Selamat Tinggal Ramadhan yang Tak Biasa

Ramadhan datang ketika kita tengah diuji dengan musibah. Kita melewati Ramadhan dengan rasa takut. Kita juga melewati Ramadhan dengan rasa khawatir.

IBNU Jauzi, seorang ulama Salaf, pernah berkata, “Sesungguhnya kuda pacu apabila sudah mendekati garis finish, ia akan mengerahkan seluruh tenaganya untuk memenangkan lomba. Maka jangan sampai Anda kalah cerdas dari kuda pacu. Sebab, sesungguhnya amalan itu ditentukan oleh penutupnya. Jika Anda belum sempat menyambut Ramadhan ini dengan baik, paling tidak Anda dapat melepasnya dengan baik.”

Tak lama lagi Ramadhan tahun ini akan berakhir. Kita yang diberi kesempatan oleh Allah Ta’ala untuk memasukinya akan mencatat bahwa Ramadhan ini adalah Ramadhan yang tidak biasa.

Pada Ramadhan tahun ini, kesabaran kita betul-betul diuji. Kita dijauhkan dari masjid dan dijauhkan dari jamaah. Bahkan tak sekadar itu, sebagian dari kita juga diuji dengan rasa lapar. Bukan sekadar karena kita berpuasa, tapi karena memang tak ada lagi yang bisa kita makan.

Sebagian dari kita kehilangan mata pencaharian, sebahagian lagi kehilangan sanak keluarga karena Allah Ta’ala mengambilnya lewat perantaraan penyakit yang Allah Ta’ala turunkan kepada kita.

Ramadhan datang ketika kita tengah diuji dengan musibah. Kita melewati Ramadhan dengan rasa takut. Kita juga melewati Ramadhan dengan rasa khawatir.

Namun, Ramadhan dengan segala keutamaannya telah datang kepada kita dan tak lama lagi akan pergi. Sebagian dari kita telah abai. Sebab, kita tak menjumpai lagi suasana Ramadhan seperti tahun-tahun lalu.

Jika itu yang terjadi dengan kita, maka masih terbuka kesempatan untuk melepasnya dengan baik. Ramadhan masih menyisakan satu atau dua hari lagi. Kerahkan seluruh waktu dan tenaga untuk meraih sebanyak mungkin keutamaan di masa mendekati garis finish ini sebagaimana nasehat Ibnu Jauzi.

Namun jika kita sudah memulainya dengan baik sejak awal Ramadhan, maka sempurnakanlah kebaikan itu di akhir Ramadhan ini. “Wahai hamba-hamba Allah,” kata Ibnu Rajab, salah seorang ulama Salaf, “Sungguh bulan Ramadhan ini akan segera pergi dan tidaklah tersisa darinya kecuali sedikit. Maka barang siapa telah mengisinya dengan baik, hendaklah ia menyempurnakannya, Dan barang siapa maksimal mengisinya dengan baik, hendaklah ia mengakhirinya dengan amal-amal yang baik.” Wallahu a’lam.*

HIDAYATULLAH

Para Pencari Tuhan

JUDUL tulisan ini adalah sama dengan judul beberapa buku yang pernah saya baca. Peminatnya banyak sekali karena kebanyakan kita adalah para pencari Tuhan. Lihatlah betapa banyak antrian manusia untuk menunaikan ibadah haji mengunjungi Rumah Allah. Lihat pula animo orang yang bingin melaksanakan ibadah umroh. Rata-rata mereka adalah para pencari Tuhan. Lihat pula orang-orang yang rajin i’tikaf di Masjid. Merekapun adalah para pencari Tuhan.

Saat musibah wabah corona tiba, tanah suci ditutup dan masjid-masjidpun ditutup. Banyak orang yang kemudian bingung di manakah atau ke manakah mereka harus mencari Tuhan. Apakah Tuhan sulit ditemui di saat-saat seperti sekarang ini? Mari kita baca hadits shahih riwayat Imam Muslim berikut ini:

Dari Abu Hurairah: Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Allah Azza wa Jalla berfirman di hari kiamat: “Hai anak Adam, Aku telah sakit, tapi kau tidak menjenguk-Ku. Orang itu bertanya: Wahai Tuhan, bagaimana caraku menjenguk-Mu, sedangkan Kau Tuhan yang Maha Kuasa? Allah menjawab: Apakah kau tidak mengetahui bahwa seorang hamba-Ku bernama Fulan sakit tapi kau tidak mau menjenguknya. Sekiranya kau menjenguknya, pasti kau dapati Aku di sisinya. Wahai anak Adam, Aku minta makan kepadamu, tapi kau tidak mau memberikan makan kepada-Ku. Orang itu bertanya: Wahai Tuhan, bagaimana caraku memberi makan kepada-Mu, sedang Kau Tuhan yang Maha Kuasa? Allah berfirman: Apakah kau tidak tahu adanya seorang hamba-Ku, si Fulan, telah datang meminta makan kepadamu, tapi kau tidak memberinya makan. Sekiranya kau memberinya makan, pasti kau akan menemukan balasannya di sisi-Ku. Wahai anak Adam, Aku minta minum kepadamu, tapi kau tidak mau memberi-Ku minum. Orang itu bertanya: Wahai Tuhan, bagaimana caraku memberi-Mu minum, padahal Kau Tuhan yang Maha Kuasa? Allah berfirman: Apakah kau tidak tahu bahwa hamba-Ku, si Fulan, minta minum kepadamu tapi kau tidak mau memberinya minum. Sekiranya kau memberinya minum, pasti kau akan menemui balasannya di sisiKu.”

Sudah ketemukah titik terang kemana kita bisa mencari dan menemukan Tuhan? Jangan bingung-bingung lagi, mari kita berbuat menjadi karyawan Allah dengan membahagiakan hamba-hambaNya yang menderita dan sedih. Coba kita baca kisah prncarian Tuhan oleh Nabi Musa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal.

Nabi Musa bin Imran suatu saat berkata: “Wahai Tuhan, di mana aku mencari-Mu?” Allah menjawab: “Carilah Aku di sisi orang-orang yang hancur hatinya. Sesungguhnya Aku dekat dengan mereka setiap hari (sejarak) satu b (sekitar dua lengan). Jikalau tidak demkian, mereka pasti roboh.”

Orang-orang yang hatinya hancur dengan berbagai ujian dan musibah, namun tetap bersabar, maka sesungguhnya mereka sedang bersama Allah. Dekatlah dengan mereka, maka kita akan “menemukan” Allah ada di sana. Salam, Ahmad Imam Mawardi, Pengasuh Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim Surabaya. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Ciri-Ciri Puasa Ramadhan Diterima

Dalam merayakan hari raya, harus sesuai dengan tuntutan Rasulullah.

Hari Raya Idul Fitri merupakan hari berbahagia dan bersenang-bersenang bagi seluruh umat Islam di dunia. Namun cara kita umat Islam dalam merayakan hari raya jangan seperti orang-orang kafir merayakan hari rayanya.

Umat Islam dalam merayakan hari raya haruslah sesuai dengan tuntunan Nabi kita Muhammad saw dan para salaf. Sehingga kita dapat mencapai makna Idul Fitri yang sesungguhnya yakni diterimanya amal ibadah puasa kita.

Ketua umum Pengurus Besar Pemuda Al Irsyad Ustaz Fahmi Bahreisy Lc, Msi mengatakan, separti yang disampaikan ulama generasi salaf Wahab bin Wardi pernah melihat sekelompok orang yang tertawa-tawa di hari Idul Fitri, lalu ia mengatakan. “Seandainya amalan puasa mereka diterima, maka bukanlah demikian prilaku orang-orang yang bersyukur. Jika amalan mereka belum diterima, maka hal itu bukanlah sikap orang-orang yang takut atau khawatir”

Fahmi menyampaikan perkataan ulama lainnya, seperti dari Hasan al-Bashri, ia mengatakan, sesungguhnya Allah menjadikan bulan Ramadhan sebagai arena pacu bagi para hamba-Nya untuk melakukan ketaatan demi meraih rihda-Nya.

Menurut Hasan al-Bashri ada kelompok yang mereka (cepat dalam pacuan) sehingga mendahului, dan mereka memenangkannya. Ada juga yang tertinggal, dan mereka merana. Beruntunglah mereka yang bergembira di hari suksesnya orang-orang yang telah berbuat baik. Dan merugilah orang-orang yang berbuat kejelekan.

“Dan kemudian beliau menangis,” katanya.

Maka dari itu kata Ustaz Fahmi, sebagai seorang Muslim, jangan sampai hari raya dijadikan ajang untuk bermaksiat, melakukan kemunkaran atau hal-hal yang membuatnya lupa dari Allah
 
Namun, sebaliknya isilah hari raya dengan amalan-amalan yang mengantarakan kita kepada sikap rasa syukur kepada Allah SWT. Oleh karena itu, Rasulullah saw memberi panduan kepada kita berupa amalan yang dianjurkan untuk dilakukan saat hari raya.

“Seperti bertakbir, sholat id, memakai pakaian yang terbaik, saling memberikan ucapan selamat dan saling bersilaturrahim,” katanya.

Menurut dia, jika kita melakukan apapun termasuk merayakan hari raya Idul Fitri sesua tuntunan Rasulullah SAW maka kita akan dimasukkan sebagai pemenang di hari raya ini.

“Taqabbalallahu minna wa minkum taqabbal ya kariim. Minal aidin wal faizin,” katanya.

KHAZANAH REPUBLIKA
 

Keutamaan Bersegera Menuju ke Masjid dan Menunggu Shalat Jama’ah

Terdapat keutamaan yang besar dari bersegera menuju ke masjid. Hal ini karena siapa saja yang keluar menuju masjid untuk shalat berjamaah, maka dia dinilai sedang shalat, baik waktu perjalanannya ke masjid itu lama ataupun hanya sebentar. Hal ini ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلاَةٍ مَا دَامَتِ الصَّلاَةُ تَحْبِسُهُ ، لاَ يَمْنَعُهُ أَنْ يَنْقَلِبَ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا الصَّلاَةُ

“Dan seseorang dari kalian senantiasa dihitung dalam keadaan shalat selama shalat itu menahannya (dia menanti palaksanaan shalat, pent.). Di mana tidak ada yang menghalangi dia untuk kembali kepada keluarganya kecuali shalat itu.” (HR. Bukhari no. 659 dan Muslim no. 649)

Dalam riwayat yang lain disebutkan,

إِنَّ أَحَدَكُمْ فِي صَلاَةٍ مَا دَامَتِ الصَّلاَةُ تَحْبِسُهُ، وَالمَلاَئِكَةُ تَقُولُ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ مَا لَمْ يَقُمْ مِنْ صَلاَتِهِ أَوْ يُحْدِثْ

“Seseorang dari kalian akan selalu dihitung berada di dalam shalat selama shalat itu yang mengekangnya (orang tersebut menanti shalat ditegakkan, pent.). Malaikat akan mendoakan, “Ya Allah, ampunilah dia dan rahmatilah”, selama dia belum berdiri [1] dari tempat shalatnya atau telah berhadats.” (HR. Bukhari no. 3229 dan Muslim no. 649)

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa keutamaan menunggu shalat itu sebagaimana orang yang sedang shalat. Karena diketahui bahwa perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan seseorang dari kalian senantiasa dihitung dalam keadaan shalat selama dia menanti palaksanaan shalat”, tidaklah dimaksudkan orang yang menunggu itu dalam kondisi sedang berdiri, sedang dia ruku’ dan sujud. Yang beliau maksudkan adalah bahwa keutamaan menunggu pelaksanaan shalat itu akan didapatkan dengan maksud dan niat menuju masjid untuk shalat. Dan bahwa orang yang menunggu shalat itu memiliki keutamaan yang sama dengan orang yang sedang shalat. Allah memberikan keutamaan dengan apa yang Dia kehendaki, kepada siapa saja yang dia kehendaki, dan dalam amal apa saja yang Dia kehendaki. Tidak ada yang bisa meralat dan menolak keutamaan-Nya.

Dari sisi yang lain, ketika kita telah mengetahui keutamaan shalat, maka kita pun mengetahui keutamaan orang menunggu pelaksanaan ibadah shalat. Padahal, manusia telah mengetahui bahwa orang yang shalat itu lebih capek dalam hal membaca Al-Qur’an, berdiri, dan ruku’, daripada orang yang menunggu pelaksanaan ibadah shalat. Baik orang yang menunggu shalat itu dalam kondisi ingat (berdzikir) ataupun dalam kondisi lalai. Akan tetapi, keutamaan seperti itu tidaklah dinilai dengan akal logika, dan tidak bisa di-qiyas-kan (di-analogi-kan). Seandainya boleh memakai qiyas, maka orang yang berniat buruk itu akan dinilai sama dengan orang yang berniat baik. Akan tetapi, Allah Ta’ala itu Maha memberikan nikmat dan Maha pemurah, memberikan keutamaan dan Maha penyayang. Allah Ta’ala memberikan pahala dengan niat baik seseorang, meskipun belum dilakukan (belum direalisasikan). Dan jika dia melakukannya, pahalanya akan dilipatgandakan sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Dan Allah Ta’ala melipatgandakan pahala bagi siapa saja yang Allah Ta’ala kehendaki. Namun, Allah Ta’ala tidaklah menghukum hamba-Nya dengan niat jelek yang muncul dari dada mereka, dan juga karena niat jelek yang muncul, selama dia tidak melakukannya (merealisasikannya). Dan ini semuanya tidaklah bisa dilogika dengan qiyas.” (At-Tamhiid, 19: 26-27)

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Hadits ini termasuk hadits yang paling bagus berkaitan dengan keutamaan orang yang menunggu shalat. Hal ini karena malaikat memohonkan ampun untuknya. Dan ketika malaikat memintakan ampun untuknya, hal itu menunjukkan adanya ampunan Allah Ta’ala untuknya, insyaa Allah. Tidakkah Engkau tahu bahwa menuntut ilmu agama merupakan amal yang paling utama. Hal itu hanyalah karena –wallahu Ta’ala a’lam- malaikat meletakkan sayapnya untuk berdoa dan memohonkan ampun untuknya.” (At-Tamhiid, 19: 43)

Allah Ta’ala telah menjadikan amal menunggu shalat setelah shalat sebagai sebab terhapusnya dosa dan tersucikannya hamba dari dosa-dosa. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الْخَطَايَا، وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟ قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ، وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ، وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ

“Maukah kalian aku tunjukkan kepada suatu amal yang dapat menghapus kesalahan (dosa) dan meninggikan derajat?” Para sahabat menjawab, ”Ya, wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda”(Yaitu) menyempurnakan wudhu dalam kondisi sulit, banyaknya langkah menuju masjid, menunggu shalat setelah mendirikan shalat. Itulah ar-ribaath.” (HR. Muslim no. 251)

Makna umum hadits ini menunjukkan faidah keutamaan menunggu shalat dan bersegera menuju ke masjid. “Menunggu” di sini mencakup menunggu datangnya waktu shalat dan menunggu didirikannya shalat jama’ah (ketika sudah berada di dalam masjid). Sebagaimana juga mencakup menunggu di masjid dengan hadir seawal mungkin, atau menunggu di rumah dan di pasar agar segera bisa hadir ke masjid. Hal ini karena pikiran dan hatinya selalu terikat dengan shalat. Hatinya selalu hadir dan merasa diawasi, tanpa lalai dari keutamaan ibadah jasmani tersebut sedikit pun. (Lihat Daliil Al-Falihiin, 1: 366)

Dalam hadits di atas, renungkanlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyamakan tiga amal di atas dengan ar-ribath. Ar-ribath adalah jihad melawan musuh di medan perang dan menyiapkan kuda perang. Hal ini menguatkan betapa agungnya keutamaan tiga amal tersebut dan tingginya kedudukan amal tersebut di sisi Allah Ta’ala. [2]

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56676-keutamaan-bersegera-menuju-ke-masjid-dan-menunggu-shalat-jamaah.html

Penentuan Jenis Maslahat di Balik Tindakan Penutupan Masjid di Masa Wabah

الحمد لله وحده والصلاة والسلام على من لا نبي بعده

أما بعد

Perdebatan dalam mengidentifikasi jenis maslahat pada upaya isolasi dan karantina sebenarnya telah diatasi dengan adanya keterangan para dokter yang disertai fakta bahwa perkembangan medis dan akses pengobatan yang luar biasa di saat ini belum ditemukan di zaman salaf. 

Menjaga jiwa manusia merupakan salah satu hal yang ditekankan oleh agama (syariat)

Karena menjaga jiwa merupakan salah satu kebutuhan pokok yang ditekankan dalam agama, maka agama memberikan porsi perlindungan yang lebih daripada kebutuhan lain yang berada di bawahnya. Oleh karena itu, kepastian terjadinya bahaya tidaklah menjadi syarat untuk melakukan upaya pencegahan dalam melindungi jiwa manusia. Akan tetapi, cukup dengan adanya kekhawatiran (al-khauf) terhadap hilangnya nyawa yang bertopang pada asumsi yang kuat. Asumsi yang kuat ini menjadi faktor pertimbangan dalam perkara-perkara yang diperkirakan dapat terjadi. Sebagaimana juga digunakan dalam perkara-perkara yang sering terjadi, sebagai bentuk upaya untuk mewujudkan maslahat bagi kepentingan bersama dan menjaga jiwa dari segala hal yang mengancam.

Penutupan masjid, perkara dharuriyah atau haajiyah?

Dalam hal penutupan masjid untuk sementara waktu, alim ulama berbeda pendapat karena dilatarbelakangi oleh perbedaan cara pandang dalam meninjau maslahat yang terdapat dalam tindakan mengisolasi/mengarantina suatu tempat yang terjangkit wabah. 

Apakah hal itu merupakan dharuriyah sehingga harus memperhitungkan hukum-hukum kedaruratan (ahkam adh-dharurah) ataukah ia adalah haajiyah yang harus memperhitungkan hukum-hukum kesukaran (ahkam al-masyaqqah)?

Ulama yang berpandangan bahwa hal itu adalah dharuriyah akan mewajibkan penutupan masjid. Sedangkan ulama yang berpandangan bahwa hal itu adalah perkara haajiyah, melarang penutupan masjid dan menjadikan tolok ukur pemberlakuan rukhshah bergantung pada kondisi setiap orang.

Beberapa penuntut ilmu keliru karena berpikir bahwa substansi hukum penutupan masjid adalah upaya menghalang-halangi manusia dari jalan Allah dan menghalang-halangi mereka untuk menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya. Hal ini seperti yang dinyatakan dalam surat al-Baqarah ayat 114. Meski alasan tersebut terkadang menjadi kelaziman dari pendapat ulama yang menjadikan maslahat isolasi/karantina sebagai haajiyah, namun anggapan itu tidaklah tepat. Alasannya adalah penutupan masjid yang dilatarbelakangi adanya maslahat yang dibenarkan agama berbeda dengan penutupan masjid tanpa alasan yang dibenarkan agama. Ayat tersebut tentunya terbatas pada upaya penutupan masjid tanpa alasan yang dibenarkan agama, sehingga termasuk sebagai upaya menghalang-halangi orang dari jalan Allah.

Keterangan para ahli medis berkaitan dengan wabah virus corona

Perdebatan dalam mengidentifikasi jenis maslahat pada upaya isolasi dan karantina sebenarnya telah diatasi dengan adanya keterangan para dokter yang disertai fakta bahwa perkembangan medis dan akses pengobatan yang luar biasa di saat ini belum ditemukan di zaman salaf. 

Para ahli juga telah menetapkan bahwa penyakit yang disebabkan oleh virus corona adalah penyakit yang mematikan dan cepat menyebar. Obat bagi penyakit ini belum ditemukan. Tidak hanya itu, penyebarannya juga berada di luar kendali manusia, sebagaimana hal ini telah terjadi di beberapa negeri. Sehingga wabah penyakit ini tidak hanya terjadi spesifik di satu negeri seperti kasus tha’un dahulu, tetapi sudah menjadi pandemi global yang menimpa seluruh belahan dunia. Para dokter telah mengidentifikasi bahwa penyakit ini menyebar dan menular dengan cepat, yang terkadang tidak menampakkan gejala pada orang yang terinfeksi.

Berbagai alasan di atas menuntut perlunya isolasi dan karantina di seluruh negara. Hal ini karena maslahatnya bersifat dharuriyah dan bukan haajiyah, mengingat penyakit ini bukan penyakit yang hanya terjadi di suatu negeri. Apabila maslahatnya dharuriyah, maka masjid-masjid harus ditutup dan tentu kerugian yang ditimbulkan dari penutupan masjid untuk sementara waktu lebih ringan daripada kerugian yang timbul dari hilangnya nyawa.

Jawaban atas anggapan bahwa penutupan masjid adalah perkara haajiyah

Mereka yang berpandangan bahwa maslahat isolasi/karantina adalah haajiyah beralasan bahwa di zaman salaf juga terdapat tuntutan untuk melakukan isolasi/karantina ketika wabah tha’un menimpa mereka. Meski demikian hal itu tidak mendorong mereka untuk menutup masjid-masjid.

Alasan mereka itu dapat dijawab sebagai berikut:

  • Klaim bahwa wabah tha’un lebih mematikan dan lebih cepat menyebar daripada virus corona adalah klaim yang perlu diteliti lebih lanjut.
  • Minimnya teknologi medis dalam mengidentifikasi sebab-sebab penyebaran penyakit di zaman salaf berujung pada penangangan yang berbeda dan tentu hal ini juga berpengaruh pada hukum.
  • Kenyataannya kecepatan penyebaran tha’un tidaklah secepat virus corona.
  • Penderita Tha’un tidak pergi ke masjid sehingga tidak perlu ada fatwa untuk menutup masjid-masjid.
  • Terkait dengan hukum, terdapat kaidah عدم النقل لا يدل على العدم, ketiadaan dalil tidak lantas menunjukkan ketiadaan sesuatu. Dalam hal ini, tidak adanya fatwa penutupan masjid di masa salaf bukan berarti di masa itu masjid-masjid tidak ditutup ketika terjadi wabah Tha’un. Justru ahli sejarah telah menyebutkan betapa banyak masjid yang kosong disebabkan terjadinya perang atau wabah (epidemi). Pada saat hal itu terjadi, tidak satu pun ulama yang memaksa masyarakat untuk memakmurkan masjid karena berdasarkan ‘urf hal itu sulit dilakukan. Jika dilakukan, maka hal itu berarti membebani mereka dengan perkara yang tidak mampu dilaksanakan. Agama ini tidak memerintahkan sesuatu yang sulit dilakukan secara ‘urf. Juga, tidak ada perbedaan antara perkara yang sulit dilakukan berdasarkan syari’at dan perkara yang sulit dilakukan berdasarkan ‘urf

Saya juga ingin menekankan bahwa terdapat kontradiksi dari beberapa orang yang mengemukakan pendapat dalam permasalahan ini (yaitu hukum penutupan masjid sementara waktu di masa wabah). Hal ini karena di satu sisi mereka mendukung pemberlakuan jam malam, baik secara keseluruhan atau sebagian, namun di sisi lain mereka kontra terhadap wacana penutupan masjid. 

Hal yang aneh juga terjadi pada orang yang berpendapat bahwa maslahat dalam permasalahan ini adalah haajiyat. Mereka berdalil dengan aktifitas mengambil rukhshah (tarakhush) karena hujan untuk menyatakan penutupan masjid tidak diperbolehkan. Mereka berpikir bahwa qiyas yang mereka lakukan adalah qiyas ‘illah yang melazimkan kesamaan hukum dan luput dari pikiran mereka bahwa pendalilan yang tepat dalam hal ini adalah pendalilan dengan menggunakan mafhum muwafaqah atau qiyas aula, yang berarti bahaya virus corona yang lebih besar daripada bahaya hujan tentu menuntut adanya prioritas dalam upaya pengambilan rukhshah dan penutupan masjid.  

Demikianlah analisa terhadap permasalahan ini. Kita tidak sepatutnya menuduh pihak lain yang berbeda pendapat dengan tuduhan telah berdosa; melayani pihak sekuler dan membela kepentingan mereka; serta menyatakan bahwa upaya penutupan masjid ini hanya bergantung pada sebab-sebab fisik.

[Selesai]

Penerjemah: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56674-penentuan-jenis-maslahat-di-balik-tindakan-penutupan-masjid-di-masa-wabah.html

Kisah Mualaf Ying Penemu Rapid Test Putuskan Memakai Jilbab

Profesor Ying, setelah menjadi mualaf mengisahkan bagaimana ia memakai jilbab.

Nama Profesor Jackie Ying mencuat seiring ditemukannya alat uji covid-19 tercepat (Rapid test) pada tahun ini. Ying adalah pimpinan Lab NanoBio, perusahaan sains, teknologi, dan penelitian yang menemukan alat rapid test tersebut.

Dan, Ying ternyata adalah seorang mualaf. Dia lahir di Taiwan pada 1966. Pada usia 7 tahun, ia dan keluarganya pindah ke Singapura. Ayahnya seorang dosen Sastra China, di Nanyang University.

Sejak kecil, ia sangat menyukai ilmu pengetahuan, khususnya ilmu kimia. Namun, informasi soal kehidupan pribadinya tidak tersentuh.

Namun, dalam beberapa kali, profesor Ying mengisi program inspirasi di mana, ia berbagi pengalaman tentang perubahan dan prestasi. Termasuk bagaimana ia memilih Islam. Profesor Ying mengakui awalnya, selain bekerja hanya sedikit hal yang ia lakukan. Seperti mengajak putrinya ke taman.

Seiring perjalanan waktu, ada perubahan dalam hidupnya. Ia mengenal agama melalui teman baiknya saat belajar di Raffles Girls School. Barulah, pada usia 30 tahun, ia mulai membaca soal agama Islam. Dalam kesimpulannya, Islam menurut Profesor Ying merupakan agama yang sederhana dan masuk akal.

Ketika menjadi Muslim, Profesor Ying mengakui tak ada reaksi negatif. Namun, koleganya tidak menghiraukan perubahan itu. Yang pasti, koleganya tidak lagi melihat sosok Profesor Ying yang tidak percaya dengan adanya Sang Pencipta dibalik sistematika biologis kehidupan. Namun, seorang yang meyakini ada sesuatu yang Maha Besar di balik sistem kehidupan.

Setelah menjadi Muslim, Profesor Ying akhirnya bisa melaksanakan umroh. Sepulangnya dari umroh, ia mulai mengenakan jilbab.

Sejak menjadi Muslim, Profesor Jackie Ying sangat aktif berdakwah di Yayasan Mandaki. Yayasan ini memiliki tujuan membantu pengembangan sumber daya komunitas Muslim Melayu di Singapura.

Kini, ia menjadi salah satu mentor di bawah Mendaki Project Anak didik yang dia akan mentor pemuda Muslim inspirasi yang berniat masuk ke bidang Sains, memberi mereka kesempatan untuk membenamkan diri dalam proyek-proyek penelitian yang dilakukan di laboratoriumnya.

sumber : Asianscientist.com

KHAZANAH REPUBLIKA

Wudhu dan Terompah Bilal di Surga

Friday, 01 May 2020 08:51 WIB

Wudhu dan Terompah Bilal di Surga

Rasulullah mengetahui wajah mereka dari bekas wudhuRed: A.Syalaby IchsanRepublika.co.id

Waktu-Waktu yang Dianjurkan untuk Berwudhu.

Waktu-Waktu yang Dianjurkan untuk Berwudhu.

REPUBLIKA.CO.ID, Pada satu waktu, Rasulullah SAW keluar menuju mereka dan menceritakan kenikmatan surga. Nabi SAW bersabda kepada Bilal bin Rabah.

“Ceritakanlah kepadaku perbuatan terbaik apa yang kau lakukan di Islam karena aku mendengar suara terompahmu di surga,” Bilal menjawab, “aku tidak melakukan apa-apa hanya saja aku tidak pernah berwudhu kecuali sesudahnya aku melaksanakan shalat (sunah berwudhu).” Begitu mulai para mukminin yang menjaga wudhunya. Sampai-sampai, Allah SWT mengangkat derajat Bilal bin Rabah bersama terompahnya.

Wudhu menjadi kewajiban seseorang yang hendak melaksanakan sholat. Dalam Alquran, Allah SWT menjelaskan, dengan perinci bagaimana rukun wudhu itu. “Hai orang-orang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah muka mu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sempai dengan kedua mata kaki,” (QS al-Maidah: 6).

Shaleh al Fauzan dalam Fiqih Sehari-hari menjelaskan, kunci shalat adalah bersuci karena hadas itu menghalangi shalat. Bersuci itu seperti kunci yang diletakkan kepada orang yang berhadas. Jika ia berwudhu, otomatis kunci itu pun terbuka.

Imam Ahmad, dalam riwayatnya, mengungkapkan, Uqbah bin Amir pernah berkata, “Dahulu kami bergilir menggembalakan unta hingga tibalah giliranku maka aku pun menggiringnya. Tiba-tiba, aku menjumpai Rasulullah sedang bersabda di hadapan orang ramai. Aku pun mendengar sabdanya yang berbunyi, “Barang siapa di antara kalian yang ber wudhu dengan sempurna kemudian melaksanakan shalat dua rakaat dengan khusyuk, niscaya dia akan masuk surga dan akan diampuni. ‘Aku berkata, alangkah bagusnya itu.

‘Tiba-tiba berkata seseorang di de katku. Wahai Uqbah, ada yang lebih bagus darinya.’ Aku menoleh, ternyata orang itu adalah Umar ibnul Khaththab. Kuka takan kepadanya, apakah itu wahai Abu Hafshah? Ia menjawab, sesungguhnya Ra sulullah bersabda sebelum kedatanganmu. Barang siapa di antara kalian yang ber wudhu dengan sempurna kemudian mengucapkan, ‘Asyhadu alla ilaa ha illallah, wahdahuu laa syarika lahu, wa anna Muhammadan Abduhu wa rasuluhu,’ niscaya akan dibukakan untuknya kedelapan pintu surga, dia masuk dari mana dia suka.’

Syeikh Aidh al Qarni mengungkapkan, selamat atas orang-orang yang berwudhu. Rasulullah mengetahui wajah mereka dari bekas wudhu yang indah dipandang pada hari berkumpul nanti. Abu Hurairah seperti diriwayatkan Imam Muslim, menjelaskan, Rasulullah mendatangi kuburan dan bersabda, ‘Se lamat atas kalian tempat kaum mukmin dan kami insya Allah menyertai kalian.

Aku senang kita telah melihat saudara-saudara kita. ‘Mereka berkata, ‘Wahai Ra sulullah, bukankah kami juga saudarasaudaramu? Beliau menjawab, ‘Kalian sahabatku, saudara-saudara kita adalah yang belum lahir.’ Mereka berkata, ‘wahai Rasulullah, bagaimana engkau mengetahui umatmu yang belum lahir nanti? Beliau menjawab, ‘Apa pendapatmu kalau seseorang memiliki kuda dengan warna putih di tubuhnya di antara sekumpulan kuda hitam, legam. Tidakkah dia mengetahui kudanya?

Mereka berkata, ‘Iya benar’. Beliau bersabda, Mereka akan datang dengan warna putih di tubuhnya akibat dari bekas wudhu dan aku menuntun mereka ke kolam. Begitulah Rasulullah mengetahui umatnya dari kaum-kaum lainnya, seperti kaum Nabi Musa, Isa, Nuh, dan Ibrahim.

KHAZANAH REPUBLIKA

Puasa Syawal: Puasa Seperti Setahun Penuh

alah satu dari pintu-pintu kebaikan adalah melakukan puasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ؟ الصَّوْمُ جُنَّةٌ …

“Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai, …” (HR. Tirmidzi, hadits ini hasan shohih)

Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadits Qudsi:

وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ

“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari)

Oleh karena itu, untuk mendapatkan kecintaan Allah ta’ala, maka lakukanlah puasa sunnah setelah melakukan yang wajib. Di antara puasa sunnah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam anjurkan setelah melakukan puasa wajib (puasa Ramadhan) adalah puasa enam hari di bulan Syawal.

Dianjurkan untuk Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Hal ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sahabat Abu Ayyub Al Anshoriy, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim)

Pada hadits ini terdapat dalil tegas tentang dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawal dan pendapat inilah yang dipilih oleh madzhab Syafi’i, Ahmad dan Abu Daud serta yang sependapat dengan mereka. Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah menyatakan makruh. Namun pendapat mereka ini lemah karena bertentangan dengan hadits yang tegas ini. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56)

Puasa Syawal, Puasa Seperti Setahun Penuh

Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا)

“Barang siapa berpuasa enam hari setelah hari raya Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barang siapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal].” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)

Orang yang melakukan satu kebaikan akan mendapatkan sepuluh kebaikan yang semisal. Puasa ramadhan adalah selama sebulan berarti akan semisal dengan puasa 10 bulan. Puasa syawal adalah enam hari berarti akan semisal dengan 60 hari yang sama dengan 2 bulan. Oleh karena itu, seseorang yang berpuasa ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan syawal akan mendapatkan puasa seperti setahun penuh. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56 dan Syarh Riyadhus Sholihin, 3/465). Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat ini bagi umat Islam.

Apakah Puasa Syawal Harus Berurutan dan Dilakukan di Awal Ramadhan Syawal?

Imam Nawawi dalam Syarh Muslim, 8/56 mengatakan, “Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhol (utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut (sehari) setelah shalat ‘Idul Fithri. Namun jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya melakukan puasa Ramadhan.” Oleh karena itu, boleh saja seseorang berpuasa syawal tiga hari setelah Idul Fithri misalnya, baik secara berturut-turut ataupun tidak, karena dalam hal ini ada kelonggaran. Namun, apabila seseorang berpuasa syawal hingga keluar waktu (bulan Syawal) karena bermalas-malasan maka dia tidak akan mendapatkan ganjaran puasa syawal.

Catatan: Apabila seseorang memiliki udzur (halangan) seperti sakit, dalam keadaan nifas, sebagai musafir, sehingga tidak berpuasa enam hari di bulan syawal, maka boleh orang seperti ini meng-qodho’ (mengganti) puasa syawal tersebut di bulan Dzulqo’dah. Hal ini tidaklah mengapa. (Lihat Syarh Riyadhus Sholihin, 3/466)

Tunaikanlah Qodho’ (Tanggungan) Puasa Terlebih Dahulu

Lebih baik bagi seseorang yang masih memiliki qodho’ puasa Ramadhan untuk menunaikannya daripada melakukan puasa Syawal. Karena tentu saja perkara yang wajib haruslah lebih diutamakan daripada perkara yang sunnah. Alasan lainnya adalah karena dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” Jadi apabila puasa Ramadhannya belum sempurna karena masih ada tanggungan puasa, maka tanggungan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu agar mendapatkan pahala semisal puasa setahun penuh.

Apabila seseorang menunaikan puasa Syawal terlebih dahulu dan masih ada tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa sunnah biasa) dan tidak mendapatkan ganjaran puasa Syawal karena kita kembali ke perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/89, 100)

Catatan: Adapun puasa sunnah selain puasa Syawal, maka boleh seseorang mendahulukannya dari mengqodho’ puasa yang wajib selama masih ada waktu lapang untuk menunaikan puasa sunnah tersebut. Dan puasa sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa. Tetapi perlu diingat bahwa menunaikan qodho’ puasa tetap lebih utama daripada melakukan puasa sunnah. Hal inilah yang ditekankan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin -semoga Allah merahmati beliau- dalam kitab beliau Syarhul Mumthi’, 3/89 karena seringnya sebagian orang keliru dalam permasalahan ini.

Kita ambil permisalan dengan shalat dzuhur. Waktu shalat tersebut adalah mulai dari matahari bergeser ke barat hingga panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya. Kemudian dia shalat di akhir waktu misalnya jam 2 siang karena udzur (halangan). Dalam waktu ini bolehkah dia melakukan shalat sunnah kemudian melakukan shalat wajib? Jawabnya boleh, karena waktu shalatnya masih lapang dan shalat sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa. Namun hal ini berbeda dengan puasa syawal karena puasa ini disyaratkan berpuasa ramadhan untuk mendapatkan ganjaran seperti berpuasa setahun penuh. Maka perhatikanlah perbedaan dalam masalah ini!

Boleh Berniat di Siang Hari dan Boleh Membatalkan Puasa Ketika Melakukan Puasa Sunnah

Permasalahan pertama ini dapat dilihat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk menemui keluarganya lalu menanyakan: “Apakah kalian memiliki sesuatu (yang bisa dimakan, pen)?” Mereka berkata, “tidak” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kalau begitu sekarang, saya puasa.” Dari hadits ini berarti seseorang boleh berniat di siang hari ketika melakukan puasa sunnah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga terkadang berpuasa sunnah kemudian beliau membatalkannya sebagaimana dikatakan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha dan terdapat dalam kitab An Nasa’i. (Lihat Zadul Ma’ad, 2/79)

Semoga dengan sedikit penjelasan ini dapat mendorong kita melakukan puasa enam hari di bulan Syawal, semoga amalan kita diterima dan bermanfaat pada hari yang tidak bermanfaat harta dan anak kecuali yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallaahu ‘alaa nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shohbihi wa sallam.

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/377-puasa-syawal-puasa-seperti-setahun-penuh.html

Cara Sujud Sahwi: Sebab, Bacaan, dan Hukumnya

Sujud Sahwi dilakukan ketika seseorang merasa melakukan kesalahan dalam sholatnya. Misalnya, lupa membaca tasyahud awal, lupa bacaan suratnya atau jumlah rakaat.

“Juga bagi seseorang yang mengucapkan salam padahal sholatnya belum selesai, maka ia wajib melanjutkan dan menyempurnakan sholatnya , setelah itu dia melakukan sujud setelah salam,” tulis Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri dalam Kitab Minhajul Muslim seperti dikutip Tim Hikmah detikcom.

Dalil Sujud Sahwi

Ada sejumlah hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah melakukan sujud sahwi. Diriwayatkan dalam Hadits at-Tirmidzi bahwa dalam suatu sholat, Nabi Muhammad SAW sempat salam, padahal baru dua rakaat.

Setelah diberi tahu oleh sahabat bahwa sholat baru dua rakaat, Rasulullah SAW melanjutkan dan menyempurnakan sholatnya. Kemudian sang penghulu Rasul itu melakukan sujud setelah salam.

Tata Cara sujud sahwi:

Cara sujud sahwi menurut sejumlah hadits dan disepakati para ulama dilakukan sebanyak dua kali sebelum salam seberapa pun kesalahan dalam sholatnya. Sujud sahwi menurut sunnah dilakukan di dalam salam.

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-khudri oleh Abu Dawud,dan Imam at-Tirmidzi, bahwa Rasulullah pernah mengimami sholat dan lupa.

“Maka beliau (Rasulullah sujud dua kali, kemudian bertasyahud, kemudian salam.”

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Buhainah dalam hadits riwayat Imam al-Bukhari nomor 1224 dan Imam Muslim nomor 570:

فَلَمَّا أَتَمَّ صَلَاتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ فَكَبَّرَ فِي كُلِّ سَجْدَةٍ وَهُوَ جَالِسٌ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ

Setelah beliau (Rasulullah SAW) menyempurnakan sholatnya, beliau sujud dua kali. Ketika itu beliau bertakbir setiap akan sujud dalam posisi duduk. Beliau lakukan sujud sahwi ini sebelum salam.

Menurut Syekh Abdullah Bafadhl, cara sujud sahwi dilakukan dengan melakukan dua kali sujud sebelum salam. Bila seseorang lupa melakukan sujud sahwi, maka dianjurkan untuk masuk kembali ke dalam sholat dan melakukan sujud sahwi.

“Sujud sahwi meski banyak (yang dilupakan dalam sholat) tetap dua sujud seperti sujud sholat. Tempat sujud sahwi adalah waktu antara tasyahud akhir dan salam. Kesunahan sujud sahwi luput sebab salam secara sengaja, demikian juga luput bila lupa tetapi jeda setelah salam terlalu lama. Tetapi ketika jeda setelah salam cukup singkat, maka ia melakukan sujud sahwi. Artinya, ia kembali masuk ke dalam sholat.”

Bacaan Sujud Sahwi

Sejumlah ulama sepakat bacaan pada saat sujud sahwi sama seperti bacaan sujud dalam sholat seperti biasa. Bisa juga membaca bacaan berikut ini:

سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو

“Subhana man laa yanaamu wa laa yas-huw”

Maha Suci Dzat yang tidak mungkin tidur dan lupa”

Hukum Sujud Sahwi

Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri mengatakan, mayoritas ulama berpendapat bahwa seorang makmum yang lupa di belakang imam tidak wajib melakukan sujud sahwi. Kecuali imam yang lupa. “Maka ia (makmum) wajib melakukan sujud bersamanya,” kata dia.

DETIK

Sempatkah Kita Berfikir dan Berdoa untuk Orang Tua

HARI ini (23 Mei 2020) adalah hari terakhir Ramadlan tahun ini. Selama bulan Ramadlan ini kita berpikir keras bagaimana kita bisa tetap hidup bahagia di tengah pandemi Covid ini. Kita pun sibuk berdoa untuk kita dan anak cucu kita. Bahkan lebih dari itu, banyak juga yang sibuk belanja baju baru untuk hari raya katanya. Satu pertanyaan kecil namun berdaya besar perlu kita jawab: “Adakah waktu selama bulan Ramadlan ini untuk berpikir tentang dan berdoa untuk kedua orang tua kita?

Pepohonan sesungguhnya tak begitu tersakiti karena dipotong dan ditebangi, karena itu memang takdir yang harus dijalaninya. Yang menyakitkan bagi pepohonan yang dipotong dan ditebangi itu adalah kenyataan bahwa bagian besar pegangan kapak pemotongnya adalah dari kayu pepohonan itu sendiri.

Anak yang menyakiti orang tuanya sendiri adalah mempersembahkan rasa sakit yang teramat mendalam bagi orang tuanya, rasa sakit yang melampaui semua jenis sakit yang ada di dunia ini. Muliakan orang tua kita, baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal. Jangan lupakan mendoakan mereka semoga menjadi kekasih-kekasih Allah.

Hasan Bashri berkata: “Makan malam bersama ibu yang menjadikan beliau bahagia adalah lebih baik dan lebih aku sukai dibandingkan dengan melaksanakan haji sunnat.” Sempatkan menyapa orang tua kita dan tanyakan apa yang mereka butuhkan. Kalaupun jawaban standarnya adalah “sudah cukup dan kami tidak butuh apa-apa” namun jelilah untuk membaca apa yang mereka sukai.

Bagi kita yang orang tuanya sudah meninggal, jangan lupakan doa untuk mereka, menyambung tali persaudaraan dan kekeluargaan dengan orang yang dekat dengan orang tua kita, dan bersedah yang pahalanya diperuntukkan kepada orang tua kita. Salam, AIM, Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim Surabaya. [*]

INILAH MOZAIK