Hasad Antar Ulama, Ustadz dan Penuntut Ilmu

Tidak jarang, manusia dihinggapi perasaan hasad (dengki), tatkala melihat orang lain mendapat kenikmatan, meraih kesuksesan dan dikaruniai kebaikan. Baik berupa harta, ilmu, kedudukan, dan lain-lain.

Penyebab Timbulnya Hasad

Kita doakan agar para ulama, para ustadz, penuntut ilmu agama tidak terjadi yang namanya hasad antar mereka. Hal ini benar-benar menimbulkan kebingungan dan tidak jarang menimbulkan perpecahan di antara umat Islam. Hal ini menjadi masukan kami pribadi sebagai penuntut ilmu agar benar-benar mengindari hal ini. Sumber utama muncul adalah cinta dunia, sombong serta cinta kedudukan dan cinta kehormatan. 

Kerusakan Akibat Hasad Antar Ustadz dan Penuntut Ilmu

Hasad antara ulama, ustadz dan penuntut ilmu lebih besar kerusakananya dibandingkan hasad antar sesama orang awam, karenanya Ibnul Jauzi memperingatkan hal ini dan beliau berkata,

 تأملت التحاسد بين العلماء فرأيتُ منشأَهُ من حُبِّ الدنيا؛ فإنَّ علماء الآخرة يتوادُّون ولا يتحاسدون كما قال الله عزوجل : وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّا أُوتُوا

“Aku amati saling hasad yang terjadi di antara ulama itu, tumbuhnya karena cinta dunia. Sebab, ulama akhirat itu saling mencintai, bukan saling dengki, sebagaimana firman Allah, “Mereka tidak mendapatkan dalam dadanya keinginan (duniawi) dari apa yang diberikan kepada mereka”. [Saidul Khatir hal. 25]

Hasad ini benar-benar merusakan bahkan menhancurkan kebaikan yang sudah ada sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ

“Jauhilah hasad karena hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar” [HR. Abu Dawud]

Para ulama, ustadz dan penuntut ilmu cukup mudah terpapar dengan penyakit hasad karena mereka umumnya memiliki kedudukan di masyarakat. Hasad ini muncul pada orang yang memiliki kesamaan kedudukan dan harta. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan,

وهكذا الحسد يقع كثيرا بين المتشاركين في رئاسة أو مال

“Demikianlah hasad sering terjadi diantara orang yang memiliki kesamaan dalam kedudukan dan harta. [Amradul Qulub wa Syifaa’uha hal 21, Mathba’ah Salafiyah]

Hendaknya kita sebagai penuntut ilmu benar-benar sadar bahwa bukan suatu hal yang mustahil hasad muncul dari orang yang berilmu agama, karena hakikatnya semua manusia memiliki hasad dalam dirinya, hanya saja orang baik melawan dan tidak memunculkannya sedangkan orang buruk akan memunculkannya.

Ibnu Taimiyyah berkata,

ما خلا جسد من حسد لكن اللئيم يبديه والكريم يخفيه.

“Setiap jasad tidaklah bisa lepas dari yang namanya hasad. Namun orang yang berpenyakit (hati) akan menampakkannya. Sedangkan orang yang mulia akan menyembunyikannya.” [Majmu’ Al Fatawa 10/124-125]

Beberapa Solusi untuk Mengobati Penyakit Hasad

1. Merenungi bahwa hasad tidak bermanfaat sedikitpun. Perhatikan ucapan Ibnu Sirin berikut:

ما حسدت أحدا على شيء من أمر الدنيا لأنه إن كان من أهل الجنة فكيف أحسده على الدنيا وهي حفيرة في الجنة وإن كان من أهل النار فكيف أحسده على أمر الدنيا وهو يصير إلى النار

 “Aku tidak pernah hasad kepada seorang pun dalam masalah dunia, karena jika dia termasuk ahli surga, maka bagaimana aku hasad kepadanya dalam masalah dunia, padahal dia akan masuk surga? Dan jika dia termasuk ahli neraka, maka bagaimana aku hasad kepadanya dalam hal dunia, sedangkan dia akan masuk neraka?.” [Ihya’ ulumiddin 3/189, Darul ma’rifah]

2. Memberikan hadiah kepada orang yang dihasadkan, karena akan menimbulkan saling cinta.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَهَادُوْا تَحَابُّوْا

“Saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian akan saling mencintai.” [HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 594]

3. Mengingat kembali bahaya hasad

Bahayanya sangat banyak dan hanya merugikan diri sendiri. Diantaranya secara ringkas:

  • Tidak menyukai apa yang Allah takdirkan.
  • Hasad itu akan melahap kebaikan seseorang sebagaimana api melahap kayu bakar yang kering.
  • Kesengsaraan yang ada di dalam hati orang yang hasad. Setiap kali dia saksikan tambahan nikmat yang didapatkan oleh orang lain maka dadanya terasa sesak dan bersusah hati.
  • Seberapa pun besar kadar hasad seseorang, tidak mungkin baginya untuk menghilangkan nikmat yang telah Allah karuniakan.
  • Hasad bertolak belakang dengan iman yang sempurna. Nabi bersabda, “Kalian tidak akan beriman hingga menginginkan untuk saudaranya hal-hal yang dia inginkan untuk dirinya sendiri.” (HR Bukhari dan Muslim).
  • Hasad adalah penyebab meninggalkan berdoa meminta karunia Allah. Orang yang hasad selalu memikirkan nikmat yang ada pada orang lain sehingga tidak pernah berdoa meminta karunia Allah
  • Hasad penyebab sikap meremehkan nikmat yang ada
  • Hasadnya Iblis kepada Adam yang menyebabkan Iblis dilaknat.

[lihat kitabul ilmi syaikh AL-Utsaimin hal. 54-56, Darul Itqon Al-Iskandariyah]

4. Berdoa agar dijauhkan dari hasad

Sebagaimana doa dalam Al-Quran:

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلّاً لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ

“Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” [Al-Hasyr: 10]

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

Berdoa Agar Tidak Hasad Kepada Saudaranya

Hasad adalah salah satu penyakit hati yang sangat berbahaya, karena hasad lah Iblis diusir dari surga dan mendapat laknat hingga hari kiamat. Iblis sombong dan hasad kepada Nabi Adam alahissalam Allah berfirman,

قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ ۖ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ ﴿٧٥﴾ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ ۖ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ

“Hai iblis! Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku? Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi? Iblis berkata, “Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah”. [Shaad:75-76]

Demikianlah hasad iblis kepada nabi adam karena merasa lebih baik serta tidak ingin ada orang lain yang mendapatkan kebaikan. Inilah definisi hasad yang jelaskan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah, beliau berkata:

أن الحسد هو البغض والكراهة لما يراه من حسن حال المحسود

Hasad adalah benci dan tidak suka terhadap kebaikan yang ada pada orang lain yang ia lihat.” [Amraadul Qulub wa Syifaa’uha hal 14,]

Penyakit hasad ini ada pada semua orang, baik itu orang yang baik maupun orang yang memang berhati buruk. Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan,

أن ” الحسد ” مرض من أمراض النفس وهو مرض غالب فلا يخلص منه إلا قليل من الناس ولهذا يقال: ما خلا جسد من حسد لكن اللئيم يبديه والكريم يخفيه.

“Sesungguhnya hasad adalah di antara penyakit hati. Inilah penyakit kebanyakan manusia. Tidak ada yang bisa lepas darinya kecuali sedikit sekali. Oleh karena itu ada yang mengatakan, Namun orang yang berpenyakit (hati) akan menampakkannya. Sedangkan orang yang mulia akan menyembunyikannya.” [Majmu’ Al Fatawa 10/124-125]

Oleh karena itu sangat penting kita berdoa kepada Allah agar benar-benar dijauhi dari penyakit hasad terlebih apabila kita melihat orang lain mendapatkan nikmat.

وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Janganlah Engkau membiarkan tumbuh kedengkian/hasad dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.’” [Al-Hasyr:10]

Doa lainnya sebagaiman yang dijelaskan oleh syaikh Muhammad bin Shalih AL-‘Utsaimin, beliau berkata,

وأنت يا أخي إذا رأيت الله قد أنعم على عبده نعمة فاسع أن تكون مثله، لا تكره ما أنعم الله عليه، قل اللهم زده من فضلك وأعطني أفضل منه، (( واسألوا الله من فضله ))

Wahai saudaraku, Apabila engkau melihat Allah memberikan seorang hamba suatu kenikmatan, berusahalah agar engkau seperti dia. Janganlah engkau benci dengan apa yang telah Allah karuniakan kepada saudaramu. Berdoalah kepada Allah;

“Allahumma zid hu min fadhlika wa a’thinii afdhala minhu”

Artinya: Ya Allah, tambahkanlah karunia-Mu kepada saudaraku dan berilah aku karunia yang lebih utama darinya.

Allah befirman: “Mohonlah kepada Allah bagian dari karunia-Nya!” (Qs. An-Nisa: 32) [Silsilah al-Liqa` asy-Syahri, rekaman nomor 19B]

Semoga kita dijauhkan dari hasad karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita agar jangan saling hasad dan selalu bersaudara dalam Islam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تحاسدوا ولا تَناجَشُوا ولا تباغضوا ولا تدابروا ولا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ,وكونوا عباد الله إخواناً. اَلْمُسْلِمُ أَخُو المسلمِ: لا يَظْلِمُهُ ولا يَخْذُلُهُ ولا يَكْذِبُهُ ولا يَحْقِرُهُ 

“Jangan kalian saling hasad, jangan saling melakukan najasy, jangan kalian saling membenci, jangan kalian saling membelakangi, jangan sebagian kalian membeli barang yang telah dibeli orang lain, dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim bagi lainnya, karenanya jangan dia menzhaliminya, jangan menghinanya, jangan berdusta kepadanya, dan jangan merendahkannya. [HR. Muslim]

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

Diantara Kedudukan Baginda Nabi Saw

Diantara Kedudukan Baginda Nabi Saw

Share on facebookShare on whatsappShare on twitterShare on googleShare on telegram

Diantara Kedudukan Baginda Nabi Saw

khazanahalquran.com – Baginda Nabi Saw adalah ciptaan paling sempurna di antara seluruh ciptaan Allah Swt. Dan diantara kedudukan beliau adalah :

1. Ciptaan pertama.

Nabi Muhammad Saw adalah makhluk pertama yang diciptakan oleh Allah di alam nur.

Sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan oleh sahabat Jabir :

“Wahai Jabir, pertama kali yang diciptakan oleh Tuhanmu adalah cahaya Nabimu dan dari cahaya itulah seluruh kebaikan tercipta.”

2. Manusia pertama yang bersaksi di alam dzar mengenai Ke-Esaan Allah seperti yang disebutkan dalam Surat Al-A’raf 172 dan disebutkan dalam suatu riwayat riwayat.

Dalam ayat lain Allah Swt berfirman :
وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلۡمُسۡلِمِینَ

“Dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).” (QS.Al-An’am:163)

Dan ketika Allah Swt mengambil kesaksian para Nabi kemudian menyebutkan nama-nama Nabi Ulul Azmi, Allah mendahulukan Nabi Muhammad Saw sebelum Nabi Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa alaihimussalam.

وَإِذۡ أَخَذۡنَا مِنَ ٱلنَّبِیِّـۧنَ مِیثَـٰقَهُمۡ وَمِنكَ وَمِن نُّوحࣲ وَإِبۡرَ ٰ⁠هِیمَ وَمُوسَىٰ وَعِیسَى ٱبۡنِ مَرۡیَمَۖ وَأَخَذۡنَا مِنۡهُم مِّیثَـٰقًا غَلِیظࣰا

“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari para nabi dan dari engkau (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.” (QS.Al-Ahzab:7)

3. Nabi Muhammad Saw adalah saksi bagi para saksi di hari kiamat yaitu para Nabi.

فَكَیۡفَ إِذَا جِئۡنَا مِن كُلِّ أُمَّةِۭ بِشَهِیدࣲ وَجِئۡنَا بِكَ عَلَىٰ هَـٰۤؤُلَاۤءِ شَهِیدࣰا

Dan bagaimanakah, jika Kami mendatangkan seorang saksi (Rasul) dari setiap umat dan Kami mendatangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka.” (QS.An-Nisa’:41)

Setiap umat memiliki saksi yaitu nabi mereka masing-masing. Dan saksi atas seluruh Nabi itu adalah Nabi Muhammad Saw.

4. Penutup para Nabi.

Nabi Muhammad Saw adalah penutup dari segala kesempurnaan. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Jibril di waktu Mi’raj disebutkan :

“Sesunggunya engkau (Muhammad) berada di suatu tempat yang tidak bisa dijangkau oleh siapapun orang-orang terdahulu dan mustahil akan dijangkau oleh orang-orang setelahmu.”

Karena itu beliau adalah makhluk yang paling dekat dengan Allah Swt.

Dan Allah Swt telah memberikan gelar yang sangat mulia kepada kekasih-Nya,Muhammad Saw dengan sebutan سراجا منيرا (pelita yang sangat terang)

Semoga bermanfaat..

KHAZANAH ALQURAN

Kewajiban Shalat secara Berjamaah (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Kewajiban Shalat secara Berjamaah (Bag. 1)

Apakah shalat sendirian di rumah itu sah?

Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ، فَلَا صَلَاةَ لَهُ، إِلَّا مِنْ عُذْرٍ

“Siapa saja yang mendengar adzan, namun tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali ada udzur.” (HR. Ibnu Majah no. 793, dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 6300)

Hadits ini jelas menunjukkan kewajiban shalat berjamaah. Bahkan sebagian ulama berpendapat berdasarkan hadits ini bahwa tidak shalat jamaah tanpa udzur itu menyebabkan shalat menjadi tidak sah. Hal ini berdasarkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas,

فَلَا صَلَاةَ لَهُ، إِلَّا مِنْ عُذْرٍ

“maka tidak ada shalat baginya, kecuali ada udzur.”

Akan tetapi, pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah bahwa shalatnya tetap sah, akan tetapi pelakunya berdosa dan berhak mendapatkan murka Allah Ta’ala karena dia meninggalkan shalat jamaah tanpa ada udzur yang dibenarkan oleh syariat.

Shalat jamaah, berat dilakukan oleh orang-orang munafik

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mencari-cari sahabatnya ketika shalat. Sebagaimana dalam sebuah hadits dari sahabat Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

“Suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat subuh bersama kami. Kemudian beliau berkata,

أَشَاهِدٌ فُلَانٌ

“Apakah si fulan hadir?” (Maksudnya, apakah si fulan menghadiri shalat jamaah?)

Para sahabat menjawab, “Tidak.”

Rasulullah bertanya lagi,

أَشَاهِدٌ فُلَانٌ

“Apakah si fulan hadir?

Para sahabat menjawab, “Tidak.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ هَاتَيْنِ الصَّلَاتَيْنِ أَثْقَلُ الصَّلَوَاتِ عَلَى الْمُنَافِقِينَ، وَلَوْ تَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَيْتُمُوهُمَا، وَلَوْ حَبْوًا عَلَى الرُّكَبِ

“Sesungguhnya dua shalat ini (shalat isya’ dan shalat subuh) adalah shalat yang paling berat dikerjakan bagi orang-orang munafik. Seandainya mereka mengetahui apa yang ada dalam keduanya -berupa pahala yang besar- niscaya mereka akan mendatanginya meskipun dengan merangkak.” (HR. Abu Dawud no. 554 dan An-Nasa’i no. 843, dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud no. 563)

Dan sungguh terdapat perhatian besar terhadap shalat jamaah dari pemuka umat ini, yaitu dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ، وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ

“Menurut pendapat kami (yaitu para sahabat), tidaklah seseorang ketinggalan dari shalat jamaah, melainkan dia seorang munafik yang jelas kemunafikannya (munafik tulen). Sungguh dahulu seseorang dari kami harus dipapah di antara dua orang hingga diberdirikan si shaff (barisan) shalat yang ada.” (HR. Muslim no. 654)

Jika salah seorang di antara mereka tidak mampu berjalan ke masjid karena sakit atau karena sudah tua, para sahabat pun akan memapah lengan atasnya, dan membantunya untuk berjalan dan bisa sampai di shaf kaum muslimin untuk shalat berjamaah. Hal itu semua karena hati mereka mengetahui dengan sebenar-benarnya bagaimanakah nilai dan kedudukan shalat jamaah. Ketika kedudukan shalat tersebut sangat agung dalam hati mereka, maka tergeraklah badan yang lemah tersebut ke masjid meskipun dengan susah payah.

Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah berkata,

ما فاتتني صلاة الجماعة منذ أربعين سنة

“Aku tidak pernah tertinggal shalat jamaah sejak usia empat puluh tahun.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqaat 5: 131 dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 2: 162)

Renungkanlah kebanyakan manusia yang pada satu hari atau satu minggu saja, betapa banyak dia tertinggal -atau bahkan tidak- shalat jamaah? Sedangkan di zaman kita ini, Allah Ta’ala memuliakan orang-orang tua dengan kursi otomatis yang bisa bergerak dan mengantarkan mereka menuju masjid. Sehingga dia pun bisa menjaga shalat jamaah di masjid meskipun badannya sudah lemah. Hal ini tentu saja mengingatkan kita dengan kondisi para salaf dahulu yang mulia. Lalu, mengapa mereka yang masih muda tidak mau mengambil pelajaran dari mereka orang yang sudah tua renta?

Masjid adalah tempat pelaksanaan shalat berjamaah

Shalat jamaah tersebut bertempat di masjid kaum muslimin, sebagaimana yang diperintahkan oleh Rabb semesta alam dan sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Shalat berjamaah di masjid adalah syi’ar Islam yang agung dan juga tanda sifat kejantanan seseorang.

Allah Ta’ala berfirman,

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ، رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ

“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat … .” (QS. An-Nuur [24]: 36-37)

Inilah yang dikatakan oleh Rabb semesta alam. Maka di manakah sifat kejantanan dari orang-orang yang tidak mau shalat jamaah dan meremehkannya?

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Siapa saja yang merenungkan as-sunnah dengan sebenar-benar perenungan, jelaslah bahwa mendirikan shalat jamaah di masjid itu wajib atas setiap orang (laki-laki), kecuali ada udzur yang membolehkannya tidak shalat berjamaah. Meninggalkan pergi ke masjid (tidak shalat jamaah di masjid) tanpa udzur itu sama seperti tidak shalat jamaah sama sekali tanpa udzur. Dengan penjelasan ini, maka hadits-hadits dan dalil-dalil dalam masalah ini akan saling bersesuaian.” (Ash-Shalaat, hal. 118)

Terdapat Fatwa Lajnah Daimah Kerajaan Saudi Arabia,

“Adapun mendirikan shalat secara berjamaah itu wajib ‘ain (wajib atas setiap muslim). Dalil dalam masalah ini adalah Al-Kitab dan As-Sunnah.” (Fataawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 7: 284)

Kemudian para ulama Lajnah Daimah -semoga Allah Ta’ala menjaga mereka dan merahmati mereka yang sudah meninggal dunia- menyebutkan sejumlah dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah tentang masalah tersebut.

Keutamaan shalat secara berjamaah

Terdapat banyak hadits yang menunjukkan keutamaan shalat secara berjamaah. Di antaranya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada jamaah shalat,

إِذَا تَوَضَّأَ، فَأَحْسَنَ الوُضُوءَ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى المَسْجِدِ، لاَ يُخْرِجُهُ إِلَّا الصَّلاَةُ، لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً، إِلَّا رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ، وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ

“ … bila dia berwudhu dengan menyempurnakan wudhunya, lalu keluar dari rumahnya menuju masjid, dia tidak keluar kecuali untuk melaksanakan shalat berjamaah, maka tidak ada satu langkah pun dari langkahnya kecuali akan ditinggikan satu derajat, dan akan dihapuskan satu kesalahan.” (HR. Bukhari no. 647 dan Muslim no. 649)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الْخَطَايَا، وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟

“Maukah kalian aku tunjukkan kepada suatu amal yang dapat menghapus kesalahan (dosa) dan meninggikan derajat?”

Para sahabat menjawab, ”Ya, wahai Rasulullah.”

Rasulullah bersabda,

إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ، وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ، وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ

”(Yaitu) menyempurnakan wudhu dalam kondisi sulit, banyaknya langkah menuju masjid, menunggu shalat setelah mendirikan shalat. Itulah kebaikan (yang banyak).” (HR. Muslim no. 251)

Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ غَدَا إِلَى المَسْجِدِ وَرَاحَ، أَعَدَّ اللَّهُ لَهُ نُزُلَهُ مِنَ الجَنَّةِ كُلَّمَا غَدَا أَوْ رَاحَ

“Siapa saja yang datang ke masjid di pagi dan sore hari, maka Allah akan menyediakan baginya tempat tinggal yang baik di surga setiap kali dia berangkat ke masjid di pagi dan sore hari.” (HR. Bukhari no. 662 dan Muslim no. 669)

Upaya setan dalam mengahalangi kaum muslimin dari shalat berjamaah di masjid

Setan akan berusaha semaksimal mungkin untuk memalingkan manusia dari shalat berjamaah di masjid. Hal ini karena setan mengetahui bahwa jika seorang muslim berpaling dari shalat, maka dia pun akan berpaling dari perkara agama yang lainnya. Sehingga dia pun akan menyia-nyiakan kebaikan yang sangat banyak. Karena tidak ada agama bagi orang yang tidak shalat, dan tidak ada bagian dari Islam bagi orang-orang menyia-nyiakan shalat. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

آخر ما تفقدون من دينكم الصلاة

“Perkara terahir yang akan hilang dari agama kalian adalah shalat.” (HR. Al-Khallal dalam As-Sunnah no. 1391, Ath-Thabrani dalam Al-kabir 9: 141, dan Al-Hakim 4: 549. Lihat Ash-Shahihah no. 1739)

Setan akan mendatangi manusia dengan berbagai macam cara dan metode. Jika memungkinkan bagi setan untuk mengajak meninggalkan shalat sama sekali, dia akan mencurahkan segala daya dan upayanya agar hal itu terwujud. Jika tidak memungkinkan, setan akan berpindah dengan mencegah seseorang agar tidak shalat berjamaah , kemudian mencegah seseorang agar tidak mendirikan shalat pada waktunya. Jika setan tidak mampu mencegah seseorang dari menghadiri shalat jamaah, setan mengajak orang tersebut untuk bermalas-malasan dan menunda-nunda ke masjid sehingga dia pun terlewat dari sebagian rakaat. Akhirnya, orang itu pun tercegah dari keutamaan bersegera menuju masjid dan menghadiri shalat jamaah sejak takbiratul ihram.

Bertakwalah kepada Allah Ta’ala, jagalah syiar Islam yang agung ini, dan tunaikanlah kewajiban shalat berjamaah ini di masjid, di rumah Allah Ta’ala. Sebagaimana telah diperintahkan di dalam kitab-Nya dan sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sunnahnya, agar kalian semua beruntung.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Doa Setelah Menghadiri Acara Maulid

Di bulan Rabiul Awal, banyak  di antara kita yang mengadakan dan menghadiri acara maulid Nabi Saw. Acara ini dilaksanakan dengan tujuan untuk merayakan hari kelahiran Nabi Saw, dan sebagai bentuk suka cita dan rasa syukur atas kelahiran beliau.

Disebutkan dalam kitab Al-Matah Min Al-Mawalid wa Al-Anasyid, ada redaksi doa setelah menghadiri acara maulid. Berikut redaksinya,

اَللَّهُمَّ إِنَّا قَدْ حَضَرْناَ ذِكْرَى مَوْلِدِ نَبِيِّكَ وَصَفْوَتِكَ مِنْ خَلْقِكَ وَأَفِضْ عَلَيْنَا بِبَرَكَتِهِ خِلَعَ اْلعِزِّ وَالتَّكْرِيْمِ وَأَسْكِنَّا بِجِوَارِهِ جَنَّاتِ النَّعِيْمِ وَمَتِّعْنَا بِالنَّظْرِ إِلَى وَجْهِكَ اْلكَرِيْمِ وَأَجِرْنَا مِنْ عَذَابِكَ اْلأَلِيْمِ بفَضْلِكَ وَجُوْدِكَ وَكَرَمِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

Allohumma innaa qod hadhornaa dzikroo mawlidi nabiyyika wa shofwatika min kholqika wa afidh ‘alainaa bi barokatihii khila’al ‘izzi wat takriimi wa askinnaa bi jiwaarihii jannaatin na’iim wa matti’naa bin nadzri ilaa wajhikal kariim wa ajirnaa min ‘adzaabikal aliimi wa juudika wa karomika yaa arhamar roohimiin.

Ya Allah, sesungguhnya kami telah menghadiri peringatan hari kelahiran nabi-Mu, kekasih-Mu di antara makhluk-Mu, dan limpahkan kepada kami melalui keberkahan nabi-Mu pakaian kemuliaan, dan tempatkan kami di sisinya di surga, dan berilah kenikmatan pada kami  dengan bisa melihat wajah-Mu yang mulia, dan jauhkan kami dari siksa-Mu yang pedih, dengan anugerah, kedermawanan dan kemuliaan-Mu, wahai Dzat Yang Maha Pengasih di antara para pengasih.

BINCANG SYARIAH

Waktu Terbaik Bersedekah Menurut Imam al-Ghazali

Bersedekah ialah memberikan sesuatu di jalan Allah dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan, dan semata-mata mengharapkan ridha-Nya sebagai bukti kebenaran iman seseorang. Dilihat dari jenis sesuatu yang diberikan, sedekah terbagi menjadi dua, yakni sedekah dengan harta dan sedekah dengan selain harta. Sedekah dengan selain harta bisa berupa pemberian bacaan tasbih, tahlil dan tahmid, pemberian senyuman, serta beberapa kerja sosial sebagaimana dijelaskan dalam hadis Dari Aisyah r.a, bahwasanya Rasulullah SAW. berkata,

“bahwasanya diciptakan dari setiap anak cucu Adam tiga ratus enam puluh persendian. Maka barang siapa yang bertakbir, bertahmid, bertasbih, beristighfar, menyingkirkan batu, duri, atau tulang dari jalanan, amr al-ma’ruf nahy al-munkar, maka akan dihitung sejumlah tiga ratus enam puluh persendian. Dan ia sedang berjalan pada hari itu, sedangkan ia dibebaskan dirinya dari api neraka.” (HR. Muslim)

Sedekah dengan harta dijelaskan keutamaannya oleh Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah [2]: 245,

مَّن ذَا ٱلَّذِى يُقْرِضُ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَٰعِفَهُۥ لَهُۥٓ أَضْعَافًا كَثِيرَةً ۚ وَٱللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْصُۜطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Man żallażī yuqriḍullāha qarḍan ḥasanan fa yuḍā’ifahụ lahū aḍ’āfang kaṡīrah, wallāhu yaqbiḍu wa yabṣuṭu wa ilaihi turja’ụn

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”

Selanjutnya, secara hukum, sedekah terbagi menjadi dua, yakni sedekah wajib atau yang biasa dikenal dengan nama zakat, dan sedekah sunnah. Hujjatul Islam Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin pada Kitab Asroru az-Zakat (Kitab Rahasia Zakat) menjelaskan tentang kapan waktu terbaik memberikan sedekah. Beliau menjelaskan bahwa untuk sedekah wajib atau zakat, maka waktu terbaik pemberiannya ialah:

ومن آداب ذوي الدين التَّعْجِيلُ عَنْ وَقْتِ الْوُجُوبِ إِظْهَارًا لِلرَّغْبَةِ فِي الِامْتِثَالِ بِإِيصَالِ السُّرُورِ إِلَى قُلُوبِ الْفُقَرَاءِ وَمُبَادَرَةً لعوائق الزمان أن تعوقه عَنِ الْخَيْرَاتِ وَعِلْمًا بِأَنَّ فِي التَّأْخِيرِ آفَاتٌ مَعَ مَا يَتَعَرَّضُ الْعَبْدُ لَهُ مِنَ الْعِصْيَانِ لَوْ أَخَّرَ عَنْ وَقْتِ الْوُجُوبِ

“Diantara adab orang yang beragama, ialah menyegerakan zakat dari waktu wajibnya, untuk melahirkan kegemaran mengikuti perintah Allah, dengan menyampaikan kesenangan ke dalam hati orang-orang fakir dan menyegerakan dari penghalang-penghalang masa, yang menghalanginya dari perbuatan kebajikan. Dan karena mengetahui, bahwa dengan melambatkan itu, timbul bahaya-bahaya serta kemaksiatan yang mendatangi seorang hamba, kalau diperlambatkan daripada waktu wajibnya.”

Dari penjelasan diatas bisa kita pahami bahwa waktu terbaik bersedekah itu sesudah sedekah atau zakat itu sendiri menjadi wajib bagi seorang manusia. Sebagaimana diketahui,  apabila suatu harta zakat telah mencapai nishab atau telah mencapai satu tahun (haul) maka wajib untuk mengeluarkan zakat. Ketika kriteria wajib itu telah terpenuhi, maka sebaiknya seorang hamba segera melakukan zakat.

Berikutnya, untuk sedekah sunnah, Imam al-Ghazali menjelaskan beberapa waktu terbaik dalam menjalankannya, yakni:

  1. Bulan Muharram, karena bulan Muharram adalah awal bulan-bulan mulia dalam Islam
  2. Bulan ramadhan, didukung dengan dalil bahwasanya di bulan ramadhan, Rasulullah SAW., makhluk terbaik di dunia ini, bersikap seperti angin yang berhembus, tidak memegang sesuatu benda pada tangannya. Artinya di bulan ramadhan, Rasulullah rajin sekali bersedekah sehingga seolah bagi beliau, harta hanyalah angin yang berhembus saja. Disamping itu juga harus kita ingat bahwa di dalam bulan ramadhan terdapat malam lailatul qadar dan di bulan ramadhan pula Alquran diturunkan. Waktu terbaik di bulan ramadhan ialah 10 hari terakhir.
  3. Bulan Dzulhijjah juga termasuk sebagian dari bulan yang banyak kelebihannya. Ia adalah bulan haram, didalamnya terdapat hari-hari pelaksanaan ibadah haji. Hari-hari terbaik dalam bulan ini ialah sepuluh hari awal ditambah hari-hari tasyriq.

Imam al-Ghazali juga menjelaskan bahwa ada baiknya pula jika seorang muslim membuat rekayasa agar supaya ia melaksanakan ibadah zakat di waktu-waktu terbaik tersebut. Seperti misalkan seorang pedagang, ia bisa merekayasakan agar memulai berdagang di bulan Muharram sehingga nanti haul nya jatuh di bulan muharram, dengan sendirinya kemudian waktu kewajiban zakatnya jatuh pada bulan mulia tersebut.

Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi shawab.


BINCANG SYARIAH


Sirah Nabawiyah, Hijrah ke Habasyah

Kaum musyrikin Makkah telah mengembangkan berbagai cara untuk menghadang laju dakwah. Mulai dari ejekan dan celaan hingga penyiksaan. Enam cara Quraisy menghadang dakwah tersebut telah kita bahas pada artikel sebelumnya.

Hijrah ke Habasyah yang Pertama

Sejak pertengahan tahun keempat kenabian, intimidasi dan penyiksaan atas kaum muslimin semakin menjadi. Orang-orang kafir Quraisy menteror kaum muslimin dengan sangat keras. Saat itulah Allah menurunkan Surat Al Kahfi yang menginspirasi kaum muslimin dengan tiga kisah. Yakni kisah Ashabul Kahfi, kisah Khidhr dan Musa, serta kisah Dzul Qarnain.

Pada kisah Ashabul Kahfi inilah terdapat inspirasi hijrah. Sebagaimana firman-Nya:

وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرفَقًا

Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu. (QS. Al Kahfi: 16)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun lantas memerintahkan sebagian sahabat nabi untuk berhijrah ke Habasyah. Beliau tahu bahwa pemimpin Habasyah saat itu, Ashhamah An Najasyi, adalah raja yang adil dan tidak membiarkan orang dizalimi di hadapannya.

Pada Rajab tahun kelima kenabian, berangkatlah 12 laki-laki dan 4 wanita ke Habasyah. Mereka dipimpin Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Meskipun berangkat sembunyi-sembunyi pada malam hari, gerakan mereka terendus orang-orang kafir Quraisy. Namun saat Quraisy tiba di pantai, rombongan kapal yang dinaiki muhajirin telah berangkat.

Di Habasyah, muhajirin hidup dengan aman. Namun pada bulan Syawal mereka pulang ke Makkah setelah terdengar kabar bahwa orang-orang Quraisy telah masuk Islam. Mendekati Makkah, barulah muhajirin tahu bahwa apa yang mereka dengan adalah hoax. Orang-orang Quraisy belum masuk Islam. Mereka hanya bersujud karena terpesona dengan Al Quran, ketika Rasulullah membaca Surat An Najm.

فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا

Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu. (QS. An Najm: 62)

Menyadari hal itu, muhajirin pun masuk ke Makkah secara sembunyi-sembunyi. Ada pula yang masuk Makkah dengan jaminan keamanan tokoh yang mereka kenal.

Hijrah ke Habasyah yang Kedua

Tekanan dan siksaan dari orang-orang Quraisy semakin menjadi. Rasulullah pun memerintahkan hijrah untuk kedua kalinya. Hijrah kedua ini lebih sulit karena Quraisy semakin meningkatkan kewaspadaan. Namun Allah memudahkan 83 laki-laki dan 18 wanita untuk berangkat ke Habasyah.

Mengetahui banyak kaum muslimin yang hidup aman di Habasyah, para pemuka Quraisy tak mau tinggal diam. Mereka mengutus Amr bin Ash dan Abdullah bin Abu Rabi’ah menghadap Najasyi. Dengan membawa berbagai hadiah dan persiapan diplomasi, keduanya datang ke Habasyah.

Setelah mendekati para uskup penasehat Najasyi dengan berbagai hadiah, keduanya pun bertemu Najasyi.

“Wahai Tuan Raja, sesungguhnya ada sejumlah orang bodoh dari negeri kami yang telah menyusup ke negeri Tuan. Mereka ini memecah belah agama kaumnya, juga tidak mau masuk ke agama Tuan. Mereka datang dengan membawa agama baru yang mereka ciptakan sendiri,” Amr bin Ash sejak masa jahiliyah memang pandai beretorika. Ia meminta Najasyi mengembalikan kaum muslimin ke Makkah dengan berbagai alasan. Para uskup yang telah diberi hadiah, ikut menguatkan perkataan Amr bin Ash.

Namun Najasy yang dikenal adil itu tak mau langsung mengambil keputusan. Ia panggil delegasi kaum muslimin untuk dikonfrontasi. “Seperti apakah agama kalian sehingga memecah belah kaum dan kalian juga tak masuk agama kami?”

“Wahai Tuan Raja,” kata Ja’far bin Abu Thalib sang juru bicara muhajirin. “Dulu kami memeluk agama jahiliyah. Kami menyembah berhala, memakan bangkai, berbuat mesum, memutus persaudaraan, menyakiti tetangga dan yang kuat menzalimi yang lemah. Lalu Allah mengutus seorang Rasul dari kalangan kami sendiri yang kami ketahui nasab, kejujuran, amanah dan kesucian dirinya.”

Ja’far menjelaskan ajaran Islam dan bagaimana agama tersebut mengubah perilaku-perilaku jahiliyah. Namun kaumnya memusuhi dan menyiksa kaum muslimin. “Maka kami pun pergi ke negeri Tuan dan memilih Tuan daripada orang lain. Kami gembira mendapat perlindaungan Tuan dan berharap agar kami tidak dizalimi di sisin Tuan.”

Kemudian Najasyi meminta dibacakan sebagian ajaran Nabi Muhammad. Ketika Ja’far membaca awal Surat Maryam, Najasyi menangis hingga membasahi jenggotnya. “Sesungguhnya ini dan yang dibawa Isa benar-benar keluar dari satu cahaya yang sama.”

Amr bin Ash tidak menyerah. Besoknya, ia datang lagi menghadap Najasyi dan memprovokasi bahwa Nabi Muhammad bicara yang tidak-tidak tentang Isa. Kaum muslimin pun dipanggil untuk kembali dikonfrontasi.

Kaum muslimin sempat khawatir kalau Najasyi marah. Namun Ja’far bertekad mengatakan yang sebenarnya. “Wahai Tuan Raja, kami katakan seperti yang dikatakan Nabi kami bahwa Isa adalah hamba Allah, Rasul-Nya, Ruh-Nya dan Kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, sang perawan suci.”

Mendengar itu, Najasyi mengambil sebatang lidi dari lantai. “Demi Allah, perbedaan Isa bin Maryam dari apa yang kau katakan tadi tak lebih besar dari batang lidi ini.”

Hidup di Habasyah dengan Aman

Amr bin Ash dan rombongannya pulang ke Makkah dengan tangan hampa. Mereka gagal mempengaruhi Najasyi untuk mendeportasi kaum muslimin. Propaganda mereka yang menjelekkan para sahabat mentah. Para pemuka Quraisy hanya bisa kecewa dan marah.

Di Habasyah, kaum muslimin bisa tinggal dengan aman dan tenang. Mereka bisa beribadah tanpa gangguan. Mereka bebas berislam tanpa disakiti dan dicelakai.

Meskipun demikian, bukan berarti di Habasyah kaum muslimin tidak menghadapi godaan. Dalam keseharian yang nyaman, justru ada yang terseret dalam gemerlap dunia hiburan. Akhirnya murtad meninggalkan Islam. Ubaidillah bin Jahsy, namanya. Suami dari Ummu Habibah binti Abu Sufyan.

Dalam kondisi yang sangat sedih, Ummu Habibah menerima lamaran dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ummu Habibah menerimanya dengan penuh kesyukuran. Maka jadilah ia ummul mukminin, meskipun masih terpisah jarak.

Kelak, kaum muslimin yang hijrah ke Habasyah ini mendengar Rasulullah telah hijrah ke Madinah dan meraih kemenangan demi kemenangan. Maka mereka pun menyusul Rasulullah hijrah ke Madinah. Ja’far dan orang-orang asy’ariyyin baru menyusul ke Madinah seusai perang Khaibar.

Rasulullah menyambut mereka dengan bahagia. Beliau bersabda, “Demi Allah, aku tidak tahu manakah di antara keduanya yang membuatku bergembira; penaklukan Khaibar atau kedatangan Ja’far.” [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

BERSAMA DAKWAH


Akhlak Muslim, Tetap Mengasihi Meski kepada Pembenci

Sikap mudah memaafkan ini merupakan tuntunan yang diajarkan Allah.

Dikisahkan dalam Kitab Minhajul Muslim karya Syekh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi yang diriwayatkan bahwa Zainal Abidin bin Ali Husain RA dalam perjalanannya ke masjid dicaci seseorang. Melihat hal tersebut para pembantu Zainal menawarkan diri untuk memukuli pencaci tersebut.

Namun, beliau mencegahnya sebagai bentuk kasih sayang kepada pencaci itu. Lalu ia berkata, “Aduhai, aku jauh lebih banyak lagi cacatnya dari pada yang kau katakan tadi. Apa yang tidak engkau ketahui tentang diriku jauh lebih banyak dari yang engkau ketahui. Jika engkau ada keperluan sehingga membuatmu mencaciku maka katakan saja,” ujar Zainal.

Lelaki itu pun kemudian tersipu malu mendengar jawaban tidak terduga Zainal. Zainal kemudian menanggalkan gamisnya untuk diberikan kepada pencaci tersebut. Ia bahkan menyuruh pembantunya memberikan uang seribu dirham.

Sikap mudah memaafkan ini merupakan tuntunan yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman dalam surat Al-Balad ayat 17:

ثُمَّ كَانَ مِنَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْمَرْحَمَةِ

Artinya: “Dan dia (tidak pula) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.”

Rasulullah juga bersabda:

 مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى.

Artinya: “Perumpamaan kaum Mukminin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Muslim).

KHAZANAH REPUBLIKA


3 Jamaah Umroh Indonesia Positif Covid-19 Diswab Ulang Besok

Sebanyak tiga jamaah asal Indonesia pada gelombang pertama positif Covid-19. Tiga jamaah tersebut, besok Rabu (11/11) akan diswab ulang.

“Iya betul (swab). Kalau nanti (hasil swab) negatif ya bisa umroh,” kata Konjen Jeddah Eko Hartono melalui pesan tertulis, Selasa (10/11).

Saat ini kata Eko, kondisi tiga orang jamaah umroh tersebut stabil dan masih diisolasi di hotel. Mereka tidak menjalani rawat inap di rumah sakit karena kondisinya yang tidak parah. “Mereka masih karantina karena masih positif tapi di hotel kok, tidak di rumah sakit karena engga tunjukkan gejala parah,” ucapnya.

Sebelumnya, Otoritas Arab Saudi melakukan swab ulang terhadap jemaah umroh asal Indonesia dan Pakistan. Hasil swab menunjukkan, tiga orang jamaah asal Indonesia positif covid-19 sedangkan jemaah Pakistan negatif semua.

Otoritas Saudi segera melakukan isolasi kepada tiga orang jemaah yang positif covid-19. Sedangkan seluruh jemaah lainnya menjalankan ibadah umroh sebagaimana jadwal semula.

Pasca menjalankan umroh, Arab Saudi juga akan melakukan tes swab kembali kepada seluruh jemaah umroh sebelum mereka kembali ke tanah air. Apabila hasil positif maka jemaah tidak akan diizinkan terbang dan harus menjalani karantina hingga hasil swab menunjukkan negatif Covid-19.

IHRAM

Kewajiban Shalat secara Berjamaah (Bag. 1)

Termasuk dalam syi’ar Islam yang paling agung adalah shalat jamaah di masjid bersama dengan kaum muslimin. Shalat tersebut merupakan kewajiban bagi laki-laki, baik ketika sedang safar (menjadi musafir) ataukah tidak, baik dalam kondisi aman ataukah dalam kondisi ketakutan (misalnya, ketika perang).

Shalat jamaah ini hukumya fardhu ‘ain, karena didukung oleh dalil-dalil baik dari Al-Kitab, As-Sunnah, dan juga praktek kaum muslimin dari masa ke masa. Untuk mewujudkan shalat jamaah itu, masjid-masjid dimakmurkan, dan ditunjuklah imam dan muadzin tetap. Juga disyariatkan panggilan adzan dengan suara yang jelas,

حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ

“Hayya ‘alash shalaat, hayya ‘alal falaah”

(Marilah shalat, marilah menuju kemenangan)

Dalil dari Al-Qur’an

Allah Ta’ala berfirman, memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendirikan shalat berjamaah dalam kondisi ketakutan karena peperangan,

وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةٌ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلْيَأْخُذُواْ أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُواْ فَلْيَكُونُواْ مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّواْ فَلْيُصَلُّواْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُواْ حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ

“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata. Kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.” (QS. An-Nisa’ [4]: 102)

Terdapat kaidah bahwa perintah Allah Ta’ala kepada nabi adalah perintah kepada umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa perintah tersebut adalah khusus untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ayat ini jelas menunjukkan kewajiban shalat berjamaah, karena Allah Ta’ala tidak memberikan keringanan untuk meniadakan kewajiban shalat berjamaah ketika perang. Seandainya shalat berjamaah tidak wajib, maka tentu yang lebih utama adalah meninggalkan shalat berjamaah ketika perang berkecamuk. Karena dalam kondisi perang, banyak wajib shalat yang ditinggalkan.

Maka hal ini menunjukkan kewajiban shalat berjamaah itu sangat ditekankan. Dalam shalat khauf, terdapat banyak kelonggaran, misalnya ada gerakan di luar shalat yang banyak, membawa senjata, shalat sambil mengawasi pergerakan musuh, dan boleh tidak menghadap kiblat. Semua kelonggaran ini diberikan demi tetap dilaksanakannya shalat berjamaah. Ini adalah dalil yang paling tegas dan jelas tentang wajibnya shalat berjamaah.

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِينَ

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah [2]: 43)

Dalam ayat tersebut, setelah Allah Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk mendirikan shalat, Allah Ta’ala pun perintahkan untuk mendirikan shalat bersama dengan orang-orang yang rukuk, yaitu di rumah Allah (di masjid).

“Dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk”, maksudnya yang wajib bagi orang yang shalat dari kalangan laki-laki adalah agar dia shalat dalam kondisi semacam itu, yaitu bersama-sama dengan orang-orang yang shalat (berjamaah), bukan shalat di rumah dan shalat sendirian.

Dalil dari As-Sunnah

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ صَلاَةٌ أَثْقَلَ عَلَى المُنَافِقِينَ مِنَ الفَجْرِ وَالعِشَاءِ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا، لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ المُؤَذِّنَ، فَيُقِيمَ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا يَؤُمُّ النَّاسَ، ثُمَّ آخُذَ شُعَلًا مِنْ نَارٍ، فَأُحَرِّقَ عَلَى مَنْ لاَ يَخْرُجُ إِلَى الصَّلاَةِ بَعْدُ

“Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang-orang munafik kecuali shalat subuh dan isya’. Seandainya mereka mengetahui (kebaikan) yang ada pada keduanya, tentulah mereka akan mendatanginya walaupun harus dengan merangkak. Sungguh, aku berkeinginan untuk memerintahkan seorang muazin sehingga shalat ditegakkan dan aku perintahkan seseorang untuk memimpin orang-orang shalat, lalu aku menyalakan api dan membakar (rumah-rumah) orang yang tidak keluar untuk shalat berjamaah (tanpa alasan yang benar).” (HR. Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651)

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menandai orang-orang yang tidak mau shalat berjamaah sebagai orang yang memiliki penyakit kemunafikan. Hal ini juga terdapat dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang munafik,

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُواْ إِلَى الصَّلاَةِ قَامُواْ كُسَالَى يُرَآؤُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللّهَ إِلاَّ قَلِيلاً

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa’ [4]: 142)

Allah Ta’ala juga berfirman tentang mereka,

وَمَا مَنَعَهُمْ أَن تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلاَّ أَنَّهُمْ كَفَرُواْ بِاللّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلاَ يَأْتُونَ الصَّلاَةَ إِلاَّ وَهُمْ كُسَالَى وَلاَ يُنفِقُونَ إِلاَّ وَهُمْ كَارِهُونَ

“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.” (QS. At-Taubah [9]: 54)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengancam orang-orang yang tidak mau shalat jamaah bahwa rumah-rumah mereka akan dibakar. Ini adalah hukuman yang sangat tegas. Pertama-tama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifati mereka dengan sifat munafik, kemudian mereka diancam dengan rumah mereka akan dibakar. Sekali lagi, ini adalah dalil tegas besarnya pelanggaran tidak mau menghadiri shalat berjamaah, dan mereka berhak mendapatkan hukuman yang besar di dunia dan di akhirat.

Dalam perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

“Seandainya mereka mengetahui (kebaikan) yang ada pada keduanya, tentulah mereka akan mendatanginya walaupun harus dengan merangkak”; terdapat peringatan penting bahwa kehadiran seseorang untuk berjamaah di masjid, konsisten shalat jamaah, dan juga perhatian terhadap shalat jamaah adalah cabang (buah) dari perhatian (kepedulian) hati terhadap shalat jamaah dan dia mengetahui kedudukan mendirikan shalat secara berjamaah.

Adapun hati yang lalai, yang tidak mengetahui tingginya kedudukan shalat jamaah, dan juga tidak mengetahui kedudukan shalat berjamaah di masjid, maka pasti orang tersebut tidak akan mau shalat jamaah.

Abul Qasim Al-Ashbahani rahimahullah meriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

“Perbuatan yang dibenci ketika seorang laki-laki berdiri shalat dalam kondisi malas. Akan tetapi, dia hendaknya berdiri dengan wajah berseri-seri, motivasi (keinginan) yang besar, dan rasa gembira yang sangat. Karena dia sedang berbisik kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Karena Allah Ta’ala ada di depannya, mengampuninya, dan mengabulkan jika dia berdoa kepada-Nya.” Kemudian Ibnu ‘Abbas membaca ayat ini,

وَإِذَا قَامُواْ إِلَى الصَّلاَةِ قَامُواْ كُسَالَى

“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas.” (QS. An-Nisa’ [4]: 142) (At-Targhiib wa At-Tarhiib no. 1904)

Jadi, adanya rasa malas dan rasa enggan untuk shalat berjamaah di masjid itu disebabkan oleh hati yang lemah dan rapuh, tidak mengetahui nilai dan kedudukan shalat berjamaah.

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Seorang buta (tuna netra) pernah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata,

يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ

“Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki seseorang yang akan menuntunku ke masjid.” Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk shalat di rumah. Ketika sahabat itu berpaling, beliau kembali bertanya,

هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ؟

“Apakah Engkau mendengar panggilan shalat (azan)?”

Laki-laki itu menjawab, “Benar.”

Beliau bersabda,

فَأَجِبْ

“Penuhilah seruan tersebut (hadiri jamaah shalat).” (HR. Muslim no. 653)

Laki-laki yang buta ini memiliki penghalang (‘udzur) yang banyak untuk tidak bisa shalat berjamaah. Meskipun demikian, kewajiban shalat berjamaah itu tidaklah gugur darinya. Lalu, bagaimana lagi dengan kondisi orang yang tidak memiliki ‘udzur? Yaitu, dalam kondisi rumahnya bersebelahan dengan masjid, suara muadzin mengepung rumahnya dari berbagai penjuru? Dia dipanggil shalat jamaah namun tidak mau datang, dia diperintah shalat jamaah namun tidak mau melaksanakan, dia bermaksiat kepada Rabb-nya, dan tidak mau bertaubat.

Semisal itu adalah hadits dari sahabat Ibnu Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ الْمَدِينَةَ كَثِيرَةُ الْهَوَامِّ وَالسِّبَاعِ

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya di kota Madinah banyak binatang berbisa dan binatang buas.”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هَلْ تَسْمَعُ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ؟

“Apakah kamu mendengar seruan azan ‘Hayya ‘alash shalaah, Hayya ‘alal falaah’?”

Ibnu Ummi Maktum menjawab, “Iya.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَحَيَّ هَلًا

“Karena itu, penuhilah!”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan keringanan untuk tidak shalat jamaah baginya.” (HR. Ahmad no. 15490, Abu Dawud no. 553, dan An-Nasa’i no. 851. Sanadnya dinilai shahih oleh Al-Albani di Shahih Abu Dawud no. 562)

[Bersambung]

***

@Rumah Kasongan, 15 Rabi’ul awwal 1442/ 1 November 2020

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Ta’zhiim Ash-Shalaat hal. 50-53, karya Syaikh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu Ta’ala, cetakan pertama tahun 1434, penerbit Daar Al-Imam Muslim, Madinah KSA.