Calon Jamaah Haji Harus Istithaah Sejak di Daerah

Jamaah haji yang berangkat tahun depan harus dipastikan istithaah kesehatannya sempurna sejak di Tanah Air. Untuk itu penting jamaah haji diperiksa kesehatan sejak dini di daerah mulai di tingkat Provinsi, Kabupaten, Kota dan Kecamatan.

“Pertama yang harus diantisipasi dulu di setiap provinsi, kabupaten dan kecamatan itu melakukan pemeriksaan dini. Mulai sekarang sudah dideteksi pihak dinkes di provinsi masing-masing di seluruh Indonesia,” kata Petugas Haji Daerah (PHD) Aceh, Jamaluddin Affan, saat berbincang dengan Republika belum lama ini.

Petugas kesehatan haji daerah di tingkat kabupaten kota sampai kecamatan harus melakukan pemeriksaan sejak dini. Pemeriksaan terhadap jamaah haji harus betul-betul mendetail, diperiksa secara menyeluruh. “Lakukan general check up,” katanya.

Setelah melakukan deteksi dini, pihak kesehatan daerah, selanjutnya mengumpulkan data-data tentang riwayat penyakit bawaan dari calon jamaah haji itu sendiri, baik riwayat dari pribadi ataupun dari keturunan. Pihak kesehatan daerah harus bertanya tentang penyakit bawaan dan jamaah haji itu betul-betul terbuka menyampaikan riwayat penyakitnya.

“Kemudian juga harus disinergikan dengan pihak Kementerian Agama, karena yang paling menyentuh daripada jamaah calon jamaah haji itu sendiri yaitu Kementerian Agama yaitu lewat KUA,” katanya.

Jamaluddin mengatakan, dalam mengawal kesehatan jamaah haji harus ada pendampingan supaya jamaah itu betul-betul terbuka dan menyampaikan apa adanya terkait apa yang mereka keluhkan terhadap penyakitnya. Menurutnya, harus ada tokoh masyarakat yang dihormati atau yang disegani oleh calon jamaah agar mau terbuka menyampaikan kondisi kesehatannya.

Menurutnya, pemantauan kesehatan jamaah sejak dini hal ini pernah diusulkan di daerah Aceh. Bagaimana sistem kesehatan haji ini dimulai sejak daerah melalui dinkes dan kantor kesehatan pelabuhan (KKP) demi mencegah atau meminimalisir supaya jamaah itu tidak terpapar sakit bawaan yang ada di Indonesia sampai di Tanah Suci.

“Itu yang harus dilakukan saya pikir. Kemudian setelah ada pemeriksaan awal harus ada rutinitas dilakukan pemeriksaan kepada seluruh calon jamaah haji agar mereka itu bisa berubah secara kontinuitas kalau ada penyakit,” katanya.

Pemeriksaan sejak dini di daerah ini penting untuk mendeteksi beberapa penyakit berat seperti TBC, ataupun sakit bawaan seperti Paru, Jantung ataupun penyakit lain yang mengganggu kelancaran jamaah beribadah di Tanah Suci.

“Pihak lembaga terkait seperti Dinkes atau rumah sakit ataupun lembaga-lembaga lain harus merekomendasi supaya mereka itu betul-betul berobat,” katanya.

IHRAM

Pentingnya Menjaga Kesehatan agar Bisa Berangkat Haji

Rangkaian ibadah haji dipenuhi kegiatan fisik. Karena itu, diperlukan kesadaran untuk menjaga kesehatan jamaah.

Minat berhaji sudah tinggi sejak dulu hingga sekarang, tetapi minat tersebut tidak diikuti dengan persiapan kesehatan yang matang. Dalam pelaksanaan haji tidak hanya materi yang harus dipersiapkan, bekal kesehatan fisik dan mental juga harus demikian.

“Jika mengulik kembali peristiwa pendemi dalam sejarah haji, ditemukan fakta bahwa faktor kesehatan turut mempengaruhi terwujudnya niat berhaji seseorang,” tulis M Imran S Hamdani dalam bukunya Ibadah Haji di Tengah Pandemi Covid-19 Penyelenggaraan Berbasis Resiko.

Bahkan sebelum munculnya wabah penyakit menular dalam sejarah Haji, kesehatan menjadi paling utama wajib dipersiapkan calon jamaah haji. Karena 95 persen kegiatan manasik kesehatan haji dijalankan dengan aktivitas fisik.

Hal ini terlihat, dari kegiatan haji di zaman dahulu, ketika itu jamaah haji saat pergi ke tanah suci hanya dengan berjalan kaki, mengendarai kuda, keledai, atau kapal layar. Untuk bisa sampai ke tanah suci mereka harus memenuhi menempuh perjalanan selama berhari-hari berminggu-minggu, hingga berbulan-bulan.

“Perjalanan panjang dan batang dapat dijalankan oleh orang yang memiliki persiapan baik terutama kesehatan,” katanya.

Sejak wabah itu, wajah haji berubah, tidak lagi sama. Wabah kolera dan miningitis yang berlangsung bertahun-tahun di semenanjung Arab telah mengubah proses perjalanan ibadah haji. Semua mengetahui bahwa wabah kolera dan miningitis tidak berasal dari tanah suci. 

“Penyakit tersebut masuk ke tanah suci dari jamaah haji yang berasal dari negara terjangkit,” katanya. 

Jamaah-jamaah tersebut membawa penyakit dengan tanpa gejala dan terlihat sehat. Penyakit-penyakit pun menjadi momok dalam perjalanannya menuju Tanah Suci, selain masalah ibadah dan perampok.

Agen penyebab penyakit ini kemudian berpindah dari satu orang ke beberapa orang lainnya. Sehingga menyebabkan angka korban dan kematian di tanah suci semakin bertambah.

“Mereka yang selamat dan lolos dari tanah suci akan membawa pulang penyakit ke negerinya,”katanya. 

Seperti bola salju yang terus menggelinding semakin lama semak membesar. Oleh karena itu, negara-negara yang terjangkit perlu mengambil tindakan untuk menghentikan penularan penyakit.

Imran S Hamdani mengatakan, ketika obat penawar belum ditemukan, pencegahan menjadi satu-satunya pilihan. Namun perlu disadari bahwa meskipun obat telah ditemukan, pencegahan dan pengendalian merupakan penawar terbaik bagi penyakit menular.

IHRAM

Mengapa Istithaah Menjadi Syarat Haji?

Allah sudah menegaskan bahwa melaksanakan perjalanan ke Baitullah untuk Ibadah haji hanya bagi yang mampu. Penegasan ini Allah SWT abadikan dalam surah Ali Imran ayat 97 yang artinya:

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”

H Fakhrizal Idris, Lc dalam bukunya Haji dan Ibadah menyampaikan, Nabi SAW ketika menyebutkan rukun Islam yang lima bersabda, “Dan melaksanakan haji ke Baitullah bagi yang mampu mengadakan perjalanan tersebut.” (HR. Muslim).

Apa yang dimaksud dengan Istitha’ah (kemampuan) dan sabil, dalam ayat dan hadits di atas? Katanya, ulama kita menjelaskan bahwamampu artinya memiliki kekuatan fisik, yaitu badan yang sehat dan memiliki harta.

Kemampuan harta di sini adalah ketika seseorang memiliki sarana untuk melakukan perjalanan ke tanah suci dan bekal untuk dirinya selama proses ibadah haji, serta bekal untuk keluarga yang ditinggalkan. Harta yang ditinggalkan itu ketika sudah memiliki keluarga yang menjadi tanggungannya yang ukuran berapa banyak harta yang ditinggalkan adalah ampai dia kembali. 

“Sarana perjalanan pada zaman sekarang dapat berupa sarana darat (bus), laut (kapal laut) atau udara (pesawat terbang), dan kesemuanya tergantung kondisi dan kebutuhan seseorang,” katanya.

Demikian pula sarana penginapan dan makanan, harus disesuai dengan kondisi dan kebutuhan seseorang. Segala puji bagi Allah yang Mahakaya lagi Mahamulia yang telah mewajibkan ibadah haji bagi hamba-ambaNya, dan ibadah ini hanya diwajibkan satu kali saja seumur hidup.

“Agar pengorbanan dalam menunaikan ibadah haji tidak sia-sia, maka harta yang dibelanjakan harus didapat dengan cara yang baik dan halal, karena Allah tidak menerima kecuali yang thayyib (baik),” katanya.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah Mahabaik, dan Allah tidak menerima kecuali sesuatu yang baik.” (HR. Muslim). 

Yang dimaksud dengan harta halal di sini adalah harta yang diperoleh dengan usaha atau cara-cara yang halal, sedangkan harta yang haram adalah harta yang dihasilkan dari usaha atau cara-cara yang diharamkan dalam syariat, seperti mencuri, menipu, berdagang barang yang diharamkan syariat, transaksi berunsur riba, korupsi, dan sebagainya. 

Orang yang melaksanakan haji dengan biaya hasil mencuri atau korupsi, sama halnya dengan orang yang shalat dengan pakaian hasil curian, ia berdosa. Ia tidak mempunyai hak apa-apa atas harta hasil curiannya itu. Ia justru berkewajiban untuk bertaubat, antara lain dengan menerima hukuman Allah atas pencurian dan mengembalikan harta itu kepada pemiliknya.

Ia sama sekali tidak berhak menggunakan harta itu untuk keperluan apapun, termasuk untuk pergi beribadah haji. Adakalanya seseorang mendapat harta bukan dari hasil kerjanya secara langsung, melainkan dari hibah [pemberian] atau hadiah. 

Biaya melaksanakan haji yang didapat dari hadiah atau fasilitas, maka disyaratkan bagi pihak yang memberikan biaya itu benar-benar ikhlas dan rela, bukan karena paksaan, tekanan, manipulasi, dan sebagainya. Sehingga kemampuan [istitha’ah] yang berasal dari orang lain itu juga benar-benar halal, tidak tercampur unsur dosa dan sebagainya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Tidak diterima shalat tanpa bersuci dan [tidak diterima pula] sedekah dari [hasil] ketidakjujuran [mengambil hasil rampasan perang sebelum dibagi oleh pemimpin].” [HR. Muslim].

Imam Bukhari berkata, ”Allah Ta’ala tidak menerima sedekah dari [hasil] kecurangan dan Allah Ta’ala tidak menerima kecuali yang thayyib (baik).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:Barang siapa bersedekah sebesar kurma dari hasil kerja yang halal, sementara Allah tidak akan menerima kecuali yang baik, maka Allahakan menerimanya dengan tangan kanan, kemudianmengembangkannya untuk pemilik sedekah itu sebagaimana salah seorang dari kalian memelihara anak kudanya, hingga sedekah itumenjadi sebesar gunung.” (HR. Bukhari).

Akan tetapi harta halal yang didapat dari usaha sendiri lebih baikdari harta pemberian atau hadiah. Sebagaimana yang dilakukan sahabat yang mulia Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, ketika beliau memilihberniaga di pasar daripada menerima harta hibah (pemberian) saudaranya Sa’ad bin Ar-Rabi’ radhiyallahu ‘anhu.

IHRAM

Alasan kenapa Ibadah Haji Disyariatkan bagi yang Istithaah

Allah sudah menegaskan bahwa melaksanakan perjalanan ke Baitullah untuk Ibadah haji hanya bagi yang mampu. Penegasan ini Allah SWT abadikan dalam surah Ali Imran ayat 97 yang artinya:

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”

 H Fakhrizal Idris, Lc dalam bukunya Haji dan Ibadah menyampaikan, Nabi SAW ketika menyebutkan rukun Islam yang lima bersabda, “Dan melaksanakan haji ke Baitullah bagi yang mampu mengadakan perjalanan tersebut.” (HR. Muslim).

Apa yang dimaksud dengan Istitha’ah (kemampuan) dan sabil, dalam ayat dan hadits di atas? Katanya, ulama kita menjelaskan bahwamampu artinya memiliki kekuatan fisik, yaitu badan yang sehat dan memiliki harta.

Kemampuan harta di sini adalah ketika seseorang memiliki sarana untuk melakukan perjalanan ke tanah suci dan bekal untuk dirinya selama proses ibadah haji, serta bekal untuk keluarga yang ditinggalkan. Harta yang ditinggalkan itu ketika sudah memiliki keluarga yang menjadi tanggungannya yang ukuran berapa banyak harta yang ditinggalkan adalah ampai dia kembali. 

“Sarana perjalanan pada zaman sekarang dapat berupa sarana darat (bus), laut (kapal laut) atau udara (pesawat terbang), dan kesemuanya tergantung kondisi dan kebutuhan seseorang,” katanya.

Demikian pula sarana penginapan dan makanan, harus disesuai dengan kondisi dan kebutuhan seseorang. Segala puji bagi Allah yang Mahakaya lagi Mahamulia yang telah mewajibkan ibadah haji bagi hamba-ambaNya, dan ibadah ini hanya diwajibkan satu kali saja seumur hidup.

“Agar pengorbanan dalam menunaikan ibadah haji tidak sia-sia, maka harta yang dibelanjakan harus didapat dengan cara yang baik dan halal, karena Allah tidak menerima kecuali yang thayyib (baik),” katanya.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah Mahabaik, dan Allah tidak menerima kecuali sesuatu yang baik.” (HR. Muslim). 

Yang dimaksud dengan harta halal di sini adalah harta yang diperoleh dengan usaha atau cara-cara yang halal, sedangkan harta yang haram adalah harta yang dihasilkan dari usaha atau cara-cara yang diharamkan dalam syariat, seperti mencuri, menipu, berdagang barang yang diharamkan syariat, transaksi berunsur riba, korupsi, dan sebagainya. 

Orang yang melaksanakan haji dengan biaya hasil mencuri atau korupsi, sama halnya dengan orang yang shalat dengan pakaian hasil curian, ia berdosa. Ia tidak mempunyai hak apa-apa atas harta hasil curiannya itu. Ia justru berkewajiban untuk bertaubat, antara lain dengan menerima hukuman Allah atas pencurian dan mengembalikan harta itu kepada pemiliknya.

Ia sama sekali tidak berhak menggunakan harta itu untuk keperluan apapun, termasuk untuk pergi beribadah haji. Adakalanya seseorang mendapat harta bukan dari hasil kerjanya secara langsung, melainkan dari hibah [pemberian] atau hadiah. 

Biaya melaksanakan haji yang didapat dari hadiah atau fasilitas, maka disyaratkan bagi pihak yang memberikan biaya itu benar-benar ikhlas dan rela, bukan karena paksaan, tekanan, manipulasi, dan sebagainya. Sehingga kemampuan [istitha’ah] yang berasal dari orang lain itu juga benar-benar halal, tidak tercampur unsur dosa dan sebagainya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Tidak diterima shalat tanpa bersuci dan [tidak diterima pula] sedekah dari [hasil] ketidakjujuran [mengambil hasil rampasan perang sebelum dibagi oleh pemimpin].” [HR. Muslim].

Imam Bukhari berkata, ”Allah Ta’ala tidak menerima sedekah dari [hasil] kecurangan dan Allah Ta’ala tidak menerima kecuali yang thayyib (baik).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:Barang siapa bersedekah sebesar kurma dari hasil kerja yang halal, sementara Allah tidak akan menerima kecuali yang baik, maka Allahakan menerimanya dengan tangan kanan, kemudianmengembangkannya untuk pemilik sedekah itu sebagaimana salah seorang dari kalian memelihara anak kudanya, hingga sedekah itumenjadi sebesar gunung.” (HR. Bukhari).

Akan tetapi harta halal yang didapat dari usaha sendiri lebih baikdari harta pemberian atau hadiah. Sebagaimana yang dilakukan sahabat yang mulia Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, ketika beliau memilihberniaga di pasar daripada menerima harta hibah (pemberian) saudaranya Sa’ad bin Ar-Rabi’ radhiyallahu ‘anhu.

IHRAM

Kapuskes Haji: Petugas Haji Harus Kuasai Istithaah

Kepala Pusat Kesehatan Haji, Eka Jusup Singka, meminta para petugas kesehatan haji rekrutan kelak mesti menguasai tentang istitha’ah kesehatan haji. Hal itu penting untuk menghindari perdebatkan terkait jamaah yang batal diberangkatkan karena tak memenuhi syarat istitha’ah. 

“Jangan ada yang bilang kasihan pak Eka jamaah sudah menunggu 20 tahun mengapa tidak diberangkatin, lalu bilang kita menzalimi jamaah,” kata Eka saat menyampaikan materi Peran Petugas Kesehatan Haji Dalam Meningkatkan Kesehatan Fisik dan Mental Jamaah Haji” di Gedung Teater Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung, Jawa Barat, akhir pekan lalu, Sabtu (21/9).

Menurutnya, lebih kasihan ketika jamaah haji yang tak memenuhi syarat istitha’ah Kesehatan tetap diberangkatkan. Karena bagitupun diberangkatkan jamaah haji di tanah suci tidak bisa melakukan rangkaian ibadah haji. “Lebih kasihan lagi kalau diberangkatin tidak ngapa-ngapain. Ayo adu kasihan kasihan mana nunggu 20 tahun sudah sampai di sana meninggal,” ujarnya.

Eka memastikan istitha’ah kesehatan haji di Permenkes No 15 Tahun 2016 merupakan panduan baku mengukur jamaah haji laik tidak laik diberangkatkan ke tanah suci. Untuk itu semua pihak terutama petugas kesehatan haji tak perlu memperdebatkannya lagi, ketika ada jamaah tidak diberangkatkan. “Bahwa istitha’ah adalah kartu mati jangan tanya macam-macam lagi tentang istitha’ah,” katanya.

Eka menegaskan istitha’ah sudah sesuai dengan Alquran surah Ali Imran 97. Ayat ini harus diketahui semua pihak terkait, terutama petugas kesehatan haji. “Istitha’ah itu adalah pesan Alquran, Ali Imran ayat 97. Dan orang kesehatan haji harus hafal itu tidak boleh tidak tahu,” katanya.

Selama ini kata Eka, istilah istitha’ah kesehatan memang tak dikenalkan dengan baik kepada masyarakat. Selama ini kata dia, umat Islam hanya mengenal tentang haji itu mampu secara finansial. “Karena dulu kita selalu diajarkan naik haji jika mampu, jadi tidak pernah kenal istitha’ah,” katanya.

IHRAM REPUBLIKA