Hukum Minum Dengan Sekali Nafas

Terdapat hadits shahih yang masyhur dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau minum dengan 3 kali nafas. Yaitu beliau menghabiskan minuman tidak sekaligus, namun perlahan dengan 3 kali mengeluarkan nafas. Maka timbul pertanyaan dan ini pun dibahas para ulama dalam kitab-kitab fiqih, yaitu apakah boleh minum dengan sekali nafas, atau sekali teguk? Simak bahasan singkat berikut.

Anjuran minum perlahan dengan 3 kali nafas

Anas bin Malik radhiallahu’anhu menceritakan,

كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يتنفَّسُ في الشرابِ ثلاثًا ، ويقول : ( إنه أَروى وأبرأُ وأَمرأُ )

“biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bernafas tiga kali ketika minum. Dan beliau bersabda: ‘Sesungguhnya dengan begini haus lebih hilang, lebih lepas dan lebih enak‘” (HR. Al Bukhari 5631, Muslim 2028, dan ini adalah lafadz Muslim).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “ini adalah dalil dianjurkannya bernafas 3 kali ketika minum” (Majmu’ Al Fatawa, 32/208). Maka jelaslah bahwa hal ini hukumnya sunnah, tidak sampai wajib. Karena hukum asal dari perbuatan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah sunnah.

Namun perlu dicatat, bahwa bernafas yang dimaksud di sini bukanlah bernafas atau mengeluarkan nafas di dalam gelas atau tempat minum. Namun yang dimaksud adalah di luar gelas. Karena dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إذا شَرِبَ أحدُكم فلا يَتَنَفَّسُ في الإناءِ

jika salah seorang di antara kalian minum, janganlah bernafas di dalam bejana (tempat minum)” (HR. Al Bukhari 153, Muslim 267).

Jadi caranya: meneguk air, lalu berhenti dan keluarkan nafas di luar gelas, lalu teguk lagi, lalu berhenti dan keluarkan nafas di luar gelas, lalu teguk lagi, lalu berhenti dan keluarkan nafas di luar gelas, selesai.

Hukum minum dengan satu nafas

Lalu bagaimana dengan minum satu kali nafas atau sekali teguk? Terdapat hadits dari sahabat Abu Sa’id Al Khudry radhiallahu’anhu, ia berkata:

ان النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن النفخ في الشراب، فقال رجل ‏:‏ القذاة أراها في الإناء‏؟‏ فقاله‏:‏ ‏”‏أهرقها‏”‏ قال‏:‏ إني لا أروى من نفس واحد‏؟‏ قال‏:‏ ‏”‏فأبن القدح إذاً عن فيك‏”‏

Bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang bernafas di dalam tempat minum. Maka ada seorang yang bertanya: “(Wahai Rasulullah,) terkadang (kalau saya minum) ada gelembung udara yang keluar di bejana (tempat minum)”. Rasulullah bersabda: “keluarkan itu!”. Lalu lelaki tadi berkata: “(Wahai Rasulullah,) haus saya tidak hilang dengan sekali teguk saja”. Rasulullah bersabda: “kalau begitu minumlah beberapa teguk lalu ambil nafas!” (HR. At Tirmidzi 764, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 385).

Hadits ini menunjukkan bolehnya minum dengan cara menenggak beberapa teguk lalu baru bernafas, atau beberapa tenggak sampai habis, baru bernafas. Syaikh Al Albani rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini beliau mengatakan: “ini menunjukkan bolehnya minum dengan sekali nafas. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak mengingkari seorang lelaki yang mengatakan: ‘haus saya tidak hilang dengan sekali teguk saja’. Andai minum dengan sekali nafas itu terlarang, maka ketika itu Rasulullah akan menjelaskan larangannya. Beliau akan berkata semisal: ‘Memangnya boleh minum dengan sekali nafas?’”.

Di tempat lain, Syaikh Al Albani juga menukil perkataan Ibnu Hajar Al Asqalani: “Ibnu Hajar berkata dalam Al Fath: Imam Malik membolehkannya minum dengan sekali nafas berdalil dengan hadits ini. Bolehnya hal ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah dari Sa’id bin Musayyab dan sekelompok tabi’in lainnya. Lalu Umar bin Abdul Aziz juga mengatakan: yang dilarang adalah bernafas di dalam bejana, adapun orang yang tidak bernafas di dalam bejana boleh saja minum dengan sekali nafas jika ia mau” (Silsilah Ash Shahihah, 1/670-671, dinukil dari Ikhtiyarat Imam Al Albani 478).

ِAdapun hadits yang menganjurkan minum dengan sekali nafas, haditsnya tidak shahih.

إِذا شَرِبَ أَحَدُكُم فَليَشرَب فِي نَفَسٍ واحِدٍ

jika salah seorang dari kalian minum maka minumlah dengan sekali nafas

Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan: “hadits ini tidak shahih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Karena Yahya bin Said tidak meriwayatkan dari Aban bin Yazid dan aku khawatir lafadznya maqlub, seharusnya ‘janganlah minum‘ namun disebutkan ‘minumlah‘” (Al ‘Ilal Al Mutanahiah, 2/669).

Minum dengan bernafas lebih dari tiga kali

Minum dengan lebih dari tiga kali nafas tentu saja kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah. Terlebih lagi dalam hadits larangan bernafas di dalam bejana disebutkan:

إذا شربَ أحدُكم، فلا يتنفَّسْ في الإناءِ، فإذا أرادَ أن يعودَ، فلينحِّ الإناءَ، ثمَّ ليَعُد إن كانَ يريدُ

jika salah seorang di antara kalian minum, janganlah bernafas di dalam bejana (tempat minum). Jika ia ingin mengulang (tegukan) maka singkirkan dahulu bejana (dari mulut untuk bernafas), kemudian teguk lagi jika ingin” (HR. Ibnu Majah 2784, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Menunjukkan tidak ada batasan jumlah tegukan atau nafas ketika minum. Tentu saja selama tidak sampai israf (berlebih-lebihan) dalam minum. Wallahu a’lam.

Demikian, semoga bahasan ringkas ini bermanfaat.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/24183-hukum-minum-dengan-sekali-nafas.html

Seandainya Nabi Bersikap Keras, Tentu Mereka Akan Menjauh

Perang Uhud adalah salah satu momen kritis dari kehidupan Nabi. Pasukan yang di atas bukit melanggar perintah Nabi. Mereka turun meninggalkan pos-nya karena khawatir tidak mendapat harta pampasan perang. Kesalahan ini fatal. Pasukan porak poranda. Kemenangan yang hampir diraih menjadi ambyar.

Nabi Muhammad pun dikepung musuh. Gigi beliau ada yang tanggal. Dua keping lingkaran rantai topi besi yang menutupi wajahnya, telah menusuk pula menembusi pipi Kanjeng Nabi. Paman beliau, Sayidina Hamzah, pun menjadi korban dengan tragis. Parahnya lagi, sejumlah pasukan melarikan diri dari pertempuran. Bahkan sempat terdengar berita bahwa Nabi Muhammad telah terbunuh. Pendek kata, akibat ketidakpatuhan sebagian pasukan, kondisi jadi kocar-kacir. Kesalahan mereka teramat jelas dan konsekuensinya teramat berbahaya bagi Nabi dan juga kelangsungan agama Islam.

Namun, apa sikap Nabi? Apa yang Nabi lakukan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran besar tersebut?

Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 159 memberi jawaban:

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka….”

Syekh Abu Zahrah dalam Zahratut Tafasir menjelaskan:

‎والمعنى: بسبب رحمة أي رحمة عظيمة فياضة أفاضها المولى العلي القدير كنت لئنا معهم في كل أحوالك، وكنت لينا لهم بعد الأخطاء التي وقعوا فيها، والكارثة التي نتجت عن مخالفتك، فما لمُتَهُم، ولا عنَّفْتَهم بل سكت حيث رأيت ما أصابهم من غم استغرقهم، وحزن استولى عليهم، ولقد شكر الله سبحانه وتعالى لنبيه ذلك اللين

“Nabi Muhammad diutus sebagai rahmat yang agung bagi semesta. Di dalam jiwa dan raganya ada rahmat Allah. Rahmat Allah inilah yang menyebabkan Nabi bersikap lemah lembut dalam segala kondisi, bahkan pada kondisi perang sekalipun, di saat perbuatan sebagian pasukannya melakukan kesalahan yang benar-benar membahayakan beliau dan agama Allah.”

Lanjutan bunyi ayatnya:

“….. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…”

Tafsir al-Maraghi menjelaskan:

‎أي ولو كنت خشنا جافيا فى معاملتهم لتفرقوا عنك، ونفروا منك، ولم يسكنوا إليك، ولم يتم أمرك من هدايتهم وإرشادهم إلى الصراط السوىّ

Ayat di atas menegaskan bahwa Nabi tidak bersikap keras. Nabi juga tidak berhati kasar. Bukan hanya sikap lahiriah beliau yang tidak keras, tapi hati beliau pun tidak kasar. Wajah beliau Saw tidak menampakkan kemarahan. Hati beliau tidak panas membara, apalagi mendendam. Kalau itu beliau lakukan, maka bukan saja mereka akan lari dari medan pertempuran, tapi mereka akan berlari menjauhkan diri dari Nabi Muhammad.

Tak terdengar caci maki. Tak terdengar sumpah serapah. Tak ada teriakan bunuh-bunuh-bunuh. Tak ada kata-kata: penistaan agama! Tak ada teriakan takbir yang membahana sebagai luapan emosi.

Tidaklah baik jika seseorang hanya puas dengan ilmu yang ada pada dirinya, tanpa menghiasinya dengan akhlaq yang baik, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah. Apakah pantas bagi seorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mengaku ikut kepada beliau SAW, berlaku buruk kepada orang-orang beriman, berperilaku kejam, berhati keras, dan berucap yang tidak terpuji? Hanya karena satu kesalahan, kita lupa akan sembilan kebaikan saudara kita.

Jika rahmat Allah sudah ada di jiwa, yang muncul adalah sikap lemah lembut. Mereka mendekat pada Islam karena kelembutan akhlak Rasul. Tapi kini banyak yang menjauh dari Islam karena kejelekan akhlak kita. Duh, Gusti….

Potongan dari ayat selanjutnya lebih menggetarkan lagi:

“…. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlahdengan mereka dalam urusan itu…”

Dalam Tafsir al-Munir, Syekh Wahbah az-Zuhaili menjelaskan:

‎وإذا كنت يا محمد بهذه الأخلاق فاعف عنهم، وتجاوز عما صدر منهم، واطلب لهم المغفرة من الله حتى يغفر لهم، وشاورهم في أمور السياسة العامة ومصالح الأمة في الحرب والسلم، وكل شؤون المصالح الدنيوية

Kesalahan mereka yang begitu besar itu, malah Allah suruh Nabi Muhammad SAW untuk melakukan tiga hal secara berurutan: Pertama, maafkanlah mereka. Kedua, memohonkan ampunan bagi mereka. Ketiga, bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan siyasah dan kemaslahatan umum seperti peperangan dan perdamaian.

Luar biasa. Mereka yang bersalah, bukan mendapat hukuman, malah dimaafkan oleh Nabi. Padahal kita tahu kesalahan mereka amat berat. Tidak cuma Nabi memaafkan, bahkan Nabi pun memohon agar Allah mengampuni kesalahan mereka. Setelah itu, orang-orang yang bersalah itu tetap dirangkul dan diajak bicara sambil bermusyawarah. Mereka tidak diisolir. Mereka tidak dimasukkan penjara. Mereka tetap dianggap punya hak yang sama dengan para Sahabat Nabi lainnya untuk duduk bersama-sama, berdiskusi dan turut serta bermusyawarah.

Tafsir al-Wasith karya Sayyid Thantawi menerangkan:

‎وقد جاءت هذه الأوامر للنبي صلّى الله عليه وسلّم، على أحسن نسق، وأحكم ترتيب، لأن الله تعالى أمره أولا بالعفو عنهم فيما يتعلق بخاصة نفسه، فإذا ما انتهوا إلى هذا المقام، أمره بأن يستغفر لهم ما بينهم وبين الله تعالى، لتنزاح عنهم التبعات، فإذا صاروا إلى هذه الدرجة، أمره بأن يشاورهم في الأمر لأنهم قد أصبحوا أهلا لهذه المشاورة

Inilah bukti bahwa Nabi itu diutus sebagai rahmat semesta alam, dan rahmat Allah telah ada dalam diri beliau SAW, sehingga secara tertib (sesuai urutannya) beliau bersikap lemah lembut, memaafkan dan tetap menghormati serta merangkul mereka.

Maka syarat untuk ketemu dan bermusyawarah itu gak boleh ada ganjalan di hati. Maafkan dulu, lalu doakan mereka, baru kemudian duduk bertemu. Kalau belum dimaafkan dan didoakan, maka nanti jalannya musyawarah hanya penuh emosi dan saling menyalahkan.

Bagian akhir ayat menegaskan:

“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Kitab Shafwatut Tafasir menjelaskan:

‎{فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى الله}
‎أي إِذا عقدت قلبك على أمر بعد الاستشارة فاعتمد على الله وفوّض أمرك إِليه
‎{إِنَّ الله يُحِبُّ المتوكلين}
‎أي يحب المعتمدين عليه، المفوضين أمورهم إِليه

Apapun hasil musyawarah, harus kita patuhi untuk kita bertekad menjalankannya. Dalam musyawarah, Nabi Muhammad bisa mengajak para sahabatnya melakukan introspeksi, bisa pula memberi nasehat, dan kemudian mengatur strategi berikutnya. Setelah tercapai kesepakatan, laksanakanlah dengan bertawakal kepada Allah. Hasil akhir kita serahkan pada kuasa Allah karena Allah menyukai orang yang berserah diri.

Mereka yang sering marah-marah, berhati kasar, bersikap keras, enggan memaafkan, tidak mau mendoakan saudaranya, bahkan diajak duduk bersama saja untuk bermusyawarah tidak mau, maka mereka itu tidak mengikuti akhlak Kanjeng Nabi SAW, baik mereka itu memakai sorban atau peci, gamis atau baju batik, cingkrang atau sarung, atau siapapun.

Semoga kita semua dapat meneladani akhlak Nabi Muhammad SAW.

Allahumma shalli ‘ala Nabiyyir rahmah
Allahumma shalli ‘ala Syafi’il ummah

ISLAMIco

Rasulullah, Sosok Pribadi Shalih dan Mushlih

SAUDARAKU, menjadi pribadi yang shalih adalah dambaan kita semua. Pribadi yang memiliki hati bersih, jernih, terpaut kuat kepada Allah SWT.

Pribadi yang selalu merasa tidak nyaman saat berdekatan sedikit saja dengan kemaksiatan kepada Allah. Pribadi yang hatinya segera bereaksi merasa tidak enak, manakala sedikit saja lalai dari kewajiban beribadah kepada-Nya. Pribadi yang berada dalam posisi merasakan kenikmatan tiada tara, manakala duduk terpekur bermunajat kepada Allah di sepertiga malam ketika orang lain sedang tertidur lelap.

Merasakan kenikmatan saat beribadah kepada Allah adalah anugerah besar yang tidak ternilai. Sehingga saat kemampuan untuk merasakan nikmat saat ibadah ini hilang, maka sesungguhnya ini adalah kehilangan yang sangat besar, namun seringkali luput dari perhatian seorang insan.

Orangtua senantiasa mendambakan putra-putrinya tumbuh menjadi orang-orang shalih, berjodoh dengan orang shalih, dan melahirkan keturunan yang shalih pula. Nabi Ibrahim pernah berdoa kepada Allah SWT, “Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih.” (QS. ash-Shaffaat [37]: 100)

Banyak keberkahan dari seorang anak yang shalih. Seperti hadis Rasulullah saw, “Apabila manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shalih yang mendoakan orang tuanya” (HR. Muslim).

Seorang pemilik perusahaan mendambakan karyawan-karyawannya adalah orang-orang shalih, sehingga mendatangkan berkah untuk perusahaannya. Para guru dan pengajar mendambakan murid-muridnya menjadi orang-orang shalih, sehingga mereka berupaya sebaik mungkin mendidiknya.

Selain menjadi pribadi yang shalih, kita juga amat mendambakan bisa menjadi pribadi yang mushlih. Apa itu pribadi mushlih? Yaitu pribadi yang shalih secara personal, sekaligus juga mengajak orang lain dan lingkungannya untuk menjadi lebih baik. Orang yang shalih hampir bisa dipastikan akan disukai semua orang. Namun, tidak demikian dengan orang yang mushlih. Mengapa bisa begitu?

Menjadi orang yang mushlih adalah suatu kemuliaan. Namun, sejalan dengan resikonya yang juga besar. Tetapi, disinilah ladang ibadah bagi orang yang ingin menjadi mushlih. Mari kita tafakuri bagaimana pribadi Rasulullah saw.

Rasulullah semenjak kanak-kanak sudah dikenal sebagai pribadi yang shalih, banyak orang kagum dan menyayanginya. Namun, manakala beliau tumbuh semakin dewasa dan telah datang tugas dakwah kepadanya, untuk mengajak orang-orang meninggalkan kemusyrikan dan memasuki jalan tauhid, maka disinilah berbagai ujian dimulai. Orang yang asalnya kagum, berubah menjadi benci. Orang yang asalnya menyayangi, berbalik jadi memusuhi. Orang yang awalnya mencintai, berubah jadi menyakiti.

Orang-orang kafir Quraisy yang berubah menjadi benci kepada Rasulullah, bukan karena tidak tahu kemuliaan akhlak beliau, bahkan mereka sudah sangat mengenal akhlak mulianya sejak lama. Mereka membenci Rasulullah karena mereka tidak suka dengan ajaran yang dibawa oleh beliau. Mereka tidak suka diajak kepada tauhid. Mereka tidak suka diajak berhenti menyembah Manat, Lata dan Uzza, dan kemudian berhijrah menyembah Allah SWT.

Allah berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. al-Ashr [103]: 1-3)

Jadi, orang yang beruntung itu, pertama adalah orang yang beriman. Artinya dia harus belajar agar memiliki pemahaman tentang kebenaran, sehingga setelah paham dia menjadi yakin atau iman. Kedua, adalah orang yang mengamalkan pemahamannya dengan cara beramal shalih. Dan yang ketiga, yaitu nasihat-menasihati kebenaran dalam kesabaran.

Mengamalkan kebenaran itu ujiannya lebih berat dari sekadar memahami atau meyakini. Dan akan lebih besar lagi ujiannya manakala mendakwahkan kebenaran. Oleh karena itulah, mendakwahkan kebenaran disandingkan dengan kesabaran karena memang memerlukan kesabaran ekstra dalam menjalaninya. Mengapa? Karena akan ada pihak-pihak yang tidak suka dengan kegiatan kita mendakwahkan kebenaran. Dakwah inilah ciri dari orang mushlih.

Rasulullah saw adalah sosok yang shalih sekaligus mushlih. Mulia akhlaknya sekaligus mengajak orang lain pada kemuliaan akhlak. Bersih dan lurus tauhidnya sekaligus mengajak orang lain kepada tauhiid yang kokoh. Berat ujian yang dihadapi oleh Rasulullah, namun sangat tinggi derajat beliau di sisi Allah SWT.

Dan, kita sangat mendambakan derajat yang tinggi pula di hadapan Allah. Semoga kita bisa menjadi keduanya, pribadi yang shalih dan mushlih. Insya Allah! [*]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

SKB 11 Menteri Tentang Penanganan Radikalisme pada ASN Ditinjau dari Perspektif Fikih

SKB 11 Menteri yang ditandatangani pada 12 November 2019 oleh 6 kementerian bersama dengan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kepada Badan Kepegawaian Daerah (BKD), Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), dan Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) tentang Penanganan Radikalisme Dalam Rangka Penguatan Wawasan Kebangsaan Terhadap Aparatur Sipil Negara telah menimbulkan polemik. Hal itu terjadi seiring perbedaan pandangan mengenai perlu tidaknya SKB sebagai salah satu langkah merespon fenomena radikalisme yang menjangkiti sebagian oknum Aparatur Sipil Negara (ASN).

SKB 11 Menteri fokus pada upaya penegakan aturan disiplin nasional terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN), mengingat perannya sebagai alat dan kepajangan tangan negara dalam melayani masyarakat guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional bagi seluruh warga negara Indonesia..

Dalam hemat penulis, dari 11 butir kesepakatan yang tercantum dalam SKB, kurang lebihnya dapat dirangkum menjadi 4 poin utama yang menjadi fokus garapan , yaitu:

  1. Hak menyampaikan pendapat di muka umum secara lisan maupun tulisan tanpa memandang aspek pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan masyarakat.
  2. Penghinaan terhadap simbol-simbol negara, antara lain terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan pemerintah.
  3. Maraknya ujaran kebencian dan penyebaran konten dan berita hoax yang dapat memprovokasi massa, melecehkan suku, agama dan ras tertentu yang menjadi bagian dari masyarakat dan warga negara Indonesia.
  4. Sikap yang mengarah pada intoleransi, radikalisme, teror dan condong pada kekerasan sehingga membahayakan pada fondasi Bhinneka Tunggal Ika.

Seiring maraknya praktik-praktik yang mengarah pada lahirnya pola pikir radikal yang berkembang di seluruh lini kehidupan masyarakat dewasa ini, dan mengancam pada keutuhan dan kerukunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mengancam sendi-sendi negara, maka dibutuhkan langkah konkrit dari pemerintah untuk mengatasinya dan mengambil tindakan yang dianggap perlu guna menanggulangi dampaknya agar tidak berkembang lebih lanjut sehingga berpengaruh luas terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Langkah ini sudah sesuai dengan kaidah:

 تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة

“Kebijakan pemerintah terhadap rakyatnya mengikut pada mewujudkan kemaslahatan.”

Jika kita tilik lebih lanjut, sebenarnya akar utama dari munculnya radikalisme adalah diawali dengan beredarnya berita-berita hoax di masyarakat pegiat media sosial (Twitter, Instragram, Facebook, dan Whatsapp) dan berujung pada penyebaran ujaran kebencian. ASN yang juga menjadi bagian dari pengguna media sosial, sebenarnya juga bukan akar penyebab utama. Ia dianggap menjadi bahaya seiring keberadaannya selaku instrumen negara.

Bagaimanapun juga, seorang ASN senantiasa berhubungan dengan segala fasilitas yang disediakan oleh negara dan khususnya mereka yang berada pada Ring 1 atau Ring 2. Keberadaan mereka akan berkaitan langsung dengan rahasia negara. Untuk itu, sangat berbahaya bila kedudukannya kemudian tidak memiliki aturan yang bersifat mengikat dan disiplin yang ketata. Karena bisa jadi bocornya rahasia negara dapat membahayakan bagi Kamtibmas (Kemanan dan ketertiban masyarakat). Jika dalam lingkup rumah tangga saja, ada etika penyampaian rahasia rumah tangga ke khalayak ramai, maka bagaimana mungkin dalam rumah tangga negara justru tidak berlaku aturan tentang rahasia negara dan disiplin yang ketat terhadap aparatur negaranya?

Pada aspek ujaran kebencian dan produksi hoax, segala informasi yang disampaikan oleh ASN juga bisa jadi diaggap sebagai kebenaran, mengingat keberadaannya selaku orang yang ditokohkan. Etika penyampaian informasi publik sudah pasti menempati ruang yang diutamakan, karena dalam setiap jajaran lembaga negara selalu ada peran Seksi Hubungan Masyarakat (Humas) yang memiliki wewenang untuk menyampaikan informasi dari setiap departemen di mana ASN itu berada.

Garis besarnya, bahwa ASN, mereka adalah pribadi yang bergerak dan bekerja pada sebuah sistem yang termanajemenkan dan terorganisasikan. Penyampaian informasi tidak melalui mekanisme organisasi dan manajemen, adalah bagian dari sebuah pelanggaran kode etik ASN yang dalam suatu tingkatan tertentu bisa dianggap sebagai pelanggaran disiplin organisasi. Pada tataran pelanggaran disiplin organisasi semacam, dari sudut pandang fiqih, pemerintah memiliki kewenangan untuk memecatnya atau melakukan manajemen ASN, seperti memutasikan dan lain sebagainya.

Syeikh Bujairamy di dalam Bujairamy ‘ala al-minhaj, menjelaskan bahwa:

“Pemerintah boleh menerapkan ta’zir untuk menjaga kemaslahatan terhadap pelanggaran yang bukan kelompok pidana dan bukan kelompok yang dapat ditarik kafarat pada umumnya. Mushannifmemberikan isyarat dengan diksi “pada umumnya” untuk menunjuk pengertian bahwasannya sebenarnya ta’zir merupakan perbuatan yang disyariatkan, dan bukan merupakan perbuatan durhaka, seperti layaknya orang yang melakukan perbuatan hura-hura akan tetapi tidak masuk kategori maksiat, sementara di dalam teks tidak dijumpai adanya had baginya, atau bahkan sekedar kafarat, khususnya pada dosa-dosa kecil yang kadang dijumpai pada walinya Allah Ta’ala, dan lagi seperti adanya orang yang memotong bagian ujung-ujung jari tubuhnya sendiri.” (Bujairamy ‘ala al-minhaj, Juz IV, halaman 237)

Ketidak disiplinan ASN dalam penyampaian Informasi yang parsial dari ASN, bukan menjadi penerang bagi masyarakat, melainkan justru menjadi kesimpangsiuran berita sehiingga mempertajam gesekan pada masyarakat akar rumput. Lebih lanjut, keberadaan informasi parsial yang berasal dari pribadi ASN, acapkali bersifat subyektif.  Subyektifitas informasi seringkali melahirkan kebohongan di satu sisi, meskipun juga tidak menutup kemungkinan adanya kebenaran di sisi yang lain.  Itulah penyebab dari timbulnya kesimpangsiuran. Syariat menggariskan bahwa selayaknya pribadi yang bersangkutan untuk menahan diri.

Ibn Rusyd di dalam Bidayatul Mujtaid, Juz I, halaman 16, menyatakan:

وأما اليدان: فاحفظهما عن أن تضرب بهما مسلما، أو تتناول بهما مالا حراما، أو تؤدي بهما أحدا من الخلق، أو تخون بهما في أمانة أو وديعة، أو تكتب بهما ما لا يجوز النطق به، فإن القلم أحد اللسانين، فاحفظ القلم عما يجب حفظ اللسان عنه.

Artinya:

“Adapun berkaitan dengan kedua tangan, maka jagalah anda akan keduanya dari memukul seorang muslim, menggunakannya untuk mengambil harta secara haram, atau menzhalimi seorang individu makhluk, mengkhianati amanah dan harta titipan, atau menulis hal-hal yang sebenarny tidak diperbolehkan disampaikan dengan ucapan, karena bagaimanapun pena adalah salah satu dari wujud lisan. Maka dari itu jagalah pena dari menulis hal-hal yang sebagimana lisan diperintahkan untuk menjaganya.” (Bidayatul Mujtahid, Juz 1, halaman 16).

Imam al-Ghazhali di dalam Kitab Ihya Ulumuddin Juz 2, halaman 332 menjelaskan:

الكلام وسيلة إلى المقاصد فكل مقصود محمود يمكن التوصل إليه بالصدق والكذب جميعاً فالكذب فيه حرام

Artinya:

“Kalimat, merupakan instrumen untuk mencapai tujuan, dan setiap tujuan yang terpuji memungkinkan untuk dicapai dengan cara jujur dan juga dengan cara dusta. Dari keduanya, tujuan yang dicapai dengan cara dusta itu adalah yang haram.” (Ihya’ Ulumuddin, Jilid II, halaman 332)

Memang, baik Ibnu Rusyd maupun al-Ghazali tidak secara langsung menyampaikan tentang etika penyampaian informasi. Keduanya mempersoalkan tentang dusta. Bagaimanapun juga, kebencian seringkali lahir didahului oleh ungkapan-ungkapan dusta. Sudah selayaknya hal dusta informasi ini dicegah sejak dini oleh pemerintah melalui perangkatnya. Bahkan pemerintah diperkenankan untuk menerapkan ta’zir bagi pelaku untuk menarik efek jera baginya dan menarik kemaslahatan umum.

Alhasil, terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 menteri ini memang merupakan sebuah kebutuhan dan dianggap perlu, seiring ASN yang menjadi obyek dari garapan SKB ini, adalah seorang perangkat negara. Bersihnya ASN dari unsur-unsur radikalisme merupakan langkah penting untuk menciptakan ketertiban masyarakat.

ISLAMIco

Ini Pengertian Radikalisme dan Apa Bahayanya?

Baru-baru ini, pemerintahmenyatakan dengan tegas akan melakukan penanggulangan yang serius terhadap paham dan gerakan radikalisme. Pemerintah sedang melakukan sejumlah evaluasi terkait cara-cara pencegahan radikalisme. Selain itu, pemerintah mencoba menyematkan istilah baru terhadap kata radikalisme agama menjadi “manipulator agama”. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat memahami betul ancaman dan keharusan melawan paham dan gerakan radikalisme.

Dalam beberapa tahun belakangan, paham dan gerakan-gerakan radikalisme di seluruh belahan dunia, bahkan pula di Indonesia memang semakin merebak dan mengkhawatirkan. Ditambah dengan derasnya arus informasi era 4.0 yang membuat paham dan gerakan radikalisme ini menjadi semakin masif dan mengglobal. Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi kita semua.Dalam kenyataannya, radikalisme bukanlah monopoli satu agama saja. Tetapi hampir semua agama juga menghadapi problem yang sama. Yakni terdapat sebagian pemeluknya yang gagal memahami pesan-pesan luhur agama. Sehingga membonsai agama untuk melegalkan teror dan kekerasan.

Secara definitif, radikalisme merupakan suatu paham atau gagasan yang menginginkan adanya perubahan sosial-politik dengan menggunakan cara-cara ekstrem. Termasuk cara-cara kekerasan, bahkan juga teror. Kelompok-kelompok yang berpaham radikal ini menginginkan adanya perubahan yang dilakukan secara drastis dan cepat, walaupun harus melawan tatanan sosial yang berlaku di masyarakat.

Selain itu, yang perlu dikhawatirkan dengan maraknya paham radikalisme ini adalah adanya nilai-nilai intoleransi yang diajarkan oleh kelompok-kelompok radikalisme. Kelompok-kelompok yang terpapar oleh paham radikalisme ini kurang bisa menerima adanya perbedaan. Menganggap paham atau ajaran yang dianut kelompok diluarnya adalah salah. Misalnya dalam hal ibadah. Pastilah dalam menjalankan ibadah setiap agama mempunyai cara yang berbeda-beda. Namun, kelompok-kelompok radikalisme ini tidak mewajari perbedaan-perbedaan seperti itu. Kelompok ini juga kurang terbuka dalam menerima kritikan dan saran dari pihak lain.

Dalam konteks agama Islam, diajarkan bahwa perbedaan seharusnya dijadikan sebagai kekayaan sekaligus keindahan, agar kita senantiasa bersikap saling menghargai satu sama lain. Sebagaimana Allah swttelah menjadikan umatnya secara berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Tidak lain agar satu sama lain dapat saling mengenal dan menghargai. Dengan ini, seharusnya umat manusia, terutama umat muslim dapat mewajari adanya perbedaan. Lebih dari itu, diajarkan pula bahwa Islam tidak didakwahkan dengan paksaan.

Dalam hal ini, Allah ta’ala berfirman:

لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya:

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah,maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 256)

Dalam konteks Indonesia, karena karakteristik masyarakatnya yang majemuk, maka perbedaan ragam budaya sebenarnya sudah menjadi hal yang wajar dan lumrah. Secara geografis, letak wilayah kita sudah tersebar dan membentuk kepulauan. Secara demografis, kita terdiri dari beragam ras dan etnis. Secara sosiologis, kehidupan bangsa kita sejak dahulu pun sudah mengajarkan sikap toleransi.Karena itu, jangan sampai keragaman ini dirusak oleh virus-virus ekstremisme dan radikalisme.

Trilogi Toleransi

Ada tiga model toleransi yang lazim dipraktikkan. Pertama,toleransi antar sesama (intern)umat beragama. Dalam tradisi Islam, perbedaan bukan perkara baru. Munculnya empat madzhab fiqih menjadi bukti sahih betapa dunia Islam sangat menghargai perbedaan. Meski berbeda, empat imam besar tersebut tidak pernah saling menyalahkan apalagi saling mengkafirkan. Justeru perbedaan membuat mereka saling melengkapi.

Tak terhitung pula jumlah kitab yang ditulis ulama muslim terdahulu untuk mengkaji, membandingkan, dan kemudian mendiskusikan berbagai pandangan yang berbeda dengan argumen masing-masing. Perbedaan pemikiran dimaknai sebagai bagian ikhtiar mencari kebenarandan kebaikan bersama. Tidak terbatas hanya pada hukum fiqih, perbedaan pendapat di kalangan umat Islam terjadi di bidang ilmu lain, seperti tafsir, syarah hadis, ulumul quran, ulumul hadis, tauhid, tarikh, maqashidus syariah, dan lain sebagainya.

Kedua, toleransi antar umat beragama. Meski Islam dianut oleh mayoritas penduduk di Indonesia, bukan berarti agama lain layak dinafikan. Mesti dibangun kesadaran bahwa kita hidup di sebuah negara yang menjamin kebebasan beragama. Apapun agamanya, kita wajib saling menghormati. Tak perlu mencampuri apalagi menghina agama lain.Dalam kehidupan lintas agama, Islam memiliki konsep yang sangat tegas dan toleran. Seperti firman Allah:

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

Artinya:

“Untukmu agamamu,  untukku agamaku.” (Q.S. al-Kafirun: 6)

Dengan demikian, toleransi antarumat beragama termasuk salah satu risalah penting dalam sistem teologi Islam. Karena sedari awal, Islamtelah memberikan petunjuk bagaimana cara menghadapi keberagamaan dengan arif dan bijaksana.

Ketiga, toleransi dalam kehidupan bernegara. Adalah bagian dari sunnatullah,Indonesia terdiri dari berbagai suku, budaya, dan agama. Masyarakat muslim merupakan satu di antara enam pemeluk agama lainnya. Demikian pula, agama Islam telah dianut oleh beragam suku di Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, pasti akan banyak dijumpai bentuk praktik keberagamaan. Salah satunya adalah tercerminkan dalam berbagai ormas keagamaan.

Toleransi dalam Kearifan Lokal

Dilihat dari sejarahnya, leluhur bangsa kita sudah mencontohkan nilai-nilai toleransi. Teringat bagaimana dulu para wali songo menyebarkan ajaran agama Islam di Nusantara melalui beragam media yang disesuaikan dengan budaya masyarakat setempat. Selain melakukan misi menyebarkan ajaran Islam, hal ini dilakukan pula, karena para wali menghargai keragaman budaya yang dimiliki di daerah setempat. Hal ini merujuk pada perintah Allah swt dalam surah al-Anbiya’ayat 107. Bahwa diutusnya Nabi Muhammad saw adalah untuk menjadi rahmat. Menebar kedamaian dan keadaban. Begitupun apa yang dilakukan oleh para wali songo dalam menyebarkan ajaran Islam adalah semata-mata untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang menjadi rahmat bagi semua.

Kini, kita sebagai umat muslim, juga mempunyai misi untuk menyebarkan agama Islam yang rahmatan lil alamin, harus bisa bersikap moderatdan toleran, terutama menanggapi ragam budaya yang ada. Wujud sikap yang toleranini dapat dilalukan menggunakan kearifan lokal sebagai perantaranya.  Rasa toleransi rasanya sudah menjadi ruh bagi bangsa Indonesia dan juga masyarakatnya.

Hal ini bisa terlihat dari aktivitas yang kita lakukan sehari-harinya atau pada momen tertentunya. Misalnya saat hari perayaan Idul Fitri. Sesekali masyarakat non-muslim pun turut membantu menjaga kekhusyukan umat muslim saat melaksanakan shalat Idul Fitri. Begitupun yang dilakukan umat muslim saat datangnya perayaan hari Nyepi di Bali, masyarakat yang beragama Islam turut menghargai dengan tidak melakukan aktivitas yang mengganggu pada hari itu.

Selain itu, sikap toleransi beragama juga terekam dalam beberapa jejak bangunan, misalnya letak wilayah Masjid Istiqlal Jakarta yang bersebelahan dengan Gereja Katedral. Begitupun dengan bangunan Masjid di Kudus yang bersebelahan dengan bangunan Vihara. Contoh sikap toleransi yang sering kita lakukan sehari-hari misalnya adalah tidak menyalakan musik dengan volume yang besar saat adzan tiba, bersikap belasungkawa kepada tetangga yang meninggal dunia, bertukar makanan dengan tetangga, dan banyak lainnya.

Apabila sikap-sikap toleransi terus tumbuh, maka kehidupan di masyarakat dapat senantiasa harmonis, walau berada ditengah-tengah keanekaragaman budaya yang ada. Rasa toleransi ini kemudian dapat menjadi penopang keharmonisan masyarakatdan dunia.Karena pentingnya toleransi ini dijadikan sebagai prinsip hidup bersama, tanggal 16 November 2019 kemarin, masyarakat dunia bersama-sama merayakan Hari Toleransi Internasional.

Hari itu diperingati untuk meningkatkan kesadaran tentang prinsip-prinsip toleransi. Sekaligus untuk menghormati keragaman budaya, kepercayaan, dan tradisi. Juga ditekankan pentingnya memahami risiko-risiko yang disebabkan dari sikap intoleransi. Semoga kedepan, kita terus tumbuh dalam baluran rasa toleransi yang tinggi terhadap sesama. Segala bentuk ajaran yang merujuk pada sikap intoleransi tentunya harus dihindari, karena sejatinya kita hidup dalam keberagaman.

*Tulisan ini pernah dimuat di bulletin Muslim Muda Indonesia

ISLAMIco

Mengajarkan Peperangan dan Jihad Bukan Berarti Mengajarkan Radikal

Kali ini kita akan membahas isu radikalisme yang sedang marak di Indonesia

Teladan dari Generasi Terbaik Umat Islam

Mengajarkan dan menjelaskan peperangan dan jihad bukan berarti mengajarkan sikap radikal kepada anak-anak dan kaum muslimin. Perhatikan bagaimana generasi terbaik dahulu, mereka mengajarkan kepada anak-anak mereka sirah, sejarah dan pemerangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib – Zainul ‘Abidin- berkata,

كنا نعلم مغازي النبي صلى الله عليه و سلم وسراياه كما نعلم السورة من القرآن

“Dulu kami diajarkan tentang (sejarah) peperangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana al-Qur’an diajarkan kepada kami” [Al-Jaami’ li akhlaaqir raawi 2/195]

Kita tahu bagaimana dahulu para Sahabat belajar dan mengajarkan al-Quran, yaitu belajar setiap 10 ayat dan tidak akan lanjut pelajaran apabila belum paham. Demikian juga peperangan, jihad dan sirah yang diajarkan kepada anak-anak mereka, tentu diajarkan dengan rinci, detail dan sesuai dengan hikmah. Tidak didapatkan anak-anak mereka menjadi anak-anak yang radikal dan mengajarkan kekerasan, kekejaman dan kedzaliman.

Ibrah dalam Setiap Perjuangan Para Pahlawan

Dahulu kita juga belajar perang-perang kemerdekaan seperti “perang ambarawa, perang surabaya dll”, bahkan beberapa koran memberitakan sebagai peperangan jihad kaum muslimin di Indonesia melawan penjajah. Peperangan ini diajarkan dalam sejarah Indonesia kepada anak-anak Indonesia, akan tetapi tidak muncul perasaan ingin menyerang negara lain atau perasaan ingin membalas dendam pada negara yang dahulu pernah menjajah Indonesia (kami perlu tekankan bahwabukan Arab yang menjajah indonesia, tapi oknum tertentu sangat benci banget dengan Arab, alias ‘alasan’ ngeles untuk benci Islam

Mengajarkan peperangan dan jihad dalam Islam juga bukan untuk jadi radikal tetapi mengambil ibrah kepahlawanan dan perjuangan dalam Islam. Secara umum demikianlah kisah-kisah sejarah diceritakan agar kita dapat mengambil ibrah dan pelajaran.

Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُون

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka (para Nabi ‘alaihis salamdan umat mereka) itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (sehat). Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, serta sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Yusuf: 111).

Semangat Belajar Sejarah Islam

Para ulama dahulu sangat senang dengan pelajaran sejarah, sirah dan peperangan. Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata,

الحكايات عن العلماء ومجالستهم أحب إلي من كثير من الفقه؛ لأنها آداب القوم وأخلاقهم

“Kisah-kisah (keteladanan) para ulama dan duduk di majelis mereka lebih aku sukai dari pada kebanyakan (masalah-masalah) fikh, karena kisah-kisah tersebut (berisi) adab dan tingkah laku mereka (untuk diteladani)” [Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi,  I/509 no.819]

Demikian semoga bermanfaat

@ Lombok, Pulau seribu masjid

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53291-mengajarkan-peperangan-dan-jihad-bukan-berarti-mengajarkan-radikal.html

10 Sebab Dihapuskannya Dosa

PERNAHKAH kita bayangkan seberapa besar dosa yang telah kita lakukan dan seberapa besar amalan yang sudah kita kerjakan? Dalam pembahasan kita kali ini adalah amalan dihapuskanya dosa kita.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu mengatakan: “Dosa-dosa itu akan mengurangi keimanan. Jika seorang hamba bertaubat, Allah Subhanah wa taala akan mencintainya. Derajatnya akan diangkat disebabkan taubatnya.

Sebagian salaf mengatakan: Dahulu setelah Nabi Dawud alaihissalam bertaubat, keadaannya lebih baik dibandingkan sebelum terjatuh dalam kesalahan. Barangsiapa yang ditakdirkan untuk bertaubat maka dirinya seperti yang dikatakan Said ibnu Jubair radhiyallahu anhu,

“Sesungguhnya seorang hamba yang melakukan amalan kebaikan, bisa jadi dengan sebab amalan kebaikannya itu akan memasukkannya ke dalam neraka. Bisa jadi pula seorang hamba melakukan amalan kejelekan akan tetapi membawa dirinya masuk ke dalam surga. Hal itu karena ia membanggakan amalan kebaikannya. Sebaliknya, hamba yang terjatuh ke dalam kejelekan membawa dirinya untuk meminta ampun kepada Allah Subhanahu wa Taala, kemudian Allah Subhanahu wa Taala mengampuni kesalahan-kesalahannya.”

Telah disebutkan dalam hadits yang shahih bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda: “Amal-amal (seorang hamba) tergantung amalan-amalan yang dikerjakan pada akhir kehidupannya.”

Sesungguhnya kesalahan/dosa seorang mukmin akan dihapuskan dengan sepuluh sebab, sebagai berikut:

1. Bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Taala kemudian Allah Subhanahu wa Taala mengampuninya. Karena seseorang yang bertaubat dari sebuah dosa seperti orang yang tidak memiliki dosa.
2. Meminta ampun kepada Allah Subhanahu wa Taala kemudian Allah Subhanahu wa Taala mengampuninya.
3. Mengerjakan amalan-amalan kebaikan, karena amalan-amalan kebaikan akan menghapuskan amalan-amalan kejelekan.
4. Mendapatkan doa dari saudara-saudaranya yang beriman. Mereka memberikan syafaat kepadanya ketika masih hidup dan sesudah meninggal.
5. Mendapatkan hadiah pahala dari amalan-amalan saudara-saudaranya yang beriman agar Allah Subhanahu wa Taala memberikan manfaat kepadanya dari hadiah tersebut.
6. Mendapatkan syafaat dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
7. Mendapatkan musibah-musibah di dunia ini yang akan menghapuskan dosa-dosanya.
8. Mendapatkan ujian-ujian di alam barzakh yang akan menghapus dosa-dosanya.
9. Mendapatkan ujian-ujian di padang Mahsyar pada hari kiamat yang akan menghapuskan dosa-dosanya.
10. Mendapatkan rahmat dari Arhamur Rahimin, Allah Subhanahu wa Taala.

Barangsiapa yang tidak memiliki salah satu sebab dari sebab-sebab yang bisa menghapuskan dosa-dosa ini, janganlah ia mencela kecuali kepada dirinya sendiri. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Taala berfirman:

“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya ini adalah amalan-amalanmu. Aku menghitungnya untukmu kemudian Aku membalasinya untukmu. Maka barangsiapa yang mendapatkan kebaikan hendaklah ia memuji Allah, dan barangsiapa yang mendapatkan selain daripada itu maka janganlah ia mencela kecuali kepada dirinya sendiri.”

[Diambil dari Risalah Tuhfatul Iraqiyah fi Amalil Qalbiyyah hal. 32-33, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu]

INILAH MOZAIK

Pinjaman Terbaik untuk Allah SWT dan Kegemaran Ibnu Qayyim

Ibnu Qayyim gemar melakukan sedekah dan menikmatinya.

Suatu hari Umar bin Khattab ra membikin makanan yang terbuat dari kurma dan susu. Lalu datanglah seorang miskin, berdiri di muka makanan itu, dan Umar pun memberikan makanan itu kepadanya. Maka, orang-orang berkata kepada sang khalifah,

”Wahai Amirul Mukminun, orang miskin ini tak tahu kualitas makanan itu. Makanan yang lebih rendah pun sudah cukup baginya.” Jawab Umar, ”Wahai kaumku! Si Miskin ini adalah pencari pinjaman yang diutus oleh Allah kepadaku dan meminta pinjaman dariku. Kalau Si Miskin ini tidak tahu (akan nilai makanan), namun Tuhan Si Miskin ini tahu.” 

Narasi di atas adalah satu bagian kecil saja dari taburan kisah luhur para sahabat yang diilhami oleh firman Allah dan bimbingan Rasul-Nya. Dalam banyak ayat, Allah memerintahkan kita agar mau ‘memberi pinjaman’ pada-Nya, yaitu dengan menafkahkan harta, jiwa, dan raga di jalan Allah. Firman Allah:

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang membenarkan (Allah dan Rasul-Nya) dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka, dan bagi mereka pahala yang banyak.” (QS 57: 18).

Menurut Ibnu Abbas, qardhan hasana (pinjaman yang baik) adalah semua jenis sedekah selain zakat, seperti silaturahim, menjamu tamu, dan selain keduanya. Rasulullah adalah contoh paling agung dari seorang pemberi sedekah. Santunan yang dilakukannya adalah santunan dari seorang yang tak pernah takut miskin.

Ibnu Qayyim menulis dalam Zad al-Ma’ad: Memberi dan bersedekah adalah sesuatu yang paling disukainya. Kebahagiaan yang dirasakannya dengan memberi, jauh lebih besar dari kebahagiaan orang yang menerima dermanya. Rasulullah adalah orang yang paling dermawan. Tangan kanannya laksana angin bertiup. Bila seseorang dihimpit suatu kebutuhan tertentu, beliau pasti memprioritaskan orang itu ketimbang dirinya. Sedekah yang dilakukannya pun kaya dengan variasi. Kadang dengan memberi makan, kadang pula dengan memberi pakaian.

Suatu saat dalam bentuk hibah, di saat lain dengan sedekah. Kadang dengan hadiah, kadang dengan membeli sesuatu lalu memberikan kembali uang pembayaran plus dagangannya pada si pedagang. Pada kali lain dalam bentuk utang yang kemudian dikembalikan lebih banyak, lebih baik, dan lebih utama.

Atau, membeli sesuatu dan membayar dengan harga di atas semestinya. Kegemaran bersedekah tak hanya dilakukannya sendiri, tapi juga diperintahkan dan dianjurkannya. Bila melihat orang yang pelit, beliau mengajaknya agar bersikap dermawan. Tiap orang yang bergaul dan bersahabat dengannya, serta dapat melihat keteladannya, niscaya terdorong untuk bersikap toleran dan murah hati. 

KHAZANAH REPUBLIKA


Dengki Membuat Rugi

DENGKI atau hasad adalah sikap yang sangat tercela. Yaitu sikap seseorang yang tidak senang apabila melihat saudaranya mendapatkan kenikmatan, keuntungan atau karunia. Ia mengharapkan semua kebaikan itu sirna dari saudaranya, dan kalau bisa berpindah kepada dirinya.

Sebagaimana firman Allah SWT, “Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya..” (QS. Ali Imran [3]: 120)

Dengki sangatlah tercela karana penyakit ini bisa menyebabkan berbagai penyakit lain yang tidak kalah busuknya. Yaitu dengki bisa mendatangkan rasa dendam, permusuhan, fitnah hingga kemunafikan yang merupakan dosa besar.

Betapa berbahayanya dengki itu, sampai-sampai Allah memperingatkan kita dari karakter dengki. Allah berfirman, “Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh. Dari kejahatan makhluk-Nya. Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita. Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul. Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki.” (QS. al-Falaq [113]: 1-5)

Seperti seorang pedagang yang kiosnya bertetanggaan dengan pedagang lain. Mereka berjualan barang-barang yang kurang lebih sama. Namun, kios pedagang X lebih ramai dikunjungi pembeli dibanding kios pedagang Y. Lantas, pedagang Y tidak suka atas apa yang terjadi pada pedagang X. Ia berharap dirinyalah yang mendapat keuntungan, bukan X. Timbul kegelisahan dalam hati Y, sehingga ia berpikiran negatif, mengharap apa yang dialami X, terjadi pada dirinya. Bahkan ia mengharapkan karunia yang dirasakan X itu berakhir.

Pendengki adalah orang yang paling rugi. Dia berbuat zalim, tapi yang dirugikan dan menderita adalah dirinya sendiri. Kedengkiannya pada orang lain tidak akan mengubah apa yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya. Takdir Allah terhadap seseorang tak pernah bisa dihalang-halangi oleh seorang pun atau sesuatu apa pun.

Malangnya seorang pendengki adalah ia akan semakin bertambah nelangsa dan menderita, jika pemberian Allah kepada orang yang didengki itu semakin bertambah. Kedengkian adalah bukti kurang iman. Dengki itu bukti tidak rida pada perbuatan Allah terhadap hamba-Nya. Dengki itu sikap ingin mengatur Allah sesuai hawa nafsunya. Tentulah dengki itu sikap yang tak punya adab. Yaitu adab terhadap Allah, Tuhan semesta alam.

Padahal sesungguhnya Allah berbuat sesuai kehendak-Nya pasti dengan ke-Mahaadilan-Nya. Harusnya kita bersyukur atas apa yang telah Allah karuniakan kepada kita, dan juga turut bersyukur atas apa yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang beriman lainnya.

Setiap orang mendapatkan kapling ketentuannya masing-masing. Jangankan satu kampung, bahkan kakak adik saja atau kembar sekalipun tetap saja berbeda. Rezeki, kemampuan, postur tubuh, jodoh dan hal lainnya tidak akan sama.

Allah SWT memerintahkan sesama muslim untuk saling mendukung, membantu, mendoakan dan turut merasa gembira atas kegembiraan yang sedang dirasakan oleh sesama muslim. Inilah yang disebut dengan sikap ghibthah, sikap yang bertolak belakang dengan dengki.

Para ulama menerangkan bahwa ghibthah adalah rasa ingin mendapatkan kenikmatan atau keberuntungan yang didapatkan oleh orang lain, tanpa diiringi hawa nafsu yang menginginkan kenikmatan atau keberuntungan itu hilang dari orang yang mendapatkannya. Orang yang ghibthah juga tidak merasa benci manakala melihat orang lain mendapatkan nikmat atau keberuntungan.

Inilah yang dimaksud dengan ghibthah pada hadis berikut ini. Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada hasad yang dianjurkan- kecuali pada dua perkara, (yaitu) (1) orang yang diberikan pemahaman al-Quran lalu dia mengamalkannya di waktu-waktu malam dan siang; dan (2) orang yang Allah karuniai harta lalu dia menginfakkannya di waktu-waktu malam dan siang.” (HR. Muslim)

Ghibthah terhadap dua orang yang dijelaskan dalam hadis ini merupakan sikap yang baik. Bolehkah kita ghibthah pada urusan dunia? Hal ini memiliki hukum asal yaitu boleh. Seperti kita ingin memiliki kendaraan seperti yang dimiliki oleh saudara kita, maka itu diperbolehkan.

Namun, perlu kita waspadai sesuatu yang hukumnya boleh akan menjadi tercela jika berlebih-lebihan. Demikian juga ghibthah dalam urusan dunia. Ini seperti yang terjadi pada kaum Qarun. Ketika mereka melihat kemewahan dan kekayaan Qarun, maka mereka berangan-angan memiliki kemewahan seperti Qarun. Hal ini diterangkan oleh Allah dalam surah al-Qashash ayat 79-80.

Adapun ghibthah yang dianjurkan adalah ghibthah dalam urusan akhirat. Imam Nawawi menjelaskan yang dimaksud dengan ghibthah dalam urusan akhirat adalah terhadap dua orang yang melakukan dua perbuatan sebagaimana disebutkan dalam hadis yang dipaparkan sebelumnya, atau perbuatan yang semisal dengannya.

Ghibthah dalam urusan akhirat akan mendorong kita menjadi semakin semangat dalam beramal saleh. Melihat orang yang hafiz al-Quran, maka kita menjadi semangat menghafal al-Quran. Melihat orang yang gemar bersedekah, maka kita menjadi semangat bekerja agar bisa leluasa sedekah. Demikianlah contoh ghibthah dalam urusan akhirat.

Abu Dzar al-Ghifari pernah menceritakan bahwa sebagian sahabat Rasulullah berkata kepada Beliau, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya itu telah pergi membawa pahala yang banyak. Mereka salat sebagaimana kami salat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka (sementara kami tidak bisa melakukannya).”

Rasulullah bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian sesuatu untuk bersedekah? Sesungguhnya setiap tasbih (subhanallah) adalah sedekah, setiap takbir (Allahu akbar) adalah sedekah, setiap tahmid (alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahlil (laa ilaha illallah) adalah sedekah, menyeru kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah dari yang munkar adalah sedekah, dan persetubuhan salah seorang dari kalian (dengan istrinya) juga sedekah.”

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah jika di antara kami menyalurkan syahwatnya (kepada istrinya) juga mendapatkan pahala?” Beliau bersabda, “Bagaimana pendapat kalian, seandainya ia menyalurkannya pada yang haram, bukanlah itu berdosa? Maka demikian pula apabila ia menyalurkan pada yang halal, dia juga akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)

Sahabatku dengki adalah perkara yang buruk. Lawanlah dengki dengan ghibthah. Semoga kita tidak tergolong orang-orang yang merugi karena sesungguhnya dengki hanya mendatangkan dosa dan menyengsarakan diri sendiri. [*]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZIK

Ini Salah Satu Sebab Matinya Hati Manusia…

TAKABUR secara umum terdiri dari 3 jenis yaitu :

1. Takabur kepada Allah Ta’ala, sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Namrud, Raja Firaun dan Abu Lahab.
2. Takabur kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga jauh dari taat kepada ajaran dan perilaku Rasulullah.
3. Takabur kepada sesama makhluk Allah, seperti takabur karena memiliki harta yang banyak, ilmu, amal, dan nasab dihadapan orang lain.

Diantara ciri-ciri manusia yang suka berperilaku sombong/ takabbur adalah sebagai berikut :

1. Sikap memuji diri. Sikap ini muncul karena merasa dirinya memiliki kelebihan harta, ilmu pengetahuan, dan keturunan atau nasab. Oleh karena itu ia merasa lebih hebat dibanding orang lain.

2. Merendahkan dan meremehkan orang lain. Sikap ini bisa diwujudkan dengan mamalingkan muka ketika bertemu dengan orang lain yang dikenalnya, karena merasa lebih baik dan lebih hebat darinya.

3. Suka mencela dan membesar-besarkan kesalahan orang lain, Orang yang takabbur selalu menyangka bahwa dirinyalah yang benar, baik, dan mulia serta mampu malakukan segala sesuatu. Sedangkan orang lain dianggap rendah, kecil, hina dan tak mampu berbuat sesuatu. Bahkan orang lain dimatanya selalu berbuat salah.

Bahaya Sikap Takabur:

– Sikap tercela yang sangat dibenci oleh Allah (QS An Nisa: 36)
– Dibenci oleh orang lain karena keangkuhannya (QS Lukman: 18)
– Dapat mematikan hati manusia (QS Al Mukmin: 35)
– Tidak mensyukuri nikmat Allah (QS Al Israa: 83)
– Akan dimasukan ke dalam neraka (QS An Nahl: 29)

[mutiaraislam]

INILAH MOZAIK