Anjuran Memperbanyak Shalawat di Hari Jumat

Anjuran Memperbanyak Shalawat di Hari Jumat

Pertanyaan:

Assalamua’laikum Ustadz.
Pada hari Jumat disunahkan untuk memperbanyakkan shalawat kepada Nabi. Berapakah jumlah shalawat yang perlu dibaca pada hari Jumat?

Dari: Farouk Bin Mustapha

Jawaban:

Wa’alaikumussalam

Benar, dianjurkan memperbanyak membaca shalawat di hari Jumat. Dalil tentang hal ini adalah hadis dari sahabat Aus bin Aus radhiallallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن من أفضل أيامكم يوم الجمعة فأكثروا علي من الصلاة فيه فإن صلاتكم معروضة علي

Sesungguhnya hari yang paling utama adalah hari Jumat, karena itu perbanyaklah membaca shalawat untukku. Sesuhngguhnya shalawat kalian ditampakkan kepadaku.”

Sahabat bertanya,

يا رسول الله وكيف تعرض صلاتنا عليك وقد أرمت

Bagaimana shalawat kami bisa ditampakkan kepada Anda, sementara Anda sudah menjadi tanah (di kkubur)?

Beliau menjawab,

إن الله تبارك وتعالى حرم على الأرض أَنْ تَأْكُلَ أجساد الأنبياء صلى الله عليهم

“Sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan bumi untuk memakan jasad para nabi shallallahu ‘alaihim wa sallam.”(HR. Abu Daud, Nasa’i, Ibn Majah, dan dinyatakan shahih Syaikh Al-Albani)

Jika kita amati, hadis di atas hanya menunjukkan anjuran memperbanyak shalawat di hari Jumat. Mengenai bilangannya, bacaannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan dalam hadis tersbut. Dengan  demikian, kita amalkan sebagaimana teksnya:

a. Perbanyak shalawat di hari Jumat tanpa bilangan maksimal, semakin banyak semakin besar pahalanya

b. Bacaan shalawat sebagaimana shalawat pada umumnya, seperti lafadz:

اللهم صل وسلم على محمد

c. Tidak perlu ada acara khusus untuk memperbannyak shalawat di hari Jumat

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/10749-shalawat-hari-jumat.html

Hari Jumat itu Hadiah

Hari Jumat, Hadiah Untuk Umat

Benarkah hari jumat itu atas hadiah dari Allah untuk umat Muhammad saw.

Coy

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Allah berfirman,

إِنَّمَا جُعِلَ السَّبْتُ عَلَى الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ وَإِنَّ رَبَّكَ لَيَحْكُمُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ

Sesungguhnya diwajibkan (menghormati) hari Sabtu atas orang-orang (Yahudi) yang berselisih padanya. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar akan memberi putusan di antara mereka di hari kiamat terhadap apa yang telah mereka perselisihkan itu.” (QS. an-Nahl: 124).

Ibnu Katsir menjelaskan tafsir ayat ini,

Allah menuntukan setiap penganut agama untuk memilih satu hari istimewa dalam sepekan. Hari untuk berkumpul bersama dalam rangka melakukan ibadah. Allah syariatkan untuk umat ini (umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) agar mereka memuliakan hari jumat. Karena itu hari keenam, di mana Allah sempurnakan makhluk-Nya. Dan itu nikmat sempurna bagi mereka.

Selanjutnya Ibnu Katsir menyebutkan keterangan sebagian ahli tafsir,

ويقال: إنه تعالى شرع ذلك لبني إسرائيل على لسان موسى، فعدلوا عنه واختاروا السبت؛ لأنه اليوم الذي لم يخلق فيه الرب شيئًا من المخلوقات الذي كمل خلقها يوم الجمعة، فألزمهم تعالى به في شريعة التوراة، ووصاهم أن يتمسكوا به وأن يحافظوا عليه

Ada yang menyetakan bahwa Allah mensyariatkan kepada bani israil melalui Musa untuk memuliakan hari jumat. Namun mereka menolaknya dan memilih hari sabtu. Mereka meyakini, di hari sabtu, Allah tidak menciptakan makhluk apapun, karena telah Allah sempurnakan di hari jumat. Akhirnya Allah tetapkan ibadah hari sabtu itu sebagai kewajiban untuk mereka dalam taurat. Allah wasiatkan agar mereka komitmen dengan hari sabtu dan berusaha menjaganya.  (Tafsir Ibnu Katsir, 4/612).

Demikian pula dengan nasrani.

Al-Hafdiz Ibnu Katsir melajutkan keterangannya,

Mereka terus konsisten dengan ibadah hari sabtu, sampai Allah mengutus Isa bin Maryam. Selanjutnya ada banyak versi di sana. Ada yang mengatakan, Allah memindahkannya kepada hari ahad. Ada yang mengatakan, mereka tidak meninggalkan syariat taurat, selain beberapa hukum yang dihapus dengan injil. Mereka terus konsisten dengan hari sabtu, hingga Allah mengangkat Isa. kemudian, oleh orang nasrani, itu diubah menjadi hari ahad di zaman kerajaan Konstatinopel. Agar berbeda dengan orang yahudi. Mereka juga melakukan shalat menghadap ke timur, ke arah batu di timur al-Aqsha. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/612).

Karena itulah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat membanggakan adanya hari jumat. Karena berarti kita benar. Kita memuliakan hari jumat, dan itu sesuai dengan apa yang Allah pilihkan. Sementara pilihan yahudi dan nasrani meleset.

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

Ketika hari jumat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingatkan,

نَحْنُ الْآخِرُونَ الْأَوَّلُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَنَحْنُ أَوَّلُ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ بَيْدَ أَنَّهُمْ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِنَا وَأُوتِينَاهُ مِنْ بَعْدِهِمْ فَاخْتَلَفُوا فَهَدَانَا اللَّهُ لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنْ الْحَقِّ فَهَذَا يَوْمُهُمْ الَّذِي اخْتَلَفُوا فِيهِ هَدَانَا اللَّهُ لَهُ قَالَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فَالْيَوْمَ لَنَا وَغَدًا لِلْيَهُودِ وَبَعْدَ غَدٍ لِلنَّصَارَى

Kita adalah umat terakhir namun pertama di hari kiamat. Kitalahlah yang pertama kali masuk surga. Meskipun mereka mendapatkan kitab suci sebelum kita dan kita mendapatkan kitab suci setelah mereka. Lalu mereka menyimpang dan kita ditunjukkan Allah kepada kebenaran dalam hal yang mereka perselisihkan. Inilah hari mereka yang mereka menyimpang darinya dan Allah tunjukkan kepada kita. Beliau bersabda lagi: Hari jum’at adalah hari kita dan esoknya hari Yahudi dan setelah besok adalah hari nasrani.” (HR Muslim 2017).

Sudah selayaknya kaum muslimin bersyukur dengan dijadikannya hari jumat sebagai hari besar untuk mereka dalam setiap pekan.

Saatnya memuliakan hari jumat.

Allahu a’lam

Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/24997-hari-jumat-itu-hadiah.html

Sunnahnya Sujud Syukur

Bagaimana syariat Sujud Syukur dan bagaimana caranya?

Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail

211. Bab Sunnahnya Sujud Syukur Ketika Mendapatkan Nikmat atau Tercegah dari Musibah yang Tampak

Hadits #1159

عَنْ سَعْدٍ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِنْ مَكّةَ نُرِيْدُ المَدِينَةَ ، فَلَمَّا كُنَّا قَرِيباً مِنْ عَزْوَرَاءَنَزَلَ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ فَدَعَا اللهَ سَاعَةً ، ثُمَّ خَرَّ سَاجِداً ، فَمَكَثَ طَوِيْلاً ، ثُمَّ قَامَ فَرَفَعَ يَدَيْهِ سَاعَةً ، ثُمَّ خَرَّ سَاجِداً – فَعَلَهُ ثَلاَثَاً – وَقَالَ : (( إِنِّي سَأَلْتُ رَبِّي ، وَشَفَعْتُ لِأُمَّتِي ، فَأَعْطَانِي ثُلُثَ أُمَّتِي ، فَخَرَرْتُ سَاجِداً لِرَبِّي شُكْراً ، ثُمَّ رَفَعْتُ رَأْسِي ، فَسَألْتُ رَبِّي لِأُمَّتِي ، فَأَعْطَانِي ثُلُثَ أُمَّتِي، فَخَرَرْتُ سَاجِداً لِرَبِّي شُكْراً ، ثُمَّ رَفَعْتُ رَأْسِي ، فَسَألْتُ رَبِّي لِأُمَّتِي ، فَأَعْطَانِي الثُّلُثَ الآخَرَ ، فَخَرَرْتُ سَاجِداً لِرَبِّي )) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ .

Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Makkah menuju Madinah. Ketika kami telah dekat dengan Azwara’, beliau turun kemudian mengangkat kedua tangannya berdoa kepada Allah selama sesaat. Kemudian beliau menunduk sujud cukup lama. Setelah itu beliau berdiri, kemudian mengangkat kedua tangannya selama sesaat. Kemudian beliau menunduk sujud—beliau melakukannya tiga kali—lalu bersabda, “Aku telah meminta kepada Rabbku dan syafaat untuk umatku. Maka Allah memberiku sepertiga umatku, aku lalu menunduk bersujud kepada Rabbku sebagai tanda syukur. Kemudian aku mengangkat kepalaku, lalu meminta kepada Rabbku untuk umatku. Maka Allah memberiku sepertiga yang lain, lalu aku menunduk bersujud kepada Rabbku.” (HR. Abu Daud) [HR. Abu Daud, no. 2775. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif].

Keterangan hadits

Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaliy dalam Bahjah An-Nazhirin (2:324) menyatakan bahwa hadits ini dhaif. Di dalamnya ada Musa bin Ya’qub Az-Zam’i yang jelek hafalannya dan gurunya adalah Yahya bin Al-Hasan bin ‘Utsman, ia adalah perawi yang majhul. Lalu gurunya adalah Al-Asy’ats bin Ishaq juga majhul al-haal, tidak ada yang menilai ia tsiqqah (terpercaya) kecuali Ibnu Hibban.

Dalil pendukung syariat sujud syukur

Meskipun hadits yang ada di Riyadhus Sholihin adalah dhaif, namun ada dalil-dalil lain yang mendukung adanya pensyariatan sujud syukur sebagai berikut.

عَنْ أَبِى بَكْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ كَانَ إِذَا جَاءَهُ أَمْرُ سُرُورٍ أَوْ بُشِّرَ بِهِ خَرَّ سَاجِدًا شَاكِرًا لِلَّهِ.

Dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ketika beliau mendapatkan hal yang menggembirakan atau dikabarkan berita gembira, beliau tersungkur untuk sujud pada Allah Ta’ala. (HR. Abu Daud, no. 2774 dan Tirmidzi, no. 1578. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah sujud yang panjang, kemudian beliau mengangkat kepalanya, lantas beliau bersabda,

إِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ أَتَانِى فَبَشَّرَنِى فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ مَنْ صَلَّى عَلَيْكَ صَلَّيْتُ عَلَيْهِ وَمَنْ سَلَّمَ عَلَيْكَ سَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَسَجَدْتُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ شُكْراً

Sesungguhnya Jibril ‘alaihis salam baru saja mendatangiku lalu memberi kabar gembira padaku, lalu berkata, “Allah berfirman: ‘Siapa yang bershalawat untukmu, maka Aku akan memberikan shalawat (ampunan) untuknya. Siapa yang memberikan salam kepadamu, maka Aku akan mengucapkan salam untuknya’. Ketika itu, aku lantas sujud kepada Allah sebagai tanda syukur.” (HR. Ahmad, 1:191 dan Al-Hakim, 1:735. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan lighairihi).

Dari Al-Bara’ bin ‘Aazib bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus Ali ke Yaman–lalu disebutkan kelengkapan haditsnya–, lalu Al-Bara’ mengatakan,

فَكَتَبَ عَلِىٌّ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِإِسْلاَمِهِمْ ، فَلَمَّا قَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْكِتَابَ خَرَّ سَاجِدًا ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ

“Ali menuliskan surat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berisi keislaman mereka (penduduk Yaman). Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat tersebut, beliau tersungkur untuk bersujud.” (HR. Al-Baihaqi 2:404)

Dalil lainnya adalah hadits Ka’ab bin Malik bersyukur kepada Allah ketika menerima kabar gembira bahwa Allah menerima taubatnya. Hadits ini terdapat dalam riwayat Bukhari (53/2769).

Seputar sujud syukur

  • Sujud syukur ini dihukumi sunnah.
  • Sujud ini dilakukan ketika ada sebab yaitu saat mendapatkan nikmat yang baru atau terselamatkan dari suatu musibah, baik sebab tersebut berlaku bagi orang yang sujud ataukah pada kaum muslimin secara umum.
  • Catatan penting yang perlu diperhatikan bahwa sujud syukur itu ada ketika mendapatkan nikmat yang baru. Adapun nikmat yang terus berulang, maka tidak perlu dengan sujud syukur seperti nikmat Islam, nikmat sehat, nikmat kaya dan semisal itu. Karena nikmat Allah tersebut terus didapatkan dan tidak terputus. Seandainya perlu adanya sujud syukur untuk nikmat yang ada terus menurus, barang tentu umur seseorang akan habis dengan sujud. Cukup syukur yang dilakukan ketika mendapatkan nikmat semacam itu adalah dengan mengisi waktu untuk ibadah dan melakukan ketaatan pada Allah.

Ulama Syafi’iyah dan ulama Hambali berkata,

لاَ يُشْرَعُ السُّجُوْدُ لاِسْتِمْرَارِ النِّعَمِ لِأَنّهَا لاَ تَنْقَطِعُ

“Tidak disyari’atkan (disunnahkan) untuk sujud syukur karena mendapatkan nikmat yang sifatnya terus meneru, nikmat seperti itu tidaklah terputus.”

  • Nikmat yang pantas disyukuri dengan sujud syukur seperti nikmat mendapat anak, saat menemukan barang hilang, atau ketika Allah menyelamatkan dari musibah.
  • Setelah memaparkan penjelasan di atas, Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan menyatakan bahwa sujud syukur adalah di antara ajaran Islam yang sudah mulai ditinggalkan saat ini oleh kaum muslimin, marilah ajaran tersebut dihidupkan saat kita menemukan sebabnya. Lihat Minhah Al-‘Allam, 3:262.

Tata cara sujud syukur

Tata caranya adalah seperti sujud tilawah. Yaitu dengan sekali sujud. Ketika akan sujud hendaklah dalam keadaan suci, menghadap kiblat, lalu bertakbir, kemudian melakukan sekali sujud. Saat sujud, bacaan yang dibaca adalah seperti bacaan ketika sujud dalam shalat. Kemudian setelah itu bertakbir kembali dan mengangkat kepala. Setelah sujud tidak ada salam dan tidak ada tasyahud.

Oleh yang selalu mengharapkan ampunan Allah: Muhammad Abduh Tuasikal

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/21293-sunnahnya-sujud-syukur.html

Sedekah pada Pengemis Pemalas Tak Mau Bekerja

KAMI hanya nasehatkan jangan manjakan pengemis apalagi pengemis yang malas bekerja seperti yang berada di pinggiran jalan. Apalagi dengan mengamen, melantunkan nyanyian musik yang haram untuk didengar.

Kebanyakan mereka malah tidak jelas agamanya, shalat juga tidak. Begitu pula sedikit yang mau perhatian pada puasa Ramadhan yang wajib. Carilah orang yang shalih yang lebih berhak untuk diberi, yaitu orang yang miskin yang sudah berusaha bekerja namun tidak mendapatkan penghasilan yang mencukupi kebutuhan keluarganya.

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Namanya miskin bukanlah orang yang tidak menolak satu atau dua suap makanan. Akan tetapi miskin adalah orang yang tidak punya kecukupan, lantas ia pun malu atau tidak meminta dengan cara mendesak.” (HR. Bukhari no. 1476)

Wallahu waliyyut taufiq. Hanya Allah yang memberi taufik. [Muhammad Abduh Tuasikal]

INILAH MOZAIK

Ketika Sedekah Kita Disalahgunakan…

COBA ambil pelajaran dari hadits berikut.

Dari Abu Yazid Maan bin Yazid bin Al-Akhnas radhiyallahu anhum, -ia, ayah dan kakeknya termasuk sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam-, di mana Maan berkata bahwa ayahnya yaitu Yazid pernah mengeluarkan beberapa dinar untuk niatan sedekah. Ayahnya meletakkan uang tersebut di sisi seseorang yang ada di masjid (maksudnya: ayahnya mewakilkan sedekah tadi pada orang yang ada di masjid, -pen). Lantas Maan pun mengambil uang tadi, lalu ia menemui ayahnya dengan membawa uang dinar tersebut. Kemudian ayah Maan (Yazid) berkata, “Sedekah itu sebenarnya bukan kutujukan padamu.” Maan pun mengadukan masalah tersebut kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Lalu beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Engkau dapati apa yang engkau niatkan wahai Yazid. Sedangkan, wahai Maan, engkau boleh mengambil apa yang engkau dapati.” (HR. Bukhari no. 1422)

Dari hadits ini, Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Orang yang bersedekah akan dicatat pahala sesuai yang ia niatkan baik yang ia beri sedekah secara lahiriyah pantas menerimanya ataukah tidak.” (Fath Al-Bari, 3: 292). Hal di atas sesuai pula dengan hadits Umar, Rasul shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)

Misal, ada pengemis yang mengetok pintu rumah kita, apakah kita memberinya sedekah ataukah tidak? Padahal nampak secara lahiriyah, dia miskin. Jawabannya, tetap diberi. Kalau pun kita keliru karena di balik itu, bisa jadi ia adalah orang yang kaya raya, tetap Allah catat niat kita untuk bersedekah. Sedangkan ia mendapatkan dosa karena memanfaatkan harta yang sebenarnya tak pantas ia terima.

Begitu pula kalau ada yang menawarkan proposal pembangunan masjid. Secara lahiriyah atau zhahir yang nampak, kita tahu yang sodorkan proposal memang benar-benar butuh. Lalu kita berikan bantuan. Bagaimana kalau dana yang diserahkan disalahgunakan? Apakah kita tetap dapat pahala? Jawabannya, kita mendapatkan pahala sesuai niatan baik kita. Sedangkan yang menyalahgunakan, dialah yang mendapatkan dosa. Subhanallah Mulia sekali syariat Islam ini.

INILAH MOZAIK

Adab Islam Ketika Menguap

Agama Islam mengajarkan manusia akhlak-akhlak yang mulia dan melarang manusia dari akhlak-akhlak yang tercela. Diantara akhlak mulia dalam Islam adalah Islam mengajarkan adab ketika menguap.

Yang hendaknya dilakukan ketika menguap

Diantara adab yang diajarkan Islam ketika menguap adalah berusaha menahannya sebisa mungkin. Tidak membiarkan mulutnya ternganga dan terbuka ketika menguap. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعُطَاسَ ، وَيَكْرَهُ التَّثَاؤُبَ ، فَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَحَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ سَمِعَهُ أَنْ يُشَمِّتَهُ ، وَأَمَّا التَّثَاؤُبُ فَإِنَّمَا هُوَ مِنْ الشَّيْطَانِ فَلْيَرُدَّهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِذَا قَالَ : هَا ضَحِكَ مِنْهُ الشَّيْطَانُ

“sesungguhnya Allah menyukai bersin, dan tidak menyukai tasa’ub (menguap). Jika seseorang bersin maka ucapkanlah hamdalah, dan merupakan hak baginya terhadap setiap muslim yang mendengarnya untuk ber-tasymit. Adapun menguap, itu dari setan. Maka hendaknya ia menahannya sebisa mungkin. Jika ia menguap sampai mengeluarkan suara “hah” maka setan pun tertawa” (HR. Bukhari no. 6223, Muslim no. 2994).

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِذَا تَثَاوَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيُمْسِكْ بِيَدِهِ عَلَى فِيهِ ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ

“Jika kalian menguap maka tutuplah mulutnya dengan tangannya. Karena setan akan masuk”

Dalam lafadz yang lain:

إِذَا تَثَاوَبَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ فَلْيَكْظِمْ مَا اسْتَطَاعَ

“Jika kalian menguap dalam shalat maka tahanlah sebisa mungkin” (HR. Muslim no. 2995).

Ibnu Allan Asy Syafi’i mengatakan:

أي قدر استطاعته ، وذلك بإطباق فيه ، فإن لم يندفع بذلك فبوضع اليد عليه

“Maksudnya tahanlah sebisa mungkin. Yaitu dengan melakukan ithbaq (menggabungkan bibir). Jika tidak bisa ditahan maka dengan meletakkan tangan di mulut” (Dalilul Falihin, 6/175).

Dari dalil-dalil di atas, bisa kita simpulkan bahwa yang pertama kali diusahakan ketika menguap adalah menahan mulut dengan menggabungkan bibir. Jika tidak mampu maka baru menggunakan tangan. Kemudian bersamaan dengan itu, berusaha untuk tidak mengeluarkan suara apapun baik suara “hah” atau suara apapun.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:

إذا حصل التثاؤب يشرع له أمور عدة. الأمر الأول: أنه يكظم ما استطاع يعني: يضم فمه ما استطاع حسب الطاقة. الثاني: أنه يضع يده على فيه. الثالث: أنه لا يقول: هاه، بل يحفظ لسانه ولا يتكلم بشيء لا قليل ولا كثير

“Jika menguap, disyariatkan beberapa perkata:

Pertama, menahan mulut sebisa mungkin, yaitu dengan cara menggabungkan bibir sebisa mungkin.

Kedua, (jika tidak mampu maka) meletakkan tangan di mulutnya.

Ketiga, menjaga lisannya agar tidak berkata-kata baik sedikit maupun banyak” (https://binbaz.org.sa/fatwas/8418).

Menutup mulut dengan tangan kanan atau kiri?

Sebagian ulama menganjurkan untuk menutup mulut dengan tangan kiri. Karena menguap adalah keburukan, sehingga lebih didahulukan tangan kiri. Sebagaimana kaidah yang ditetapkan sebagian ulama:

تقديم اليمين في كل ما كان من باب الكرامة ، وتقديم الشمال في كل ما كان من باب المهانة

“Didahulukan tangan kanan dalam semua perkara yang mulia. Dan didahulukan tangan kiri dalam semua perkara yang hina”.

Caranya yaitu dengan meletakkan punggung tangan kiri ke mulut, bukan dengan telapak tangan kiri. Al Munawi rahimahullah mengatakan:

(فليضع يده) أي ظهر كف يسراه كما ذكره جمع ، ويتجه أنه للأكمل وأن أصل السنة يحصل بوضع اليمين . قيل : لكنه يجعل بطنها على فيه عكس اليسرى

“Maksudnya dengan cara meletakkan punggung tangan kiri, sebagaimana dikatakan oleh sejumlah ulama. Dan mereka berpandangan itu lebih sempurna. Walaupun pada asalnya yang lebih sesuai sunnah adalah dengan meletakkan tangan kanan, sebagaimana dalam hadits disebutkan “maka letakkanlah tangannya…” namun (jika dengan tangan kanan) maka dengan meletakkan telapaknya, tidak sebagaimana jika menggunakan tangan kiri” (Faidhul Qadir, 1/404).

As Safarini rahimahullah mengatakan:

وقال السفاريني رحمه الله : “وَقَالَ لِي شَيْخُنَا التَّغْلِبِيُّ فَسَّحَ اللَّهُ لَهُ فِي قَبْرِهِ : إنْ غَطَّيْت فَمَك فِي التَّثَاؤُبِ بِيَدِك الْيُسْرَى فَبِظَاهِرِهَا , وَإِنْ كَانَ بِيَدِك الْيُمْنَى فَبِبَاطِنِهَا

“Guruku, Syaikh At Taghlibi, semoga Allah meluaskan kuburnya, beliau berkata: jika menutup mulut ketika menguap dengan tangan kiri, maka gunakan punggungnya. Jika dengan tangan kanan, maka dengan telapaknya” (Ghadza al Albab, 1/348).

Namun masalah ini longgar, yang penting berusaha menutup mulut ketika menguap. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ketika ditanya: “apakah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika menguap beliau menutup tangannya dengan tangan kanan atau tangan kiri ataukah keduanya bersamaan?”. Beliau menjawab:

لا أعلم أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يضع يده على فمه إذا تثاءب ، وإنما ورد ذلك من قوله حيث أمر صلى الله عليه وسلم الرجل عند التثاؤب – يعني : أو المرأة – أن يكظم – يعني : يمنع فتح فمه ما استطاع – فإن لم يستطع فليضع يده على فمه ، ويضع اليد اليمنى أو اليسرى ، المهم أن لا يبقي فمه مفتوحاً عند التثاؤب

“Tidak kami ketahui ada hadits tentang Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menutup tangannya ketika menguap. Yang ada adalah hadits berisi perintah beliau kepada orang yang menguap. Yaitu dengan menahan mulutnya agar tidak terbuka sebisa mungkin. Jika tidak mampu ditahan, maka letakkanlah tangan di mulutnya. Boleh dengan tangan kanan atau tangan kiri. Yang penting tidak membiarkan mulut terbuka ketika menguap” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 13/61).

Menguap di tengah shalat

Menguap tanpa ada usaha untuk menahannya atau menutupnya atau mengeluarkan suara ketika itu, hukumnya makruh. Dan jika dilakukan di dalam shalat lebih makruh lagi. Dan menguap ketika shalat adalah bentuk upaya setan untuk menganggu orang yang shalat. Sebagaimana dalam riwayat lain yang disebutkan oleh Imam Muslim di atas:

إِذَا تَثَاوَبَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ فَلْيَكْظِمْ مَا اسْتَطَاعَ

“Jika kalian menguap dalam shalat maka tahanlah sebisa mungkin” (HR. Muslim no. 2995).

Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah mengatakan:

قال شيخنا – أي : الحافظ العراقي – في ” شرح الترمذي ” : أكثر روايات الصحيحين فيها إطلاق التثاؤب , ووقع في الرواية الأخرى تقييده بحالة الصلاة ، فيحتمل أن يحمل المطلق على المقيد , وللشيطان غرض قوي في التشويش على المصلي في صلاته , ويحتمل أن تكون كراهته في الصلاة أشد , ولا يلزم من ذلك أن لا يكره في غير حالة الصلاة

“Guru kami, yaitu Al Hafidz Al Iraqi, dalam Syarah At Tirmidzi mengatakan: kebanyakan riwayat-riwayat yang shahih mengenai larangan menguap itu bersifat mutlak. Dan terdapat riwayat lain yang muqayyad yang menyebutkan bahwa larangan tersebut berlaku ketika shalat. Maka bisa dibawa riwayat-riwayat yang mutlak tersebut kepada yang muqayyad. Dan setan memiliki tujuan yang kuat untuk memberikan gangguan kepada orang yang shalat dalam shalatnya. Maka bisa jadi menguap di dalam shalat itu lebih ditekankan kemakruhannya. Namun bukan berarti tidak makruh ketika dilakukan di luar shalat” (Fathul Bari, 10/612).

Orang yang menguap di dalam shalat juga dianjurkan untuk berusaha menahan mulutnya agar tidak terbuka dan jika tidak mampu ia boleh menggerakkan tangannya untuk menutup mulutnya. Gerakan ini tidak terlarang, tidak membatalkan shalat dan tidak termasuk dalam larangan menutup mulut dalam shalat. Ibnu Hajar menjelaskan:

وأما الأمر بوضع اليد على الفم فيتناول ما إذا انفتح بالتثاؤب فيغطى بالكف ونحوه ، وما إذا كان منطبقا حفظا له عن الانفتاح بسبب ذلك . وفي معنى وضع اليد على الفم وضع الثوب ونحوه مما يحصل ذلك المقصود , وإنما تتعين اليد إذا لم يرتد التثاؤب بدونها , ولا فرق في هذا الأمر بين المصلي وغيره , بل يتأكد في حال الصلاة كما تقدم ، ويستثنى ذلك من النهي عن وضع المصلي يده على فمه

“Adapun perintah untuk meletakkan tangan di mulut, ini dilakukan ketika mulut mulai terbuka untuk menguap. Maka ketika itu ditutup dengan telapak tangan atau dengan benda lainnya yang bisa diupayakan untuk mencegah terbukanya mulut. Dan menutup dengan baju atau semisalnya ini juga semakna dengan meletakkan tangan, yaitu semua yang dapat mewujudkan tujuan menutup mulut. Disebutkan tangan secara spesifik dalam hadits, adalah jika menguap tidak bisa dicegah kecuali dengan tangan. Dan tidak ada bedanya perkara ini, antara orang yang shalat ataupun di luar shalat. Bahkan lebih ditekanlah lagi anjuran menutup mulut yang menguap dengan tangan di dalam shalat, sebagaimana sudah kami jelaskan. Dan ini merupakan pengecualian dari larangan menutup mulut dalam shalat” (Fathul Bari, 10/612).

Dan hendaknya orang yang shalat berusaha menghindarkan dirinya dari sebab-sebab yang bisa membuat ia bisa menguap dalam shalat. Dengan mempersiapkan dirinya semaksimal mungkin sebelum shalat. Dan meminta pertolongan dan perlindungan Allah sebelum shalat agar tidak diganggu oleh setan dalam shalatnya.

Demikian, semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50986-adab-islam-ketika-menguap.html

Zakat Perhiasan Wanita

Oleh: Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf

Sudah merupakan kodrat seorang wanita menyenangi perhiasan, baik yang terbuat dari emas perak maupun lainnya. Oleh Karena itulah syariat islam menghalalkan berbagai macam perhiasan itu bagi mereka dan mengharamkan sebagiannya seperti emas dan pakaian sutra bagi kaum laki-laki, sebagaimana sabda Rosululloh :

عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ حُرِّمَ لِبَاسُ الْحَرِيرِ وَالذَّهَبِ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي وَأُحِلَّ لِإِنَاثِهِمْ

Dari Abu Musa al Asy’ari bahwasannya Rosululloh bersabda : “Diharamkan pakiaian sutra dan emas bagi kaum laki-laki dari ummatku dan halal bagi wanita mereka.”

(HR. Abu Dawud : 4057, Tirmidzi : 1720, Nasai 8/160  dan Ibnu Majah : 3595 dengan sanad shohih)

Namun, karena berbagai macam perhiasan ini adalah sebuah barang mahal dan berharga, apakah wajib dikeluarkan zakatnya ataukah tidak ? dan kalau memang wajib bagaimana cara mengeluarkannya ?

Inilah yang insya Alloh akan kita bahas pada edisi kali ini. Semoga Alloh menjadikannya bermanfaat. Wallohul Muwaffiq

Perhiasan yang terbuat dari emas dan perak.

Sudah maklum bersama bahwasannya orang yang memiliki emas dan perak wajib mengeluarkan zakatnya kalau sudah mencapai satu nishob dan sudah dimiliki selama satu tahun. Berdasarkan hadits :

عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ قَالَ إِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ يَعْنِي فِي الذَّهَبِ حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا فَإِذَا كَانَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ

Dari Ali bin Abi Tholib  dari Rosululloh bersabda : “Jika engkau memiliki 200 dirham  dan sudah lewat satu tahun , maka wajib mengeluarkan zakat lima dirham. Dan engkau tidak wajib mengeluarkan apapun  sehingga engkau memiliki dua puluh dinar, namun jika engkau memiliki dua puluh dinar dan sudah lewat satu tahun, maka wajib mengeluarkan setengah dinar.”

(HR. Abu Dawud : 1558, Tirmidzi : 616, Nasa’i 5/37, Ibnu Majah : 1790 dengan sanad shohih sebagaimana dinyatakan oleh Imam Bukhori, al Hafidz Ibnu Hajar dan al Albani)

Hal ini adalah sesuatu yang disepakati oleh para ulama’, namun mereka berselisih tentang masalah perhiasan wanita, apakah masuk dalam hukum ini ataukah tidak.

Namun sebelum beranjak lebih lanjut, harus diketahui bahwa perhiasan itu ada tiga macam :

  1. Ada yang dipakai
  2. Ada yang disimpan
  3. Ada yang dijadikan sebagai barang perdagangan

Untuk perhiasan emas dan perak yang di simpan, maka ini wajib di keluarkan zakatnya, sedangkan yang dijadikan barang perdagangan, maka hukumnya kembali pada zakat perdagangan.

Adapun yang dipakai oleh seorang wanita, maka inilah yang terdapat khilaf dikalangan para ulama’ menjadi empat pendapat, yaitu :

  1. Tidak wajib dikeluarkan zakatnya,  ini adalah madzhab jumhur ulama’, serta merupakan madzhab dari Ibnu Umar, Jabir bin Abdillah, Aisyah dan Asma’ binti Abu Bakr.
  2. Wajib di keluarkan zakatnya, dan ini adalah madzhab Hanafiyyah, salah satu riwayat dari Imam Ahmad, Ibnu Hazm serta merupakan pendapat Ibnu Mas’ud, Umar bin Khothob, Abdulloh bin Amr bin Ash dan salah satu riwayat dari Aisyah. Dan madzhab inilah yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz, AL Albani dan Syaikh Ibnu al Utsaimin.
  3. Wajib di zakati sekali saja untuk selamanya
  4. Zakat perhiasan adalah dengan meminjamkannya kepada orang lain

Dari keempat madzhab ini yang dikuatkan oleh dalil adalah dua pendapat yang pertama, adapun dua pendapat yang terakhir, maka tidak ditemukan dalil yang mendukungnya, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Syaikh Mushthofa Al Adawi dalam Jami’ Ahkamin Nisa’ meskipun didapatkan beberapa atsar tentang hal tersebut dari sebagian  salaf.

Oleh karena itu pembahasan ini saya pusatkan pada dua pendapat pertama saja.

I. PENDAPAT ZAKAT PERHIASAN TIDAK WAJIB

Adapun para ulama yang berpendapat tidak wajibnya zakat perhiasan yang dipakai, mereka berdalil dengan beberapa hal berkut :

1. Hadits :

ليس في الحلي زكاة

“Tidak ada zakat pada perhiasan.”

Namun hadits ini bathil sebagaimana dikatakan oleh Imam Baihaqi dan lainnya, yang shohih bahwa lafadz ini ucapannya Jabir bin Abdillah (Lihat Irwa’ul Gholil oleh Syaikh al Albani : 817)

2. Beberapa atsar dari salaf :

  • Dari Nafi’ berkata bahwasannya Abdulloh ibnu Umar memakaikan perhiasan emas kepada anak-anak wanita dan budak wanitanya  dan beliau tidak mengeluarkan zakatnya.” (HR. Malik : 585, Baihaqi 4/138 dengan sanad shohih sampai pada beliau)
  • Ibnu Umar juga pernah berkata : “Tidak ada zakat pada perhiasan.” (HR. Abdur Rozzaq 4/72, Ibnu Abi Syaibah 3/154, Daruquthni 2/109 dengan sanad shohih)
  • Jabir bin Abdillah pernah di tanya tentang masalah perhiasan : “Apakah ada zakatnya ?.” beliau menjawab : “Tidak ada” dia bertanya lagi : Meskpun sebanyak seribu dinar ? Jabir menjawab : Meskipun banyak.” (HR. Abdur Rozzaq 4/82, Baihaqi 4/138 dengan sanad shohih)
  • Dari Aisyah bahwasannya beliau mengurusi beberapa keponakannya yang yatim, mereka memiliki perhiasan, namun beliau tidak mengeluarkan zakatnya.” (HR. Malik : 584, Abdur Rozzaq 4/138 dengan sanad shohih)
  • Dari Asma’ binti Abu Bakr bahwasannya beliau tidak mengeluarkan zakat perhiasan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah 3/155d dengan sanad shohih)

3. Dalil qiyasi

Mereka mengatakan bahwasannya zakat itu cuma wajib pada harta yang bisa berkembang, sedangkan perhiasan wanita itu tidak bisa berkembang, maka berarti mirip dengan baju yang di pakai yang tidak wajib dikeluarkan zakatnya meskipun baju tersebut mahal. Hal ini berbeda kalau emas tersebut memang untuk di simpan, atau di perdagangkan, karena itu merupakan harta yang berkembang.

.

B. PENDAPAT ZAKAT PERHIASAN WAJIB

Adapun para ulama’ yang mengatakan wajibnya zakat perhiasan, mereka berdalil dengan beberapa dalil berikut :

1. Dalil keumuman wajibnya zakat emas dan perak

  • sebagaimana firman Alloh :

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (34) يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُون

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Alloh, maka beritahukanlah kepaa mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari di panaskan emas perak itu dalam neraka jahannam , lalu di bakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka : Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”

(QS. At Taubah : 34, 35)

yang dimaksud dengan kanzun adalah harta benda yang tidak dikeluarkan zakatnya. Berkata Ibnu Umar : “Harta benda yang sudah dikeluarkan zakatnya bukan termasuk kanzun meskipun berada di adasar bumi, sedangkan harta yang nampak namun tidak dikeluarkan zaatnya maka itulah kanzun.” (HR. Abdur Rozzaq 4/107 dengan sanad shohih)

  • juga sabda Rosululloh :

مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ

Dari Abu Huroiroh bahwasannya Rosululloh bersabda : “Tidaklah orang yang memiliki emas dan perak lalu tidak menunaikan kewajibannya, kecuali nanti pada hari kiamat akan di jadikan lempengan dari api neraka lalu di panaskan dan di setrikakan kepada lambung, dahi dan punggung mereka.”

(HR. Muslim : 987, Abu Dawud : 1642)

2. Beberapa dalil khusus tentang wajibnya zakat perhiasan :

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ امْرَأَةً أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهَا ابْنَةٌ لَهَا وَفِي يَدِ ابْنَتِهَا مَسَكَتَانِ غَلِيظَتَانِ مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ لَهَا أَتُعْطِينَ زَكَاةَ هَذَا قَالَتْ لَا قَالَ أَيَسُرُّكِ أَنْ يُسَوِّرَكِ اللَّهُ بِهِمَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ سِوَارَيْنِ مِنْ نَارٍ قَالَ فَخَلَعَتْهُمَا فَأَلْقَتْهُمَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَتْ هُمَا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ

Dari Amr bin Syu’aib dari bapak dari kakeknya bahwasannya ada seorang wanita yang datang kepada Rosululloh bersama anak wanitanya, yang ditangannya terdapat dua gelang besar yang terbuat dari emas. Maka Rosululloh bertanya kepadanya : “Apakah engkau sudah mengeluarkan zakat ini ?.” dia menjawab : “Belum.” Maka Rosululloh bersabda : “Apakah engkau senang kalau nantinya Alloh akan menggelangkan kepadamu pada hari kiamat dengan dua gelang dari api neraka.” Maka wanita itupun melepas keduanya dan memberikannya kepada Rosululloh seraya berkata : “Keduanya untuk Alloh dan Rosul Nya.”

(HR. Abu Dawud : 1563, Nasa’i 5/38, Tirmidzi : 637, Ahmad 2/178 dengan sanad shohih)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَدَّادِ بْنِ الْهَادِ أَنَّهُ قَالَ دَخَلْنَا عَلَى عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَأَى فِي يَدَيَّ فَتَخَاتٍ مِنْ وَرِقٍ فَقَالَ مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ فَقُلْتُ صَنَعْتُهُنَّ أَتَزَيَّنُ لَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَتُؤَدِّينَ زَكَاتَهُنَّ قُلْتُ لَا أَوْ مَا شَاءَ اللَّهُ قَالَ هُوَ حَسْبُكِ مِنَ النَّارِ

Dari Abdulloh bin Syadad bin Hadi berkata : Kami masuk menemui Aisyah Istrinya Rosululloh, lalu beliau berkata : “Rosululloh masuk menemuiku lalu beliau melihat ditanganku beberapa cincin dari perak, lalu beliau bertanya : “Apakah ini wahai Aisyah ?.” maka saya jawab : “Saya memakainya demi berhias untukmu wahai Rosululloh.” Lalu beliau bertanya lagi : “Apakah sudah engkau keluarkan zakatnya ?.” Belum, jawabku. Maka beliau bersabda : “Cukuplah itu untuk memasukkanmu dalam api neraka.”

(HR. HR. Ahmad 6/461, Thobroni dalam Al Kabir 24/181 dengan sanad hasan)

عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ قَالَتْ دَخَلْتُ أَنَا وَخَالَتِي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا أَسْوِرَةٌ مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ لَنَا أَتُعْطِيَانِ زَكَاتَهُ قَالَتْ فَقُلْنَا لَا قَالَ أَمَا تَخَافَانِ أَنْ يُسَوِّرَكُمَا اللَّهُ أَسْوِرَةً مِنْ نَارٍ أَدِّيَا زَكَاتَهُ

Dari Asma’ binti Yazid berkata : “Saya masuk bersama bibiku menemui Rosululloh, dan saat itu bibiku memakai beberapa gelang dari emas. Maka Rosululloh bertanya kepada kami : “Apakah kalian sudah mengeluarkan zakat ini ?.” kami jawab : “Tidak.” Rosululloh bersabda : “Tidakkah kalian takut kalau nantinya Alloh akan memakaikan kepada kalian gelang dari apai neraka, keluarkanlah zakatnya.”

(HR. Ahmad 6/461, Thobroni dalam al Kabir 24/181 dengan sanad hasan)

3. Beberapa atsar dari salaf :

  • Dari Ibnu Mas’ud bahwasannya ada seorang wanita yang bertanya kepada beliau tentang zakat perhiasan, maka beliau menjawab : Apabila sudah mencapai dua ratus dirham maka keluarkan zakatnya.” Wanita tadi bertanya lagi : Dirumahku ada beberapa anak yatim, apakah saya boleh untuk memberikan zakatnya kepada mereka ? Beliau menjawab : Boleh.” (HR. Abdur Rozaq 4/83, Thobroni 9/371 dengan sanad shohih)
  • Dari Abdullloh bin Amr bin Ash bahwasannya beliau memerintahkan kepada bendaharanya untuk mengeluarkan zakat perhiasan anak-anak wanitanya setiap tahun.” (HR. Daruquthni dengan sanad hasan)
  • Dari Aisyah bahwasannya beliau berkata : “Tidak mengapa memakai perhiasan apabila dikeluakan zakatnya.” (HR. Daruquthni 2/107, Baihaqi 4/139 dengan sanad hasan)
  • Selain atsar dari para sahabat tersebut, juga di temukan beberapa atsar dari para tabi’in tentang wajibnya  zakat perhiasan. Diantaranya adalah : datang dari Sa’id bin Musayyib, Sa’id bin Jubair, Ibrohim An Nakho’i, Atho’ bin Abi Robah, Zuhri, Abdulloh bin Syadad, Sufyan Ats Tsauri dan lainnya (Lihat perinciannya pada Jami’ Ahkamin Nisa’ )

PENDAPAT YANG KUAT

Setelah pemaparan madzhab para ulama’ ini, maka yang nampak bagi kami insya Alloh adalah madzhab kedua yang menyatakan wajibnya mengeluarkan zakat perhiasan apabila telah mencapai satu nishob dan mencapai satu tahun, karena beberapa hal berikut :

  1. Keumuman dalil yang mewajibkan zakat emas dan perak, sedangkan perhiasan juga terbuat dari emas dan perak. Padahal sudah maklum dalam ilmu ushul Fiqh bahwa sebuah lafadz umum harus di bawa pada keumuman sampai ada yang mengkhususkan. Lalu dalil apa yang mengkhususkan perhiasan dari keumuman wajibnya zakat ? setahu kami tidak ada dalil yang mengkhususkan, karena hadits yang di jadikan dalil madzhab pertama adalah sebuah hadts yang lemah, sedangkan ucapan para sahabat tidak bisa untuk mengkhususkan al Qur’an dan As Sunnah.
  2. Adanya dalil khusus tentang wajibnya zakat perhiasan emas dan perak adalah sebuah dalil yang tak terbantahkan.
  3. Mengeluarkan zakat perhiasan emas dan perak itu sikap yang lebih hati-hati dalam menjalankan perintah syar’i .
  4. Adapun mengenai dalil yang digunakan oleh jumhur ulama’, maka bisa di katakan : bahwa haditsnya lemah. Sedangkan atsar dari para sahabat tidak bsa dijadikan hujjah karena bertentangan dengan Al Qur’an dan as sunnah juga bertentangan dengan ucapan sahabat lainnya.

Wallohu a’lam

Perhiasan yang terbuat dari selain emas dan perak

Adapun perhiasan yang terbuat dari selain emas dan perak, seperti permata, zamrud atau lainnya, maka tidak ada khilaf dikalangan para ulama’ bahwa itu tidak wajib dikeluarkan zakatnya, kecuali kalau digunakan sebagai barang perdagangan maka wajib di zakati zakat perdagangan.

(Lihat al Umm oleh Imam Syafi’i 2/36, Jami’ ahkamin nisa’ Syaijkh Mushthofa al Adawi 2/ 143-165, Shohih fiqhis sunnah oleh Syaikh Abu Malik 2/26)

FAEDAH

1. Tidak wajib mengeluarkan zakat perhiasan kecuali sudah mencapai satu nishob.

  • Nishob emas adalah 20 Dinar, dan setiap satu dinar adalah 4,25 (empat seperempat) gram emas. Jadi 20 dinar sama dengan 85 gram emas.
  • Ada sebuah pertanyaan yang sering muncul : Bagaimana mungkin seorang wanita memakai perhiasan sebanyak itu ?
  • Jawabnya : Yang dimaksud dengan nishob disini bukan berarti harus dipakai semuanya, namun yang penting dia memiliki emas sebanyak itu. Misalkan : Dia memiliki emas, yang dia pakai hanya 15 gram, sedangkan yang dia simpan  sebanyak 70 gram, maka berarti dia memiliki satu nishob.
  • Sedangkan nishob perak adalah 200 dirham yang setara dengan 595 gram perak.

2. Tidak wajib zakat kecuali emas dan perak itu sudah dimilikinya selama satu tahun. Dan yang dimaksud tahun adalah tahun hijriyah, bukan masehi, karena semua ketentuan syar’i yang berhubungan dengan tanggal adalah dengan tanggal hijriyyah.

3. Perhiasan emas yang dipakai oleh kaum laki-laki hukumnya harom. Maka wajib dikeluarkan zakatnya dengan kesepakatan para ulama’. Khilaf diatas hanya berlaku pada perhiasan yang dipakai kaum wanita secara halal.

Wallohu a’lam.

Read more https://pengusahamuslim.com/6810-zakat-perhiasan-wanita.html

Keberkahan di Waktu Pagi

Keberkahan merupakan sesuatu hal yang ghoib, bagi seorang yang kurang beriman biasanya mengingkari sesuatu yang ghoib. Keberkahan tersebut merupakan sesuatu yang ghoib yang tidak ada barangnya namun hendaknya seorang muslim mengimaninya.

Pengertian berkah adalah sesuatu (kebaikan) yang banyak (melimpah), sehingga seorang muslim harus mengimaninya dan bersemangat dalam melakukan kebaikan.

Dengan keberkahan seseorang bisa menghadapi sebuah ujian dengan mudah dan tenang. Seorang muslim hendaknya meminta keberkahan baik dalam maslahat dunia maupun akhiratnya.

Begitupula dengan Keberkahan suatu Negeri.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰۤى اٰمَنُوْا وَا تَّقَوْا لَـفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَآءِ وَا لْاَرْضِ وَلٰـكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَا نُوْا يَكْسِبُوْنَ

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.”

(QS. Al-A’raf 7: Ayat 96)

Begitupula keberkahan Dakwah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang memiliki keberkahan.

Sebagaimana zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terdapat 2 negeri besar yakni Romawi dan Persia.

Namun tidak halnya tanah Arab, sehingga secara militer tanah arab hanya menggunakan panah, kuda (dan itu sangat sedikit), tidak seperti halnya Persia dan Romawi yang memiliki pasukan Gajah dan lebih memadai dalam militer.

Namun mereka (Bangsa Persia dan Romawi)  tidak menyangka akan muncul kekuatan dari tanah Arab.

Bahkan ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengabarkan bangsa arab akan menguasai Persia dan Romawi para shahabat tidak memercayai. Namun mereka mengimani hal tersebut, karena seorang muslim tidak boleh

Mengandalkan akalnya.

Yang kita cari adalah keberkahan.

Allaah subhanahu wata’ala berfirman yang menceritakan perkataan Nabi Isa sewaktu masih bayi,

وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ

“Dan Allah menjadikanku banyak keberkahan di manapun aku berada.” (QS. Maryam: 31).

Waktu Melimpahnya Keberkahan

1. Waktu sahur

Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِى السَّحُورِ بَرَكَةً

“Makan sahurlah kalian karena dalam makan sahur terdapat keberkahan.”

(HR. Bukhari no. 1923 dan Muslim no. 1095).

Yang dimaksud barokah adalah turunnya dan tetapnya kebaikan dari Allah pada sesuatu. Barokah bisa mendatangkan kebaikan dan pahala, bahkan bisa mendatangkan manfaat dunia dan akhirat. Namun patut diketahui bahwa barokah itu datangnya dari Allah yang hanya diperoleh jika seorang hamba mentaati-Nya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda,

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

”Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Allah berfirman, ’Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan. Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku penuhi. Dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku ampuni.” 

(HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 1808)

Shalat qiyaumul lail termasuk dalam sebuah keberkahan, seseorang ketika bulan Ramadhan rajin melakukannya namun ketika bulan Ramadhan usai maka tidak melakukannya lagi, bukan hanya shalat malam saja namun amalan-amalan lain yang dikerjakan pada bulan Ramadhan.

Karena hal demikian bisa jadi berpotensi jika amalan seseorang tidak diterima.

Para ulama mengatakan

Diantara tanda diterima kebaikan amal adalah kebaikan setelahnya.

Jangan sampai amalan-amalan yang telah dilakukan hanya sia-sia bagai debu yang beterbangan.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَقَدِمْنَاۤ اِلٰى مَا عَمِلُوْا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنٰهُ هَبَآءً مَّنْثُوْرًا

“Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.”

(QS. Al-Furqan 25: Ayat 23)

Usahakan jika berat melakukan shalat malam adalah lakukan 10 menit sebelum shalat Subuh, lalu bangun tidur hendaknya shalat malam walau hanya mendapatkan 1 witir shalat rakaat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى

“Shalat malam itu 2 rakaat salam, 2 rakaat salam. Apabila kalian khawatir masuk subuh, hendaknya dia shalat satu rakaat sebagai witir dari shalat malam yang telah dia kerjakan.” 

(HR. Bukhari 990 dan Muslim 749).

Berdasarkan hadis di atas, witir minimal adalah satu rakaat.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.”

(HR. Muslim no. 783)

Zaman sekarang sulit melakukan shalat malam bisa jadi karena maksiat yang dilakukan, sehingga Allaah memalingknnya. Jika masih sulit maka istighfar karena maksiat menjadi penghalang shalat malam.

2. Keberkahan di Waktu Subuh

Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda,

اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا

“Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.”

(HR. Abu Daud no. 2606.)

Begitupula dengan ucapan

بارك الله فيكم

Yang mana di dalamnya terdapat maksud keberkahan dan kebaikan.

Begitupula do’a kepada saudara/i kita yang menikah, dan di dalam do’a tersebut terdapat sebuah keberkahan.

Doa tersebut ialah,

بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ

“Semoga Allah memberkahimu di waktu bahagia dan memberkahimu di waktu susah, serta semoga Allah mempersatukan kalian berdua dalam kebaikan”

(HR. Abu Dawud no. 2130).

◆Sekilas tentang Abu Bakar

Nama asli Abu Bakar adalah Abdullah bin Abi Quhafah. Disebut Bakar karena beliau orang yang pertama (bersegera) dalam melakukan kebaikan.

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu menceritakan bahwa suatu hari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabatnya :

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمُ الْيَوْمَ صَائِمًا؟ قَالَ أَبُوبَكْرٍ : أَنَا، قَالَ : فَمَنْ تَبِعَ مِنْكُمُ الْيَوْمَ جَنَازَةً؟ قَالَ أَبُوبَكْرٍ : أَنَا، قَالَ : فَمَنْ أَطْعَمَ مِنْكُمُ الْيَوْمَ مِسْكِينًا قَالَ أَبُوبَكْرٍ : أَنَا، قَالَ : فَمَنْ عَادَ مِنْكُمُ الْيَوْمَ مَرِيضًا قَالَ أَبُوبَكْرٍ : أَنَا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَااجْتَمَعْنَ فِي امْرِئٍ إِلَّادَخَلَ الْجَنَّةَ

‘Siapakah diantara kalian yang berpuasa hari ini?’ Abu Bakar menjawab,’Saya.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapakah diantara kalian yang telah mengantar jenazah hari ini?’ Abu Bakar pun menjawab, ‘Saya.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya, ‘Siapakah diantara kalian yang telah memberi makan orang miskin hari ini?’ Abu Bakar menjawab lagi, ‘Saya.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih bertanya lagi, ‘Siapakah diantara kalian yang telah menjenguk orang sakit hari ini?’ Abu Bakar pun menjawab lagi, ‘Saya.’ Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidaklah amal-amal yang telah disebutkan tadi berkumpul pada satu orang, melainkan ia akan masuk surga.’

(HR. Muslim, no. 1028)

Sebagian Ulama ada yg mengatakan:

Karena waktu subuh berkah sehingga tidur di waktu subuh hukumnya makruh.

Apabila tidak tidur maka mendapat keberkahan yang sangat banyak,

Rezeki diturunkan waktu subuh

Beberapa ulama menjelaskan hukumnya adalah makruh.

Urwah bin Zubair berkata,

كان الزبير ينهى بنيه عن التصبح ( وهو النّوم  في الصّباح )

“Zubair bin Awwam  melarang anaknya tidur setelah subuh.”

(HR. Ibnu Abi Syaibah 5/222)

Sebaiknya jangan tidur setelah subuh karena waktu itu juga turunya rezeki dan berkah. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata,

وَنَوْمُ الصُّبْحَةِ يَمْنَعُ الرِّزْقَ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ وَقْتٌ تَطْلُبُ فِيهِ الْخَلِيقَةُ أَرْزَاقَهَا، وَهُوَ وَقْتُ قِسْمَةِ الْأَرْزَاقِ، فَنَوْمُهُ حِرْمَانٌ إِلَّا لِعَارِضٍ أَوْ ضَرُورَةٍ،

“Tidur setelah subuh mencegah rezeki, karena waktu subuh adalah waktu mahluk mencari rezeki mereka dan waktu dibagikannya rezeki. Tidur setelah subuh suatu hal yang dilarang (makruh) kecuali ada penyebab atau keperluan.”

(Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibaad 4/222, Muassah Risalah, Beirut, cet. Ke-27, 1415 H)

Pengertian rezeki, bukan hanya uang saja,

Di dalam islam artinya “segala sesuatu yg bermanfaat bagi makhluk, maka itulah rezeki”.

Uang, jodoh, anak, teman dan kemudahan hidup itu termasuk rezeki.

◆Dalil anak adalah rezeki

Rasulullaah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan satu doa khusus ketika seseorang hendak melakukan hubungan badan:

بِاسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

“Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki yang Engkau anugerahkan kepada kami.”

Dan dalil jodoh rezeki juga karena tidak mungkin punya anak tanpa itu.

Secara Medis tidur setelah subuh

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Beliau berkata,

وَهُوَ مُضِرٌّ جِدًّا بِالْبَدَنِ لِإِرْخَائِهِ الْبَدَنَ وَإِفْسَادِهِ لِلْفَضَلَاتِ الَّتِي يَنْبَغِي تَحْلِيلُهَا بِالرِّيَاضَةِ

“Tidur setalah subuh sangat berbahaya bagi badan karena melemahkan dan merusak badan karena sisa-sisa metabolisme yang seharusnya diurai dengan berolahraga/beraktifitas.”

(Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibaad 4/222, Muassah Risalah, Beirut, cet. Ke-27, 1415 H)

Yang namanya pola hidup tidak sehat akan di panen di waktu tua, contoh orang yang merokok ketika muda ia masih kuat maka ketika tua ia akan menuai keluhan2nya.

Tidur setelah Subuh hukumnya makruh, namun ketika ada makruh darurat maka boleh jika dalam fiqh.

yaitu kaidah،

الكراهة تزول بالحا جة

“Kemakruhan hilang karena hajat”

◆Tambahan penulis dalam kaidah di atas

Jangan sampai salah menempatkan kaidah, karena kaidah di atas memiliki turunan.

1.

الصّرر يدفع علئ قدر الا مكان

(kemudharatan dihilangkan semaksimal mungkin meskipun tidak seluruhnya hilang).

2.

الضّرر لا يزال بمثله

(kemudharatan tidak dihilangkan dengan memunculkan kemudharatan yang semisal apalagi kemudharatan yang lebih parah).

3.

ازتكاب أخفّ الضّررين

(menempuh kemudharatan yang lebih ringan yang mana kedua mudharat tersebut tidak bisa dihindari)

4.

درء المفاسد مقدّم على جلب المصالح

(menolak kemudharatan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan).

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,

ومن المكروه عندهم : النوم بين صلاة الصبح وطلوع الشمس فإنه وقت غنيمة ….حتى لو ساروا طول ليلهم لم يسمحوا بالقعود عن السير ذلك الوقت حتى تطلع الشمس

“Di antara yang tidak disukai adalah tidur antara shalat pagi dan ketika matahari terbit, karena  tidur pada waktu itu kurang baik…. sampai-sampai jika seseorang berjalan (safar) sepanjang malam, mereka tidak diizinkan untuk duduk (tidur dan istirahat) sampai terbit matahari.”

Namun lebih baik dan mampu melakukannya adalah setelah subuh adalah menahan untuk tidur, lalu tidur setelah waktu syuruq (awal terbit matahari)

Beberapa ulama yang cukup sibuk melakukan seperti ini, mereka tidur sebentar setelah terbit matahari (syuruq) kemudian berangkat kerja dan mengajar (beraktivitas).

Wallaahu ‘alam.

Semoga Bermanfaat.

بارك اللّه فيكم.

Oleh : Doni Setio Pambudi (Abu Ubaidillah) hafidzahullah Semoga Allah menjaganya dan memasukkan ke surga tertinggi

MUSLIMAFIYAH

Menyiapkan Bekal Untuk Kehidupan Yang Kekal

Kita hidup di dunia, tidak lama. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam telah bersabda:

أَعْمَارُ أُمَّتِـي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ إِلَى السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ

Umur-umur umatku antara 60 hingga 70 tahun, dan sedikit orang yg bisa melampui umur tersebut” (HR. Ibnu Majah: 4236, Syaikh Al Albani mengatakan: hasan shahih).

Dan ternyata dalam waktu yang sebentar itu, kita memerlukan bekal yang banyak untuk mengarunginya. Bahkan kadang kita harus banting tulang demi mencari bekal untuk kehidupan ini.

Jika untuk waktu +-70 tahun saja kita harus banting tulang untuk mencari bekalnya, lalu sudahkah kita banting tulang untuk kehidupan alam barzakh yang mungkin bisa sampai ribuan tahun?!

Setelah alam barzakh juga kita harus dibangkitkan dan hidup dalam waktu yang sangat lama, satu harinya = 50 ribu tahun. Ingat, ketika itu tak ada yang berguna kecuali amal baik kita. Tak ada pakaian, tak ada sandal, matahari hanya berjarak 1 mil dan tak ada naungan kecuali naungan-Nya.

Sungguh, kehidupan setelah kehidupan dunia ini jauh lebih lama, dan jauh lebih berat. Tentu itu memerlukan usaha mengumpulkan bekal yang jauh lebih banyak dan jauh lebih intens.

Oleh karena itu, lihatlah diri Anda, sudahkah dia mempersiapkannya…?!

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan“. (QS. Al-Hasyr: 18).

Penulis: Ustadz Musyaffa Ad Darini

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/22015-menyiapkan-bekal-untuk-kehidupan-yang-kekal.html

Muntah itu Najis

Ini penjelasan tentang najisnya muntah. Dan ini bahkan jadi pendapat kebanyakan ulama.

Di antara dalil yang disampaikan Ibnu Hazm rahimahullah dalam Al-Muhalla (1:191) adalah hadits,

الْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْعَائِدِ فِي قَيْئِه

“Orang yang meminta kembali hadiahnya seperti anjing muntah lalu menelan muntahannya sendiri.” (HR. Bukhari, no. 2589 dan Muslim, no. 1622)

Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan,

وَالْقَيْءُ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ أَوْ كَافِرٍ حَرَامٌ يَجِبُ اجْتِنَابُهُ

“Muntah dari seorang muslim maupun kafir, dihukumi haram dan wajib dijauhi.” (Al-Muhalla, 1:191)

Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (34:85) disebutkan bahwa al-qai’ (muntah) adalah makanan yang keluar dari dalam perut setelah masuk di dalamnya.

Muntah itu ada dua macam:

Macam pertama: Yang keluar dari perut berubah, tidak lagi seperti makanan (saat dimasukkan), yaitu berubah dari sisi rasa, warna, atau bau.

Muntah jenis ini najis sebagaimana pendapat dari kebanyakan ulama salaf dan khalaf, inilah pendapat dari empat ulama madzhab, juga termasuk pendapat ulama Zhahiriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim.

Alasannya adalah qiyas (analogi) dengan kotoran. Karena muntah itu adalah makanan yang sudah berubah dalam perut, hingga baunya tidak enak dan bentuknya sudah rusak.

Az-Zarkasyi berkata bahwa yang keluar dari manusia itu ada tiga macam:

  1. Suci, tanpa ada beda pendapat di dalamnya: air mata, keringat, air liur, ingus, ludah.
  2. Najis, tanpa ada beda pendapat di dalamnya: kencing, kotoran manusia, wadi, darah dan yang semisal, dan muntah.
  3. Yang masih diperselisihkan suci ataukah najis: mani, madzi. Lihat Syarh Az-Zarkasyi ‘ala Mukhtashar Al-Kharaqi (2:93).

Al-Lajnah Ad-Daimah (Komisi Fatwa Saudi Arabia) menyatakan bahwa muntah itu najis, baik dari anak-anak maupun orang dewasa karena muntah itu adalah makanan yang sudah mengalami perubahan dalam perut, hingga menjadi rusak. Hukumnya disamakan dengan kotoran dan darah. Jika muntah tadi terkena pakaian atau selainnya, maka wajib dicucii dengan air, hingga hilang, dan tempat yang terkena menjadi bersih. Demikian Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah (4:193).

Macam kedua: Muntah yang keluar dan keadaannya sama dengan makanan dan tidak berubah.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Najisnya muntah itu telah disepakati, baik itu muntah dari manusia maupun hewan. Juga termasuk najis, muntah yang berubah atau tidak berubah dari bentuk makanan. Ada juga yang berpendapat bahwa jika keluar tidak berubah dari bentuk makanan, tetap dianggap suci, inilah pendapat dari madzhab Imam Malik.” Demikian disebutkan dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (2:551).

Masih dimaafkan untuk muntah yang sedikit

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya tentang muntah apakah mempengaruhi sucinya pakaian ataukah tidak?

Syaikh rahimahullah menjawab, “Muntah yang sedikit dimaafkan, adapun muntah yang banyak sudah selayaknya dicuci. Karena kebanyakan ulama menganggap najisnya muntah dan disamakan dengan kencing. Sehingga jika muntah tadi mengenai pakaian atau badan, sudah sepatutnya dicuci. Adapun muntah yang sedikit, maka dimaafkan sebagaimana darah, nanah, dan najis yang sedikit dimaafkan. Permasalahan muntah ini berlaku pada orang orang dewasa maupun anak-anak, dihukumi sama.” (Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, 5:379)

Prof. Dr. Muhammad Al-Zuhailiy dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i mengatakan, “Mulut bayi yang tercampur dengan muntahnya ketika dia disusukan oleh ibunya termasuk najis yang dimaafkan.”

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/21263-muntah-itu-najis.html