Kemenkes dan Kemenag Rampungkan Pedoman Protokol Kesehatan

 Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dan Kementerian Agama menggelar finalisasi pedoman teknis protokol kesehatan Covid-19 bagi jamaah haji dan umrah. Koordinasi ini merupakan kedua kalinya yang digagas oleh Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan.

Kepala Pusat Kesehatan Haji Eka Jusup Singka mengatakan, rencananya jika pedoman teknis protokol kesehatan Covid-19 bagi jamaah haji dan umrah selesai, akan dibuat keputusan bersama (SKB) antara Kemenkes dan Kemenag. Diharapkan dengan adanya pedemon protokol kesehatan Covid-19 ini jamaah umrah maupin haji terlindungi dari resiko penularan Covid-19. “Kalau sudah selesai rencananya akan di buat SKB,” kata Eka saat dihubungi, Kamis (17/9).

Eka menuturkan, pedoman pelaksanaan vaksinasi dan penerapan protokol kesehatan Covid-19 bagi jamaah haji dan umrah di dalamnya telah memperhatikan teknis kesehatan dan manajemen haji dan umrah. Pertemuan kali ini merupakan tahap finalisasi.

“Saat ini proses pembuatan pedoman sedang memasuki tahap finalisasi dalam bentuk payung hukum,” katanya.

Eka berharap pedoman pelaksanaan ini nantinya dapat diimplementasikan dengan baik oleh semua pihak termasuk pemilik travel umrah dan haji. Tujuannya, agar jamaah haji dan umroh dapat terlindungi sejak keberangkatan hingga kembali pulang ke rumah masing-masing.

Dalam pembuatan pedoman ini, Kemenkes memberikan beberapa masukan. Salah satunya, manajemen yang berbeda harus disiapkan pihak penyelenggara perjalanan ibadah saat melakukan umroh di masa pandemi seperti ini. Ia menegaskan, kondisi saat ini tidak bisa disamakan dengan sebelumnya.

Syarat keberangkatan jamaah juga disebut harus lebih selektif. Untuk prosedur penerbangan, Kemenkes memberi masukan agar hanya sekali terbang, tanpa transit. “Banyak yang harus dimusyawarahkan dengan Kemenag selaku koordinator pelaksanaan haji dan umroh. Kami diminta masukan terkait pencegahan dan pengendalian Covid-19, jika haji dan umroh dilaksanakan dalam waktu dekat,” kata dia. 

Eka menuturkan, secara pribadi pihaknya diminta Tabung Haji Malaysia untuk memberikan masukan dalam penyusunan protokol kesehatan jamaah haji dan umrah Malaysia. Menurutnya, Tabung Haji Malaysia mengaku terkesan dengan manajemen kesehatan haji yang dikelola Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan, kesan tersebut disampaikan Malaysia pada saat musim haji tahun 2019.

“Secara pribadi saya dimita memberikan masukan oleh Tabung Haji Malaysia. Karena kebetulan kita secara institusi pernah melakukan kerjasama saat oprasional haji,” katanya. 

IHRAM



Cari Perhatian Allah atau Sekedar Perhatian Manusia?

Allah Swt Berfirman :

يَحۡلِفُونَ بِٱللَّهِ لَكُمۡ لِيُرۡضُوكُمۡ وَٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَحَقُّ أَن يُرۡضُوهُ إِن كَانُواْ مُؤۡمِنِينَ

“Mereka bersumpah kepadamu dengan (nama) Allah untuk menyenangkan kamu, padahal Allah dan Rasul-Nya lebih pantas mereka mencari keridhaan-Nya jika mereka orang mukmin.” (QS.At-Taubah:62)

Ayat ini ingin menjelaskan perbedaan besar antara tujuan orang mukmin dan tujuan orang munafik.

Orang munafik tujuannya hanyalah mencari kerelaan dan pujian dari manusia. Dan untuk meraihnya, ia siap melakukan apapun walau harus menabrak batas-batas yang dilarang oleh Allah Swt. Mereka tak segan melanggar syariat, berkhianat dan berbohong, semua itu adalah hal yang biasa baginya yang penting ia bisa disukai manusia dan mendapat pujian dari mereka.

Disini perbedaannya dengan orang mukmin. Seorang yang hatinya dipenuhi keimanan kepada Allah, tidak terlalu mempedulikan penilaian manusia karena ia berbuat semata-mata karena Allah Swt.

Mau dipuji atau tidak, mau dihargai atau tidak, mau disukai atau tidak, ia tidak peduli yang penting ia melangkah dengan penuh keyakinan demi meraih Ridho Allah dan tidak melanggar batas-batas yang di murkai Allah.

Tapi keduanya juga memiliki kesamaan. Orang mukmin dan orang munafik sama-sama ingin mendapatkan kerelaan dari yang mereka tuju. Bedanya, orang mukmin ingin mendapatkan kerelaan dan perhatian dari Pencipta Alam sementara orang munafik hanya ingin kerelaan dan perhatian dari manusia saja.

Maka lihatlah dimana kita berada saat ini? Apakah langkah dan gerakan kita setiap hari dalam rangka meraih perhatian dan kerelaan Allah atau hanya cari perhatian dan pujian di hadapan manusia?

Semoga bermanfaat….

KHAZANAH ALQURAN

Kematian Indah untuk Mukmin, Tapi Jangan Mengharapkannya

Rasulullah melarang umatnya untuk mengharap-harapkan kematian.

Kematian mengubah semua keadaan yang mengalaminya, canda tawa menjadi tangisan, kegembiraan menjadi kesedihan.  

Ustadz Khalilurrahman El Mahfani dalam bukunya “Menguak Rahasia Kehidupan Setelah Kematian” mengatakan, jika manusia memperoleh husnul khatimah yang berarti menikmati jamuan surga atau sebaliknya su’ul khatimah yang berarti pedihnya siksa api neraka. 

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah bersabda:

لا تَمَنَّوْا الْمَوْتَ ، فَإِنَّ هَوْلَ الْمَطَّلَع شَدِيدٌ “Janganlah kamu mengharap-harap kematian, karena huru-hara itu sangat dahsyat.” 

Ketika Sayidina Umar bin Kattab ditikam, seorang sahabat berkata kepadanya, “Aku berharap kulit Anda tidak tersentuh oleh api neraka.”

Sejenak Umar memandang kepadanya seraya berkata,”Sungguhnya orang yang kamu anggap tertipu memang orang yang tertipu. Demi Allah seandainya aku punya apa yang ada di bumi akan aku gunakan untuk merebus dahsyatnya huru-hara maut.”

Abu Darda mengatakan, ”Ada tiga orang yang membuat aku tertawa karena lucu, ada tiga hal yang membuat aku menangis sedih. Orang yang membuat aku tertawa karena lucu adalah orang yang masih mengangan-angankan dunia, padahal dia sedang diburu oleh maut, orang yang lalai tapi tidak merasa lalai dan orang yang tertawa lepas namun tidak tahu apakah Allah meridhainya atau murka kepadanya. 

Sementara tiga hal yang membuat aku menangis ialah berpisah dengan orang-orang tercinta seperti Muhammad dan sahabat-sahabatnya, menghadapi huru-hara kematian, dan berdiri di hadapan Allah pada hari semua yang tersembunyi akan terangkat dan aku tidak tahu masih terus ke surga atau ke neraka.”

Imam Al-Ghazali melukiskan bahwa sakaratul maut adalah ungkapan tentang rasa sakit yang menyerang inti jiwa dan menjalar ke seluruh bagian. Sehingga tidak lagi satupun bagian jiwa yang terbebas dari rasa sakit itu. 

Misalnya kata dia, rasa sakit tertusuk duri saja menjalar pada bagian jiwa yang terletak pada anggota badan yang tertusuk duri saja, sedangkan pengaruh luka bakar lebih luas karena api menyebar ke bagian tubuh yang lain sehingga tidak ada bagian dalam ataupun luar yang tidak terbakar. “Dan efek terbakarnya kulit itu dirasakan oleh bagian-bagian organ yang berada di bagian daging,” katanya.

Adapun luka tersayat pisau hanya akan menimpa bagian tubuh yang terkena sayatan dan Karena itulah rasa sakit yang diakibatkan oleh luka tersayat pisau lebih ringan daripada luka bakar.

Akan tetapi, rasa sakit yang dirasakan selama sakaratul maut menghujam jiwa dan menyebar ke seluruh anggota badan.

Sehingga bagian badan orang yang sedang sakaratul maut merasakan dirinya ditarik-tarik dicabut setiap yang melekat pada organ tubuhnya dari ujung kaki hingga kepala. Tidak dapat dibayangkan bagaimana sakit sakaratul maut. “Jadi bagaimana kira-kira rasa sakit yang diderita seseorang yang mengalaminya?” kata Ustadz. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Bicara Surga Dulu Agar Tertarik Masuk Surga

KESIMPULAN para alim menyatakan bahwa di surga itu ada tiga hal yang tidak mungkin didapat di dunia ini: Pertama, keabadian, hidup selama-lamanya; kedua: melihat Allah dan “bersama”Nya; ketiga, tiadanya sakit, sedih dan derita. Kehidupan yang sempurna, bukan? Subhanallaah. Semoga kita menjadi salah seorang penduduk surga.

Sebagian ulama juga menambahkan bahwa andaikata manusia itu melihat sebagian kecil saja dari ujung surga, maka pastilah mereka menghabiskan waktunya untuk Allah, agama Allah, amal perbuatan yang disukai Allah. Semoga kita termasuk salah satu yang bisa selalu dekat dengan Allah.

Bagaimanakah prkerjaan harian manusia yang dekat kepada Allah? Semuanya adalah dikembalikan kepada Allah. Bahasa kampusnya adalah memiliki semangat transendental yang bagus. Apa buktinya? Ketika ditimpa kesedihan, diselesaikannya dengan SHALAT. Ketika ada rasa sakit, diobatinya dengan QUR’AN. Ketika dada terasa sempit dan pikiran terasa sumpek, dihiburnya dengan ISTGHFAR. Ketika memiliki keinginan untuk masa depannya agar semakin indah, diajukanah proposal kepada Allah yang bernama DOA. Serta saat kehilangan sesuatu yang menyedihkannya di dunia ini, diyakinkanlah hatinya bahwa semua akan ditemukan di SURGA, maka bersabarlah dia.

Semoga kita bisa menjadi manusia dengan amalan harian seperti itu. Salam, AIM, Pengasuh Pondok Pesantren Kota Alif Laam Mii Surabaya. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK


Nabi-Nabi yang Tercatat Menunaikan Ibadah Haji

Setiap tahun puluhan juta umat Islam mendambakan dirinya pergi ke Tanah Suci (Makkah) untuk menunaikan ibadah haji. Bahkan, saat ini sekitar empat hingga lima juta umat Islam dari berbagai negara di dunia sedang bersiap diri melaksanakan ibadah haji.

Pelaksanaan ibadah haji telah diperintahkan oleh Allah SWT sejak zaman Nabi Adam AS hingga nabi muhammad SAW. Dan, ibadah haji merupakan sebuah perjalanan ritual dalam menghayati hakikat hidup dan keimanan kepada Allah SWT. Demikian dikemukakan intelektual Muslim asal Iran, Ali Syariati, dalam bukunya, Al-Hajj.

Menurut Ali Syariati, ibadah haji adalah sebuah demonstrasi simbolis dari falsafah penciptaan Adam. Gambaran selanjutnya adalah sebuah pertunjukan akbar tentang hakikat penciptaan, sejarah, keesaan, ideologi islam, dan ummah.

“Allah adalah sutradaranya. Sedangkan, skenario atau temanya adalah tentang perbuatan orang-orang yang terlibat dan para tokoh utamanya adalah Adam, Ibrahim, Siti Hajar, Ismail, dan iblis. Adapun lokasinya di Masjidil Haram (Ka’bah), Mas’a (tempat sai), Arafah, Masy’ar, dan Mina. Simbolnya adalah Ka’bah, Safa, Marwa, siang, malam, matahari terbit, matahari tenggelam, berhala, dan upacara kurban. Pakaiannya adalah ihram dan aktor dari peran-peran dalam pertunjukan itu adalah umat Islam yang sedang melaksanakan ibadah haji,” kata Ali Syariati.

Sebagaimana dijelaskan dalam berbagai literatur mengenai ibadah haji dan umrah, pelaksanaan ibadah haji telah disyariatkan sejak zaman Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW. Adapun tata cara ibadah haji yang disyariatkan kepada para nabi dan rasul itu umumnya lebih banyak berkisar pada pelaksanaan tawaf atau mengelilingi Ka’bah. Berikut sejumlah tata cara ibadah haji yang dilaksanakan sejak zaman Nabi Adam AS hingga sekarang ini.

Nabi Adam AS

Setelah beberapa waktu sejak diturunkan ke bumi, Nabi Adam diperintahkan oleh Allah SWT pergi ke Baitullah di Makkah untuk melaksanakan ibadah haji.

Menurut sejumlah riwayat, Ka’bah dibangun oleh para malaikat. Dan selama lebih dari 2.000 tahun, malaikat sudah melaksanakan tawaf (mengelilingi Ka’bah). Nabi Adam AS kemudian mengikuti apa yang dilakukan malaikat.

Ka’bah awalnya telah dibangun oleh malaikat. Kemudian, Nabi Adam AS diperintahkan untuk membangun kembali Ka’bah. “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia ialah Baitullah di Bakkah (Makkah), yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS Ali Imran [3]: 96).

Nabi Hud dan Saleh

Para nabi setelah Adam AS juga melaksanakan ibadah haji ke Baitullah. Ibnu Katsir dalam kitabnya, Bidayah wa an-Nihayah, menyebutkan sebuah riwayat Imam Ahmad bin Hanbal ra, Ibnu Abbas ra berkata, “Ketika Nabi SAW sedang lewat di Lembah Usfan pada waktu berhaji, beliau berkata, ‘Wahai Abu Bakar, lembah apakah ini?’ Abu Bakar menjawab, ‘Lembah Usfan.’ Nabi Bersabda, ‘Hud dan Saleh AS pernah melewati tempat ini dengan mengendarai unta-unta muda yang tali kekangnya dari anyaman serabut. Sarung mereka adalah jubah dan baju mereka adalah pakaian bergaris. Mereka mengucapkan talbiyah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah’.”

Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS

“Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di Baitullah (dengan mengatakan), ‘Janganlah kamu menyekutukan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang bertawaf dan orang-orang yang beribadah, dan orang yang ruku dan sujud. Dan, serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan’.” (QS al-Hajj [22]: 26-28).

Nabi Ibrahim diperintahkan Allah SWT untuk mengajak umat manusia mengerjakan ibadah haji ke Baitullah. Selanjutnya, nabi-nabi lainnya mengerjakan hal serupa.

Nabi Muhammad SAW

Ibadah haji disyariatkan pertama kali pada tahun keenam Hijriah. Sedangkan, Nabi Muhammad SAW melaksanakan ibadah haji pada tahun kesembilan Hijriah.

Banyak ayat Alquran yang memerintahkan Nabi SAW dan umat Islam untuk melaksanakan haji, sebagaimana tuntunan Allah dalam Alquran (QS 3: 97, 22: 27, 2: 196, 9: 2-3, 9: 17, 9: 28, dan 22: 27).

Adapun tuntunan yang mesti dilaksanakan adalah tawaf (QS 22: 29 dan 2: 125), sai antara Safa dan Marwa (QS 2: 158), wukuf (QS 85: 3, 89: 2, dan 2: 198-199), berkurban (QS 89: 2, 22: 28, dan 22: 36), dan tahalul atau mencukur rambut (QS 48: 27, 2: 196, dan 22: 29).

Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka, barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah tidak ada dosa baginya mengerjakan sai di antara keduanya. (QS 2: 158).

IHRAM

Bagaimana Mungkin Ahli Maksiat Bisa Bangga dengan Dosanya?

Allah SWT memeringatkan hamba-Nya tidak bangga dengan dosa.

Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan dengan berbuat dosa. Ketika berbuat dosa, seorang Muslim harus langsung melakukan taubat dan memohon ampun kepada Allah SWT. Namun, ada sebagain orang yang justru bangga ketika berbuat dosa.

Lalu, apa konsekuensi bagi orang yang bangga atas dosa yang dilakukannya? Dalam kitabnya yang bejudul Nashaihul ‘Ibad, Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan bahwa sebagian ahli zuhud, yakni orang yang tidak begitu memperdulikan kehidupan dunia dan hanya mengambil cukup pada apa yang sangat mereka butuhkan saja, berkata:

“Barang siapa yang berbuat dosa sementara dia tertawa atau merasa senang dan bangga dengan dosa yang dia tanggung, maka kelak Allah akan memasukkannya ke neraka dalam keadaan menangis. Karena seharusnya dia menyesal dan beristighfar pada Allah SWT karena dosanya itu.

Dan barang siapa yang taat kepada Allah, sementara dia menangis karena malu dan takut kepada Allah atas kelalaiannya dalam ketataan itu, maka kelak Allah akan memasukkannya ke surga dalam keadaan tertawa atau sangat bahagia, sebab ia telah memperoleh apa yang ia inginkan, yakni ampunan Allah.”

Suatu hari, Rasulullah SAW juga telah mengingatkan bahwa umat Islam akan mendapatkan ampunan, kecuali yang bangga berbuat dosa.  

 كُلُّ أَمَّتِى مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ “Setiap umatku akan mendapat ampunan, kecuali  orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa.”

Namun, sayangnya di zaman media sosial ini masih banyak orang justru bangga dalam berbuat dosa. Mereka bahkan tak malu mempertontonkan auratnya. Padahal, perbuatan mereka sama saja dengan menantang hukum Allah, dan itu akan mempercepat turunnya azab Allah.

ما ظهرَ في قومٍ الزِّنا والرِّبا ؛ إلَّا أحلُّوا بأنفسِهِم عذابَ اللهِ 

“Tidaklah perbuatan zina dan riba itu telah tampak secara terang-terangan di suatu kaum, kecuali mereka telah menghalalkan azab Allah bagi mereka sendiri.” (HR Ahmad dari Abdullah bin Mas’ud).

KHAZANAH REPUBLIKA


Allah SWT Hamparkan Solusi Hidup Manusia, Tapi Mereka Abai

Allah SWT pada dasarnya memberikan solusi untuk hidup manusia.

Allah SWT memang menciptakan alam semesta beserta makhluk-makhluk-Nya bersumber dari sifat kasih dan sayang-Nya.

Oleh karena itu alam ini dirancang sedemikian rupa sebagai ciptaan terbaik-Nya, namun bukan berarti manusia tidak diberikan cobaan.

Pakar Tasawuf Haidar Bagir dalam bukunya berjudul Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan menyebut, sifat asli Allah adalah memberikan kebaikan setinggi-tingginya dan kebahagiaan bagi penghuni alam semesta. Sebagai konsekuensinya, Dia membentangkan juga kemungkinan jalan, termasuk jalan keluar, dari cobaan-cobaan yang diberikan.

Alam ini, kata dia, adalah himpunan jalan-jalan dan kesempatan ke arah kebaikan tertinggi, kesempurnaan, dan kebahagiaan manusia. Maka jika suatu saat manusia sedang menjalani suatu keadaan melalui salah satu jaannya, maka yang perlu diingat adalah satu di antara banyak jalan-Nya yang terbatas.

Jika melalui jalan tersebut manusia dapat melaluinya, maka bersyukurlah. Namun jika tidak, jangan putus asa. Sebab Allah masih menyediakan jalan-jalan lainnya yang dapat dilalui untuk menyelesaikan cobaan dan menujua kebahagiaan. 

Manusia, kata dia, hanya butuh pindah lintasan jika tidak berhasil dengan satu jalan. Sebab Allah menyediakan beragam jalan untuk dilalui dan disediakan kepada hamba-hamba-Nya. 

Barangkali di jalan pertama yang dilalui dan tidak berhasil itu, Allah telah sisipkan hikmah sehingga di jalan atau pintasan lain lah manusia dapat mendapatkan solusi dari setiap cobaan yang mendera. 

KHAZNAH REPUBLIKA


Syekh Ali Jaber, Usia 11 Tahun Sudah Hafal al-Qu`an

Satu hal yang menyebabkan Syekh Ali Jaber memilih tetap berdakwah di Indonesia. “Islam di Indonesia kebanyakan hanya sebuah nama, sementara perilaku sehari-hari masih jauh dari nilai-nilai Islam itu sendiri,” katanya.

Ia punya perhatian khusus kepada pera penghafal al-Qur`an. Sayangnya, katanya, Indonesia yang Muslimnya terbesar di dunia, sedikit penghafal al-Qur`annya

Nama Syekh Ali Jaber naik ke permukaan beberapa hari ini. Baik di media maupun medsos. Itu terkait dengan penusukan yang dilakukan seorang pemuda, saat ia berceramah di sebuah acara di Lampung, Sabtu lalu.

Sebagai pendakwah nama Syekh Ali cukup di kenal di Nusantara, walau ia bukan warga negara Indonesia. Wajahnya kerap nongol di layer kaca, karena ia menjadi salah satu dewan juri kompetisi penghafal al-Qur`an di sebuah stasiun televisi swasta di Indonesia.

Syekh Ali memang punya perhatian khusus kepada al-Qur`an. Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim, katanya, namun masih banyak yang belum bisa membaca al-Qur’an dengan baik dan benar. “Itulah salah satu sebab yang membuat saya lebih fokus memperhatikan para penghafal al-Qur’an di Indonesia, termasuk juga tunanetra,” jelasnya.

Selain itu, lanjutnya, masih sedikit sekali jumlah para penghafal al-Qur’an di Indonesia. Bahkan mereka yang mengajar al-Qur’an rata-rata juga belum hafal al-Qur’an hingga 30 juz. “Ketika ada sebuah lembaga Islam dari negara Arab datang ke Indonesia untuk mencari penghafal al-Qur’an itu susah. Padahal, calon yang sesuai untuk dijadikan imam dan pemimpin adalah para penghafal al-Qur’an,” ungkap lelaki yang hafal al-Qur’an 30 juz pada usia 11 tahun.

Syekh Ali lahir di Madinah, Arab Saudi. 3 Februari 1976. Ia putra pertama dari 12 bersaudara.

Datang ke Indonesia pada 2008, sebenarnya Syekh Ali bukan ingin berdakwah, melainkan mencari informasi sebagian keluarganya yang ada di Indonesia.

“Keluarga besar saya ada yang berasal dari Indonesia, seperti Lombok, Surabaya, dan Jakarta,” katanya dikutip dari majalah Suara Hidayatullah.

Suatu kali ia diajak saudaranya shalat Maghrib di Masjid Agung Sunda Kelapa. Ia dikenalkan kepada ketua takmirnya. Tak disangka, ia langsung diminta menjadi imam shalat Maghrib itu.

Ketua takmir merasa senang bisa mendengar bacaan al-Qur’an khas dari Madinah yang dilantunkan Syaik Ali. Dari situ, ketua takmir memintanya untuk menjadi imam shalat Tarawih dan penceramah di Masjid Agung Sunda Kelapa selama bulan Ramadhan.

“Dari situlah saya mulai kenal Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sering datang untuk shalat Tarawih, berbuka puasa, dan i’tikaf,” kenangnya. Melalui JK pula Ali Jaber mendapatkan ijin tinggal di Indonesia.

Sejak mendapat ijin tinggal itu, Ali Jaber sering diminta ceramah, baik di mimbar maupun dalam forum majelis taklim. Padahal, saat itu ia belum mahir berbahasa Indonesia.

Karena kerap diminta ceramah, ia kemudian menyempatkan diri untuk belajar bahasa Indonesia. “Alhamdulillah, saya belajar dengan mendengar orang bicara kemudian saya praktikkan langsung, begitu seterusnya,” ucapnya.

Awalnya, dirinya sering ditertawakan ketika mencoba bicara bahasa Indonesia, tetapi ia tidak pernah mempedulikannya. “Kalau pengucapannya salah baru saya minta dikoreksi,” imbuhnya.

Syekh Ali meyakini bahwa kemudahan dalam berbahasa itu diperoleh dari keberkahan menghafal al-Qur’an. Menurutnya, al-Qur’an itu menjadi sumber kemudahan untuk belajar apa saja. Maka, sambungnya, ketika ia mulai belajar bahasa Indonesia, tidak ada kesulitan yang membuatnya putus asa untuk belajar.

“Pertama, kalau kita sudah belajar al-Qur’an, maka saya yakini akan mudah. Kedua, yang memudahkan saya selain al-Qur’an, adalah tauhid yang kuat,” kata pria yang kini telah mahir berbicara bahasa Indonesia tanpa mengikuti kursus.

Satu hal yang menyebabkan Syekh Ali Jaber memilih tetap berdakwah di Indonesia. “Islam di Indonesia kebanyakan hanya sebuah nama, sementara perilaku sehari-hari masih jauh dari nilai-nilai Islam itu sendiri,” katanya.* Bambang Subagyo

HIDAYATULLAH




Penyesalan Orang-orang Kafir di Akhirat

Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalaamu ‘ala Rasulillah.

Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan tentang penyesalan orang-orang kafir di akhirat, ketika sudah terlambat pintu taubat itu bagi mereka. Allah berfirman:

رُبَمَا يَوَدُّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْ كَا نُوْا مُسْلِمِيْنَ

“Orang kafir itu kadang-kadang (nanti di akhirat) menginginkan, sekiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang muslim.” (QS. Al-Hijr 15: Ayat 2)

Dan firman-Nya:

ذَرْهُمْ يَأْكُلُوْا وَيَتَمَتَّعُوْا وَيُلْهِهِمُ الْاَ مَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُوْنَ

“Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong) mereka, kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatannya).” (QS. Al-Hijr 15: Ayat 3)

Orang-orang kafir itu berangan-angan seandainya mereka diberi kesempatan untuk bisa kembali ke dunia, lalu mereka akan beramal shalih. Allah berfirman:

وَلَوْ تَرٰۤى اِذِ الْمُجْرِمُوْنَ نَا كِسُوْا رُءُوْسِهِمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ رَبَّنَاۤ اَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَا رْجِعْنَا نَعْمَلْ صَا لِحًـا اِنَّا مُوْقِنُوْنَ

“Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata), Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), niscaya kami akan mengerjakan kebajikan. Sungguh, kami adalah orang-orang yang yakin.” (QS. As-Sajdah 32: Ayat 12)

Namun itu semua hanya angan-angan yang tidak akan pernah terjadi. Lalu Allah menghukum mereka atas kekafiran mereka. Allah berfirman:

وَ لَوْ شِئْنَا لَاٰ تَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدٰٮهَا وَلٰـكِنْ حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّيْ لَاَ مْلَئَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَا لنَّا سِ اَجْمَعِيْنَ

“Dan jika Kami menghendaki niscaya Kami berikan kepada setiap jiwa petunjuk (bagi)nya, tetapi telah ditetapkan perkataan (ketetapan) dari-Ku, Pasti akan Aku penuhi Neraka Jahanam dengan jin dan manusia bersama-sama.” (QS. As-Sajdah 32: Ayat 13)

Mereka pun mendapat azab pedih yang abadi (kekal) di dalam neraka jahannam. Allah berfirman:

فَذُوْقُوْا بِمَا نَسِيْتُمْ لِقَآءَ يَوْمِكُمْ هٰذَا ۚ اِنَّا نَسِيْنٰكُمْ وَذُوْقُوْا عَذَا بَ الْخُلْدِ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

“Maka rasakanlah olehmu (azab ini) disebabkan kamu melalaikan pertemuan dengan harimu ini (hari Kiamat), sesungguhnya Kami pun melalaikan kamu dan rasakanlah azab yang kekal, atas apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. As-Sajdah 32: Ayat 14)

Semoga Allah mewafatkan kita di atas ajaran Islam (tauhid) serta menjaga diri dan keluarga kita dari kekafiran dan azab kekal di neraka jahannam.

Semoga menjadi bahan renungan untuk kita semua akan bahayanya kekufuran dan kesyirikan.

***

Disusun oleh:
Ustadz Haris Hermawan, M.A. (Mahasiswa Doktoral Universitas Islam Madinah, Fakultas Dakwah)

KONSULTASI SYARIAH

Milikilah Sifat Malu

Seorang muslim adalah orang yang selalu menjaga harga dirinya dan pemalu.

Dalam kitab Hadist Ar’abain,  Imam an-Nawawi menuliskan hadis dari  Dari Abu Mas’ud, ‘Uqbah bin ‘Amr Al Anshari Al Badri radhiyallahu anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Sesungguhnya diantara yang didapat manusia dari kalimat kenabian yang pertama ialah : Jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.” (HR. Bukhari)

Hadist ini dikeluarkan oleh Imam bukhari dari riwayat Manshur bin Al-Mu’tamar dari Rib’iy bin Hirasyi danri Abu Mas’ud  dari Hudzaifah dari Nabi Salallahu Alaiwassalam. Para ulama ahli hadis memiliki perbadaan dalam sanad hadist ini. Namun sebagian besar ahli hadis menyatakan bahwa ini adalah perkataan dari Abu Mas’ud. Yang mengatakan demikian adalah Imam al-Bukhari, Abu Zur’ah, Ar-Riaziy, Ad-Daruquthniy. Yang menunjukan kebenaran tentang hal ini yaitu telah diriwayatkan dengan jalan lain, dari Abu Mas’ud pada riwayat Masruq. Dikeluarkan juga oleh Ath-Thabraniy dari hadits Abu Ath-Thufail dari Rasullullah Juga.

Hadits diatas ini sangat penting artinya dan mesti menjadi perhatian yang sangat serus  bagi setiap Muslim, karena dalam hadis ini putaran-putaran ajaran Islam semuanya bertumpu. Hadits ini singkat redaksinya, tapi padat maknanya dan sarat akan pesan moral, karena didalamnya Rasulullah SAW mengingatkan kita akan pentingnya rasa malu, sebagai suatu sifat bagi bersandarnya akhlak-akhlak Islami.

Seorang muslim adalah orang yang selalu menjaga harga dirinya dan pemalu. Sifat malu wajib hukumnya dimiliki oleh seorang muslim. Ia merupakan akhlak yang mulia, agung, dan  sifat inimerupakan sifat yang selalu diseru oleh syariat dalam al-qur’an. Ibnu Qoyyim juga mengatakan; “sifat malu merupaka sifat khusus bagi kemanusiaan. Orang yang tidak memiliki sifat malu, berarti tidak ada dalam dirinya sifat khusus ini dalam dirinya kecuali hanya sekedar bentuk daging,  darah dan sifatnya. Selain itu dia tidak memiliki kebaikan apapun pada dirinya. Selain itu sifat malu juga  merupakan benteng dari melakukan perbuatan-perbuatan buruk, jika rasa malu telah hilang pada seseorang maka berbagai keburukan akan ia lakukan, seperti membunuh, zina, durhaka pada kedua orang tua dan lain-lain.

Musthafa Murad dalam Minhajul Mukmin menuliskan, sifat malu merupakan salah satu dari tujuh puluh cabang iman. Hal ini disebabkan kerena keduanya (iman dan malu) sama-sama menyeru dan mendorong seseorang kepada kebaikan dan menjauhkannya dari kejahatan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu ada tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih, yang paling utama adalah ucapan ‘Laailaahaillallah’, sedangkan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan, dan malu itu salah satu cabang keimanan” (HR. Bukhari dan Muslim). Sebuah  hadist yang diriwayat Ibnu Majjah juga disebutkan ;”Malu termasuk bagian dari iman dan iman balasannya di surga.

Imam Nawawi dalam riyadhus shalihin menuliskan, hakikat sifat malu merupakan sebuah budipekerti yang menyebabkan yang menyebabkan seseorang meninggalkan perbuat yang buruk dan dia tidak mau lenggah menunaikan hak seseorang yang mempunyai hak. Sebuah riwayat dari Abul Qasim juga mengatakan ;”malu merupakan perpaduan antara melihat berbagai macam kenikmatan  atau karunia dan melihat adanya kelengahan, kemudian tumbuhlah diantara kedua macam sifat itu suatu keadaan yang dinamakan malu.   

Secara umum, para ulama seperti Ibnu Rajab Al-Hambali membagi sifat malu kepada dua macam yaitu malu sebagai sebuah tabiat atau pembawaan yang dianugerahkan Allah SWT sejak manusia lahir. Kedua, malu yang tumbuh sebagai hasil usaha.  Sabda Rasulullah SAW dalam hadits ini lebih merujuk pada malu dalam bentuk kedua. Bila demikian, kita wajib merawat dan mengembangkan rasa malu ini dengan berusaha mengenal siapa Allah dan siapa diri kita.

Sedangkan tingkatannya, Ibnu Qoyyim dalam kitab Mijkrajul Muslimim membagi sifat malu kepada tiga tingkatan yaitu: pertama sifat malu yang muncul karena seorang hamba  tahu bahwa Allah  melihat dirinya, sehingga dia terdorong untuk selalu bermujahadah, mencela keburukan dirinya, dan dia tidak pernah merasa mengeluh.

Selagi seorang hamba mengetahui bahwa Allah melihat dirinya, maka hal ini akan membuatnya malu terhadap Allah, lalu mendorongnya untuk semakin taat. Hal ini seperti hamba yang bekerja di hadapan tuannya, tentu akan semakin giat dalam bekerja dan siap memikul bebannya, apalagi jika tuannya berbuat baik kepadanya dan dia pun mencintai tuannya. Keadaan ini berbeda dengan hamba yang tidak ditunggui dan dilihat tuannya. Sementara Allah senantiasa melihat hamba-Nya. Jika hati merasa bahwa Allah tidak melihatnya, maka ia tidak merasa malu kepada-Nya.

Kedua sifat Malu yang muncul karena merasakan kebersamaan dengan Allah, sehingga menumbuhkan cinta, merasakan kebersamaan dan tidak suka bergantung kepada makhluk. Kebersamaan dengan Allah ada dua macam: Umum dan khusus. Yang umum ialah kebersamaan ilmu dan keikutsertaan, seperti firman-Nya, “Dan, Dia bersama kalian di mana saja kalian berada.” (Al-Hadid: 4). Sedangkan kebersamaan yang khusus ialah kedekatan bersama Allah, seperti firman-Nya, “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan mereka yang berbuat kebajikan.” (An-Nahl: 138). “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 153).

Ketiga Malu yang muncul karena melepaskan ruh dan hati dari makhluk, tidak ada kekhawatiran, tidak ada pemisahan dan tidak berhenti untuk mencapai tujuan. Jika ruh dan hati bersama Pencipta semua makhluk, maka ia akan merasakan kedekatan dengan-Nya dan seakan bisa menyaksikan-Nya secara langsung, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran untuk berpisah dengan-Nya. Di dalam hati itu juga tidak ada sesuatu selain Allah.

Akibat Hilangnya Sifat Malu

Ibnu Abid Dunyam menulis dalam Makarimil Akhlaq bahwa Umar bin Khatab perna berkata; ’Barang siapa yang rasa malunya sedikit mala sifat waro’nyapun berkurang dan barang siapa yang sifat wara’nya berkurang maka hatinya pasti akan mati.

Sebuah riwayat dari Salman Alfarisi menuliskan; ”Sungguh jika Allah berkehendak untuk membinasakan seseorang maka akan Allah hilangkan rasa malu dari diri orang tersebut. Jika rasa malu sudah tercabut dari dirinya maka tidaklah kau jumpai orang tersebut melainkan orang yang sangat Allah murkai. Setelah itu akan hilang sifat amanah dari diri orang tersebut. Jika dia sudah tidak lagi memiliki amanah maka dia akan menjadi orang yang suka berkhianat dan dikhianati. Setelah itu sifat kasih sayang akan dicabut darinya. Jika rasa kasih sayang telah dicabut maka dia akan menjadi orang yang terkutuk. Sesudah itu, ikatan Islam akan dicabut darinya.”

Ibnu Abbas mengatakan; “Rasa malu dan iman itu satu ikatan. Jika dicabut salah satunya maka akan diikuti oleh yang lain.” (Diriwayatkan dalam Mu’jam Ausath).

Perkataan dua orang sahabat Nabi di atas menunjukkan bahwa orang yang tidak lagi memiliki rasa malu itu tidak memiliki faktor pencegah untuk melakukan keburukan. Dia tidak akan sungkan-sungkan untuk melakukan yang haram dan sudah tidak takut dengan dosa. Lisannya juga tidak berat untuk mengucapkan kata-kata yang buruk.

Ibnu Qoyyim juga berkata : salah satu sebab merajalelanya kemaksiatan adalah hilangnya rasa malu sebagai unsur utama hidupnya hati, dia adalah pondasi setiap kebaikan, mak hilangnya rasa malu seseorang berasti sirnanya seluruh kebaikan.

Oleh: Mubhalig dan Sekretaris Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Kepulauan Anambas, Deri Adlis SHi

sumber: Suara Muhammadiyah

KHAZANAH REPUBLIKA