Begini Maksud Perintah “Sering Mengingat Kematian”

Sebagian kaum muslimin bisa jadi salah paham dengan maksud hadits “perbanyaklah mengingat kematian”. Ketika mendengar hadits ini, mereka langsung menyangka bahwa mereka diperintahkan untuk mengingat hal-hal yang mengerikan dan seram. Misalnya,

“Keluargamu akan terlantar.”

“Anakmu akan menjadi yatim, istrimu akan menjadi janda”

“Engkau akan mati dengan ngerinya sakaratul maut.”

“Engkau akan mati mengenaskan seperti tertabrak, sesak napas tiba-tiba, atau kena serangan jantung.”

Dan lain sebagainya.

Sebagian kaum muslimin langsung mengingat hal-hal yang justru membuat mereka semakin susah karena mengingat kematian. Padahal bukan ini yang menjadi maksud utama perintah agar memperbanyak mengingat kematian. Salah satu maksudnya adalah agar melembutkan hati dan meringankan beban dunia dengan merenungi hakikat kehidupan. Bahkan kehidupan dunia ini hanya sementara saja dan akhirat itu kekal. Pintu gerbang menuju kehidupan sejati dan kehidupan sebenarnya adalah kematian. Berikut sedikit pembasannya.

Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan kita agar memperbanyak mengingat kematian. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺃَﻛْﺜِﺮُﻭﺍ ﺫِﻛْﺮَ ﻫَﺎﺫِﻡِ ﺍﻟﻠَّﺬَّﺍﺕِ ‏ ﻳَﻌْﻨِﻰ ﺍﻟْﻤَﻮْﺕَ

“Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan, yaitu kematian.” (HR. Tirmidzi)

Banyak yang bertanya-tanya, apa maksud memutuskan kelezatan. Apakah kita tidak boleh menikmati kelezatan dunia? Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan bahwa maksudnya yaitu agar kita memikirkan akhirat yang merupakan kehidupan abadi dan jauh lebih baik. Dengan mengingat akhirat, kita tidak akan bersenang-senang saja di dunia dan melupakan akhirat. Beliau rahimahullah berkata,

الموت، يعني: اجعلوه على بالكم كثيرًا حتى تعدوا العدّة، والهادم: القاطع؛ لأنَّه يقطع اللَّذات في الدنيا، ولكنه يُدني من لذَّات الآخرة، ويُقرِّب من لذَّات الآخرة،

“Maksud dari mengingat kematian yaitu menjadikannya sering teringat dalam pikiran kita, agar kita menyiapkan bekal. Maksud dari “pemutus” yaitu memutuskan kelezatan di dunia dan mendekatkan dengan kelezatan akhirat.” (Syarh Bulughul Maram Kitab Al-Janaiz)

Mengingat kematian juga memiliki beberapa manfaat, beberapa ulama menyebutkan manfaat-manfaat tersebut. Ad-Daqqaq rahimahullah menjelaskan,

من أكثر من ذكر الموت أكرم بثلاثة أشياء: تعجيل التوبة، وقناعة القلب، ونشاط العبادة. ومن نسي الموت عوقب بثلاثة أشياء: تسويف التوبة، وترك الرضى بالكفاف، والتكاسل في العبادة

“Barangsiapa yang banyak mengingat kematian, dia akan dimuliakan dengan tiga perkara, yaitu:

  1. Bersegera dalam bertaubat.
  2. Hati yang qana’ah (Menerima takdir Allah)
  3. Bersemangat melakukan ibadah

Barangsiapa yang lupa mengingat kematian, dia akan dihukum dengan tiga perkara, yaitu:

  1. Menunda-nunda taubat.
  2. Tidak ridha terhadap pemberian (takdir) Allah
  3. Malas beribadah.” (At-Tadzkirah, 1: 27)

Begitu banyaknya manfaat meingat kematian, Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut orang yang pintar adalah orang yang mengingat kematian, lalu mempersiapkan kehidupan setelah kematian. Sebagaimana kita ketahui bahwa apabila kita ingin mempersiapkan sesuatu, pasti kita akan sering mengingatnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺍﻟْﻜَﻴِّﺲُ ﻣَﻦْ ﺩَﺍﻥَ ﻧَﻔْﺴَﻪُ ﻭَﻋَﻤِﻞَ ﻟِﻤَﺎ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﻤَﻮْﺕِ، ﻭَﺍﻟْﻌَﺎﺟِﺰُ ﻣَﻦْ ﺃَﺗْﺒَﻊَ ﻧَﻔْﺴَﻪُ ﻫَﻮَﺍﻫَﺎ ﺛُﻢَّ ﺗَﻤَﻨَّﻰ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ

“Orang yang pandai adalah  orang yang mampu mengevaluasi dirinya dan beramal (mencurahkan semua potensi) untuk kepentingan setelah mati. Sedangkan orang yang lemah ialah orang yang mengikuti hawa nafsu, kemudian berangan-angan kosong kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)

Orang yang mengingat kematian adalah orang yang pandai dan selalu penuh perhitungan. Bagaimana tidak, dia benar-benar memperhitungkan dan menyiapkan kehidupan yang kekal selamanya, dibandingkan kehidupan yang hanya sementara saja.

Syaikh Al-Mubarakfuri menjelaskan makna “al-Kayyis” yaitu orang yang pandai dan berakal. Beliau rahimahullah berkata,

أي العاقل المتبصر في الأمور الناظر في العواقب

“Al-Kayyis yaitu yang berakal dan suka berpikir (merenungkan) pada suatu urusan dan suka memperhatikan akibat-akibatnya (dampak atau hasil akhir).” (Tuhfatul Ahwadzi, 8: 108)

Hal ini diperkuat dengan riwayat lainnya, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan orang yang cerdas adalah orang yang banyak mengingat kematian.

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

ﻓَﺄَﻯُّ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﺃَﻛْﻴَﺲُ ﻗَﺎﻝَ : ‏ ﺃَﻛْﺜَﺮُﻫُﻢْ ﻟِﻠْﻤَﻮْﺕِ ﺫِﻛْﺮًﺍ ﻭَﺃَﺣْﺴَﻨُﻬُﻢْ ﻟِﻤَﺎ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﺍﺳْﺘِﻌْﺪَﺍﺩًﺍ ﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ ﺍﻷَﻛْﻴَﺎﺱُ

“Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk  untuk alam berikutnya. Itulah mereka yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah)

Hendaknya kita memperbanyak mengingat kematian dan langsung teringat dengan kehidupan akhirat, lalu kita berusaha mempersiapkannya dan tidak lalai. Mau tidak mau, kita pasti akan mengingat kematian, karena kita semua pasti akan mati.

Allah Ta’ala berfirman,

كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali ‘Imran: 185)

Dan kita tidak akan bisa lari dari kematian.

Allah Ta’ala berfirman,

ﻗُﻞْ ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﻤَﻮْﺕَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺗَﻔِﺮُّﻭﻥَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻣُﻼَﻗِﻴﻜُﻢ

“Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu.” (QS. Al-Jumu’ah: 8)

Semoga kita termasuk orang yang banyak mengingat kematian dan menyiapkan bekal untuk kehidupan akhirat.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel: <a href="http://<!– wp:paragraph –> <p>Simak selengkapnya disini. Klik </p> www.muslim.or.id

Saudi Tangguhkan Umrah Internasional

Arab Saudi untuk sementara waktu menangguhkan umrah bagi jamaah asing. Saudi memutuskan membatalkan semua penerbangan internasional dan menangguhkan pintu masuk melalui darat dan laut setidaknya selama sepekan.

Upaya penutupan pintu masuk ini dilakukan sebagai bagian untuk menangkis strain mutan Covid-19 yang menyebar dengan cepat, yang ditemukan di Inggris. Ibadah umrah merupakan ibadah haji kecil yang dapat dilakukan oleh umat Islam kapan saja sepanjang tahun. Jutaan orang datang ke negara Teluk setiap tahun untuk menunaikan umrah ke Makkah di Arab Saudi. Namun, karena menyebarnya wabah virus Covid-19 di dunia, Kerajaan Saudi mengeluarkan kebijakan menangguhkan umrah pada bulan Maret hingga Oktober,serta secara signifikan mengurangi jumlah jamaahnya.

Dilansir The National News, Senin (21/12), keterangan resmi dari Saudi Press Agency menyebut Kerajaan sementara menangguhkan semua penerbangan internasional, kecuali dalam kasus luar biasa. Penangguhan dilakukan dalam jangka waktu satu minggu, yang dapat diperpanjang sepekan mendatang.

“Masuk ke kerajaan melalui pelabuhan darat dan laut juga akan ditangguhkan selama seminggu, yang dapat diperpanjang seminggu lagi,” tulis SPA mengutip sumber di Kementerian Dalam Negeri. Meski demikian, Saudi menyebut penangguhan tidak berlaku bagi pesawat internasional yang saat ini berada di kerajaan, yang akan diizinkan untuk pergi.

Dalam pernyataan tersebut, dituliskan pula jika penangguhan ini akan berlanjut sampai informasi medis terkait sifat virus baru yang terlah bermutasi menjadi jelas.

Siapapun yang datang dari negara tempat virus baru ini muncul setelah 8 Desember dan telah tiba di Arab Saudi harus diisolasi di rumah selama dua minggu. Orang-orang ini juga harus menjalani tes Covid-19 selama masa isolasi dan mengulang tes setiap lima hari.

Di sisi lain, siapa pun yang telah kembali dari atau melewati negara Eropa, maupun negara lain di mana strain baru telah muncul selama tiga bulan terakhir, juga harus mengikuti tes Covid-19. Kementerian Dalam Negeri lantas memutuskan pergerakan barang, komoditas, dan rantai pasokan dari negara-negara di mana strain baru belum muncul dikecualikan dari langkah-langkah yang disebutkan di atas.

Keputusan Saudi melakukan penangguhan perjalanan terjadi setelah beberapa negara Eropa melarang perjalanan dari Inggris, Ahad (20/12). Hal tersebut dilakukan seiring Pemerintah Inggris yang memperingatkan jika jenis baru virus itu berada di luar kendali. Negara tetangga, Kuwait, juga mengumumkan larangan penerbangan penumpang dari Inggris, karena strain mutan ini dengan cepat menyebar ke seluruh negeri.

Negara-negara di benua Eropa telah membunyikan alarm setelah pekan lalu menjadi wilayah pertama di dunia yang melewati 500.000 kematian akibat Covid-19. Pekan lalu, Arab Saudi memulai program vaksinasi Covid-19 tiga fase, setelah pengiriman pertama vaksin Pfizer-BioNTech tiba di kerajaan. Arab Saudi sejauh ini mencatat lebih dari 361.000 kasus Covid-19, termasuk lebih dari 6.000 kematian, yang tertinggi di antara negara-negara Teluk. 

https://www.thenationalnews.com/world/gcc/saudi-suspends-international-umrah-over-new-covid-19-variant-1.1132215

IHRAM.co.id

Sahabat Nabi yang Pertama Kali Melakukan Wakaf

Menurut para ulama, orang yang pertama kali melakukan wakaf dalam Islam adalah Nabi Saw. Beliau mendapatkan sedekah tanah dari Mukhairiq, lalu beliau mewakafkan tanah tersebut untuk para fuqara dan masakin, dan semua kaum muslimin yang membutuhkan. Ini terjadi pada tahun ketiga hijriyah, setelah perang Uhud.

Sementara dari kalangan sahabat, maka yang pertama kali melakukan wakaf adalah Sayidina Umar bin Al-Khaththab. Beliau mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, dan beliau mewakafkan tanah tersebut untuk diberikan pada kepentingan umum setelah beliau mendapatkan saran dari Rasulullah Saw. Ini terjadi pada tahun ketujuh hijriyah setelah perang Khaibar.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari berikut;

عن عمرو بن سعد بن معاذ قال: سألنا عن أو ل حبس في الإسلام فقال: المهاجرون: صدقة عمر، وقال الأنصار: صدقة رسول الله صلى الله عليه وسلم وهي أراضي مخيريق التي أوصى بها للنبي صلى الله عليه وسلم فوقفها النبي صلى الله عليه وسلم.

Dari Umar bin Sa’ad bin Mu’adz, dia berkata; Kami bertanya mengenai orang yang pertama kali melakukan wakaf dalam Islam. Sahabat Muhajirin berkata; Yaitu sedekah Umar. Sahabat Anshar berkata; Yaitu sedekah Rasulullah, yaitu berupa tanah milik Mukhairiq yang diwasiatkan untuk Nabi Saw, lalu beliau mewakafkan tanah tersebut.

Kisah Sayidina Umar mewakafkan sebidang tanah di Khaibar tersebut dikisahkan dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, dia berkata;

أَصَابَ عُمَرُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُنِي بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلَا يُبْتَاعُ وَلَا يُورَثُ وَلَا يُوهَبُ قَالَ فَتَصَدَّقَ عُمَرُ فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ

Umar mendapatkan bagian tanah perkebunan di Khaibar, lalu dia datang kepada Nabi Saw dan meminta saran mengenai bagian tersebut. Dia berkata; Wahai Rasulullah, saya mendapat bagian tanah perkebunan di Khaibar, dan saya belum pernah mendapatkan harta yang sangat saya banggakan seperti kebun itu, maka apa yang anda perintahkan mengenai kebun tersebut? Rasulullah Saw kemudian menjawab; Jika kamu mau, peliharalah pohonnya dan sedekahkanlah hasilnya.

Ibnu Umar berkata; Kemudian Umar menyedekahkan tanah tersebut, tidak dijual pohonnya dan hasilnya, tidak diwariskan dan tidak dihibahkan. Ibnu Umar melanjutkan; Umar menyedekahkan hasilnya kepada orang-orang fakir, karib kerabat, pemerdekaan budak, dana perjuangan di jalan Allah, untuk pejuang-pejuang dan untuk menjamu tamu. Dan dia juga membolehkan orang lain untuk mengolah kebun tersebut dan memakan dari hasil tanamannya dengan sepantasnya, atau memberi makan temannya dengan tidak menyimpannya.

BINCANG SYARIAH

Antara Berlebihan dan Merendahkan Orang Shalih (Bag. 3)

Bismillah walhamdulillah wash shalatu wassalamu ‘ala rasulillah, amma ba’du :

Penjelasan dalil-dalil larangan ghuluw terhadap orang shalih

Allah Ta’ala berfirman dalam surat An-Nisaa’ ayat 171,

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ  

“Wahai ahli Kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian!”

Penjelasan:

Allah Ta’ala melarang ahli Klitab, yaitu orang-orang Yahudi dan Nashara, bersikap melampaui batasan yang telah Allah Ta’ala tetapkan. Yaitu perbuatan mengangkat orang shalih di atas kedudukan yang Allah Ta’ala telah tetapkan dalam syari’at-Nya, seperti sikap orang Yahudi yang melampaui batas terhadap ‘Uzair dan sikap Nashara yang melampaui batas terhadap Nabi Isa ‘alaihis salam.

Ayat ini, meski seruannya kepada ahli Kitab, akan tetapi tujuan ayat ini bersifat umum untuk seluruh umat. Hal ini dalam rangka memperingatkan mereka agar jangan sampai bersikap kepada nabi mereka dan orang shalih secara melampaui batas.

Sifat larangan dalam ayat ini umum, mencakup larangan dari berbagai macam bentuk melampaui batas (ghuluw) dalam beragama, termasuk melampaui batas terhadap orang-orang shalih. Karena dalam ayat ini, {تَغْلُوا} disebutkan dalam konteks kalimat larangan. Secara kaidah, hal ini menunjukkan cakupan yang bersifat umum, yaitu mencakup seluruh bentuk melampaui batas (ghuluw) dalam beragama.

Wahai kaum muslimin, hindari sikap melampaui batas ahli Kitab!

Sikap melampaui batas (ghuluw) ahli Kitab dari kalangan Nashara terhadap Nabi Isa ‘alaihis salam disebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 72-73,

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ ۖ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ ۖ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ  

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah ialah Al-Masih putera Maryam.” Padahal Al-Masih (sendiri) berkata, “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.”

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ ۘ وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۚ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ   

“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, “Bahwasanya Allah adalah salah seorang dari yang tiga.” Padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.”

Sikap melampaui batas (ghuluw) dari orang-orang Nashara terhadap Nabi Isa ‘alaihis salam tersebut yang diluruskan dalam surat An-Nisaa’ ayat 171,

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ ۚ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَىٰ مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ۖ وَلَا تَقُولُوا ثَلَاثَةٌ ۚ انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ ۚ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ ۘ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ وَكِيلًا

“Wahai ahli Kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian, dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.

Sesungguhnya Al-Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) ruh dari-Nya.

Maka berimanlah kalian kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kalian mengatakan, “(Tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagi kalian. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.”

Dan alhamdulillah, sebenarnya kaum Nashara termasuk kaum yang lebih besar potensinya dalam menerima kebenaran daripada Yahudi dan musyrikin. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 82,

لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا ۖ وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُمْ مَوَدَّةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَىٰ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ  

“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.

Dan sesungguhnya kamu dapati orang yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani”. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.”

Sedangkan sikap melampaui batas (ghuluw) ahli Kitab dari kalangan Yahudi terhadap orang shalih mereka sebagaimana disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya :

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ۖ ذَٰلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ ۖ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ ۚ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ ۚ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ

“Orang-orang Yahudi berkata, “Uzair itu putera Allah” dan orang-orang Nasrani berkata, “Al-Masih itu putera Allah”. Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka. Mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Laknat Allah untuk mereka , bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS. At-Taubah : 30)

Tentunya, baik Yahudi dan Nashrani terjatuh ke dalam sikap berlebihan terhadap orang shalih. Karena keduanya menganggap orang shalih sebagai anak Tuhan.

Renungan

Masalah tercelanya sikap berlebihan (ghuluw) ini penting diketahui oleh umat Islam khususnya, agar mereka tidak terjerumus ke dalam cara beragama yang berlebihan. Di antaranya dengan bersikap melampaui batas terhadap orang-orang shalih sehingga dikhawatirkan sampai puncaknya, yaitu terjerumus kedalam kesyirikan besar berupa menuhankan orang shalih yang hal ini mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.

Ingatlah, bukankah penyebab kesyirikan pertama kali yang terjadi di muka bumi adalah ghuluw terhadap orang-orang shalih?

Dan hal ini akan dijelaskan pada serial artikel berikutnya, in sya Allah.

[Bersambung]

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel: Muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik 

Islam adalah Agama yang Haq

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah

Segala puji bagi Allah yang telah meridhai Islam sebagai agama bagi umat Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam dan menjadikan syariat yang dibawa beliau sebagai syariat penutup dan telah Ia sempurnakan. Segala puji bagi-Nya juga yang telah mengutus makhluk yang paling mulia, Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, sebagai Rasul-Nya. Amma ba’du,

Saya telah menelaah artikel yang ada pada surat kabar Al Yaum edisi 4080 tertanggal 12/8/1404 Hijriyah pada halaman terakhir dengan judul “Kuil asing milik kaum Sikh di Uni Emirat Arab“, yang menukil berita dari Gulf News Agency.

Dalam artikel tersebut dikatakan sebagai berikut: “Salah seorang cendikiawan Muslim di Dubai, yaitu Dr. Mahmud Ibrahim Aldik mengatakan bahwa kuil ini merupakan bahaya besar bagi kaum Muslimin, dan hendaknya dihancurkan. Ia mengatakan bahwa agama yang diterima di Uni Emirat Arab itu hanyalah agama yang memiliki kitab samawi. Adapun selain itu, maka merupakan keyakinan kafir yang wajib di hancurkan tempat ibadahnya, dilarang penyebarannya, dicekal aktifitas ritualnya, sehingga tidak memberi pengaruh buruk pada kaum Muslimin di negeri ini“. Demikian nukilan dari artikel.

Orang yang membaca perkataan Dr. Mahmud Aldik ini akan mendapati 2 hal:

Agama Nasrani dan Yahudi itu diterima di Uni Emirat Arab, baik dengan memeluk agama tersebut ataupun membangun tempat-tempat ibadah bagi mereka. Atau juga melakukan semua ritual-ritual mereka. Ini artinya orang Kristen bebas berkhutbah di depan publik dan secara resmi diperbolehkan di sana. Maka ini adalah masalah serius.
Lebih bahaya dari poin pertama, yaitu hukum yang terkandung dalam perkataan orang ini adalah bahwa agama samawi semisal Nasrani dan Yahudi tidaklah kafir. Jika demikian maka boleh memeluk agama-agama tersebut dan menisbatkan diri padanya, mendakwahkannya, dan menyebarkannya.
Dan saya sama sekali tidak masalah dengan pernyataannya soal kuil Sikh, karena telah telah sampai kabar kepada saya bahwa Syaikh Abdul Jabbar Al Majid, Menteri Agama Dubai, mengatakan bahwa beliau akan menghancurkan kuil tersebut, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan. Karena dalam kuil ini terdapat ajakan pada kepercayaan penyembahan terhadap berhala, dan ini wajib untuk diingkari.

Adapun perkataan Dr. Mahmud Aldik maka kita ketahui bersama di dalamnya terdapat kebatilan dan kesalahan. Karena sesungguhnya agama Islam adalah agama yang benar yang wajib dipeluk oleh penduduk bumi. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima [agama itu] daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi“[1]

Allah Ta’ala juga berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ * فَإِنْ حَاجُّوكَ فَقُلْ أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلَّهِ وَمَنِ اتَّبَعَنِ وَقُلْ لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالْأُمِّيِّينَ أَأَسْلَمْتُمْ فَإِنْ أَسْلَمُوا فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلاغُ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ

“Sesungguhnya agama [yang diridhai] di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian [yang ada] di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. Kemudian jika mereka mendebat kamu [tentang kebenaran Islam], maka katakanlah: “Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan [demikian pula] orang-orang yang mengikutiku”. Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: “Apakah kamu [mau] masuk Islam?” Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan [ayat-ayat Allah]. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya“[2]

Demikian. Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memvonis kafir orang Yahudi dan Nasrani disebabkan apa yang mereka katakan mengenai Allah, karena perbuatan mereka mengubah dan mengganti apa yang ada dalam kitab mereka, karena kelancangan mereka dalam melanggar batasan-batasan Allah dalam perkataan dan perbuatan sebagai konsekuensi dari apa-apa yang diucapkan lisan-lisan mereka, dan mengikuti hawa nafsu mereka, Allah melaknat mereka, bagaimana mungkin mereka sampai berpaling? Allah Ta’ala berfirman:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ الْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَأُمَّهُ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam”. Katakanlah: “Maka siapakah [gerangan] yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi semuanya?”” [3]

Allah Ta’ala berfirman:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ * لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ * أَفَلا يَتُوبُونَ إِلَى اللَّهِ وَيَسْتَغْفِرُونَهُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih [sendiri] berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan [sesuatu dengan] Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan [yang berhak disembah] selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“[4]

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ * اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dila’nati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling? Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah [6], dan [juga mereka mempertuhankan] Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan [yang berhak disembah] selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan“[5]

ayat-ayat Qur’an yang mulia yang maknanya demikian sangatlah banyak. Dan dengan ayat-ayat in juga kita ketahui bahwa ajaran Nasrani dan Yahudi telah di-nasakh (dihapus) oleh syariat yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Dan di dalam ajaran Nasrani dan Yahudi sendiri terdapat pembenaran terhadap Islam. Dari sini juga diketahui bahwa dalam ajaran Nasrani dan Yahudi terdapat kebatilan disebabkan perubahan dan penggantian poin-poin syariat yang mereka lakukan. Mereka menjual agama mereka dengan harga yang sedikit, sungguh itulah seburuk-buruk jual-beli.

Maka sesungguhnya agama Islam adalah agama yang benar yang wajib dipeluk oleh penduduk bumi, dan Islam itu adalah agama yang dibawa seluruh Nabi Allah. An Nasa-i meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau pernah melihat lembaran Taurat di tangan Umar bin Khattab radhiallahu’anhu, lalu beliau bersabda:

أمتهوكون يا ابن الخطاب؟ لقد جئتكم بها بيضاء نقية، لو كان موسى حيا واتبعتموه وتركتموني ضللتم

“Apakah engkau termasuk orang yang bingung wahai Ibnul Khathab? sungguh aku datang kepada kalian dengan membawa ajaran yang putih bersih. andaikan Musa hidup saat ini, lalu kalian mengikuti syariat Nabi Musa dan meninggalkan syariatku, maka kalian akan tersesat”

dalam riwayat lain:

لو كان موسى حياً ما وسعه إلا اتباعي

“andaikan Musa hidup saat ini, tidak ada kelonggaran baginya kecuali mengikuti syariatku”

maka Umar bin Khathab pun mengatakan:

رضيت بالله رباً وبالإسلام ديناً وبمحمد نبياً

“aku telah ridha Allah sebagai Rabb-ku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai Nabiku”

Hal ini sebagaimana juga Nabi Isa ‘alaihissalam beliau diutus sebagai mujaddid yang memperbaharui syariat yang dibawa Nabi Musa ‘alaihissalam, sehingga apa-apa yang diharamkan dalam syariat Nabi Musa itu dihalalkan dalam syariat beliau. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَمُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَلِأُحِلَّ لَكُمْ بَعْضَ الَّذِي حُرِّمَ عَلَيْكُمْ وَجِئْتُكُمْ بِآيَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ * إِنَّ اللَّهَ رَبِّي وَرَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ

“Dan [aku datang kepadamu] membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan untuk menghalalkan bagimu sebagian yang telah diharamkan untukmu, dan aku datang kepadamu dengan membawa suatu tanda [mu’jizat] dari Tuhanmu. Karena itu bertakwalah kepada Allah dan ta’atlah kepadaku. Sesungguhnya Allah, Tuhanku dan Tuhanmu, karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus“[6]

Demikian juga, Nabi Isa akan turun di akhir zaman menjadi sebagai mujaddid yang memperbaharui risalah Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam:

يوشك أن ينزل فيكم ابن مريم حكماً مقسطاً فيكسر الصليب ويقتل الخنزير ويضع الجزية

“hampir saja turun kepada kalian Isa bin Maryam sebagai hakim yang adil. Dia akan menghancurkan salib, membunuh babi, dan menghapuskan jizyah” (HR. Muslim)

Imam An Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim mengatakan: “maksud dari ‘menghapus jizyah‘ adalah Nabi Isa tidak memberi pilihan kepada orang kafir kecuali hanya dua: masuk Islam atau diperangi dengan pedang”.

Ketika melihat pertanda yang disebut dalam ayat ini, manusia (pada zaman Nabi Isa) yang diberi hidayah oleh Allah pun kembali kepada Islam, orang yang diberi penerangan pada pandangannya dari kalangan Yahudi dan Nasrani pun masuk Islam. Mereka beriman kepada Isa ‘alaihissalam ketika ada pertanda yang jelas dan terang ada di hadapan mereka sehingga jelas bagi mereka kebenaran yang nyata. Beriman kepada Nabi Isa ketika itu, artinya membenarkan risalah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dan membenarkan agama yang beliau bawa dari Rabb-nya, yaitu agama Islam. Ketika telah tersingkap dan terungkap semua kedustaan dan kepalsuan yang dibuat oleh para pendeta Nasrani dan rahib Yahudi yang dengan itu mereka menyesatkan manusia dan membujuk manusia kepada agama mereka.

Allah Ta’ala menceritakan kisah Nabi Isa ‘alahissalam bersama Ahlul Kitab yang mengaku telah membunuhnya dalam rangka menjelaskan kedustaan mereka. Dan Allah juga menceritakan bahwa diantara Ahlul Kitab itu akan ada yang beriman kepada Isa ‘alahissalam sebelum ia mati, karena kematian itu pasti akan datang bagi semua manusia dalam kehidupan dunia ini,

بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا * وَإِنْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكُونُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا

“Tetapi [yang sebenarnya], Allah telah mengangkat ’Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya [’Isa] sebelum kematiannya. Dan di hari Kiamat nanti ’Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka“[7].

Statement demikian yang dijelaskan oleh Al Qur’an yang mulai dipaparkan setelah menyifati mereka dengan kekafiran pada ayat sebelumnya, yaitu pada firman Allah Ta’ala:

وَبِكُفْرِهِمْ وَقَوْلِهِمْ عَلَى مَرْيَمَ بُهْتَانًا عَظِيمًا * وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ

“Dan karena kekafiran mereka [terhadap ’Isa], dan tuduhan mereka terhadap Maryam dengan kedustaan besar [zina], dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya Kami telah membunuh Al Masih, ’Isa putera Maryam, Rasul Allah”, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak [pula] menyalibnya, tetapi [yang mereka bunuh ialah] orang yang diserupakan dengan ’Isa bagi mereka“[8].

Lalu di zaman Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, setelah disampaikan syariat Islam kepada manusia, maka masuk Islam lah orang-orang yang pandangannya diberi cahaya oleh Allah, dari kalangan Yahudi dan Nasrani setelah mereka mengetahui kebenaran. Dan mereka berlepas diri dari keyakinan-keyakinan yang bertentangan dengan syariat Allah yang Ia syariatkan kepada hamba-Nya, yaitu mentauhidkan Allah Jalla Wa ‘Alaa semata, serta tidak berbuat syirik dalam keyakinan dan dalam beribadah kepada-Nya.

Dan agama Islam itu adalah agama yang diridhai oleh Allah bagi para Nabi-Nya sejak dahulu. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلامُ

“sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah adalah Islam“[9]

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَمَنْ يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي الْآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ * إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ * وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

“Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam”. Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. [Ibrahim berkata]: “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”“[10].

Dan agama Islam itu adalah jalan yang lurus untuk menuju kepada Allah, sebagaimana dijelaskan dalam tafsir surat Al Fatihah. Karena seorang hamba pasti berdoa kepada Rabb-nya untuk ditunjukkan kepada jalan yang lurus. Dan berdoa agar dijauhkan dari jalannya orang-orang yang dimurkai, yaitu orang-orang Yahudi, yang bermaksiat kepada Allah padahal mereka sudah tahu dan sudah memiliki ilmu. Dan berdoa agar dijauhkan dari jalannya orang-orang yang sesat, yaitu orang-orang Nasrani, yang menyembah Allah dengan kejahilan dan penyimpangan.

Dari apa yang kami sebutkan ini, jelaslah sudah bahwa jalan menuju Allah itu janya satu, yaitu jalan Islam. Dan Islam inilah yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam ketika Allah mengutusnya, sebagaimana Allah juga mengutus para Rasul yang lain. Dan jelas sudah bahwa semua yang bertentangan dengan Islam, baik Yahudi, Nasrani, Majusi, keyakinan penyembah berhala, atau yang lainnya semua itu kafir dan semuanya batil. Dan bukan jalan menuju Allah, tidak dapat menyampaikan seseorang kepada surga Allah, bahkan akan menyampaikan ia kepada murka-Nya dan adzab-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima [agama itu] daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi“[11].

Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لا يسمع بي أحد من هذه الأمة يهودي ولا نصراني ثم يموت ولم يؤمن بالذي أرسلت به إلا كان من أهل النار

“Tidaklah seseorang dari umat ini baik dari kalangan Yahudi maupun Nasrani yang mendengar ajaranku kemudian mati dalam keadaan tidak beriman kepada ajaran yang aku bawa, kecuali ia menjadi penghuni neraka” (HR. Muslim)

Hanya kepada Allah lah kita meminta agar Ia memberikan karunia-Nya berupa kepahaman dalam ilmu agama dan keistiqamahan dalam ber-Islam, dan memperbaiki hati kita serta amalan kita, serta memberi kita semua hidayah kepada jalan yang lurus, dan menyelamatkan kita dari jalannya orang-orang yang dimurkai serta jalannya orang-orang yang sesat. Sesungguhnya Allah lah yang mengatur dan Maha Kuasa atas semua itu.

Washallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammadin wa ‘alaa ahlihi wa shahbihi wa sallam.

Catatan Kaki

[1] QS. Al Imran: 85

[2] QS. Al Imran: 19-20

[3] QS. Al Maidah: 17

[4] QS. Al Maidah: 72-74

[5] QS. At Taubah: 30-31

[6] QS. Al Imran: 50-51

[7] QS. An Nisa: 158-159

[8] QS. An Nisa: 156-157

[9] QS. Al Imran: 19

[10] QS. Al Baqarah: 130-132

[11] QS. Al Imran: 85

Sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/8527

Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel Muslim.Or.Id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/19223-islam-adalah-agama-yang-haq.html

Dua Kata, Seakan Sama Tapi Berbeda

Allah Swt Berfirman :

فَٱعۡفُواْ وَٱصۡفَحُواْ

“Maka maafkanlah dan berlapangdadalah.” (QS.Al-Baqarah:109)

وَلۡيَعۡفُواْ وَلۡيَصۡفَحُوٓاْ

“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada.” (QS.An-Nur:22)

Dalam dua ayat mulia di atas, kita akan mendapati dua kata yang seakan maknanya sama tapi berbeda. Yaitu kata العَفوُ dan الصَّفحُ.

Secara umum keduanya sama-sama memiliki arti “memaafkan”, namun tentunya setiap kata yang berbeda dalam Al-Qur’an pasti juga memiliki makna yang berbeda. Lalu apa perbedaan di antara kedua kata ini ?

Kata العَفوُ : yakni engkau memaafkan dan tidak menghukum seseorang yang berbuat salah kepadamu dengan kemungkinan masih ada sesuatu yang mengganjal di hati karena perbuatan buruknya kepadamu.

Kata الصَّفحُ : yakni engkau memaafkan dan tidak menghukum seseorang yang berbuat salah kepadamu dan tidak ada lagi bekas atau ganjelan di hatimu karena perbuatan buruknya itu.

Maka الصَّفحُ memiliki derajat yang lebih tinggi daripada العَفوُ. Dan begitulah Al-Qur’an menyebutkan kata العفو terlebih dahulu sebelum الصفح sebagai isyarat bahwa kata yang kedua ini jauh lebih mulia derajatnya.

Semoga bermanfaat.

Cara Mimpi Bertemu Rasulullah Menurut Ustadz Ahong dan Habib Husein

Mimpi bertemu Rasulullah mungkin harapan setiap Muslim. Siapa pun umat Rasulullah pasti rindu bertemu dengannya, walau hanya dalam mimpi. Jangankan mimpi bertemu sosok Rasulullah, kita bisa mimpi bersimpuh di hadapan makam Rasulullah saja tentu merasakan kenikmatan yang luar biasa.

Akan tetapi, sebelum bermimpi itu kita harus mengaca diri. Sudah pantas kah kita bermimpi bertemu Rasulullah? Apakah kita sudah berusaha berakhlak sebagaimana Rasulullah ajarkan? Apakah kita sudah saling mengasihi sesama manusia tanpa membedakan agama, suku, ataupun ras orang lain?

Nah, saya menemukan riwayat menarik dalam kitab Fathul Bari karya Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berikut ini:

Imam Ibnu Hajar berkata: Diriwayatkan dari Hammad bin Zaid yang mendengar Muhammad bin Sirin bercerita, “Jika ada seseorang datang padanya menceritakan pernah mimpi bertemu Rasulullah, maka ia memintanya demikian, “Coba deskripsikan apa yang kau lihat.” Jika seseorang itu mendeskripsikan mimpi itu tidak sesuai pengetahuannya (tentang sosok Rasulullah) itu artinya mimpimu bohong.

Dalam riwayat lain, imam al-Hakim juga pernah meriwayatkan sebuah riwayat dari Ashim bin Kulaib. Kulaib bin Syihab bin Majnun al-Jurmi, orang Kufah, Irak, utu merupakan tabiin senior. Sudah pasti ia pernah bertemu sahabat Ibnu Abbas.

Kulaib itu pernah bertanya pada sahabat Ibnu Abbas. “Aku pernah mimpi bertemu Rasulullah nih, sahabat Ibnu Abbas.” “Ya udah, coba kamu ceritain gimana mimpinya?” jawab Ibnu Abbas. “Sosok yang ada dalam mimpi saya itu mirip dengan al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib,” jawab Kulaib. “Wah, berarti benar kamu telah bermimpi bertemu Rasulullah,” jawab Ibnu Abbas. Al-Hasan bi Ali bin Abi Thalib itu tidak lain merupakan cucu Rasulullah yang memang sangat mirip dengan beliau.

Nah, jika suatu saat ada seseorang mengaku atau kita merasa pernah mimpi bertemu Rasulullah, sebaiknya jangan terburu-buru meyakini bahwa itu Rasulullah. Memang setan sekalipun tidak dapat menyerupai Rasulullah. Tapi minimal kita harus memverifikasinya terlebih dahulu melalui kitab-kitab ulama yang menjelaskan mengenai fisik Rasulullah.

Jika ternyata orang yang kita lihat itu sesuai dengan ciri-ciri fisik Rasulullah yang disampaikan oleh para ulama, maka sebaiknya kita tidak menyebarkan informasi tersebut ke khalayak publik. Ini demi menghindari timbulnya fitnah.

Terlepas dari itu, bagaimanakah cara kita agar bisa bermimpi bertemu Rasulullah?

BINCANG SYARIAH

Jihad untuk Kebaikan

Jihad yang tepat bagi setiap mukmin sejati ialah yang melahirkan kebaikan bagi sesama.

Fadhalah bin Ubaid RA bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Setiap mayit ditutup berdasarkan amalnya, kecuali orang yang mati (saat menjaga) di jalan Allah. Maka, amalnya akan tetap mengalir hingga hari kiamat, dan ia akan aman dari fitnah Dajjal. Mujahid adalah orang yang bisa melawan dirinya sendiri.” (HR Tirmidzi).

Jihad menjadi ikhtiar setiap dari kita untuk mencapai label mukmin sejati dalam menegakkan agama Islam yang damai. Hakikat jihad adalah bersungguh-sungguh melatih diri kita dalam menjauhi nilai-nilai keburukan dalam kehidupan. Dengan jihad, tentunya rahmat dan pengampunan dari-Nya pun tidak segan untuk menyapa setiap dari kita yang melakukannya.

Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS al-Baqarah: 218).

Dewasa ini, kita dihadapkan dengan aksioma kehidupan yang beragam mengenai jihad. Namun, hendaknya kita dapat meluruskan tentang makna jihad, khususnya di dalam konteks menjadikannya solusi problematik kehidupan masyarakat saat ini.

Memaknai jihad sebagai solusi permasalahan hingga melahirkan kemaslahatan. Membuang jauh-jauh makna jihad sebagai alat untuk menegasikan kedamaian hingga melahirkan kemudharatan.

Pada masa Nabi SAW, jihad identik dengan peperangan. Menggelorakan spirit juang demi kemenangan Islam dalam melawan musuh-musuhnya. Namun, tampaknya tidak elok jika makna jihad seperti itu digunakan pada saat kini.

Islam mengajarkan kepada kita bahwa jihad tidak selalu terkait peperangan melawan musuh, akan tetapi peranannya di dalam dimensi kehidupan yang berwarna ini cukup beragam. Semisalnya dalam konteks relasi sosial.

Jihad menjadi amal positif konstruktif dalam konteks relasi sosial di dalam kehidupan saat ini. Tentunya kita tahu, banyak saudara kita saat ini yang mengalami kebuntuan dan krisis dalam menjalani hidupnya. Melesatkan nilai empati dan simpati kita kepada sesama, dengan membantu siapa saja yang sedang membutuhkan bantuan, seperti halnya berbagi kepada kaum dhuafa, janda-janda miskin, fakir miskin, dan orang-orang yang lainnya membutuhkan.

Dari Abu Hurairah RA bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang membantu para janda dan orang-orang miskin seperti orang yang berjihad di jalan Allah.” (HR Bukhari).

Sungguh, jihad yang tepat bagi setiap mukmin sejati ialah yang melahirkan kebaikan bagi sesama. Sungguh, tidak ada kebaikan sama sekali bagi amal setiap manusia jika tidak mengandung kebaikan, seperti halnya perbaikan sosial, dan hal yang mendamaikan bagi sesama.

Allah berfirman, “Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barang siapa yang berbuat demikian untuk mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.” (QS an-Nisa’: 114).

Wallahu a’lam.

OLEH MUHAMAD YOGA FIRDAUS

KHAZANAH REPUBLIKA

Antara Berlebihan dan Merendahkan Orang Shalih (Bag. 2)

Dalil-dalil larangan ghuluw terhadap orang shalih

Bismillah walhamdulillah, wash shalatu wassalamu ‘ala rasulillah, amma ba’du:

Disebutkan oleh Syaikh Muhammad At-Tamimi rahimahullah dalam Kitabut Tauhid alladzi huwa haqqullah ‘alal ‘abiid sebuah bab yang berjudul :

باب ما جاء أن سبب كفر بني آدم وتركهم دينهم هو الغلو في الصالحين

Bab (tentang) sebab kekafiran manusia dan sebab mereka meninggalkan agama Islam adalah melampaui batas terhadap orang shalih.

Lalu beliau menyebutkan beberapa dalil tentang larangan bersikap melampaui batas terhadap orang shalih atau yang dikenal dengan istilah ghuluw terhadap orang shalih.

Allah Ta’ala berfirman dalam surat An-Nisaa’ ayat 171,

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ

“Wahai ahli Kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian!”

Dalam Ash-Shahihain, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang firman Allah Ta’ala,

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا 

Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr.” (QS. Nuuh: 23)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

هذه أسماء رجال صالحين من قوم نوح، فلما هلكوا أوحى الشيطان إلى قومهم أن انصبوا إلى مجالسهم التي كانوا يجلسون فيها أنصابا، وسموها بأسمائهم، ففعلوا. ولم تعبد حتى إذا هلك أولئك ونُسي العلم عُبدت

“Ini adalah nama-nama orang-orang shalih di kalangan kaum Nabi Nuh ‘alaihis salam. Ketika mereka meninggal dunia, setan membisikkan godaannya kepada kaum mereka,

“Dirikanlah patung-patung di majelis-majelis yang dahulu didatangi oleh orang-orang shalih itu. Dan namailah patung-patung itu dengan nama-nama mereka.”

Kemudian kaum itu pun melaksanakan bisikan setan tersebut, dan sewaktu itu patung-patung tersebut belumlah disembah. Sampai orang-orang yang mendirikan patung tersebut telah mati dan (ketika itu) ilmu tauhid telah dilupakan, akhirnya patung-patung tersebut disembah.”

Ibnul Qayyim rahimahullah Ta’ala menjelaskan,

“Lebih dari seorang salaf shalih yang berkata,

لما ماتوا عكفوا على قبورهم، ثم صوروا تماثيلهم، ثم طال عليهم الأمد فعبدوهم

“Tatkala orang-orang shalih itu meninggal dunia, mulailah orang-orang berlama-lama berdiam diri di makam mereka. Kemudian mereka membuat patung-patung orang-orang shalih tersebut. Berlalulah masa yang panjang, hingga mereka pun menyembah orang-orang shalih tersebut.”

Dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تُطروني كما أطرت النصارى ابن مريم؛ إنما أنا عبد، فقولوا: عبد الله ورسوله

Janganlah kalian melampaui batas dalam menyanjungku, sebagaimana kaum Nashara melampaui batas dalam menyanjung Nabi Isa putra Maryam! Sesungguhnya aku adalah seorang hamba. Oleh karena itu, katakanlah (bahwa aku adalah ) hamba Allah dan Rasul-Nya!” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إياكم والغلو؛ فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو

“Awas, jauhilah sikap melampaui batas! Karena sikap melampaui batas adalah perkara yang membinasakan kaum sebelum kalian!” (HR. An-Nasaa’i dan selainnya, dinilai shahih oleh Al-Albani rahimahumallah)

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هلك المتنطعون ، قالها ثلاثا

“Binasalah orang-orang yang melampaui batas!” (Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tiga kali)

[Bersambung]

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel: Muslim.or.id

Antara Berlebihan dan Merendahkan Orang Shalih (Bag. 1)

Siapakah orang saleh itu?
Bismillah walhamdulillah, wash shalatu wassalamu ‘ala rasulillah, amma ba’du.

Definisi orang saleh
Orang saleh adalah orang yang taat kepada Allah Ta’ala, yaitu orang yang melaksanakan perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya. Berdasarkan syariat Islam, orang saleh terdiri dari dua tingkatan, yaitu:

Pertama, As-Saabiq bil khairat
As-Saabiq bil khairat adalah orang yang bersegera dan bersungguh-sungguh dalam melakukan kebaikan. Mereka inilah orang-orang yang memiliki dasar keimanan dan menyempurnakan keimanannya, baik dengan amal wajib maupun amal sunah (ahli kamal iman al-mustahab) [1].

Tingkatan ini adalah tingkatan orang-orang yang melaksanakan perkara yang wajib dan yang sunah, serta meninggalkan perkara yang haram, makruh, dan sebagian perkara yang mubah (halal). Tingkatan ini adalah tingkatan yang tertinggi dalam keimanan, yaitu tingkatan yang sampai pada derajat ihsan.

Kedua, Al-muqtashid
Al-muqtasihid adalah orang-orang pertengahan yang memiliki dasar keimanan dan menyempurnakan keimanannya yang wajib (ahli kamal iman al-wajib), namun belum sampai derajat kesempurnaan iman yang sunah [2].

Tingkatan ini adalah tingkatan orang-orang yang melaksanakan kewajiban dan meninggalkan perkara haram, meninggalkan sebagian perkara yang sunah, dan melakukan sebagaian perkara yang makruh [3].

Dinamakan “muqtashid” karena tingkatannya pertengahan. Maksudnya tingkatan mereka di atas orang-orang yang menganiaya diri mereka sendiri (zhalim linafsih) dan di bawah as-saabiq bil khairat (orang yang bersegera dan bersungguh-sungguh melakukan kebaikan) [4].

Dengan demikian, yang disebut sebagai “orang saleh” secara syariat adalah tingkatan al-muqtashid dan tingkatan as-sabiq bil khairat [5].

Tingkatan al-muqtashid ini berada di bawah tingkatan as-sabiq bil khairat, sedangkan tingkatan as-sabiq bil khairat adalah tingkatan yang tertinggi dalam kesalehan.

Dua tingkatan ini terdapat dalam firman Allah Ta’ala,

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS. Faathir: 32)

Satu tingkatan yang tidak termasuk golongan orang saleh
Sedangkan satu tingkatan yang disebutkan dalam ayat ke-32 dalam surat Faathir di atas, namun tidak termasuk ke dalam golongan orang saleh adalah orang-orang yang menganiaya diri mereka sendiri, yaitu zhalim linafsih. Mereka adalah orang-orang yang memiliki dasar keimanan, keislamannya sah, namun meninggalkan kewajiban atau mengerjakan perkara haram. Mereka adalah seorang muslim pelaku dosa besar (muslim fasiq).

Tiga jenis manusia dalam bersikap terhadap orang saleh
Untuk mengetahui siapa saja golongan yang bersikap salah (keliru) terhadap orang saleh, maka kita perlu mengetahui bagaimanakah batasan syariat Islam terkait hak orang saleh.

Batasan syariat Islam terkait hak orang saleh adalah mencintainya sesuai dengan tingkatan keimananya, menghormatinya sewajarnya, membela mereka dalam kebenaran, mencontoh mereka dalam kebaikan, dan sikap selainnya yang diziinkan dalam syariat Islam.

Dan jika orang saleh itu adalah Rasulullah (utusan Allah) Alaihis salam, maka umatnya wajib untuk mengambil syariat yang dibawa dan taat kepadanya Alaihis salam.

Dalam bersikap terhadap orang saleh, manusia terbagi menjadi tiga golongan:

Pertama, melampui batasan syari’at Islam (berlebihan), ini sikap yang salah
Contoh sikap terhadap orang saleh yang berlebihan adalah menyanjungnya dengan melampui batas; membangun dan memberi lampu terhadap kuburnya; beribadah kepada Allah di sisi kuburnya; ngalap berkah dengan jasad dan peninggalannya; membela orang saleh tanpa melihatnya apakah dia benar atau salah; dan selainnya dari sikap yang melebihi batasan syariat Islam. Puncak sikap berlebihan terhadap orang saleh adalah dengan menyembahnya dan menuhankannya. Wal’iyadzu billah.

Kedua, pertengahan, ini sikap yang benar karena sesuai dengan batasan syariat Islam. Seperti batasan syariat Islam yang telah kami sebutkan di atas.

Ketiga, mengurangi batasan syariat Islam (menelantarkan atau merendahkan), ini juga sikap yang salah.

Maksudnya adalah bersikap merendahkan orang saleh, tidak menghormatinya sesuai dengan kedudukannya, tidak mencintainya sesuai dengan kesalehannya, tidak membelanya saat berada pada pihak yang benar, atau tidak memenuhi hak-haknya sebagai orang saleh [6].



Renungan
Sikap berlebihan terhadap orang saleh, dan sikap merendahkan (menelantarkan) hak-haknya adalah dua sikap yang sama-sama salah dan berbahaya, wajib bagi kita untuk menghindarinya.

Bahkan sikap berlebihan terhadap orang saleh itu bisa menghantarkan kepada kekafiran. Sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Muhammad At-Tamimi Rahimahullah dalam Kitabut Tauhid alladzi huwa haqqullah ‘alal ‘abiid dalam bab yang berjudul,

باب ما جاء أن سبب كفر بني آدم وتركهم دينهم هو الغلو في الصالحين

“Bab (tentang) sebab kekafiran manusia dan sebab mereka meninggalkan agama Islam adalah (sikap) melampui batas terhadap orang saleh”.

Insyaallah, bab ini akan kita pelajari dalam serial artikel ini selanjutnya.


Sibukkanlah Dirimu dalam Amal Shalih
Teladan Kebaikan Dari Para Keluarga Salafus Shalih
[Bersambung]

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel: Muslim.or.id