Apa dan Mengapa Harus Bersujud Tilawah?

Sujud tilawah adalah sujud yang disebabkan karena membaca atau mendengar ayat-ayat sajadah yang terdapat dalam Al Quran Al Karim.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Jika anak Adam membaca ayat sajadah, lalu dia sujud, maka setan akan menjauhinya sambil menangis. Setan pun akan berkata-kata: Celaka aku. Anak Adam disuruh sujud, dia pun bersujud, maka baginya surga. Sedangkan aku sendiri diperintahkan untuk sujud, namun aku enggan, sehingga aku pantas mendapatkan neraka. (HR. Muslim no. 81)

Sujud Tilawah itu Sunnah

Para ulama sepakat (beijma) bahwa sujud tilawah adalah amalan yang disyariatkan. Di antara dalilnya adalah hadits Ibnu Umar, Nabi shallalahu alaihi wa sallam pernah membaca Al Quran yang di dalamnya terdapat ayat sajadah. Kemudian ketika itu beliau bersujud, kami pun ikut bersujud bersamanya sampai-sampai di antara kami tidak mendapati tempat karena posisi dahinya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Menurut jumhur (mayoritas) ulama yaitu Malik, Asy Syafii, Al Auzai, Al Laitsi, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Daud dan Ibnu Hazm, juga pendapat sahabat Umar bin Al Khattab, Salman, Ibnu Abbas, Imron bin Hushain, mereka berpendapat bahwa sujud tilawah itu sunnah dan bukan wajib.

Dari Zaid bin Tsabit, beliau berkata, Aku pernah membacakan pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam surat An Najm, (tatkala bertemu pada ayat sajadah dalam surat tersebut) beliau tidak bersujud. (HR. Bukhari dan Muslim). Bukhari membawakan riwayat ini pada Bab Siapa yang membaca ayat sajadah, namun tidak bersujud.

Tata Cara Sujud Tilawah

1- Para ulama bersepakat bahwa sujud tilawah cukup dengan sekali sujud.

2- Bentuk sujudnya sama dengan sujud dalam shalat.

3- Tidak disyariatkan -berdasarkan pendapat yang paling kuat- untuk takbiratul ihram dan juga tidak disyariatkan untuk salam.

4- Disyariatkan pula untuk bertakbir ketika hendak sujud dan bangkit dari sujud.

5- Lebih utama sujud tilawah dimulai dari keadaan berdiri, ketika sujud tilawah ingin dilaksanakan di luar shalat. Inilah pendapat yang dipilih oleh Hanabilah, sebagian ulama belakangan dari Hanafiyah, salah satu pendapat ulama-ulama Syafiiyah, dan juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Namun, jika seseorang melakukan sujud tilawah dari keadaan duduk, maka ini tidaklah mengapa. Bahkan Imam Syafii dan murid-muridnya mengatakan bahwa tidak ada dalil yang mensyaratkan bahwa sujud tilawah harus dimulai dari berdiri. Mereka mengatakan pula bahwa lebih baik meninggalkannya. (Shahih Fiqih Sunnah, 1/449)

Bacaan Ketika Sujud Tilawah

Bacaan ketika sujud tilawah sama seperti bacaan sujud ketika shalat. Ada beberapa bacaan yang bisa kita baca ketika sujud di antaranya:

Dari Hudzaifah, beliau menceritakan tata cara shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan ketika sujud beliau membaca: Subhaana robbiyal alaa [Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi] (HR. Muslim no. 772)

Dari Aisyah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa membaca doa ketika ruku dan sujud: Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy. [Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku] (HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484)

Dari Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika sujud membaca: Allahumma laka sajadtu, wa bika aamantu wa laka aslamtu, sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo samahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin. [Ya Allah, kepada-Mu lah aku bersujud, karena-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta] (HR. Muslim no. 771)

Adapun bacaan yang biasa dibaca ketika sujud tilawah sebagaimana tersebar di berbagai buku dzikir dan doa adalah berdasarkan hadits yang masih diperselisihkan keshohihannya.

Imam Ahmad bin Hambal -rahimahullah- mengatakan, Adapun (ketika sujud tilawah), maka aku biasa membaca: Subhaana robbiyal alaa (Al Mughni).

Dan di antara bacaan sujud dalam shalat terdapat pula bacaan Sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo samahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin, sebagaimana terdapat dalam hadits Ali yang diriwayatkan oleh Muslim. Wallahu alam.

Sujud Tilawah Ketika Shalat

Dianjurkan bagi orang yang membaca ayat sajadah dalam shalat baik shalat wajib maupun shalat sunnah agar melakukan sujud tilawah. Inilah pendapat mayoritas ulama.

Dari Abu Rofi, dia berkata bahwa dia shalat Isya (shalat atamah) bersama Abu Hurairah, lalu beliau membaca idzas samaaunsyaqqot, kemudian beliau sujud. Lalu Abu Rofi bertanya pada Abu Hurairah, Apa ini? Abu Hurairah pun menjawab, Aku bersujud di belakang Abul Qosim (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam) ketika sampai pada ayat sajadah dalam surat tersebut. Abu Rofi mengatakan, Aku tidaklah pernah bersujud ketika membaca surat tersebut sampai aku menemukannya saat ini. (HR. Bukhari no. 768 dan Muslim no. 578)

Ayat Sajadah dalam Al Quran

1. Al Arof ayat 206

2. Ar Rodu ayat 15

3. An Nahl ayat 49-50

4. Al Isro ayat 107-109

5. Maryam ayat 58

6. Al Hajj ayat 18

7. Al Hajj ayat 77

8. Al Furqon ayat 60

9. An Naml ayat 25-26

10. As Sajdah ayat 15

11. Fushilat ayat 38 (menurut mayoritas ulama), QS. Fushilat ayat 37 (menurut Malikiyah)

12. Shaad ayat 24

13. An Najm ayat 62 (ayat terakhir)

14. Al Insyiqaq ayat 20-21

15. Al Alaq ayat 19 (ayat terakhir)

INILAH MOZAIK

Sujud Tilawah

Sujud tilawah (Arab, سجود التلاوة) adalah gerakan sujud yang dilakukan ketika membaca ayat sajadah dalam Quran. Sujud tilawah terdiri dari sekali sujud. Sujud tilawah dapat dilakukan di saat sedang melakukan shalat atau di luar shalat. Sujud tilawah adalah ibadah yang disyariatkan oleh Rasulullah berdasarkan pada hadits-hadits sahih. Hukumnya sunnah muakkad menurut madzhab Syafi’i, Hanbali, Maliki dan wajib menurut madzhab Hanafi.

DAFTAR ISI

  1. Pengertian Sujud Tilawah
  2. Dalil Dasar Sujud Tilawah
  3. Hukum Sujud Tilawah: Sunnah Dan Wajib
  4. Syarat Sujud Tilawah
  5. Bacaan Sujud Tilawah
  6. Cara Sujud Tilawah Di Luar Shalat
  7. Cara Sujud Tilawah Saat Shalat
  8. Ayat-Ayat Sajadah Dalam Quran
  9. Waktu Makruh Melakukan Sujud Tilawah

PENGERTIAN

Secara etimologis (lughawi) ia adalah masdar (verbal noun) dari fi’il madhi sa-ja-da. Asal dari sujud adalah merendahkan diri pada Allah. Dalam terma syariah sujud berarti meletakkan dahi atau sebagiannya pada bumi atau sesuatu yang berhubungan dengannya.

Sedangkan sujud tilawah adalah sujud yang dilakukan karena membaca salah satu ayat Quran yang mengandung sajadah. Sujud tilawah tidak diawali dengan takbirotul ihrom dan tidak diakhiri dengan salam.

DALIL DASAR SUJUD TILAWAH

– Hadits riwayat Bukhari
كَانَ النَّبِيُّ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏يَقْرَأُ عَلَيْنَا السُّورَةَ فِيهَا السَّجْدَةُ فَيَسْجُدُ وَنَسْجُدُ حَتَّى مَا يَجِدُ أَحَدُنَا مَوْضِعَ جَبْهَتِهِ

Artinya: Rasulullah SAW membacakan kami suatu surat, kemudian beliau bersujud dan kami pun bersujud

– Hadits riwayat Muslim
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ ، اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِي يَقُولُ : يَا وَيْلَهُ وَفِي رِوَايَةِ أَبِي كُرَيْبٍ يَا وَيْلِي أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ ، وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ فَأَبَيْتُ فَلِيَ النَّارُ

Artinya: Jika anak Adam membaca ayat sajadah, lalu dia sujud, maka setan akan menjauhinya sambil menangis. Setan pun akan berkata-kata: “Celaka aku. Anak Adam disuruh sujud, dia pun bersujud, maka baginya surga. Sedangkan aku sendiri diperintahkan untuk sujud, namun aku enggan, sehingga aku pantas mendapatkan neraka.

– Hadits riwayat Bukhari
عن عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رَضِي اللَّه عَنْه – قَرَأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ بِسُورَةِ النَّحْلِ حَتَّى إِذَا جَاءَ السَّجْدَةَ نَزَلَ فَسَجَدَ وَسَجَدَ النَّاسُ ، حَتَّى إِذَا كَانَتِ الْجُمُعَةُ الْقَابِلَةُ قَرَأَ بِهَا حَتَّى إِذَا جَاءَ السَّجْدَةَ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا نَمُرُّ بِالسُّجُودِ فَمَنْ سَجَدَ فَقَدْ أَصَابَ وَمَنْ لَمْ يَسْجُدْ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ ، وَلَمْ يَسْجُدْ عُمَرُ رَضِي اللَّه عَنْهم

Artinya: Dari Umar bin Khattab dia pada hari Jum’at membaca di atas mimbar surat an-Nahl, hingga bila sampai pada ayat sajdah beliau turun lalu sujud sehingga orang-orang pun sujud. Saat Jum’at berikutnya, beliau membaca lagi surat tersebut hingga sampai pada ayat sajdah, beliau berkata, ‘Wahai manusia, sesungguhnya kita melewati ayat sajdah. Barang siapa bersujud sungguh ia telah benar, dan barang siapa tidak bersujud maka tiada dosa baginya.’ Dan Umar sendiri tidak bersujud.

– Hadits riwayat Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Malik
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْرَأَهُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَجْدَةً فِي الْقُرْآنِ ، مِنْهَا ثَلَاثٌ فِي الْمُفَصَّلِ وَفِي سُورَةِ الْحَجِّ سَجْدَتَانِ

Artinya: Rasulullah saw telah mengajarkan kepadanya akan lima belas ayat sajdah dalam Al-Qur’an diantaranya, tiga ayat pada surat yang pendek dan dalam surat Al-Hajj ada dua sajdah.

– Hadits riwayat Muslim
… وإذا سَجَدَ قَالَ : اللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ تَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ

Artinya: Dan ketika sujud Nabi berdoa: Ya Allah, kepada-Mu lah aku bersujud, karena-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta]

– Hadits riwayat Muslim
عَنْ أَبِي رَافِعٍ – رضي الله عنه – قَالَ : صَلَّيْتُ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – صَلَاةَ الْعَتَمَةِ فَقَرَأَ إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ ، فَسَجَدَ فِيهَا فَقُلْتُ لَهُ : مَا هَذِهِ السَّجْدَةُ ، فَقَالَ : سَجَدْتُ بِهَا خَلْفَ أَبِي الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَا أَزَالُ أَسْجُدُ بِهَا حَتَّى أَلْقَاهُ

Artinya: Dari Abu Rofi’, dia berkata bahwa dia shalat Isya’ (shalat ‘atamah) bersama Abu Hurairah, lalu beliau membaca “idzas samaa’unsyaqqot”, kemudian beliau sujud. Lalu Abu Rofi’ bertanya pada Abu Hurairah, “Apa ini?” Abu Hurairah pun menjawab, “Aku bersujud di belakang Abul Qosim (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ketika sampai pada ayat sajadah dalam surat tersebut.” Abu Rofi’ mengatakan, “Aku tidaklah pernah bersujud ketika membaca surat tersebut sampai aku menemukannya saat ini.

HUKUM SUJUD TILAWAH: SUNNAH DAN WAJIB

Ulama ahli fiqih sepakat bahwa sujud tilawah itu mashruiyah (berdasarkan syariah) berdasarkan pada dalil Quran dan hadits. Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam soal sifatnya apakah sunnah atau wajib.

Madzhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa sujud tilawah adalah sunnah muakkad, tidak wajib. Madzhab Maliki menyatakan sunnah. Mereka mendasarkan pada dalil dari QS Al-Isra’ 17:107-109; dan hadits dari Abdullah bin Umar yang berkata: Rasulullah pernah membaca surat yang ada ayat sajadah-nya, lalu beliau sujud dan kami ikut sujud.

Sujud tilawah menurut ketiga madzhab di atas tidak wajib karena ada hadits yang menceritakan bahwa Rasulullah terkadang tidak melakukannya. Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit ia berkata: Aku pernah membaca Quran Surah An-Najm di depan Nabi, tapi Nabi tidak bersujud tilawah (H.R. Bukhari Muslim).

Adapun yang menganggap sujud tilawah wajib adalah madzhab Hanafi. Wajib bagi pembaca dan pendengar berdasarkan pada hadits: Sujud tilawah wajib bagi orang yang mendengar dan membacanya.

SYARAT SUJUD TILAWAH

Dalam pelaksanaan sujud tilawah ada syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut:

1. Suci dari hadats kecil dan besar pada badan, pakaian dan tempat. Karena sujud tilawah itu seperti shalat atau bagian dari shalat maka disyaratkan seperti syaratnya shalat. Dalam sebuah hadits dikatakan: Shalat tidak diterima tanpa dalam keadaan suci.

2. Menutup aurat, menghadap kiblat, niat melaksanakan sujud tilawah.
3. Masuknya waktu sujud. Yaitu setelah selesainya atau sempurnanya membaca ayat yang mengandung sajadah. Jadi, kalau melakukan sujud sebelum ayat sajadah selesai dibaca, maka tidak sah.

BACAAN SUJUD TILAWAH

– Boleh membaca bacaan yang biasa dibaca saat sujud shalat yaitu (سبحان ربي الأعلى) Subhana Robbiyal A’la sebanyak 3x.

– Dapat juga ditambah dengan bacaan berikut (berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi):
سجد وجهي للذي خلقه وشق بصره وسمعه بحوله وقوته ، فتبارك الله أحسن الخالقين

– Juga disunnahkan membaca bacaan berikut (berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi):
اللهم اكتب لي بها عندك أجراً ، وضع عني بها وزراً ، وتقبَّلها مني كما تقبَّلتها من عبدك داود عليه السلام

CARA SUJUD TILAWAH DI LUAR SHALAT

Sujud tilawah dapat dilakukan saat sedang shalat atau di luar shalat. Adapun cara sujud tilawah di luar shalat adalah sebagai berikut:

1. Niat dan Membaca takbir dan mengangkat kedua tangan untuk melaksanakan sujud sebagaimana cara mengangkat tangan saat sujud takbirotul ihrom (takbir pertama) saat shalat.

2. Lalu sujud tanpa mengangkat tangan saat turun hendak sujud.
3. Sujud hanya satu kali dan sunnah membaca “سبحان ربي الأعلى” tiga kali dan membaca doa berikut [سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ ، وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ ، بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ]
4. Lalu mengangkat kepala dari sujud dengan membaca takbir.
5. Duduk tanpa membaca tahiyat (tasyahud) dan
6. Diakhiri dengan mengucapkan salam.

CARA SUJUD TILAWAH SAAT SHALAT

Kalau sujud tilawah dilakukan saat sedang shalat karena membaca ayat Quran yang mengandung sajadah, maka tatacaranya sedikit berbeda yakni tanpa diakhiri dengan salam. Detailnya sebagai berikut:

1. Niat dan Mengucapkan takbir untuk sujud
2. Saat sujud mengucapkan “سبحان ربي الأعلى” tiga kali. Jumlah sujud hanya sekali.
3. Mengucapkan takbir saat bangun dari sujud.
4. Selesai sujud berdiri tegak kembali dan meneruskan bacaan shalat kalau masih ada ayat yang hendak dibaca. Kalau tidak ada lagi ayat yang ingin dibaca, maka ia dapat melakukan rukuk shalat.

AYAT-AYAT SAJADAH DALAM QURAN

Ulama ahli fiqih sepakat bahwa ayat sajadah terdapat dalam 10 ayat dalam Al-Quran. Berikut ayat-ayat sajadah yang sunnah melakukan sujud tilawah setelah selesai membaca ayat tersebut.

1. Quran Surat Al-A’raf ayat 206
2. QS Ar-Ra’d ayat 15
3. QS An-Nahl ayat 49
4. QS Al-Isra ayat 107
5. QS Maryam ayat 58
6. QS Al-Haj ayat 18
7. QS An-Naml ayat 25
8. QS As-Sajadah ayat 15
9. QS Al-Furqan ayat 60
10. QS Fussilat ayat 38
11. QS Al-Haj ayat 77
12. QS An-Najm ayat 62
13. QS Al-Insyiqaq ayat 21
14. QS Al-Alaq ayat 19
15. QS Shad ayat 28

WAKTU MAKRUH MELAKUKAN SUJUD TILAWAH

Sujud tilawah makruh dilakukan pada waktu-waktu yang makruh melakukan shalat sunnah yaitu:

1. Setelah shalat subuh sampai terbit matahari.
2. Saat terbit matahari sampai naik setinggi panah atau sekitar 25 detik.
3. Saat matahari tepat berada di atas yakni sekitar 3 detik.sebelum masuk waktu dhuhur.
4. Sepertiga jam sebelum terbenam matahari.
5. Ketika terbenam matahari

ALKHOIROT


Beberapa Hukum Seputar Sujud Tilawah dalam Shalat

Sujud Tilâwah merupakan salah satu sujud yang disyariatkan dalam Islam bagi yang membaca ayat-ayat sajdah dan yang mendengarkannya. Kalau kita melihat keadaan orang yang membaca dan mendengar ayat-ayat sajdah maka tidak lepas dari dua keadaan; membaca atau mendengarnya dalam shalat atau diluar shalat.

Ada beberapa permasalahan terkait sujud tilawah dalam shalat, diantaranya:

HUKUM IMAM MEMBACA AYAT-AYAT SAJDAH DALAM SHALAT JAHRIYAH
Para Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat:

Pertama : Pendapat yang menyatakan disyariatkan dan dianjurkan bagi orang yang membaca ayat sajdah dalam shalat, baik shalat wajib maupun shalat nâfilah (sunnah) agar melakukan sujud tilâwah. Ini pendapat mayoritas Ulama, diantaranya madzhab Hanafiyah (lihat Fathul Qadîr 2/14), Syâfi’iyyah (lihat al-Majmû’ 4/58), Hanabilah (lihat al-Mughni 2/371), Zhâhiriyah (lihat al-Muhalla 5/157) dan riwayat Abdullah bin Wahb dari Mâlik (lihat al-Muntaqâ 1/350).

Mereka berargumentasi dengan beberapa dalil, diantaranya:

1. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الجُمُعَةِ فِي صَلاَةِ الفَجْرِ الم تَنْزِيلُ السَّجْدَةَ، وَهَلْ أَتَى عَلَى الإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ

Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari Jum’at saat shalat Shubuh membaca surat Sajdah dan al-Insân [HR. Al-Bukhâri no. 891]

2. Hadits Abu Raafi’ beliau berkata:

صَلَّيْتُ مَعَ أَبِى هُرَيْرَةَ الْعَتَمَةَ فَقَرَأَ ( إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ ) فَسَجَدَ فَقُلْتُ مَا هَذِهِ قَالَ سَجَدْتُ بِهَا خَلْفَ أَبِى الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلاَ أَزَالُ أَسْجُدُ بِهَا حَتَّى أَلْقَاهُ

Aku shalat Isya’ (shalat ‘atamah) bersama Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca “idzas samâ’un syaqqat”, kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud. Lalu Abu Rafi’ bertanya pada Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , “Apa ini?” Abu Hurairah Radhiyallahu anhu pun menjawab, “Aku bersujud di belakang Abul Qâsim (Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) ketika sampai pada ayat sajadah dalam surat tersebut.” Abu Rafi’ mengatakan, “Aku tidak pernah bersujud ketika membaca surat tersebut sampai aku menemukannya saat itu.” [HR. Al-Bukhâri no. 768 dan Muslim no. 578]

3. Amalan ini sudah ada dari sejumlah ahli fikih dari kalangan Shahabat seperti Umar bin al-Khathab Radhiyallahu anhu, Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan Utsmân bin Affân Radhiyallahu anhu dan tidak diketahui ada yang menyelisihi mereka.

Kedua: Dimakruhkan membaca ayat-ayat sajadah dalam shalat fardhu, sedangkan dalam shalat nâfilah tidak dimakruhkan. Ini merupakan pendapat imam Mâlik dalam satu riwayat yang menjadi pendapat madzhab Mâlikiyah.

Pendapat ini berargumen dengan dua alasan :
1. Apabila tidak sujud maka masuk dalam ancaman yang diisyaratkan dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَإِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْآنُ لَا يَسْجُدُونَ ۩

Dan apabila al-Qur’ân dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud, [Al-Insyiqâq/84:21]

Apabila sujud berarti menambah jumlah sujudnya. [Lihat Hasyiyah ad-Dûsuqi, 1/310]

2. Hal ini mengakibatkan orang yang dibelakang imam bingung dan salah, karena hal ini perkara yang tidak biasa dalam shalat [Lihat al-Muntaqa 1/350]

Pendapat Yang Rajih:
Pendapat yang râjih adalah pendapat mayoritas Ulama karena hadits-hadits yang shahih menunjukkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat sajadah dalam shalat dan melakukan sujud tilâwah dalam shalat. Wallâhu a’lam.

HUKUM MEMBACA AYAT-AYAT SAJDAH DALAM SHALAT SIRRIYAH SEPERTI SHALAT ZHUHUR DAN SHALAT ASHAR
Pada shalat tersebut, makmum tidak mendengar kalau imam membaca ayat sajadah. Dalam masalah ini para Ulama fikih berbeda pendapat dalam beberapa pendapat:

Pertama: Dimakruhkan.
Ini merupakan pendapat madzhab Hanafiyah dan satu pendapat dalam madzhab Hanabilah namun dianggap sebagai pendapat madzhab serta pendapat sebagian Ulama madzhab Mâlikiyah.

Mereka beralasan dengan dua alasan:
1. Apabila tidak sujud berarti meninggalkan sunnah dan kalau sujud akan menimbulkan kesalahfahaman pada makmum. Karena bisa jadi mereka menyangka sang imam salah, karena mendahulukan sujud daripada ruku’. [Lihat al-Muntaqa, 1/350 dan al-Mughni, 2/371]

Alasan ini dibantah dengan menyatakan bahwa meninggalkan amalan sunnah tidak menjadikan membaca ayat sajdah dalam masalah ini dimakruhkan; karena meninggalkan amalan sunnah tidak makruh. Sebab kalau meninggalkan amalan sunnah dihukumi makruh maka kita berpendapat shalat tidak menggunakan sandal hukumnya makruh dan tidak mengangkat tangan dalam takbiratul ihrâm hukumnya makruh serta tidak mengucapkannya secara jahr pada shalat jahriyah adalah makruh [Lihat asy-Syarhu al-Mumti’ 4/148].

2. Apabila sujud berarti menambah jumlah sujud dalam shalat.
Alasan ini terbantahkan. Memang benar ada penambahan sujud, namun penambahan seperti itu tidak apa-apa, sebab terbukti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dalam shalat.

Kedua: Dimakruhkan dalam shalat fardhu, namun tidak dimakruhkan pada shalat nâfilah (sunnah). Inilah pendapat madzhab Mâlikiyah.
Mereka beralasan dengan alasan yang sama dengan pendapat yang pertama dalam shalat fardhu dan mengecualikan shalat nâfilah dengan dasar yaitu sujud itu bersifat sunnah dan shalat nafilah itu juga bersifat sunnah sehingga sujud tersebut tidak menjadi ibadah tambahan dalam shalat nâfilah. [Lihat Hasyiyah ad-Dasuqi 1/310].

Ketiga: Tidak dimakruhkan secara mutlak. inilah pendapat madzhab Syafi’iyah (lihat al-Majmû’ 2/95) dan satu pendapat dalam madzhab Hanabilah (lihat al-Mughni 2/371) serta pendapat Ibnu Hazm [Lihat al-Muhalla 5/157].

Mereka berdalil dengan hadits Umar bin al-Khathab Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَجَدَ فِي صَلَاةِ الظُّهْرِ ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ فَرَأَوْا أَنَّهُ قَرَأَ تَنْزِيلَ السَّجْدَةَ

Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud dalam shalat Zhuhur kemudian bangkit lalu ruku’ lalu para Shahabat melihat Beliau membaca surat as-sajdah [HR. Abu Dawud dan didhaifkan al-Albani dalam al-Misykah no. 1031].

Mereka juga berdalil dengan tidak adanya dalil shahih yang menunjukkan sujud itu makruh.

Pendapat Yang Rajih:
Pendapat yang rajih menurut penulis adalah pendapat yang ketiga ini, karena tidak ada dalil shahih yang menunjukkan sujud itu makruh, sementara dasar atau alasan pendapat lain dalam menetapkan hukum makruhnya itu lemah. Karena tugas makmum hanya mengikuti imam. Jadi, jika imam melakukan sujud tilâwah, maka makmum hanya ikut saja dan ikut sujud. Alasannya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا

Sesungguhnya imam itu untuk diikuti. Jika imam bertakbir, maka bertakbirlah. Jika imam sujud, maka bersujudlah. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Begitu pula apabila seorang makmum tatkala berada jauh dari imam sehingga tidak bisa mendengar bacaannya atau makmum tersebut adalah seorang yang tuli, maka dia harus tetap sujud karena mengikuti imam. Pendapat inilah yang lebih tepat. Inilah pendapat yang juga dipilih oleh Ibnu Qudâmah. [Lihat al-Mughni, 3/104].

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah merajihkan pendapat yang membolehkannya dengan menyatakan, “Diperbolehkan imam membaca ayat sajdah dalam shalat siriyah dan sujud sebagaimana dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Syarhu Mumti’ 4/103].

CARA SUJUD TILAWAH.
Tata cara sujud tilawah dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Para ulama bersepakat bahwa sujud tilâwah cukup dengan sekali sujud.
2. Bentuk sujudnya sama dengan sujud dalam shalat.
3. Berdasarkan pendapat yang paling kuat, sujud tilâwah tidak disyari’atkan takbîratul ihrâm sebelumnya dan juga tidak disyari’atkan salam setelahnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Sujud tilâwah ketika membaca ayat sajdah tidak disyari’atkan takbîratul ihrâm, juga tidak disyari’atkan untuk salam. Inilah ajaran yang sudah ma’rûf dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , juga dianut oleh para Ulama salaf, dan inilah pendapat para imam yang telah masyhur.” [Majmû’ al-Fatâwa, 23/165]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t berkata, “Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan tidak adanya takbîr dan salam dalam sujud tilâwah kecuali apabila dalam keadaan shalat. [Syarhu Mumti’ 4/100]

4. Disyariatkan pula untuk bertakbir ketika hendak sujud dan bangkit dari sujud. Umumnya pada Ulama memandang pensyariatan takbir dalam sujud tilâwah apabila sujud tersebut dilakukan dalam shalat, tanpa membedakan antara turun sujud dan bangkit dari sujud. Mereka berdalil dengan hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكَبِّرُ فِي كُلِّ رَفْعٍ وَخَفْضٍ

Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir dalam setiap naik dan turun. [HR. Al-Bukhâri 1/191]

Imam an-Nawawi menukil salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’iyah yang menyatakan bahwa tidak takbir saat naik dan turun dalam sujud tilâwah dan beliau t menghukumi pendapat ini lemah dan menyelisihi yang benar. [Lihat al-Majmu’ 4/63].

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Telah shahih bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika sujud dan ketika bangkit dari sujud, sehingga sujud tilâwah masuk dalam keumuman ini. Adapun yang dilakukan sebagian imam masjid apabila sujud tilâwah dalam shalat, yaitu bertakbir apabila hendak sujud dan tidak bertakbir ketika bangkit dari sujud, maka ini dibangun diatas pemahaman keliru tanpa ilmu; karena ketika melihat sebagia Ulama memilih dalam sujud tilâwah bertakbir apabila hendak sujud dan tidak bertakbir ketika bangkit, menyangka bahwa itu berlaku dalam shalat dan di luar shalat dan tidak demikian yang benar. Yang benar, apabila melakukan sujud tilâwah dalam shalat maka ia bertakbir ketika sujud dan ketika bangkit sebagaimana telah lalu [Syarhu Mumti’ 4/100].

5. Mengangkat tangan dalam takbir tersebut.
Dalam masalah disyari’atkan angkat tangan atau tidak ketika hendak sujud, para Ulama berselisih dalam dua pendapat:

Pendapat Pertama : Tidak Disyariatkan Mengangkat Tangan.
Ini pendapat madzhab Hanafiyah (lihat al-Banâyah 2/734), madzhab Mâlikiyah (lihat asy-Syarhul ash-Shaghîr 1/569), madzhab Syâfiiyah (lihat Mughnil Muhtâj 1/217) dan satu riwayat dari imam Ahmad dan dirajihkan sebagian ulama Hanabilah [Lihat al-Mughni 2/361].

Pendapat ini berdalil dengan hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma yang berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ أَيْضًا وَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَكَانَ لَا يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السُّجُودِ

Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya sejajar kedua bahunya apabila memulai shalat dan apabila bertakbir untuk ruku’ dan ketika mengangkat kepalanya dari ruku’ demikian juga mengangkat kedua tangannya, seraya berkata: Sami’allahu liman hamidah rabbana wa lakal Hamdu. Beliau tidak melakukan hal itu dalam sujud. [HR al-Bukhari no.735].

Disini dijelaskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat tangannya dalam sujud dan sujud tilâwah termasuk sujud yang pernah Beliau lakukan dalam shalat.

Hal ini didukung dengan qiyâs (analogi) kepada sujud dalam shalat yang tanpa mengangkat kedua tangannya. [Lihat Mughnil Muhtâj 1/217].

Pendapat Kedua: Disunnahkan Mengangkat Tangan.
Inilah satu riwayat dari imam Ahmad dan menjadi pendapat madzhabnya. [Lihat al-Mughni 2/361]

Pendapat ini berdalil dengan hadits Wa’il bin Hujur Radhiyallahu anhu :

«أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانَ يُكَبِّرُ إِذَا خَفَضَ، وَإِذَا رَفَعَ، وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ عِنْدَ التَّكْبِيرِ، وَيُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ

Beliau shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau pun bertakbir ketika sujud dan ketika bangkit dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika bertakbi dan salam kekanan dan kekiri.” [HR. Ahmad dalam Musnad 4/316, Ad Darimi dalam sunannya 1/285, ath Thayâlisiy dalam Musnadnya no. 1805. dan dinilai Hasan oleh al-Albani dalam al-Irwâ’ no. 641]

Kemudian Imam Ahmad mengomentarinya dengan menyatakan: Ini (sujud tilawah) masuk dalam ini semua. [Lihat al-Mughni 2/361].

Pendapat Yang Rajih:
Pendapat pertama tampak lebih kuat karena qiyâs yang mereka sampaikan shahih. Sedangkan hadits Wail bin Hujur Radhiyallahu anhu tidaklah menunjukkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud dengan mengangkat tangannya dalam takbir sujud. Apalagi adanya riwayat ibnu Umar Radhiyallahu anhu yang jelas meniadakan angkat tangan dalam sujud.

6. Umumnya Ulama mensunahkan membaca dalam sujud tilâwah bacaan yang sudah ada dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , diantaranya:

1. Bacaan tasbih dan doa yang ada dalam sujud shalat seperti :

a). Membaca:

سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى

Maha Suci Allâh Yang Maha Tinggi,

Seperti yang diriwayatkan oleh Hudzaifah Radhiyallahu anhu, beliau menceritakan tata cara shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika sujud Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca:

سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى

Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi [HR. Muslim no. 772].

Juga karena hadits Uqbah bin ‘Amir al-Juhani Radhiyallahu anhu yang berkata:

فَلَمَّا نَزَلَتْ: {سَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى} [الأعلى: 1] قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: “اجْعَلُوهَا فِي سُجُودِكُمْ”

Ketika turun firman Allâh surat al-A’la ayat ke-1 maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami: Jadikanlah ini dalam sujud-sujud kalian. [HR Ibnu Mâjah dalam sunannya no 887. Hadits ini dilemahkan al-Albani dalam Dhaif Sunan Ibnu Mâjah dan di hasankan oleh Syu’aib al-Arnauth dalam ta’liqnya terhadap Sunan Ibnu Mâjah].

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan: Hadits ini mencakup sujud dalam shalat dan sujud tilâwah [Syarhu mumti’ ].

b). Membaca:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى

Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah memberikan alasan dengan dua dalil:

Pertama: Firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّمَا يُؤْمِنُ بِآيَاتِنَا الَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِهَا خَرُّوا سُجَّدًا وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ

Sesungguhnya orang yang benar benar percaya kepada ayat-ayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong. [as-Sajdah/32 : 15].

Kedua: Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a ketika ruku’ dan sujud:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي

Maha Suci Engkau, Ya Allâh, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku [HR. Al-Bukhâri no. 817 dan Muslim no. 484][Syarhu Mumti’].

2. Bacaan yang diriwayatkan oleh ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam sujud tilawah di malam hari, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca dalam sujud sajdahnya beberapa kali :

سَجَدَ وَجْهِى لِلَّذِى خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ

Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allâh Sebaik-baik Pencipta. [HR. Abu Dawud no. 1414 dan shahihkan al-Albani rahimahullah]

3. Bacaan yang diriwayatkan oleh ‘Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu anhu , beliau berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud membaca :

اللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ فَأَحْسَنَ صُوَرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ

Ya Allâh! Kepada-Mu aku bersujud, karena-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allâh Sebaik-baik Pencipta. [HR. Muslim no. 771]

4. Bacaan yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma . Beliau berkata, “Ada seseorang yang mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu ia berkata, “Wahai Rasûlullâh! Aku bermimpi shalat di belakang sebuah pohon. Tatkala aku bersujud, pohon tersebut juga ikut bersujud. Tatkala itu aku mendengar pohon tersebut mengucapkan:

اللَّهُمَّ اكْتُبْ لِي بِهَا عِنْدَكَ أَجْرًا، وَضَعْ عَنِّي بِهَا وِزْرًا، وَاجْعَلْهَا لِي عِنْدَكَ ذُخْرًا، وَتَقَبَّلْهَا مِنِّي كَمَا تَقَبَّلْتَهَا مِنْ عَبْدِكَ دَاوُدَ،

Ya Allah! Tetapkanlah pahala untukku disisi-Mu dengan bacaan ini dan gugurkanlah dosa-dosaku! Jadikanlah dia sebagai tabunganku dan terimalah dia sebagaimana Engkau menerimanya dari hamba-Mu Daud

Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat sajdah kemudian sujud. Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu pun berkata: Lalu aku mendengar beliau membaca seperti yang orang tersebut sampaikan dari perkataan pohon itu. [HR. Tirmidzi no. 576 dan dihasankan al-Albani rahimahullah].

Demikian beberapa masalah berkenaan dengan sujud tilawah dalam sholat. Semoga bermanfaat.

Wabillahittaufiq

Oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc

Read more https://almanhaj.or.id/4237-beberapa-hukum-seputar-sujud-tilawah-dalam-shalat.html

Baca Ayat Sajdah Sunahnya Sujud, Bagaimana Cara dan Doanya?

Sujud tilawah dilakukaan saat membaca ayat sajdah dalam Alquran.

Sujud tilawah di dalam shalat dilakukan tatkala imam membaca ayat-ayat sajdah. Jika imam melakukan sujud tilawah, maka makmum pun harus mengikuti. Sedangkan jika imam tidak sujud, maka makmum tidak boleh sujud sendiri.

Sedangkan sujud tilawah di luar shalat hanya disunahkan jika orang yang membaca ayat sajdah itu sujud. Apabila orang yang membaca ayat sajdah tidak sedang shalat, sementara yang mendengar sedang shalat, maka yang mendengarkan tidak dituntut untuk melakukan sujud tilawah. 

Hal demikian menurut pendapat Syafi’i, Maliki, dan Hanbali. Sementara Hanafi berpendapat, hendaknya bersujud tilawah apabila shalatnya selesai.  

Mengutip buku panduan “Shalat Lengkap dan Praktis Sesuai Petunjuk Rasulullah SAW” karya Abdul Kadir, disebutkan hadis dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda “Apabila manusia membaca ayat sajdah, kemudian dia sujud, menghindarlah setan dan dia menangis seraya berkata, ‘Hai celaka! Anak Adam disuruh sujud, lantas dia sujud maka baginya surga, dan saya disuruh sujud juga tetapi saya enggan, maka bagi saya neraka.” (HR Muslim).

Sementara itu, diriwayatkan juga dari Ibnu Umar, ”Sesungguhnya, Nabi SAW pernah membaca Al-Quran di depan kami. Ketika bacaanya sampai pada ayat sajdah, beliau bertakbir, lalu sujud, maka kami pun sujud Bersama-sama beliau.” (HR Tirmidzi).

Oleh sebab itu ada beberapa kondisi yang biasa dilakukan untuk membaca ayat-ayat sajdah, yaitu di dalam shalat dan di luar shalat. 

Masih dari buku yang sama, disebut bahwa tata cara pembacaan dalam shalat, ayat-ayat sajdah dibaca setelah pembacaan surah al-Fatihah, dan langsung bersujud tanpa melakukan ruku ataupun i’tidal terlebih dahulu, hingga akhirnya melanjutkan ke posisi berdiri dan melanjutkan bacaan dan shalat sebagaimana mestinya hingga selesai.

Sementara di luar shalat, ketika mendengar ayat-ayat sajdah dalam bacaan Alquran, kita bisa bersujud langsung dengan posisi sebagaimana sujudnya dalam shalat. 

Hal serupa juga disebutkan dalam buku “Bagaimana Rasulullah Mengajarkan Al-Quran Kepada Para Sahabat” karangan Abdusallam Muqbil. 

Bila Rasulullah membaca ayat sajdah, dan beliau sedang mengajarkan Alquran pada para sahabat, beliau akan sujud tilawah.

Diriwayatkan juga dari Ibnu Umar RA berkata, “Rasulullah SAW mengajarkan kami Alquran. Bila beliau membaca ayat sajdah, beliau sujud dan kami pun sujud Bersama beliau.” (HR Ahmad).  

Namun demikian, ada riwayat dari Zaid bin Tsabit yang mengatakan, “Aku membaca Alquran surah an-Najm di hadapan Nabi SAW, beliau tidak sujud pada ayat sajdah.” (HR al-Bukhari).

Oleh sebab itu, disebutkan bahwa tidak sujud tilawah pada saat mengajarkan Alquran, dikarenakan menyusahkan para pelajar dan juga gurunya karena banyaknya siswa.  

Lebih jauh, mengutip buku Fasholatan Lengkap: Tuntunan Shalat Lengkap, menyebutkan tata cara sujud tilawah ketika ayat sajdah dibacakan, di mana jika ayat telah dibaca kemudian bisa langsung sujud dengan baca takbir tanpa mengangkat kedua tangan.

Setelah sujud dan selesai membaca bacaan tilawah, gerakan kembali bangun disertai takbir dengan tangan yang tetap tak diangkat.

Secara umum, sujud tilawah sama dengan sujud wajib atau lainnya. Namun demikian, jumlah satu kali sujud tilawah tidak sama dengan sujud lainnya.

Sedangkan cara sujud tilawah di luar shalat, sama saja dengan syarat pada shalat, di mana harus suci dari hadast kecil ataupun besar, menutup aurat, menghadap kiblat dan jika telah masuk waktunya membaca ayat-ayat sajdah.

Lebih lanjut, jika surah yang dibaca terkandung ayat sajdah, maka sebaiknya melakukan sujud tilawah dengan membaca:

سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِفَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ

“Sajada wajhiya lilladzi khalaqahu washawwarahu wasyaqqa sam’ahu wabasharahu bihaulihi waquwwatihi fatabarakallahu ahsanul khaliqin. (Telah sujud wajhku kepada Dzat yang menciptakannya, yang menancapkan pendengaran dan penglihatan dengan daya dan kekuatannya. Mahasuci Allah sebaik-sebaik Pencipta.”

Seteleh melakukan sujud tilawah, bisa kembali meneruskan bacaan surah yang sedang dibaca. Secara umum, hukum sujud tilawah itu sunah dilakukan laki-laki maupun perempuan, baik yang mendengarkan ataupun yang membaca sendiri pada ayat sajdah, sekalipun tidak dalam posisi shalat.

KHAZANAH REPUBLIKA


Panduan Sujud Tilawah dan Sujud Syukur

Berikut ini akan disajikan panduan ringkas dari Sujud Tilawah dan Sujud Syukur. Semoga bermanfaat bagi pembaca Muslim.Or.Id sekalian.

Sujud Tilawah

Sujud tilawah adalah sujud yang disebabkan karena membaca atau mendengar ayat-ayat sajadah yang terdapat dalam Al Qur’an Al Karim.

Keutamaan Sujud Tilawah

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِى يَقُولُ يَا وَيْلَهُ – وَفِى رِوَايَةِ أَبِى كُرَيْبٍ يَا وَيْلِى – أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ فَأَبَيْتُ فَلِىَ النَّارُ

Jika anak Adam membaca ayat sajadah, lalu dia sujud, maka setan akan menjauhinya sambil menangis. Setan pun akan berkata-kata: “Celaka aku. Anak Adam disuruh sujud, dia pun bersujud, maka baginya surga. Sedangkan aku sendiri diperintahkan untuk sujud, namun aku enggan, sehingga aku pantas mendapatkan neraka.” (HR. Muslim no. 81)

Sujud Tilawah itu Sunnah

Para ulama sepakat (beijma’) bahwa sujud tilawah adalah amalan yang disyari’atkan. Di antara dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar, “Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca Al Qur’an yang di dalamnya terdapat ayat sajadah. Kemudian ketika itu beliau bersujud, kami pun ikut bersujud bersamanya sampai-sampai di antara kami tidak mendapati tempat karena posisi dahinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menurut jumhur (mayoritas) ulama yaitu Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i, Al Laitsi, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Daud dan Ibnu Hazm, juga pendapat sahabat Umar bin Al Khattab, Salman, Ibnu ‘Abbas, ‘Imron bin Hushain, mereka berpendapat bahwa sujud tilawah itu sunnah dan bukan wajib.

Dari Zaid bin Tsabit, beliau berkata, “Aku pernah membacakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam surat An Najm, (tatkala bertemu pada ayat sajadah dalam surat tersebut) beliau tidak bersujud.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bukhari membawakan riwayat ini pada Bab “Siapa yang membaca ayat sajadah, namun tidak bersujud.”

Tata Cara Sujud Tilawah

1- Para ulama bersepakat bahwa sujud tilawah cukup dengan sekali sujud.

2- Bentuk sujudnya sama dengan sujud dalam shalat.

3- Tidak disyari’atkan -berdasarkan pendapat yang paling kuat- untuk takbiratul ihram dan juga tidak disyari’atkan untuk salam.

4- Disyariatkan pula untuk bertakbir ketika hendak sujud dan bangkit dari sujud.

5- Lebih utama sujud tilawah dimulai dari keadaan berdiri, ketika sujud tilawah ingin dilaksanakan di luar shalat. Inilah pendapat yang dipilih oleh Hanabilah, sebagian ulama belakangan dari Hanafiyah, salah satu pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, dan juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Namun, jika seseorang melakukan sujud tilawah dari keadaan duduk, maka ini tidaklah mengapa. Bahkan Imam Syafi’i dan murid-muridnya mengatakan bahwa tidak ada dalil yang mensyaratkan bahwa sujud tilawah harus dimulai dari berdiri. Mereka mengatakan pula bahwa lebih baik meninggalkannya. (Shahih Fiqih Sunnah, 1/449)

Bacaan Ketika Sujud Tilawah

Bacaan ketika sujud tilawah sama seperti bacaan sujud ketika shalat. Ada beberapa bacaan yang bisa kita baca ketika sujud di antaranya:

  • Dari Hudzaifah, beliau menceritakan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika sujud beliau membaca: “Subhaana robbiyal a’laa” [Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi] (HR. Muslim no. 772)
  • Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a ketika ruku’ dan sujud: “Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy.” [Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku] (HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484)
  • Dari ‘Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud membaca: “Allahumma laka sajadtu, wa bika aamantu wa laka aslamtu, sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin.” [Ya Allah, kepada-Mu lah aku bersujud, karena-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta] (HR. Muslim no. 771)

Adapun bacaan yang biasa dibaca ketika sujud tilawah sebagaimana tersebar di berbagai buku dzikir dan do’a adalah berdasarkan hadits yang masih diperselisihkan keshohihannya.

Imam Ahmad bin Hambal -rahimahullah- mengatakan, “Adapun (ketika sujud tilawah), maka aku biasa membaca: Subhaana robbiyal a’laa” (Al Mughni).

Dan di antara bacaan sujud dalam shalat terdapat pula bacaan “Sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin”, sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Ali yang diriwayatkan oleh Muslim. Wallahu a’lam.

Sujud Tilawah Ketika Shalat

Dianjurkan bagi orang yang membaca ayat sajadah dalam shalat baik shalat wajib maupun shalat sunnah agar melakukan sujud tilawah. Inilah pendapat mayoritas ulama.

Dari Abu Rofi’, dia berkata bahwa dia shalat Isya’ (shalat ‘atamah) bersama Abu Hurairah, lalu beliau membaca “idzas samaa’unsyaqqot”, kemudian beliau sujud. Lalu Abu Rofi’ bertanya pada Abu Hurairah, “Apa ini?” Abu Hurairah pun menjawab, “Aku bersujud di belakang Abul Qosim (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ketika sampai pada ayat sajadah dalam surat tersebut.” Abu Rofi’ mengatakan, “Aku tidaklah pernah bersujud ketika membaca surat tersebut sampai aku menemukannya saat ini.” (HR. Bukhari no. 768 dan Muslim no. 578)

Ayat Sajadah dalam Al Qur’an

  1. Al A’rof ayat 206
  2. Ar Ro’du ayat 15
  3. An Nahl ayat 49-50
  4. Al Isro’ ayat 107-109
  5. Maryam ayat 58
  6. Al Hajj ayat 18
  7. Al Hajj ayat 77
  8. Al Furqon ayat 60
  9. An Naml ayat 25-26
  10. As Sajdah ayat 15
  11. Fushilat ayat 38 (menurut mayoritas ulama), QS. Fushilat ayat 37 (menurut Malikiyah)
  12. Shaad ayat 24
  13. An Najm ayat 62 (ayat terakhir)
  14. Al Insyiqaq ayat 20-21
  15. Al ‘Alaq ayat 19 (ayat terakhir)

Sujud Syukur

Sujud syukur adalah sujud yang dilakukan oleh seseorang ketika mendapatkan nikmat atau ketika selamat dari bencana.

Dalil disyari’atkannya sujud syukur adalah,

عَنْ أَبِى بَكْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ كَانَ إِذَا جَاءَهُ أَمْرُ سُرُورٍ أَوْ بُشِّرَ بِهِ خَرَّ سَاجِدًا شَاكِرًا لِلَّهِ.

Dari Abu Bakroh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ketika beliau mendapati hal yang menggembirakan atau dikabarkan berita gembira, beliau tersungkur untuk sujud pada Allah Ta’ala. (HR. Abu Daud no. 2774. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Juga dari hadits Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di mana ketika diberitahu bahwa taubat Ka’ab diterima, beliau pun tersungkur untuk bersujud (yaitu sujud syukur).

Hukum Sujud Syukur

Sujud syukur itu disunnahkan ketika ada sebabnya. Inilah pendapat ulama Syafi’iyah dan Hambali.

Sebab Adanya Sujud Syukur

Sujud syukur itu ada ketika mendapatkan nikmat yang besar. Contohnya adalah ketika seseorang baru dikarunia anak oleh Allah setelah dalam waktu yang lama menanti. Sujud syukur juga disyariatkan ketika selamat dari musibah seperti ketika sembuh dari sakit, menemukan barang yang hilang, atau diri dan hartanya selamat dari kebakaran atau dari tenggelam. Atau boleh jadi pula sujud syukur itu ada ketika seseorang melihat orang yang tertimpa musibah atau melihat ahli maksiat, ia bersyukur karena selamat dari hal-hal tersebut.

Ulama Syafi’iyah dan Hambali menegaskan bahwa sujud syukur disunnahkan ketika mendapatkan nikmat dan selamat dari musibah yang sifatnya khusus pada individu atau dialami oleh kebanyakan kaum muslimin seperti selamat dari musuh atau selamat dari wabah.

Bagaimana Jika Mendapatkan Nikmat yang Sifatnya Terus Menerus?

Ulama Syafi’iyah dan ulama Hambali berpendapat, “Tidak disyari’atkan (disunnahkan) untuk sujud syukur karena mendapatkan nikmat yang sifatnya terus menerus yang tidak pernah terputus.”

Karena tentu saja orang yang sehat akan mendapatkan nikmat bernafas, maka tidak perlu ada sujud syukur sehabis shalat. Nikmat tersebut didapati setiap saat selama nyawa masih dikandung badan. Lebih pantasnya sujud syukur dilakukan setiap kali bernafas. Namun tidak mungkin ada yang melakukannya.

Syarat Sujud Syukur

Sujud syukur tidak disyaratkan menghadap kiblat, juga tidak disyaratkan dalam keadaan suci karena sujud syukur bukanlah shalat. Namun hal-hal tadi hanyalah disunnahkan saja dan bukan syarat. Demikian pendapat yang dianut oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah yang menyelisihi pendapat ulama madzhab.

Tata Cara Sujud Syukur

Tata caranya adalah seperti sujud tilawah. Yaitu dengan sekali sujud. Ketika akan sujud hendaklah dalam keadaan suci, menghadap kiblat, lalu bertakbir, kemudian melakukan sekali sujud. Saat sujud, bacaan yang dibaca adalah seperti bacaan ketika sujud dalam shalat. Kemudian setelah itu bertakbir kembali dan mengangkat kepala. Setelah sujud tidak ada salam dan tidak ada tasyahud.

Semoga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

Selesai disusun di Panggang, Gunungkidul, 23 Jumadats Tsaniyyah 1436 H di sore hari ba’da Ashar

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, ST, MSc (Pengasuh Rumaysho.Com dan Pimred Muslim.Or.Id)

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/25259-panduan-sujud-tilawah-dan-sujud-syukur.html

Ayat Sajdah dalam Alquran, Bagaimana Cara Mengenalinya?

Ayat sajdah dalam Alquran terdapat pada 15 ayat dan surah yang berbeda.

Alquran menggambarkan keagungan Allah SWT sebagai Tuhan yang wajib disembah dan tidak ada yang patut disekutukan dengan-Nya. Bahkan, terdapat sejumlah ayat yang secara tegas memerintahkan untuk menyembah dan bersujud kepada Allah. Ayat-ayat demikian dinamakan dengan ‘ayat sajdah’.

Dalam mushaf Alquran, biasanya tertulis pada pinggiran musfah kata bahasa Arab “sajdah”. Ayat Sajdah adalah ayat-ayat Alquran yang menunjukkan perintah bersujud atau menceritakan orang-orang yang sujud dengan nuansa anjuran agar yang mendengar ayat tersebut mengikuti mereka. 

H Sakib Machmud dalam bukunya berjudul “Mutiara Juz ‘Amma” menyebutkan, bahwa orang yang membaca ayat sajdah ini disunahkan untuk melakukan sujud baik di dalam atau di luar shalat. 

Selain yang membaca, orang yang mendengar ayat sajdah pun disunahkan sujud, seperti sujud di waktu shalat sesudah i’tidal. Sujud karena bacaan ayat sajdah ini disebut dengan sujud tilawah.

Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila anak Adam membaca ayat sajdah kemudian dia sujud, maka setan akan menjauh sambil menangis dan berkata, “Oh celaka!” Dalam riwayat Abu Kuraib: “Oh, Celakanya aku. Anak Adam diperintahkan untuk sujud dan dia bersujud, maka dia mendapatkan surga. Sedangkan aku diperintahkan untuk sujud tetapi aku menolak, maka aku mendapatkan neraka.”

Menurut riwayat al-Bukhari, surah an-Najm adalah permulaan surat yang di dalamnya terdapat ayat sajdah. Sementara menurut riwayat Ibnu Ishaq, surat an-Najm adalah permulaan surat yang dibacakan Nabi Muhammad SAW dengan terang-terangan dan dinyaringkan bacaannya di hadapan orang ramai.  

Berdasarkan riwayat, ketika surah an-Najm telah diturunkan kepada Nabi SAW, suatu hari Nabi SAW membacakan seluruh surat itu di Masjid al-Haram, yang kebetulan didengarkan kaum Muslimin dan musyrikin.  

Kemudian, saat bacaan Nabi sampai di ayat yang terakhir, beliau bersujud. Ayat tersebut berbunyi: 

فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا 

“Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia).” (an-Najm:62)

Kaum Muslimin dan musyrikin yang ada di sana lantas bersujud mengikuti Nabi SAW. Kecuali, hanya seorang musyrik yang tidak ikut bersujud. 

Namun, dia mengambil segenggam tanah di tapak tangannya, lalu bersujudlah ia di atas tapak tangan itu. Menurut riwayat, nama seorang Musyrik itu adalah Umayyah bin Khalaf, seorang dari golongan pemuka musyrikin yang sangat memusuhi dakwah Nabi saw.

Dalam buku berjudul “Kelengkapan Tarik Nabi Muhammad Edisi Istimewa Jilid 6” disebutkan, bahwa kaum musyrik bersujud lantaran mereka tertarik akan ketajaman tata bahasa dan keindahan susunan kata yang baru dibaca Nabi SAW, dan bukanlah karena hendak mengikuti sujud Nabi. Sebab, kala itu, mereka belum mau beriman kepada ayat-ayat Allah.

Mengutip Jannah Firdaus Mediapro dalam bukunya berjudul “Risalah Tuntunan Fiqh Lengkap Kaum Wanita Muslimah Edisi Bahasa Indonesia” menyebutkan, bahwa ayat-ayat sajdah di dalam Alquran terdapat pada 15 tempat. Empat imam madzhab sepakat bahwa ayat sajdah ada 10 ayat  di antaranya: 

  1. إِنَّ الَّذِينَ عِنْدَ رَبِّكَ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيُسَبِّحُونَهُ وَلَهُ يَسْجُدُونَ (QS al-Araaf: 206) 
  2. وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَظِلَالُهُمْ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ  (QS ar-Ra’du: 15)  
  3. وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ دَابَّةٍ وَالْمَلَائِكَةُ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ (QS an-Nahl: 29) 
  4. قُلْ آمِنُوا بِهِ أَوْ لَا تُؤْمِنُوا ۚ إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا  (QS al-Isra’: 107)   
  5. (QS Maryam: 58) أُولَٰئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ مِنْ ذُرِّيَّةِ آدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِنْ ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا ۚ إِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَٰنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا 
  6. (QS al-Hajj: 18) أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ۖ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ ۗ وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ 
  7. وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اسْجُدُوا لِلرَّحْمَٰنِ قَالُوا وَمَا الرَّحْمَٰنُ أَنَسْجُدُ لِمَا تَأْمُرُنَا وَزَادَهُمْ نُفُورًا (QS al-Furqan: 60)
  8. أَلَّا يَسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي يُخْرِجُ الْخَبْءَ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُخْفُونَ وَمَا تُعْلِنُونَ (QS an-Naml: 25)
  9. إِنَّمَا يُؤْمِنُ بِآيَاتِنَا الَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِهَا خَرُّوا سُجَّدًا وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ (QS as-Sajdah: 15)
  10. وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ ۚ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ  (QS Fushilat 37)

Sementara itu Ibn Ishaaq bin Rahawaih berpendapat, jumlah ayat sajdah adalah 15, yakni 10 di atas ditambah lima ayat lain. Empat ayat yang termasuk ayat sajadah namun diperselisihkan, tetapi ada dalil shahih yang menjelaskannya. Ayat tersebut di antaranya: 

  • فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا (QS an-Najm 62)  
  • وَإِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْآنُ لَا يَسْجُدُونَ (QS al-Insyiqaq: 21) 
  • كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ (QS al-Alaq: 19)  
  • (QS Shad: 24) الَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَىٰ نِعَاجِهِ ۖ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ ۗ وَظَنَّ دَاوُودُ أَنَّمَا فَتَنَّاهُ فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَخَرَّ رَاكِعًا وَأَنَابَ       

Sementara 1 ayat yang masih diperselisihan dan tidak ada hadits marfu’ (hadis yang sampai pada Nabi SAW) yang menjelaskannya. Akan tetapi, banyak sahabat yang menganggap ayat ini sebagai ayat sajdah, yaitu:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ  (QS al-Hajj: 77) 

KHAZANAH REPUBLIKA


Meneladani Asma Allah al-Hakim dan al-Hakam

SAUDARAKU, kali ini kita akan mengkaji asma Allah al-Hakim, Allah yang Maha Bijaksana dan al-Hakam, Allah SWT yang memutuskan perkara. Al-Hakim dapat ditemukan di dalam surah al-Anam [3]: 18, “Dan Dialah Allah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” Dan dalam al-Baqarah[2]: 228, “Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Kebijaksanaan pasti berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Orang yang bijaksana biasanya luas sekali pengetahuannya. Kalau sedikit pengetahuannya, maka sulit menjadi bijaksana. Karena kata-kata bijak itu biasanya mengambil dari kata-kata terbaik dari yang baik. Jadi, kalau pengetahuan tentang kebaikannya sedikit, susah untuk mengambil kebaikan.

Dalam suarh an-Nisa[4]: 26 disebutkan, “dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Semakin kita memahami seseorang, memahami duduk perkara, memahami aturan, ilmu kita luas tentang aturan, serta ilmu kita lengkap tentang informasi dan data yang kita ketahui. Keputusan kita, Insya Allah akan paling baik.

Allah SWT tahu persis siapa kita, karena yang menciptakan kita adalah Allah. Yang mendesain kita adalah Allah. Bukan hanya hardware, tapi software-nya juga. Jadi perasaan-perasaan kita ini, Allah yang menciptakan.

Allah tahu keperluan kita karena Dia menciptakan keperluan kita, semuanya. Oleh Allah yang Maha Bijaksana diatur keinginannya juga. Sebagai contoh, tidak semua ingin punya mobil Ferrari. Saudara pasti belum ingin. Pertama, tidak tahu mobilnya. Yang kedua, juga tidak terbayang mau disimpan di mana, sedangkan rumah di gang. Sekali digas, bisa geger otak! Jadi begitulah, Allah Maha Bijaksana.

Nah, sekarang tentang al-Hakam. Dalam al-Anam[3]: 114, “maka patutkah aku mencari Hakim, selain kepada Allah? Dan Dialah Allah, Hakim sebaik-baiknya.” Jadi saudaraku sekalian, jangan takut dengan pengadilan dunia. Pengadilan dunia itu susah adil, benar?

Rasulullah saw bersabda, “Hakim itu ada tiga, dua di neraka dan satu di surga. Seorang hakim yang menghukumi secara tidak benar, padahal ia tahu mana yang benar. Maka, ia di neraka. Yang kedua hakim yang bodoh, lalu menghancurkan hak-hak manusia, maka ia di neraka. Yang ketiga hakim yang menghakimi, yang memutuskan dengan benar, maka ia masuk surga.”

Nah, saudara sekalian, hati-hati kalau saudara jadi hakim. Jangan sampai bisa kebeli oleh uang. Jangan kalah oleh tekanan. Karena keputusan itu akan berdampak, bagi dirinya sendiri dunia akhirat. Dia akan memikul sesuatu yang amat besar di akhirat nanti.

Hakim itu menjadi adil kalau, satu, memiliki fakta yang sangat lengkap tak terbantahkan, benar? Dan yang kedua, memang mengetahui hukum yang seadil-adilnya. Ada fakta, ada aturannya. Dan tiada yang paling mengetahui seseorang yang akan diadili selain Allah. Karena Allah Maha Tahu, Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Tahu isi hati, Maha Menyaksikan segala yang dilakukan, tidak ada yang tersembunyi lagi.

Nah, Allah Maha Tahu apa pun yang kita lakukan; yang terang-terangan, yang sembunyi-sembunyi. Yang rame-rame, yang sendiri-sendiri. Tidak bisa berkelit. Semuanya akan bersaksi. Nanti kita dengar bagaimana kulit ini bisa bersaksi, lihat surat Fushilat[41]: 22, “Dan kamu tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan, dan kulitmu terhadapmu. Tetapi, engkau mengira Allah tidak mengetahui banyak tentang apa yang kamu lakukan.”

Rasulullah pun menunjukan kebijaksanaan dalam mengambil sikap. Salah satu contoh bijaksananya Rasulullah terlihat dalam sebuah riwayat. Ada seorang yang menamai dirinya Abul Hakam. Karena al-Hakam itu nama Allah, jadi tidak boleh menamainya dengan nama bapak Hakam. Tapi Rasul tidak marah, ketika ada orang datang yang bernama Abul Hakam.

“Sesungguhnya Allah adalah al-Hakam dan hukum segalanya kepada-Nya dikembalikan. Mengapa kamu mempunyai nama kunyah, nama panggilan Abul Hakam?” begitu Rasulullah bertanya kepadanya. Dia menjawab, “Ketika kaumku berselisih, mereka datang kepadaku. Lalu aku mengambil keputusan yang membuat kedua belah pihak rida.” Lalu

Rasulullah memuji, “Alangkah bagusnya hal ini, sebutkan saja, siapa nama anak-anakmua?” Ia menjawab, “Suraih, Muslim, dan Abdullah.” Beliau bertanya, “Siapa di antara mereka yang paling tua?” Ia menjawab, “Suraih.” Lalu beliau bersabda, “Kalau begitu, engkau adalah Abu Suraih.” (HR. Abu Dawud, Nasai, dan Imam Bukhari dalam kitab al-Adab)

Jadi, jangan menghakimi orang karena perbedaan. Jangan mudah memvonis orang, tanpa ilmu yang luas, tanpa mengendalikan emosi, tanpa niat yang lurus, tapi posisinya kita berkhidmat, melayani terus, karena Allah yang Maha Adil juga menutupi aib kita.

Kalau melihat orang yang bodoh, kurang ilmu, mereka lagi ditipu untuk kurang belajar. Semangat kita adalah memberi tahu. Kalau melihat orang yang berbuat maksiat. Kita harus merasa dia sedang diculik. Kita bantu supaya dia tahu dosanya, bisa tobat, bisa kembali ke jalan yang benar. Itulah semangat yang hendaknya ditanamkan, agar kita tidak menghakimi orang dengan kebodohan dan nafsu semata.

Kalau kita bikin salah, maunya diapain oleh orang lain? Dimaafkan atau dimaki-maki? Mau diungkit-ungkit atau ditutupi? Mau dimaafkan sesudah minta maaf, atau sesebelum minta maaf? Perlu disebut-sebut gak kesalahan kita? Kalau kita ingin seperti itu kepada orang lain, kita perlakukan orang lain juga seperti itu. Maafkan sebelum meminta maaf, jangan suka diungkit-ungkit, dan jangan suka dipepet-pepet. Mau tidak didoakan oleh orang lain? Nah, kita juga mendoakan orang. Itulah sikap bijaksana. Insya Allah kembali kepada kita. [*]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

INILAH MOZAIK

Ikhlas, Kunci Diterimanya Amal

SAUDARAKU, apa yang paling berbahaya dalam hidup? Itu adalah amal kita yang tidak diterima oleh Allah. Seorang ulama mengatakan, baiknya hati tergantung baiknya amal. Baiknya amal tergantung keikhlasan.

Mengapa banyak orang yang beramal kelihatannya, tapi hatinya tidak begitu baik? Dia salat, dia saum, dan dia sedekah, tapi tetap sombong, dengki, dan ujub. Dia baca Quran, dia banyak amalnya, dia menolong orang, dan dia dakwah. Tapi kenapa hatinya tidak berubah?

Penyebabnya adalah niatnya yang bisa merusak amal. Amal merusak hati. Jadi diterimanya amal itu, sebelum ittiba’ kepada Rasulullah, adalah ikhlas. “Sesungguhnya amal itu tergantung niat….”(HR. Bukhari dan Muslim)

Menjadi hal yang luar biasa pentingnya bagi kita untuk sangat serius berpikir tentang keikhlasan. Karena kita banyak ilmu belum tentu jadi amal. Sudah banyak amal tapi tidak membersihkan hati. Apa sebabnya? Niatnya.

Mengapa belajar susah menempel ilmu? Karena niatnya. Dan Allah tahu persis. Hati kita tidak bisa dibohongi. “Dan rahasiakanlah perkataanmu dan nyatakanlah, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS.al-Mulk [67]: 13)

“Dan sunggguh Kami telah menciptakan manusia. Dan mengetahui apa yang dibisikan dalam hatinya. Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. Ingatlah ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya. Yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri. Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap mencatat.” (QS. Qaaf [50]: 16)

Jadi, yang terpenting di antara yang penting adalah benar-benar paham ilmu ikhlas. Lalu, kita bermujahadah ikhlas. Kita kadang sibuk beramal, tapi kita tidak sibuk memperhatikan niat kita.

Kalau ingin tahu apa yang akan dimujahadahkan dalan hidup kita sekarang? Itu adalah belajar ikhlas. Ikhlas itu dalam amal. Ada niat untuk amal. Misalkan, niat salat tahiyatul masjid, niat salat subuh dua rakaat, yang membedakan niat. Tapi niatnya beramal harus lillahitaala.

Hebatnya keikhlasan

Sekarang siapa yang paling menipu kita? Siapa musuh kita? Inna syaiton lawum aduwum; sesungguhnya setan adalah musuhmu. Kita tidak bisa melihat setan. Tapi setan bisa melihat kita. Kita banyak urusan. Tapi setan tidak banyak urusan, selain menipu kita dengan fokus. Kita lawan dia, tidak ada teman, karena temen juga lagi ditipu. Sedang dia keroyokan. Level mana pun dia punya tim. Tim tipu-tipu.

Kita hafal Quran, dia akan mengeluarkan tim yang hafal Quran untuk menipu kita. Kita belajar agama memakai dalil. Setan juga memakai dalil untuk melumpuhkan kita, tapi setan tidak mempan, lawan siapa?

Allah SWT berfirman,”Iblis menjawab, demi kemulian-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih (hamba-Mu yang ikhlas) di antara mereka.”(QS. Shad [38]: 82-83)

Wama umiru illa liyabudullaha mukhlisina lahuddin. Allah tidak memerintahkan kita mengabdi kepada Allah, kecuali dengan khalis; murni. Tapi, sekarang yang mengambil posisi Allah di hati kita tiada lain makhluk. Makhluk mana yang dominan? Manusia. Jadi rahasianya ikhlas adalah putus harapan dari manusia.

Latihan pertama sekarang, tidak usah ingin dipuji. Apa untungnya ingin dipuji orang? Selanjutnya jangan ingin dikagumi. Ingin dikagumi ini lebih berat lagi, karena kekaguman itu dengan kekhususan. Kemampuan khusus. Banyak orang hidup demi kekaguman.

Apa lagi yang membuat tidak ikhlas? Senang dengan apa yang ada di tangan orang lain. Uang harta, jabatan, dan pemberian. Itu membuat kita hina. Jangan lakukan demi orang memberi sesuatu kepada kita, baik ucapan terima kasih, pengharapan, kekaguman, maupun kedudukan di sisi orang.

Tanya, saya mencari apa di hadapan makhluk ini? Mulailah kita tanya, apakah ini yang saya cari dalam hidup saya? Terus kalau orang suka, orang kagum ke kita, mau apa? Sedangkan yang membagi pahala adalah Allah, sedang yang menentukan surga dan neraka adalah Allah. Siapa dia, mengapa kita menuhankan penilaian orang? Mengapa kita ingin dikagumi, mau apa?

Wah, kalau gitu kita jadi tidak berbuat apa-apa? Berbuatlah apa-apa, bahkan lebih hebat. Karena kita berbuat bukan demi penilaian orang. Orang yang sibuk demi penilaian orang tidak akan menikmati amalnya. Dia tidak akan istiqamah.

Ali bin Ali Thalib berkata, “Semua kepahitan sudah kurasakan, dan tidak ada yang lebih pahit daripada berharap kepada manusia.” Makin berharap, makin pedih. Ayo latihan, jangan berharap kepada makhluk. [*]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

INILAH MOZAIK

Kondisi Madinah Sebelum Kedatangan Nabi Muhammad

Nabi Muhammad mengganti nama Yastrib dengan Madinah.

Sebelum bergulirnya waktu mengantarkan Madinah dengan kejayaan Islamnya, sejarah panjang membungkus Kota Nabi tersebut. Dalam buku al-Madinah al-Munawwarah fi al- Tarikh: Dirasah Syamilah karya Abdussalam Hasyim Hafidz, Kota Madinah sebelum Islam diisi oleh penduduk yang berasal dari tragedi yang menimpa pada masa Nabi Nuh AS. Diceritakan bahwa sebagian umat Nabi Nuh itu tenggelam terbawa banjir besar, termasuk putra Nabi Nuh, Kan’an.

Sebagian yang selamat ikut serta dalam bahtera kapal Nabi Nuh selama 1 tahun 10 hari. Setelah selamat, terdapat salah seorang pengikut Nabi Nuh bernama Yatsrib bin Qaniyah bin Mahlail melancong ke sebuah tempat. Kejadian ini bertepat pada tahun 2600 SM dan nama tempat yang dilanconginya itu pun dikenal dengan nama Yatsrib.

Dinamai Yatsrib karena merujuk pada orang pertama yang mendatangi tempat tersebut. Yatsrib kemudian dikenal sebagai nama kota yang pada zaman hijrah Rasulullah diganti namanya menjadi Madinah.  Kendati demikian, nama Yatsrib yang diabadikan menjadi sebuah kota semakin populer dan dikenal banyak orang-orang Arab pada masa itu maupun masa seterusnya.

Selain para pengikut Nabi Nuh, Kota Madinah sebelum Islam juga pernah diisi sejumlah kekuatan politik, salah satunya dari Dinasti Amalekit. Meski kekuasaan dinasti ini berpusat di Mesir, mereka sesungguhnya mempunyai kekuatan yang tersebar di berbagai wilayah Arab lainnya, antara lain Suriah, Yaman, Makkah, dan juga Yatsrib.

Kekuasaan Dinasti Amalekit ini mendiami Kota Yatsrib setelah pengikut Nabi Nuh bermigrasi ke Juhfah. Adapun para klan dari Dinasti Amalekit yang mendiami Yatsrib antara lain bani Sa’ad, bani Haf, bani Mathar, bani al-Azraq, hingga bani Ghaffar. Dinasti Amalekit yang memiliki kultur dan corak kebudayaan Mesir yang kental turut sedikit banyak memengaruhi kebudayaan Kota Yatsrib.

Sejumlah sejarawan mengatakan, nama Yatsrib sendiri merupakan serapan dari bahasa Mesir kuno, yakni Etropis. Nama Yatsrib juga sering diidentikan dengan nama Theba. Namun, argumen tersebut ditolak dengan kuat karena sebelum Dinasti Amalekit datang, terdapat pengikut Nabi Nuh yang lebih dulu tinggal di sana. Ini pun diperkuat dengan adanya salah se orang pengikut yang bernama Yatsrib.

Dalam kesehariannya, kaum Amalekit di Yatsrib digambarkan gemar bercocok tanam, membangun rumah, dan membangun bentengbenteng pertahanan. Adapun bahasa yang digunakan oleh mereka adalah bahasa Arab badui dengan dialek al- Mudhdhari.

Dinasti Amalekit menduduki wilayah Yatsrib dalam masa yang cukup lama, yakni hingga tahun kedua Masehi. Hingga akhirnya pada zaman Nabi Musa AS, kekuasaan Dinasti Amalekit berakhir dan digantikan oleh para pengikut Nabi Musa, yaitu kaum Yahudi.

Eksistensi Nabi Musa dan kaum Yahudi selain di Mesir juga merambah ke wilayah Arab lainnya. Selain Yatsrib, wilayah lainnya yang ikut dirambah adalah Palestina. Menurut Yasin Ghadhbar pada 1994, adapun kaum Yahudi yang dimaksud adalah semua yang memeluk ajaran Nabi Musa, termasuk di dalamnya bani Israil yang merupakan anak-anak keturunan Nabi Yakub.

Kendati demikian, dalam sejarahnya, pada tahun pertama hingga kedua Masehi itu juga, kaum Yahudi dari sejumlah wilayah Arab, seperti Mesir, Suriah, hingga Palestina, bermigrasi ke Yatsrib guna menghindari dominasi Kerajaan Romawi.

Beberapa klan dari kaum Yahudi yang bermigrasi ke Kota Yatsrib yakni bani Qaynuqa, bani Nadhir, bani Quraydha, dan bani Yahdal. Hingga tahun 70 Masehi, orang-orang Yahudi yang menetap di Yatsrib merupakan gabungan antara pengikut Nabi Musa yang telah mengalahkan Dinasti Amalekit dan orang-orang Yahudi yang eksodus dari Palestina.

Menariknya, meski bahasa ibu kaum Yahudi ini adalah bahasa Ibrani, mereka memelajari dan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa seharihari di Yatsrib. Dalam tesis Philip K Hitty yang kemudian dibukukan dengan judul The History of Arabs, Arab bukanlah entitas agama tertentu. Arab adalah entitas kebudayaan yang mana mereka dipersatukan oleh bahasa, agama, dan tidak hanya oleh agama. Dengan demikian, Arab bukanlah monopoli agama tertentu.

Selain kaum Yahudi, suku Arab dari kaum Aws dan Khazraj juga datang ke Yatsrib. Hal ini dilatarbelakangi peristiwa banjir besar di Yaman. Dalam perjalanan sejarahnya, Kota Madinah sebelum Islam diwarnai oleh beragam perbedaan budaya dan agama.

Pada masa Rasulullah, perbedaan itu disatukan dalam sebuah perjanjian bernama Piagam Madinah yang menjamin kebebasan tersebut.

KHAZANAH REPUBLIKA

Kepribadian Nabi Muhammad Salah Satu Mukjizat Alquran

Kepribadian Nabi Muhammad tak sebanding dengan manusia manapun.

Salah satu bukti mukjizat Alquran adalah kepribadian Nabi Muhammad SAW. Betapa tidak? Manusia paling sempurna yang Allah ciptakan itu merupakan figur yang tak pernah sebanding dengan manusia manapun yang pernah ada.

Prof Quraish Shihab dalam bukunya berjudul Mukjizat Alquran menjabarkan, terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan guna mempermudah bukti-bukti kemukjizatan Alquran. Yakni melalui kepribadian Rasulullah SAW, memahami kondisi masyarakat pada saat turunnya Alquran, dan cara Alquran diturunkan.

Membuktikan kebenaran seorang nabi tidak harus melalui mukjizat yang dipaparkannya, tapi juga dapat dibuktikan dengan mengenal kepribadian, keseharian, akhlak, hingga air mukanya. Imam Al-Ghazali dalam konteks ini menekankan bahwa apabila seseorang merasa ragu seseorang itu nabi atau bukan, tidak mungkin keraguan itu berubah menjadi keyakinan, kecuali seseorang tersebut telah mengetahui keadaannya.

Baik dengan cara melihat langsung atau mendengar beritanya melalui sejumlah orang yang menurut adat, mereka mustahil melakukan kebohongan. Nabi Muhammad dikenal baik dari sikap, tutur, hingga penyampaian orang yang mengenalnya sebagai pribadi yang sangat baik.

Apakah Rasulullah merupakan sosok yang gila kedudukan? Menghalalkan segala cara untuk mencapai suatu tujuan? Atau apakah Rasulullah mengaku tahu segala hal?

Sangat populer bagaimana tawaran tokoh-tokoh kaum musyrikin Makkah kepada Rasul. Rasulullah diiming-imingi harta, kedudukan, wanita dengan syarat bersedia menghentikan dakwahnya. Namun semua itu ditolak beliau.

Bahkan ketika menjawab tantangan itu, dalam hadis shahih Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Walau matahari diletakkan di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, tidak akan kutinggalkan miskinku sampai berhasil aku gugur mempertahankannya,”.

Kepribadian Rasul dikatakan mukjizat karena sejatinya sifat kenabian itu menyatu dalam sebuah raga manusia. Manusia yang nampak seperti manusia pada umumnya. Sikap seperti manusia biasa ini pun pernah terekam dalam hadis shahih.

Kala itu, Rasulullah mendengar seorang wanita dari penduduk Madinah bernama Ummu Ala berbicara. Dia berbicara di saat kematian sahabat Rasulullah bernama Utsman bin Mazh’un. Ummu Ala berkata: “Berbahagialah engkau, wahai Abu As-Saib (gelar Utsman bin Mazh’un). Kesaksianku atasmu adalah bahwa Allah telah menganugerahimu surga,”.

Mendengar hal ini, Rasulullah pun berkomentar: “Dari mana kah Anda tahu bahwa Allah memberinya anugerah (surga)?”. Lalu Ummu Ala pun menjawab: “Demi Tuhan, wahai Rasulullah, siapa lagi yang dianugerahkan Allah kalau bukan yang semacamnya?”

Mendengar hal itu, Rasul pun menjawab: “Memang telah datang kepadanya kematian, dan aku akan mengharap kebaikan untuknya. Tetapi demi Allah, aku sendiri pun tidak tahu meski aku adalah pesuruh Allah bagaimana aku diperlakukan kelak,”. Hadis ini merupakan hadis shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dan An-Nasa’i.

Senada dengan hadis tersebut, Alquran juga menegaskan hal yang serupa. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Ahqaf ayat 9 berbunyi: “Qul ma kuntu bid’an mina-rusuli wa ma adri ma yuf’alu-biy wa la bikum, in attabi’u illa ma yuha ilayya wa ma ana illa nadzirun mubin,”. Yang artinya: “Katakanlah (wahai Muhammad), bahwa aku (Muhammad) bukanlah orang pertama dari rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan dilakukan terhadapku. Aku tidak lain kecuali mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku, dan aku tidak lain kecuali seorang pemberi peringatan yang jelas,”.

Untuk itulah, siapapun yang mempelajari sejarah hidup Nabi Muhammad SAW dan mengetahui keseharian serta kesederhanannya, pastilah dia tak akan menafikan segala macam tuduhan negatif yang ditujukan kepadanya. Meski secara fisik dan naluri, Rasulullah sama dengan manusia biasa, tetapi dalam kepribadian dan mentalnya, beliau bukanlah manusia biasa. 

KHAZANAH REPUBLIKA