Parkirlah di Tempat yang Disukai Allah

DI sejumlah tempat, seperti perkantoran atau pusat perbelanjaan, pihak pengelola biasanya telah menyediakan tempat parkir yang khusus, tertata rapi, dan dijaga oleh petugas yang khusus pula. Namun, ada pula sebagian tempat keramaian yang parkirannya kurang teratur dan tidak ada petugasnya.

Ketika ada pengajian di masjid misalnya. Ada orang yang karena terlambat, dia memarkir motornya tidak rapi. Dan ternyata, yang terlambat bukan dia saja, ada lagi jamaah lain yang terlambat dan dia pun memarkir motor tidak pada tempatnya. Akhirnya, barisan motor menjadi berantakan. Atau, ada yang ingin membeli bakso di depan gang, kemudian dia pergi mengendarai mobil. Saat sampai, dan karena sudah tidak tahan ingin segera memesan, dia pun langsung turun dengan parkir sekenanya.

Hal ini membuat tukang bakso senang Sekaligus sedih. Senang karena semakin ramai orang di tempatnya berjualan, dan sedih karena orang-orang bukan mau membeli, tetapi karena macet.

Yang parkir seenaknya itu memang mudah dan enak. dia bisa hemat waktu, tenaga, pikiran, mungkin juga uang. sekalipun nanti kendaraannya ada yang menyenggol, dia tinggal memelototi. Kalau orangnya kabur, dia pun tinggal marah-marah sendiri.

Tetapi, marilah untuk meraba hati nurani. Dengan parkir seenaknya, bagaimana dengan orang yang terhalangi sehingga dia menjadi susah keluar? Kita tidak tahu, bisa saja di sebelah motor kita ternyata motor seseorang yang ingin pergi lebih awal, karena ada kepentingan yang mendesak, semisal sakit perut, istrinya mau meIahirkan, mau menjemput anak di sekolah, dan lainnya. Atau, bisa pula kita parkir dengan menaikkan sebagian ban mobil di atas trotoar. Ini pun tidak kalah mengganggunya. lngatlah kita pada para pejalan kaki yang tidak bisa Iewat. Mereka terpaksa berjalan agak ke tengah dan mendapat bonus klakson dari bus atau truk yang sedang Iewat.

Satu lagi, misalkan ada yang mau pergi bersama temannya yang sama-sama bawa mobil. Lalu agar efisien, Mobil yang satu diparkir dan diinapkan di masjid.Tanpa memberi informasi apapun kepada pihak DKM atau Petugas parkir. Bagaimana kalau ternyata di masjid akan ada acara? Bayangkan berapa panitia yang dibutuhkan untuk memindahkannya?

Hati nurani kita, apabila masih berfungsi dengan baik pasti akan bisa merasakan bagaimana susahnya orang yang terhalang dan berapa banyak orang yang terugikan gara-gara kita parkir seenaknya. Padahal, kalau kita membuat susah hidup orang, hidup kita juga akan susah. Semakin kita mempersulit hidup orang, semakin sulit pula hidup kita. Bukankah setiap perbuatan ada balasannya?

“Maka siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan siapa berbuat kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat pula (balasan)nya.” (QS. az-Zalzalah [99]:7-8).

Oleh karena itu, apabila hendak memarkir kendaraan parkirlah di tempat yang disukai Allah Taala. Janganlah kita parkir di tempat yang enak dan menyenangkan bagi kita, sedangkan Allah tidak menyukainya. Maka, parkidah di tempat yang tidak merugikan atau membuat susah orang, tidak menghalangi maupun membikin macet jalan.

Boleh jadi, dengan parkir sembarangan tidak ada orang yang berani menegur, karena kita seorang anggota TNI atau polisi. Mungkin juga tidak ada yang marah karena kita parkir menutupi rumah yang sedang kosong. Namun, persoalan parkir yang sederhana ini bisa menjadi tidak sederhana lagi apabila menimbulkan mudarat bagi orang lain. Ingatlah saudaraku, setiap perbuatan ada catatannya yang harus kita pertanggung jawabkan di hadapan-Nya.

“Maka siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan siapa berbuat kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat pula (balasan)nya.” (QS. az-Zalzalah [99]:7-8). [*]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Al-Aziz, Allah yang Mahaperkasa

“DIA-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Mahasejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Mahasuci, Allah dari apa yang mereka persekutukan” (QS. al-Hasyr [59]: 23)

Saudaraku, kekuasaan itu ada tiga. Pertama, keperkasaan yang menyangkut kekuatan. Jadi, Allah SWT itu Mahakuat dan kekuatannya tidak disandarkan pada kekuatan apa pun, siapa pun. Jadi, Allah Mahaperkasa tanpa dissandarkan kepada kekuatan yang lain. Kedua, Allah Mahakuasa dengan arti, Allah Maha perkasa. Allah tidak memerlukan bantuan yang lain. Jadi, Allah tidak memerlukan bantuan apa pun dan siapa pun. Allah-lah penguasa langit dan bumi.

Kekuasaan Allah mutlak. Semua makhluk tidak bisa menjadi ancaman sehalus apa pun bagi Allah SWT. Mau bergabung seluruh jin dan manusia, seisi langit dan bumi mengancam Allah yang mahasempurna, tidak ada apa-apanya, tidak ada yang hebat, tidak ada yang perkasa, kecuali Allah saja.

Manusia paling perkasa sekali pun ciptaan Allah. Dihidupkan Allah, diurus sekujur tubuhnya oleh Allah. Diberi ngantuk saja, hilang keperkasaannnya. Tidak ngantuk, dikasih mencret, juga hilang kehebatannnya.

Ketiga, makna kekuasaan yang berarti kemenangan atas segala makhluknya.

(26) “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.

(27) “Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” (QS. Ali Imran [3]: 26-27)

Jadi, segala kejadian hanya bisa terjadi biidznillah (dengan ijin Allah). Bergabung jin dan manusia akan memberikan sebutir saja beras, ketika Allah tidak ijinkan, maka tidak terjadi. Bergabung jin dan manusia akan mencelakakan, ketika Allah tidak mengijinkan, maka tidak terjadi.

Tidak jatuh sehelai rambut kita kecuali seijin Allah. Makanya, orang yang yakin kepada kekuasaan Allah sepenuhnya, dan yakin semua makhluk Allah itu laa haulaa wa laa Quwwata illa billah, tidak ada daya menolak musibah, tiada kekuatan mendatangkan manfaat keculai dengan ijin Allah. Cirinya adalah dia tidak a berharap dari makhluk dan juga takut.

Semakin kuat harap kita dari makhluk, semakin besar rasa takut kita kepada makhluk, itu mencerminkan tingkat keimanan seseorang. Kalau orang sudah yakin sekali seperti di kantor-kantor yang musim mutasi, kalau yakin dengan ayat yang tadi, jelas bahwa kedudukan, kekuasaan itu adalah Allah yang membagi lewat siapa saja yang Allah kehendaki.

Tinggal istikharah, kalau baik bagi diriku, bagi agama, baik bagi dunia-akhirat, takdirkan dan mudahkan serta berkahi di dalamnya. Kalau buruk bagi diriku, buruk bagi agamaku, buruk bagi dunia-akhiratku, dan segala akibatnya, jauhkan aku darinya, dan takdirkan untukku apa yang baik, yang engkau ridai.

Jadi tidak usah ngotot, tenang saja, karena yang menentukan itu adalah Allah SWT. Jadi apa tugas kita? Pertama, meluruskan niat. Kedua, sempurnakan ikhtiar di jalan Allah. Tidak usah neko-neko, tidak usah licik, karena Allah yang menentukan. Ketiga, tawakal. Pasrahkan total kepada Allah karena tawakal itulah yang lebih mendatangkan jaminan.

Kesempurnaan ikhtiar, diberikan Allah kepada yang memiliki kesempurnaan tawakal. Cirinya adalah benar niat, benar ikhtiar, benar tawakal. Tenang! karena setiap kebenaran akan mendatangkan ketenangan. Cirinya niat salah, ikhtiar salah, tawakal salah, adalah galau! Karena Allah-lah yang menghujamkan kegelisahan di hati kita.

Jadi harus bagaimana? Yakin saja! Segala-galanya milik Allah, segala-galanya dalam genggaman Allah, segala-galanya hanya bisa terjadi seijin Allah. Dan segala-galanya yang terbaik adalah pilihan Allah.

Kalau orang sudah yakin kita ini ciptaan Allah, diciptakan dengan rezekinya, tidak akan cemas dengan rezeki. Yang dicemaskan, jujur atau tidak dalam menjemput rezeki, syukur atau tidak kalau sudah diberi rezeki, sabar atau tidak kalau ditahan rezeki, rida atau tidak kalau diambil titipannya. Itu yang jadi fokus kita, bukan ada atau tiadanya rejeki.

Kalau kita yakin sekali bahwa Allah maha menyaksikan segala perbuatan kita, mau apa kita mencari muka orang? Seluruh dunia memuji kita, tidak ada apa-apanya sama sekali kalau Allah tidak rida. Bagi orang yang cukup Allah jadi saksi, tidak penting pujian-pujian. Ada orang atau tidak ada orang, tetap berbuat baik. Orang tau, orang tidak tau, tetap berbuat yang terbaik. Orang lihat atau tidak lihat, tetap berbuat yang terbaik karena yakin Allah maha melihat, mahadekat, orang maha membalas.

Orang berterima kasih atau tidak, tidak ada masalah. Tetap lakukan yang terbaik. Dipuji, dicaci, dihina sekalipun, yang penting Allah rida. [*]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

INILAH MOZAIK

Tidak Ada Pertentangan (Kontradiksi) dalam Syariat Islam

Sahabat muslim, syariat Islam adalah syariat yang sempurna dan tidak ada kontradiksi di dalamnya

Prinsip Seorang Muslim

Prinsip yang harus diketahui dan diyakini oleh seorang muslim adalah bahwa tidak ada pertentangan (kontradiksi) dalam syariat Islam, baik yang didapatkan dari Al-Qur’an ataupun hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Tidak ada kontradiksi antara ayat Al-Qur’an yang satu dengan yang lain; atau antara hadits shahih yang satu dengan hadits shahih yang lain; dan tidak ada pula pertentangan antara ayat Al-Qur’an dengan hadits yang shahih. 

Petunjuk Al-Qur’an

Prinsip tersebut didapatkan dari Al-Qur’an, di antaranya firman Allah Ta’ala,

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 82)

Allah Ta’ala juga berfirman,

لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakang, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushshilat [41]: 42)

Al-Qur’an Selamat dari Kontradiksi dan Terjaga dari Kebatilan.

Hadits yang Shahih

Demikian pula hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga selamat dari kontradiksi. Hal ini karena hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga wahyu yang berasal dari Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى ؛ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm [53]: 3-4)

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl [16]: 44)

Sehingga As-Sunnah itu kedudukannya sama dengan Al-Qur’an, selama hadits tersebut shahih (valid) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jika Ada “kesan” Kontradiksi

Dalil-dalil di atas jelas menunjukkan bahwa tidak ada kontradiksi dari dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kalau ada “kesan” kontradiksi dalam syariat, maka bisa jadi karena beberapa kemungkinan: (1) kurangnya pemahaman (al-fahmu) dalam menelaah dalil-dalil tersebut; (2) karena kurangnya ilmu (al-‘ilmu); dan (3) kurangnya usaha untuk memahami dan merenungkan dalil (at-tadabbur).

Jika tiga hal ini (al-fahmu, al-‘ilmu, dan at-tadabbur) terkumpul dalam diri seorang muslim, maka tidaklah mungkin ada kesan yang muncul dalam diri seseorang bahwa ada kontradiksi dalam syariat, baik yang berasal dari Al-Qur’an ataupun hadits yang valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan masalah ini pun dipelajari secara mendalam dalam ilmu ushul fiqh.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53812-tidak-ada-pertentangan-kontradiksi-dalam-syariat-islam.html

Sisi Lain Hikmah Hujan: Berkah untuk Para Pedagang

Hujan memberikan berkah keuntungan bagi sejumlah pedagang.

Melalui hujan, Allah SWT menurunkan rahmat-Nya kepada manusia. Rahmat Allah luas bentuknya, tak terukur nilai dan tak juga bisa dibandingkan dengan logika manusia. Namun setidaknya, manusia dapat merasakan rahmat tersebut, tak terkecuali bagi para pedagang kecil. 

Pada Rabu (8/1) menjelang siang, hujan separuh lebat mengguyur Jalan Raya Bogor di wilayah Ciracas, Jakarta Timur. Lantaran hujan, tak sedikit pengendara sepeda motor yang memarkirkan kendaraannya di pinggir jalan yang terdapat atap untuk berteduh. 

Persisnya di depan halaman mushala, Republika yang juga berkendara sepeda motor ikut berteduh. Tepatnya, sejak hujan semakin lebat para pengendara motor yang dengan alasan tertentu enggan menerobos hujan dipertemukan di lingkup tersebut. 

Selain para pengendara yang berteduh, terdapat dua pedagang kaki lima. Yang satu adalah pedagang roti bakar, dan yang kedua adalah pedagang kopi asongan. “Pak, kopinya satu,” kata salah seorang pengendara. 

Melihat hujan belum berhenti, banyak dari para pengendara yang berdiri berjejalan menghindari hujan. Tak sedikit juga dari mereka yang mulai melirik-lirik dagangan kedua pedagang tadi. Seorang pengendara, Agus (32 tahun), menjadi pembeli pertama dari ‘kaum pengendara yang berteduh ini’. 

Kepada Republika.co.id, Agus mengatakan bahwa dirinya sengaja memesan kopi hitam agar tubuhnya hangat di saat hujan tengah mengguyur. Dengan uang sebesar Rp 3.000, secangkir kopi dapat dinikmati Agus dengan sederhana.

Lain Agus, seorang pengendara lainnya, Yani (27 tahun), memesan roti bakar. Hampir-hampir tak percaya saat si pedagang roti menyebutkan harga sepotong roti bakar dengan ukuran large, macam bahasa kafe, yang hanya Rp 5.000. Kaget dicampur takjub, Yani mengulangi pertanyaannya mengenai harga roti dan pedagang pun mengulangnya hingga Yani merasa yakin betul tak salah dengar. “Murah, lumayan,” kata Yani singkat kepada Republika.co.id. 

Kemudian, si pedagang roti bakar pun membuatkan roti pesanan Yani. Siapa sangka, belum selesai roti Yani dibuat, para pengendara motor yang sedang berteduh lainnya juga ikut mengantri membeli roti bakar. Dalam sekejap saja, sudah lebih dari tujuh orang yang memesan roti dengan berbagai jumlah. 

Usai melayani, si pedangang roti bersedia diajak wawancara sejenak dan memperkenalkan diri. “Saya Engkus, asal Tasik,” kata Engkus. 

Engkus mengaku sudah tiga tahun mengadu nasib di Jakarta sebagai pedagang roti bakar keliling. Dalam sehari-hari, pendapatan Engkus tak menentu. Jika sedang hoki, dia bisa mengantongi sekitar Rp 250 ribu penghasilan kotor. 

Namun jika sedang sepi pembeli, dirinya mengaku hanya dapat mengantongi penghasilan hingga menyentuh Rp 50 ribu. 

Menurut Engkus, pendapatannya bisa naik berlipat-lipat apabila Allah menurunkan hujan. Sebab, kata dia, tak sedikit dari pengendara yang berteduh di sejumlah tempat yang layak dijadikan tempat berteduh. 

“Katanya, kan, hujan mah berkah ya, bener itu. Biasanya sepi-sepi aja dagang, ini baru sampe siang (dagang), karena hujan alhamdulillah sudah dapat Rp 200 ribuan,” kata Engkus. 

Menurut Engkus, ketika hujan turun di sekitar wilayah tersebut, dagangannya nyaris laris dalam waktu cepat. Meski dia pun enggan membanderol harga yang tinggi dari dagangannya, meskipun ada kesempatan untuk menaikkan harga semaunya. 

Namun dia percaya, keberkahan rezeki yang didapat lebih penting ketimbang nilai dari rezeki itu sendiri.  “Laku saja sudah syukur, teh. Enggak mau mikir-mikir naikin harga, kasihan juga sama yang lagi meneduh,” kata dia. 

Dari pengamatan singkat dan juga perbincangan hangat antara pengendara sepeda motor yang berteduh dengan para pedagang, setidaknya terdapat hikmah luas yang dapat dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Bahwa hujan yang merupakan rahmat dari Allah itu, juga menyelipkan nuansa rahmah (kasih sayang), syukur, dan juga teladan. 

Hujan merupakan keberkahan, dan bentuk keberkahan bisa bermacam-macam manfaat. Allah SWT berfirman dalam Alquran surah Qaaf ayat ke-9 yang berbunyi: “Wa nazzalna mina-sama-i ma-an mubarakan,”. Yang artinya: “Kami turunkan dari langit air yang memberkati (banyak manfaatnya).” 

KHAZANAH REPUBLIKA

Khasiat Membaca Surat Al-Fatihah

SEMUA surat dalam Alquran adalah istimewa. Penyebutan khasiat dalam judul tulisan ini bukan berarti menafikan khasiat surat yang lain. Melainkan penegasan bahwa ada surat-surat tertentu yang Allah Taala pilih dan memiliki khasiat khusus yang tidak dimilki oleh surat yang lainnya.

Tentunya, penyebutan ini hendaknya membuat seorang hamba semakin mencintai Alquran dan bersungguh-sungguh dalam mempelajari dan mempraktikkannya.

Di dalam “Tata Cara Pengobatan Ala Nabi”, Ibnul Qayyim al Jauziyah menjelaskan khasiat surat al-Fatihah sebagai berikut:

1. Surat al-Fatihah mencakup semua makna kitab-kitab Allah Taala dan mengandung Nama-nama Tuhan dan sifatnya yang mendasar, yaitu Allah, Rabb, ar-Rahman dan ar-Rahim.

2. Surat al-Fatihah mengandung penetapan tentang akhirat, penegasan tauhid, dan butuhnya makhluk kepada Allah Taala dalam meminta pertolongan serta petunjuk.

3. Surat al-Fatihah merupakan doa yang paling utama, paling berkhasiat dan paling bermanfaat.

Doa inilah yang amat dibutuhkan oleh hamba-hamba-Nya, sebentuk permohonan agar diberikan jalan yang lurus, yaitu jalan yang mengandung pengetahuan, tauhid, dan penghambaan makhluk kepada Sang Khalik dengan sempurna.

4. Di dalam surat al-Fatihah terdapat tiga golongan manusia.

Pertama, manusia yang diberikan nikmat; mengetahui kebenaran, mengamalkan, mencintai, dan menghargai nikmat tersebut.

Kedua, manusia yang dimurkai; mereka yang menyimpang dari kebenaran setelah mengetahuinya.

Ketiga, manusia yang sesat; manusia yang tidak mengetahui kebenaran dan enggan mencarinya.

5. Tujuh makna yang terkandung di dalam surat al-Fatihah.

A. Pengukuhan qadar dan syara.

B. Nama-nama dan sifat-sifat Allah Taala.

C. Tempat kembali dan nubuwat.

D. Penyucian jiwa.

E. Perbaikan hati.

F. Penyebutan kebaikan Allah Taala.

G. Penolak terhadap semua pelaku bidah dan pelaku kebatilan.

6. Surat al-Fatihah bisa menyembuhkan berbagai penyakit dan dapat digunakan sebagai ruqyah bagi orang yang terkena segatan.

7. Surat al-Fatihah merupakan keikhlasan dalam beribadah, pujian kepada Allah Taala, penyerahan segala urusan kepada-Nya, permohonan kepada-Nya, tawakkal kepada-Nya, dan permintaan atas semua nikmat kepada-Nya.

8. Surat al-Fatihah merupakan sebuah hidayah yang dapat mendatangkan segala kenikmatan dan menolak semua bentuk kemurkaan.

Inilah di antara khasiat surat pertama dalam Alquran tersebut. Surat yang disebut Ummul Kitab, Sabul Matsani, dan nama-nama berkah lainnya. Beruntungnya, bagi kita kaum muslimin yang rajin mendirikan salat, surat al-Fatihah ini otomatis dibaca minimal tujuh belas kali dalam sehari. Dengan demikian, semoga khasiatnya bisa dirasakan dalam kehidupan sehari-hari dan bermanfaat untuk kehidupan akhirat.[bersamadakwah]

INILAH MOZAIK

Inilah Syarat Terkabulnya Doa (2)

SYARAT-SYARAT dikabulkannya doa adalah:

4. Tidak tergesa-gesa untuk dikabulkan dan tidak futur dalam berdoa.

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: Akan dikabulkan (permintaan) salah seorang kalian selama tidak tergesa-gesa yaitu ia mengatakan:Aku telah berdoa tetapi tidak dikabulkan.” [HR. Bukhari & Muslim]

5. Tidak berdoa yang isinya untuk mendukung permusuhan atau memutuskan silaturrahmi.

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda (artinya): “Senantiasa permintaan seorang hamba itu dikabulkan selama ia tidak berdoa untuk suatu dosa atau pemutusan tali silaturrahmi.” [HR. Muslim]

6. Bersungguh-sungguh dalam berdoa.

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Jika salah seorang kalian berdoa jangan mengatakan: “Ya Allah ampunilah saya jika Engkau mau”, tetapi hendaklah ia memperkuat tekad permintaannya serta memperbesar harapannya karena tidak ada yang memberatkan Allah dalam memberikan anugerah sebesar apapun itu.” [HR. Bukhari & Muslim]

7. Senantiasa beramar maruf nahi munkar menurut kemampuan.

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, benar-benar kalian menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari kemungkaran atau hampir-hampir Allah akan mengirimkan siksa atas kalian kemudian kalian berdoa kepada-Nya namun Allah tidak akan mengabulkan.” [Shahihul Jami: 6947)

[Ustadz Ali Sulis/Pengajar Mahad Abu Hurairah Mataram]

INILAH MOZAIK

Inilah Syarat Terkabulnya Doa (1)

SYARAT-SYARAT dikabulkannya doa adalah:

1. Menghadirkan hati ketika berdoa dan yakin hanya Allah saja yang dapat mengabulkan doa.

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, ketahuilah bahwasanya Allah tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lalai lagi lengah.” [Shahih Tirmidzi: 2766]

2. Khusu, optimis dengan rahmat Allah dan takut akan adzab-Nya.

Allah subhanahu wa taala berfirman (artinya): “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas dan mereka adalah orang-orang yang khusyu kepada Kami.” [al-Anbiya: 90]

3. Menjauhi makanan, minuman, dan pakaian yang haram

Dari Abu Hurairah dalam hadits yang panjang, ia mengatakan: “Kemudian beliau (Nabi) menyebutkan seorang musafir yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak-acakan lagi berdebu, ia menengadahkan tangan ke langit sambil berkata: “Wahai Rabbku, Wahai Rabbku”! sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan ia dikenyangkan dengan yang haram, bagaimana mungkin akan dikabulkan.” [HR. Muslim]

INILAH MOZAIK

Wafat pada Hari Jumat Memiliki Keutamaan, Fakta atau Mitos?

Meninggal pada Jumat tidak terlepas dari amal saleh pada hari itu sendiri.

Hari Jumat dipercaya menjadi hari baik bagi umat Muslim. Banyak kisah yang menceritakan bahwa peristiwa luar biasa pernah terjadi pada Jumat. Seperti penciptaan Nabi Adam AS dan ketika dia dimasukkan ke dalam surga hingga keluar lagi dari sana. Peristiwa tersebut terjadi pada Jumat. 

Sehubungan dengan hal itu, Jumat juga menjadi hari yang baik untuk melakukan amal perbuatan. Tak terkecuali berharap meninggal di hari baik tersebut.  

Menurut Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Zulfa Musthofa, secara umum Jumat memiliki kemuliaan. Maka seorang mukmin yg meninggal pada Jumat memiliki keutamaan sebagai mana mulianya seorang mukmin yang meninggal di dalam masjid. Hal tersebut terjadi karena di hari Jumatlah seorang Mukmin memperbanyak ibadah kepada Allah SWT. 

Dalam hadis riwayat Tirmidzi, Dari Abdullah bin Amr bin Ash RA, Rasulullah SAW bersabda, “Setiap Muslim yang meninggal pada Jumat atau malam Jumat, maka Allah akan memberikan perlindungan baginya dari fitnah kubur.”

Kiai Zulfa mengatakan, dari hadis tersebut secara tidak langsung menjelaskan bahwa kita harus memperbanyak amal saleh seperti membaca surah Al-Kahfi, bersedekah, dan bershalawat kepada Nabi.

“Sehingga kemuliaan meninggal pada hari Jumat itu sebenarnya dikarenakan yang meninggal sedang taqarrub kepada Allah SWT, yaitu melaksanakan ketaatan kepada Allah dengan menjalankan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan-Nya,” kata dia. 

Artinya, kemuliaan suatu waktu dan tempat, seperti Jumat dan Ramadhan, dan masjid, Makkah, serta Madinah, tidak terlepas lari aktivitas ibadah yang ada di dalamnya.  

Seperti kisah Atha’ bin Abi Rabah yang menjawab ketika di tanya terkait alasannya tinggal di Thaif bersama Ibnu Abbas daripada tinggal di Makkah.

Kiai Zulfa memaparkan, dengan mengutip Kitab Ihya Ulumiddin karya Imam al-Ghazali, bahwa Atha’ mengatakan, “Lebih baik aku tinggal jauh dari Ka’bah tapi hatiku selalu merasa dekat dengan Ka’bah, ketimbang seseorang yang tinggal dekat dengan Ka’bah tetapi hilang rasa hormatnya kepada Ka’bah.” 

Maka dari itu, keutamaan Jumat pun tidak terlepas dari amal saleh yang dikerjakan orang Mukmin, termasuk meninggal pada Jumat. Di sisi lain, orang yang meninggal pada Jumat sebelum tibanya shalat Jumat mendapatkan keutamaan tambahan karena banyaknya doa dari orang yang hendak melakukan shalat jenazah di masjid.   

Jadi, boleh saja seseorang berharap meninggal pada Jumat karena setiap mukmin memang hendaknya selalu berharap untuk bertemu dengan kematian yang khusnul khotimah.  

Tetapi, harapan itu sebaiknya dibarengi dengan ikhtiar sebagaimana diriwayatkan dalam hadis Imam Bukhari, Nabi bersabda, “Segala sesuatu akan dimudahkan untuk apa yang dia diciptakan untuknya.”

KHAZANAH Rhttps://khazanah.republika.co.id/berita/q3urvd320/wafat-pada-hari-jumat-memiliki-keutamaan-fakta-atau-mitosEPUBLIKA

Masalah-Masalah Fikih yang Berkaitan Erat dengan Akidah Ahlus-Sunnah

Pendahuluan

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah berfirman di dalam al-Qur’an,

وَتَمَّت كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدقًا وَعَدلًا

“Telah sempurnalah kalimat Rabb-mu (yakni, al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil.” [Surat al-An’am: 115]

Kalimat yang benar adalah hal-hal yang wajib untuk kita imani dan yakini, seperti perkara i’tiqadat, dan kalimat yang adil adalah hal-hal yang wajib untuk kita patuhi dan taati, seperti perkara ‘amaliyyat.

Apa yang disebutkan oleh syari’at berupa perkara i’tiqadat atau perkara akidah, seperti tentang Nama dan Sifat Allah, kehidupan akhirat dan alam kubur, kejadian dan peristiwa yang terjadi di masa lalu ataupun di masa mendatang, maka semua ini adalah perkara yang benar dan haq sehingga wajib untuk kita imani dan yakini.  Sedangkan apa yang ditetapkan oleh syari’at berupa perkara ‘amaliyyat atau perkara fikih, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan umrah, dan hukum-hukum jual-beli, maka semua ini mengandung perintah dan larangan Allah yang adil sehingga wajib untuk kita patuhi dan taati.

Sebagian besar dari perkara akidah adalah perkara yang terdapat ijma’ di dalamnya, sehingga tidak boleh bagi kita untuk menyelisihinya, walaupun terdapat sebagian kecil dari perkara akidah yang merupakan perkara khilafiyyah ijtihadiyyah, seperti apakah mizan (timbangan) di akhirat kelak itu jumlahnya hanya ada satu atau jumlahnya satu untuk setiap orang atau untuk setiap amalan. Adapun sebagian besar dari perkara fikih adalah perkara khilafiyyah ijtihadiyyah, walaupun terdapat sebagian kecil dari perkara fikih yang merupakan perkara ijma’, seperti tentang wajibnya shalat dan haramnya zina.

Tidak boleh bagi kita untuk memunculkan pendapat kedua dalam perkara-perkara yang telah terdapat ijma’ para ulama’ mujtahidin di dalamnya. Barangsiapa yang menyelisihi ijma’ dalam masalah ini, maka dia telah keluar dari akidah ahlus-sunnah wal-jama’ah. Di antara masalah-masalah fikih yang berkaitan erat dengan akidah ahlus-sunnah, dan bahkan dijelaskan oleh para ulama’ untuk menjelaskan akidah ahlus-sunnah dalam kitab-kitab akidah mereka adalah sebagai berikut.

Masalah Pertama: Mengusap khuff

Jika seseorang mengambil wudhu’ lalu mengenakan khuff kemudian wudhu’nya tersebut batal karena hadats kecil, maka ketika berwudhu’ kembali dia tidak perlu untuk melepas khuffnya. Dia cukup untuk mengusap khuff, dengan tata cara dan ketentuan seperti yang dijelaskan dalam kitab-kitab fikih.

Dalil disyari’atkannya mengusap khuff adalah dari ayat Qur’an, hadits Nabi, dan bahkan ijma’. Dalil dari Qur’an adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

يـٰأَيُّهَا الَّذينَ ءامَنوا إِذا قُمتُم إِلَى الصَّلوٰةِ فَاغسِلوا وُجوهَكُم وَأَيدِيَكُم إِلَى المَرافِقِ وَامسَحوا بِرُءوسِكُم وَأَرجُلَكُم إِلَى الكَعبَينِ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” [Surat al-Ma’idah: 6]

Dalam qira’ah lain, ayat ini dibaca “wa-arjulikum” yang tafsirnya adalah mengusap khuff.

Adapun dalil dari Sunnah misalnya adalah hadits dari al-Mughirah ibn Syu’bah radhiyallahu ‘anhu,

كنت مع النبي صلى الله عليه وسلم في سفر، فأهويت لأنزع خفيه، فقال: دعهما، فإني أدخلتهما طاهرتين. فمسح عليهما.

“Aku bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sebuah safar, maka aku menjulurkan tanganku untuk melepaskan kedua khuff beliau, tetapi beliau bersabda, ‘Biarkanlah keduanya, karena aku mengenakannya dalam keadaan suci.’ Maka beliau pun mengusap kedua khuff tersebut.” [Muttafaqun ‘alaihi]

Bahkan hadits-hadits tentang mengusap khuff diriwayatkan oleh banyak sahabat, sehingga derajatnya mencapai derajat mutawatir. Dalam masalah ini juga terdapat ijma’, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul-Mundzir dan Ibnul-Mubarak rahimahumallah, sehingga tidak boleh bagi kita untuk mengingkari syari’at mengusap khuff ini. Akan tetapi, kaum syi’ah menolak dan mengingkari syari’at ini, padahal telah ada riwayat dari ‘Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata,

لو كان الدين بالرأي لكان أسفل الخف أولى بالمسح من أعلاه، وقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يمسح على ظاهر خفيه.

“Seandainya agama itu berdasarkan akal logika, maka bagian bawah khuff itu lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Akan tetapi aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas dari kedua khuff beliau.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud]

Itu mengapa Imam ath-Thahawiy rahimahullah memasukkan permasalahan ini ke dalam kitab beliau tentang akidah ahlus-sunnah wal-jama’ah, untuk menjelaskan bahwa mengusap khuff adalah syi’ar akidah ahlus-sunnah yang membedakan dengan akidah kaum syi’ah. Beliau rahimahullah berkata,

ونرى المسح على الخفين في السفر والحضر كما جاء في الأثر.

“Kami meyakini (disyari’atkannya) mengusap khuff baik ketika safar ataupun tidak sebagaimana yang disebutkan dalam atsar.” [al-’Aqidah ath-Thahawiyyah, karya Ahmad ibn Muhammad Abu Ja’far ath-Thahawiy]

Masalah Kedua: Qashar shalat saat safar

Ahlus-sunnah meyakini bahwa qashar shalat saat safar itu disyari’atkan, baik safarnya dalam kondisi aman ataupun takut terhadap serangan musuh. Akan tetapi, kaum khawarij meyakini bahwa qashar shalat itu hanya disyari’atkan ketika safarnya dalam kondisi takut. Mereka berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَإِذا ضَرَبتُم فِى الأَرضِ فَلَيسَ عَلَيكُم جُناحٌ أَن تَقصُروا مِنَ الصَّلوٰةِ إِن خِفتُم أَن يَفتِنَكُمُ الَّذينَ كَفَروا

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qashar shalatmu, jika kamu takut diserang oleh orang-orang kafir.” [Surat an-Nisa’: 101]

Mereka berkata bahwa ada syarat “takut diserang oleh orang-orang kafir” pada ayat ini, sehingga qashar shalat hanya disyari’atkan jika safarnya dalam kondisi takut terhadap serangan orang-orang kafir. Adapun jika safarnya dalam kondisi aman, sebagaimana safar yang kita lakukan selama ini alhamdulillah, maka mereka berkata bahwa qashar shalat tidak disyari’atkan.

Padahal, tidak ada riwayat yang shahih yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan bilangan raka’at shalat (yakni, tidak qashar) ketika beliau sedang safar. Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

خرجنا مع النبي صلى الله عليه وسلم من المدينة إلى مكة فكان يصلي ركعتين ركعتين حتى رجعنا إلى المدينة.

“Kami pergi bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Madinah menuju Makkah, maka beliau shalat dua raka’at dua raka’at sampai kami kembali ke Madinah.” [Muttafaqun ‘alaihi]

Ibn ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

صحبت رسول الله صلى الله عليه وسلم فكان لا يزيد في السفر على ركعتين، وأبا بكر وعمر وعثمان كذلك، رضي الله عنهم.

“Aku membersamai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak pernah shalat lebih dari dua raka’at ketika safar. Demikian pula Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman radhiyallahu ‘anhum.” [Muttafaqun ‘alaihi]

Yang dimaksud tidak pernah shalat lebih dari dua raka’at di sini adalah pada shalat yang jumlah raka’atnya adalah empat raka’at, yaitu shalat zhuhur, ashar, dan isya’. Adapun shalat maghrib, maka tetap dikerjakan sebanyak tiga raka’at.

Jadi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melakukan qashar shalat walaupun safar beliau dalam kondisi aman, seperti safar yang terjadi setelah Fathu Makkah. Lalu, mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan syarat tambahan pada ayat di atas, yaitu syarat “jika kamu takut diserang oleh orang-orang kafir”?

Jawabannya adalah bahwa ini bukanlah syarat tambahan. Kalimat tersebut disebutkan dalam ayat karena itulah kondisi dominan yang terjadi pada saat ayat tersebut diturunkan. Sebagaimana kita ketahui, sebelum Fathu Makkah, maka safar yang dilakukan oleh kaum muslimin adalah safar yang membahayakan, baik itu safar untuk hijrah ke Habasyah, safar untuk hijrah ke Madinah, safar untuk menuju Badar, dll. Oleh karena itu, kalimat di atas disebutkan dalam ayat bukan sebagai syarat, tetapi sebagai penegas saja. Dalam ilmu ushul fikih, hal ini dikenal dengan kaidah: “Tidak ada mafhum mukhalafah dalam kalimat atau frasa yang itu disebutkan karena terjadi secara dominan.”

Oleh karena itu, baik menggunakan dalil Qur’an ataupun Sunnah, kita simpulkan bahwa qashar shalat saat safar adalah hal yang disyari’atkan, walaupun safarnya dalam kondisi aman. Hal ini memberikan kita pelajaran bahwa tidak boleh bagi kita untuk langsung mengambil kesimpulan hukum dari sebuah dalil tanpa merujuk pada penjelasan para ulama’ tentang tafsiran dan pemahaman yang benar tentang dalil tersebut. Banyak pemahaman menyimpang yang muncul disebabkan oleh perbuatan seperti ini.

Masalah Ketiga: Bersiwak menggunakan siwak milik orang shalih

Hukum asal dari bersiwak adalah mandub atau sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

السواك مطهرة للفم مرضاة للرب.

“Siwak itu membersihkan mulut dan membuat Allah ridha’.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad dan an-Nasa’iy]

Akan tetapi, hukumnya bisa menjadi wajib jika mulut kita memiliki bau yang harus dihilangkan sebelum menghadiri shalat berjama’ah, atau ketika ada najis pada mulut kita yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan cara bersiwak, atau ketika kita bernadzar.

Bersiwak bisa menjadi haram jika kita menggunakan siwak milik orang lain tanpa izinnya dan tidak diketahui apakah dia ridha’ dengan hal tersebut. Adapun jika kita menggunakan tanpa izinnya tetapi diketahui bahwa dia ridha’ dengan hal tersebut, maka hukumnya menjadi makruh. Demikian pula, bersiwak bisa menjadi makruh jika kita melakukannya setelah waktu zawal sementara kita sedang berpuasa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك.

“Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di Sisi Allah daripada bau misik.” [Muttafaqun ‘alaihi]

Adapun jika kita bersiwak menggunakan siwak milik orang lain setelah mendapatkan izin darinya, maka hukumnya adalah khilaful-aula. Akan tetapi, jika yang kita gunakan tersebut adalah siwak milik orang shalih dengan niat untuk tabarruk (mencari berkah), maka sebagian ulama’ berpendapat bahwa hukumnya menjadi sunnah.

Masalah yang terakhir ini berkaitan erat dengan hukum tabarruk dengan badan atau benda milik orang shalih. Sebagian ulama’ membolehkan hal ini dengan misalnya bersandar pada hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa beliau berkata,

كان نبي الله صلى الله عليه وسلم يستاك فيعطيني السواك لأغسله فأبدأ به فأستاك ثم أغسله وأدفعه إليه.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiwak kemudian memberikan siwaknya kepadaku untuk aku cuci. Maka aku pun bersiwak dengan menggunakan siwak itu terlebih dahulu lalu aku cuci dan aku berikan kepada beliau.” [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud]

Muhammad Syamsul-Haqq al-’Azhim Abadiy rahimahullah berkata ketika menjelaskan hadits ini,

والحديث فيه ثبوت التبرك بآثار الصالحين والتلذذ بها، وفيه أن استعمال سواك الغير جائز، وفيه استحباب غسل السواك.

“Dalam hadits ini terdapat pelajaran bolehnya tabarruk dengan benda milik orang shalih, bolehnya menggunakan siwak milik orang lain, dan disunnahkannya mencuci siwak.” [Ghayatul-Maqshud fiy Halli Sunan Abi Dawud, karya Muhammad Syamsul-Haqq al-’Azhim Abadiy (1/213)]

Akan tetapi, pendapat yang benar dalam masalah ini adalah tidak boleh bagi kita untuk tabarruk dengan menggunakan badan atau benda milik orang shalih, karena tidak ada dalilnya. Adapun hadits ‘Aisyah di atas, maka itu hanya khusus pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja. Jika tabarruk dengan menggunakan badan atau benda milik orang shalih selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu disyari’atkan, maka tentu para sahabat sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah melakukan tabarruk kepada Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Aliy dan para sahabat yang paling utama lainnya, radhiyallahu ‘anhum ajma’in. Jika hal tersebut baik, maka sudah tentu mereka lebih dulu melakukannya. Shiddiq Hasan Khan rahimahullah berkata,

ولا يجوز أن يقاس أحد من الأمة على رسول الله صلى الله عليه وسلم، ومن ذاك الذي يبلغ شأوه؟ قد كان له صلى الله عليه وسلم في حال حياته خصائص كثيرة لا يصلح أن يشاركه فيها غيره.

“Tidak boleh diqiyaskan seorang pun di kalangan umat ini dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memangnya siapa yang bisa mencapai seperti derajat beliau? Sesungguhnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hidupnya memiliki banyak kekhususan yang tidak dimiliki pula oleh orang lain.” [ad-Din al-Khalish, karya Shiddiq Hasan Khan (2/250)]

Bahkan sebagian ulama’ telah menyebutkan adanya ijma’ tentang tidak bolehnya melakukan tabarruk dengan badan atau benda milik orang shalih selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara yang menyebutkan ijma’ ini adalah asy-Syathibiy dalam kitab beliau al-I’tisham dan Ibn Rajab dalam kitab beliau al-Hikam al-Jadirah bil-Idza’ahrahimahumallah.

Dari pemaparan di atas, kita simpulkan bahwa bersiwak dengan menggunakan siwak milik orang shalih dengan niat tabarruk adalah haram dilakukan dan merupakan amalan bid’ah karena tidak ada dalilnya dan tidak ada contohnya dari para generasi terdahulu. Demikian pula bentuk-bentuk lain dari tabarruk dengan badan atau benda milik orang shalih.

Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53837-masalah-masalah-fikih-yang-berkaitan-erat-dengan-akidah-ahlus-sunnah.html

Surah Al-Jumuah, Digemari Nabi SAW, Dibaca Imam Tiap Jumat

Surah al-Jumuah kerap dibaca Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.

Surah al-Jumuah merupakan satu-satunya surah di Alquran yang menjelaskan secara gamblang tentang keutamaan hari Jumat. Bahkan, nyatanya surah al-Jumuah menjadi surah yang paling sering dibaca imam di setiap ibadah shalat Jumat.  

Surah al-Jumuah diturunkan setelah Rasulullah hijrah ke Madinah. Hal ini menjadikannya sebagai surah Madaniyah. Surah ini terdiri dari 11 ayat, 180 kalimat, dan 576 huruf. Dan tentunya, ada banyak penjelasan dalam setiap ayatnya. 

Melansir buku Sifat Shalat Nabi: Pedoman Lengkap Shalat Rasulullah SAW, surah ini juga diketahui menjadi bacaan yang kerap digunakan Rasulullah dalam shalat Jumat di rakaat pertama. Oleh sebab itu, penggunaan surah ini kerap diikuti sahabat dan umatnya kemudian. Bahkan, hal tersebut juga tercantum dalam hadis Abu Hurairah, di mana hadis ini diriwayatkan darinya oleh Ubaidullah bin abi Rafi. 

“Marwan menunjuk Abu Hurairah sebagai wakilnya atas Madinah selama dia pergi ke Makkah. Kemudian Abu Hurairah memimpin kami shalat Jumat, lalu setelah dia membaca surah al-Jumuah [62:11] pada rakaat pertama, maka pada rakaat terakhir dia membaca ‘Apabila orang-orang munafik datang kepadamu {Muhammad}….(QS al-Munafiquun 63:11}. Kemudian aku menyusul Abu Hurairah ketika dia pulang, seraya aku berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau telah membaca dua surah yang keduanya telah dibaca Ali bin Abi Thalib di Kuffah,’ kemudian Abu Hurairah berkata, “sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah SAW membaca keduanya dalam shalat Jumat.” 

Lebih lanjut, mengutip buku Rahasia dan Keutamaan Hari Jumat karya Komarudin Ibnu Mikam, dalam kitab tafsirnya, Ibnu Katsir menyebutkan, ayat pertama di surah tersebut, Allah memperkenalkan kebesaran-Nya, dan digaungkan seisi langit dan bumi.  

Masih dalam ayat tersebut, Allah menegaskan, semua yang terjadi adalah kehendaknya, dan bergerak dalam upaya bertasbih kepadanya. 

Hal tersebut juga terjadi meski tidak dengan sepengetahuan manusia. Bahkan disebutkan juga dalam ayat tersebut, bahwa tauhid merupakan hal yang menjadi inti.  

Ada banyak keistimewaan dalam surah tersebut, di antaranya adalah diberkati hartanya, pahala kebaikan, kebiasaan rasul, seruan shalat Jumat hingga memercayai kedatangan rasul dan peringatan dari Allah SWT.

 Bahkan salah satu ayat surah tersebut menegaskan seruan untuk beribadah shalat Jumat yang menjadi kewajiban bagi Muslim. 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS al-Jumuah: 9).

KHAZANAH REPUBLIKA