Mulut, Perut dan Makanan Kita

MALAM itu langit cerah sekali. Rembulan menampakkan separuh wajahnya agar bintang-bintang tak malu menampilkan cahayanya. Sang guru duduk di halaman pondok pesantrennya ditemani para santri seniornya yang selalu sigap memijat punggung dan leher sang guru. Pelajaran malam itu sangat singkat tapi bermakna dalam sekali: “Jangan fanatik pada makanan tertentu. Makanlah apa yang dibutuhkan oleh badanmu, bukan yang apa yang dimau mulutmu.”

Teringatlah saya pada hadits shahih yang menyatakan: “Tidaklah anak Adam memenuhi wadah yang lebih buruk dari pada memenuhi perut. Cukuplah bagi anak Adam memakan beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Namun jika ia harus (melebihinya), hendaknya sepertiga perutnya (diisi) untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk bernafas.”

Teringat pula saya pada komentar Imam Nawawi akan hadits Nabi tentang kenyang dan lapar. Beliau berkata dalam kitab syarah shahih Muslim: “Sedikit makan merupakan kemuliaan akhlak seseorang dan banyak makan adalah lawannya.” Bayangkan, betapa kemuliaan itu ada hubungannya dengan sedikit dan banyaknya makan.

Apa yang dinyatakan oleh Imam Nawawi itu selaras dan semakna dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Syafii: “Karena kekenyangan (memuaskan nafsu perut dan mulut) menyebabkan badan menjadi berat, hati menjadi keras, menghilangkan kecerdasan, membuat sering ngantuk dan tidur serta lemah untuk beribadah.” Mari kita renungkan dalam-dalam dawuh para orang mulia ini.

“Makanlah untuk hidup, jangan hidup untuk makan,” kata sebagian guru yang lain. “Semua dedaunan dan akar-akaran sesungguhnya memiliki fungsi menyehatkan kita kalau saja kita tahu rahasia di balik setiap pohon. Makanan tradisional, rempah-rempah dapur desa disebutkanlah oleh sang guru sebagai anugerah menyehatkan. Pilihlah makanan yang bisa menjadi obat sehat kita agar hidup tak menjadikan obat sebagai makanan utama kita.

Sang guru menyodorkan sebuah kitab berjudul “Al-Tibb al-Nabawi” (Pengobatan Nabi). Sepertinya kita perlu membaca dan memahami bersama demi meneladani cara sehat manusia termulia ini. Ada yang mau ikut kajiannya? Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Kebodohan Kita terhadap Bahaya Syirik (Bag. 2)

Syirik Merupakan Kezaliman yang Paling Zalim

Ahli tauhid yang meng-esa-kan Allah dan membersihkan diri dari kesyirikan baik dalam perkataan, perbuatan, maupun keyakinan, maka dia akan mendapatkan keamanan dan petunjuk di dunia dan di akhirat. Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan keimanan mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am [6]: 82)

Ketika ayat ini turun, para sahabat mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka radhiyallahu ‘anhum berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّنَا لاَ يَظْلِمُ نَفْسَهُ

”Wahai Rasulullah, siapakah yang tidak menzalimi dirinya sendiri?” 

Setiap orang pasti menzalimi dirinya sendiri dengan apa saja, baik dengan meremehkan kewajiban atau terjatuh ke dalam perbuatan dosa. Jika dia ingat atau diingatkan, maka dia akan bertaubat dari perbuatannya itu. Lalu siapakah yang tidak menzalimi dirinya sendiri? 

Tiga Jenis Kezaliman

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ كَمَا تَقُولُونَ ( لَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ ) بِشِرْكٍ ، أَوَلَمْ تَسْمَعُوا إِلَى قَوْلِ لُقْمَانَ لاِبْنِهِ ( يَا بُنَىَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ )

“Bukan itu yang dimaksud. (Yang dimaksud dengan) “tidak mencampur-adukkan keimanan mereka dengan kezaliman” adalah dengan kesyirikan. Tidakkah kalian mendengar perkataan Luqman kepada anaknya (yang artinya), “Wahai anakku! Janganlah kamu menyekutukan Allah. Sesungguhnya kesyirikan itu merupakan kezaliman yang besar.’” (HR. Bukhari no. 3360 dan Muslim no. 342. Lafadz hadits tersebut adalah lafadz hadits Bukhari)

Dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa kezaliman yang dimaksud dalam ayat ini adalah kesyirikan. Karena sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama, terdapat tiga jenis kezaliman:

1. Kezaliman Syirik Kepada Allah 

Yang merupakan jenis kezaliman yang paling zalim, yaitu kezaliman syirik. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman [31]: 13)

Mengapa syirik disebut dengan zalim? Karena makna asal dari zalim adalah,”Meletakkan sesuatu selain pada tempatnya”. Sedangkan makna dari syirik adalah,”Meletakkan ibadah selain pada tempatnya”. 

Sehingga syirik inilah kezaliman yang paling zalim. Karena ketika manusia meletakkan (menujukan) ibadah tersebut selain pada tempatnya yang benar, mereka memberikan ibadah tersebut kepada makhluk yang tidak berhak menerimanya. Artinya, mereka menyamakan antara makhluk dan Khalik (Pencipta), yang berarti menyamakan antara sesuatu yang lemah dengan Dzat Yang Maha perkasa. Oleh karena itu, kezaliman apakah yang lebih besar dari itu?

2. Kezaliman Seorang Hamba Atas Dirinya Sendiri

Ke dua, kezaliman seorang hamba atas dirinya sendiri dengan berbuat maksiat. Pelaku maksiat sebenarnya hanyalah menzalimi diri mereka sendiri. Hal ini karena pelakunya menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam hukuman. Padahal kewajibannya adalah menundukkan jiwanya, dan meletakkannya sesuai dengan tempat yang sesuai denganya, yaitu di atas ketaatan. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنَّ الْخَاسِرِينَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَلَا ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ

“Katakanlah, “Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat.” (QS. Az-Zumar [39]: 15) 

3. Kezaliman Hamba Kepada Manusia Lainnya

Ke tiga, kezaliman seorang hamba kepada manusia lainnya, baik dengan mengambil hartanya, menggunjingnya, membunuh jiwa mereka tanpa alasan yang dapat dibenarkan, memukul, melukai, atau merendahkan mereka. 

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kepada para sahabat bahwa keumuman (yaitu kezaliman) dalam QS. Al-An’am [6] ayat 82 tersebut dimaksudkan untuk zalim dalam bentuk tertentu. Maksudnya adalah salah satu dari tiga jenis kezaliman, yaitu kezaliman seorang hamba terhadap hak Rabb-nya dengan berbuat kesyirikan terhadap Allah Ta’alaKezaliman tersebut merupakan jenis kezaliman yang terbesarInilah makna melaksanakan tauhid dan berlepas diri serta membersihkan diri dari kesyirikan. Dengannya seorang hamba dapat meraih keamanan dan petunjuk. [1]

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52242-kebodohan-kita-terhadap-bahaya-syirik-bag-2.html

Kebodohan Kita terhadap Bahaya Syirik (Bag. 1)

Untuk mendorong kita agar lebih serius dalam mempelajari kesyirikan dan tidak memandangnya dengan pandangan yang remeh, maka dalam kesempatan ini penulis akan menjelaskan sedikit tentang bahaya syirik. Semoga dengan pembahasan ini dapat mengubah pandangan kita selama ini tentang bahaya kesyirikan yang mungkin belum kita ketahui.

Syirik Merupakan Salah Satu Pembatal Islam

Mengetahui macam-macam pembatal Islam sangat penting bagi kehidupan seorang muslim agar dapat menjauhkan diri dan menghindarinya. Seorang muslim yang tidak mengetahui pembatal-pembatal Islam, dikhawatirkan akan terjerumus di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 217)

Pengertian Murtad dalam Islam

Orang murtad adalah orang yang kafir setelah masuk Islam, baik karena keyakinan dari dalam hatinya, atau karena muncul keragu-raguan dalam hatinya, atau karena perbuatan tertentu seperti bersujud atau bernadzar kepada selain Allah Ta’ala. Bisa juga karena perkataan dengan mengolok-olok Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ ؛ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

“Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah [9]: 65-66) 

Demikianlah, riddah (keluar dari agama Islam) dapat disebabkan karena perkataan, perbuatan, dan keyakinan.

Saat Muncul Wacana Pelarangan Pengkafiran 

Namun sayangnya, ketika kebodohan terhadap ajaran Islam semakin tersebar dan ketika ajaran Islam semakin terasing, maka muncullah orang-orang dengan label “ilmuwan muslim” atau “cendekiawan muslim” yang mengatakan,

”Janganlah mengkafirkan kaum muslimin. Cukuplah bagi mereka nama (label) Islam, cukuplah bagi mereka dengan hanya mengatakan, “Saya seorang muslim.” Meskipun dia melakukan perbuatan semau mereka, misalnya menyembelih hewan untuk selain Allah atau mencela Allah dan Rasul-Nya. Selama mereka mengatakan,”Saya seorang muslim”, maka jangan kafirkan mereka.” 

Mereka Lebih Berbahaya daripada Orang Kafir

Konsekuensi dari perkataan mereka itu, maka masuklah ke dalam Islam orang-orang pemuja kubur (quburiyyun), orang-orang Syi’ah, orang-orang Ahmadiyyah, dan setiap orang yang mengaku sebagai orang muslim. Mereka mengatakan,”Janganlah mengkafirkan kaum muslimin, meskipun mereka melakukan berbagai amal semau mereka, atau meskipun mereka memiliki aqidah sendiri-sendiri. Janganlah memecah belah barisan kaum muslimin!”  

Maka kita katakan kepada mereka,”Maha Suci Allah! Kami tidak memecah belah barisan kaum muslimin, akan tetapi mereka itu bukan muslim? Karena ketika mereka terjerumus ke dalam pembatal Islam, mereka itu bukan muslim lagi.” 

Bahkan mereka itu lebih berbahaya daripada orang kafir asli, karena orang kafir asli tidak pernah mengaku sebagai seorang muslim. Adapun orang muslim yang telah murtad dari agamanya, mereka menipu masyarakat dan mengklaim bahwa kekafiran mereka itu termasuk bagian dari Islam. Oleh karena itu kita katakan,”Kami mengkafirkan orang yang keluar dari agama Islam. Adapun seorang muslim, maka tidak boleh kita kafirkan.” 

Penyebab Kemurtadan yang Paling Berbahaya

Di antara sebab riddah yang paling besar adalah berbuat syirik kepada Allah Ta’alaYaitu dengan beribadah kepada selain Allah Ta’ala, di samping juga beribadah kepada Allah, seperti bernadzar kepada selain Allah, bersujud kepada selain Allah, atau meminta pertolongan kepada selain Allah dalam hal-hal yang tidak ada yang bisa memenuhinya kecuali Allah Ta’ala saja. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maidah [5]: 72)

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang tingkatannya di bawah (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’ [4]: 48)

Oleh karena itu, kesyirikan adalah jenis riddah (kemurtadan) yang paling berbahaya. Yaitu beribadah kepada selain Allah Ta’ala dengan berbagai jenis ibadah, dengan berdoa, bernadzar, ber-istighotsah kepada penghuni kuburatau meminta bantuan kepada orang mati. Ini adalah jenis riddah yang paling besar dan paling berbahaya, namun banyak dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sebagai muslim dan mengucapkan “laa ilaaha illallah”. Mereka memang melaksanakan shalat dan puasa, akan tetapi mereka mencampur amal ibadah mereka dengan syirik akbar. Sehingga mereka pun keluar dari Islam, meskipun melaksanakan shalat dan puasa.

Penjelasan ini sekaligus menjadi bantahan atas anggapan sebagian kaum muslimin yang menganggap bahwa seseorang baru disebut murtad atau keluar dari agama Islam apabila dia berpindah agama menjadi seorang Nasrani, Hindu, atau Budha. Kita katakan, meskipun KTP mereka tetap Islam, apabila mereka melakukan pembatal Islam, mereka bukan muslim lagi. Hal ini tentunya dengan terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran, dan tidak ada penghalang seperti belum sampai dakwah kepadanya atau karena ada syubhat (kerancuan) dalam pemahamannya. Hal ini karena perkara takfir (pengkafiran) adalah perkara yang besar dan berbahaya, dan tidak boleh seseorang tergesa-gesa di dalamnya tanpa dilandasi ilmu dan tanpa mengikuti petunjuk atau nasihat para ulama.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52231-kebodohan-kita-terhadap-bahaya-syirik-bag-1.html

Sindiran Pedas Umar Bin Khattab Kepada Yang Sudah Layak Menikah Tetapi Belum Menikah

Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu berkata kepada seseorang yang belum menikah padahal ia sudah layak menikah (tidak ada lagi penghalang menikah baginya dan tidak ada target yang lebih penting dari menikah untuk sementara),

ما يمنعك من النكاح إلا عجز أو فجور

“Tidak ada yang menghalangimu menikah kecuali kelemahan (lemah syahwat) atau kemaksiatan (ahli maksiat)”[1]

Tentunya kita sudah pernah membaca motivasi agar segera menyempurnakan setengah agama dari Al-Quran dan Sunnah. kali ini, kita akan membawakan motivasi atau sindiran penyemangat dari ulama yang mempraktekkan Al-Quran dan Sunnah dan menjadi tauladan.

Imam Ahmad rahimahullah berkata,

ليست العزبة من أمر الإسلام في شيء وقال من دعاك إلى غير التزويج فقد دعاك إلى غير الإسلام

 “Hidup membujang bukanlah termasuk ajaran Islam.” ,Beliau juga berkata, “Barangsiapa yang mengajak untuk tidak menikah, maka dia telah menyeru kepada selain Islam.”[2]

Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,

لو لم يبقَ من أجلي إلا عشرة أيام، ولي طولٌ على النكاح لتزوجت كراهية أن ألقى الله عزباً

“Seandainya aku tahu bahwa ajalku tinggal sepuluh hari lagi, dan aku mempunyai kemampuan menikah, maka aku akan menikah. Karena aku tidak suka bertemu dengan Allah dalam keadaan membujang.” [3]

Thawus (seorang tabi’in) rahimahullah berkata,

لا يتم نسك الشاب حتى يتزوج

 “Tidaklah sempurna ibadah seorang pemuda sampai ia menikah.”[4]

Abdullah bin ‘Abbas berkata kepada Sa’id bin Jubair yang belum menikah setelah ditanya, ia berkata,

تزوج يا سعيد فإن خير رجال هذه الأمة أكثرهم نساءً.

“Menikahlah wahai Sa’id, karena sesungguhnya sebaik-baik ummat ini adalah yang banyak isterinya.’”[5]

Ucapan Umar dijadikan hujjah sesuai keadaan

وقال إبراهيم بن ميسرة قال لي طاوس لتنكحن أو لأقولن لك ما قال عمر لأبي الزوائد ما يمنعك من النكاح إلا عجز أو فجور

Ibrahim bin Maisarah berkata, “Thawus berkata kepadaku, ‘Engkau benar-benar menikah atau aku mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan ‘Umar kepada Abu Zawaid, “Tidak ada yang menghalangimu untuk menikah kecuali kelemahan atau kemaksiatan (ahli maksiat).’”[6]

Disempurnakan di Lombok, Pulau seribu Masjid

11 Shafar 1434 H

Penyusun: Raehanul Bahraen

MUSLIMAFIYAH

Jangan Beralasan Menunda Menikah Dengan “Ulama Tidak Nikah Karena Sibuk Dengan Ilmu”

Sebaiknya jangan beralasan menunda menikah dengan mengatakan :

“ulama tidak menikah karena disibukkan dengan ilmu, semisal Imam An-Nawawi dan Ibnu Taimiyyah ”

Ini kurang tepat:

  1. Dari mana kita tahu niat mereka tidak menikah karena sibuk dengan ilmu
  2. Ada ulama yang menjelaskan bahwa walaupun mereka tidak menikah, tetapi mereka “tasarriy” (punya budak wanita)

Imam Ahmad saja berkata di zamannya

“Berhutanglah kalian untuk menikah” (bagaimana dengan zaman sekarang?)

😉

[tapi jangan gegabah ngutang saja tanpa perhitungan  ]

Atau perkataan Umar bin Khattab bagi mereka yang menunda-nunda padahal sangat mampu dan mudah mencari,

ما يمنعك من النكاح إلا عجز أو فجور

 “Tidak ada yang menghalangimu menikah kecuali kelemahan (lemah syahwat) atau kemaksiatan (ahli maksiat)”

[Al-Muhalla Ibnu Hazm 9/4, Darul Fikr, Beirut, syamilah]

Bagi yang masih bujang, semoga dimudahkan segera menikah dan mendapat pasangan terbaik dan shalih, menyejukkan mata dan dada.

Karena memang menikah sangat banyak menfaatnya, kami sebutkan beberapa saja:

Pertama:

menenangkan hati

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ

Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. ” (QS. Al Furqon: 74)

Kedua:

Melaksanakan sunnah para nabi dan orang shalih.

Allah berfirman,

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً

” Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa orang rosul sebelum kamu (Muhammad) dan Kami telah menjadikan bagi mereka isteri isteri dan turunan-turunan.” (QS. Ar Ro’du : 38).

Ketiga:

Bisa kaya dan mendapat rezeki dengan menikah

Allah berfirman,

وَأَنكِحُوا اْلأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang wnaita. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [QS. An-Nuur: 32]

Dan masih banyak manfaat dan faidah yang lainnya.

@Pogung Dalangan,  Yogyakarta Tercinta

Penyusun:   Raehanul Bahraen

MUSLIMAFIYAH

Banyak Ulama Besar tak Menikah, Apa Alasan Mereka?

Para ulama membaktikan hidup mereka untuk ilmu.

Dalam sejarah banyak didapati fakta para ulama yang memutuskan tidak menikah, salah satunya adalah Imam an-Nawawi dan Ibn al-Jawzi. Menurut Syekh Abd al-Fattah Abu Ghaddah, dalam Al-Ulama’ al-‘Uzzab Alladzina Atsarul ‘ilma ‘Ala az-Zawaj, keputusan membujang mereka bukanlah bentuk pengingkaran terhadap sunah Rasulullah SAW, yaitu menikah.

Apalagi jika menengok dampak negatif akibat membujang, kecil kemungkinan mereka melakukannya begitu saja tanpa sebab. Lantas mengapa mereka memutuskan pernikahan, ibadah yang sangat ditekankan agama itu? 

Menurut Syekh Abu Ghadah, keputusan tersebut adalah jalan yang sangat personal yang mereka pilih untuk diri mereka sendiri. Dengan naluri dan mata hati mereka yang sangat tajam, mereka memilih antara dua pilihan yang sama-sama berat yaitu menikah atau atau tetap membujang dengan berbakti pada kebaikan ilmu.

Dan yang penting digarisbawahi, para ulama tersebut tidak pernah mengajak, mengampanyekan, dan mempropagandakan jalan membujang yang mereka tempuh. 

Sekalipun juga tidak pernah mengklaim bahwa membujang lebih baik dibandingkan menikah. Apa yang mereka lakoni juga sama sekali tak ada hubungannya dengan pandangan sebagian filsuf Abad Pertengahan bahwa menikah dan berketurunan adalah kriminalitas, mereka beranggapan berketurunan berarti membukakan pintu kerusakan dan malapetaka yang ada di dunia ini dengan sengaja bagi anak-anak. 

Kehidupan membujang justru sebaliknya, di mata para tokoh ulama tersebut, semakin mendekatkan kecintaan mereka terhadap ilmu Allah SWT.”Ilmu sudah menjadi ruh bagi jasad mereka, menjelma bak air bagi tanaman, dan layaknya udara bagi kehidupan,” tutur dia.

Para ulama itu, terlepas dari keutamaan dan keistimewaan menikah, beranggapan jika mereka menikah justru akan membuat mereka lemah dan semakin menjauh dari semangat menggali ilmu.

KHAZANAH REPUBLIKA


Sulit Tidur, Begini Teladan Rasulullah SAW

Gangguan sulit tidur bisa menimpa siapa saja.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Gangguan sulit tidur bisa menimpa siapa saja. Namun, sebagian orang yang mengalami gangguan sulit tidur memilih untuk mengatasinya dengan cara instan, seperti meminum obat tidur. Akan tetapi, cara ini dalam jangka panjang justru menghasilkan dampak yang kurang baik.

Gangguan sulit tidur sendiri bisa disebabkan berbagai hal, termasuk dari munculnya kegelisahan, kecemasan yang terus menghantui pikiran dan hati. Di dalam Islam, gangguan tidur karena sebab itu bisa diatasi dengan cara mengingat Allah (dzikrullah).

Rasulullah saw sendiri telah mencontohkan cara untuk mengatasi gangguan sulit tidur dengan membaca do’a. Seperti yang terjadi pada Zaid bin Tsabit ra, saat ia mengadu kepada Rasulullah saw, bahwasannya ia ditimpa sulit tidur.

Dikutip dari buku berjudul “444 Do’a Rasulullah” karya Samir Mahmud al-Hushni, Nabi saw kemudian meminta Zaid membaca do’a yang bunyinya seperti ini, “Wahai Tuhan yang mengorbitkan bintang-bintang, Yang membuat mata terpejam, Engkau adalah Yang Hidup dan Terjaga, wahai yang Hidup dan Terjaga, lelapkanlah mataku dan redupkanlah malam.”

Setelah itu, Zaid dikatakan bisa tertidur. Riwayat Zaid ini tercantum dalam kitab al-Adzkar karya al-Imam Muhyiddin Abu Zakariya al-Nawawi dan di dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir karya al-Thabrani.

Hal serupa juga pernah dialami oleh Khalid bin Walid al-Makhzumi ra. Buraidah mengisahkan bahwa Khalid pernah mengeluh kepada Rasulullah saw tentang sulit tidur. Lantas, Rasulullah saw menjawab, “Apabila engkau telah berbaring di tempat tidur, maka ucapkanlah, ‘Ya Allah, Tuhan Pencipta tujuh langit dengan segala yang dinaunginya, Tuhan Pencipta seluruh jagat raya dengan apa yang dikandungnya, Tuhan Pencipta setan-setan dengan segala yang disesatkannya, jadilah Engkau Ya Allah Pendamping yang Melindungiku dari segala kejahatan yang akan diperbuat makhluk-makhluk-Mu kepadaku, atau siapa saja yang akan menyakiti dan menyerangku. Matatinggi Engkau dan tiada Tuhan selain Engkau’ (HR. at-Tirmidzi).

Di dalam Islam, tidur tidak hanya rutinitas yang dilakukan sekehendaknya. Namun, ada tuntunan bagaimana persiapan menjelang tidur dan setelah tidur seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Rasulullah saw sendiri memiliki sejumlah kebiasaan yang dilakukannya menjelang tidur. Dikutip dari buku berjudul “Meneladani Akhlak Nabi” karya Abu asy-Syaikh al-Ashbahani, ketika hendak tidur Rasulullah saw seperti diriwayatkan Aisyah, beliau merapatkan dan meniup kedua telapak tangannya serta membaca do’a perlindungan pada kedua telapak tangan tersebut, lalu mengusapkannya ke sekujur badannya. Dalam hadits riwayat Muslim, beliau mengusapkan tangannya ke badannya dimulai dari kepala, wajah, lalu bagian depan badannya, dan beliau melakukannya 3 kali.

Selain itu, Nabi saw juga membaca surat-surat permohonan perlindungan. Di antaranya, surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas, ayat Kursi, dan beberapa ayat terakhir surat al-Baqarah.

Kemudian apabila Rasulullah saw mulai berbaring sebelum tidur, beliau meletakkan tangannya di bawah pipinya sembari mengucapkan do’a. Do’a tersebut berbunyi, “Ya Allah, jagalah aku dari azab-Mu pada hari ketika Engkau membangkitkan hamba-hamba-Mu.”

Selain itu, Qatadah bercerita, apabila Rasulullah hendak beristirahat pada malam hari, beliau mempersiapkan air suci (wudhu), bersiwak, dan menyisir rambutnya. Hal ini juga diriwayatkan oleh Anas ibn Malik ra dan Aisyah.

Di antara kebiasaan lainnya, Rasulullah saw juga kerap mencelak matanya saat hendak tidur. Menurut Aisyah, Rasulullah saw memiliki itsmid (zat celak) yang biasa digunakan olehnya untuk bercelak menjelang tidur pada masing-masing mata sebanyak tiga celakan. Hal ini juga diriwiyatkan oleh Ibnu Abbas ra.

Sebagai perisai jelang tidur, hendaklah membersihkan tempat tidur terlebih dahulu. Hal ini seperti yang kerap dilakukan Rasulullah saw. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian ingin tidur, hendaklah dia menyimpulkan ujung kainnya lalu membuang debu-debu yang ada, kemudian membaca bismillahirrahmaanirrahiim, karena dia tidak tahu apa yang akan terjadi di tempat tidurnya setelah itu. Apabila ingin berbaring, hendahkah berbaring di atas lambung kanan.” Kemudian, Rasulullah saw berdo’a. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, dan Abu Dawud.

Dari hadits tersebut dijelaskan, bahwa Rasulullah saw mendahulukan posisi tidur di atas sisi sebelah kanan (rusuk kanan sebagai tumpuan) dan berbantal dengan tangan kanan. Selanjutnya, apabila bangun dari tidur, hendaknya membaca do’a sebelum berdiri dari pembaringan.

KHAZANAH REPUBLIKA

Cincin, Kalung, dan Gelang Emas Anda Apakah Wajib Dizakati?

Emas termasuk salah satu perhiasan mahal yang kerap dipakai kaum Hawa. Sejumlah kaum Hawa terkadang mempunyai simpanan emas. Baik yang dipergunakan sehari-hari ataupun investasi. Emas kategori apakah yang wajib dizakati?  

Jawaban atas pertanyaan itu disampaikan anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) sebagai berikut: 

Emas adalah aset wajib zakat, jika memenuhi syarat wajibnya, yaitu mencapai minimum 85 gram emas (20 dinar), dimiliki secara sempurna, telah melewati 12 bulan (haul), serta dikeluarkan 2,5 persen.

Kewajiban tersebut sebagaimana hadis riwayat Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang memiliki emas atau perak, tapi tidak mengeluarkan zakatnya, melainkan pada hari kiamat nanti akan disepuh untuknya…” (HR Muslim). Begitu pula seluruh ulama telah konsensus (ijma) bahwa emas yang memenuhi syarat wajibnya itu wajib ditunaikan zakatnya. Selanjutnya, seperti apa jenis-jenis aset yang masuk dalam ruang lingkup emas wajib zakat bisa dijelaskan dalam poin-poin berikut:

Pertama, emas yang tidak digunakan sebagai perhiasan kaum hawa dalam batas yang wajar, seperti anting, gelang, dan perhiasan sejenis itu wajib zakat. Begitu pula, emas yang diguna kan kaum hawa sebagai perhiasan dalam jumlah yang berlebih-lebihan (di atas kelaziman) maka tetap wajib zakat menurut Jabir bin Abdullah, Ibnu Umar, Asma binti Abu Bakar dan Aisyah RA.

Standar berlebihan atau tidak didasarkan pada tradisi (urf sahih) di setiap masyarakat. Oleh karena itu, emas yang digunakan kaum hawa sebagai perhiasan dalam batas yang wajar itu tidak wajib zakat karena emas halal bagi perempuan sebagai perhiasan atau kebutuhan pribadi.

Kedua, emas berbentuk logam mulia, seperti logam mulia yang disimpan sendiri ataupun dititipkan di pihak lain itu wajib zakat. Kedua jenis emas tersebut (emas perhiasan atau logam mulia tersebut) wajib zakat sebagaimana hadis riwayat Abu Hurairah dan konsensus para ulama tersebut di atas yang bermakna umum dan tidak membeda-bedakan emas sebagai objek wajib zakat, baik itu emas perhiasan ataupun logam mulia.

Ketiga, emas yang digunakan untuk peruntukan yang tidak halal, seperti cincin dan kalung yang dipakai oleh laki-laki, dan alat-alat hiasan, seperti piring, mangkuk yang terbuat dari emas itu wajib zakat. Sebagai mana kaidah fikih: “Setiap sesuatu yang tidak boleh digunakan dan dijadi kan perhiasan, maka wajib dizakati.”

Menurut sebagian ulama, maqashid (tujuan) larangan setiap lakilaki menggunakan cincin emas juga larangan membuat dan memiliki alatalat hiasan dari emas tersebut adalah berlebih-lebihan dan membiarkan aset-aset yang seharusnya produktif, tetapi menjadi tidak produktif.

Oleh karena itu, setiap aset yang bernilai, berkembang, dan berpotensi jadi modal, tetapi tidak dikembangkan dan tidak digunakan untuk kebutuhan asasinya itu wajib zakat. Seperti memiliki tanah dan bangunannya yang hanya digunakan untuk kebutuhan pelengkap. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW; “Kembangkanlah (dagangkan lah) harta anak-anak yatim, sehingga tidak termakan oleh zakat.” (HR Thabrani).

KHAZANAH REPUBLIKA


Nasihat Imam Nawawi Soal Etika Berbangsa dan Bernegara

Karya Syekh Nawawi al-Bantani berjudul al-Futuhat al-Madaniyah fis Syu’ab al-Imaniyah merupakan kitab penuh hikmah yang mengajarkan masyarakat tentang keimanan. Dia menjelaskan beberapa akhlak yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti mengemban kekuasaan dengan adil pada poin ke-50. Pemimpin harus membuat keputusan dengan benar di tengah masyarakat.

Hindari hawa nafsu yang hanya membawa pemimpin kepada kepentingan segelintir orang dan mengabaikan kemaslahatan masyarakat luas. Kepemimpinan akan dipertanggungjawabkan di kehidupan dunia sekaligus akhirat. Masyarakat akan menilai apakah kepemimpinan berjalan dengan baik atau tidak. Allah juga akan mengganjar kepemimpinan baik dengan pahala atau bahkan siksaan.

Kekuasaan yang paling kecil adalah atas diri sendiri dan seluruh anggota tubuh. Laksanakanlah segala aturan Allah pada diri Anda karena Anda adalah wakil Allah atas segala kondisi pada diri sendiri dan semua yang lebih luas dari itu, tulis syekh kelahiran 1813 masehi.

Termasuk akhlak berbangsa adalah patuh kepada pemimpin (ulul amr). Meskipun pemimpin itu adalah seorang budak buruk rupa, masyarakat wajib menaatinya, selama apa yang diperintahkan adalah kebaikan.

Dalam menjelaskan poin ke-51 ini, Syekh Nawawi menuliskan kisah seorang non-Muslim memasuki sebuah daerah. Ketika itu dia melihat masyarakat ramai ber kerumun untuk menyaksikan pemimpin mereka datang. Orang tersebut ikut berkumpul. Ketika itu dia tercengang, karena pemimpin yang dimuliakan itu dulunya dia kenal sebagai budak.

Sejak itu dia menyadari bahwa Allah de ngan kuasanya mampu mengubah mem bolak-balik keadaan manusia. Dia ke mudian mengikrarkan keimanan kepada Allah dan Rasulullah.

Secara tersirat Syekh Nawawi menjelaskan bahwa iman tak sekadar tertanam dalam hati atau sebatas kata-kata manis. Lebih dari itu, keyakinan harus terwujud dalam laku-kata yang terpuji, yang tidak menyakiti hati orang lain, mendukung kemajuan hidup, dengan dasar keimanan yang kokoh.

KHAZANAH REPUBLIKA


Tidak Hanya Memikirkan Amalan untuk Diri Sendiri

Ada dua amalan yang perlu kita kenal, yaitu: amalan muta’addi dan amalan qashir.

  • Amalan muta’addi adalah amalan yang manfaatnya untuk orang lain, baik manfaat ukhrawi (seperti mengajarkan ilmu dan dakwah ilallah), bisa juga manfaat duniawi (seperti menunaikan hajat orang lain, menolong orang yang dizalimi).
  • Amalan qaashir adalah amalan yang manfaatnya hanya untuk pelakunya saja, seperti puasa dan iktikaf.

Para fuqoha menyatakan bahwa amalan muta’addi yang manfaatnya untuk orang lain lebih utama dari amalan qaashir yang manfaatnya untuk diri sendiri.

Dalil pertama:

Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ

Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti perbandingan bulan di malam badar dari bintang-bintang lainnya.” (HR. Abu Daud, no. 3641; Ibnu Majah, no. 223; Tirmidzi, no. 2682. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam tahqiq terhadap Misykah Al-Mashabih).

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata, “Pelaku ibadah qaashirah hanya mendapatkan manfaat untuk dirinya sendiri; jika ia meninggal dunia, amalannya akan terputus. Adapun pelaku ibadah muta’addi, maka walaupun meninggal dunia, amalannya tidaklah terputus.” (Utruk Atsaran Qabla Ar-Rahiil, hlm. 8)

Dalil kedua:

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

المؤْمِنُ يَأْلَفُ وَيُؤْلَفُ وَلاَ خَيْرَ فِيْمَنْ لاَ يَأْلَفُ وَلاَ يُؤْلَفُ وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Seorang mukmin itu adalah orang yang bisa menerima dan diterima orang lain, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bisa menerima dan tidak bisa diterima orang lain. Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, no. 5949. Syaikh Al-Albani menghasankan dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 426).

Dalil ketiga:

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ , وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ , أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً , أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا , أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا , وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ شَهْرًا

Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini –masjid Nabawi– selama sebulan penuh.” (HR. Thabrani di dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 13280, 12: 453. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al-Jaami’ no. 176). Lihatlah memenuhi hajat orang lain dibandingkan dengan amalan iktikaf. Memenuhi hajat orang lain termasuk amalan muta’addi, lebih besar pahalanya dibanding dengan amalan iktikaf yang merupakan amalan qaashir.

Dalil keempat:

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أُمِّ مَعْبَدٍ حَائِطًا فَقَالَ يَا أُمَّ مَعْبَدٍ مَنْ غَرَسَ هَذَا النَّخْلَ أَ مُسْلِمٌ أَمْ كَافِرٌ فَقَالَتْ بَلْ مُسْلِمٌ قَالَ فَلاَ يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلاَ دَابَّةٌ وَلاَ طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasuki kebun Ummu Ma’bad, kemudian beliau bersabda, “Wahai Ummu Ma’bad, siapakah yang menanam kurma ini, seorang muslim atau seorang kafir?” Ummu Ma’bad berkata, “Seorang muslim.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu dimakan oleh manusia, hewan atau burung kecuali hal itu merupakan shadaqah untuknya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim, no. 1552)

Contoh beberapa amalan muta’addi yang bisa kita praktikkan:

  1. Berdakwah ilallah (mengajaka pada agama Allah) karena orang yang berdakwah telah memiliki perkataan terbaik.
  2. Mengajarkan ilmu agama. Imam Syafii dan ulama Syafiiyah mengatakan bahwa belajar agama dan mengajarkan ilmu agama lebih baik daripada amalan sunnah.
  3. Membangun masjid, balasannya adalah akan dibangun istana di surga.
  4. Memberi nasihat dan mewujudkan kebaikan terkait hak Allah, kitab Allah, Rasul Allah, penguasa, ulama, dan kaum muslimin secara umum.
  5. Mendamaikan yang berselisih.
  6. Memberi syafaat (menjadi perantara) untuk orang lain agar terpenuhi hajatnya.
  7. Menolong orang yang dizalimi.
  8. Membantu hajat kaum muslimin dan menolong orang yang terkena musibah.
  9. Bersedekah pada fakir miskin dan yang membutuhkan.
  10. Memberikan pinjaman pada orang lain tanpa memberikan riba dan memberikan tenggang waktu jika ia sulit melunasi utang.

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/22113-khutbah-jumat-tidak-hanya-memikirkan-amalan-untuk-diri-sendiri.html