14)

Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqomah (13)

(Lanjutan kaedah kedelapan)

Apa yang disampaikan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Madarijus Salikin, bahwa tingkat kecepatan dan kesuksesan dalam melintasi Ash-Shirath (Jembatan) pada hari kiamat berdasarkan amal pelintasnya dan berdasarkan keistiqamahannya dalam berpegang teguh dengan Ash-Shirathul Mustaqim di dunia, hal ini sesuai dengan kandungan hadits berikut ini,

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْل الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((وَتُرْسَلُ الْأَمَانَةُ وَالرَّحِمُ فَتَقُومَانِ جَنَبَتَيْ الصِّرَاطِ يَمِينًا وَشِمَالًا فَيَمُرُّ أَوَّلُكُمْ كَالْبَرْقِ))، قَالَ : قُلْتُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي أَيُّ شَيْءٍ كَمَرِّ الْبَرْقِ ؟ قَالَ: ((أَلَمْ تَرَوْا إِلَى الْبَرْقِ كَيْفَ يَمُرُّ وَيَرْجِعُ فِي طَرْفَةِ عَيْنٍ؟ ثُمَّ كَمَرِّ الرِّيحِ ثُمَّ كَمَرِّ الطَّيْرِ وَشَدِّ الرِّجَالِ تَجْرِي بِهِمْ أَعْمَالُهُمْ وَنَبِيُّكُمْ قَائِمٌ عَلَى الصِّرَاطِ يَقُولُ رَبِّ سَلِّمْ سَلِّمْ حَتَّى تَعْجِزَ أَعْمَالُ الْعِبَادِ حَتَّى يَجِيءَ الرَّجُلُ فَلَا يَسْتَطِيعُ السَّيْرَ إِلَّا زَحْفًا قَالَ وَفِي حَافَتَيْ الصِّرَاطِ كَلَالِيبُ مُعَلَّقَةٌ مَأْمُورَةٌ بِأَخْذِ مَنْ أُمِرَتْ بِهِ فَمَخْدُوشٌ نَاجٍ وَمَكْدُوسٌ فِي النَّارِ)) رواه مسلم.

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Lalu diutuslah amanah dan rahim (tali persaudaraan). Keduanya berdiri di samping kiri-kanan shirath tersebut. Orang yang pertama lewat seperti kilat.’ Aku bertanya, ‘Dengan bapak dan ibuku (aku korbankan) demi engkau. Adakah sesuatu seperti kilat?’ Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidakkah kalian pernah melihat kilat bagaimana ia lewat dalam sekejap mata?’ Kemudian ada yang melewatinya seperti angin, kemudian seperti burung, dan seperti larinya orang. Mereka berjalan sesuai dengan amalan mereka. Nabi kalian waktu itu berdiri di atas shirath sambil berkata, ‘Ya Allah selamatkanlah, selamatkanlah. Kemudian ada para hamba yang lemah amalannya, sampai-sampai datang seseorang yang tidak bisa lewat kecuali dengan merangkak.’ Beliau menuturkan (lagi), ‘Di kedua tepi shirath terdapat besi pengait yang bergantungan untuk diperintahkan menyambar siapa saja yang diperintahkan untuk disambar. Maka ada yang terkoyak namun selamat dan ada pula yang dijerumuskan ke dalam neraka’” (HR. Muslim).

Pada Dua Sisi Ash-Shirath Tergantung Banyak Pengait yang Menyambar Orang-Orang yang Sewaktu Di Dunia Tersambar Syubhat dan Syahwat

Ketahuilah bahwa kedua sisi Ash-Shirath tergantung banyak pengait-pengait yang menyambar. Bentuknya seperti batang besi pengait daging, berujung bengkok, dan berkawat duri sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Muttafaqun ‘alaihi di atas. Karena balasan itu sejenis dengan amalan, maka pengait-pengait di kedua sisi Ash-Shirat (jembatan) tersebut pun akan menyambar orang-orang yang sewaktu di dunia tersambar oleh syubhat dan syahwat. Berkenaan dengan hal ini, Syaikh Abdur Razzaq rahimahullah mengutarakan,

مَن كانَ في هذه الحياة الدُّنيا تَخطَفُه الشُّبهات عن الصِّراط المستقيم ، وتَخطَفُه الشَّهواتُ عن الصِّراط المستقيم ، فأيضاً الكلاليبُ الَّتي على جَنبَتي الصِّراط يوم القيامة تخطفه مثلَ ما خطفَته الشُّبهات والشَّهوات في هذه الحياة الدُّنيا

“Maka barangsiapa yang di kehidupan dunia ini disambar oleh syubhat sehingga terhalangi dari meniti jalan yang lurus, dan disambar oleh syahwat sehingga terhalangi dari meniti jalan yang lurus (pula), maka pengait-pengait yang berada di atas sisi  jembatan (Ash-Shirath) pada hari Kiamat itu akan menyambarnya semisal sambaran syubhat dan syahwat yang menyambarnya di kehidupan dunia ini.”

(Bersambung)

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/33591-10-kiat-istiqomah-14.html

10 Kiat Istiqamah (13)

Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqamah (12)

KAEDAH KEDELAPAN “Buah Istiqamah di Dunia adalah Istiqamah di atas Jembatan (Ash-Shirath) pada Hari Kiamat”

“Buah istiqamah di dunia adalah istiqamah di atas jembatan (Ash-Shirath) pada hari Kiamat”, maksudnya adalah barangsiapa yang diberi petunjuk sewaktu di dunia hingga ia berhasil meniti Ash-Shirathul Mustaqim (Syariat Islam) dan istiqamah di atasnya, maka ia akan berhasil meniti jembatan (Ash-Shirath) di akhirat.”

Hal ini sesuai dengan kaidah dalam Al-Qur`an Al-Jaza` min jinsil ‘Amal bahwa balasan itu sejenis dengan amal yang diperbuat. Tatkala amalan seseorang adalah istiqamah di dunia, maka iapun memetik buahnya berupa istiqamah di akhirat. Ketika ia berhasil meniti Ash-Shirath yang lurus di dunia, maka iapun berhasil meniti Ash-Shirath di akhirat.

Di akhirat kelak, akan dibentangkan jembatan (Ash-Shirath) di atas neraka Jahannam. Ciri khas jembatan tersebut lebih tajam daripada pedang dan lebih tipis daripada rambut. Manusia diperintahkan melewatinya. Berhasil atau tidaknya seseorang dalam melewatinya sesuai dengan tingkatan istiqamahnya meniti Ash-Shirathul Mustaqim (Syariat Islam) sewaktu di dunia, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ثُمَّ يُؤْتَى بِالْجسْرِ فَيُجْعَلُ بَيْنَ ظَهْرَيْ جَهَنَّمَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْجسْرُ قَالَ مَدْحَضَةٌ مَزِلَّةٌ عَلَيْهِ خَطَاطِيفُ وَكَلَالِيبُ وَحَسَكَةٌ مُفَلْطَحَةٌ لَهَا شَوْكَةٌ عُقَيْفَاءُ تَكُونُ بِنَجْدٍ يُقَالُ لَهَا السَّعْدَانُ

“Kemudian didatangkan jembatan lalu dibentangkan di atas permukaan neraka Jahannam. Kami (para Sahabat) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana (bentuk) jembatan itu?’ Jawab beliau, ‘Licin (lagi) mengelincirkan. Di atasnya terdapat besi-besi pengait dan kawat berduri yang ujungnya bengkok, ia bagaikan pohon berduri di Najd, dikenal dengan pohon Sa’dan …’” (Muttafaqun ‘alaih).

Sebagaimana pula hadits tentang macam-macam nasib orang yang melewati jembatan (Ash-Shirath) di akhirat,

فَنَاجٍ مُسَلَّمٌ ، وَمَخْدُوشٌ مُرْسَلٌ ، وَمَكْدُوسٌ فِي نَارِ جَهَنَّمَ

Maka ada yang selamat tanpa luka, namun ada yang terkoyak lalu selamat, dan adapula yang jatuh kedalam neraka Jahannam” (H.R. Muslim).

Kecepatan Melintasi Ash-Shirath (Jembatan) pada Hari Kiamat Berbanding Lurus dengan Keistiqamahan di Dunia

Adapun tingkat kecepatan dan kesuksesan dalam melintasi Ash-Shirath (jembatan) pada hari Kiamat berdasarkan amal pelintasnya dan berdasarkan keistiqamahan dalam berpegang teguh dengan Ash-Shirathul Mustaqim di dunia.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Madarijus Salikin 1/10 berkata,

فمَنْ هُدِي في هذه الدَّار إلى صراطِ الله المستقيمِ الَّذي أرسَل به رسُلَه وأنْزَل به كُتبَه هُدِيَ هُناك إلى الصِّراط المستقيم الموصِل إلى جنَّتِه ودار ثَوابِه ، وعلى قَدر ثُبوتِ قَدمِ العبدِ على هذا الصِّراط الَّذي نَصبَه الله لعبادِه في هذه الدَّار يكونُ ثُبوت قدمِه على الصِّراط المنصُوب على مَتنِ جهنَّم ، وعلى قَدر سَيْره على هذه الصِّراط يكونُ سَيْرُه على ذاك الصِّراط

“Maka barangsiapa yang diberi petunjuk ke jalan Allah yang lurus di dunia ini -yang para rasul-Nya diutus dengannya dan Allah turunkan Kitab-Kitab-Nya dengan sebabnya, maka ia akan diberi petunjuk di (akharat) sana kepada jalan lurus yang menghantarkan kepada surga-Nya dan tempat pahala-Nya.”

Sekadar tegarnya kaki seorang hamba meniti jalan yang Allah tetapkan untuk hamba-Nya di dunia ini, maka sekadar itu pulalah tegarnya kaki seorang hamba meniti jembatan yang dibentangkan di atas Jahannam. Dan sesuai dengan kadar perjalanan seorang hamba meniti jalan lurus (Ash-Shirathul Mustaqim di dunia ini), maka sekadar itu pulalah kadar perjalanannya di atas jalan Ash-Shiroth (jembatan pada hari Kiamat).”

(Bersambung)

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/33587-10-kiat-istiqamah-13.html

10 Kiat Istiqomah (12)

Baca pembahasan sebelumnya 10 Kiat Istiqomah (11)

KIAT KETUJUH:

“Seorang hamba, meski bagaimanapun tingginya tingkat istiqomahnya, maka ia tidak boleh bersandar kepada amalnya”

Kewajiban seorang hamba adalah tidak bersandar kepada amalnya, meski bagaimanapun tingginya tingkat istiqomahnya, walaupun bagaimanapun tingginya keshalehannya.

Jangan sampai ia tertipu dan silau dengan ibadahnya, shalatnya, puasanya, dzikirnya ataupun ketaatan lainnya yang ia lakukan.

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:

والمطلوبُ منَ العبد الاستقامةُ وهيَ السَّداد، فإنْ لمْ يَقدِر عليهَا فالمُقارَبَة، فإنْ نَزل عنهَا فالتَّفريطُ والإضَاعةُ،

“Yang tertuntut dari seorang hamba adalah istiqomah, yaitu sadaadjika ia tidak mampu maka bersikaplah muqaarabahAdapun jika melakukan di bawah muqaarabah, berarti terjerumus ke dalam mengurangi batasan (syar’i) dan menelantarkan(nya)”.

Sebagaimana di dalam Ash-Shahihain dari hadits A’isyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا، فَإِنَّهُ لَنْ يُدْخِلَ الجَنَّةَ أَحَدًا عَمَلُهُ، قَالُوا: وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ الله!؟ قَالَ: وَلَا أَنَا؛ إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ الله مِنْهُ بِمَغْفِرَةٍ ورَحْمَةٍ

“Bersikaplah kalian sesuai dengan (sunah) dan mendekatilah, serta bergembiralah, karena sesungguhnya amal seseorang tidaklah memasukkan dirinya kedalam surga”. Para sahabat bertanya: “Tidak pula Anda wahai Rasulullah?”, beliau menjawab: “Tidak pula saya, hanya saja Allah melimpahkan kepadaku ampunan dan rahmat dari-Nya”.

Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggabungkan seluruh kedudukan-kedudukan dalam agama Islam ini, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan (umatnya) untuk istiqomah, yaitu: lurus dan benar dalam seluruh niat, ucapan dan perbuatan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan dalam hadits Tsauban, yaitu:

استَقِيمُوا ولنْ تُحْصُوا، واعْلَمُوا أنَّ خَيْرَ أعْمَالِكُم الصَّلاة

“Istiqomahlah dan kalian tidaklah akan mampu (untuk istiqomah dalam semua ketaatan dengan sebenar-benar istiqomah), dan ketahuilah bahwa sebaik-baik amal kalian adalah shalat” (HR. Imama Malik dalam Al-Muwaththa` dan Ibnu Majah, dinilai sahih oleh Al-Albani).

Bahwa mereka tidak mampu (untuk istiqomah dalam semua ketaatan dengan sebenar-benar istiqomah), sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengalihkan kepada muqaarabah, yaitu: agar mereka mendekat kepada istiqomah sesuai dengan kemampuan mereka, seperti orang yang membidik suatu sasaran, maka jika tidak tepat mengenai sasaran, setidaknya mendekati sasaran tersebut! (Madarijus Salikin: 2/105).

Selanjutnya, Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan kandungan lain dari  hadits A’isyah radhiyallahu ‘anha dalam Ash-Shahihain di atas, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

فأخبَرهُم أنَّ الاستقَامَة والمقارَبة لا تُنْجي يومَ القِيامةِ، فلا يَرْكَن أحدٌ إلى عمَلِه ، ولا يَعْجَب به ، ولا يَرى أنَّ نَجاتَه به ؛ بَل إنَّما نجاتُه برحمةِ الله وعفوِه وفضلِه

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengabarkan bahwa istiqomah (sadaad) dan muqaarabah tidaklah menyelamatkan (pelakunya) pada hari kiamat kelak, maka janganlah seseorang bersandar kepada amalnya (merasa aman) dan janganlah ia bangga/silau dengan amalannya, serta janganlah ia memandang bahwa hakekatnya keselamatan dirinya ditentukan oleh amalnya, akan tetapi hakekatnya keselamatan dirinya adalah karena rahmat Allah, maaf-Nya dan karunia-Nya” (Madarijus Salikin: 2/105).

(Bersambung)

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/33584-10-kiat-istiqomah-12.html