Memberi Pinjaman yang Baik dan Memberi Makan Termasuk Amalan Muta’addi

Contoh Amalan Muta’addi #11: Al-Qordh Al-Hasan (Peminjaman Utang yang Baik) dan Memberikan Tenggang Waktu bagi yang Susah

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً

Tidaklah seorang muslim memberikan pinjaman kepada seorang muslim suatu pinjaman sebanyak dua kali, maka ia seperti telah bersedekah sekali.” (HR. Ibnu Majah, no. 2430. Dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, Syaikh Al-Albani menyatakan hadits ini sahih lighairihi).

Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ قَبْلَ أَنْ يَحِلَّ الدَّيْنُ , فَإِذَا حَلَّ الدَّيْنُ فَأَنْظَرَهُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ

Barangsiapa memberi tenggang waktu pada orang yang berada dalam kesulitan, maka setiap hari sebelum batas waktu pelunasan,  dia akan dinilai telah bersedekah. Jika utangnya belum bisa dilunasi lagi, lalu dia masih memberikan tenggang waktu setelah jatuh tempo, maka setiap harinya dia akan dinilai telah bersedekah dua kali lipat nilai piutangnya.” (HR. Ahmad, 5:360. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih sesuai syarat Muslim, perawinya terpercaya termasuk perawi syaikhain kecuali Sulaiman bin Buraidah, ia merupakan perawi Muslim. Syaikh Al-Albani juga menyatakan sanad hadits ini sahih sebagaimana dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 86, 1:170).

Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَلَقَّتِ الْمَلاَئِكَةُ رُوحَ رَجُلٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ قَالُوا أَعَمِلْتَ مِنَ الْخَيْرِ شَيْئًا قَالَ كُنْتُ آمُرُ فِتْيَانِى أَنْ يُنْظِرُوا وَيَتَجَاوَزُوا عَنِ الْمُوسِرِ قَالَ قَالَ فَتَجَاوَزُوا عَنْهُ

Beberapa malaikat menjumpai ruh orang sebelum kalian untuk mencabut nyawanya. Kemudian mereka mengatakan, ‘Apakah kamu memiliki sedikit dari amal kebajikan?’ Kemudian dia mengatakan, ‘Dulu aku pernah memerintahkan pada budakku untuk memberikan tenggang waktu dan membebaskan utang bagi orang yang berada dalam kemudahan untuk melunasinya.’ Lantas Allah pun memberi ampunan padanya.” (HR. Bukhari, no. 2077)

Contoh Amalan Muta’addi #12: Memberi makan

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – أَىُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ

Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Islam yang bagaimana yang paling baik?’ Beliau bersabda, ‘Memberi makan (pada yang butuh), juga mengucapkan salam pada orang yang engkau kenal dan tidak engkau kenal.” (HR. Bukhari, no. 12 dan Muslim, no. 39)

Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ فِى الْجَنَّةِ غُرَفًا تُرَى ظُهُورُهَا مِنْ بُطُونِهَا وَبُطُونُهَا مِنْ ظُهُورِهَا. فَقَامَ أَعْرَابِىٌّ فَقَالَ لِمَنْ هِىَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِمَنْ أَطَابَ الْكَلاَمَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ

Sesungguhnya di surga terdapat kamar-kamar yang mana bagian luarnya terlihat dari bagian dalam dan bagian dalamnya terlihat dari bagian luarnya.” Lantas seorang arab baduwi berdiri sambil berkata, “Bagi siapakah kamar-kamar itu diperuntukkan wahai Rasululullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Untuk orang yang berkata benar, yang memberi makan, dan yang senantiasa berpuasa dan shalat pada malam hari di waktu manusia pada tidur.” (HR. Tirmidzi, no. 1984. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فُكُّوا الْعَانِىَ – يَعْنِى الأَسِيرَ – وَأَطْعِمُوا الْجَائِعَ وَعُودُوا الْمَرِيضَ

Bebaskanlah tahanan, berilah makan orang yang lapar, dan jenguklah orang sakit.”(HR. Bukhari, no. 3046)

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/22197-memberi-pinjaman-dan-memberi-makan.html

Allah Mengampuni Dosa dengan Amalan Hari Jumat

HARI Jumat adalah hari yang mulia bagi kaum muslimin. Banyak keutamaan yang terkandung pada Hari Jumat. Dan kita bisa meraih banyak pahala sekaligus ampunan Allah bila kita mengamalkan amalan yang khusus ada pada Hari Jumat. Yakni ibadah shalat Jumat.

Barangsiapa yang berwudhu lalu memperbagus wudhunya kemudian dia mendatangi shalat Jumat, dia mendengarkan khutbah dan diam, maka akan diampuni dosa-dosanya antara Jumat dengan Jumat yang akan datang, ditambah tiga hari. Dan barangsiapa yang bermain kerikil, sungguh ia telah berbuat sia-sia,. (HR. Muslim).

Berdasarkan hadits di atas, dosa-dosa kita dari Hari Jumat ke Jumat akan Allah ampuni dengan sebab amalan yang kita lakukan pada Hari Jumat.

Tahapan amalan Hari Jumat agar Allah mengampuni dosa kita adalah yang pertama kita berwudhu dengan sempurna dalam rangka menghadiri shalat Jumat. Dan sebaiknya wudhu ini dilakukan di rumah. Sebab hal ini memiliki keutamaan tersendiri.

Berikutnya datang ke masjid lebih awal agar kita tidak tertinggal khutbah dari pertama khatib/imam naik mimbar. Hal ini memiliki banyak keutamaan, diantaranya adalah kita akan mendapatkan shaf lebih dekat dengan imam dan ini adalah keutamaan, juga nama kita akan dicatat malaikat yang ada di pintu masjid karena kita datang sebelum khatib naik mimbar.

Kita diam khusyuk mendengarkan khutbah imam dari awal hingga selesai. Bukan tertidur maupun melakukan suatu hal/perbuatan meskipun hal itu baik. Misalnya dalam rangka amar maruf nahi mungkar, saat khutbah berlangsung kita menegur jamaah yang lain untuk diam. Maka itu sebuah kesia-siaan.

Mari dirikan ibadah shalat Jumat dengan memerhatikan hadits di atas agar kita mendapatkan keutamaan berupa diampuninya dosa kita oleh Allah dari Jumat ke Jumat.

Allahu Alam.

INILAH MOZAIK

Jalan Hidup Tak Selalu Lurus Kadang Belok Mendadak

Kiai Semar melanjutkan dawuh: “Hidup ini unik, dan seringkali sulit ditebak. Ada orang yang dipenjara dan dihinakan dengan putusan kejam para hakim yang biasa terima suap. Sekeluar dari penjara, orang itu menjadi jauh lebih mulia dibandingkan para hakim laknat itu yang akhirnya terhina karena tertangkap KPK.” Unik, bukan? Jangan sedih kalau kalian dihinakan kini, yang penting tetap bersama Allah maka kamu akan menjadi mulia. Sudah, sana pulang, jangan lupa selalu rajin ke pengajian. Salam saya ke pengasuh Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim itu ya.” Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

Apakah Shalat Jama’ah Wajib di Masjid?

Telah kita ketahui bersama bahwa shalat berjama’ah hukumnya wajib ‘ain bagi kaum lelaki. Namun apakah shalat berjama’ah wajib dilaksanakan di masjid? Ataukah sudah gugur kewajiban shalat jama’ah walaupun tidak dilakukan dimasjid?

Dalil Wajibnya Shalat Berjamaah di Masjid

Yang rajih, shalat berjama’ah wajib dilaksanakan di masjid kecuali jika ada udzur untuk tidak melasanakannya di masjid. Wajbnya shalat jama’ah di masjid ditunjukkan oleh banyak dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Diantaranya:

Dalil 1

Allah Ta’ala berfirman:

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang” (QS. An Nur: 36 – 37).

Dalil 2

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ

“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat” (QS. At Taubah: 18).

Syaikh Shalih Al Fauzan ketika menyebut dua ayat di atas beliau mengatakan, “Dalam dua ayat yang mulia ini terdapat penekanan untuk ibadah di masjid dan memakmurkannya. Dan Allah menjanjikan orang yang melakukannya dengan pahala besar. Maka terdapat celaan bagi orang yang tidak menghadiri masjid untuk shalat di sana” (Al Mulakhas Al Fiqhi, 103).

Dalil 3

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لقد هممت أن آمر بالصلاة فتقام ثم آمر رجلا فيصلي بالناس ثم أنطلق معي برجال معهم حزم من حطب إلى قوم لا يشهدون الصلاة فأحرق عليهم بيوتهم بالنار

“Sungguh aku benar-benar berniat untuk memerintahkan orang-orang shalat di masjid, kemudian memerintahkan seseorang untuk menjadi imam, lalu aku bersama beberapa orang pergi membawa kayu bakar menuju rumah-rumah orang yang tidak menghadiri shalat jama’ah lalu aku bakar rumahnya” (HR. Bukhari no. 7224, Muslim no. 651).

Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengancam orang yang tidak menghadiri shalat berjama’ah di masjid. Maka menunjukkan bahwa shalat berjama’ah wajib dilakukan di masjid. Telah kita sampaikan hadits ini dan alasan mengapa beliau tidak melakukannya.

Dalil 4

Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَن سَمِعَ النِّداءَ فلَم يأتِ فلا صَلاةَ لَه إلَّا مِن عُذرٍ

Barangsiapa yang mendengar adzan, namun tidak mendatanginya maka tidak ada shalat baginya, kecuali ada udzur” (HR. Abu Daud no.551, Ibnu Majah no.793, dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram [114]).

Dalil 5

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu,

أن رجلاً أعمى قال يا رسول الله: ليس لي قائد يقودني إلى المسجد، فهل لي من رخصة أن أصلي في بيتي، فقال له صلى الله عليه وسلم: هل تسمع النداء بالصلاة؟ قال: نعم، قال: فأجب

“Ada seorang buta menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki seseorang yang akan menuntunku ke masjid. Apakah ada keringanan bagiku untuk shalat di rumah?“. Maka Rasulullah pun bertanya kepadanya, “Apakah engkau mendengar panggilan shalat (azan)?”. Laki-laki itu menjawab, “Ya”. Beliau bersabda, “Kalau begitu penuhilah panggilan tersebut (hadiri shalat berjamaah)” (HR. Muslim no. 653).

Dalil 6

Bahkan di zaman Nabi, orang yang tidak shalat jama’ah di masjid, sudah kentara sebagai orang munafik. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, ia berkata:

من سره أن يلقى الله غداً مسلماً فليحافظ على هؤلاء الصلوات حيث ينادى بهن، فإن الله شرع لنبيكم سنن الهدى وإنهن من سنن الهدى، ولو أنكم صليتم في بيوتكم كما يصلي هذا المتخلف في بيته لتركتم سنة نبيكم، ولو تركتم سنة نبيكم لضللتم ولقد رأيتنا وما يتخلف عنها إلا منافق معلوم النفاق أو مريض، ولقد كان الرجل يؤتى به يهادى بين الرجلين حتى يقام في الصف

“Barangsiapa yang ingin ketika berjumpa dengan Allah esok dalam keadaan sebagai seorang Muslim, maka hendaknya dia menjaga shalat 5 waktu di tempat dikumandangkan adzan (yaitu di masjid). Karena Allah telah mensyariatkan kepada Nabi kalian jalan-jalan petunjuk. Dan shalat 5 waktu di masjid adalah salah satu di antara jalan-jalan petunjuk. Seandainya kalian shalat di rumah-rumah kalian sebagaimana orang yang tidak ikut shalat berjamaah ini, ia shalat di rumahnya, maka sungguh kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian. Dan jika kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, maka sungguh kalian akan tersesat. Dan sungguh aku melihat dahulu kami para sahabat, tidak ada yang meninggalkan shalat berjamaah di masjid kecuali orang munafik yang jelas kemunafikannya. Dan sungguh dahulu ada sahabat yang dibopong ke masjid dan ditopang di antara dua lelaki agar bisa berdiri untuk shalat di shaf” (HR. Muslim no.654).

Udzur Tidak Shalat Berjamaah di Masjid

Maka jelaslah dari dalil-dalil di atas bahwa shalat berjama’ah wajib dilaksanakan di masjid, kecuali jika ada udzur. Ibnul Qayyim menjelaskan: 

ومن تأمل السنة حق التأمل تبين له أن فعلها في المساجد فرض على الأعيان ، إلا لعارض يجوز معه ترك الجمعة والجماعة ، فترك حضور المسجد لغير عذر : كترك أصل الجماعة لغير عذر، وبهذا تتفق جميع الأحاديث والآثار….

“Barangsiapa yang mentadabburi As Sunnah dengan sebenar-benarnya, akan jelas baginya bahwa melaksanakan shalat jama’ah di masjid itu hukumnya fardhu ‘ain. Kecuali ada penghalang yang menghalangi untuk membolehkan untuk meninggalkan shalat Jum’at dan shalat Jama’ah. Maka meninggalkan hadir shalat di masjid tanpa udzur seperti meninggalkan shalat jama’ah tanpa udzur. Dengan pendapat inilah akan bersesuaian semua hadits dan atsar” (Kitabus Shalah, 416).

Udzur yang membolehkan orang untuk tidak menghadiri shalat berjama’ah diantaranya: sakit yang menyulitkan untuk hadir di masjid, hujan, cuaca sangat dingin, dan semua kondisi yang menimbulkan masyaqqah pada seseorang untuk hadir di masjid. dibolehkan bagi lelaki untuk tidak menghadiri shalat jama’ah di masjid lalu ia shalat di rumahnya jika ada masyaqqah (kesulitan) seperti sakit, hujan, adanya angin, udara sangat dingin atau semacamnya.

Dari Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhuma:

كَانَ يَأْمُرُ مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ ، ثُمَّ يَقُولُ عَلَى إِثْرِهِ ‏‏: ” أَلَا صَلُّوا فِي ‏‏الرِّحَالِ ‏” فِي اللَّيْلَةِ الْبَارِدَةِ أَوْ الْمَطِيرَةِ فِي السَّفَرِ

“Dahulu Nabi memerintahkan muadzin beradzan lalu di akhirnya ditambahkan lafadz /shalluu fii rihaalikum/ (shalatlah di rumah-rumah kalian) ketika malam sangat dingin atau hujan dalam safar” (HR. Bukhari no. 616, Muslim no. 699).

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, ia berkata:

خرجنا مع رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ في سفرٍ . فمُطِرْنا . فقال ” ليُصلِّ من شاء منكم في رَحْلِه “

“Kami pernah safar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu turunlah hujan. Beliau besabda: ‘bagi kalian yang ingin shalat di rumah dipersilakan‘” (HR. Muslim no. 698).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:

صلوا في بيوتكم إذا كان فيه مشقة على الناس من جهة المطر أو الزلق في الأسواق

“Shalatlah di rumah-rumah kalian, maksudnya jika ada masyaqqah (kesulitan) yang dirasakan orang-orang, semisal karena hujan, atau jalan yang licin.” (https://www.binbaz.org.sa/noor/5631)

Dan kondisi sakit terkadang  menimbulkan masyaqqah untuk pergi ke masjid. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pun ketika beliau sakit parah, beliau tidak shalat di masjid, padahal beliau yang biasa mengimami orang-orang. Beliau memerintahkan Abu Bakar untuk menggantikan posisi beliau sebagai imam. ‘Aisyah radhiallahu’anha berkata:

أن رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قال في مرَضِه : ( مُروا أبا بكرٍ يصلِّي بالناسِ )

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika sakit beliau bersabda: perintahkan Abu Bakar untuk shalat (mengimami) orang-orang” (HR. Bukhari no. 7303).

Ibnu Abbas radhiallahu’anhu mengatakan:

لقد رَأيتُنا وما يتخلَّفُ عن الصَّلاةِ إلا منافقٌ قد عُلِمَ نفاقُهُ أو مريضٌ

“Aku melihat bahwa kami (para sahabat) memandang orang yang tidak shalat berjama’ah sebagai orang munafik, atau sedang sakit” (HR. Muslim no. 654).

Jika Kesulitan Mendatangi Masjid

Demikian juga boleh bagi para pekerja, para pelajar dan semisalnya untuk mendirikan shalat di tempat mereka beraktifitas jika sulit untuk datang ke masjid. Syaikh Shalih Al Fauzan menjelaskan: “Namun jika ada kebutuhan untuk mendirikan shalat jama’ah di luar masjid, seperti para karyawan yang akan shalat di tempat mereka bekerja karena jika mereka shalat di tempat kerja mereka itu akan lebih menunjang pekerjaan mereka, dan akan lebih mudah untuk mewajibkan para karyawan untuk mendirikan shalat berjama’ah, dan selama tidak membuat masjid-masjid yang ada di sekitarnya menjadi terlantar, semoga dalam keadaan seperti tidak mengapa mereka (para karyawan) shalat di tempat kerjanya” (Al Mulakhas Al Fiqhi, 104).

Adapun hadits:

أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً

“Aku diberi lima perkara oleh Allah, yang tidak diberikan kepada seorang Nabi pun sebelumku. [1] Aku ditolong (oleh Allah) berupa rasa takut pada hati musuh (sebelum mereka datang) sejauh perjalanan satu bulan, [2] bumi dijadikan untukku sebagai tempat shalat dan alat bersuci. Maka siapa saja dari umatku yang mendapati waktu shalat, hendaklah dia shalat [3] ghanimah dihalalkan untukku, dan itu tidaklah halal untuk seorangpun sebelumku, [4] Aku diberi syafa’at, [5] dan Nabi-Nabi terdahulu diutus khusus kepada kaumnya, sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia” (HR. Bukhari no.335).

Disebutkan dalam hadits ini bahwa setiap bagian dari bumi dapat digunakan untuk shalat. Maka ini dijadikan dalil oleh sebagian ulama yang mengatakan tidak wajibnya shalat berjama’ah di masjid. Namun yang tepat, maksud hadits ini adalah bagi orang yang tidak wajib shalat berjama’ah di masjid atau ada udzur yang membolehkan ia tidak shalat berjama’ah di masjid. Seperti orang yang sedang safar, orang yang sakit atau jauh dari masjid. Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qahthani ketika membawakan hadits di atas beliau memberikan penjelasan: “Namun jika tidak mudah untuk pergi ke masjid, atau masjid terlalu jauh sehingga tidak terdengar adzan, atau shalat jama’ah dilakukan ketika safar, maka shalat jama’ah tetap wajib bagi mereka yang mampu melakukannya dan boleh bagi mereka untuk shalat di tempat mana saja yang suci” (Al Masajid, 57). Dengan demikian semua dalil saling sejalan dan cocok.

Maka kesimpulannya, shalat berjama’ah wajib dilaksanakan di masjid kecuali jika ada udzur untuk tidak melasanakannya di masjid. Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52194-shalat-jamaah-wajib-di-masjid.html

Permudah Bimbingan, Kloter Haji Berbasis Kecamatan

Jakarta (Kemenag) — Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin meminta agar tahun 2020 dijadikan sebagai momentum peningkatan kualitas manasik haji. Untuk memudahkan proses pembimbingan ibadah, maka kloter haji akan dibentuk berbasis kecamatan. 

“Pengkloteran akan dibentuk berdasarkan jemaah haji perkecematan, sehingga memudahkan KBIH untuk melakukan bimbingan dan pendampingan jemaah,” tegas Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU)  Nizar saat menerima Pengurus Pusat Forum Komunikasi Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (PP FK-KBIH) di kantornya, Senin (14/10). 

Turut mendampingi, Direktur Bina Haji, Khoirizi H. Dasir, Kasubdit Advokasi Haji, Wawan Djunaedi, Kasi Bina Kelompok Bimbingan Jemaah Haji, Ansor, dan Yendra sebagai staf Ditjen PHU. 

Dari FK-KBIH, hadir Ketua Dewan Pembina, KH. Mubarok, Ketua Umum, Dr. KH. Manarul Hidayat, M.Pd; dan beberapa alim ulama yang menjadi anggota organisasi tersebut.

Menurut Nizar, pada musim haji 1441H/2020M, pihaknya akan menyempurnakan pelaksanaan sistem zonasi. Hal ini tidak diniatkan untuk melemahkan, tapi juatru menguatkan peran KBIH.

Melalui sistem zonasi, jemaah haji dari daerah tertentu dapat ditempatkan dalam satu zona selama di Arab Saudi. Sehingga, akan memudahkan pembimbing ibadah KBIH dalam melakukan tugas bimbingan dan pendambingan bagi jemaah haji. 

“Dengan dikelompokkan pada satu zona, maka pembimbing KBIH akan lebih mudah mengkoodinir mobilitas jemaah dari hotel menuju haram, baik ketika di Mekah atau Madinah,” tuturnya. 

Di samping itu, lanjut Nizar,  sistem zonasi juga akan mempermudah fungsi pengawasan yang dilakukan DPR dan DPD. Mereka lebih mudah untuk menjaring masukan dan evaluasi dari jemaah, khususnya konstituen dari daerah pemilihan mereka masing-masing. Jemaah dari NTB misalnya, dengan sustem zonasi dapat ditempatkan dalam satu hotel sehingga memudahkan dalam proses pembimbingan manasik bagi jemaah.

Agar sistem zonasi dapat berjalan secara maksimal, pada penyelenggaraan ibadah haji tahun 2020, pihak Ditjen PHU akan mengirimkan manifes lebih awal, tepatnya setelah dilakukan MoU antara Menteri Agama dan Menteri Haji Arab Saudi. Manifes yang dibagikan lebih awal, akan memudahkan pihak Kemenag Kabupaten/Kota untuk meminta Kepala KUA agar membentuk kloter berdasarkan jemaah yang ada di tingkat kecamatan. 

“Pihak KUA diharapkan melakukan komunikasi dan koordinasi secara intens dengan pihak KBIH untuk mengelompokkan jemaah haji dalam satu kloter,” jelasnya. 

“Melalui sistem zonasi inilah dapat diterapkan program manasik sepanjang tahun, di mana pengkloteran jemaah sudah bisa dipastikan jauh-jauh sebelumnya,” sambungnya.

Dirjen mengaku telah memberikan tabayyun di beberapa daerah (Banyumas dan Brebes), terkait isu sistem zonasi akan melemahkan KBIH. Setelah dijelaskan, kebanyakan KBIH justru mendukung agar sistem zonasi ini terus diterapkan. Di samping memudahkan proses bimbingan selama di Saudi Arabia, sistem zonasi juga dapat memfasilitasi keberadaan KBIH untuk saling menguatkan satu sama lain. 

“KBIH dengan jumlah jemaah sedikit dapat digabungkan dengan KBIH yang jumlah jemaahnya banyak. Di sinilah diharapkan terjadi proses kompetisi yang sehat, kompetisi yang tidak saling mematikan satu sama lain,” tandasnya. (WDj) 

KEMENAG RI

Dosakah HP dengan Aplikasi Quran Dibawa Masuk WC?

SEBELUM menjawab tentang mushaf digital, ada baiknya kita melihat pengertian mushaf yang selama ini dipakai oleh para ulama. Al-Azhari dalam kamus Lisanul Arab dan Al-Mu’jam Al-Wasith menyatakan dinamakan benda itu mushaf karena bersifat ushifa, yaitu nama untuk benda yang dituliskan padanya kalamullah dan diapit oleh dua sisinya. (ismum lil maktubati fihi kalamullah ta’ala bainad duffataini).

Para ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan mushaf Alquran adalah benda yang tertulis di atasnya huruf-huruf Arab berupa ayat-ayat Alquran. Hal ini sebagaimana yang kita baca dari pengertian mushaf menurut kitab Hasyiyatu Ad-Dasuqi ‘ala Syarhil Kabir jilid 1 halaman 125. Keterangan yang senada juga kita dapati pada kitab Al-Qolyubi ala Syarhil Minhaj jilid 1 halaman 35. Di kitab itu dijelaskan bahwa untuk bisa disebut mushaf, tidak ada aturan hanya berupa tulisan ayat Alquran sebanyak 30 juz. Potongan satu dua ayat pun sudah termasuk mushaf. Mushaf itu secara fisik tidak terbatas hanya pada buku atau kertas, melainkan juga bisa saja berbentuk benda-benda lain seperti batu, kayu, kulit binatang, pelepah kurma, tulang atau apa pun juga.

Para ulama mengatakan bahwa mushaf Alquran itu harus dimuliakan, karena merupakan tulisan yang berisi mukjizat, yaitu perkataan Allah Ta’ala. Dan bentuknya adalah tidak membolehkan orang yang berhadats untuk menyentuhnya. Tentu dengan segala bentuk variasi perbedaan pendapat di dalamnya. Selain itu juga melarang orang untuk membawanya masuk ke dalam WC.

1. Hukum Menyentuh Mushaf Buat Orang yang Berhadats. Umumnya para ulama mengharamkan kita menyentuhnya, kecuali bila diri kita bersih dan suci dari hadats kecil atau hadats besar. Bahkan hal itu, menurut sebagian mereka, dianggap sebagai ketentuan langsung dari Allah di dalam Alquran. Tidak boleh ada yang menyentuhnya kecuali orang yang suci

2. Membawa Mushaf ke dalam WC. Larangan lainnya adalah membawa masuk mushaf Alquran ke dalam WC. Banyak ulama seperti kalangan mazhab Al-Malikiyah yang tegas mengharamkan kita masuk ke WC sambil membawa mushaf. Keharamannya didasari dengan dalil-dalil, antara lain: “Bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke dalam WC, beliau melepas cincinnya.” (HR Abu Daud). Abu Daud mengomentasi bahwa hadits ini munkar, sebagaimana yang beliau tuliskan dalam Sunan Abu Daud jilid 1 halaman 25. Sedangkan Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanafiyah tidak mengharamkannya secara mutlak, namun tetap memakruhkannya.

Perangkat elektronik seperti HP di zaman sekarang sudah sangat canggih dan bisa diinstalkan ke dalamnya program atau software Alquran. Namun beda antara HP dengan mushaf Alquran yang kita kenal sehari-hari dari segi pengaktifan. Kalau diaktifkan, maka barulah HP itu menampilkan tulisan ayat-ayat Alquran. Sebaliknya, kalau dimatikan tentu tulisannya tidak ada lagi. Maka dalam hal ini, ketika kita mau masuk WC umum dan terpaksa harus membawa HP karena takut hilang atau diambil orang, kita harus mematikan HP itu. Setidaknya program Alquran yang sudah terinstal harus dimatikan atau dinon-aktifkan dulu sementara. Lalu bagaimana dengan memori yang tersimpan di dalamnya? Bukankah ada ayat-ayat Alqurannya dalam bentuk data digital?

Jawabnya sederhana saja. HP yang kita punya itu cara bekerjanya mirip sekali dengan otak kita. Ketahuilah bahwa isi otak kita ini bisa saja terdapat data-data Alquran, baik berupa memori tulisan atau pun suara. Seorang penghafal Quran misalnya, di dalam kepalanya ada ribuan memori ayat Alquran. Apakah seorang penghafal Alquran diharamkan masuk ke dalam WC, dengan alasan bahwa di dalam kepalanya ada data-data digital Alquran? Lalu apakah kepalanya harus dilepas dulu untuk masuk WC? Ataukah dia cukup menon-aktifkan saja ingatannya dari Alquran untuk sementara?

Nampaknya yang paling masuk akal adalah dia tidak mengaktifkan hafalan Qurannya sementara, baik dalam bentuk suara atau tulisan. Ketika memori data Alquran di dalam otaknya dinon-aktifkan sementara, maka pada dasarnya tidak ada larangan untuk masuk WC. Demikian juga dengan HP milik kita. Meski ada memori data digital 30 juz baik teks atau pun sound, bahkan mungkin video, selama tidak diaktifkan tentu saja tidak jadi masalah. Yang haram adalah sambil nongkrong di WC kita pasang HP bersuara tilawah Alquran. Jelas itu haram dan harus dihindari.

Wallahu a’lam bishsawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc., MA]

INILAH MOZAIK

Saran Kiai Ahsin untuk Mereka yang Ingin Belajar Alquran

Bacaan Alquran harus ditransfer dari mulut ke mulut.

Pakar Alquran Prof KH Ahsin Sakho Muhammad menambahkan, pada dasarnya bacaan Alquran harus ditransfer dari mulut ke mulut atau dari orang ke orang. Nabi Muhammad SAW pun menerima wahyu Alquran melalui Malaikat Jibril.

“Nabi mendengarkan Malaikat Jibril membaca ayat Alquran, kemudian Nabi mengajarkan bacaannya ke para sahabat, sahabat juga mengajarkan lagi ke yang lain, dan begitu seterusnya sampai sekarang tidak putus namanya sanad,” ujar KH Ahsin.

Dia menuturkan, mentransfer bacaan Alquran secara langsung sangat penting karena ada berbagai kaidah tertentu dalam mem baca kitab suci itu. Kaidah-kai dah tersebut meliputi panjangpendeknya, tebal-tipisnya, dan sebagainya.

“Belajar bacaan Alquran tidak bisa kecuali harus melalui talaqqi atau dari mulut ke mulut,” kata dia.

Hanya saja, lanjutnya, kemajuan teknologi membuat banyak orang mulai belajar secara online, baik melalui aplikasi mau pun hanya mendengarkan dari video. Mereka pun cenderung pasif.

Kiai Ahsin menyarankan, bagi mereka yang baru belajar mem baca Alquran, sebaiknya langsung mendatangi guru tahsin. Dia tidak menyarankan untuk melakukan tahsin sendiri lewat aplikasi. Menurut dia, tidak ada yang memberitahu kesalahan sekaligus memperbaiki bacaannya jika lewat aplikasi.

Bila sudah memahami dasardasar membaca Alquran dari gu ru, dia mengungkapkan, seseorang boleh melanjutkan tahsin secara online. “Ya walaupun tetap lebih bagus berguru ke guru yang punya sanad, tapi mau bagaimana lagi? Orang yang mau menjadi guru Alquran sedikit, sedangkan jumlah yang harus diajari banyak sekali,” ujarnya.

Dengan begitu, ujar dia, tahsin online memang membantu seorang Muslim meningkatkan bacaan Alquran. Namun, hasilnya tetap berbeda dengan yang mela kukan tahsin langsung.

Kiai Ahsin menyebutkan, ada beberapa bentuk tahsin online. Pertama ada yang bersifat timbal balik, jadi pelajar tahsin merekam bacaan Alqurannya, kemudian satu jam kemudian apa yang ter de ngar di rekaman tersebut di perbaiki. Seharusnya, dia mengungkapkan, ada respons lagi dan tidak berhenti sampai di tahap itu.

Kedua, tahsin melalui video call. Baginya, cara ini paling ba gus karena murid dan guru ber ha dapan langsung walau tidak berdekatan. Ketiga yakni dengan merekam bacaan. Hasilnya didengarkan guru dan diberikan penjelasan. “Sebetulnya tidak apaapa memanfaatkan teknologi un tuk tahsin, tapi teknologi tetap tidak bisa menggantikan orang,” ujarnya menegaskan.

Menurut dia, Alquran merupakan Kalamullah yang indah. Oleh karena itu, ayat-ayatnya harus dibaca secara fasih untuk menghormati keindahannya. “Allah senang bila orang mahir membaca Alquran. Mahir itu ti dak hanya bisa, tetapi juga dibaca tepat sesuai kaidahnya, seperti ilmu tajwid, waqf, dan lainnya,” ujar KH Ahsin.

REPUBLIKA

Banyak Aplikasi Alquran Belum Ditashih Kemenag

Berdasarkan catatan Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran (LPMQ) banyak aplikasi Alquran yang belum ditashih oleh LPMQ Kementerian Agama (Kemenag). LPMQ sangat menyarankan para pengembang aplikasi Alquran mentashih Alquran digitalnya untuk melindungi umat dari kesalahan penulisan Alquran.

Kepala Bidang LPMQ Kemenag Ustaz Deni Hudaeny Ahmad Arifin menyampaikan, berdasarkan catatan 2018 terdapat sekitar 250 aplikasi Alquran yang beredar di dunia maya. Sebanyak 57 aplikasi di antaranya dibuat oleh pengembang dalam negeri dan sisanya dibuat pengembang dari luar negeri.

“Dari sebanyak sekitar 57 aplikasi Alquran yang dikembangkan di dalam negeri, ada sekitar 10 aplikasi yang sudah ditashih oleh LPMQ,” kata Ustaz Deni kepada Republika.co.id, Ahad (20/10).

Ia menerangkan, aplikasi Alquran yang sudah ditashih kebanyakan aplikasi yang dikembangkan penerbit besar. Ada juga yang hanya sekadar mengunggah aplikasi Alquran di dunia maya.

Ustaz Deni menyampaikan para pengembang aplikasi Alquran bisa datang ke LPMQ untuk melakukan pentashihan. “Kita mendukung mereka yang ingin menyediakan mushaf Alquran yang mudah diakses, hanya saja mereka belum mentashihnya maka validitasnya belum 100 persen,” ujarnya.

Ia menerangkan, huruf Alquran digital biasanya tidak cocok diterapkan dengan semua jenis gawai atau komputer yang digunakan masyarakat. Sehingga hurufnya menjadi berantakan atau hurufnya berubah menjadi simbol.

Karena itu LPMQ sangat mendukung para pengembang aplikasi Alquran mentashih Alquran digitalnya guna menjamin kesahihannya. Dia menerangkan, untuk mentashih mushaf Alquran membutuhkan waktu 30 hari kerja.

“Untuk mentashih Alquran dan terjemahannya butuh waktu 45 hari kerja, untuk mentashih Juz Amma butuh waktu 10 hari kerja,” kata Ustaz Deni.

REPUBLIKA

Pemimpin yang Diridhai

Nabi Daud AS merupakan salah satu pemimpin yang dikisahkan dalam Alquran.

Nabi Daud AS merupakan salah satu pemimpin yang dikisahkan dalam Alquran. Allah SWT memerintahkankannya untuk memutuskan perkara secara adil dan jangan mengikuti hawa nafsu. (QS Shaad [38]: 26).

Suatu ketika, Nabi Daud AS dihadapkan pada persengketaan dua orang laki-laki yang menghadap padanya. Sebagai seorang pemimpin, Allah SWT memerintahkannya agar memutus perkara secara adil. Keadilan itu meletakkan sesuatu pada tempatnya, secara objektif, apa adanya, tidak bertentangan dengan hukum Allah; bukan karena kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Allah SWT juga melarang Nabi Daud AS mengikuti hawa nafsu dalam menjalankan kepemimpinannya. Memimpin dengan hawa nafsu akan melahirkan kebijakan yang hanya berorientasi pada duniawi, mengedepankan materi, memilih kenikmatan sesaat, mementingkan diri dan golongan, cenderung menghalalkan segala cara; hukum direkayasa, korupsi menjadi budaya, agama hanya pemanis kata.

M Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menafsirkan kata al-hawa sebagai “kecenderungan hati kepada sesuatu tanpa perhitungan akal sehat”. Memperturutkan hawa naf su menyebabkan seseorang kehilangan kesadaran. Dengan demikian, ia akan kehilangan kontrol pribadi sehingga ia tersesat dari jalan yang diridhai Allah. Apabila kesesatan itu telah menyelubungi hati seseorang, ia lupa akan keyakinan yang melekat dalam hatinya bahwa di atas kekuasaannya masih ada yang lebih berkuasa.

Lalu, bagaimanakah caranya agar kita sebagai umat Islam tampil sebagai umat terdepan dengan hadirnya para pemimpin yang diridhai Allah SWT? Dalam surah an-Nur [24] ayat 55 Allah SWT berjanji akan memberikan kekuasa an kepada orang-orang yang beriman dan meneguhkan agama yang telah diridhai-Nya kepada mereka. Paling tidak ada empat syarat yang harus dipenuhi, yaitu: Pertama, teguhkan iman kepada Allah SWT. Seorang pemimpin yang beriman, tidak akan berani korupsi, melakukan kejahatan dan kezaliman, karena ia yakin Allah senantiasa mengawasinya. Menjadi pemimpin itubanyak godaan. Maka, iman menjadi benteng dan perisai untuk menolak godaan negatif itu.

Kedua, gemar beramal saleh. Orang yang beramal saleh adalah orang yang tidak berbuat kerusakan baik bagi dirinya maupun lingkungannya. Pemimpin yang diridhai adalah pemimpin yang melayani rakyat dengan prinsip amal saleh. Ketiga, giat beribadah kepada Allah SWT. Ibadah itu tidak saja yang wajib, tetapi juga ibadah-ibadah sunah. Setiap ibadah yang dilakukan seorang pemimpin, akan menjadi terapi baginya untuk tetap istiqamah menjalankan kepemimpinannya dengan adil dan benar. Karena itu, ibadah ritual yang dilakukan akan membuat seseorang menjadi lebih berkualitas dalam kehidupannya.

Keempat, jangan menyekutukan Allah, tidak saja me nyem bah selain Allah, tetapi juga termasuk menggan tung kan harapan kepada selain-Nya. Jika hidup hanya berorientasi pada jabatan dan/atau harta, jabatan dan harta itu bisa menjadi Tuhan seseorang. Namun, jika ia yakin bahwa ridha Allah sebagai tujuan hidup, tak ada celah bagi seorang pemimpin untuk berbuat zalim.

Jika keempat hal itu bisa dilakukan, Allah SWT akan mengangkat umat ini menjadi penguasa yang mampu mela ku kan perubahan dari keterbelakangan menuju negeri yang berkeadaban, dari bangsa yang dicekam kecemasan dan ketakutan menjadi bangsa yang aman dan tenteram dalam ridha-Nya. (QS an-Nur: 55). Wallahu a’lam.¦

Oleh: Muhammad Kosim

KHAZANAH REPUBLIKA

Kampanye Demi Jabatan, Ujung-Ujungnya?

Sobat, saat saat ini, kemanapun anda pergi di negeri kita ini, niscaya anda mendapatkan berbagai poster besar bergambarkan pria tampan atau wanita cantik. Uniknya, gambar lelaki tampan atau wanita cantik, dilengkapi dengan gambar paku yang menghujam atau menusuk.

Anda pasti tahu, apa maksud dari gambar gambar tersebut; “kampanye” agar dicoblos atau dipilih. Bahkan betapa banyak dari mereka yang rela bagi-bagi uang agar anda memilihnya sebagai caleg. Mereka semua berjanji bila terpilih akan bersikap jujur, memperjuangkan kepentingan rakyat, bekerja keras dan slogan slogan indah lainnya. Percayakah anda dengan slogan mereka? Percayakah anda bahwa bila mereka terpilih mereka benar benar menjalankan janjinya?

Sobat, metode pemilihan pejabat semacam ini sarat dengan permainan dan manipulasi, alias praktek “dagang sapi”. Dalam Islam, jabatan diberikan kepada orang yang paling pantas menjabat karena kredibilitasnya bukan faktor terdahulu, atau tertua atau terbanyak dukungannya. Percayalah banyaknya dukungan bila tidak diimbangi dengan kemampuan maka akan berujung kepada kehancuran. Terlebih lagi bila disertai adanya ambisi jabatan yang menggebu-gebu.

Dahulu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إنا والله لا نولي على هذا العمل أحدا سأله، ولا أحدا حرص عليه

Sejatinya kami tidak memberikan jabatan kepada orang yang meminta agar ditunjuk sebagai penjabatnya, dan tidak pula orang yang berambisi mendapatkannya” (Muttafaqun alaih)

Namun sebaliknya minimnya dukungan asalkan memiliki kredibilitas tinggi, dan amanah alias dapat dipercaya niscaya dengan izin Allah menghasilkan kerja yang memuaskan. Allah berfirman:

إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

Sebaik baik orang yang engkau jadikan pegawai ( dipekerjakan ) ialah orang yang tangguh / kredibel lagi amanah” (QS. Al Qashas 26).

Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Baderi, Lc., MA.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/20453-kampanye-demi-jabatan-ujung-ujungnya.html