Hijrah Kepada Allah dan Rasul-Nya

Di dalam Risalah Tabukiyah, Imam Ibnul Qoyyim membagi hijrah menjadi 2 macam. Pertama, hijrah dengan hati menuju Alloh dan Rosul-Nya. Hijrah ini hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap orang di setiap waktu. Macam yang kedua yaitu hijrah dengan badan dari negeri kafir menuju negeri Islam. Diantara kedua macam hijrah ini hijrah dengan hati kepada Alloh dan Rosul-Nya adalah yang paling pokok.

Hijrah Dengan Hati Kepada Alloh

Alloh berfirman, “Maka segeralah (berlari) kembali mentaati Alloh.” (Adz Dzariyaat: 50)

Inti hijrah kepada Alloh ialah dengan meninggalkan apa yang dibenci Alloh menuju apa yang dicintai-Nya. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim ialah orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan seorang muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Alloh.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Hijrah ini meliputi ‘dari’ dan ‘menuju’: Dari kecintaan kepada selain Alloh menuju kecintaan kepada-Nya, dari peribadahan kepada selain-Nya menuju peribadahan kepada-Nya, dari takut kepada selain Alloh menuju takut kepada-Nya. Dari berharap kepada selain Alloh menuju berharap kepada-Nya. Dari tawakal kepada selain Alloh menuju tawakal kepada-Nya. Dari berdo’a kepada selain Alloh menuju berdo’a kepada-Nya. Dari tunduk kepada selain Alloh menuju tunduk kepada-Nya. Inilah makna Alloh, “Maka segeralah kembali pada Alloh.” (Adz Dzariyaat: 50). Hijrah ini merupakan tuntutan syahadat Laa ilaha illalloh.

Hijrah Dengan Hati Kepada Rosululloh

Alloh berfirman, “Maka demi Robbmu (pada hakikatnya) mereka tidak beriman hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan di dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisaa’: 65)

Hijrah ini sangat berat. Orang yang menitinya dianggap orang yang asing diantara manusia sendirian walaupun tetangganya banyak. Dia meninggalkan seluruh pendapat manusia dan menjadikan Rosululloh sebagai hakim di dalam segala perkara yang diperselisihkan dalam seluruh perkara agama. Hijrah ini merupakan tuntutan syahadat Muhammad Rosululloh.

Pilihan Alloh dan Rosul-Nya itulah satu-satunya pilihan

Alloh berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al Ahzab: 36)

Dengan demikian seorang muslim yang menginginkan kecintaan Alloh dan Rosul-Nya tidak ragu-ragu bahkan merasa mantap meninggalkan segala perkara yang melalaikan dirinya dari mengingat Alloh. Dia rela meninggalkan pendapat kebanyakan manusia yang menyelisihi ketetapan Alloh dan Rosul-Nya walaupun harus dikucilkan manusia.

Seorang ulama’ salaf berkata, “Ikutilah jalan-jalan petunjuk dan janganlah sedih karena sedikitnya pengikutnya. Dan jauhilah jalan-jalan kesesatan dan janganlah gentar karena banyaknya orang-orang binasa (yang mengikuti mereka).

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Tausyiah Jumat Penuh Berkah

SALAM damai dan tenang saudara dan sahabatku. Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim Surabaya mendoakan selalu semoga semua saudara dan sahabat dalam keadaan sehat dan afiyat, damai dan tenteram dalam menjalani hari-hari yang tak pernah berhenti berjalan menuju titik akhir. Yakinkan kita dan keluarga kita berada di jalan yang lurus menuju ridla dan surgaNya.

Apakah ada di antara saudara dan sahabatku yang sedang resah dan gelisah karena sebagian nikmat Allah dicabut, tersingkir menjauh dan hilang dari dekapan kita? Ijinkan saya berbagi taushiyah dari guru-guru saya yang sering saya jadikan rujukan saat saya ditipu, dihina, dan bahkan lebih dari itu. Mari kita renungkan bersama.

Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi adalah salah seorang guru, penceramah dan penulisyang saya hormati dan kagumi. Beliau pernah berkata begini: “Sebagai upaya menenangkan akal dan hatimu–dari kegalauan dan kegelisahan– tanamkan keyakinan bahwa dalam segala apa yang Allah cabut (ambil) darimu adalah tak ada kebaikan.”

Teringat juga pada taushiyah beliau di lain tempat bahwa Allah memberikan sesuatu kepada kita karena kasih sayangNya (rahmat) dan mencabut sesuatu dari kita karena kebijaksanaanNya (hikmah) yang luar biasa. Nah, jika keyakinan semacam ini tertanam kuat dalam diri kita, alasan apa lagi yang bisa membenarkan kita untuk gelisah? Jalanisaja hidup dengan sabar dan syukur. Ada rahasia Allah di sana.

Ada lagi dawuh dari ulama yang sangat terkenal dalam dunia Islam, yakni Syekh Abdul Qadir Jailani, yang menyatakan bahwa semua nikmat yang Allah cabut dari hambanNya pastilah akan diganti dengan nikmat yang lebih baik, minimal sama derajat kenikmatannya. Sayangnya, kebanyakan kita terbatas memandang nikmat itu sebatas pandangan mata kita dan sebatas pendengaran serta rasa kita. Padahal, nikmat Allah itu banyak dan luar biasa luasnya. Renungkanlah.

Satu potong ayat saja sesungguhnya cukup menjadikan kita tersenyum bahagia. Potongan ayat itu adalah firman Allah: “Rahmatku meliputi SEGALA SESUATU.” Jadi, dalam segala sesuatu pasti ada rahmat atau kasih sayang Allah. Mahabenar Allah dengan segala firmanNya. Salam akrab dan hormat, Ahmad Imam Mawardi (AIM). [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Apa yang Paling Kita Butuhkan dalam Hidup?

Mungkin selama ini kita masih bingung dengan apa yang sebenarnya paling kita butuhkan dalam hidup ini.

Apa yang harusnya pertama kali kita minta dari Allah Swt?

Apa hal penting yang menjadi prioritas ketika kita memohon sesuatu kepada Allah?

Hari ini kita akan belajar dari beberapa kisah dalam Al-Qur’an. Bahwa ternyata, segala fasilitas yang kita miliki tidak akan berarti apa-apa apabila kita tidak mendapat petunjuk dan bimbingan dari Allah Swt.

Apa yang paling kita butuhkan dalam hidup?

Yang paling kita butuhkan adalah petunjuk dan bimbingan dari Allah Swt. Karena ketika kita telah mendapat bimbingan dari Allah maka segala sesuatu akan menjadi fasilitas untuk mengantarkan kita menuju kesuksesan. Dan sebaliknya, semua kemampuan dan semua fasilitas yang kita miliki tidak akan berarti apa-apa tanpa petunjuk dan bimbingan dari-Nya.

Mari kita simak ayat-ayat berikut ini :

Ketika Nabi Musa as hendak pergi ke Negeri Madyan, beliau tidak meminta sesuatu dari Allah kecuali bimbingan dan petunjuk dari-Nya.

وَلَمَّا تَوَجَّهَ تِلۡقَآءَ مَدۡيَنَ قَالَ عَسَىٰ رَبِّيٓ أَن يَهۡدِيَنِي سَوَآءَ ٱلسَّبِيلِ

Dan ketika dia menuju ke arah negeri Madyan dia berdoa lagi, “Mudah-mudahan Tuhanku memimpin aku ke jalan yang benar.” (QS.Al-Qashash:22)

Begitu pula ketika Nabi Musa as bersama para pengikutnya terjepit di antara ganasnya lautan dan kejaran Fir’aun, beliau tidak meminta apa-apa kecuali bimbingan dan petunjuk dari-Nya.

قَالَ كَلَّآۖ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهۡدِينِ

Dia (Musa) menjawab, “Sekali-kali tidak akan (tersusul); sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS.Asy-Syu’ara:62)

Kita juga akan menemukan kisah Nabi Ibrahim as ketika beliau hendak berhijrah, beliau tidak meminta apa-apa kepada Allah kecuali bimbingan dan petunjuk dari-Nya.

وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَىٰ رَبِّي سَيَهۡدِينِ

Dan dia (Ibrahim) berkata, “Sesungguhnya aku harus pergi (menghadap) kepada Tuhanku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS.Ash-Shaffat:99)

Perhatikan kata يَهدِينِي…

Dari tiga kisah ini kita mendapatkan poin besar bahwa hal terpenting dalam hidup kita adalah petunjuk dan bimbingan dari Allah Swt. Karena bila kita telah mendapatkan petunjuk dari Allah maka semua masalah akan selesai dan segala sesuatu akan menemukan jalannya. Dan sebaliknya, tanpa bimbingan dari Allah, apapun yang kita miliki tak akan berarti dan justru bisa membawa kita menuju kesengsaraan abadi.

Semoga Bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Anda Rajin Puasa Senin-Kamis? Ini Janji Allah

ALLAH Ta’ala berfirman dalam Alquran:

“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberikan rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS Ath-Thalaaq: 2-3)

Tentang ayat ini, al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Maknanya, barang siapa yang bertakwa kepada Allah dengan melakukan apa yang diperintahkan-Nya dan apa yang dilarang-Nya, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar serta rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari arah yang tidak pernah terlintas dalam benaknya.”

Orang yang rajin mengerjakan puasa SeninKamis, niscaya ia akan terlatih menjadi orang yang bertakwa. Dan bagi orang yang bertakwa, Allah telah berjanji akan memberinya rezeki dari arah yang tak terduga dan disangka-sangkanya.

Ada dua hal hal untuk memahami ini:

Pertama, Allah adalah Zat yang menciptakan dan mengatur rezeki. Sumber rezeki itu datangnya dari Allah. Kita hanya mampu berusaha, sedangkan Dia yang berkuasa menentukan.

Kedua, Allah memiliki kehendak yang mutlak. Jika Allah berkehendak memberi, maka tidak ada seorang pun yang bisa menghalanginya. Sebaliknya, jika Allah berkehendak mencegah, maka tak ada seorang pun yang dapat menahannya.

Maka, ketika Allah mengatakan akan memberi rezeki yang tak terduga kepada hamba-Nya yang bertakwa, itu menjadi masuk akal dan bisa dipahami. Karena, sumber rezeki itu ada di tangan Allah, Dia sanggup mengirimkannya kapan saja, dimana saja dan dalam situasi apa saja.

Orang yang bertakwa yakin benar akan hal ini bahwa Allah Maha Kuasa atas segala-galanya. Bukan hal yang mustahil bagi Allah mendatangkan rezeki kepada hamba-Nya secara langsung. Sunguh tidak sedikit manusia di muka bumi yang mengalami keajaiban-keajaiban di luar kemampuan akal menangkapnya. [Chairunnisa Dhiee]

INILAH MOZAIK


Bulan Sakral dalam Islam dan Alasannya, Termasuk Muharram

Terdapat sejumlah bulan yang dianggap sakral dalam Islam.

الزَّمانُ قَدِ اسْتَدارَ كَهَيْئَةِ يَومَ خَلَقَ السَّمَواتِ والأرْضَ، السَّنَةُ اثْنا عَشَرَ شَهْرًا مِنْها أرْبَعَةٌ حُرُمٌ: ثَلاثَةٌ مُتَوالِياتٌ: ذُو القَعْدَةِ، وذُو الحِجَّةِ، والمُحَرَّمُ، ورَجَبُ مُضَرَ، الذي بيْنَ جُمادَى وشَعْبانَ

“Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqadah, Dzulhijjah, dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari-Muslim)

Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa terdapat empat bulan yang disucikan dalam Islam, yaitu Dzulqadah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Keempat bulan tersebut juga disebut sebagai bulan haram, yang menurut Al Qodhi Abu Ya’la, mengandung dua makna.

Pertama, pada bulan tersebut berbagai tindakan pembunuhan diharamkan, dan peraturan ini telah berlaku sejak zaman jahiliyyah. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan lainnya karena saking mulianya bulan tersebut.  

Selain itu, berdasarkan surat At-Taubah ayat 36, dalam kitab //Zaadul Maysir// dijelaskan keempat bulan haram tersebut juga menjadi tempat terbaik untuk melakukan amalan-amalan kebaikan. Oleh sebab itulah banyak umat Muslim yang menjalankan ibadah puasa sunnah. 

Ibnu ‘Abbas, sebagaimana dinukilkan dalam Lathaif Al-Ma’arif, mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” 

Terkait penobatan bulan paling baik diantara bulan-bulan terbaik, hingga saat ini masih menjadi perdebatan banyak ulama. Beberapa ulama mengatakan bahwa yang lebih utama adalah Rajab, hal ini berdasar pada apa yang dikatakan sebagian ulama Syafi’iyah. Meski begitu, salah satu ulama besar Syafi’iyah An-Nawawi melemahkan pendapat ini.

Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa bukan yang lebih utama adalah Muharram, sebagaimana dikatakan Al-Hasan Al-Bashri dan dikuatkan pendapat An-Nawawi. 

Dan sebagian ulama lain mengatakan, bahwa Dzulhijjah adalah bulan yang balik utama dibandingkan bukan yang lain. Pendapat ini berdasar pada pendapat Sa’id bin Jubair, dan dikuatkan pula oleh Ibnu Rajab dalam Latha-if Al-Ma’arif. 

MUSLIMAH

Keutamaan Puasa Sunnah Di Hari Asyura

Sebagian kaum muslimin, tidak hafal hitungan bulan dalam Islam, yaitu bulan-bulan dalam penanggalan Hijriyah. Bahkan tidak mengenal sama sekali bulan-bulan tersebut. Padahal bulan-bulan tersebut lah yang Allah maksud dalam kitab suci Al-Quran. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah 12 bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya adalah 4 bulan haram…” (QS. At-Taubah: 36).

Adapun bulan-bulan yang telah Allah tetapkan sebagai bulan haram (bulan yang dimuliakan, ed) adalah bulan Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram.

Di bulan Muharram yang mulia ini, kita dianjurkan memperbanyak puasa. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم

Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, yaitu Muharram” (HR. Muslim).

Dalam hadits ini disebutkan bahwa puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu bulan Muharram. Dan di dalam bulan Muharram terdapat anjuran untuk berpuasa di Hari ‘Asyura.

Keutamaan Amalan Puasa

Sebelum kita membahas keutamaan Puasa ‘Asyura, sungguh puasa itu sendiri adalah amalan yang Allah sendiri akan membalasnya, dan mendapatkan pelipatgandaan pahala. Simaklah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berikut ini,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى

Setiap amalan kebaikan anak Adam akan dilipatgandakan menjadi 10 hingga 700 kali dari kebaikan yang semisal.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Kecuali puasa, amalan tersebut untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya karena dia telah meninggalkan syahwat dan makanannya demi Aku” (HR. Muslim).

Kemudian sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

إِنَّ فِى الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ ، فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ

Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang bernama Ar-Royyaan. Pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa akan masuk surga melalui pintu tersebut dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka. Dikatakan kepada mereka,’Di mana orang-orang yang berpuasa?’ Maka orang-orang yang berpuasa pun berdiri dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka. Jika mereka sudah masuk, pintu tersebut ditutup dan tidak ada lagi seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Keutamaan Puasa ‘Asyura

Setelah membaca hadits-hadits Nabi secara umum tentang keutamaan orang yang berpuasa, di dalam bulan Muharram terdapat anjuran secara khusus untuk berpuasa pada Hari ‘Asyura. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda tentang Puasa ‘Asyura,

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

Puasa ‘Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu” (HR. Muslim).

Kemudian terdapat suatu hadits yang menceritakan bahwa seorang laki-laki datang bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tentang pahala puasa hari ‘asyura. Maka beliau menjawab:

صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

Aku berharap kepada Allah agar menghapus dosa-dosa setahun yang lalu” (HR. Muslim).

Sejarah dan Hukum Puasa ‘Asyura

Shahabat ‘Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam mengerjakan Puasa ‘Asyura dan memerintahkan kepada para shahabat untuk berpuasa. Ketika puasa Ramadhan diwajibkan, Rasulullah meninggalkan hal tersebut- yakni berhenti mewajibkan mereka mengerjakan dan hukumnya menjadi mustahab (sunnah).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Kemudian perkataan shahabat Mu’awiyyah Radhiyallahu ‘anhu, “Aku mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: Hari ini adalah hari ‘Asyura. Allah tidak mewajibkan atas kalian berpuasa padanya, tetapi aku berpuasa, maka barang siapa yang ingin berpuasa, maka berpuasalah. Dan barangsiapa yang ingin berbuka (tidak berpuasa), maka berbukalah” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dari kedua hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum bepuasa pada Hari ‘Asyura adalah mustahab(dianjurkan), yang sebelumnya adalah wajib. Tatkala disyariatkan Puasa Ramadhan, maka hukum Puasa ‘Asyura menjadi Sunnah

Menambah Puasa pada Tanggal 9 Muharram

Dianjurkan untuk menambah Puasa ‘Asyura pada tanggal 9 Muharram, dalam rangka menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani. ‘Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melakukan puasa hari ‘Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, kemudian pada saat itu ada yang berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى

فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ

فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-

Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara”.

Lantas Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengatakan, “Apabila tiba tahun depan –insyaa Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari ke-9.”

‘Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Belum sampai tahun depan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim)

Semangat dalam Mengerjakan Amalan yang Dianjurkan

Meskipun hukum melaksanakan Puasa ‘Asyura adalah sunnah dan tidak sampai wajib, hendaknya seorang muslim tetap semangat dalam melaksanakan amalan tersebut. Karena hal ini menjadi salah satu sebab Allah akan mencintainya. Sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits Qudsi,

وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ

Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya…” (HR. Al-Bukhari)

Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sendiri sangat bersemangat dalam menjaga amalan Puasa ‘Asyura.

عن ابن عباس – رضي الله عنه – أنه سئل عن يوم عاشوراء فقال: ” ما رأيت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يوماً يتحرى فضله على الأيام إلا هذا اليوم – يعني يوم عاشوراء – وهذا الشهر يعني رمضان

Dari ‘Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau pernah ditanya tentang hari ‘Asyura, maka beliau menjawab: Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam begitu menjaga keutamaan satu hari diatas hari-hari lainnya, melebihi hari ini (maksudnya, hari ‘Asyura) dan bulan yang ini (maksudnya, bulan Ramadhan)” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Sebagai seseorang muslim yang mengaku cinta kepada Nabi, semestinya kita mencontoh amalan-amalan yang dilakukan oleh beliau, meskipun dalam perkara yang dianjurkan. Semoga Allah mudahkan kita untuk senantiasa semangat beramal shalih dan beribadah sesuai dengan apa yang telah Allah syariatkan.

Wallahul Muwaffiq.

***

Penulis: Wiwit Hardi P.

Artikel Muslimah.or.id

Mengambil Dalil Setengah-Setengah adalah Sebab Ketergelinciran dan Kesalahan dalam Beragama

Di antara prinsip ahlus-sunnah yang wajib untuk kita pahami dalam beragama adalah menggabungkan terlebih dahulu semua dalil dalam suatu permasalahan sebelum mengambil kesimpulan. Ahlus-sunnah tidak mengambil dalil setengah-setengah ketika hendak menyimpulkan hukum, sehingga hanya al-Qur’an saja yang diambil tetapi tidak dengan as-Sunnah, atau hanya sebagian ayat atau hadits saja yang diambil tetapi tidak dengan ayat atau hadits lainnya.

Sesungguhnya jika kita merenungkan kaidah ini, maka terdapat sebuah faidah yang sangat agung di baliknya. Perhatikan bahwa berapapun banyaknya dalil yang kita kaji, maka kita tidak akan menemukan sama sekali kontradiksi dalam dalil-dalil tersebut, selama pemahaman kita itu benar, ditopang oleh kaidah-kaidah yang baku dan ilmiah dalam memahami dalil. Ini karena dalil wahyu, baik itu ayat al-Qur’an ataupun hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah saling menguatkan dan saling menjelaskan satu sama lain.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang tidak adanya kontradiksi atau pertentangan di dalam al-Qur’an,

أَفَلا يَتَدَبَّرونَ القُرءانَ ۚ وَلَو كانَ مِن عِندِ غَيرِ اللَّـهِ لَوَجَدوا فيهِ اختِلـٰفًا كَثيرًا

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari Sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”[1]

Demikian pula dengan as-Sunnah, juga tidak ada pertentangan di dalamnya, karena hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga adalah wahyu dari Allah, sebagaimana firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala,

وَما يَنطِقُ عَنِ الهَوىٰ * إِن هُوَ إِلّا وَحىٌ يوحىٰ

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”[2]

Jika kita telah memahami hal ini, maka ketahuilah bahwa di antara sebab ketergelinciran dan kesalahan kelompok-kelompok yang menyimpang adalah karena mereka mengambil dalil hanya setengah-setengah.

Orang-orang yang memiliki pemahaman Khawarij hanya mengambil kesimpulan dari ayat-ayat wa’id (ancaman), misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut,

وَمَن يَعصِ اللَّـهَ وَرَسولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدودَهُ يُدخِلهُ نارًا خـٰلِدًا فيها وَلَهُ عَذابٌ مُهينٌ

“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkan ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.”[3]

وَمَن يَعصِ اللَّـهَ وَرَسولَهُ فَإِنَّ لَهُ نارَ جَهَنَّمَ خـٰلِدينَ فيها أَبَدًا

“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya baginyalah neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.”[4]

بَلىٰ مَن كَسَبَ سَيِّئَةً وَأَحـٰطَت بِهِ خَطيـَٔتُهُ فَأُولـٰئِكَ أَصحـٰبُ النّارِ ۖ هُم فيها خـٰلِدونَ

“Barangsiapa berbuat dosa dan dia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”[5]

Dengan berbekal ayat-ayat ini, Khawarij menghakimi kafirnya para pelaku dosa besar, sebuah kesimpulan prematur yang bersumber dari mengambil dalil setengah-setengah dan berujung pada penghalalan darah kaum muslimin dan pemberontakan kepada ulil-amri.

Adapun orang-orang yang memiliki pemahaman Murji’ah, maka mereka hanya mengambil kesimpulan dari ayat-ayat wa’d (janji), misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut,

وَمَن يُطِعِ اللَّـهَ وَرَسولَهُ يُدخِلهُ جَنّـٰتٍ تَجرى مِن تَحتِهَا الأَنهـٰرُ خـٰلِدينَ فيها

“Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya.”[6]

وَمَن يُطِعِ اللَّـهَ وَرَسولَهُ فَقَد فازَ فَوزًا عَظيمًا

“Barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah mendapat kemenangan yang besar.”[7]

Dari ayat-ayat di atas, Murji’ah menyimpulkan bahwa selama seseorang itu beriman kepada Allah, yaitu dengan memiliki tashdiq (membenarkan) tentang Allah dan Rasul-Nya di dalam hatinya, maka kemaksiatan yang dia lakukan ketika dia dalam kondisi beriman tersebut tidak akan mempengaruhinya sebagaimana ketaatan yang dia lakukan jika dia dalam kondisi kafir itu tidak akan mempengaruhinya.

Ini adalah pemahaman yang menyelisihi apa yang diyakini oleh ahlus-sunnah wal-jama’ah. Mereka meyakini bahwa iman itu tidak hanya sekedar tashdiq di dalam hati saja, akan tetapi juga mencakup ucapan lisan dan perbuatan atau amalan anggota tubuh.

Pemahaman ahlus-sunnah berada di tengah-tengah antara dua pemahaman menyimpang Khawarij dan Murji’ah. Ahlus-sunnah meyakini bahwa iman itu bisa bertambah dan berkurang; bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

Ahlus-sunnah juga meyakini bahwa di antara dosa dan kemaksiatan ada yang namanya nawaqidhul-Islam (pembatal-pembatal keislaman), yaitu syirik akbar, kufur akbar, dan nifaq akbar, di mana jika seseorang melakukan salah satu saja di antara dosa pembatal keislaman ini, maka dia keluar dari Islam. Ahlus-sunnah meyakini bahwa pelaku dosa besar, selama dosa tersebut bukan termasuk pembatal-pembatal keislaman, maka dia tidak keluar dari Islam, seperti misalnya dosa membunuh dan melakukan zina. Orang yang melakukan dosa seperti ini maka perkaranya diserahkan kepada Allah; jika Dia berkehendak maka Dia akan menghukumnya, dan jika Dia berkehendak maka Dia akan mengampuninya.

Akidah yang lurus dan shahihah ini tidak akan bisa didapat kecuali setelah kita menggabungkan berbagai dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah untuk mendapatkan kesimpulan yang benar sesuai yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah berkata,

لا ريب أن الكتاب والسنة فيهما وعد ووعيد.

ثم قال: ومثل هذا كثير في الكتاب والسنة، والعبد عليه أن يصدق بهذا وبهذا، لا يؤمن ببعض ويكفر ببعض، فهؤلاء المشركون أرادوا أن يصدقوا بالوعد، وكذبوا بالوعيد. والحرورية والمعتزلة أرادوا أن يصدقوا بالوعيد دون الوعد، وكلاهما أخطأ، والذي عليه أهل السنة والجماعة الإيمان بالوعد والوعيد.

ثم قال: فلا بد من الإيمان بكل ما جاء به الرسول، ثم إن كان من أهل الكبائر فأمره إلى الله، إن شاء عذبه، وإن شاء غفر له، فإن ارتد عن الإسلام ومات مرتدا، كان في النار، فالسيئات تحبطها التوبة، والحسنات تحبطها الردة، ومن كان له حسنات وسيئات، فإن الله لا يظلمه، بل من يعمل مثقال ذرة خيرا يره، ومن يعمل مثقال ذرة شرا يره، والله تعالى قد يتفضل عليه، ويحسن إليه بمغفرته ورحمته.

“Tidak diragukan lagi bahwa di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah terdapat dalil wa’d (janji) dan wa’id (ancaman).

Kemudian beliau berkata: Dan yang semisal ini banyak di al-Qur’an dan as-Sunnah. Dan seorang hamba wajib untuk membenarkan dalil yang ini dan dalil yang itu, tidak boleh baginya untuk beriman kepada sebagiannya tetapi kufur terhadap sebagian yang lainnya. Mereka kaum musyrikin ingin membenarkan dalil-dalil wa’d saja dan mengingkari dalil-dalil wa’id. Sedangkan Haruriyyah (Khawarij) dan Mu’tazilah ingin membenarkan dalil-dalil wa’id saja tetapi tidak untuk dalil-dalil wa’d. Maka keduanya telah salah. Yang diyakini oleh ahlus-sunnah wal-jama’ah adalah beriman kepada dalil wa’d dan wa’id.

Kemudian beliau berkata: Tidak boleh tidak untuk beriman kepada semua yang datang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian jika dia termasuk pelaku dosa besar, maka perkaranya diserahkan kepada Allah. Jika Dia berkehendak maka Dia akan menghukumnya, dan jika Dia berkehendak maka Dia akan mengampuninya. Jika orang tersebut keluar dari Islam kemudian dia mati dalam keadaan murtad, maka tempatnya di neraka. Maka, keburukan dihapuskan dengan taubat, dan kebaikan dihapuskan dengan riddah (murtad, keluar dari Islam). Dan bagi orang yang memiliki kebaikan dan keburukan, maka sesungguhnya Allah tidak menzhaliminya. Akan tetapi, barangsiapa yang melakukan kebaikan walaupun hanya sebesar dzarrah, maka dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa yang melakukan keburukan walau hanya sebesar dzarrah, maka dia juga akan melihat (balasan)nya. Dan Allah Ta’ala telah memberikan karunia-Nya dan berbuat baik kepadanya dengan memberikan ampunan-Nya dan rahmat-Nya.”[8]

Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

MUSLIM

3 Adab Berbicara

Al-Hasan al-Bashri mengatakan, 

إِذَا جَالَسْتَ فَكُنْ عَلَى أَنْ تَسْمَعَ أَحْرَصَ مِنْكَ عَلَى أَنْ تَقُولَ ، وَتَعَلَّمْ حُسْنَ الِاسْتِمَاعِ ، كَمَا تَعَلَّمُ حُسْنَ الْقَوْلِ ، وَلَا تَقْطَعْ عَلَى أَحَدٍ حَدِيثَهُ

“Jika engkau duduk bersama kawan, jadilah orang yang lebih bersemangat untuk menjadi pendengar dibandingkan menjadi pembicara. Belajarlah menjadi pendengar yang baik sebagaimana belajar bertutur kata yang baik. Jangan putus/hentikan perkataan siapapun.” (Makarim al-Akhlaq karya al-Khara’ithi nomor 687)

Ada tiga adab berbicara yang penting kita ketahui dan kita praktekkan. 

PERTAMA:

Lebih banyak mendengar dan menyimak dari pada berbicara.

Allah ciptakan untuk kita dua telinga dan satu lidah agar kita lebih sering menjadi penyimak dibandingkan menjadi pembicara. 

Seringkali pendapat yang paling berkualitas adalah pendapat pembicara terakhir setelah menyimak pendapat semua orang yang berbicara sebelum dirinya.

KEDUA:

Menjadi pendengar yang baik.

Itulah orang yang menyimak perkataan lawan bicara dengan baik tanpa sibuk dengan medsos dan gadgetnya. 

Pendengar yang baik merespon dengan gembira ketika lawan bicara menyampaikan hal-hal yang menurutnya menggembirakan.

Demikian pula ketika lawan bicara menyampaikan hal-hal yang menyedihkan, pendengar yang baik akan menampakkan respon dan ekspresi ikut bersedih. 

Untuk bisa memiliki kemampuan menjadi pendengar yang baik perlu kesungguhan dan keseriusan untuk selalu belajar, berbenah serta memperbaiki diri.

KETIGA:

Tidak memotong pembicaraan.

Diantara bentuk menghormati lawan bicara adalah membiarkannya menuntaskan pembicaraan baru direspon dan dikomentari. 

Di sisi lain, tidak mendominasi pembicaraan adalah juga bentuk menghormati lawan berbicara. 

Semoga Allah mudahkan penulis dan semua pembaca tulisan ini memiliki adab-adab Islam yang luhur. Aamiin. 

Penulis: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.P.I.

YUFIDIA 

Inilah Singa Allah, Penghulunya Para Syuhada

SEBAGAIMANA biasanya, setiap sore para pemuka Quraisy berkumpul hanya untuk bersenang-senang, menikmati makanan dan minuman yang diiringi nyanyian dan juga wanita-wanita penari. Sore itu wajah mereka dipenuhi dengan kemarahan, ternyata mereka sedang membicarakan perihal nabi Muhammad ﷺ dan juga para sahabatnya serta tentang risalah yang belum tersampaikan dengan baik.

Tiba-tiba mereka mendengar suara kaki yang mulai mendekat, mata mereka pun langsung berpindah arah ke suara tersebut. Ternyata dia adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi, tegap dan penuh wibawa sehingga disegani banyak kalangan terutama kalangan Quraisy. Dia adalah paman nabi ﷺ Hamzah bin Abdul Muthalib.

Hamzah bertanya kepada mereka, “Apa yang membuat kalian begitu marah? Apa yang terjadi?” Salah satu tokoh mereka, Abu Jahal  menjawab dengan kesal,  “Ini semua karena Muhammad ﷺ.”

Dengan kaget Hamzah berkata “keponakanku?”. “Betul sekali, karena dia telah memengaruhi banyak orang untuk mengikuti ajaran yang ia bawa, seolah-olah keponakanmu itu adalah seorang penyihir, bahkan sebagian besar dari kami telah kehilangan martabat dan jabatan di kalangan kaum Quraisy,” jawab Abu Jahal dengan tegas.

Hamzah tertawa mendengar perkataan Abu jahal seraya berkata,  “Ucapan kalian terrlalu berlebihan.” Semua terdiam ketika mendengar perkataan Hamzah bin Abdul Muthalib, dan tidak ada yang berani menyebutkan keburukan Muhammad ﷺ di depan pamannya itu meskipun ketika itu agama yang dianut oleh Hamzah sama dengan agama mereka, itu semua karena besarnya cinta dan kasih sayang Hamzah kepada keponakannya Muhammad ﷺ.

Untuk menghindari perbincangan yang hanya dipenuhi senda gurau dan juga lahwu (kesia-siaan, Red), Hamzah radhiallahu ‘anhu segera meninggalkan majelis itu dan pulang ke rumahnya. Akan tetapi  pikirannya masih terngiang-ngiang perkataan pemuka Quraisy tentang keponakan tercinta ﷺ. Sehingga mata yang seharusnya sudah terpejam harus rela terbuka karena pikirannya yang masih sibuk memikirkan tentang kebenaran risalah yang dibawa Muhammad ﷺ.

Di sisi Hamzah, Muhammad ﷺ tidak hanya sekedar keponakan, beliau adalah teman kecilnya, itu karena selisih umur mereka yang cukup dekat. Sehingga Hamzah sangat mengenal bagaimana perilaku atau akhlak mulia yang dimiliki Muhammad ﷺ. Inilah yang membuat Hamzah semakin bimbang dalam mempertahankan agama nenek moyangnya yang penuh dengan lahwu dan kesenangan dunia semata, karena ia berpikir bahwa Muhammad ﷺ tidak mungkin berniat menyesatkan manusia, sementara selama ini ia sangat dikenal dengan  kejujuran, keadilan, kehormatan  dll.

Spontan Hamzah memukul kepalanya sendiri lalu berkata, “Tidak… aku tidak akan pernah meninggalkan agama nenek moyangku selama-lamanya.” Hamzah mencoba untuk memjamkan matanya meski sangat sulit.

Hingga pada suatu hari Hamzah berniat untuk berburu di padang pasir. Ketika itu Nabi Muhammad ﷺ berada di bukit Safa. Abu Jahal melewati bukit itu dan ia melihatnya lalu menghampiri Muhammad  ﷺ kemudian berbicara dengan perkataan yang kasar. Ia meminta Nabi Muhammad ﷺ berhenti dalam memengaruhi masyarakat Makkah dengan dakwahnya. Namun, Nabi ﷺ  hanya diam  dan tidak peduli akan cacian dan penghinaan yang dilontarkan oleh  pamannya itu, sehingga perbuatan Nabi ﷺ tersebut membuat Abu Jahal semakin benci dan tidak sabar ingin memukulnya.

Keinginan itupun terwujud ketika Abu Jahal melihat batu yang tak jauh berada didekatnya, maka dengan tidak menunggu waktu lama dan rasa bencinya yang bergelora. Ia pun mengambil batu itu lalu memukulkannya di kepala Muhammad  ﷺ hingga darah dari tempat lukanya pun mengalir dengan cukup banyak.

Kejadian ini diketahui oleh Hamzah hingga menjadi salah satu sebab lisannya tanpa ragu mengucapkan dua kalimat syahadat setelah cahaya kebenaran Allah Ta’ala letakkan di dalam hatinya. Karena sebelum itu ia selalu berpikir tentang ajaran yang dibawa oleh keponakannya itu, namun nalurinya selalu berkata bahwa Nabi Muhammad ﷺ yang sangat ia kenal sejak kecil dengan budi pekerti yang baik lagi terpuji, tidak pernah berdusta.

Bahkan seluruh penduduk Makkah pun mengenalnya dengan  sebutan Al Amin (yang dipercaya). Karena itu tidak mungkin Muhammad secara tiba-tiba berbohong atas ajaran yang ia bawa (Islam) walaupun yang beliau bawa adalah perihal kerasulan yang menjadi penyempurna dan penutup risalah sebelumnya.

“Apakah kalian sedang memaki Muhammad? Sedangkan saya satu keyakinan (agama) dengannya.” Perkataan ini dilontarkan dengan suara yang begitu keras, hingga membuat kaget setiap orang yang mendengar ucapannya itu.

Kaum Quraisy yang berada di tempat itu pun bertanya-tanya bahkan tidak percaya ketika mendengar kalimat yang diutarakan seorang laki-laki yang disegani setiap kalangan. Ia ditakuti setiap musuh dan yang menjadi harapan kaum kafir Quraisy dalam menjaga dan mempertahankan agama nenek moyang mereka.

Dialah Hamzah bin Abdul Muthalib yang telah mengabarkan kepada  kaum Suku Quraisy akan keislamannya. Islamnya Hamzah mengokohkan setiap hati yang hendak goyah, menggigihkan setiap tekad yang hendak lemah.

Islamnya Hamzah menenangkan setiap jiwa yang dihantui rasa takut karena ancaman selalu datang menimpa bahkan menyemangatkan diri untuk tetap istiqamah. Islamnya Hamzah juga membawa berkah dan kebanggaan khususnya bagi umat islam ketika itu.

Setelah beriman dan bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah kecuali Allah ﷻ dan sesungguhnya Muhammad ﷺ adalah utusan Allah ﷻ, detik itu juga ia menyerahkan segala kekuatannya, keberaniannya bahkan hidupnya untuk membela agama islam. Dan dia berjanji akan selalu menjaga umat islam meski setiap tetesan darahnya harus ia korbankan. Sehingga ia mendapatkan gelar dari Rasulullah ﷺ sebagai “asadullah” yang berarti singanya Allah.

Gelar mulia dari Rasulullah ﷺ ini tidak hanya kalimah balighah. Itu semua dapat kita lihat  ketika peperangan antara kaum muslimin dan kafir quraisy mulai terjadi setelah Rasululllah ﷺ dan kaum muslimin hijrah ke Madinah. Di antaranya adalah Perang Badar dan Uhud.

Seluruh kekuatan dan tenaga bahkan nyawa sekalipun ia hadiakan di jalan Allah ﷻ. Hingga datang suatu hari dimana  darah menjadi saksi, pintu langit dan penghuninya tidak sabar menanti kedatangan ruh pejuang islam, singanya Allah ﷻ , penghulu para syuhada’. Hamzah bin Abdul Muthalib radhiallahu  ‘anhu yang gugur di Medan perang demi membela agama yang mulia, agama islam.

Ketika perang uhud berakhir, sebagian para pejuang panji Islam gugur di medan perang, meski demikian gelar syahid lah yang mengokohkan kaki mereka dan meringankan  tangan dalam mengayunkan pedang kepada musuh-musuh islam. Kini, impian untuk menjadi para syuhada’ telah mereka raih.

Ketenangan, kebahagiaan, keindahan yang diimpikan setiap umat juga telah mereka genggam. Itulah janji Allah ﷻ untuk orang-orang yang beriman dengan apa yang telah Allah ﷻ sampaikan di dalam Al-Quran dan sunnah Rasulullah ﷺ.  Sebagaimana firman Allah ﷻ di dalam surah At-Taubah ayat 20-21:

الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا وَهَاجَرُوْا وَجَاهَدُوْا فِى سَبِيْلِ لِلَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُوْنَ * يُبَشِّرُهُمْ رَبُّهُمْ بِرَحْمَةٍ مِّنْهُ وَرِضْوَانٍ وَجَنّاتٍ لّهُمْ فِيْهَا نَعِيْمٌ مُقِيْمٌ *

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berhjihad dijalan Allah ﷻ dengan harta dan jiwa mereka, adalah lebih tinggi derajatnya disisi Allah ﷻ. Mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan. Allah, Rabb meraka menyampaikan kabar gembira kepada mereka dengan memberikan rahmat, keridhaan, dan surga, mereka memperoleh kesenangan yang kekal di dalamnya.”

Gugur di Medan Jihad

Ketika itu juga Jabir bin Abdullah kehilangan Hamzah. Bahkan Rasulullah ﷺ terlihat cemas dan sibuk  mencari pamannya tercinta itu, hingga seorang laki-laki pun membawa berita bahwa ia melihat jasad Hamzah di bawah pohon yang rindang. Mendengar demikian Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya segera menghampiri dan mendekati tempat itu. Tetesan air mata pun mulai jatuh ke pipi  Rasulullah ﷺ paman yang selama ini menjaga dan membelanya dari berbagai caci maki kafir Quraisy bahkan meninggalkan agama nenek moyang dan memilih agama yang mulia atas dasar kepercayaan risalah yang beliau bawa.

Kini, pembela Islam itu telah terbujur kaku di depannya, diselimuti darah bahkan terlihat bekas sayatan di dadanya yang cukup besar. Beliau disayat Hindun, yang telah dihiasi rasa dendam dan benci karena Hamzah telah menewaskan nyawa ayah dan suaminya di medan perang.

Sejak megetahui kejadian itu Rasulullah ﷺ tidak sanggup melihat bahkan bertemu dengan Hindun karena rasa kecewa atas apa yang telah ia perbuat terhadap jasad pamannya tercinta.  Bahkan setelah masuk Islam pun, Hindun tidak berani untuk bertemu dengan Rasulullah ﷺ meskipun raganya tidak sabar ingin bertatap muka dengan kekasih Allah ﷻ Muhammad ﷺ.

Di hadapan jenazah Hamzah, Rasulullah ﷺ berkata :

سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَمْزَة

“Penghulu para syuhada’ di hadapan Allah ﷻ pada hari kiamat adalah Hamzah.”

Semoga kisah singkat islamnya Hamzah bin Abdul Muthalib dan juga semangat jihadnya di jalan Allah ﷻ dapat membangunkan karakter umat di era milenial ini untuk menjadi umat yang memiliki iman yang kuat karena fitnah yang semakin berat, dan semangat istiqamah dalam membela agama yang mulia. Karena Rasululah ﷺ pernah bersabda:

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي ﷺ أنّه قال: بدأ الإسلام غريبا وسيعود غريبا كما بدأ فطوبى للغرباء

“Islam itu bermula asing  dan akan kembali asing seperti awalnya. Karena itu kegembiraan dan kebaikanlah untuk orang-orang yang terasing.”

Di dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang terasing itu adalah orang-orang yang memperbaiki sunnah Rasul ﷺ yang telah dirusak dan istiqamah dalam pengamalannya. Itu semua dapat kita lihat pada saat sekarang ini, dimana aliran-aliran sesat sudah banyak bermunculan, maksiat semakin merajalela, perselisihan kerap terjadi bahkan diantara kaum cendikiawan.

Maka dari itu, kita sebagai umat Islam menjaga syariatnya adalah kewajiban kita bersama, seyogyanya rasa cinta membaca dan mempelajari lebih dalam akan al-Quran dan sunnah adalah hal penting yang harus kita tanamkan didalam diri masing-masing agar tidak ada yang berani merubah bahkan merusaknya.*/

 Nurul Syuhada,  diterjemahkan dari Qasim Jamal , “رجال و نساء حول الرسول صلى الله عليه و سلم ” , Kairo: Darul Jauzi

HIDAYATULLAH


Setan Punya Sifat Khannas dan Waswas (Tafsir Surat An-Naas)

Setan punya dua sifat yaitu khannas dan waswas. Apa itu?

Allah Ta’ala berfirman,

مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ

Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi.” (QS. An-Naas: 4)

WASWAS DAN KHANNAS

Asalnya waswas itu berarti gerakan atau suara yang samar sehingga kita menjaga diri darinya. Waswas adalah suatu godaan (gangguan) yang masuk dalam jiwa, bisa jadi dengan suara yang samar yang hanya didengar oleh orang yang digoda, bisa jadi pula tanpa suara seperti saat setan menggoda manusia. Waswas ini perbuatan yang terus terjadi berulang dan begitu dekat dengan yang menggoda. Misalnya, waswas itu terjadi karena begitu dekat dengan telinga manusia yang menggoda.

Sedangkan khannas adalah sifat dari setan yang sering bersembunyi ketika kita mengingat Allah (berdzikir kepada-Nya). Khannas dengan makna bersembunyi (ikhtifaa’) seperti dalam ayat,

فَلَآ أُقْسِمُ بِٱلْخُنَّسِ

Sungguh, Aku bersumpah dengan bintang-bintang.” (QS. At-Takwir: 15). Al-khunnas adalah bintang. Bintang disebut dengan khunnas (artinya: bersembunyi) karena bintang itu tampak setelah bersembunyi (tidak terlihat).

Pendapat lainnya menyatakan bahwa al-khannas dan al-waswas sama-sama termasuk nama Iblis.

Lihat penjelasan Syaikh Musthafa Al-‘Adawi dalam At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Juz ‘Amma fii Sual wa Jawab, hlm. 771-773.

Dalam Al-Kalim Ath-Thayyib, Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa kita diperintahkan oleh Allah untuk berdzikir. Fungsi dzikir adalah seperti seseorang yang mengusir musuhnya dengan cepat. Sampai-sampai jika musuh itu datang pada benteng, ia akan terlindungi. Demikianlah fungsi dzikir bagi diri. Diri seseorang akan semakin terlindungi dari setan hanyalah dengan dzikir pada Allah.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jika keutamaan dzikir hanyalah ini, tentu seorang hamba akan terus membasahi lisannya dengan dzikir pada Allah Ta’aladan terus teguh dengan dzikir tersebut. Karena yang dapat melindunginya dari musuh (yaitu setan, pen.) hanyalah dengan dzikir. Musuhnya pun baru bisa menyerang ketika ia lalai dari dzikir. Musuh tersebut baru akan menangkap dan memburunya ketika ia lalai dari dzikir. Namun, jika dirinya disibukkan dengan dzikir pada Allah, musuh tersebut akan bersembunyi, menjadi kerdil dan hina. Sampai-sampai ia seperti burung pipit atau seperti lalat (binatang kecil yang tak lagi menakutkan, pen.). Karenanya setan memiliki sifat waswasil khannas. Maksudnya, menggoda hati manusia ketika manusia itu lalai. Namun, ketika manusia mengingat Allah, setan mengerut (mengecil).” (Al-Wabil Ash-Shayyib, hlm. 83)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

الشَّيْطَانُ جَاثَمَ عَلَى قَلْبِ اِبْنِ آدَمَ فَإِذَا سَهَا وَغَفَلَ وَسْوَسَ فَإِذَا ذَكَرَ اللهَ تَعَالَى خَنَّسَ

Setan itu mendekam pada hati manusia. Jika ia luput dan lalai, setan menggodanya. Jika ia mengingat Allah, setan akan bersembunyi.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 13:469-470, Adh-Dhiya’ dalam Al-Mukhtar 10: 367 dengan sanad yang sahih).

Referensi:

  1. At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Juz ‘Amma fii Sual wa Jawab. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah.
  2. Al-Wabil Ash-Shayyib wa Rafi’ Al-Kalim Ath-Thayyib. Cetakan ketiga, tahun 1433 H. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Penerbit Dar ‘Alam Al-Fawaid.

Disusun di Darush Sholihin, Senin siang, 27 Dzulhijjah 1441 H (17 Agustus 2020)

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumasyho.Com