Begini Gambaran Saat Nyawa Dicabut Menurut Imam Ghazali

Imam Ghazali menggambarkan nyawa dicabut dalam mahakaryanya.

Siapakah yang ingin mengetahui besarnya penderitaan saat sakaratul maut. Pedihnya tidak dapat diketahui dengan sebenarnya kecuali oleh orang yang telah merasakannya. Kita pada saatnya nanti akan merasakan kepedihan itu.

Maka, saksikanlah bagaimana penuturan sang Hujjatul Islam Imam Ghazali mengenai kala ajal menjelang dalam Ihya Ulumiddin. Sang Imam menyebut sakaratul maut hanya akan dialami makhluk yang memiliki ruh. Ruhlah yang sejatinya merasakan kepedihan sakaratul maut.

Jika badan seseorang terimpa luka, bekas kepedihan fisik itu akan menjalar sampai ke ruh. Jika ia terbakar, rasa sakit yang dialami badan akan terasa jua oleh ruh.

Saat kepedihan pencabut nyawa menyerang ruh, rasanya akan menenggelamkan semuanya. Ruhlah yang ditarik dari badan. Dicerabut dari tiap urat badan, ditarik perlahan dari urat saraf, dari sendi-sendi, dari pokok setiap rambut dan kulit dari ujung kepala hingga tapak kaki. Tergambar betapa menyakitkannya.

Manusia pada hari itu benar-benar kepayahan. Seorang penyair pernah berkata tentang sakaratul maut. “Sungguh kematian itu lebih sakit daripada pukulan dengan pedang, gergajian dengan gergaji, dan guntingan dengan gunting.”

Sakit fisik hanya akan terasa jika ada ruh di dalamnya. Sebab, rasa sakit pada fisik sejatinya dirasakan oleh ruh. Lalu, apa jadinya jika ruh itu sendiri yang dicabut?

Sang Imam melanjutkan, akal manusia pada saat itu benar-benar kacau balau. Lisan telah dibisukan, tak sanggup berkata apa-apa tanpa pertolongan Allah SWT. Semua anggota badan telah dilemahkan. Tak ada upaya dan usaha kecuali hanya dari Allah SWT. Persis seperti dzikir yang kita sebut setiap saat.

Jika saja ia mampu berteriak, ia akan berteriak karena rasa sakitnya. Namun, ia tidak sanggup. Jika tersisa kekuatan pada seseorang yang dicabut nyawanya, tentu ia akan mengerahkan semua kekuatan untuk menahan rasa sakit.

Kepedihan itu makin dalam menuju dua biji mata naik terus ke pelupuk mata. Kedua bibir sudah mengerut seperti asalnya. Anak jemarinya berubah menjadi kehijau-hijauan. Jika satu urat saja ditarik, sakitnya pun akan luar biasa. Apalagi, ruh diangkat dari setiap inci urat tanpa kecuali.

Lalu, setiap anggota badan dari seluruh anggota badan mati secara bertahap. Dinginlah kedua tapak kakinya, lalu ke betisnya, kemudian menjalar ke pahanya. Dari setiap badan, ada anggota yang sekarat tahap demi tahap hingga mencapai kerongkongannya.

Jika sudah seperti ini, terputuslah pandangannya pada dunia dan ditutup baginya pintu taubat. Rasulullah SAW bersabda, “Diterima taubat seorang hamba selama belum sekarat.” (HR Tirmidzi).

Maka, lihatlah kesaksian Ummul Mukminin Aisyah RA yang menemani Rasulullah SAW hingga saat-saat terakhirnya. Beliau berkata, “Tidaklah aku iri hari kepada seseorang yang Allah memudahkan atas kematiannya sesudah yang aku lihat dari kesulitan wafatnya Rasulullah SAW.”

Duhai, betapa berat dan pedihnya sakaratul maut itu. Syaddad bin Aus pernah berkata soal kematian. “Kematian adalah huru-hara yang paling buruk di dunia. Ia lebih sakit dibanding digergaji dengan gergaji atau direbus dalam periuk.”

Maka, benarlah jika kematian yang tiba-tiba itu sejatinya sebuah kenikmatan. Rasulullah SAW bersabda, “Kematian secara tiba-tiba adalah kesenangan bagi orang mukmin dan penyesalan atas orang yang berbuat maksiat.” (HR Ahmad).

Tidak ada yang lebih baik dibandingkan menyambut kepedihan sakaratul maut dengan terus tegap di atas iman. Kita tak pernah lagi tahu kapankah sakaratul maut itu akan bertamu. Kepedihan apa yang akan menghadap.

Seorang mukmin sejati hakikatnya adalah mereka yang bahagia dengan perjuampaan dengan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang menyukai perjuampaan dengan Allah, niscaya Allah menyukai perjuampaan dengannya, dan siapa saja yang tidak menyukai perjuampaan dengan Allah, niscaya Allah tidak menyukai perjumpaan dengannya.”

Lalu, para sahabat berkata, “Kami semua tidak menyukai kematian.” Beliau SAW bersabda, “Sesungguhnya orang mukmin jika dilapangkan baginya sesuatu, niscaya ia akan menyukai perjumpaan dengan Allah dan Allah akan menyukai perjumpaan dengannya.” (HR Bukhari Muslim).

Tiap kita pun pantas terus berdoa agar detik-detik sakaratul maut kita akan berakhir dengan husnulkhatimah. Sebuah cara yang paling indah untuk memulai perjuampaan dengan Zat yang menciptakan kita dari tanah, lalu memberikan amanah besar untuk mengurus dunia ini.   

KHAZANAH REPUBLIKA


Apakah Emas dan Perak di Zaman Ini Sudah Bukan Benda Ribawi?

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa emas dan perak adalah termasuk benda ribawi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الذهب بالذهب، والفضة بالفضة، والبر بالبر، والشعير بالشعير، والتمر بالتمر، والملح بالملح، مثلا بمثل، سواء بسواء، يدا بيد، فإذا اختلفت هذه الأصناف فبيعوا كيف شئتم إذا كان يدا بيد.

“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr (jenis gandum) dengan burr, sya’ir (jenis gandum) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, takarannya/timbangannya harus sama dan harus dibayar tunai (kontan). Jika berbeda jenisnya, maka juallah sesuai dengan yang engkau kehendaki selama dilakukan dengan tunai.” [Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1587).]

Akan tetapi, para ulama’ berbeda pendapat apa ‘illah riba dari emas dan perak, yakni apa yang menyebabkan emas dan perak dikategorikan sebagai benda ribawi?

Pendapat pertama

‘Illah-nya adalah karena emas dan perak itu ditimbang. Jika kita menguatkan pendapat ini, maka semua benda yang ditimbang ketika diperjualbelikan juga adalah benda ribawi, seperti besi, daging, gula, dll. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiy dan Hanbaliy.

Pendapat kedua

‘Illah-nya adalah karena emas dan perak adalah logam mulia yang digunakan sebagai mata uang. Oleh karena itu, menurut pendapat ini, hanya emas dan perak yang merupakan benda ribawi, sedangkan uang kertas tidak. Ini adalah pendapat Imam Malik dalam pendapat yang masyhur dari beliau, Imam Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Pendapat ketiga

‘Illah-nya adalah karena emas dan perak adalah mata uang. Oleh karena itu, seluruh benda yang digunakan sebagai mata uang merupakan benda ribawi, termasuk uang kertas dan uang logam yang kita miliki sekarang. Ini adalah pendapat terakhir Imam Malik dan salah satu pendapat di madzhab Hanbali.

Pendapat yang terkuat adalah pendapat terakhir. Syaikh Muhammad ibn Shalih al-’Utsaimin rahimahullah berkata,

قال بعض العلماء: إن العلة في الذهب والفضة هي الثمنية، أي أنها تستعمل في البيع والشراء وإنها ثمن الأشياء، فكل ما كان ثمنا للأشياء ولو لم يكن ذهبا أو فضة فإنه يجري فيه الربا، فالأوراق النقدية فيها الربا لأنها ثمن الأشياء، وكذلك لو قدر أن الدولة وضعت نقودها من الخشب فإنه يجري فيها الربا لأنها ثمنية.

“Sebagian ulama’ berkata: Sesungguhnya ‘illah pada emas dan perak adalah mata uang, yaitu bahwa ia digunakan dalam jual-beli dan ia adalah alat tukar. Maka semua yang merupakan alat tukar walaupun bukan emas dan perak adalah benda ribawi. Sehingga uang kertas adalah benda ribawi karena ia adalah alat tukar. Demikian pula jika diasumsikan bahwa negara menjadikan mata uangnya dari kayu, maka ia adalah benda ribawi karena ia berfungsi sebagai alat tukar.” [Mudzakkirah Fiqh, karya al-’Utsaimin (2 / 312)]

Akan tetapi, emas dan perak di zaman ini tidak lagi digunakan sebagai alat tukar, akan tetapi lebih berfungsi sebagai komoditas perhiasan. Jika kita mengatakan bahwa alasan yang menyebabkan emas dan perak menjadi benda ribawi adalah karena ia digunakan sebagai alat tukar ketika transaksi jual-beli, maka apakah di zaman ini emas dan perak sudah bukan lagi benda ribawi?

Sebagian ulama’ berpendapat bahwa ketika emas dan perak adalah dalam bentuk perhiasan dan bukan sebagai alat tukar, maka tidak berlaku lagi hukum riba baginya. Dewan Syariah Nasional MUI dalam fatwanya no. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang jual-beli emas secara tidak tunai, setelah menimbang dan menukil banyak pendapat para ulama’ dalam masalah ini, memilih pendapat bahwa emas dan perak di zaman ini bukanlah benda ribawi, sehingga boleh bagi kita untuk melakukan jual-beli emas secara tidak tunai.

Akan tetapi, penulis lebih condong pada pendapat yang mengatakan bahwa emas dan perak di zaman ini tetap merupakan benda ribawi walaupun sudah tidak digunakan lagi sebagai alat tukar, mengingat sebuah kaidah fikih,

إن العلة المستنبطة إذا عادت إلى النص بالإبطال وجب إلغاء حكمها أو تأثيرها.

“Sesungguhnya ‘illah yang diperoleh dengan cara istinbath, jika kemudian kembali pada nash dan bertentangan dengannya, maka wajib untuk meniadakan hukumnya atau pengaruhnya.”

Ketika kita mengatakan bahwa ‘illah riba dari emas dan perak adalah karena ia digunakan sebagai alat tukar, maka ‘illah ini adalah hasil istinbath para ulama’ dari dalil-dalil. Jika kemudian di zaman ini emas dan perak bukan lagi berfungsi sebagai alat tukar sehingga kita katakan bahwa emas dan perak bukan lagi benda ribawi, yang konsekuensinya adalah boleh bagi kita untuk melakukan jual-beli emas dan perak secara tidak tunai, maka kesimpulan hukum ini telah bertentangan dengan dalil asal istinbath itu sendiri, yaitu hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah kita bawakan di atas. Tidak mungkin bagi kita untuk mendahulukan kesimpulan hasil istinbath daripada pernyataan dalil itu sendiri.

Dengan demikian, kita simpulkan bahwa dalam masalah ini pendapat yang kami lebih condong kepadanya adalah bahwa emas dan perak di zaman ini tetap merupakan benda ribawi, walaupun tidak lagi digunakan sebagai alat tukar dalam transaksi jual-beli.

@almaaduuriy / andylatief.net

Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55814-apakah-emas-dan-perak-di-zaman-ini-sudah-bukan-benda-ribawiy.html

Sambut Ramadan Dengan Kesiapan Lahir dan Batin

Ramadhan tahun ini bisa terjadi saat pandemi virus corona.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengajak umat Muslim Indonesia untuk mempersiapkan diri secara lahir dan batin dalam menyongsong bulan suci Ramadhan 1441 Hijriah. Sebab Ramadhan tahun ini tiba saat terjadi pandemi wabah virus corona atau Covid-19.

“Mari menyongsong Ramadhan dengan kesiapan lahir dan batin, fisik dan juga mental serta pemahaman baru, kebiasaan baru ibadah di tengah pandemi Covid-19,” kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Asrorun Niam Sholeh melalui pesan tertulis kepada Republika, Senin (13/4).

KH Asrorun mengatakan, situasi dan kondisi baru menuntut pemahaman baru dan juga cara-cara baru, tetapi masih di dalam koridor syariah Islam. MUI juga menimbau agar dalam pelaksanaan ibadah selama Ramadhan di tengah kondisi bangsa seperti ini dapat menyesuaikan sesuai protokol kesehatan dan syariat Islam.

Ia menegaskan, wabah Covid-19 bukan halangan untuk pelaksanaan ibadah Ramadhan. Menghindari kerumunan yang berpotensi menyebarkan virus juga termasuk ibadah. “Pemahaman kita tentang tata cara ibadah harus juga diadaptasikan dengan situasi dan kondisi,” ujarnya.

KH Asrorun mengingatkan, ibadah Ramadhan harus dijadikan sebagai momentum emas untuk mempercepat penanganan Covid-19 dengan etos dan semangat keagamaan. Melalui pemahaman makna dari syariat Islam, maka umat Muslim sudah sepatutnya melihat bahwa hal itu merupakan rahmat dan solusi bagi problem nyata yang dihadapi masyarakat yakni ancaman Covid-19.

“Bagaimana etos keagamaan Ramadhan bisa menjadi solusi dengan aktivitas keagaamaan kita, pada satu sisi mengingkat, di satu sisi lain menjamin keamanan dan keselamatan bangsa dan negara,” jelasnya.

Sebelumnya, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah juga mengajak umat Islam mempersiapkan lahir dan batin untuk menyambut bulan Ramadhan. Muhammadiyah juga mengajak umat Islam mengikuti panduan ibadah yang diberikan MUI dan ormas-ormas Islam saat pandemi Covid-19.

Ketua PP Muhammadiyah, Prof Dadang Kahmad menyampaikan, persiapkan lahir dan batin. Pertama, dari sisi pengetahuan mengenai agama diperbayak terutama tentang bab-bab ibadah puasa. Kedua, fisik harus dipersiapkan untuk menyambut bulan Ramadhan.

“Karena orang yang sakit tidak diwajibkan puasa, orang yang rentan dan daya tahan tubuhnya rendah seperti orang yang terlalu tua itu diperbolehkan untuk tidak berpuasa,” kata Prof Dadang kepada Republika, Jumat (10/4).

KHAZANAH REPUBLIKA

Ramadhan Sebentar Lagi, Ini Keutamaan Sahur

Sahur hukumnya sunnah.

Bulan Ramadhan 1441 Hijriyah akan segera tiba dalam hitungan hari. Umat Islam di seluruh dunia akan kembali melaksanakan puasa Ramadhan yang telah dirindukan selama 11 bulan terakhir.

Salah satu ibadah yang dianjurkan adalah melaksanakan sahur. Aktivitas makan sebelum menjalankan ibadah puasa itu memang diutamakan sebagaimana disebutkan dalam sejumlah hadits.

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari sahabat Anas bin Malik, baginda Rasulullah SAW mengatakan, di dalam sahur itu terdapat keberkahan. “Makan sahurlah kalian, sesungguhnya di dalam, sahur itu terdapat berkah,” (HR ‘Al-Bukhari dan Muslim).

Sahur dianjurkan bukan hanya karena terdapat berkah, tapi juga “karena kekuatan fisik akan terbantu selama menjalankan puasa (di siang hari),” tulis Akhyar A-Shiddiq Mushin dan Dahlan Harnawisatra dalam Kumpulan dan Khasiat Shaum Sunah (2006, hlm. 5)

Tak sampai di situ, sahur, meski hukumnya sunnah, tapi sangat dianjurkan oleh Nabi SAW. Terlebih, sahur adalah salah satu pembeda antara puasa umat Islam dan puasa umat agama lainnya.

“Dalam sahih Muslim disebutkan, “Perbedaan antara puasa kita dan puasa ahli kitab adalah hidangan sahur,” tulis Yusuf Qardhawi dalam Mukjizat Puasa – Resep Ilahi Agar Sehat Ruhani Jasmani (2008, hlm. 157)

Selain memberikan asupan materi, sahur juga memberikan asupan rohani dengan cara melaksanakan amalan zikir, istighfar, dan doa pada waktu penuh berkah itu. “Waktu sahur adalah saat rahmat diturunkan. Harapannya, semoga dia termasuk orang-orang yang senang memohon ampun pada waktu sahur,” ujar Yusuf.

KHAZANAH REPUBLIKA

Punya 3 Anak Wanita Penghalang dari Siksa Neraka

RASULULLAH shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang memiliki tiga anak perempuan, lalu ia bersabar membesarkan mereka, memberi makan, minum, dan pakaian kepada mereka, niscaya anak-anak itu akan menjadi hijab/penghalang baginya dari api neraka.”

Menurut Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, hadis tersebut berlaku umum untuk ayah dan ibu dengan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

“Siapa yang memiliki 2 anak perempuan lantas ia berbuat baik kepada keduanya, niscaya mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.” [1]

Demikian pula apabila seseorang memiliki saudara perempuan, bibi dari pihak ayah (ammah) atau pihak ibu (khalah), atau semisal mereka, lantas berbuat baik kepada mereka, ia pantas beroleh pahala yang besar, terhalangi dari api neraka dan dijauhkan dari neraka karena amalnya yang baik.

Keutamaan ini khusus diberikan kepada kaum muslimin. Apabila seorang muslim mengamalkan kebaikan-kebaikan ini demi mengharap wajah Allah Subhanahu wa Taala, niscaya bisa menjadi sebab keselamatannya dari api neraka.

Memang ada banyak sebab untuk selamat dari neraka dan masuk ke dalam surga. Di antaranya adalah orang yang diberi rezeki anak-anak perempuan atau saudara perempuan, lantas berbuat baik kepada mereka. Mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.

Demikian pula orang yang tiga anaknya meninggal sebelum berusia baligh, niscaya anak-anak tersebut akan menjadi penghalang baginya dari neraka.

Ketika ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana apabila dua anak?” Beliau menjawab, “Dua juga.”

Mereka tidak bertanya tentang satu anak, namun ada riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda,

“Allah Subhanahu wa Taala berfirman, ‘Tidak ada balasan bagi hamba-Ku yang beriman, saat Aku ambil penduduk dunia kesayangannya, lantas ia mengharapkan pahala dengannya, kecuali balasannya adalah surga.” [2]

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menerangkan bahwa tidak ada balasan bagi orang mukmin yang kehilangan orang yang dikasihinya dari penduduk dunia, lantas ia bersabar dan mengharapkan pahala, selain surga.

Jadi, seorang anak yang meninggal termasuk dalam hadis ini. Apabila ayah, ibu, atau kedua-duanya mau bersabar mengharap pahala Allah Subhanahu wa Taala atas musibah kehilangannya, niscaya keduanya akan beroleh surga. Ini adalah keutamaan yang agung dari Allah Subhanahu wa Taala.

Demikian pula seorang suami, istri, seluruh kerabat dan sahabat, apabila mereka bersabar dan mengharapkan pahala atas musibah tersebut, mereka pun termasuk dalam hadits ini (beroleh surga). Tentu saja dengan memerhatikan pula apakah mereka terbebas dari penghalang-penghalang untuk mendapatkan keutamaan tersebut, yaitu meninggal dalam keadaan berbuat dosa besar. Nasalullaha as-salamah.”

(Fatawa al-Marah al-Muslimah, hlm. 565)

Catatan Kaki:
[1] HR. Al-Bukhari dan Muslim.
[2] HR. Al-Bukhari.

Sumber: Majalah Asy Syariah no. 91/VII/1434 H/2013, hal. 104-105.

INILAH MOZAIK

Sudahkah Menjadi Orang Tua Terbaik?

BERLOMBA-LOMBA dalam kebaikan yang diperintahkan Allah dalam al-Qur’an itu bisa dimakna sebagai perintah agar kita menampilkan perbuatan yang terbaik dari apa yang kita bisa. Menjadi guru terbaik, murid terbaik, pengusaha terbaik, petani terbaik, orang tua terbaik, anak terbaik dan seterusnya adalah sebagai contoh.

Kali ini saya akan berbicara tentang menjadi orang tua terbaik. Secara umum orang tua terbaik didefinisikan sebagai orang tua yang peduli kepada anak-anaknya. Apa yang disebut dengan peduli? Di sini definisi dan prakteknya bisa beragam, bermacam-macam. Ijinkan saya saat ini menyampaikan satu poin saja sebagai berikut ini yang berasal dari nasehat tulus para guru.

“Berikanlah nasehat tentang keutamaan kepada anak-anakmu, itulah yang akan menjadikan mereka manusia bahagia suatu waktu kelak. Uang dan emas yang engkau siapkan untuk mereka lebih berfungsi hanya untuk tubuh mereka, bukan untuk hati mereka.” Demikian petuah kiai kampung yang mata hatinya belum terkotori oleh ulah mata kepalanya.

Membiasakan anak bekerja sejak kecil bukanlah sebuah kesalahan, namun menanamkan keyakinan kepada anak bahwa bekerja dan mencari uang adalah yang paling utama dalam hidup merupakan sesuatu yang membahayakan. Yang paling penting ditanamkan kepada anak adalah keyakinan bahwa Allah senantiasa bersama dengan orang yang lurus, sabar dan senantiasa mempersembahkan yang terbaik dalam kehidupan. Di atas dasar keyakinan seperti inilah semangat kerja anak seharusnya dibangun.

Orang-orang tua terpilih sepanjang sejarah adalah orang tua yang peduli pada perkembangan jiwa anak. Sempatkan lihat wajah anak-anak kita ketika tidur, eluslah ubun-ubunnya lalu ucapkan doa semoga mereka bisa menggantikan kehidupan kita dengan kualitas hidup yang lebih baik, lebih mudah dan lebih membahagiakan.

Orang tua semacam ini akan mendapatkan balasa baik dari anak-anaknya kelak ketika sudah betul menua; sang anak akan melihat orang tuanya yang sedang tertidur, memasangkan selimut untuk badannya yang sudah lemah dengan kulit mengkeriput, lalu mengelus dahi dan ujung depan rambutnya, dengan tetesan air matanya sang anak berdoa “Yaa Allah, panjangkan umur ayah ibuku, bahagiakan dan sehatkan mereka, mereka adalah pahlawan sejati dalam hidupku.” Saudara dan sahabatku, jdilah orang tua yang baik. Salam, AIM. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INIL:AH MOZAIK

Puasa dan Berhari Raya Bersama Pemerintah

Hendaknya kaum Muslimin memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan bersama pemerintah. Sehingga tercapai persatuan dan kebersamaan dalam melaksanakan ibadah yang agung ini.

Dalam sebuah hadits,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

“Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Hari puasa adalah hari ketika orang-orang berpuasa, Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berbuka, dan Idul Adha adalah hari ketika orang-orang menyembelih‘” (HR. Tirmidzi 632, Ad Daruquthni 385).

Dalam lafadz yang lain:

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ , وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ

Kalian berpuasa ketika kalian semuanya berpuasa, dan kalian berbuka ketika kalian semua berbuka” (HR Ad Daruquthni 385, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya 238).

Derajat Hadits

At Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan gharib”. An Nawawi berkata: “Sanad hadits ini hasan” (Al Majmu’, 6/283). Syaikh Al Albani berkata: “Sanad hadits ini jayyid” (Silsilah Ahadits Shahihah, 1/440).

Faidah Hadits

Pertama: Puasa dan lebaran bersama pemerintah dan mayoritas orang setempat

At Tirmidzi setelah membawakan hadits ini ia berkata: “Hadits ini hasan gharib, sebagian ulama menafsirkan hadits ini, mereka berkata bahwa maknanya adalah puasa dan berlebaran itu bersama Al Jama’ah dan mayoritas manusia”.

Ash Shan’ani berkata: “Hadits ini dalil bahwa penetapan lebaran itu mengikuti mayoritas manusia. Orang yang melihat ru’yah sendirian wajib mengikuti orang lain dan mengikuti penetapan mereka dalam shalat Ied, lebaran dan idul adha” (Subulus Salam 2/72, dinukil dari Silsilah Ash Shahihah 1/443)

Al Munawi mengatakan: “Makna hadits ini, puasa dan berlebaran itu bersama Al Jama’ah dan mayoritas manusia” (At Taisiir Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, 2/106)

Syaikh Al Albani menjelaskan, bahwa makna ini juga dikuatkan oleh hadits ‘Aisyah, ketika Masruq (seorang tabi’in) menyarankan beliau untuk tidak berpuasa ‘Arafah tanggal 9 Dzulhijjah karena khawatir hari tersebut adalah tanggal 10 Dzulhijjah yang terlarang untuk berpuasa. Lalu ‘Aisyah menjelaskan kepada Masruq bahwa yang benar adalah mengikuti Al Jama’ah. ‘Aisyah radhiallahu’anha berdalil dengan hadits:

النحر يوم ينحر الناس، والفطر يوم يفطر الناس

An Nahr (Idul Adha) adalah hari ketika orang-orang menyembelih dan Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berlebaran” (Lihat Silsilah Ahadits Shahihah 1/444)

Perlu diketahui, bahwa istilah Al Jama’ah maknanya adalah umat Islam yang berkumpul bersama ulama dan penguasa muslim yang sah, mereka yang senantiasa meneladani ajaran Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan pemahaman para sahabat Nabi. Mengenai istilah ini silakan baca artikel Makna Al Jama’ah dan As Sawadul A’zham. Maka mengikuti Al Jama’ah dalam hal penentuan Ramadhan dan hari raya adalah mengikuti keputusan pemerintah muslim yang sah yang berkumpul bersama para ulamanya yang diputuskan melalui metode-metode yang sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

Hal ini juga dalam rangka mengikuti firman Allah Ta’ala :

أطِيعُوا الله وأطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولى الأمْرِ مِنْكُمْ

Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta ulil amri kalian” (QS. An Nisa: 59)

Memang bisa jadi imam atau pemerintah berbuat kesalahan dalam penetapan waktu puasa, semisal melihat hilal yang salah, atau menolak persaksian yang adil dan banyak, atau juga menerima persaksian yang sebenarnya salah, atau kesalahan-kesalahan lain yang mungkin terjadi. Namun yang dibebankan kepada kita sebagai rakyat adalah hal ini adalah sekedar ta’at dan menasehati dengan baik jika ada kesalahan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

اسمعوا وأطيعوا فإنما عليكم ما حملتم وعليهم ما حملوا

Dengar dan taatlah (kepada penguasa). Karena yang jadi tanggungan kalian adalah yang wajib bagi kalian, dan yang jadi tanggungan mereka ada yang wajib bagi mereka” (HR. Muslim 1846)

Kedua: Urusan penetapan waktu puasa dan lebaran adalah urusan pemerintah

As Sindi menjelaskan, “Nampak dari hadits ini bahwa urusan waktu puasa, lebaran dan idul adha, bukanlah urusan masing-masing individu, dan tidak boleh bersendiri dalam hal ini. Namun ini adalah urusan imam (pemerintah) dan al jama’ah. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang untuk tunduk kepada imam dan al jama’ah dalam urusan ini. Dari hadits ini juga, jika seseorang melihat hilal namun imam menolak persaksiannya, maka hendaknya orang itu tidak menetapkan sesuatu bagi dirinya sendiri, melainkan ia hendaknya mengikuti al jama’ah” (Hasyiah As Sindi, 1/509).

Hal ini juga didukung oleh dalil yang lain yang menunjukkan bahwa urusan penetapan puasa dan lebaran adalah urusan pemerintah. Sebagaimana yang dipraktekan di zaman Nabi. Sahabat Ibnu Umar berkata:

«تَرَائِى النَّاسُ الْهِلَالَ،» فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

Orang-orang melihat hilal, maka aku kabarkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa aku melihatnya. Lalu beliau memerintahkan orang-orang untuk berpuasa” (HR. Abu Daud no. 2342, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

أَنَّ رَكْبًا جَاءُوا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْهَدُونَ أَنَّهُمْ رَأَوُا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ، فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُفْطِرُوا، وَإِذَا أَصْبَحُوا أَنْ يَغْدُوا إِلَى مُصَلَّاهُمْ

Ada seorang sambil menunggang kendaraan datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ia bersaksi bahwa telah melihat hilal di sore hari. Lalu Nabi memerintahkan orang-orang untuk berbuka dan memerintahkan besok paginya berangkat ke lapangan” (HR. At Tirmidzi no.1557, Abi Daud no.1157 dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

Hadits Ibnu Umar di atas menunjukkan bahwa urusan penetapan puasa diserahkan kepada pemerintah bukan diserahkan kepada masing-masing individu atau kelompok masyarakat.

Ketiga: Persatuan umat lebih diutamakan daripada pendapat individu atau kelompok

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menuturkan:

Ketentuan seperti inilah yang layak bagi syariat yang samahah ini yang salah satu tujuannya adalah persatuan ummat dan bersatunya mereka dalam satu barisan, serta menjauhkan segala usaha untuk memecah belah umat dengan adanya pendapat-pendapat individu. Pendapat-pendapat individu (walaupun dianggap benar), dalam perkara ibadah jama’iyyah seperti puasa, shalat jama’ah, pendapat-pendapat itu tidak teranggap dalam syariat.

Tidakkah anda lihat para sahabat Nabi bermakmum kepada sahabat yang lain? Padahal diantara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, keluar darah adalah pembatal wudhu sedangkan sebagiannya tidak berpendapat demikian. Sebagian mereka ada yang shalat dengan rakaat sempurna ketika safar, dan ada yang meng-qashar. Namun ikhtilaf ini tidak membuat mereka enggan bersatu dalam satu shaf shalat dan menjadi makmum bagi yang lain dan tetap menganggap shalatnya sah. Itu karena mereka mengetahui bahwa berpecah-belah dalam masalah agama itu lebih buruk daripada kita menyelisihi sebagian pendapat.

Pernah terjadi di antara mereka, sebuah kasus adanya sahabat yang enggan mengikuti pendapat imam yang berkuasa dalam sebuah masyarakat yang besar di Mina. Bahkan sampai ia enggan beramal dengan pendapat sang imam secara mutlak karena khawatir terjadi keburukan jika beramal sesuai dengan pendapat sang imam. Abu Daud (1/307) meriwayatkan

أن عثمان رضي الله عنه صلى بمنى أربعا، فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه: صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم ركعتين، ومع أبي بكر ركعتين، ومع عمر ركعتين، ومع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها، ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين، ثم إن ابن مسعود صلى أربعا! فقيل له: عبت على عثمان ثم صليت أربعا؟ ! قال: الخلاف شر

Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu shalat di Mina empat raka’at. Maka Ibnu Mas’ud pun mengingkari hal ini dan berkata: “Aku pernah shalat bersama Nabi Shallallahu’alahi Wasallam dua raka’at (diqashar), bersama Abu Bakar dua raka’at, bersama Umar dua rakaat, dan bersama ‘Utsman di awal pemerintahannya, beliau melakukannya dengan sempurna (empat raka’at, tidak diqashar). Setelah itu berbagai jalan (manhaj) telah memecah belah kamu semua. Dan aku ingin sekiranya empat raka’at itu tetap menjadi dua raka’at. Namun setelah itu Ibnu Mas’ud shalat empat raka’at. Ada yang bertanya: ‘Ibnu Mas’ud, engkau mengkritik Utsman namun tetap shalat empat raka’at?’. Ibnu Mas’ud menjawab: ‘Perselisihan itu buruk’

Sanad hadits ini shahih, diriwayatkan juga oleh Ahmad (5/155) semisal ini dari sahabat Abu Dzar radhiallahu’anhu.

Renungkanlah hadits ini dan juga atsar yang kami sebutkan, khususnya bagi orang-orang yang selalu saja berselisih dalam shalat mereka, tidak mengikuti para imam masjid. Terutama dalam shalat witir di bulan Ramadhan, dengan alasan beda madzhab. Sebagian mereka juga ada yang menyerukan ilmu falak, lalu mereka berlebaran sendiri lebih dahulu atau lebih akhir daripada mayoritas kaum muslimin, karena menggunakan pendapat dan ilmu falak mereka. Dengan sikap acuh-tak-acuh mereka menyelisihi kaum muslimin. Hendaknya mereka ini merenungkan ilmu yang kami sampaikan, mudah-mudahan mereka bisa memahaminya. Sebagai obat dari kejahilan dan ketertipuan mereka. Sehingga akhirnya mereka bisa bersatu dalam barisan bersama kaum muslimin yang lain, karena tangan Allah bersama Al Jama’ah (Silsilah Ahadits Shahihah, 1/445)

Keempat: Isyarat tentang adanya perselisihan umat dalam masalah penetapan puasa

Hadits di atas juga merupakan isyarat dari Nabi bahwa akan ada orang dan kelompok-kelompok yang menyelisihi petunjuk Nabawi dalam penentuan waktu puasa. Al Mubarakfuri berkata: “Sebagian ulama menafsirkan hadits ini, maknanya adalah kabar bahwa manusia akan terpecah menjadi kelompok-kelompok dan menyelisihi petunjuk Nabawi. Ada kelompok yang menggunakan hisab, ada kelompok yang berpuasa atau berwukuf lebih dulu bahkan mereka menjadikan hal itu syi’ar kelompok mereka, merekalah bathiniyyah. Namun yang selain mereka adalah mengikuti petunjuk Nabawi, yaitu golongan orang-orang yang zhahir ‘alal haq, merekalah yang didalam hadits di atas disebut an naas, merekalah as sawaadul a’zham, walaupun jumlah mereka sedikit”. (Tuhfatul Ahwazi, 3/313)

Jika Pemerintah Menggunakan Metode Hisab?

Syaikh Dr. Saad asy Syatsri, mantan anggota Lajnah Daimah dan Haiah Kibar Ulama KSA, mengatakan, “Seandainya penguasa di sebuah negara menetapkan hari raya berdasarkan hisab maka apa yang seharusnya dilakukan oleh rakyat ketika itu?” Hal ini diperselisihkan oleh para ulama.

Mayoritas ulama mengatakan hendaknya rakyat mengikuti keputusan pemerintah. Dosa ditanggung pemerintah sedangkan rakyat bebas dari tanggung jawab terkait hal ini.

Alasan mayoritas ulama adalah karena dalil-dalil syariat memerintahkan dan mewajibkan rakyat untuk mentaati pemerintah. Dengan demikian, gugurlah kewajiban rakyat dengan mentaati keputusan pemerintah dan tanggung jawab di akhirat tentang hal ini dipikul oleh pemerintah.

Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa jika pemerintah menetapkan hari raya berdasarkan hisab maka keputusannya tidak ditaati sehingga rakyat berhari raya sebagaimana hasil rukyah yang benar. Rakyat tidak boleh beramal berdasarkan keputusan pemerintah tersebut.

Imam Malik mengatakan bahwa alasannya adalah adanya ijma ulama yang mengatakan bahwa hisab tidak boleh menjadi dasar dalam penetapan hari raya dan dalil-dalil syariat pun menunjukkan benarnya hal tersebut.

Dalam kondisi tidak taat kepada pemerintah tidaklah bertentangan dengan berbagai dalil yang memerintahkan rakyat untuk mentaati pemerintah dalam kebaikan semisal hadits

إنما الطاعة في المعروف

Ketaatan kepada makhluk itu hanya berlaku dalam kebaikan

dan hadits:

لا طاعة لمخلوق في معصية الله

Tidak ada ketaatan kepada makhluk jika untuk durhaka kepada Allah

Kesimpulannya, yang tepat pendapat mayoritas ulama dalam masalah ini itu lebih kuat dari pada pendapat Imam Malik. Sehingga wajib bagi rakyat untuk mengikuti keputusan pemerintah terkait penetapan hari raya sedangkan dosa menjadikan hisab sebagai landasan penetapan hari raya itu ditanggung oleh pemerintah yang memutuskan hari raya berdasarkan hisab” (Di kutip dari blog ustadz aris munandar)

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/9675-puasa-dan-berhari-raya-bersama-pemerintah.html

Umroh Saat Ramadhan Sangat Utama, tapi Ini Catatannya

Keistimewaan umroh saat Ramadhan menjadi hal yang diketahui hampir semua umat Muslim di seluruh dunia. 

Salah satu keutamaan yang membuat ibadah ini sangat dinantikan adalah karena Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa pahala orang-orang yang melaksanakannya dapat menyamai orang yang menjalankan ibadah haji. 

Pendiri Rumah Fiqih Indonesia,  Ustaz Ahmad Sarwat, menjelaskan sabda Rasulullah SAW yang tertuang dalam hadits shahih muttafaqun ‘alahi:

“Bila datang Ramadhan, maka lakukanlah umroh. Karena umroh ketika Ramadhan itu (pahalanya) menyamai haji.” (HR Bukhari no. 1782 dan Muslim no. 1256). 

Bahkan, umroh pada Ramadhan sangat istimewa karena senilai dengan haji bersama Nabi Muhammad SAW seperti yang dituangkan dalam lafal Bukhari lainnya yaitu : Sesungguhnya umrah ketika Ramadhan seperti berhaji bersamaku” (HR Bukhari no 1863).

Meski demikian, ustaz Ahmad mengatakan ada beberapa hal yang harus diperhatikan terkait umroh Ramadhan dan haji. Di antaranya adalah umroh saat Ramadhan tetap bukanlah haji. 

Dia meningatkan untuk jangan keliru menggantikan kedudukan ibadah ini dengan haji.  “Itu tidak benar dan perlu diluruskan, yang setara itu hanya pahalanya, sedangkan kedudukannya tetap sekadar umroh. Kalau mau kita breakdown lagi, maka antara umroh Ramadhan dan Haji itu punya beberapa perbedaan,” ujar ustaz Ahmad kepada Republika.co.id pada Selasa (13/4). 

Ustaz Ahmad menjelaskan perbedaan itu pertama adalah bahwa umrah saat Ramadhan bukan bagian dari rukun Islam, sedangkan haji adalah rukun Islam yang kelima. 

Selanjutnya, dari  segi hukum, umrah Ramadhan itu hukumnya tetap sunnah dan tidak wajib. Sedangkan ibadah haji hukumnya wajib untuk yang pertama kali sebagai Muslim. 

“Ketiga orang yang  sudah umroh pada Ramadhan, belum gugur kewajiban hajinya. Apabila dia mampu, maka di pundaknya masih ada beban kewajiban mengerjakan ibadan haji,” jelas ustaz Ahmad. 

Lebih lanjut, ustaz Ahmad menggarisbawahi tentang umroh pada Ramadhan yang cenderung padat dengan jamaah, bahkan membuat orang-orang melakukan ibadah dengan berdesakan, menyaingi musim haji. Bahkan, biaya yang dikeluarkan umat Muslim untuk menunaikan ibadah ini menjadi tinggi. 

“Maka  kalau kita mendambakan umroh yang tenang dan khusyu’ dalam Masjid Al Haram Makkah, mungkin agak sulit. Tidak seperti yang banyak dibayangkan,” kata ustaz Ahmad menambahkan. 

Ustadz Ahmad juga mengatakan bahwa hal ini juga bisa membuat banyak jamaah yang lupa dengan jam istirahat. 

Dia mengatakan pengalaman banyak jamaah kesulitan untuk keluar masuk masjid.  “Kalau sudah dalam masjid, sulit keluar. Sedangkan kalau sudah di luar, akan kesulitan masuk lagi ke dalam. Oleh karena itu jamaah jadi serba salah,” jelas ustadz Ahmad. 

Ustadz Ahmad mengungkapkan sebagian temannya yang sejak awal ingin menginap di masjid sepanjang berad di tanah suci untuk i’tikaf. Mereka bahkan sudah mengatur untuk tidak menyewa penginapan secara khusus dengan kamar per orang, melainkan secara berkelompok yang nantinya hanya akan digunakan secara bergantian untuk sekian banyak jamaah.

“Masuk kamar hanya untuk sekadar mandi dan ganti baju, lalu segera pergi lagi masuk ke masjid, Hanya saja kadang lupa dengan jam istirahat, juga lupa mandi bersih-bersih, bahkan lupa juga dengan kondisi cuacara dan kesehatan,” ujar dia.

Akibatnya, menurut dia, iktikaf belum selesai, tapi sudah dalam keadaan lemah dan sakit. Apalagi mereka yang sudah uzur dan usia lanjut, tentu harus memperhatikan hal-hal semacam ini. 

Sementara itu, terkait dengan larangan umroh akibat pandemi virus corona jenis baru (Covid-19), tidak ada satupun umat Muslim yang dapat melaksanakan ibadah ini saat Ramadhan tahun ini. 

Masjid Al Haram di Makkah, Arab Saudi sudah sejak Maret ditutup untuk semua kegiatan apapun. Ka’bah kini berdiri sendirian, tak ada lagi jamaah yang berkerumun bertawaf atau sekedar mencium Hajar Aswad.

Bahkan besar kemungkinan, menurut dia, kegiatan haji pada 2020 pun akan ditiadakan. Oleh karena itu maka niat kita yang ingin menjalankan ibadah umroh Ramadhan atau ibadah haji di tahun ini, sementara waktu harus ditangguhkan.

“Setidaknya sampai keadaan menjadi kondusif kembali. Kita berdoa kepada Allah SWT agar virus ini bisa segera diatasi,” ujar ustaz Ahmad.

IHRAM


Pelunasan BPIH Jamaah Haji Didominasi Setor Bank Langsung

Pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) 1441H/2020M terus berlangsung. Hingga 9 April 2020, tercatat lebih dari 70 persen jamaah haji Indonesia yang berhak melunasi biaya haji, baik reguler maupun khusus, sudah melakukan pelunasan. 

Kuota haji Indonesia tahun ini berjumlah 221 ribu jamaah. Jumlah ini terdiri atas 203.320 jamaah haji reguler dan 17.680 jamaah haji khusus.

Tahun ini, dari 203.320 kuota haji reguler, 1 persen di antaranya atau 2.040 orang dikhususkan untuk jamaah lanjut usia (lansia)

“Sampai 9 April 2020, sebanyak 142.883 jamaah atau 70,27persen sudah melunasi BPIH Reguler. Dari jumlah itu, ada 580 lansia yang sudah melakukan pelunasan,” ujar Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri, Muhajirin Yanis, dalam keterangan yang didapat Republika.co.id, Senin (13/4). 

Menurutnya, pelunasan BPIH Reguler dilakukan melalui dua skema yaitu sebanyak 122.967 jamaah melakukan pelunasan secara langsung dengan datang ke kantor bank penerima setoran (BPS) BPIH. Sedangkan sisanya, 19.916 jamaah melunasi secara non teller dengan memanfaatkan internet banking dan anjungan tunai mandiri (ATM). 

“Pelunasan tahap satu berlangsung hingga 30 April. Jika masih ada sisa kuota, dibuka tahap kedua, 12-20 Mei 2020,” kata dia.

Untuk pelunasan BPIH Khusus, Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus, Arfi Hatim mengatakan, sampai 9 April, sudah ada 12.539 jamaah atau 76,90persen yang melakukan pelunasan.  

Menurut Arfi, pihaknya juga membuka pelunasan kepada calon jamaah haji khusus dengan status cadangan. 

“Sampai hari ini tercatat  ada 2.016 calon jamaah yang sudah melunasi dengan status cadangan. Pelunasan BPIH Khusus akan berlangsung hingga 30 April 2020,” kata dia. 

IHRAM