Semakin Rindu Ingin Pulang

KETIKA sedang membaca tulisan ini, yakinkah saudara bahwa benar-benar ada kata dan kalimat yang sedang dibaca? Yakinkah saudara kalau benar-benar sedang memegang buku atau ada di depan komputer, laptop atau gadget?

Apabila saudara yakin tulisan ini benar-benar ada dan saudara sedang membacanya, begitulah ibaratnya bagi seseorang yang imannya kuat. Dia yakin Allah pasti sedang memerhatikannya, seyakin dia pada adanya huruf-huruf di depannya saat dia sedang membaca.

Sampai di sini, saudara jangan coba-coba mengaku-aku, misalnya, “Ya benar, Allah sedang hadir bersama saya sekarang, Dia sedang menatap saya yang mencari ilmu.” Sebab, ketika sedang membaca tulisan ini, di samping kita mungkin ada teman-teman yang salah seorangnya sudah lama ditarget sebagai calon istri. Atau saudara memang bicara sendiri, tetapi sedang di rekam untuk diupload di Youtube.

Tidak akan ada artinya pengakuan lisan karena Allah Maha Tahu. Mari kita bicara pada hati kita sendiri. Kita melihat ke lubuk hati kita yang terdalam dengan kejujuran. Benarkah kita yakin bahwa Allah sedang menatap kita saat membaca tulisan ini?

Nah, seseorang yang imannya kuat, yang haqqul yaqin, tanpa ditanyakan pun dia selalu ingat kepada Allah Taala. Sulit baginya melupakan Allah. Dia hanya tertarik kepada Allah. Semua gemerlap dan gemerincing duniawi sudah tidak ada apa-apanya lagi. Harta, jabatan, pangkat dan gelar tidak menarik baginya.

Seseorang di antara pembaca yang imannya kuat, dia akan tenang dan lancar saja melihat ke lubuk hatinya. Tidak ada persoalan dunia yang akan menjadi kendala atau membuat keruh kejujuran hatinya. lngatnya kepada Allah Ta’ala tidak hanya, misalnya, saat membaca tulisan ini saja, tetapi juga saat melakukan beragam aktivitas lainnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, orang yang imannya kuat sudah tidak menginginkan dunia, apalagi membangga-banggakan apa-apa yang dimiliki. Dia tidak bangga punya harta miliaran, tiga rangkap jabatan pimpinan, atau pun tiga titel profesor di depan namanya. Dia juga tidak takut tidak punya uang. Tidak meminta-minta kepada manusia Dia tidak takut dan berharap-harap dari makhluk.

Terhadap harta, jabatan, pangkat dan gelar, dia melihatnya hanya sekadar tanggung jawab. Dari banyaknya harta yang dipunyai, jabatan yang dipegang, gelar yang disandang, yang terbayang adalah lamanya hisab. Hisab uang, lusinan sepatu, cincin, arloji, gadget, rumah, dan belum perhitungan tanggung jawab atas ilmu yang dimiliki, serta jabatan yang diduduki.

Jadi, kuatnya iman seseorang akan menjauhkannya dari ketakutan dan kesedihan duniawi. Dia akan jauh dari yang namanya risau, bingung dan galau dalam menempuh kehidupan yang sementara, termasuk terhadap ancaman yang dapat menyebabkan kematian. Dia yakin kalau waktu, tempat dan cara meninggalnya merupakan sebuah rahasia dan telah ditentukan oleh AIIoh Ta’aIa. Semakin kuat imannya justru membuat dia semakin rindu ingin pulang.

Iman LEMAH… hidup selalu galau, penuh kecemasan, kebingungan.

Iman KUAT… Hati tenang hidup mantap.

* Sumber: Buku Ikhtiar Meraih Ridha Allah Jilid 1

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

INILAH MOZAIK

Empat Tingkatan Mengenal Allah SWT, Apa Saja?

Mengenali Allah (makrifah Allah) merupakan hal yang amat sangat mendasar bagi setiap orang beriman. Menurut Abi Bakr al-Jazairi ada empat macam untuk bisa mengenal Allah. Prof Muhammad Amin Suma, dalam Tafsir Al-Amin Bedah Surah Al-Fatihah menjelaskan ada empat tingkatan mengenal Allah. 

Pertama tingkatan yang diraih para ilmuwan yang mengobservasi alam semesta (‘ulama al-kauniyyat). Keimanan mereka kepada Allah didapatkan dengan melakukan penalaran dan berargumentasi al-nazhar wa-al-istidlal.  

Kedua tingkatan keimanan orang-orang mukmin yang keimanannya lebih didasarkan pada sikap pengikutan (al-Iman al taqlidi) yang diperoleh mereka melalui rasa kesadaran diri yang bersifat fitrah (al-syuur al fithri) dan sebatas mengandalkan berita-berita yang disampaikan orang lain dalam pengertian menurut orang lain tentang eksistensi Allah dan kemasyhurannya (wujudillah wa syuhratiha). 

Tingkatan pengenalan Allah dengan cara yang kedua ini masih tergolong ke dalam tingkatan yang rendah, mengingat pemiliknya adalah orang-orang yang mukmin yang sedikit tipis ketakwaan, ketakutan, dan kecintaannya kepada Allah. 

Ketiga pengetahuan orang-orang mukmin dari kalangan ahli-ahli syariat ilahiah (ahl al-syar’i al-ilahiyyah) yang mampu mengenali Allah dengan mengacu kepada metode yang Allah berikan kepada mereka melalui berita dan petunjuknya, serta berita yang diperoleh dari orang yang lebih dulu mengenali Allah dengan cara yang benar berdasarkan kesaksian (as-syawahid) argumentasi (al-barahin) dan dalil-dalil (al-dillah) yang relevan dengan itu.  

Orang-orang mukmin terpelajar macam inilah yang kebanyakan mampu mencintai Allah seperti dicontohkan orang-orang berilmu sebagai pewaris Nabi sebagaimana dimaksud dalam surah Fathir ayat 28.

Dan keempat tingkatan pengetahuan para nabi dan rasul Allah sebagai tingkatan yang paling tinggi, lebih sempurna dan lebih lengkap. “Karena  dalam mengenal Allah mereka langsung dari Allah sendiri yang meliputi seluruh aspek keilmuan yang bersifat komprehensif dan sempurna (tamam),” katanya.

Dan keempat tingkatan pengetahuan para nabi dan rasul Allah sebagai tingkatan yang paling tinggi, lebih sempurna dan lebih lengkap. “Karena  dalam mengenal Allah mereka langsung dari Allah sendiri yang meliputi seluruh aspek keilmuan yang bersifat komprehensif dan sempurna (tamam),” katanya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Kondisi Makam Imam Bukhari Sebelum Sukarno Datang

Presiden Sukarno begitu sangat legendaris bagi masyarakat Uzbekistan. Kelegendarisan Bung Karno bagi mereka ini berkaitan dengan kisah ditemukannya makam Imam Bukhari, perawi hadis paling tersohor. 

Sejarah Sukarno dengan bangsa Uzbekistan dimulai ketika paska Konferensi Asia Afrika pada 1955. Pemerintah Soviet mengundang Presiden Sukarno untuk melakukan kunjungan kenegaraan ke Moskow.

Saat itu, Sukarno sadar, sebagai Presiden Indonesia yang dianggap sebagai pemimpin negara-negara Non Blok harus bersikap netral terhadap Blok Timur maupun Blok Barat.

Tapi pada sisi lain, Sukarno juga menyadari bahwa Indonesia butuh dukungan Soviet untuk melegitimasi eksistensi negara-negara non-blok dan kesepakatan yang telah dicapai dalam Konferensi Asia Afrika I 1955.

Sukarno juga menyadari membutuhkan dukungan Soviet untuk menghadapi berbagai upaya negara-negara Barat yang masih terus berusaha menjajah dan menguasai kembali Indonesia.

Sementara itu, Sukarno mafhum bahwa mayoritas masyarakat Indonesia adalah beragama Islam sehingga tidak mungkin Indonesia akan ikut blok timur yang dipimpin negara komunis Uni Soviet.

Situasi itu yang oleh Sukarno disiasati dengan sangat cerdas dengan mengajukan syarat atas rencananya memenuhi undangan Pemerintah Soviet dengan meminta dicarikan/ditemukan makam Imam Bukhari seorang perawi Nabi Muhammad SAW yang amat termasyhur itu.

Kata Sukarno kepada pemimpin Uni Soviet saat itu, Nikita Krushchev, “Aku sangat ingin menziarahinya.” 

Menurut Israil, muazin Masjid Imam Bukhari, menjelang kedatangan Bung Karno pada 1956, kondisi makam tidak terawat dengan baik dan berada di semak belukar hingga akhirnya pemerintah Soviet membersihkan dan memugar makam tersebut untuk menyambut kedatangan Sukarno.

Penghormatan Sukarno terhadap Imam Bukhari dilakukan dengan cara melepas sepatu dan berjalan merangkak dari pintu depan menuju makam ketika turun dari mobil yang mengantarnya.

“Presiden Sukarno merangkak menuju makam lalu memanjatkan doa dan dilanjutkan sholat serta membaca Alquran,” kata Israil.

Keterangan tersebut diperkuat Muhammad Maksud, penjaga makam Imam Bukhari, bahwa atas jasa Presiden Sukarno, kompleks makam Imam Bukhari kini dipugar hingga terlihat sangat megah seperti saat ini. Sehingga, kompleks makam seluas 10 hektare ini menjadi wisata bagi umat Islam di dunia setelah makam Nabi Muhammad SAW di Madinah.

Hal tersebut terungkap dalam kunjungan Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah beserta rombongan ke Uzbekistan. Kunjungan dalam rangka memperkuat hubungan kedua negara. 

IHRAM REPUBLIKA

Kapuskes Haji: Petugas Haji Harus Kuasai Istithaah

Kepala Pusat Kesehatan Haji, Eka Jusup Singka, meminta para petugas kesehatan haji rekrutan kelak mesti menguasai tentang istitha’ah kesehatan haji. Hal itu penting untuk menghindari perdebatkan terkait jamaah yang batal diberangkatkan karena tak memenuhi syarat istitha’ah. 

“Jangan ada yang bilang kasihan pak Eka jamaah sudah menunggu 20 tahun mengapa tidak diberangkatin, lalu bilang kita menzalimi jamaah,” kata Eka saat menyampaikan materi Peran Petugas Kesehatan Haji Dalam Meningkatkan Kesehatan Fisik dan Mental Jamaah Haji” di Gedung Teater Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung, Jawa Barat, akhir pekan lalu, Sabtu (21/9).

Menurutnya, lebih kasihan ketika jamaah haji yang tak memenuhi syarat istitha’ah Kesehatan tetap diberangkatkan. Karena bagitupun diberangkatkan jamaah haji di tanah suci tidak bisa melakukan rangkaian ibadah haji. “Lebih kasihan lagi kalau diberangkatin tidak ngapa-ngapain. Ayo adu kasihan kasihan mana nunggu 20 tahun sudah sampai di sana meninggal,” ujarnya.

Eka memastikan istitha’ah kesehatan haji di Permenkes No 15 Tahun 2016 merupakan panduan baku mengukur jamaah haji laik tidak laik diberangkatkan ke tanah suci. Untuk itu semua pihak terutama petugas kesehatan haji tak perlu memperdebatkannya lagi, ketika ada jamaah tidak diberangkatkan. “Bahwa istitha’ah adalah kartu mati jangan tanya macam-macam lagi tentang istitha’ah,” katanya.

Eka menegaskan istitha’ah sudah sesuai dengan Alquran surah Ali Imran 97. Ayat ini harus diketahui semua pihak terkait, terutama petugas kesehatan haji. “Istitha’ah itu adalah pesan Alquran, Ali Imran ayat 97. Dan orang kesehatan haji harus hafal itu tidak boleh tidak tahu,” katanya.

Selama ini kata Eka, istilah istitha’ah kesehatan memang tak dikenalkan dengan baik kepada masyarakat. Selama ini kata dia, umat Islam hanya mengenal tentang haji itu mampu secara finansial. “Karena dulu kita selalu diajarkan naik haji jika mampu, jadi tidak pernah kenal istitha’ah,” katanya.

IHRAM REPUBLIKA

Dzikir-Dzikir Yang Shahih Setelah Shalat (Bag.2)

Baca pembahasan sebelumnya Dzikir-Dzikir Yang Shahih Setelah Shalat (Bag.1)

Tata cara Berdzikir Setelah Shalat

1. Berdzikir setelah shalat dilakukan sendiri-sendiri

Perlu diketahui bahwa berdoa dan berdzikir secara jama’i (berjama’ah) tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya. Demikian para tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para imam umat Islam. Asy Syathibi rahimahullah mengatakan:

الدعاء بهيئة الاجتماع دائماً لم يكن من فعل رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Berdoa dengan cara bersama-sama dan dilakukan terus-menerus, tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam” (Al I’tisham, 1/129).

Syaikhul Islam mengatakan:

لم ينقل أحد أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا صلى بالناس يدعو بعد الخروج من الصلاة هو والمأمومون جميعاً، لا في الفجر، ولا في العصر، ولا في غيرهما من الصلوات، بل قد ثبت عنه أنه كان يستقبل أصحابه ويذكر الله ويعلمهم ذكر الله عقيب الخروج من الصلاة

“Tidak ternukil dari seorang pun bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika shalat mengimami orang-orang lalu setah itu beliau berdoa bersama para makmum bersama-sama. Tidak dalam shalat subuh, shalat ashar, atau shalat lainnya. Namun memang, terdapat hadits shahih bahwa beliau berbalik badan menghadap kepada para makmum lalu berdzikir dan mengajarkan dzikir kepada para sahabat setelah shalat” (Majmu Al Fatawa, 22/492).

Ditambah lagi para sahabat mengingkari orang-orang yang melakukan dzikir jama’i. Dari Abul Bukhtari ia mengatakan:

أخبر رجل ابن مسعود رضي الله عنه أن قوماً يجلسون في المسجد بعد المغرب، فيهم رجل يقول: كبروا الله كذا، وسبحوا الله كذا وكذا، واحمدوه كذا وكذا، واحمدوه كذا وكذا. قال عبد الله: فإذا رأيتهم فعلوا ذلك فأتني، فأخبرني بمجلسهم. فلما جلسوا، أتاه الرجل، فأخبره. فجاء عبد الله بن مسعود، فقال: والذي لا إله غيره، لقد جئتم ببدعة ظلماً، أو قد فضلتم أصحاب محمد علماً. فقال عمرو بن عتبة: نستغفر الله. فقال: عليكم الطريق فالزموه، ولئن أخذتم يميناً وشمالاً لتضلن ضلالاً بعيداً

“Seseorang mengabarkan kepada Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu bahwa ada sekelompok orang yang duduk-duduk di masjid setelah Maghrib. Diantara mereka ada yang berkata: bertakbirlah sekian, bertasbihlah sekian, bertahmidlah sekian! Maka Abdullah bin Mas’ud berkata: Jika nanti engkau melihat mereka lagi, datanglah kepadaku dan kabarkanlah dimana majelis mereka. Kemudian suatu saat datang orang mengabarkan beliau tentang majelis tesebut. Maka beliau datangi dan berkata: Demi Allah, sungguh kalian telah melakukan kebid’ahan yang zalim. Atau kalian telah memiliki ilmu yang lebih daripada para sahabat Nabi? Maka salah seorang dari mereka yang bernama Amr bin Utbah berkata: kami hanya beristighfar kepada Allah. Ibnu Mas’ud menjawab: Hendaknya kalian ikuti jalan yang benar, dan pegang erat itu. Kalau kalian berbelok ke kanan atau ke kiri kalian akan sesat sejauh-jauhnya” (Al Amru bil Ittiba wan Nahyu anil Ibtida’, 81-85).

Maka yang benar, berdzikir setelah shalat dilakukan sendiri-sendiri bukan bersama-sama dengan satu suara.

Adapun riwayat dari Imam Asy Syafi’i bahwa beliau membolehkan dzikir jama’i, sangat jelas maksud beliau adalah sekedar untuk mengajarkan, bukan untuk dilakukan terus-menerus. Beliau mengatakan:

واختار للإمام والمأموم أن يذكرا الله بعد الانصراف من الصلاة، ويخفيان الذكر إلا أن يكون إماماً يجب أن يُتعلم منه فيجهر حتى يرى أنه قد تُعُلِّم منه ثم يُسِرُّ

“Imam dan makmum silakan memilih dzikir yang ia amalkan setelah shalat selesai. Dan hendaknya ia merendahkan suara ketika dzikir, kecuali jika imam ingin mengajarkan para makmum, maka silakan dikeraskan suaranya hingga terlihat para makmum sudah mengetahuinya. Setelah itu lalu kembali lirih” (Al Umm, 1/111).

2. Dianjurkan dengan suara keras

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:

“Membaca tasbih dan tahlil setelah shalat itu disyari’atkan untuk semua orang. Setiap orang mengeraskan suara mereka dalam membacanya, tanpa diselaraskan sehingga suaranya bersamaan. Masing-masing orang mengeraskan suaranya tanpa perlu menyelaraskan dengan suara orang lain.

Ibnu Abbas Radhiallahu’ahu berkata:

كان رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة على عهد النبي صلى الله عليه وسلم

“Di zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, orang-orang biasa mengeraskan suara dalam berdzikir setelah selesai shalat wajib” (HR. Bukhari no.841).

Beliau juga berkata:

كنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته

“Aku tahu bahwa mereka telah selesai shalat ketika aku mendengar suara (dzikir) mereka” (HR. Bukhari no.841).

Dalam riwayat ini Ibnu Abbas menjelaskan bahwa mereka (para sahabat) mengangkat suara mereka dalam berdzikir setelah shalat sampai-sampai orang yang berada di sekitar masjid mengetahui bahwa mereka sudah selesai salam. Inilah yang merupakan sunnah.

Namun bukan berarti dilakukan secara bersamaan dengan dipimpin. Bukan demikian. Bahkan yang benar itu, satu orang berdzikir sendiri dan yang satu lagi demikian. Cukup demikian, Walhamdulillah. Tanpa perlu menyelaraskan dengan suara orang banyak” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, no.992).

3. Cara menghitung tasbih, tahmid dan takbir

Dari Yasirah bintu Yasir radhiallahu’anha, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

عليكنَّ بالتّسبيحِ والتَّهليلِ والتَّقديسِ واعقِدْنَ بالأناملِ فإنهن مَسئولاتٌ مُستنطَقاتٌ ولا تغْفَلْنَ فتنسِين الرَّحمةَ

“Hendaknya kalian bertasbih, bertahlil, ber-taqdis, dan buatlah ‘uqdah dengan jari-jari. Karena jari-jari tersebut akan ditanya dan akan bisa bicara (di hari Kiamat) maka janganlah kalian lalai sehingga lupa terhadap rahmat Allah” (HR. Tirmidzi no. 3583, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Dalam riwayat Abu Daud:

أنّ النبيَّ صلى الله عليه وسلم أمرهن أن يراعين بًالتكبير والتقديس والتهليل وأن يعقدن بًالأنامل فإنهن مسئولات مستنطقات

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan mereka untuk memperhatikan takbir, taqdis dan tahlil, dan hendaknya mereka membuat ‘uqdah dengan jari-jari. Karena jari-jari tersebut akan ditanya dan akan bisa bicara (di hari Kiamat)” (HR. Abu Daud no. 1501, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Dalam hadits disebutkan واعقِدْنَ yaitu membentuk ‘uqdah, menekuk jari-jari ketika berdzikir.

Contohnya:

Membaca “subhanallah” kemudian tekuk jari kelingking
Membaca “subhanallah” lagi, kemudian tekuk jari manis
Membaca “subhanallah” lagi, kemudian tekuk jari tengah
dst.

Boleh juga dengan cara:

Membaca “subhanallah” 5x lalu tekuk jari kelingking
Membaca “subhanallah” 5x lagi lalu tekuk jari manis, dst.

Sebagaimana penjelasan Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Abdul Muhsin Az Zamil, Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini dan para ulama yang lainnya. Namun cara-cara lain dengan jari bagaimana pun caranya juga boleh, karena ini perkara yang longgar.

Penjelasan berdzikir menggunakan biji tasbih

Adapun berdzikir dengan menggunakan biji tasbih, ulama berbeda pendapat mengenai hal ini:

  1. Pendapat pertama, hukumnya bid’ah, karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat padahal mereka mampu melakukannya. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
  2. Pendapat kedua, hukumnya boleh sekedar untuk sarana menghitung tanpa diyakini ada keutamaan khusus. Mereka mengqiyaskan hal ini dengan perbuatan sebagian salaf yang bertasbih dengan kerikil. Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:

الراجح أنه لا حرج في ذلك؛ لأنه ورد عن بعض الصحابيات وعن بعض السلف التسبيح بالحصى وبالنوى والعقد لا بأس لكن الأصابع أفضل

“Yang rajih, tidak mengapa menggunakan biji tasbih. Karena terdapat riwayat dari sebagian sahabiyat dan sebagian salaf bahwa mereka bertasbih dengan kerikil, kurma atau tali. Maka menggunakan tasbih tidak mengapa. Namun menggunakan jari itu lebih utama” (Sumber: binbaz.org.sa/fatwas/11614).

  1. Pendapat ketiga, hukumnya makruh. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, beliau mengatakan:

التسبيح بالمسبحة تركه أولى وليس ببدعة لأن له أصلا وهو تسبيح بعض الصحابة بالحصى ، ولكن الرسول صلى الله عليه وسلم أرشد إلى أن التسبيح بالأصابع أفضل

“Bertasbih dengan biji tasbih, meninggalkannya lebih utama. Namun bukan bid’ah, karena ada landasannya yaitu sebagian sahabat bertasbih dengan kerikil. Namun Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membimbing kita kepada yang lebih utama yaitu bertasbih dengan jari jemari” (Liqa Baabil Maftuh, 3/30).

Pendapat ketiga ini yang nampaknya lebih menenangkan hati, wallahu a’lam.

Berdoa setelah shalat

Dari Abu Umamah Al Bahili radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

يا رسولَ اللهِ أيُّ الدعاءِ أَسْمَعُ ؟ قال : جَوْفَ الليلِ الآخِرِ ، ودُبُرَ الصلواتِ المَكْتُوباتِ

“Ada yang bertanya: Wahai Rasulullah, kapan doa kita didengar oleh Allah? Beliau bersabda: “Diakhir malam dan diakhir shalat wajib” (HR. Tirmidzi, no. 3499, dihasankan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Atas dasar hadits ini, sebagian ulama menganjurkan untuk berdoa setelah shalat. Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan:

واستحب أيضاً أصحابنا وأصحاب الشافعي الدعاء عقب الصلوات، وذكره بعض الشافعية اتفاقاً

“Ulama madzhab Hambali dan juga madzhab Syafi’i menganjurkan untuk berdoa setelah shalat, bahkan sebagian Syafi’iyyah menukil adanya ittifaq (sepakat dalam madzhab Syafi’i)” (Fathul Baari, 5/254).

Namun Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Zaadul Ma’ad (1/305) menjelaskan bahwa yang dimaksud ‘akhir shalat wajib’ adalah sebelum salam. Dan tidak terdapat riwayat bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat merutinkan berdoa meminta sesuatu setelah salam pada shalat wajib. Ahli fiqih masa kini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata: “Apakah berdoa setelah shalat itu disyariatkan atau tidak? Jawabannya: tidak disyariatkan. Karena Allah Ta’ala berfirman:

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ

“Jika engkau selesai shalat, berdzikirlah” (QS. An Nisa: 103). Allah berfirman ‘berdzikirlah’, bukan ‘berdoalah’. Maka setelah shalat bukanlah waktu untuk berdoa, melainkan sebelum salam” (Fatawa Ibnu Utsaimin, 15/216).

Syarat berdoa setelah shalat

Yang rajih, jika seseorang ingin berdoa setelah shalat, hukumnya boleh sebagaimana kandungan hadits di atas. Namun dengan syarat:

  • Tidak mengangkat tangan
  • Sendiri-sendiri, tidak berjama’ah
  • Dengan suara sirr (lirih)

Syaikh Shalih Al Fauzan menjelaskan, “setelah menyelesaikan dzikir-dzikir di atas, boleh berdoa secara sirr (lirih) dengan doa apa saja yang diinginkan. Karena doa setelah melakukan ibadah dan dzikir-dzikir yang agung itu lebih besar kemungkinan dikabulkannya. Dan tidak perlu mengangkat tangannya ketika berdoa setelah shalat fardhu, sebagaimana yang dilakukan sebagian orang, karena ini adalah kebid’ahan. Namun boleh mengangkat tangannya setelah shalat sunnah kadang-kadang. Dan tidak perlu mengeraskan suara ketika berdoa, yang benar adalah dengan melirihkan suaranya. Karena itu lebih dekat pada keikhlasan dan kekhusyukan serta lebih jauh dari riya’.

Adapun apa yang dilakukan sebagian orang di beberapa negeri Islam, yaitu berdoa secara berjama’ah setelah shalat fardhu dengan suara keras dan mengangkat tangan, atau imam memimpin doa lalu diamini oleh para hadirin sambil mengangkat tangan mereka, ini adalah bidah munkarah. Karena tidak ternukil dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau shalat mengimami orang-orang lalu berdoa setelahnya dengan tata cara seperti ini. Baik dalam shalat subuh, shalat ashar, atau shalat-shalat yang lain. Dan tidak ada pada imam yang menganjurkan tata cara seperti ini” (Al Mulakhash Al Fiqhi, hal. 86).

Wallahu a’lam.

**

Penyusun: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51497-dzikir-dzikir-yang-shahih-setelah-shalat-bag-2.html

Perintah Mensucikan Hati dan Keutamaannya

Allah berfirman yang artinya, “(Yaitu) pada hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. asy-Syu’ara: 88-89)

Ibnu Katsir berkata, “‘(Yaitu) pada hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna’ Artinya, harta seseorang tidak akan bisa menjaga diri orang tersebut dari azab Allah, walaupun dia menebusnya dengan emas seluas dan sepenuh bumi. ‘Dan tidak pula anak-anak laki-laki’, artinya tidak pula bisa menghindarkan dirinya dari azab Allah, walaupun dia menebus dirinya dengan semua manusia yang bisa memberikan manfaat kepadanya. Yang bermanfaat pada hari kiamat hanyalah keimanan kepada Allah dan memurnikan peribadatan hanya untuk-Nya, serta berlepas diri dari kesyirikan dan dari para pelakunya. Oleh karena itu, Allah kemudian berfirman, ‘Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.’ Yaitu, hati yang terhindar dari kesyirikan dan dari kotoran-kotoran hati.”

Imam asy-Syaukani berkata, “Harta dan kerabat tidak bisa memberikan manfaat kepada seseorang pada hari kiamat. Yang bisa memberikan manfaat kepadanya hanyalah hati yang selamat. Dan hati yang selamat dan sehat adalah hati seorang mukmin yang sejati.”

Ayat-Ayat yang Lain

1. Allah berfirman,

“(Ingatlah) ketika dia (Ibrahim) datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci.” (QS. ash-Shaffat: 84)

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata di dalam tafsirnya, “Yakni dia datang menghadap Allah dengan membawa hati yang selamat dari kesyirikan, syubhat-syubhat, dan syahwat-syahwat yang bisa menghalanginya dari mengetahui kebenaran dan mengamalkannya. Apabila hati seorang hamba telah selamat dari hal-hal di atas, maka hati tersebut akan terhindar dari segala keburukan-keburukan, dan sebaliknya hati tersebut akan memunculkan kebaikan-kebaikan. Dan di antara bentuk keselamatan hati adalah bahwa ia selamat dari perbuatan menipu daya manusia, serta selamat dari hasad dan dari berbagai bentuk akhlak yang tercela.”

2. Allah berfirman,

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan ada kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang.’” (QS. al-Hasyr: 10)

Imam asy-Syaukani berkata tentang ayat di atas yang maknanya bahwa yang dimaksud orang-orang yang datang setelah para sahabat adalah semua orang yang mengikuti mereka sampai hari kiamat. Dalam ayat ini Allah memerintahkan mereka untuk memohon ampunan untuk diri mereka sendiri dan juga untuk para pendahulu mereka yang telah mendahului mereka dalam beriman. Allah juga memerintahkan mereka untuk berdoa kepada-Nya agar dihilangkan dari hati mereka perasaan ghill, yaitu rasa dendam, dongkol, dan dengki terhadap kaum mukminin -dan tentunya yang menduduki peringkat utama dalam golongan kaum mukminin adalah para sahabat karena merekalah generasi paling mulia dari umat ini.

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Doa ini berlaku secara umum untuk semua kaum mukminin baik dari kalangan sahabat atau umat sebelum sahabat atau generasi-generasi setelah sahabat. Dan ini termasuk di antara keutamaan-keutamaan iman, yaitu bahwa kaum mukminin itu saling memberi manfaat satu sama lain, saling mendoakan satu sama lain. Semua itu karena adanya kebersamaan dalam keimanan yang berimplikasi adanya ikatan ukhuwwah antar mukmin, yang di antara cabangnya adalah saling mendoakan dan saling mencintai antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, Allah menyebutkan dalam doa tersebut permintaan dihilangkannya rasa ghill dari hati mereka, sedikit ataupun banyak. Apabila sifat ghill tersebut telah hilang dari hati, maka akan muncul sifat yang menjadi lawan dari sifat tersebut, yaitu rasa cinta antara sesama mukmin, saling menolong dan menasehati, serta sifat-sifat terpuji lainnya yang termasuk hak-hak orang mukmin yang harus ditunaikan.”

Hadits-Hadits Rasulullah

1. Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau berkata, “Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, ‘Siapakah orang yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Setiap orang yang bersih hatinya dan benar ucapannya.’ Para sahabat berkata, ‘Orang yang benar ucapannya telah kami pahami maksudnya. Lantas apakah yang dimaksud dengan orang yang bersih hatinya?’ Rasulullah menjawab, ‘Dia adalah orang yang bertakwa (takut) kepada Allah, yang suci hatinya, tidak ada dosa dan kedurhakaan di dalamnya serta tidak ada pula dendam dan hasad.’” (Dikeluarkan oleh Ibnu Majah 4216 dan Thabarani, dan dishahihkan oleh Imam Albani di dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah)

2. Diriwayatkan dari an-Nu’man bin Basyir, dia berkata, “Rasulullah bersabda, ‘… Ketahuilah sesungguhnya di dalam jasad itu ada segumpal darah. Apabila dia baik, maka menjadi baik pula semua anggota tubuhnya. Dan apabila rusak, maka menjadi rusak pula semua anggota tubuhnya. Ketahuilah dia itu adalah hati.’” (Muttafaq ‘alaihi)

3. Diriwayatkan dari Anas bin Malik, beliau berkata, “Suatu ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah. Tiba-tiba beliau berkata, ‘Akan lewat di hadapan kalian saat ini seorang calon penghuni surga.’ Lalu lewatlah seorang pemuda Anshar dalam keadaan dari jenggotnya menetes sisa-sisa air wudhu dan tangan kirinya menenteng sandal. Pada keesokan harinya, Rasulullah bersabda lagi persis sebagaimana sabdanya kemarin, lalu lewatlah pemuda tersebut dengan keadaan persis dengan keadaannya yang kemarin. Dan pada hari yang ketiga Rasulullah mengulang lagi sabdanya seperti sabdanya yang pertama dan pemuda itu pun muncul lagi dengan keadaan seperti keadaannya yang pertama. Maka, ketika Rasulullah beranjak pergi, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash segera mengikuti pemuda tersebut (ke rumahnya), lalu berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya antara aku dan bapakku telah terjadi perselisihan, maka aku bersumpah tidak akan masuk ke rumahnya selama 3 hari. Jika engkau tidak keberatan, aku ingin menumpang padamu selama 3 hari tersebut.’ Pemuda tersebut berkata, ‘Ya, tidak apa-apa.’”

Selanjutnya Anas berkata, “Maka Abdullah menceritakan bahwa selama 3 hari bersama pemuda tersebut, dia tidak melihatnya melakukan qiyamul lail (shalat malam) sedikitpun. Yang dia lakukan hanyalah bertakbir dan berzikir setiap kali dia terjaga dan menggeliat di atas tempat tidurnya sampai dia bangun untuk shalat shubuh. Selain itu, Abdullah berkata, ‘Hanya saja, aku tidak pernah mendengarnya berbicara kecuali yang baik-baik. Setelah 3 hari berlalu dan hampir saja aku meremehkan amalannya, aku berkata kepadanya, ‘Wahai hamba Allah, sebenarnya tidak pernah ada pertengkaran antara aku dengan bapakku, dan tidak pula aku menjauhinya. Sebenarnya, aku hanya mendengar Rasulullah berkata tentang engkau tiga kali, ‘Akan muncul di hadapan kalian saat ini seorang laki-laki calon penghuni surga.’ Dan ternyata engkaulah yang muncul sebanyak 3 kali itu. Karena itu, aku jadi ingin tinggal bersamamu agar aku bisa melihat apa yang engkau lakukan untuk kemudian aku tiru. Akan tetapi, aku tidak melihat engkau melakukan amalan yang besar. Lantas, amalan apa sebenarnya yang bisa menyampaikan engkau kepada kedudukan sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah?’ Orang tersebut berkata, ‘Aku tidak melakukan kecuali apa yang kamu lihat.’ Maka ketika aku telah berpaling (pergi), dia memanggilku dan berkata, ‘Sebenarnyalah aku memang tidak melakukan apa-apa selain yang engkau lihat. Hanya saja, selama ini aku tidak pernah merasa dongkol dan dendam kepada seorang pun dari kaum muslimin, serta tidak pernah menyimpan rasa hasad terhadap seorang pun terhadap kebaikan yang telah Allah berikan kepadanya.’ Maka Abdullah berkata, ‘Inilah amalan yang membuatmu sampai pada derajat tinggi, dan inilah yang tidak mampu kami lakukan.’” (HR. Ahmad)

Perkataan Para Salaf

1. Abu Dujanah berkata, “Tidak ada sebuah amalan yang paling aku yakini bisa memberi manfaat bagiku di akhirat selain dua perkara. Yang pertama, aku tidak pernah berbuat sesuatu yang tidak bermanfaat bagiku. Dan yang kedua, selamatnya hatiku terhadap kaum muslimin.” (Siyar A ‘lam an-Nubala’ I/243).

2. Sufyan bin Dinar berkata, “Aku berkata kepada Abu Bisyr -dan dia termasuk di antara murid-murid Ali bin Abu Thalib-, ‘Beri tahu kepadaku amalan-amalan orang-orang sebelum kita.’ Dia berkata, ‘Mereka sedikit beramal tetapi mendapatkan pahala yang banyak.’ Aku berkata, ‘Mengapa bisa demikian?’ Dia berkata, ‘Karena selamatnya (bersihnya) hati mereka.’” (Az-Zuhud II/600).

3. Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Tidak akan bisa mengejar kami orang yang mengejar dengan memperbanyak puasa dan shalat, akan tetapi kami hanya bisa dikejar dengan bermurah hati dan selamatnya hati dan memberi nasehat kepada umat.” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam I/225).

4. Ibnul Qayyim berkata, “Jadi, hati adalah ibarat raja bagi anggota tubuh. Anggota tubuh akan melaksanakan apa yang diperintahkan oleh hati dan akan menerima semua arahan-arahan hati. Anggota tubuh tidaklah akan melaksanakan sesuatu kecuali yang berasal dari tujuan dan keinginan hati. Jadi, hati tersebut merupakan penanggung jawab mutlak terhadap anggota tubuh karena seorang pemimpin akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Jika demikian adanya, maka upaya memberi perhatian yang besar terhadap hal-hal yang menyehatkan hati dan meluruskannya merupakan upaya yang terpenting, dan memperhatikan penyakit-penyakit hati serta berusaha untuk mengobatinya merupakan ibadah yang paling besar.” (Ighatsah al-Lahfan halaman 5).

Di tempat yang lain beliau berkata, “Jenis hati yang ketiga adalah hati yang sakit, yaitu hati yang hidup namun berpenyakit. Dengan begitu, di dalam hati tersebut terdapat dua unsur, di mana unsur yang pertama terkadang mengalahkan yang kedua dan begitu pula sebaliknya. Sedangkan hati sendiri akan mengikuti yang menang di antara keduanya.

Di dalam hati tersebut terdapat perasaan cinta dan iman kepada Allah, ikhlas dan bertawakkal hanya kepada-Nya. Semua itu merupakan unsur kehidupan hati. Namun, di dalam hati tersebut juga terdapat perasaan cinta kepada syahwat, lebih mementingkan syahwat dan berupaya untuk memperturutkannya, dan terdapat pula rasa hasad, sombong, ujub, dan ambisi untuk menjadi orang yang paling unggul, serta bertindak semena-mena di muka bumi dengan kekuasaan yang dimiliki. Semua itu merupakan unsur yang akan membuat diri hancur dan binasa.”

Beliau juga berkata, “Karena itu, surga tidak bisa dimasuki oleh orang-orang yang berhati kotor, dan tidak pula bisa dimasuki oleh orang yang di hatinya terdapat noda-noda dari kotoran tersebut. Barangsiapa yang berusaha untuk mensucikan hatinya di dunia, lalu menemui Allah (mati) dalam keadaan bersih dari najis-najis hati, maka dia akan memasuki surga tanpa penghalang. Adapun tentang orang yang belum membersihkan hatinya selama di dunia, maka jika najis hati tersebut najis murni -seperti hatinya orang-orang kafir-, maka dia tidak bisa masuk surga sama sekali. Dan jika najis tersebut sekadar noda-noda yang mengotori hati, maka dia akan memasuki surga tersebut setelah dia disucikan di dalam neraka dari najis-najis tersebut.”

5. Ibnu Qudamah berkata, “Dan ketahuilah bahwasanya Allah apabila menghendaki kebaikan pada seseorang, maka dia akan dibuat mengetahui aibnya. Barangsiapa yang mempunyai mata hati yang tajam, maka tidak akan tersembunyi baginya aib-aib dirinya, dan apabila dia telah mengenali aib-aibnya, maka memungkinkan baginya untuk mengobatinya penyakit-penyakit tersebut. Sayangnya, kebanyakan manusia tidak mengenal aib-aib dirinya sendiri. Mereka bisa melihat kotoran yang ada di mata saudaranya, tetapi tidak bisa melihat anak sapi yang ada di matanya sendiri.”

Di tempat yang lain beliau berkata, “Barangsiapa yang mengenal hatinya, maka dia akan mengenal Rabbnya. Sayangnya, kebanyakan manusia tidak mengenali dirinya sendiri. Allah-lah yang menghalangi antara seseorang dengan hatinya, dan penghalang tersebut berupa ketidakmampuan seseorang mengenali hatinya dan terhalangnya dirinya dari mengawasi hatinya, padahal mengenali hati dan sifat-sifatnya adalah merupakan pokok agama.”

Penutup

Kita akhiri pembahasan ini dengan doa yang diajarkan oleh Rasulullah: Allohumma aati nafsii taqwaahaa wa zakkihaa anta khoiru man zkkaahaa. Aamiin. “Ya Allah, berikanlah ketakwaan kepada jiwaku dan bersihkanlah ia karena Engkaulah sebaik-baik zat yang bisa membersihkannya.” Amin.

***

Sumber: Majalah Fatawa
D

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/143-perintah-mensucikan-hati-dan-keutamaannya.html

Jagalah Shalatmu, Wahai Saudaraku!

Tak kenal maka tak sayang. Peribahasa ini nampaknya menjadi sebab utama, kenapa banyak dari kaum muslimin tidak mengerjakan shalat. Tak usah jauh-jauh untuk melaksanakan sholat sunnah, sholat 5 waktu yang wajib saja mereka tidak kerjakan padahal cukup 10 menit waktu yang diperlukan untuk melaksanakan shalat dengan khusyuk. Bukan sesuatu yang mengherankan, banyak kaum muslimin bekerja banting tulang sejak matahari terbit hingga terbenam.

Pertanyaannya, kenapa mereka melakukan hal itu? Karena mereka mengetahui bahwa hidup perlu makan, makan perlu uang, dan uang hanya didapat jika bekerja. Karena mereka mengetahui keutamaan bekerja keras, maka mereka pun melakukannya.

Oleh karena itu, dalam tulisan yang singkat ini, kami akan mengemukakan pembahasan keutamaan shalat lima waktu dan hukum meninggalkannya. Semoga dengan sedikit goresan tinta ini dapat memotivasi kaum muslimin sekalian untuk selalu memperhatikan rukun Islam yang teramat mulia ini.

Kedudukan Shalat dalam Islam

Shalat memiliki kedudukan yang agung dalam islam. Kita dapat melihat keutamaan shalat tersebut dalam beberapa point berikut ini[1].

1) Shalat adalah kewajiban paling utama setelah dua kalimat syahadatdan merupakan salah satu rukun islam.

Rasulullah shallallahu alaihi wa salam bersabda, “Islam itu dibangun di atas lima perkara, yaitu: bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke Baitulloh, dan berpuasa pada bulan Romadhon.”[2]

2) Shalat merupakan pembeda antara muslim dan kafir.

Rasulullah shallallahu alaihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya batasan antara seseorang dengan kekafiran dan kesyirikan adalah shalat. Barangsiapa meninggalkan shalat, maka ia kafir” [3]. Salah seorang tabi’in bernama Abdullah bin Syaqiq rahimahullah berkata, “Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.”[4]

3) Shalat adalah tiang agamadan agamaseseorang tidak tegak kecuali dengan menegakkan shalat.

Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.”[5]

4) Amalan yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Apabila shalatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi. Jika ada yang kurang dari shalat wajibnya, Allah Tabaroka wa Ta’ala  mengatakan,’Lihatlah apakah pada hamba tersebut memiliki amalan shalat sunnah?’ Maka shalat sunnah tersebut akan menyempurnakan shalat wajibnya yang kurang. Begitu juga amalan lainnya seperti itu.”  Dalam riwayat lainnya, ”Kemudian zakat akan (diperhitungkan) seperti itu. Kemudian amalan lainnya akan dihisab seperti itu pula.”[6]

5) Shalat merupakan Penjaga Darah dan Harta Seseorang

Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda, ”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau mengucapkan laa ilaaha illalloh (Tiada sesembahan yang haq kecuali Allah), menegakkan shalat, dan membayar zakat. Apabila mereka telah melakukan semua itu, berarti mereka telah memelihara harta dan jiwanya dariku kecuali ada alasan yang hak menurut Islam (bagiku untuk memerangi mereka) dan kelak perhitungannya terserah kepada AllaTa’ala.”[7]

Keutamaan Mengerjakan Shalat 5 waktu

Shalat memiliki keutamaan-keutamaan berupa pahala, ampunan dan berbagai keuntungan yang Allah sediakan bagi orang yang menegakkan sholat dan rukun-rukunnnya dan lebih utama lagi apabila sunnah-sunnah sholat 5 waktu dikerjakan, diantara keutamaan-keutamaan tersebut adalah

1) Mendapatkan cinta dan ridho Allah

Orang yang mengerjakan shalat berarti menjalankan perintah Allah, maka ia pantas mendapatkan cinta dan keridhoan Allah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah (wahai muhammad): “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)

2) Selamat dari api neraka dan masuk kedalam surga

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al Ahzab: 71). Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi Rahimahullahu ta’ala berkata, “Yang dimaksud dengan kemenangan dalam ayat ini adalah selamat dari api neraka dan masuk kedalam surga”[8]. Dan melaksanakan sholat termasuk mentaati Allah dan Rasul-Nya.

3) Pewaris surga Firdaus dan kekal didalamnya

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman … dan orang-orang yang memelihara sholatnya mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Mu’minun: 1-11)

4) Pelaku shalat disifati sebagai seorang muslim yang beriman dan bertaqwa

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al Baqarah: 2-3)

5) Akan mendapat ampunan dan pahala yang besar dari  Allah

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Ahzab: 35)

6) Shalat tempat meminta pertolongan kepada Allah sekaligus ciri orang yang khusyuk

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (QS. Al Baqarah: 45)

7) Shalat mencegah hamba dari Perbuatan Keji dan Mungkar

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Ankabut: 45)

Hukum Meninggalkan Shalat

Di awal telah dijelaskan bahwa shalat merupakan tiang agama dan merupakan pembeda antara muslim dan kafir. Lalu bagaimanakah hukum meninggalkan shalat itu sendiri, apakah membuat seseorang itu kafir?

Perlu diketahui, para ulama telah sepakat (baca: ijma’) bahwa dosa meninggalkan shalat lima waktu lebih besar dari dosa-dosa besar lainnya. Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[9]

Adapun berbagai kasus orang yang meninggalkan shalat, kami dapat rinci sebagai berikut:

Kasus pertama: Meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, ‘Sholat oleh, ora sholat oleh.’ [Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.

Kasus kedua: Meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah melaksanakannya.  Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in. Contoh hadits mengenai masalah ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[10]

Kasus ketiga: Ttidak rutin dalam melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya].[11]

Kasus keempat: Meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman.

Kasus kelima: Mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah berfirman (yang artinya), “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107] : 4-5)[12]

Nasehat Berharga: Jangan Tinggalkan Shalatmu!

Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.“

Imam Ahmad –rahimahullah- juga mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap orang yang meremehkan perkara shalat, berarti telah meremehkan agama. Seseorang memiliki bagian dalam Islam sebanding dengan penjagaannya terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang dikatakan semangat dalam Islam adalah orang yang betul-betul memperhatikan shalat lima waktu. Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah engkau menemui Allah, sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar Islam dalam hatimu, sesuai dengan kadar shalat dalam hatimu.“[13]

Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman adalah dengan membenarkan (tashdiq). Namun bukan hanya sekedar membenarkan (meyakini) saja, tanpa melaksanakannya (inqiyad). Kalau iman hanyalah membenarkan (tashdiq) saja, tentu iblis, Fir’aun dan kaumnya, kaum sholeh, dan orang Yahudi yang membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (mereka meyakini  hal ini sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka), tentu mereka semua akan disebut orang yang beriman (mu’min-mushoddiq).“[14]

Semoga tulisan sederhana ini dapat memotivasi kita sekalian dan dapat mendorong saudara kita lainnya untuk lebih perhatian terhadap shalat lima waktu. Hanya Allah yang memberi taufik.

Penulis: Rahmat Ariza Putra[15]

Muroja’ah: M. A. Tuasikal

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/5403-jagalah-shalatmu-wahai-saudaraku.html

Hukum Fiqh Seputar Shalat Tahiyyatul Masjid (Bag. 8)

Baca pembahasan sebelumnya Hukum Fiqh Seputar Shalat Tahiyyatul Masjid (Bag. 7)

Shalat tahiyyatul Masjid Ketika Muadzin Sedang Adzan Sebelum Khutbah Jum’at Dimulai

Jika seseorang masuk masjid di hari Jum’at, dan muadzin sedang mengumandangkan adzan, apakah yang dituntunkan itu langsung shalat tahiyyatul masjid ketika muadzin adzan, atau menjawab adzan terlebih dahulu baru shalat tahiyyatul masjid?

Dalam masalah ini, yang lebih tepat adalah seseorang langsung shalat tahiyyatul masjid ketika muadzin mengumandangkan adzan. Hal ini karena mendengarkan khutbah itu adalah kewajiban yang lebih ditekankan di hari Jum’at. Jika dia langsung shalat tahiyyatul masjid tanpa menunggu muadzin selesai adzan, dia bisa langsung mendengarkan khutbah sejak awal. Berbeda halnya jika dia shalat tahiyyatul masjid setelah muadzin mengumandangkan adzan dalam rangka menjawab adzan terlebih dahulu. 

Hal ini juga didasari bahwa pendapat yang lebih kuat dalam masalah menjawab adzan adalah bahwa hukumnya sunnah, tidak sampai derajat derajat wajib. Ini adalah pendapat jumhur ulama sebagaimana yang dinukil dari Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah [1]Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa menjawab adzan hukumnya wajib, berdasarkan makna yang lebih dekat dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ، فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ

“Jika Engkau mendengar muadzin, maka ucapkanlah semisal yang diucapkan oleh muadzin.” (HR. Bukhari no. 611 dan Muslim no. 383)

Penjelasan Berdasar Kaidah Ushul Fiqh

Sebagaimana dalam kaidah ushul fiqh, hukum asal perintah adalah wajib, sampai ada dalil lain yang memalingkannya dari hukum wajib. Dan di antara dalil yang memalingkan dari hukum wajib adalah perkataan beliau kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu dan teman-temannya, ketika mereka datang selama dua puluh hari untuk mempelajari Islam dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata sebelum mereka pulang,

فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ، ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ

“Jika waktu shalat sudah tiba, hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan, dan hendaklah yang menjadi imam adalah yang paling tua di antara kalian.” (HR. Bukhari no. 631 dan Muslim no. 674)

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas itu diucapkan ketika beliau mengajar (ta’lim), sehingga menjadi kewajiban beliau untuk menjelaskan semua yang dibutuhkan oleh Malik bin Huwairits dan rombongannya yang sedang “nyantri” selama dua puluh hari. Mereka tidak memiliki ilmu tentang perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah menjawab adzan (jika hukumnya wajib). Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan penjelasan tentang menjawab adzan, maka diketahui bahwa hukum menjawab adzan tidaklah wajib. 

Imam Malik rahimahullah meriwayatkan dalam Al-Muwaththa’ dari Tsa’labah bin Abi Malik Al-Quradhi radhiyallahu ‘anhu. Tsa’labah radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa ketika mereka di jaman ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, mereka mendirikan shalat Jum’at. Ketika ‘Umar datang dan naik mimbar, muadzin mengumandangkan adzan. Tsa’labah mengatakan,

وَجَلَسْنَا نَتَحَدَّثُ. فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ ، وَقَامَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ يَخْطُبُ، أَنْصَتْنَا، فَلَمْ يَتَكَلَّمْ مِنَّا أَحَدٌ

“Kami pun duduk sambil bercakap-cakap. Ketika muadzin diam (selesai adzan) dan ‘Umar berdiri memulai khutbah, kami pun diam. Tidak ada satu pun yang berbicara.” (HR. Malik dalam Al-Muwaththa’ 1: 103) [2]

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, 

وجوز الكلام حال الاذان

“(Di dalam riwayat ini terdapat faidah tentang) bolehnya berbicara ketika mendengar adzan.” (Al-Majmu’, 4: 550 [Asy-Syamilah])

Penjelasan Berdasar Pendapat Jumhur Ulama

Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka pendapat yang lebih kuat adalah pendapat jumhur ulama bahwa hukum menjawab adzan itu sunnah, tidak sampai derajat wajib. Sehingga kesimpulan ini menjadi landasan atas masalah yang sedang kita bahas, yaitu agar seseorang langsung shalat tahiyyatul masjid meskipun muadzin sedang mengumandangkan adzan. Tujuannya adalah agar seseorang tidak terlewat dalam mendengarkan khutbah yang hukumnya wajib.  Hal ini pun sesuai dengan kaidah dalam ilmu ushul fiqh bahwa jika ibadah wajib dan ibadah sunnah itu bertabrakan di satu waktu yang sama, maka yang didahulukan adalah ibadah wajib. 

Kalaupun kita menguatkan pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa menjawab adzan hukumnya wajib, maka kewajiban mendengarkan khutbah itu lebih ditekankan daripada kewajiban menjawab adzan. Dalilnya adalah larangan untuk berbicara dan wajib diam ketika khutbah [3]. Sedangkan tidak ada larangan untuk berbicara ketika mendengar adzan. Jika shalat tahiyyatul masjid tetap disyariatkan ketika khatib sedang berkhutbah, maka demikian pula ketika muadzin sedang mengumandangkan adzan. 

Hal ini berdasarkan hadits yang telah kami sebelumnya, yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا

“Shalatlah dua raka’at secara ringkas.” (HR. Muslim no. 875)

Dahulukan Menjawab Adzan Di Selain Shalat Jum’at

Adapun di selain shalat Jum’at, maka yang dituntunkan adalah menjawab adzan terlebih dahulu, baru setelah itu mendirikan shalat tahiyyatul masjid. Sehingga terkumpullah dua keutamaan sekaligus, yaitu menjawab adzan dan shalat tahiyyatul masjid. Inilah dzahir perkataan Ibnu Qudamah rahimahullah,

وإن دخل المسجد فسمع المؤذن استحب له انتظاره ليفرغ ويقول مثل ما يقول جمعا بين الفضيلتين وإن لم يقل كقوله وافتتح الصلاة فلا بأس نص عليه أحمد

“Dan jika seseorang masuk masjid dan mendengar muadzin, dianjurkan untuk menunggu sampai selesai dan mengucapkan semisal yang diucapkan oleh muadzin, dalam rangka mengumpulkan dua keutamaan sekaligus. Jika dia tidak menjawab adzan, dan memulai shalat (tahiyyatul masjid), hal itu tidaklah mengapa, sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Ahmad.” (Al-Mughni, 1: 474 [Asy-Syamilah])

Kesimpulan

Kesimpulan dalam masalah ini, jika seseorang masuk masjid dalam kondisi muadzin sedang mengumandangkan adzan, maka terdapat dua rincian.

Pertama, adzan di shalat Jum’at. Dalam keadaan ini, jamaah langsung shalat tahiyyatul masjid agar bisa mendengarkan khutbah.

Ke dua, adzan di selain shalat Jum’at. Dalam keadaan ini, jamaah dituntunkan untuk menjawab adzan terlebih dahulu, lalu shalat tahiyyatul masjid (atau shalat sunnah rawatib) setelah adzan selesai. Wallahu Ta’ala a’lam. [4]

Demikianlah pembahasan beberapa hukum fiqh terkait shalat tahiyyatul masjid, semoga bisa dipahami dan bisa diamalkan.

[Selesai]

***

@Rumah Lendah, 11 Muharram 1441/11 September 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51495-hukum-fiqh-seputar-shalat-tahiyyatul-masjid-bag-8.html

Mengapa Masalah Perbudakan Masih Tetap Dibahas di Zaman Ini?

TANYA:

Mengapa di zaman yang sudah tidak ada perbudakan masih ada beberapa buku ulama kontemporer yang membahas hal ini?

Jawab:

Para ulama melakukan pembahasan tentang hukum seputar pembebasan budak atau interaksi dengan budak, baik di buku-buku fiqh maupun hadis.

Dr. Abdul Karim al-Khudhair menyebutkan bahwa ulama berbeda pendapat mengenai penempatan pembahasan mengenai aturan perbudakan dan pembebasan budak. Beliau mengatakan,

وأهل العلم يختلفون في وضع هذا الكتاب، فمنهم من يجعله في آخر باب من أبواب الكتب، سواء كانت من كتب الأحاديث، أو من كتب الفقه، تفاؤلاً بأن يعتق الله رقابهم من النار بعد أن فرغوا من هذا العمل الجليل، وبعد أن
أتموا مدتهم في هذه الحياة

Para ulama berbeda pendapat mengenai penempatan bab tentang perbudakan. Sebagian ulama menjadikannya di bab terakhir di kitabnya, baik dalam kitab hadis maupun kitab fiqh. Sebagai harapan agar Allah membebaskan dirinya dari neraka, setelah mereka menyelesaikan buku itu dan setelah mereka menghabiskan usia hidupnya.

Beliau melanjutkan,

وبعضهم يقدمه فيجعله في آخر المعاملات المالية، قبل كتاب النكاح؛ لأن فيه شوب مال، فالعبد الرقيق مال يباع ويشترى، فعتقه تفويت لهذا المال

Sebagian ulama ada yang meletakkan pembahasan tentang perbudakan di akhir bab muamalah maliyah, sebelum bab nikah. Karena budak itu ada unsur harta. Seorang budak adalah harta yang bisa diperjual belikan. Sehingga membebaskan budak berarti mengurangi sebagian hartanya.
[https://shkhudheir.com/scientific-lesson/935834532]

Lalu mengapa pembahasan soal perbudakan masih tetap disinggung, padahal saat ini di dunia sudah tidak ada perbudakan?

Ada beberapa alasan untuk menjawab ini:

1. Perbudakan tidak dihapuskan selamanya, hanya saja di zaman sekarang, masyarakat telah menghilangkannnya. Namun ini tidak berlaku selamanya, karena kelak di akhir zaman akan ada lagi perbudakan.

2. Hukum syariat tentang perbudakan selalu berlaku, meskipun kejadiannya tidak ada. Karena hukum tidak ditinggalkan, sekalipun penerapannya tidak ada.

3. Manusia dibolehkan mempelajari suatu hukum, meskipun dia belum mampu mempraktekkannya. Seperti orang yang miskin, dia boleh belajar fiqh zakat, sedekah atau haji, sekalipun dia sendiri belum bisa mengamalkannya.

Karena kebenaran harus selalu dijaga dan dirawat, sekalipun tidak ada orang yang mempraktekkannya. Bentuk merawat dan menjaga kebenaran adalah dengan menuliskannya atau membahasnya.

As-Suyuthi menukil dialog antara Al-Buwaiti dengan Imam as-Syafi’i. Al-Buwaiti – salah satu muridnya Imam as-Syafi’i – pernah bertanya kepada gurunya,

إنك تتعنّى في تأليف الكتب وتصنيفها. والناس لا يلتفتون إلى كتبك، ولا إلى تصنيفك

Mengapa anda sangat perhatian untuk menulis kitab-kitab dan makalah. Sementara masyarakat tidak ada yang mempedulikan kitabmua atau makalahmu?

Jawab Imam as-Syafi’i,

يا بني، إن هذا هو الحق، والحق لا يضيع.

Wahai muridku, sesungguhnya ilmu ini adalah kebenaran, dan kebenaran tidak boleh dibiarkan. (at-Ta’rif bi Adab at-Taklif, hlm. 72). Demikian, Allahu a’lam. []

SUMBER: KONSULTASI SYARIAH

ISLAMPOS

Dzikir-Dzikir yang Shahih Setelah Shalat (Bag. 1)

Dalil Anjuran Berdzikir Setelah Shalat

Setelah selesai mengerjakan shalat, hendaknya tidak langsung beranjak pergi. Karena dianjurkan untuk berdzikir dengan dzikir-dzikir yang disyariatkan dan diajarkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Sebagaimana diperintahkan oleh Allah ta’ala:

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), berdzikirlah kepada Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” (QS. An Nisa: 103).

Allah ta’ala juga berfirman:

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan berdzikirlah kepada Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (QS. Al Jumu’ah: 10).

Karena dengan berdzikir setelah shalat, dzikir tersebut akan menjadi penambal kekurang-kekurangan yang ada di dalam shalat kita. Demikian juga dengan berdzikir, seseorang telah menyambung ibadah dengan ibadah lain. Sehingga ia tidak merasa cukup dengan ibadah shalat saja.

Dan dalam berdzikir setelah shalat, hendaknya mengikuti tuntunan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan dengan dzikir-dzikir yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Berikut ini beberapa dzikir tersebut:

Bacaan-bacaan dzikir setelah shalat

1. Istighfar 3x, dan membaca doa “Allahumma antas salam…”

Dari Tsauban radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

كانَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، إذَا انْصَرَفَ مِن صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا وَقالَ: اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ ذَا الجَلَالِ وَالإِكْرَامِ

“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam jika selesai shalat, beliau beristighfar 3x, lalu membaca doa:

/Alloohumma antas salaam wa minkas salaam tabaarokta yaa dzal jalaali wal ikroom/

(Ya Allah Engkau-lah as salam, dan keselamatan hanya dari-Mu, Maha Suci Engkau wahai Dzat yang memiliki semua keagungan dan kemulian)” (HR. Muslim no. 591).

2. Membaca tahlil dan doa “Allahumma laa maani’a lima a’thayta…”

Dari Al Mughirah bin Syu’bah radhiallahu’anhu, ia berkata:

سَمِعْتُ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يقولُ خَلْفَ الصَّلَاةِ: لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وحْدَهُ لا شَرِيكَ له، اللَّهُمَّ لا مَانِعَ لِما أعْطَيْتَ، ولَا مُعْطِيَ لِما مَنَعْتَ، ولَا يَنْفَعُ ذَا الجَدِّ مِنْكَ الجَدُّ

“Aku mendengar Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam setelah shalat beliau berdoa:

/laa ilaha illallooh wahdahu laa syarika lahu, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai-in qodiir. Alloohumma laa maani’a lima a’thoyta wa laa mu’thiya limaa mana’ta wa laa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu/

(tiada ilah yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Segala pujian dan kerajaan adalah milik Allah. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tidak ada yang mencegah apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang memberi apa yang Engkau cegah. Tidak berguna kekayaan dan kemuliaan (bagi pemiliknya). Dari Engkau-lah semua kekayaan dan kemuliaan” (HR. Bukhari no.6615, Muslim no.593).

3. Membaca doa “Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lahu…”

Sebagaimana riwayat dari Abdullah bin Zubair radhiallahu’anhu:

كانَ ابنُ الزُّبَيْرِ يقولُ: في دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ حِينَ يُسَلِّمُ لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ له، له المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهو علَى كُلِّ شيءٍ قَدِيرٌ، لا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا باللَّهِ، لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، وَلَا نَعْبُدُ إلَّا إيَّاهُ، له النِّعْمَةُ وَلَهُ الفَضْلُ، وَلَهُ الثَّنَاءُ الحَسَنُ، لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ مُخْلِصِينَ له الدِّينَ ولو كَرِهَ الكَافِرُونَ وَقالَ: كانَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ يُهَلِّلُ بهِنَّ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ

Biasanya (Abdullah) bin Zubair di ujung shalat, ketika selesai salam beliau membaca:

/laa ilaha illalloohu wahdahu laa syarika lahu. Lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai-in qodiir. Laa haula wa laa quwwata illa billaah. Laa ilaha illallooh wa laa na’budu illa iyyaah. Lahun ni’matu wa lahul fadhlu wa lahuts tsanaa-ul hasanu. Laa ilaha illallooh mukhlishiina lahud diin wa lau karihal kaafiruun/

(tiada ilah yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Segala pujian dan kerajaan adalah milik Allah. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah. Kami tidak menyembah kecuali kepada-Nya. Semua nikmat, anugerah dan pujian yang baik adalah milik Allah. Tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah, dengan memurnikan ibadah hanya kepadaNya, sekalipun orang-orang kafir tidak menyukainya” (HR. Muslim, no. 594).

4. Membaca tasbih, tahmid, takbir dan tahlil

Mengenai bacaan tasbih, tahmid, takbir dan tahlil setelah shalat ada 4 bentuk yang shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Yaitu:

  • Tasbih 33x, tahmid 33x, takbir 33x, tahlil 1x, total 100 dzikir

Sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ سَبَّحَ اللهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَحَمِدَ اللهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَكَبَّرَ اللهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ ، وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ : لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ

“Barangsiapa yang berdzikir setelah selesai shalat dengan dzikir berikut:

/Subhanallah wal hamdulillah wallahu akbar (33 x). Laa ilaha illallah wahda, laa syarika lah. Lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir/

(“Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, Allah Maha Besar (33 x). Tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah semata. Tidak ada sekutu bagiNya. Semua kerajaan dan pujaan adalah milik Allah. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu)

Maka akan diampuni semua kesalahannya walaupun sebanyak buih di lautan” (HR. Muslim no. 597).

  • Tasbih 33x, tahmid 33x, takbir 34x, total 100 dzikir

Sebagaimana riwayat dari Ka’ab bin Ujrah radhiallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

مُعَقِّبَاتٌ لَا يَخِيبُ قَائِلُهُنَّ – أَوْ فَاعِلُهُنَّ – دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ ، ثَلَاثٌ وَثَلَاثُونَ تَسْبِيحَةً ، وَثَلَاثٌ وَثَلَاثُونَ تَحْمِيدَةً ، وَأَرْبَعٌ وَثَلَاثُونَ تَكْبِيرَةً

“Dzikir-dzikir yang tidak akan merugi orang yang mengucapkannya setelah shalat wajib: yaitu 33x tasbih, 33x tahmid, 34 takbir” (HR. Muslim no. 596).

  • Tasbih 25x, tahmid 25x, takbir 25x, tahlil 25x, total 100 dzikir

Sebagaimana riwayat dari Zaid bin Tsabit radhiallahu’anhu, ia berkata:

أُمِرُوا أَنْ يُسَبِّحُوا دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَيَحْمَدُوا ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَيُكَبِّرُوا أَرْبَعًا وَثَلَاثِينَ ، فَأُتِيَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ فِي مَنَامِهِ ، فَقِيلَ لَهُ : أَمَرَكُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُسَبِّحُوا دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَتَحْمَدُوا ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ ، وَتُكَبِّرُوا أَرْبَعًا وَثَلَاثِينَ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، قَالَ : فَاجْعَلُوهَا خَمْسًا وَعِشْرِينَ ، وَاجْعَلُوا فِيهَا التَّهْلِيلَ ، فَلَمَّا أَصْبَحَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ ، فَقَالَ: ( اجْعَلُوهَا كَذَلِكَ )

“Mereka (para sahabat) diperintahkan untuk bertasbih selepas shalat sebanyak 33x, bertahmid 33x, bertakbir 34x. Lalu seorang lelaki dari Anshar bermimpi dan dikatakan kepadanya: Apakah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah memerintahkan kalian untuk bertasbih sebanyak 33x, bertahmid 33x, bertakbir 34x? Ia menjawab: benar. Orang yang ada di dalam mimpi mengatakan: jadikanlah semua itu 25x saja dan tambahkan tahlil. Ketika ia bangun di pagi hari, lelaki Anshar ini menemui Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan menceritakan mimpinya. Nabi bersabda: hendaknya kalian jadikan demikian!” (HR. An Nasa-i, no. 1350, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa-i).

  • Tasbih 10x, tahmid 10x, takbir 10x, total 30 dzikir

Sebagaimana dalam riwayat dari Abdullah bin Amr radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

خصلتان ، أو خلتان لا يحافظ عليهما عبد مسلم إلا دخل الجنة ، هما يسير ، ومن يعمل بهما قليل ، يسبح في دبر كل صلاة عشرا ، ويحمد عشرا ، ويكبر عشرا ، فذلك خمسون ومائة بًاللسان ، وألف وخمسمائة في الميزان ، ويكبر أربعا وثلاثين إذا أخذ مضجعه ، ويحمد ثلاثا وثلاثين ، ويسبح ثلاثا وثلاثين ، فذلك مائة بًاللسان ، وألف في الميزان

“Ada 2 perbuatan yang jika dijaga oleh seorang hamba Muslim maka pasti ia akan masuk surga. Keduanya mudah namun sedikit yang mengamalkan. Yaitu (pertama) bertasbih disetiap selepas shalat sebanyak 10x, bertahmid 10x, bertakbir 10x, maka itulah 150x dzikir di lisan (dalam 5 shalat waktu) namun 1500x di timbangan mizan. Dan (kedua) bertakbir 34x ketika hendak tidur, bertahmid 33x, dan bertasbih 33x, maka itulah 100x dzikir di lisan namun 1000x di timbangan mizan” (HR. Abu Daud no. 5065, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

5. Membaca ayat Kursi

Sebagaimana hadits dari Abu Umamah Al Bahili radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَن قرأَ آيةَ الكرسيِّ دبُرَ كلِّ صلاةٍ مَكْتوبةٍ ، لم يمنَعهُ مِن دخولِ الجنَّةِ ، إلَّا الموتُ

“Barangsiapa membaca ayat kursi setiap selesai shalat wajib, maka tidak ada yang bisa menghalanginya untuk masuk surga kecuali kematian” (HR. An Nasa-i no. 9928, Ath Thabrani no.7532, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no.6464).

6. Membaca surat Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas

Sebagaimana hadits dari Uqbah bin ‘Amir radhiallahu’anhu, ia berkata:

أمرني رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ أن أقرأَ بالمُعوِّذاتِ دُبُرَ كلِّ صلاةٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkanku untuk membaca al mu’awwidzar (an naas, al falaq, al ikhlas) di penghujung setiap shalat” (HR. Abu Daud no. 1523, dishahikan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

7. Membaca doa “Allahumma inni as-aluka ilman naafi’an…”

Dari Ummu Salamah Hindun binti Abi Umayyah radhiallahu’anha, ia berkata:

كانَ يقولُ إذا صلَّى الصُّبحَ حينَ يسلِّمُ اللَّهمَّ إنِّي أسألُكَ عِلمًا نافعًا ورزقًا طيِّبًا وعملًا متقبَّلًا

“Biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika shalat subuh, ketika setelah salam beliau membaca:

/alloohumma inni as-aluka ‘ilman naafi’an, wa rizqon thoyyiban, wa ‘amalan mutaqobbalan/

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik dan amalan yang diterima” (HR. Ibnu Majah no. 762, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

8. Membaca doa “Rabbighfirli wa tub ‘alayya…”

Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya:

قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْاَنْصَارِ اَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاةٍ وَهُوَ يَقُولُ رَبِّ اغْفِرْ لِي قَالَ شُعْبَةُ اَوْ قَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ اِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الْغَفُورُ مِائَةَ مَرَّةٍ‏

“Berkata seorang dari kaum Anshar, bahwa ia mendengar Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam shalat beliau berdoa:

/Rabbighfirli (atau: Allahummaghfirli) wa tub ‘alayya innataka antat tawwaabul ghafur/

(Wahai Rabbku, terimalah taubatku, sungguh Engkau Dzat yang banyak menerima taubat, lagi Maha Pengampun)

sebanyak 100x” (HR. Ahmad no.23198, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 2603).

9. Membaca doa “Allahumma a’inni ‘ala dzikrika…”

Dari Mu’adz bin Jabal radhiallahu’anhu, ia berkata:

أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ أخذ بيده وقال يا معاذُ واللهِ إني لَأُحبُّك واللهِ إني لَأُحبُّك فقال أوصيك يا معاذُ لا تَدَعَنَّ في دُبُرِ كلِّ صلاةٍ تقول اللهمَّ أعِنِّي على ذكرِك وشكرِك وحسنِ عبادتِك

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menarik tanganku sambil berkata: wahai Mu’adz, Demi Allah aku mencintaimu sungguh aku mencintaimu. Aku wasiatkan engkau wahai Muadz, hendaknya jangan engkau tinggalkan di setiap akhir shalat untuk berdoa:

/Alloohumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibaadatika/

(Ya Allah, tolonglah aku agar bisa berdzikir kepada-Mu, dan bersyukur kepada-Mu, serta beribadah kepada-Mu dengan baik)” (HR. Abu Daud no.1522, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

**

Penyusun: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51467-dzikir-dzikir-yang-shahih-setelah-shalat-bag-1.html