Nahi Munkar Ala Nabi Muhammad SAW

uatu ketika, seorang sahabat bernama Maiz mendatangi dan menemui Rasulullah SAW

“Kasihilah siapa pun yang di bumi, niscaya yang di langit akan menyayangi kalian”. (Hadits Nabi saw. Riwayat Tirmidzi dan Abu Dawud)

Dalam Shahih Muslim sahabat Buraidah menceritakan, suatu ketika, seorang sahabat bernama Maiz mendatangi dan menemui Rasulullah lalu berkata, “Sucikanlah aku wahai Rasulullah”. Rasulullah langsung berkata, “Celakalah kau, pulanglah dan mohonlah ampunan kepada Allah”. Maiz terus memohon agar Rasulullah berkenan menyucikan dirinya.

Beberapa waktu kemudian setelah Maiz mengulangi permintaannya untuk yang keempat kalinya, Rasulullah bertanya kepadanya, “Dari dosa apa aku akan menyucikanmu?”. Maiz menjawab, “Dari zina, wahai Rasulullah”.

Maiz adalah seorang muhshon atau laki-laki yang sudah beristri. Hukuman atas seorang muhshon yang berzina adalah dirajam sampai mati. 

Rasulullah kemudian bertanya kepada para sahabat yang ada di sekelilingnya, “Apakah dia gila?”. Para sahabat menjawab bahwa Maiz tidak gila. Bahkan ada seorang sahabat yang menjawab, “Kami ketahui dia berotak waras dan termasuk orang shalih”.

Rasulullah bertanya lagi, “apakah dia minum khamar?”. Seorang sahabat langsung berdiri dan menghirup aroma mulut Maiz, ternyata tidak tercium bau arak dari mulutnya. 

Rasulullah bertanya kepada Maiz, “Apakah kau telah berzina?”.

“Ya”, jawab Maiz.

Lalu Rasulullahpun memerintahkan agar Maiz dibawa ke tempat pelaksanaan hukuman.

Para sahabat waktu itu terbelah menjadi dua kelompok. Sebagian dari mereka berkata, “Maiz telah celaka karena dia harus menanggung dari perbuatan dosanya”. 

Sebagian sahabat yang lain menyatakan, “Tidak ada taubat yang lebih utama dari taubatnya Maiz. Karena dia datang kepada Rasulullah minta hukuman mati dengan rajam atas dosa yang telah ia perbuat”.

Perbedaan pendapat di kalangan para sahabat itu berlangsung selama dua atau tiga hari. Setelah itu Rasulullah datang di tengah-tengah para sahabat yang sedang duduk-duduk. 

Beliau lalu mengucap salam, duduk, dan kemudian bersabda, “Mintakanlah ampunan untuk Maiz bin Malik”. Para sahabat kontan menyahut, “Semoga Allah mengampuni Maiz bin Malik”.

Rasulullah lalu bersabda, “Sungguh dia telah bertaubat dengan sebuah pertaubatan yang seandainya pertaubatan itu dibagikan kepada satu ummat pasti cukup”. (Shahih Muslim, kitab al-hudud, 5: 119).

Terhadap seorang yang telah mengaku berbuat dosa, Nabi tidak secara serta merta memberikan penilaian dan hukuman. Nabi menunggu keseriusan si pendosa ini. 

Setelah kedatangannya yang keempat, Nabi baru meresponsnya dengan memverifikasi kesadaran si pendosa tersebut dengan menanyakan kewarasan dan kesadaran otaknya.

Baru kemudian, pelaksanaan hukuman dilaksanakan. Setelah matipun, Nabi tidak menghinakan sang pendosa tersebut, tetapi sebaliknya memuji keseriusannya bertaubat dengan mengatakan “seandainya pertobatan itu dibagikan kepada satu ummat pasti cukup”.

(Sumber: Majalah SM Edisi 13 Tahun 2019, Kolaborasi Republika.co.id dan Suara Muhammadiyah)

Oleh Agung Danarto

KHAZANAH REPUBLIKA

Seni Memilih Kata untuk Memenangkan Hati

SIAPA yang tak ingin disayangi, dicintai dan dihormati orang lain? Namun faktanya ada banyak orang yang gagal disayangi, dicintai dan dihormati. Banyak orang memaksakan diri untuk menjadi orang yang berwibawa dengan bersikap keras menakutkan kepada orang lain. Mereka melupakan kata para tetua bahwa bukan petir yang menumbuhkan bunga-bunga, melainkan sapaan lembut rintik-rintik hujan. Iya, kelembutan adalah kata kunci memenangkan hati untuk sayang, cinta dan hormat.

Ada seorang guru yang dikenang baik dan didoakan baik para muridnya sampai saat ini. Beliau sudah lama sekali meninggal, namun kisahnya tetap hidup hingga kini. Yang selalu dikenang dari beliau adalah kelembutannya menganggap semua muridnya bagai anaknya sendiri. Sang guru ini tak pernah membodoh-bodohkan muridnya, apalagi membentak dan memukulnya. Kalau jawaban murid salah beliau berkata lembut: “Hampir benar. Ada jawaban lainnya?” Sang murid tak tersinggung walau tahu bahwa hampir benar itu adalah belu benar alias salah. Ini adalah seni memilih kata.

Lain lagi kisahnya dengan guru yang satu ini yang suara bunyi langkah sepatunya saja menjadikan semua muridnya takut, bagai kedatangan malaikat pencabut nyawa. Setiap murid menjawab salah, langsung lahir bentakan dan umpatan. Paling lembutnya adalah ucapan dengan nada tinggi: “Jawabanmu benar, tapi untuk pertanyaan yang lain.” Malulah sang murid dan terkenanglah dipermalukannya dia sampai dia tua. Tak ada kenangan baik dan doa kebaikan untuk sang guru.

Berpikirlah sebelum mengucapan kata. Pilihlah kata yang menyejukkan dan menentramkan. Semua orang memiliki hati dan kepekaan rasa. Jika hati terluka, sangat sulit untuk terobati. Pilihan kata menjadi penting. Namun ada yang lebih penting dari itu, yakni ketulusan hati yang menjadi dasar kelembutan kata.

Di manakah tempat belajar seni memilih kata dan tempat mentuluskan hati? Mari kita belajar bersama-sama. Salam, AIM. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Satu Bulan Bersama Al-Qur’an (Hari Ke-16)

Allah Swt Berfirman :

وَأَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَا تَنَٰزَعُواْ فَتَفۡشَلُواْ وَتَذۡهَبَ رِيحُكُمۡۖ وَٱصۡبِرُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah. Sungguh, Allah beserta orang-orang sabar.” (QS.Al-Anfal:46)

Ayat ini adalah sebuah larangan yang tegas bagi kaum muslimin untuk tidak berselisih dan menciptakan konflik di tengah tubuh kaum muslimin sendiri.

Dalam ayat ini disebutkan ada dua akibat besar yang akan muncul bila kaum muslimin saling berselisih di antara mereka sendiri, yaitu :

Akibat pertama adalah (الفشل) yaitu perasaan gentar dan takut dalam menghadapi musuh.

Dan akibat kedua adalah hilangnya kekuatan kaum muslimin dalam menghadapi berbagai ancaman dari luar.

Ayat di atas memberi kita gambaran yang tegas bahwa apabila kaum muslimin saling berselisih dan berkonflik, maka akan muncul perasaan “tidak percaya” kepada saudaranya sehingga kekuatan mereka akan melemah dalam menghadapi musuh. Rasa takut kita dihadapan kekuatan musuh adalah akibat dari perselisihan di tubuh kaum muslimin sendiri. Bayangkan apabila setiap kelompok dari kaum muslimin saling percaya dan bersatu, maka tidak ada satu pun kekuatan di dunia ini yang bisa menandingi kekuatan Islam.

Maka tugas kita hari ini adalah membuang segala perselisihan dan mulai saling menghargai pendapat masing-masing. Perselisihan tidak akan pernah usai bila terus dijadikan pembahasan, namun apabila kita saling menghormati pilihan orang lain maka persatuan Islam akan bisa diwujudkan.

Perselisihan akan membawa kita pada rasa saling curiga kepada sesama saudara muslim dan efek yang lebih jauh adalah menumbuhkan rasa kebencian di tengah kaum muslimin. Sementara Islam di kepung dari segala arah oleh para musuh dan tiada jalan untuk melawan itu semua kecuali dengan persatuan dan saling percaya.

Musuh tidak akan mampu melawan kekuatan Islam tanpa memecah belah kaum muslimin dari dalam. Lalu apabila kita bertanya, darimana perselisihan itu berasal?

Bila kita perhatikan ayat di atas, kita akan mendapatkan jawaban bahwa perselisihan itu muncul karena kita tidak taat kepada perintah Allah dan Rasul-Nya. Dalam beragama kita masih sering mendahulukan kepentingan pribadi atau kelompok, sehingga dari situlah banyak perselisihan yang akan muncul. Namun apabila kita berupaya untuk taat kepada aturan Allah dan Rasul-Nya maka perselisihan itu akan mudah diselesaikan, karena semuanya fokus untuk meraih satu tujuan bersama dan mengesampingkan kepentingan masing-masing. Dan apabila hal ini terwujud, maka sebab-sebab untuk datangnya kemenangan akan semakin dekat.

Maka berpeganglah selalu dengan Firman Allah swt :

وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ

“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS.Ali ‘Imran:103)

Semoga bermanfaat..

KHAZANAH ALQURAN

Melatih Keikhlasan Anak Melalui Puasa

Usia yang paling ideal untuk mulai melatih anak puasa adalah 7 tahun.

Puasa menjadi ibadah jasmani dan rohani yang juga bisa diajarkan kepada anak. Dari ibadah ini seorang anak akan belajar keikhlasan hakiki kepada Allah SWT dan selalu merasa diawasi oleh Nya.

”Dengan ibadah ini si anak dapat menekan keinginannya atas makanan dan minuman walaupun lapar dan haus,” kata Dr Muhammad Nur Abdul Hafiz Suwaid dalam bukunya “Prophetic Parenting Cara Nabi SAW Mendidik Anak”.

Di samping menekan keinginan, si anak juga dapat melatih kesabarannya. Para sahabat membiasakan anak-anak mereka untuk beribadah puasa. Imam Bukhari memberi judul salah satu bab dalam kitab shahihnya dengan nama “Shiyamush Shibyan” (puasanya anak-anak).

Kemudian dia membawakan hadits Umar. Yaitu ketika Umar melihat seseorang yang mabuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan, Umar menghardiknya. “Celakalah engkau! Engkau melakukan ini padahal anak-anak kami sedang puasa!” Umar pun memukulnya.

Ibnu Hajar mengomentari hadits ini: Lafal (Bab Puasanya Anak-anak), artinya diisyaratkan atau tidak? mayoritas ulama mengatakan tidak wajib bagi anak di bawah usia baligh. “Namun Sebagai ulama salaf menganggapnya sunnah,” katanya.

Di antaranya adalah Ibnu Sirin dan az-Zuhri dan demikian juga dikatakan oleh asy- Syafi’i mengatakan, bahwa mereka juga diperintahkan untuk mengerjakannya sebagian latihan apabila mereka mampu. Usia yang paling ideal untuk mulai melatih anak puasa adalah 7 tahun. “Batasan usianya adalah tujuh tahun dan sepuluh tahun.” 

Usia ini juga kata Muhammad Nur sama persis seperti mengajarkan anak untuk ibadah sholat. Ishak memberi batasan usia 12 tahun. Ahmad, dalam salah satu riwayatnya, sepuluh tahun. Al-Auza’i mengatakan, “Apabila mampu berpuasa tiga hari berturut-turut maka dianjurkan untuk berpuasa.”

Muhammad Nur menambahkan, yang rajih adalah pendapat mayoritas ulama. Pendapat yang masyhur dalam mazhab Malikiyyah: puasa tidak disyaratkan untuk anak-anak. Menurut penulis, Imam Bukhari telah bersikap lembut dalam memberikan alasan untuk judul bab ini. Yaitu dengan membawakan atsar Umar pada judul bab. 

Sebab, pedoman terkuat yang dijadikan sebagai bantahan terhadap hadits-hadits semacam ini adalah amalan sebaliknya dari penduduk kota Madinah. Di sinilah, tidak ada amalan untuk dijadikan sebagai pedoman yang lebih kuat dibandingkan dengan amalan-amalan pada masa Umar, yang jumlahnya para sahabat masih sangat banyak ketika itu. 

Umar mencela orang yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan dengan mengatakan. “Kenapa engkau makan padahal anak-anak kami berpuasa? “Ibnul Majisyun dari mazhab Malikiyah mengungkapkan pendapat yang cukup aneh. 

“Di katakan bahwa apabila anak mampu berpuasa, maka dia diwajibkan berpuasa. Apabila dia tidak puasa tanpa alasan yang jelas, maka dia wajib mengqadhanya.” 

KHAZANAH REPUBLIKA

Sahur Waktu Mustajab untuk Berdoa

Berdoalah saat sahur karena merupakan waktu mustajab.

Sahur adalah sunah Nabi Muhammad SAW, setiap sunah mengandung kebaikan dan bila dikerjakan akan mendapatkan pahala. Para ulama setuju di waktu sahur adalah momen yang tepat untuk meminta ampunan kepada Allah SWT karena banyak keberkahan saat sahur.
 
Ketua Dewan Syuro Al-Irsyad Al-Islamiyyah, KH Abdullah Jaidi juga menyampaikan bahwa sahur adalah waktu yang sangat baik untuk berdoa dan meminta ampun kepada Allah. Apalagi saat pandemi virus corona atau Covid-19 yang melanda Indonesia, sebaiknya waktu sahur digunakan untuk istigfar kepada Allah.

“Mungkin ini (adanya wabah Covid-19) akibat kita banyak berbuat dosa, zalim, munkar, tidak adil dan lain-lain, jadi waktu sahur adalah waktu tepat untuk memohon ampun,” kata KH Jaidi kepada belum lama ini.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat ini mengatakan, Rasulullah menganjurkan umat Islam untuk sahur walau dengan dengan seteguk air. Kalau tidak memiliki makanan yang cukup boleh sahur dengan sepotong kurma. Artinya sahur mengandung keberkahan yang sangat berharga.

KH Jaidi menerangkan, saat Muslim melaksanakan ibadah puasa dengan iman dan takwa akan memiliki kekuatan yang menyertainya. Asalkan memaknai puasa tidak sekedar menahan lapar dan dahaga saja.

“Bayangkan orang sahur hanya dengan seteguk air dan tiga butir kurma, tapi dapat bertahan puasa dari terbit fajar sampai Maghrib, tapi karena keberkahan sahur inilah mengantarkan kita dapat bertahan dan berpuasa sehingga tidak ada beban,” ujarnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Surgakah Meninggal di Bulan Ramadan?

SECARA khusus, tak ada dalil dalam Alquran atau hadis yang menjelaskan keutamaan meninggal di bulan Ramadan atau di waktu tertentu. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

Hadishadis yang menerangkan keutamaan meninggal di hari tertentu tidak ada yang sahih. Karena pahala seorang bergantung pada amalannya, itulah yang bisa dia usahakan. (http://binothaimeen.net/content/11412)

Yang ada adalah, hadis menerangkan keutamaan meninggal dunia saat sedang puasa,

“Siapa yang mengucapkan Laa ilaha illallah, dan ia mengucapkannya ikhlas hanya mencari keridaan Allah dan ia mengakhiri hidupnya dengan itu, maka ia masuk surga.

Siapa berpuasa sehari dan ikhlas karena Allah, serta menutup akhir hidupnya dengan ibadah itu, maka ia masuk surga.

Siapa bersedekah dengan penuh keikhlasan, dan ia mengakhiri hidupnya dengan ibadah itu, maka ia masuk surga. (HR. Ahmad no 22173, dinilai Shohih oleh Syekh Albani dalam Ahlamul Jana-iz)

Namun, Ramadan adalah waktu yang mulia, penuh dengan keistimewaan seperti yang tersebut di atas. Sehingga seorang yang meninggal di waktu mulia seperti ini, pertanda baik insyaAllah dan penyebab tambahan rahmat untuknya jika kesehariannya dia sebagai orang yang bertakwa dan beramal saleh. Bisa dikatakan, meninggalnya seorang yang saleh di bulan yang mulia ini, adalah tambahan kabar gembira untuknya dan untuk keluarga yang dia tinggal.

Nabi menerangkan tentang Husnul Khotimah.

“Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada seorang hamba, Allah akan mempekerjakannya.”

“Apa yang dimaksud Allah mempekerjakannya ya Rasulullah?”
tanya para sahabat.

Rasulullah menjawab, “Dia dimudahkan untuk beramal saleh sebelum meninggalnya.” (HR. Ahmad).

Lebih-lebih jika ini terjadi di bulan paling mulia seperti Ramadan. Karena amal saleh seperti, puasa, sedekah, salat, kesabaran, tawakal, keikhlasan, keridaan dengan takdir Allah, akan semakin besar kelipatan pahalanya saat dikerjakan di waktu waktu yang mulia. Maka orang saleh yang meninggal di bulan suci Ramadan, insyaAllah itu pertanda baik, pertanda Husnul Khotimah insyaallah.

Wallahualam bis showab. [Ustaz Ahmad Anshori/Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Quran Yogyakarta]

INILAH MOZAIK

Masjid Nabawi, Masjid Sakral tapi Nyaman untuk Beribadah

Masjid Nabawi begitu besar, megah dan anggun. Apalagi di malam hari, nampak indah dengan sistem pencahayaan yang sangat bagus.

Berdasarkan buku Ensiklopedi Haji dan Umrah, Masjid Nabawi adalah masjid yang pertama sekali dibangun Rasulullah SAW bersama para sahabatnya dan kaum Muslimin di Madinah.

Pembangunan dimulai pada Rabiul Awal tahun 1 Hijriah bersamaan pada bulan September tahun 662 Masehi. Jamaah atau pengunjung yang sholat di masjid ini juga tentunya ingin berziarah ke makam Rasulullah SAW.

Posisi makam Rasulullah SAW berada dalam Masjid Nabawi. Di samping makam Rasulullah SAW terdapat makam sahabat Abu Bakar Shidiq dan Umar bin Khattab. Di dalam Masjid Nabawi ini terdapat tempat yang mustajab untuk berdoa yang disebut Raudah. Beberapa koleksi berharga peninggalan Rasulullah juga terdapat di dalam masjid ini. Seperti mimbar dan mihrab yang pernah digunakan Rasulullah SAW.

Saat ini (merujuk pada naskah terbitan ensiklopedi) luas lantai Masjid Nabawi sekitar 98 ribu meter persegi dan dapat menampung 167 ribu jamaah. Sedangkan lantai atas dapat digunakan untuk sholat seluas 67 ribu meter persegi dan mampu menampung 90 ribu jamaah. Jika pelataran masjid dipenuhi jamaah sholat terutama pada musim haji, maka daya tampung Masjid Nabawi dan pelatarannya sekitar satu juta jamaah.

Terdapat 10 menara di masjid ini dengan ketinggian masing-masing 92 meter. Pada setiap puncak menara terdapat ornamen ‘bulan sabit’ dari bahan perunggu yang dilapisi emas 24 karat dengan tinggi tujuh meter dan berat 4,5 ton. Pada ketinggian 87 meter dipasang sinar laser yang memancarkan cahaya ke arah Makkah yang cahayanya terlihat sampai sejauh 50 kilometer, untuk menunjukkan arah Kiblat.

Untuk pengaturan udara dalam ruangan, dibuat 27 ruang terbuka dengan ukuran masing-masing 18 kali 18 meter. Sebagai atap, dibuat kubah yang dapat dibuka dan ditutup secara elektronik dan juga dapat secara manual.

Untuk menyejukkan masjid, dibangun satu unit AC sentral raksasa di atas tanah seluas 70 ribu meter yang terletak tujuh kilometer sebelah barat masjid. Hawa dingin yang dihasilkan AC ini dialirkan melalui pipa bawah tanah yang didistribusikan ke setiap penjuru masjid melalui bagian bawah setiap pilar yang berjumlah 2.104 buah.

Fasilitas parkir di masjid ini mampu menampung 4.500 mobil. Juga terdapat toilet sebanyak 2.500 unit, tempat wudhu 6.800 pancuran atau kran serta terdapat 650 lokasi tempat minum air dingin.

IHRAM

Ayat-Ayat Shiyam (Bag. 5)

Baca pembahasan sebelumnya Ayat-Ayat Shiyam (Bag. 4)

Tafsir QS. al-Baqarah ayat 187

Allah Ta’ala berfirman,

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” [QS. al-Baqarah: 187]

Baca Juga:

Sebab Turun Ayat

Terdapat riwayat dari al-Barra bin Azib radhiallahu ‘anhu bahwa beliau menuturkan sebab turunnya ayat yang mulia ini. Beliau menyatakan,

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ الْإِفْطَارُ فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلَا يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الْأَنْصَارِيَّ كَانَ صَائِمًا فَلَمَّا حَضَرَ الْإِفْطَارُ أَتَى امْرَأَتَهُ فَقَالَ لَهَا أَعِنْدَكِ طَعَامٌ قَالَتْ لَا وَلَكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ فَجَاءَتْهُ امْرَأَتُهُ فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ خَيْبَةً لَكَ فَلَمَّا انْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ } فَفَرِحُوا بِهَا فَرَحًا شَدِيدًا وَنَزَلَتْ { وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ

“Di antara para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ada seseorang apabila sedang berpuasa lalu tiba waktu berbuka dia pergi tidur sebelum berbuka sehingga tidak memakan sesuatu pada malam dan siang hari hingga petang hari. Dan pada suatu hari ketika Qais bin Shirmah al-Anshari sedang melaksanakan berpuasa, lalu tiba waktu berbuka dia mendatangi isterinya seraya berkata, ‘Apakah kamu punya makanan?’ Isterinya berkata, ‘Tidak, namun aku akan keluar mencari makanan buatmu’. Kemudian di siang harinya Qais bekerja keras hingga mengantuk lalu tertidur. Kemudian isterinya datang. Ketika isterinya melihatnya sedang tertidur, isterinya berkata, ‘Rugilah kamu’. Qais pun tetap berpuasa, hingga pada tengah hari dia pun jatuh pingsan. 

Lalu persoalan ini diadukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka turunlah firman Allah Ta’ala di surat alBaqarah ayat 197 (yang artinya), ‘Dihalalkan bagi kalian pada malam bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kalian’. Dengan turunnya ayat ini para sahabat merasa sangat senang, hingga kemudian turun lanjutan ayatnya, ‘Dan makan minumlah kalian hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu di waktu fajar’.” [HR. al-Bukhari: 1915]

Dari al-Barra radhiallahu ‘anhu, beliau menyatakan,

لما نزل صوم رمضان كانوا لا يقربون النساء رمضان كله وكان رجال يخونون أنفسهم فأنزل الله علم الله أنكم كنتم تختانون أنفسكم فتاب عليكم وعفا عنكم

“Ketika ada perintah wajib Puasa Ramadhan, para Sahabat tidak mendekati istri mereka selama bulan Ramadhan. Akan tetapi, kaum lelaki tidak mampu menahan diri mereka, maka Allah menurunkan ayat (yang artinya), ‘Allah mengetahui bahwa kalian tidak dapat menahan diri kalian, tetapi Dia telah menerima taubat kalian dan memaafkan kalian’ [al-Baqarah: 187].” [HR. al-Bukhari: 4508]

Dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu, beliau menuturkan,

أنزلت وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود ولم ينزل من الفجر فكان رجال إذا أرادوا الصوم ربط أحدهم في رجله الخيط الأبيض والخيط الأسود ولم يزل يأكل حتى يتبين له رؤيتهما فأنزل الله بعد من الفجر فعلموا أنه إنما يعني الليل والنهار

“Ketika turun ayat, ‘Dan makan minumlah kalian hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam’ dan belum diturunkan ayat lanjutannya yaitu ‘dari fajar’, ada seseorang di antara para Sahabat yang apabila hendak berpuasa mengikat seutas benang putih dan benang hitam pada kakinya. Dia senantiasa meneruskan makan dan minumnya hingga jelas terlihat perbedaan benang-benang itu. Maka Allah Ta’ala kemudian menurunkan ayat lanjutannya ‘dari fajar’. Dari situ mereka mengetahui bahwa yang dimaksud dengan benang hitam dan putih adalah malam dan siang’.” [HR. al-Bukhari: 1917 dan Muslim: 1091]

Makna Ayat

Diperbolehkan bagi kalian menggauli istri di malam-malam bulan Ramadhan. Istri-istri kalian laksana pakaian kalian, wahai para suami, sebagaimana kalian laksana pakaian mereka ketika menggauli mereka. Sungguh Allah Ta’ala mengetahui bahwa kalian tak mampu menundukkan hawa nafsu sehingga kalian bermaksiat kepada-Nya, dimana kalian tidak mampu melaksanakan perintah Allah Ta’ala kepada kalian untuk tidak menggauli istri di malam-malam bulan Ramadhan. Namun, sungguh Allah telah mengampuni kalian dengan menghalalkan hal itu yang dahulu diharamkan oleh-Nya. Dia telah memaafkan perbuatan menuruti hawa nafsu yang dahulu kalian lakukan. 

Maka saat ini –setelah kelapangan dari Allah ini- kalian diperbolehkan menggauli istri. Carilah apa yang ditakdirkan Allah bagi kalian [1]. Kalian diperbolehkan makan dan minum di setiap saat yang kalian inginkan dari waktu malam hingga nampak dan nyata putihnya siang dari gelapnya malam (terbit fajar). Di saat itu, barulah kalian wajib menahan diri dari makan, minum, dan jimak hingga matahari terbenam.

Dan janganlah kalian menggauli istri di saat i’tikaf untuk beribadah di rumah-rumah Allah. Inilah hukum-hukum yang diterangkan Allah Ta’ala dalam ayat ini yaitu seperti pengharaman makan, minum, jimak, dan keharaman yang lain di siang hari bulan Ramadhan. Allah Ta’ala telah menerangkan dan menjelaskannya kepada kalian agar apa yang halal bagi kalian itu nyata dan jelas. Kalian berkewajiban menahan diri dan menjauh dari hal tersebut.

Sebagaimana Allah Ta’ala menjelaskan hukum-hukum puasa dengan penjelasan yang sangat sempurna, demikian pula Allah menjelaskan hukum-hukum agama yang lain dalam kitab-Nya atau melalui lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia menjelaskannya dengan informasi yang sangat jelas agar para hamba mampu melaksanakan seluruh apa yang diperintahkan dan menjauhi segenap apa yang dilarang [Tafsir Ibnu Jarir 3/229-275; Tafsir Ibnu Katsir 1/510-520; Tafsir as-Sa’di hlm. 87-88; Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/346-350].

Faidah-Faidah Ayat

  1. Setiap orang terkadang mengkhianati dirinya sendiri sebagaimana ia mengkhianati orang lain. Dia berkhianat pada diri sendiri tatkala dirinya bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Berlandaskan hal itu, maka jiwa atau diri manusia adalah amanah yang ada di sisinya seperti apa yang difirmankan oleh Allah Ta’ala,

عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ

Allah mengetahui bahwasanya kalian mengkhianati diri kalian sendiri.” [Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/352]

  1. Pada firman Allah Ta’ala,

وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ

“ … dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu

terdapat anjuran untuk mencari Lailatul Qadr berdasarkan pendapat yang menyatakan bahwa tafsir dari redaksi “مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ” adalah Lailatul Qadr. Selain itu, pada firman Allah tersebut terdapat anjuran untuk berniat mendapatkan keturunan dan menegakkan sunnah ketika berjimak, dan tidak sekadar berlezat-lezat berdasarkan pendapat yang menyatakan tafsir dari redaksi “ما كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ” adalah anak [Al-Iklil hlm. 42].

  1. Pada firman Allah Ta’ala,

فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ

terdapat indikasi akan kebolehan mencumbui istri hingga fajar terbit, karena Allah membolehkan berjimak hingga waktu tersebut. Dan mandi junub tidaklah wajib dilaksanakan sebelum fajar. Karena apabila bercumbu diizinkan hingga fajar terbit, tentu mandi wajib hanya bisa dilaksanakan setelah itu. Oleh karena itu, tidak mengapa apabila seorang memasuki waktu Subuh dalam kondisi junub, kemudian mandi dan menyempurnakan puasa. Terdapat riwayat yang valid bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi junub ketika waktu Subuh karena menggauli istri, kemudian beliau tetap berpuasa [Tafsir Abu Hayyan 2/217; Tafsir Ibnu Katsir 1/516; Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/354. Hadits yang dimaksud diriwayatkan oleh al-Bukhari: 1931 dan Muslim: 1109 dari Aisyah radhiallahu ‘anha]

  1. Firman Allah Ta’ala,

حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ

hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar

dijadikan dalil sebagian ulama bahwa orang yang ragu apakah fajar telah terbit, diperbolehkan makan, karena Allah Ta’ala membolehkan makan hingga fajar telah terbit dengan jelas, tanpa ada keraguan [Al-Iklil hlm. 42].

  1. Izin untuk bercumbu, makan, dan minum hingga fajar terbit bagi orang yang hendak berpuasa dalam firman Allah,

فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ

“Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”

terdapat indikasi bahwa tidak ada kewajiban mengqadha puasa bagi setiap orang yang ragu akan terbitnya fajar dan melakukan hal-hal di atas, kemudian mengetahui bahwa fajar telah terbit, lalu dia berpuasa [Tafsir Abu Hayyan 2/216-217]

  1. Pada firman Allah Ta’ala,

حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ

“hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”

disebutkan kata fajar karena terbitnya fajar berpotensi menimbulkan keragu-raguan, terlebih apabila cahayanya bercampur dengan cahaya bulan di malam-malam purnama, sehingga boleh jadi shalat Subuh telah dilakukan kemudian diketahui bahwa fajar belum terbit. Hal ini dialami oleh sejumlah sahabat dan selain mereka. Berbeda dengan matahari dan peristiwa terbenamnya. 

Oleh karena itu –wallahu a’lam- Allah memanjangkan waktu makan di malam hari hingga fajar nampak dengan jelas, kemudian Allah berfirman (yang artinya), “…kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”. Maka Allah menjadikan waktu fajar terkait dengan penampakannya yang jelas dan nyata, yaitu pada saat isfar (terang dan bercahaya) yang telah ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ketika menyampaikan waktu berpuasa, Allah tidak mengungkapkan “…kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga terang/nyata bagi kalian waktu malam” karena masuknya waktu malam dapat jelas diketahui, tanpa ada keraguan [Syarh al-‘Umdah kitab ash-Shalah karya Ibnu Taimiyah hlm. 222].

  1. Firman Allah Ta’ala,

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ

“ … kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”

dijadikan sebagian ulama sebagai dalil untuk menetapkan bahwa seorang tidak diperbolehkan makan dan berbuka puasa apabila dia ragu akan terbenamnya matahari [Al-Iklil hlm. 432].

  1. Firman Allah Ta’ala,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ

“…(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid.”

dijadikan dalil bagi sebagian ulama bahwa puasa merupakan syarat beri’tikaf, karena pembiacaraan dalam ayat tersebut dikhususkan bagi orang yang berpuasa, sehingga jika puasa itu bukan merupakan syarat beri’tikaf, tentu tidak ada faidahnya. Ayat ini juga dijadikan dalil bahwa waktu i’tikaf tidak boleh kurang dari sehari sebagaimana waktu puasa yang tidak kurang dari sehari [Al-Iklil hlm. 43].

  1. Firman Allah Ta’ala,

عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ

“ … sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid.”

dengan keumumannya, dijadikan dalil untuk menetapkan bahwa i’tikaf disyari’atkan untuk dilakukan di masjid [Al Hidayah ilaa Bulugh an-Nihayah 1/627].

  1. Pada firman Allah Ta’ala,

ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”

terdapat keterangan bahwa ilmu agama adalah sebab terwujudnya ketakwaan. Alasannya adalah karena Allah menyampaikan tercapainya derajat ketakwaan setelah redaksi ayat (yang artinya), “Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia”. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kali ayat-ayat Allah diketahui dengan jelas oleh hamba, maka terwujudlah ketakwaan itu. Hal itu juga dikuatkan oleh firman Allah Ta’ala, 

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” [QS. Fathir: 28]

Dengan demikian, setiap kali hamba mengetahui ayat-ayat Allah, niscaya ketakwaannya pun bertambah. Oleh karena itu ada ungkapan,

من كان بالله أعرف كان منه أخوف

“Semakin mengenal Allah, seorang akan semakin bertakwa dan takut kepada-Nya” [Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah 2/361]

  1.   Pada firman Allah Ta’ala, 

كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”

terdapat isyarat bahwa derajat ketakwaan merupakan derajat yang tinggi karena rangkaian ayat-ayat tersebut dijelaskan sedemikian rupa kepada manusia agar mereka bisa mencapainya [Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah 2/361] 

  1. Redaksi firman Allah Ta’ala,

لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

“… supaya mereka bertakwa.”

disampaikan setelah perintah yang memberatkan jiwa. Redaksi di atas diungkapkan dalam ayat ini, karena larangan agar manusia berpuasa dari hal-hal yang sangat disukai adalah hal yang memberatkan. Tidak ada yang memotivasi mereka sehingga mampu melakukannya kecuali karena adanya dorongan ketakwaan. Oleh karena itu, ayat ini diakhiri dengan redaksi di atas [Tafsir Abu Hayyan 2/223]

Aspek-Aspek Balaghah pada Ayat

  1. Pada firman Allah Ta’ala,

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu;”

subyek (fa’il) dihapus dari kata kerja (fi’il) “أُحِلَّ”, dimana kata kerja tersebut disampaikan dalam bentuk pasif (bina lil majhul), karena etikanya penyebutan “ar-rafats” selayaknya tidak dikaitkan secara tegas dengan Dzat yang menghalalkan hal itu di malam hari bulan puasa [Badai’ al-Fawaid 2/19]

  1. Pada firman Allah Ta’ala,

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu;”

Allah menggunakan redaksi “إِلَىٰ نِسَائِكُمْ” dan bukan dengan redaksi “بنسائكم” karena kata “ar-rafats” (bercampur) mengandung arti “al-ifdha” (mendatangi). 

Apabila ada kalimat,

أفضى الرجل إلى المرأة

“Pria itu mendatangi istrinya”

maka kalimat di atas berarti,

إذا جامعها 

“Pria itu mencampuri istrinya” [Tafsir Abu Hayyan 2/212].

  1. Mengenai firman Allah Ta’ala,

هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ

“ … mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.”

terdapat pendapat alim ulama yang menyatakan bahwa redaksi di atas adalah permulaan kalimat yang menjelaskan sebab penghalalan jimak di malam-malam bulan puasa, dimana jimak sulit ditinggalkan karena seringnya suami berinteraksi dan bersentuhan dengan istri [Tafsir Abu as-Su’ud 1/201].

  1. Pada firman Allah Ta’ala,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ

“dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”

fajar shadiq diserupakan dengan seutas benang, karena demikianlah kondisi awal kemunculannya yang seperti benang putih. Cahayanya nampak tipis, kemudian naik menyebar. Maka, dengan terbitnya kondisi awal fajar shadiq di ufuk, wajib untuk menahan diri dan mulai berpuasa. Demikianlah kondisi awal penampakan fajar yang melintang dan cahayanya yang meluas di ufuk dalam gelapnya malam, yang diserupakan dengan benang putih dan benang hitam [Tafsir Abu Hayyan 2/216; tafsir Abu as-Su’ud 1/202].

  1. Penyandaran kata “al-hudud” kepada Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ

“Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.

menunjukkan ungkapan ekspresi yang berlebihan bahwa larangan Allah itu jelas, tidaklah samar, sehingga redaksi tersebut tidak diungkapkan dalam bentuk nakirah ataupun makrifah dengan menggunakan alif dan lam [Tafsir Abu Hayyan 2/222]

  1. Firman Allah Ta’ala,

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ

“Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.

disampaikan setelah penyampaian beberapa hal yang diharamkan. Maka sangatlah sesuai apabila juga disampaikan larangan untuk mendekatinya, karena larangan untuk mendekati suatu hal yang diharamkan lebih mengena daripada larangan untuk mengerjakannya.  Sebagaimana dalam surat yang sama, juga disampaikan dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ

“Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.”

redaksi di atas disampaikan setelah penyampaian perintah-perintah Allah Ta’ala. Oleh karena itu, sangat sesuai apabila juga disampaikan larangan agar tidak melanggar perintah-perintah tersebut [Ad-Durr al-Mashun 2/299; Tafsir as-Sa’di hlm. 87].

[Selesai]

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56279-ayat-ayat-shiyam-bag-5.html

11 Manusia yang Tidak Ada Rasa Takut dan Sedih Dalam Hatinya

Al-Qur’an sering menyebutkan bahwa ada manusia-manusia yang tidak ada ketakutan dan kesedihan dalam hatinya.

Mungkin kita penasaran, siapakah mereka? Apakah kita termasuk dalam golongan mereka?

Ada sebelas tipe manusia yang tidak ada rasa takut ataupun kegelisahan dalan hatinya. Mari kita simak ayat-ayat berikut ini :

(1). Orang yang mengikuti petunjuk dari Allah swt.

فَمَن تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

“Maka barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS.Al-Baqarah:38)

(2). Orang yang beriman kepada Allah, kepada Hari Akhir dan beramal sholeh.

مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَعَمِلَ صَٰلِحٗا فَلَهُمۡ أَجۡرُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

“Siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.” Al-Baqarah, Ayat 62

(3). Orang yang pasrah sepenuhnya kepada Allah dan terus berbuat kebaikan.

مَنۡ أَسۡلَمَ وَجۡهَهُۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحۡسِنٞ فَلَهُۥٓ أَجۡرُهُۥ عِندَ رَبِّهِۦ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

“Barangsiapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (Al-Baqarah:112)

(4). Orang yang berinfaq dan tidak mengungkit serta menyakiti si penerima.

ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ثُمَّ لَا يُتۡبِعُونَ مَآ أَنفَقُواْ مَنّٗا وَلَآ أَذٗى لَّهُمۡ أَجۡرُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

“Orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, kemudian tidak mengiringi apa yang dia infakkan itu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS.Al-Baqarah:262)

(5). Orang yang berinfaq dengan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.

ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُم بِٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ سِرّٗا وَعَلَانِيَةٗ فَلَهُمۡ أَجۡرُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

“Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS.Al-Baqarah:274)

(6). Orang yang beriman, beramal sholeh, mendirikan solat dan mengeluarkan zakat.

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُاْ ٱلزَّكَوٰةَ لَهُمۡ أَجۡرُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

“Sungguh, orang-orang yang beriman, mengerjakan kebajikan, melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS.Al-Baqarah:277)

(7). Orang yang syahid di jalan Allah.

وَلَا تَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمۡوَٰتَۢاۚ بَلۡ أَحۡيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمۡ يُرۡزَقُونَ – فَرِحِينَ بِمَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦ وَيَسۡتَبۡشِرُونَ بِٱلَّذِينَ لَمۡ يَلۡحَقُواْ بِهِم مِّنۡ خَلۡفِهِمۡ أَلَّا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

“Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki,Mereka bergembira dengan karunia yang diberikan Allah kepadanya, dan bergirang hati terhadap orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS.Ali ‘Imran:169-170)

(8). Siapa yang beriman dan melakukan perbaikan (bisa juga dalam arti mengupayakan perdamaian).

فَمَنۡ ءَامَنَ وَأَصۡلَحَ فَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

“Barangsiapa beriman dan mengadakan perbaikan, maka tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS.Al-An’am:48)

(9). Orang yang bertakwa dan melakukan perbaikan.

فَمَنِ ٱتَّقَىٰ وَأَصۡلَحَ فَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

“Maka barangsiapa bertakwa dan mengadakan perbaikan, maka tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.” (QS.Al-A’raf:35)

(10). Auliya’ Allah.

أَلَآ إِنَّ أَوۡلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

“Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS.Yunus:62)

(11). Orang yang beristiqomah.

إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَٰمُواْ فَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian mereka tetap istiqomah tidak ada rasa khawatir pada mereka, dan mereka tidak (pula) bersedih hati. (QS.Al-Ahqaf:13)

Itulah sebelas tipe manusia yang tidak memiliki rasa takut dan kesedihan dalam hatinya. Ketakutan dan kegelisahan biasanya muncul ketika ada kesalahan, keraguan ataupun kurangnya keyakinan. Selama seorang mau mengikuti petunjuk Allah, pasrah dengan semua ketentuannya, selalu berbagi kebaikan dan beristiqomah maka tidak akan ada rasa takut atau sedih dalam hatinya.

Semoga Allah menggabungkan kita dalam golongan orang-orang yang tidak ada rasa takut ataupun kesedihan dalam dirinya.

KHAZANAH ALQURAN

Amalan-Amalan Sunnah Penambah Pahala di Bulan Ramadhan

Ada beberapa amalan sunnah yang bisa dilakukan selama Ramadhan.

Dalam bukunya Fiqih Puasa : Ibu Hamil dan Menyusui Bolehkah Bayar Fidyah Saja, Muhammad Ajib  menyebutkan lima amalan sunnah yang dapat dikerjakan selama puasa Ramadhan. Pertama, Mengakhirkan Makan Sahur

Disunnahkan ketika hendak puasa untuk makan sahur terlebih dahulu. Walaupun sahurnya hanya dengan seteguk air tetap mendapatkan sunnah puasa.

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim :
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ”Makan sahurlah kalian, karena dalam sahur itu ada keberkahan”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Kedua, Menyegerakan Berbuka, Ketika sudah terdengar azan Maghrib maka disunnahkan untuk menyegerakan berbuka puasa. Makruh hukumnya jika sampai menunda-nunda buka puasa hingga waktu malam hari.

Hal ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad :
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda: ”Umatku senantiasa dalam kebaikan selama menyegerakan
buka puasa dan mengakhirkan sahur. (HR. Ahmad)

Sebelum berbuka puasa juga disunnahkan untuk berdoa terlebih dahulu. Para ulama mengatakan ada dua hadits mengenai bacaan ketika hendak berbuka puasa.
Hadits pertama adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam al-Baihaqi.

Dari Mu’adz bin Zahrah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda ketika berbuka puasa mengucapkan: “Allahumma laka sumtu wa ‘alaa rizqika afthortu”. (HR. Abu Dawud  & al-Baihaqi)

Hadits kedua adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam al-Baihaqi. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika berbuka puasa mengucapkan, “Dzahaba ad-Dzoma’ wabtallatil Uruuq, watasabatal ajru insyaAllah. (HR. Abu Dawud & al-Baihaqi).

Syaikh al-Utsaimin rahimahullah (w. 1421 H) mengatakan, bahwa para ulama menilai kedua hadits itu sebagai hadits yang sama-sama dhoif. Namun para ulama membolehkan berdoa dengan doa apa saja dari keduanya atau lainnya.

Fatwa beliau ini ada di dalam kitab Majmu’ Fatawa Wa Rasail Al-Utsaimin:
Doa yang ma’tsur seperti Allahumma laka sumtu wa alaa rizqika afthortu dan juga doa Dzahaba ad-Dzoma’ wabtallatil Uruuq, watasabatal ajru insyaAllah. Dua hadits ini dhoif tapi sebagian ulama menghasankan keduannya. Maka jika kalian mau berdoa dengan doa itu atau doa apa saja ketika berbuka puasa maka hal itu termasuk waktu yang mustajab.

Tiga, Memperbanyak Ibadah Sunnah. Bulan ramadhan adalah bulan kesempatan bagi umat Muslim untuk meraih lebih banyak pahala dengan memperbanyak ibadah. Maka sangat rugi apabila di bulan ramadhan hanya fokus pada puasa saja.

Ibadah lain seperti membaca al-Quran, memperbanyak shadaqah, i’tikaf di masjid, shalat tarawih, shalat witir, dan shalat dhuha yang sangat dianjurkan untuk ditingkatkan kualitasnya di bulan ramadhan.

Empat, Menahan Diri dari Amal Buruk. Disunnahkan ketika puasa untuk tidak berkata-kata kasar, jorok, buruk, bohong dan lain-lain. Hal ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari.

Dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang tidak meninggalkan perkataan kotor dan perbuatan keji, maka Allah tidak butuh dia untuk meninggalkan makan minumnya (puasanya). (HR. al-Bukhari)
 
Juga hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Setiap amal perbuatan manusia untuknya kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untukku dan Aku yang akan membalasnya sendiri. Puasa adalah perisai. Janganlah kamu melakukan rafats dan khashb pada saat berpuasa. Bila seseorang mencacinya atau memeranginya, maka hendaklah dia berkata, “Aku sedang puasa”. (HR. Al-Bukhari).

KHAZANAH REPUBLIKA