Khutbah Jumat: Zaman Berubah, Tetaplah Istiqamah!

Momentum khutbah Jumat adalah saat penting mengingatkan umat tentang pesan-pesan takwa kepada Allah, karena ketakwaan menjadi parameter utama untuk mengukur tingkat kemuliaan manusia. Istiqamah adalah kunci agar semangat bertakwa senantiasa tertanam dalam diri hingga akhir hayat. 

Materi khutbah Jumat kali ini mengingatkan kembali bahwa zaman senantiasa bergerak secara dinamis. Banyak perubahan yang terjadi, baik secara teknologi, sosial-budaya, maupun tata kehidupan ekonomi dan politik. Namun, satu hal yang penting diperhatikan mustami‘ (penyimak khutbah Jumat): tetap di garis ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala. Komitmen inilah yang kita kenal dengan “istiqamah”.

Berikut contoh teks khutbah Jumat tentang “Zaman Berubah, Tetaplah Istiqamah!”. Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan dekstop). Semoga bermanfaat! (Redaksi)   Khutbah I

اَلْحَمْدُ للهِ الْمَوْجُوْدِ أَزَلًا وَأَبَدًا بِلَا مَكَانٍ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ الْأَتَمَّانِ الْأَكْمَلَانِ، عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ، أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ. أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْقَدِيْرِ الْقَائِلِ فِيْ مُحْكَمِ كِتَابِهِ: إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ (فصلت: ٣٠)

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Dari atas mimbar khatib berwasiat kepada kita semua, terutama kepada diri khatib pribadi, untuk senantiasa berusaha meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara melaksanakan semua kewajiban dan menjauhkan diri dari seluruh yang diharamkan.

Kaum Muslimin rahimakumullah, Istiqamah adalah luzum tha’atillah: konsisten dalam ketaatan dan kepatuhan kepada Allah ta’ala. Orang yang istiqamah adalah orang yang senantiasa konsisten taat kepada Allah, melaksanakan segenap kewajiban dan meninggalkan berbagai perkara haram. Orang yang berhasil istiqamah dalam kataatan kepada Allah, maka surga-lah tempatnya di akhirat. Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ (فصلت: ٣٠)

Maknanya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka istiqamah, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, ‘Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih, dan gembirakanlah mereka dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu’,”  (QS Fushshilat: 30).

Firman Allah “Kemudian mereka istiqamah” dalam ayat tersebut, menurut Sahabat Abu Bakar bermakna, “Mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun.” Menurut Ibnu ‘Abbas, “Mereka konsisten dalam melaksanakan kewajiban.” Sementara kata Qatadah, “Istiqamah dalam ketaatan kepada Allah.”

Allah juga memerintahkan Nabi-Nya untuk Istiqamah:

فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ  (الشورى: ١٥)

Maknanya: “Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan istiqamahlah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka”   (QS asy-Syura: 15)

Salah seorang sahabat pernah berkata kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, katakan kepadaku tentang Islam sebuah perkataan sehingga aku tidak perlu bertanya lagi kepada siapa pun setelahnya.” Rasulullah menjawab:

قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ (رواه مسلم)

Maknanya: “Katakanlah: aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah” (HR Muslim)

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Istiqamah adalah salah satu tonggak yang sangat penting bagi sebuah bangsa atau umat agar bisa berjaya, menempati posisi yang mulia dan memimpin lajunya peradaban dunia. Suatu umat atau sebuah bangsa yang kehilangan permata istiqamah ini akan kehilangan arah dan mudah dikalahkan oleh musuh-musuhnya.

Karena dengan hilangnya istiqamah, moral akan rusak, perbuatan keji dan hina akan menyebar, kerusakan akan merajalela, kekacauan akan merata dan umat akan dihantui oleh rasa hasud, dengki dan permusuhan. Sebaliknya istiqamah akan memberikan buah yang manis di tengah-tengah umat yang berpegang teguh dengannya. Seorang warga atau individu yang istiqamah akan hidup tenang, damai, taat dan tunduk kepada Allah, tidak menyakiti orang lain, bersabar ketika disakiti orang lain, selalu berperan serta dalam melakukan perbaikan-perbaikan di tengah masyarakat dan membimbing orang yang tersesat ke jalan yang benar. 

Jamaah Shalat Jum’at yang berbahagia,

Jadi istiqamah adalah suatu keniscayaan bagi setiap individu dari sebuah umat atau bangsa, lebih-lebih para pemimpin. Pemimpin dalam skala besar ataupun kecil. Pemimpin dalam lingkup yang luas ataupun unit yang paling kecil. Mulai dari pemimpin suatu negara, pemimpin daerah, pemimpin perusahaan, sampai kepala rumah tangga.    

Imam Rifa’i pernah menyatakan:

اِسْتَقِمْ بِنَفْسِكَ يَسْتَقِمْ بِهَا غَيْرُكَ، كَيْفَ يَكُوْنُ الظِّلُّ مُسْتَقِيْمًا وَالْعُوْدُ أَعْوَجُ

“Istiqamahkan dirimu maka orang lain akan menjadi istiqamah karenamu, bagaimana mungkin bayangan sebuah benda akan lurus jika bendanya bengkok?”

Oleh karenanya sebuah komunitas, perkumpulan atau institusi apa pun yang berharap baik dan merindukan kesuksesan dan kejayaan haruslah dimulai dari istiqamah pemimpinnya. Jika pemimpin dan yang dipimpin istiqamah, guru dan murid istiqamah, suami dan istri istiqamah, direktur dan karyawan istiqamah, pejabat dan rakyat istiqamah dan seluruh lapisan masyarakat di semua bidang dan lini senantiasa istiqamah, maka kebaikan dan kesalehan akan merata di tengah masyarakat kita.

Saudara-saudaraku seiman rahimakumullah,

Marilah kita selalu istiqamah di jalan Allah meski zaman berubah, walaupun tahun telah berganti. Kita manfaatkan masa-masa hidup yang sementara ini untuk taat kepada Allah. Kehidupan kita di dunia ini adalah nikmat yang harus disyukuri dengan berupaya meraih kebaikan dunia dan akhirat. Kita diberi amanah berupa nikmat waktu, agar kita beramal tanpa ditunda-tunda lagi, tanpa kebingungan dan kehilangan arah. Hari-hari kita hidup di dunia, itulah umur kita. Orang yang tidak memanfaatkan umurnya maka umur itu yang akan melindasnya tanpa ia bisa meraih apa pun dari kehidupan yang fana ini. Al-Hasan al-Bashri pernah mengatakan:

ابْنَ آدَمَ، إِنَّمَا أَنْتَ أَيَّامٌ، كُلَّمَا ذَهَبَ يَوْمٌ، ذَهَبَ بَعْضُكَ

“Wahai manusia, engkau tidak lain adalah hari-hari yang terus berjalan, setiap lewat suatu hari maka sebagian dari dirimu telah hilang dan lenyap.”

Bahkan al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi sangat menyayangkan waktu yang berlalu begitu saja hanya untuk makan. Ia mengatakan:  

“Waktu yang sangat aku sayangkan pergi begitu saja adalah saat aku makan.”

Kita mungkin tidak bisa mencapai tingkatan beliau. Tapi setidaknya apa yang beliau sampaikan menjadi cambuk bagi kita untuk selalu memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Marilah kita terus istiqamah. Kita rawat dan jaga keimanan kita dari hal-hal yang merusak dan memutuskannya. Kita konsisten dalam taat kepada Allah. Ketaatan kepada Allah adalah cahaya di alam kubur, penyelamat di atas jembatan shirath di hari kemudian dan keberuntungan di hari kebangkitan. 

Marilah kita berdoa di hari yang penuh barakah ini. Mudah-mudahan kita dianugerahi kemampuan oleh Allah untuk istiqamah, melakukan semua jenis kebaikan dan menjauhi segenap dosa dan kemaksiatan di sepanjang kehidupan. Sehingga kita menjadi insan-insan yang saleh dan layak menjadi pilar-pilar masyarakat madani yang kita cita-citakan. Marilah kita berdoa dengan doa Imam al-Hasan al-Bashri:

اللهم أَنْتَ رَبُّنَا فَارْزُقْنَا الْاسْتِقَامَةَ  

“Ya Allah, Engkau adalah Tuhan kami, maka karuniakanlah kepada kami istiqamah di jalan-Mu.” Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Demikian khutbah singkat pada siang hari yang penuh keberkahan ini. Semoga bermanfaat dan membawa barakah bagi kita semua. Amin.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.      أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Ustadz Nur Rohmad, Pemateri/Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Ketua Bidang Peribadatan & Hukum, Pengurus Daerah Dewan Masjid Indonesia Kab. Mojokerto.

NUorid

Memberhalakan Orang Shalih

Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah subhanahuwata’ala, salah satu cara agar kita bisa memahami dan mengamalkan tauhid adalah dengan mengetahui lawannya, yaitu kesyirikan. Seperti yang telah kita ketahui, syirik adalah menyejajarkan segala sesuatu selain Allah dengan Allah dalam hal yang merupakan kekhususan bagi Allah, yaitu dalam hal Rububiyyah (Perbuatan-perbuatan Allah), ‘Uluhiyyah (Perbuatan hamba dalam rangka beribadah kepada-Nya) dan Asma wa sifat (Nama dan Sifat Allah). Kesyirikan memiliki bentuk yang beraneka macam, dari yang nampak jelas sampai yang tersembunyi. Bahkan seseorang dapat tidak mengenali suatu kesyirikan karena kesamarannya. Untuk itu wajib bagi setiap muslim mempelajari ilmu tauhid secara mendalam sehingga dapat membedakan perkara tauhid dan syirik. Salah satu kesyirikan yang sering terjadi di tengah masyarakat adalah sebagai akibat berlebihan terhadap orang shalih.

Definisi Orang Shalih

Seseorang dikatakan memiliki sifat shalih jika telah menunaikan hak-hak Allah dan hak-hak sesama dengan baik. Yaitu orang yang menjauhi perbuatan kerusakan dan dosa serta menjalankan ketaatan kepada Allah dan bersegera dalam kebaikan[1]. Dan manusia yang paling shalih adalah dari kalangan Rasul dan para Nabi. Secara umum manusia memiliki tiga sikap terhadap orang shalih[2]:

Pertama, orang yang besikap sesuai dengan batasan syari’at yaitu meneladaninya, mencintainya, menghormatinya, loyal kepadanya, membelanya, dan sikap lainnya yang diizinkan oleh syari’at. Dan secara khusus jika orang shalih tersebut adalah seorang Rasul, maka dengan mengambil syari’atnya dan mengikuti jejaknya.

Kedua, bersikap belebihan yaitu menyanjungnya dengan sanjungan yang melampaui batas, membangun dan memberi penerangan terhadap kuburnya, beribadah kepada Allah di sisi kuburnya, tabarruk (mencari berkah) dengan jasad dan peninggalannya, dan lain-lain.

Ketiga, bersikap merendahkan yaitu dengan tidak menunaikan hak-hak orang shalih seperti yang telah disebutkan pada poin pertama.

Dari kedua sikap tersebut, hanya sikap yang pertama yang diizinkan oleh syari’at, dua sikap yang lainnya merupakan sikap yang terlarang. Khususnya sikap berlebihan terhadap orang shalih. Karena hal tersebut dapat mengantarkan seseorang kepada jurang kesyirikan.

Awal Kesyirikan, Akibat dari Sikap Berlebihan Terhadap Orang Shalih

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan mereka (Kaum Nabi Nuh) berkata, “Jangan kamu sekali-kali meninggalkan sesembahan-sesembahan kamu dan (terutama) janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, Suwa, Yaghuts, Ya’quq, maupun Nasr” (QS. Nuh: 23). Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhu berkata dalam menafsirkan ayat yang mulia ini, “Ini adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh. Tatkala mereka meninggal, syaitan membisikkan kepada kaum mereka, ‘Dirikanlah patung-patung mereka pada tempat yang pernah diadakan pertemuan di sana, dan namailah patung-patung itu dengan nama-nama mereka.’ Orang-orang itu pun melaksanakan bisikan syaitan tersebut tetapi patung-patung mereka ketika itu belum disembah. Hingga orang-orang yang mendirikan patung itu meninggal dan ilmu agama dilupakan orang, barulah patung-patung tadi disembah”.[3]

Dari riwayat Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhu di atas, telah jelas bahwa pada awalnya kaum Nabi Nuh tidak bermaksud untuk menyembah patung yang meraka buat, melainkan hanya untuk mengenang orang-orang shalih tersebut. Namun pada akhirnya patung tersebut pun disembah. Hal ini menunjukkan haramnya perbuatan berlebihan terhadap orang shalih, yaitu membangun patung untuk mengenang mereka. Karena perbuatan berlebihan terhadap orang shalih tersebut dapat menjadi jalan terwujudnya kesyirikan. Sebagaimana hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya) “Jauhilah oleh kamu sekalian sikap berlebihan, sesungguhnya hancurnya umat sebelum kalian adalah karena berlebihan dalam agama.[4]

Dari Jundub bin Abdillah Al-Bajaly radliyallaahu ‘anhu, dia pernah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda lima hari sebelum hari wafatnya,“Aku memiliki beberapa saudara dan teman di antara kalian. Dan sesungguhnya aku berlindung kepada Allah dari memiliki kekasih (khalil) di antara kalian. Dan sesungguhnya Allah telah menjadikan diriku sebagai kekasih sebagaimana Dia telah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih (khalil). Seandainya aku boleh mengambil kekasih, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasih. Dan ketahuilah, (sesungguhnya) orang-orang sebelum kalian telah memperlakukan kubur para nabi mereka dan orang-orang shalih di antara mereka sebagaimana masjid. Janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid, sesungguhnya aku melarang kalian melakukan hal itu[5]

Takut Pada Syirik

Jika kita perhatikan keadaan kaum muslimin di sekitar kita, masih banyak di antara mereka yang kurang perhatian terhadap ilmu tauhid, bahkan meremehkannya dengan mengatakan “Buat apa kita belajar tauhid terus, kaum muslimin saat ini sudah bertauhid. Mereka lebih membutuhkan ilmu politik islam dan akhlak.” Padahal kekasih Allah, Nabi Ibrahim, masih berdoa kepada Allah untuk dijauhkan dari kesyirikan. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya) “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.”( QS. Ibrahim 35). Maka bagaimanakah lagi dengan kita, apakah kita mau mengatakan tauhid kita lebih baik dari Nabi Ibrahim?!

Banyak kaum muslimin menyembah orang-orang yang mereka anggap shalih, yaitu dengan menyembah kuburannya, patungnya, berdo’a disisinya, mencari barokah di sisi kuburnya dan bentuk ibadah yang lainnya. Padahal ibadah merupakan perkara yang hanya boleh ditujukkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Kalau hal ini diajarkan syari’at, tentu para sahabat akan lebih dahulu melakukannya, yaitu kepada makhluk yang paling shalih, Rasulullah shollahllahu ‘alaihi wasallam. Namun kenyataannya tidak ditemukan satu pun riwayat yang shahih yang menunjukkan hal tersebut. Lantas siapakah yang akan kita ikuti, jika kaum yang diridhai oleh Allah saja (yaitu para sahabat) tidak melakukannya?

Di Manakah Akal Sehat?

Jika kita masih menggunakan akal sehat kita, maka kita akan menyadari bahwa mereka yang menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala, telah melakukan perbuatan yang ditolak oleh akalnya sendiri. Allah subhanahuwata’ala berfirman (yang artinya) “Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhada-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri adalah makhluk yang diciptakan. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiri pun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.[6] Pada ayat yang mulia ini, Allah subhanahuwata’ala menunjukkan kelemahan-kelemahan sesembahan yang disembah selain Allah. Pertama, sesembahan tersebut tidak mampu mencipta sebagaimana Allah subhanahuwata’ala mencipta. Maka seandainya ada sesuatu yang dapat mencipta sebagaimana Allah mencipta maka niscaya sesuatu tersebut layak untuk disembah. Namun pada kenyataannya hal tersebut mustahil ada. Karena hanya Allah yang maha Pencipta dan tidak ada yang semisal dengan-Nya. Kedua, sesembahan tersebut merupakan makhluk yang diciptakan. Akal tentu menetapkan bahwa yang mencipta pasti lebih layak disembah daripada yang diciptakan, karena yang mencipta pasti lebih kuasa dari yang dicipta. Dan hanya Allah yang bersifat Maha Pencipta segala sesuatu. Ketiga, sesembahan tersebut tidak mampu menolong orang yang menyembahnya. Dan yang keempat, bahkan sesembahan tersebut tidak mampu untuk menolong diri mereka sendiri. Maka untuk apa kita menyembah sesuatu yang lemah dan tidak kuasa untuk menghilangkan kemudharatan sedikit pun bahkan untuk dirinya sendiri.

Kita berdo’a kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar dijauhkan dari perbuatan-perbuatan kesyirikan dan memberikan kita taufiq untuk dapat mempelajari tauhid dan mengamalkannya.

Penulis: Abu Kabsyah Ndaru

Artikel www.muslim.or.id

Bersaing dalam Kebaikan!

Salah satu tanda seorang mukmin adalah tidak gampang puas dengan apa yang sudah ia raih. Ia selalu ingin lebih baik dan terus lebih baik.

Hal ini sejalan dengan apa yang diperintahkan Allah Swt dalam Al-Qur’an bahwa hendaknya setiap mukmin menyelesaikan segala urusannya dengan maksimal, baik itu urusan dunia ataupun urusan akhiratnya.

ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗاۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُورُ

“Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (QS.Al-Mulk:2)

Seorang mukmin selalu merasa dalam medan perlombaan. Karenanya ia selalu dalam keadaan siap dan mengambil semua kesempatan yang ada agar ia menjadi pemenang.

Begitulah Islam mendidik setiap pengikutnya agar selalu merasa berlomba khususnya dalam urusan akhiratnya. Ambil semua kesempatan yang ada, jangan sampai terlewatkan sia-sia.

Sedangkan untuk urusan dunia, Al-Qur’an selalu mendorong kita untuk berjalan mengarungi bumi. Jemputlah rezeki Allah karena rezeki itu telah dibagi. Dan dalam urusan dunia kita dilarang untuk menjadi tamak dan rakus, karena jika kita tamak pasti ada hak orang lain yang kita rampas.

هُوَ ٱلَّذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ ذَلُولٗا فَٱمۡشُواْ فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُواْ مِن رِّزۡقِهِۦۖ وَإِلَيۡهِ ٱلنُّشُورُ

“Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS.Al-Mulk:15)

فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ

“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (QS.Al-Jumu’ah:10)

Adapun ketika berbicara tentang akhirat, kita didorong untuk berlomba, bersaing dan tidak pernah puas.

۞وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS.Ali ‘Imran:133)

فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ أَيۡنَ مَا تَكُونُواْ يَأۡتِ بِكُمُ ٱللَّهُ جَمِيعًاۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ

Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS.Al-Baqarah:148)

Dan setelah mensifati kenikmatan Surga, Allah Swt mengakhirinya dengan :

خِتَٰمُهُۥ مِسۡكٞۚ وَفِي ذَٰلِكَ فَلۡيَتَنَافَسِ ٱلۡمُتَنَٰفِسُونَ

“laknya dari kasturi. Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS.Al-Muthaffifin:26)

Ayat-ayat di atas bukan berarti mengajak kita untuk malas dalam urusan dunia atau setengah-setengah dalam mencarinya. Bukankah Rasulullah Saw pernah bersabda :

“Sesungguhnya Allah Swt menyukai bila seorang dari kalian mengerjakan sesuatu, kemudian mengerjakannya dengan sempurna.”

Maka kita dituntut untuk mengerjakan segala sesuatu dengan maksimal, baik itu urusan dunia ataupun akhirat. Namun jadikan perhatian terbesar kita adalah akhirat  karena hanya akhirat yang kekal dan dunia akan segera sirna.

KHAZANAH ALQURAN

Benarkah Penggunaan Kalender Masehi Dalam Keadaan Tertentu Dibolehkan?

Bismillahirrahmanirrahim wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du

Sebelum kami menjelaskan jawaban dari pertanyaan di atas, ada baiknya kita merunut permasalahannya dari hukum asal penggunaan kalender masehi. Berikut penjelasannya.

Hukum Asal Penggunaan Kalender Masehi

Hukum asal penggunaan kalender masehi adalah haram dengan alasan:

  1. Karena itu adalah bentuk tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir dalam hal yang menjadi ciri khas mereka yang membedakan mereka dengan kaum mukminin (orang-orang beriman).
  2. Karena kalender masehi adalah simbol dan syi’ar agama nashara (hal ini nampak dari sebagian besar nama-nama bulan di dalamnya adalah nama berhala atau nama-nama kaisar/pembesar orang-orang kafir [romawi]). Jadi, berkalender dengannya berarti ikut mensyi’arkan simbol dan syia’ar tersebut (baca: 5 Rahasia dibalik kalender masehi).

Berikut fatwa tentang hal ini:

Fatwa Lajnah Da’imah Kerajaan Arab Saudi no. 20722

Pertanyaan: “Apa hukum berinteraksi dengan kalender masehi dengan orang-orang yang tidak mengetahui kalender Hijriyyah, seperti kaum muslimin non Arab atau orang-orang kafir mitra kerja?”

Jawab: Tidak boleh bagi kaum muslimin menggunakan kalender Masehi karena sesungguhnya hal tersebut merupakan bentuk tasyabbuh (menyerupai) orang-orang nashara (nasrani) dan termasuk syi’ar agama mereka. Sebenarnya kaum Muslimin, walhamdulillah, telah memiliki kalender yang telah mencukupi diri mereka yang mengaitkan mereka dengan Nabi mereka Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sekaligus ini merupakan kemuliaan yang besar. Namun apabila ada suatu kebutuhan yang sangat mendesak maka boleh menggabung kedua kalender tersebut. Wabillahit taufiq”.

Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil Buhutsil ‘Ilmiyah Wal Ifta`

Anggota: Bakr Abu Zaid, Shalih Al-Fauzan, ‘Abdullah bin Ghudayyan
Wakil Ketua: ‘Abdul ‘Azîz Alusy Syaikh
Ketua: ‘Abdul Azîz Bin ‘Abdillah bin Baz

(http://www.alifta.net/fatawa/fatawaDetails.aspxBookID=3&View=Page&PageNo=6&PageID=10455).

Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa penetapan kalender masehi sebagai simbol bagi suatu negara dan menggunakan perhitungan tanggal dengannya dalam berbagai hal, baik aktivitas kenegaraan maupun individu (dalam hal surat-menyurat, perdagangan, dan kegiatan yang lainnya) adalah bentuk tasyabbuh (menyerupai) orang nasrani, serta ikut menyemarakkan syi’ar agama mereka, padahal nash syariat menunjukkan haramnya hal tersebut. Inilah hukum asalnya.

Hukum Penggunaan Kalender Masehi Ketika Ada Kebutuhan

Alhamdulillah, dalam Islam, jumlah perkara yang diharamkan jauh lebih sedikit daripada perkara yang dihalalkan, padahal dalam perkara yang diharamkan pun, ketika dalam keadaan darurat atau hajat setingkat hukum darurat, maka ada kemudahan dan keringanan, di antara kaidah-kaidah tersebut adalah:

Kaidah darurat

الضرورات تبيح المحضورات

“Keadaan darurat membolehkan larangan (yang haram)”

الحاجة العامة تنزل منزلة الضرورة

“Kebutuhan hajiyyah (sekunder) yang sifatnya umum kedudukannya disamakan seperti kebutuhan darurat”

الضرورات تقدر بقدرها

“(Pemenuhan) kebutuhan darurat diukur sesuai dengan ukurannya (secukupnya)”

ارتكاب أخف الضررين

“Mengambil kemudharatan (bahaya) yang paling ringan di antara dua mudharat (bahaya)”

Berdasarkan kaidah-kaidah di atas, maka bisa disimpulkan sebagai berikut:

Pada asalnya haram menggunakan kalender masehi dan wajib menggunakan kalender Hijriyyah. Hukum ini mencakup seluruh idividu dan negeri-negeri Islam. Akan tetapi jika dihadapkan kepada keadaan terpaksa menggunakan kalender masehi, maka ada rincian hukumnya:

  1. Berkaitan dengan orang yang tinggal di negara dengan kalender masehi, apabila peraturan di sana membolehkan untuk menggunakan kalender Hijriyah bersamaan dengan kalender masehi, maka wajib bagi setiap individu untuk menggunakan kalender Hijriyah di surat-menyurat dan kegiatan-kegiatan mereka semampu mereka karena hal itu adalah bentuk pelestarian terhadap kalender Hijriyah sebagai simbol bagi umat Islam, dan meminimalisir mafsadat (kerusakan) yang terjadi yang disebabkan penggunaan kalender masehi. Jadi, tidak mengapa untuk memanfaatkan kalender masehi, akan tetapi hanya sebagai pembantu kalender Hijriyah yang dia (kalender masehi) disebutkan di belakang kalender masehi ketika dibutuhkan atau ketika ada maslahat (kebaikan) yang kuat. Contohnya kita katakan,sekarang tanggal 29 Shafar 1436 H bertepatan dengan 22 Desember 2010“.Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Kita katakan jika kita dihadapkan pada musibah yang seperti ini, sehingga kita harus menyebutkan kalender masehi juga, maka hendaknya yang disebutkan terlebih dahulu adalah kalender Hijriyyah Arab yang Syar’i kemudian baru kita katakan bahwa tanggal sekian hijriyyah bertepatan dengan tanggal sekian Masehi” (Liqaul Babil  Maftuhhttp://sh.rewayat2.com/fkh3ame/Web/7687/006.htm).
  2. Jika seseorang tinggal di negara yang peraturannya wajib menggunakan kalender masehi dan dilarang menggunakan kalender Hijriyyah, maka dia berkewajiban mengingkari semampunya dengan mempertimbangkan maslahat (kebaikan) dan mudharat (bahaya) dengam bimbingan ulama.Fadhilatusy Syaikh Dr. Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin rahimahullah berkata, “Adapun kalau peraturan resmi sebuah negara melarang mengisyaratkan kepada penanggalan Hijriyah selamanya, dan mereka memeranginya, maka wajib bagi setiap individu dalam kondisi seperti ini untuk mengerahkan kemampuannya dalam mengingkari dan memberikan nasihat dan juga memperhatikan perkara ini dan mempertimbangkan antara maslahat (kebaikan) dan mafsadat (kerusakan) yang kemungkinan terjadi dan berusaha menghilangkan sebab-sebab mafsadat (kerusakan) yang terjadi dan berusaha meminimalisir dampak yang ditimbulkannya, apabila tidak mungkin menghilangkannya. Dan masuk dalam pembahasan ini adalah berinteraksi dengan negara dan perusahaan dunia yang berpatokan dengan kalender masehi, maka boleh menggunakan kalender masehi ketika ada kebutuhan” (Istikhdamut Tarikhil Miladi, http://www.dorar.net/art/223).

Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita dan menjaga kita dari kehinaan dan menjadikan kita sebagai umat pemimpin dunia, merasa mulia dengan Islam dan syi’arnya. Amin.

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel Muslim.Or.Id

Raihlah Enam Keuntungan Menggunakan Kalender Hijriyyah

Bismillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Suatu fenomena yang menyedihkan, banyak di antara kaum muslimin yang masih asing dengan kalender mereka sendiri, bukan hanya orang awamnya, namun juga thalabatul ‘ilmi (penuntut ilmu agama) di antara mereka. Padahal di dalam penggunaan kalender Hijriyyah terdapat banyak barakah dan keuntungan. Sayangnya, banyak dari kaum muslimin tidak mengetahui keuntungan-keuntungan yang didapatkan dengan penggunaan kalender Hijriyyah dalam kesehariannya. Nah, berikut enam keuntungan yang bakal Anda dapatkan jika Anda menggunakan kalender Hijriyyah,

1. Menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Ketauhilah,berkalender Hijriyyah merupakan perintah Allah, hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَسْأَلونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”(QS. Al-Baqarah: 189).

Sisi pendalilan

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan hilal (bulan sabit) sebagai tanda mulai dan berakhirnya bulan, maka dengan munculnya hilal dimulailah bulan baru dan berakhirlah bulan yang telah lalu. Dengan demikian, hilal-hilal itu sebagai patokan waktu dalam kehidupan manusia dan ini menunjukkan bahwa hitungan bulan adalah Qamariy (berdasarkan peredaran bulan) karena keterkaitannya dengan peredaran bulan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,Maka Dia (Allah) mengabarkan bahwa hilal-hilal itu adalah patokan waktu bagi manusia dan ini umum dalam setiap urusan mereka, lalu Allah menjadikan hilal-hilal itu sebagai patokan waktu bagi manusia dalam hukum-hukum yang ditetapkan oleh syari’at, baik sebagai tanda permulaan ibadah maupun sebagai sebab diwajibkannya sebuah ibadah dan juga sebagai patokan waktu bagi hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan syarat yang dipersyaratkan oleh seorang hamba.

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa  berkalender Hijriyyah merupakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,

إذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فاقدروا له

Apabila kalian melihat hilal (awal Ramadhan) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya (pada akhir bulan) maka berbukalah (Idul Fithri). Maka apabila (pandangan) kalian tertutupi mendung genapkanlah bulan dengan tiga puluh“(HR. Al-Bukhari 2/674, Muslim 2/762).

Sisi pendalilan

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan akhir bulan Sya’ban dan masuknya bulan Ramadhan dengan melihat hilal dan diqiyaskan dengan hal ini bulan-bulan yang lain.

Fadhilatusy Syaikh Dr. Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin rahimahullah berkata,

Aku wasiatkan kepada umat ini dan pihak yang berwenang di negeri kaum muslimin di manapun berada untuk berpegang teguh dalam penanggalan mereka dengan kalender Hijriyah dalam rangka menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dalam rangka berpegang teguh dengan Sunnah Khulafa ar-Rasyidin dan Ijma’ (kesepakatan) sahabat, dan sebagai bentuk kebanggaan dengan apa yang telah disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala” (Istikhdamut Tarikhil Miladi,http://www.dorar.net/art/223).

2. Berpegang Teguh Dengan Sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidin dan Ijma’ Sahabat

Berkalender Hijriyyah merupakan bentuk berpegang teguh dengan Sunah Khulafa Ar-Rasyidin dan Ijma’ sahabat, mengapa?

Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata dalam Shahihnya,

Bab Penanggalan. Darimana mereka menentukan penanggalan?

عن سهل بن سعد قال ما عدوا من مبعث النبي صلى الله عليه وسلم ولا من وفاته ما عدوا إلا من مقدمه المدينة

“Dari Sahl bin Sa’ad berkata, Mereka (para Sahabat) tidaklah menghitung (penanggalan) berdasarkan saat diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak pula berdasarkan wafat beliau, namun hanyalah berdasarkan awal tahun masuknya beliau ke kota Madinah (Hijrah)”.

Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan tentang sejarah asal pencanangan kalender Hijriyyah, bahwa Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu ditegur oleh Abu Musa radhiallahu ‘anhu ketika menulis surat tanpa tanggal lalu Umar pun memerintahkan orang-orang untuk membuat penanggalan dengan dasar hijrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mereka pun melakukannya (http://library.Islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=7151&idto=7154&bk_no=52&ID=2186).

Berarti nampak dari penjelasan di atas, bahwa pencetus kalender Hijriyyah adalah salah satu dari Al-Khulafa Ar-Rasyidin, yaitu Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu dan diikuti oleh para sahabat radhiallahu ‘anhum tanpa ada penentangan sedikit pun, ini menandakan telah terjadi ijma’ (kesepakatan) di antara mereka.

3. Berkalender Hijriyyah Berarti Memudahkan Kita Mengetahui Waktu-Waktu Ibadah

Banyak waktu-waktu ibadah yang ditentukan dengan kalender Hijriyyah, misalnya tentang ibadah haji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَسْأَلونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS. Al-Baqarah: 189).

4. Berkalender Hijriyyah artinya mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menyelisihi musyrikin

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara umum memerintahkan kita untuk menyelisihi perkara yang menjadi ciri khas kaum musyrikin, beliau bersabda,

خالفوا المشركين

“Selisihilah kaum musyrikin!” (Muttafaqun ‘alaihi).

Sedangkan nashara serta romawi sebagai biang kerok munculnya kalender masehi adalah bagian dari kaum musyrikin. Maka, kita dituntut untuk menyelisihi mereka dalam perkara yang menjadi ciri khas mereka (diantaranya dalam masalah berkalender masehi)  (baca Tahukah Anda 5 Rahasia dibalik kalender masehi?).

5. Berkalender Hijriyyah Menunjukkan Keterikatan Diri Kita dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam

Hal ini karena dasar perhitungan kalender Hijriyyah adalah berdasarkan hijrahnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga membuat setiap orang yang berpenanggalan dengan kalender ini akan mengingat hjrah dan perjuangan Nabinya shallallahu ‘alaihi wasallam, serta mengingatkan pada peristiwa-peristiwa Islam dan keadaan-keadaan kaum muslimin di masa lalu. Selanjutnya diharapkan setiap muslim yang berkalender dengannya akan bisa mengambil suri tauladan dari Nabinya shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa tersebut.

6. Berkalender Hijriyyah Artinya Mengibarkan Bendera Syi’ar Umat Islam dan Simbol Kekokohan Jati Diri Mereka

Umat Islam bukan umat pengekor. Umat Islam adalah pemimpin dunia. Khalifatun fil ardh, maka tentunya tidak pantas kalau mengambil simbol kuffar dengan penanggalan masehi. Bahkan seorang muslim diperintahkan untuk memiliki jati diri yang khas.

Wa shallallahu ‘ala Muhammadin wa ‘ala Alihiwa Shahbihi wa sallam, wa Akhiru Da’waanaa anil Hamdulillah Rabbil ‘Alamin.

Penulis: Ust. Sa’id Abu ‘Ukasyah

Artikel Muslim.Or.Id

Menunda Bayar Hutang Padahal Sudah Mampu, Apakah Termasuk Dosa?

Kehidupan zaman sekarang semakin hari semakin keras dan kejam saja. Agar bertahan hidup saja orang-orang harus saling sikut-sikutan tanpa pandang bulu baik kawan maupun lawan. Hanya karena melihat orang yang berhutang mendapat rezeki, hutang yang belum jatuh tempo pun sudah ditagih oleh pihak yang memberi hutang. Di sisi lain, ada juga orang yang mengutang menyepelekan membayar hutang. Ia berani menunda bayar hutang padahal sudah mampu. Dilihat dari sudut pandang hukum Islam, bagaimana hukum menunda bayar hutang padahal sudah mampu? Bagaimana juga hukum menagih hutang sebelum jatuh tempo?

Dalam pembahasan fikih muamalah, akad yang mengatur utang-piutang disebut dengan akad qardh, yang dalam akad ini pihak pemberi hutang disebut dengan muqridh, dan pihak yang berhutang disebut  dengan muqtaridh. Hukum asal dari memberi hutang adalah sunnah karena merupakan salah satu bentuk  menolong orang lain dari kesulitan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi:

مَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُنْيَا، فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ القِيَامَةِ، وَاللهُ فِيْ عَوْنِ العَبْدِ مَا دَامَ العَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ. رواه مسلم

Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim)

Dalam akad qardh sendiri menurut mayoritas ulama tidak disyaratkan adanya jangka waktu tertentu untuk pelunasan. Bila syarat tersebut disebutkan saat akad berlangsung, maka syarat tersebut otomatis gugur. Oleh sebab itu, pihak pemberi hutang boleh-boleh saja menagih hutang sebelum jatuh tempo. Hal ini sebagaimana diutarakan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (33/128):

اشْتِرَاطُ الأَجَلِ. اخْتَلَفَ الفُقَهَاءُ فِي صِحَّةِ اشْتِرَاطِ الأجَلِ وَلُزُوْمِهِ فِي القَرْضِ عَلَى قَوْلَيْنِ أَخَدُهُمَا لِجُمْهُوْرِ الفُقَهَاءِ مِنَ الحَنَفِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالحَنَابِلَةِ وَالْأَوْزَاعِيِّ وَابْنِ الـمُنْذِرِ وَغَيْرِهِمْ وَهُوَ أَنَّهُ لَا يَلْزَمُ تَـأْجِيْلُ القَرْضِ وَإِنِ اشْتَرَطَ فِيْ العَقْدِ وَلِلْـمُقْرِضِ أَنْ يَسْتَرِدَّهُ قَبْلَ حُلُوْلِ الأَجَلِ.

“Syarat Tempo Hutang. Ulama berbeda pendapat dalam hal sahnya syarat jangka waktu dalam akad hutang piutang. Terdapat dua pendapat salah satunya pendapat mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Syafi’i, Hanbali, serta pendapat dari Imam al-Awza’i, Imam Ibn al-Mundzir dan ulama lainnya bahwa dalam utang piutang tidak diwajibkan adanya penentuan tempo pelunasan meskipun sudah disyaratkan dalam akad. Oleh karena itu, pihak yang memberi hutang boleh menagih sebelum jatuh tempo”

Meskipun boleh menagih hutang sebelum jatuh tempo, hanya saja sebaiknya ditangguhkan terlebih dahulu sesuai dengan kesepakatan, sebagaimana dsebutkan dalam kitab Tanwir al-Qulub (halaman 274):

وَلَوْ شَرَطَ أَجَلًا فَالشَّرْطُ لَغْوٌ وَلِلْمُقْرِضِ مُطَالَبَتُهُ قَبْلَ حُلُوْلِهِ وَيُسَنُّ لَهُ الوَفَاءُ بِالتَّأْجِيْلِ

“Seandainya disyaratkan adanya tempo pelunasan, maka syarat tersebut menjadi sia-sia. Pihak pemberi hutang boleh menagih utangnya sebelum jatuh tempo, namun sunnah baginya menagihnya sesuai dengan  waktu yang disepakati”

Sebagai catatan tambahan, pihak pengutang yang tidak melunasi hutangnya sebelum jatuh tempo padahal sudah mampu, ia tidak tergolong sebagai penunda-nunda pelunasan hutang yang mendapat dosa. Sebab yang masuk kategori ini adalah orang yang mampu membayar namun menunda bayar hutang sampai setelah tempo waktu yang ditentukan, sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Muntaqa Syarh al-Muwaththa’ (5/67):

 (ش قَوْلُهُ “مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ” الـمَطْلُ هُوَ مَنْعُ قَضَاءِ مَا اسْتُحِقَّ عَلَيْهِ قَضَاؤُهُ. فَلَا يَكُوْنُ مَا لَمْ يَحِلَّ أَجَلُهُ مِنَ الدُّيُوْنِ مَطْلًا. وَإِنَّمَا يَكُوْنُ مَطْلًا بَعْدَ حُلُوْلِ أَجَلِهِ.

“(Penjelasan) hadits Nabi ‘Penundaan bayaran yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman.’ Penundaan yang dimaksud dalam hadits ini adalah mencegah untuk membayar hutang yang seharusnya ia lunasi. Oleh karena itu, bila masih belum jatuh tempo maka tidak dikategorikan sebagai upaya penundaan pelunasan hutang. Dikatakan sebagai perbuatan menunda-nunda bila dilakukan sesudah jatuh tempo”

Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Mampukah Kita Memaafkan ketika Disakiti?

Di saat ada orang lain yang memaki anda, biasanya anda terpancing untuk balas memakinya. Disaat anda orang yang mlengos di depan anda, andapun biasanya membalasnya dengan yang serupa atau bahkan lebih keras dari yang dia lakukan. Di saat anda orang yang memusuhi anda, menjelek-jelekkan anda, biasanya anda tergoda untuk melakukan hal yang serupa atau bahkan lebih.

Namun pernahkan terbetik di hati anda rasa iba kepada orang yang berbuat jahat kepada anda tersebut? Pernahkah anda berkeinginan untuk memberinya hadiah krn dia telah menghina, memaki, memusuhi anda?

Alih-alih hadiah, sekedar mengucapkan salam ketika berjumpa dengannya, atau mungkin berkunjung ke rumahnya saja mungkin terlalu berat untuk anda lakukan. Karena itu wajar bila kondisi buruk ini terus berkepanjangan bahwa terwariskan kepada anak cucu kita.

Saudaraku, simaklah kiat manjur berikut agar kondisi negatif di atas dapat berubah menjadi positif secepatnya.

وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ

Tentu tidaklah sama antara kebajikan dengan kejahatan. Balaslah dengan cara- cara yang lebih baik, niscaya dalam sekejap antara dirimu dan orang yang memusuhimu akan terjalin hubungan baik, seakan-akan dia adalah pembelamu yang paling setia” (QS. Fusshilat: 34).

Memang terasa berat, dimusuhi malah memaafkan bahkan memberinya hadiah. Di plengosi malah tersenyum dan mengucapkan salam kepadanya. Namun percayalah bahwa sejatinya itu tidaklah sulit bila kita memiliki jiwa yang besar hati yang lebar. Adanya rasa berat, sejatinya adalah bukti betapa kerdilnya jiwa kita. Karena itu setelah ayat di atas Allah berfirman :

وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

Sikap itu tidaklah dikaruniakan kecuali kepada orang-orang yang bersabar dan tidaklah dikatuniakan kecuali kepada orang- orang yangdapat keberuntungan besar” ( QS. Fusshilat: 35).

Marilah kita belajar menjadi orang-orang yang berjiwa besar, walau tubuh kita kecil, agar kita beruntung besar.

Penulis: Ustadz DR. Muhammad Arifin Baderi, Lc., MA.

Artikel Muslim.Or.Id

Keutamaan Memaafkan Orang Lain: Allah SWT Muliakan Pemaaf

Memaafkan orang lain akan menambah kemuliaan si pemaaf.

Jika seseorang memiliki kesalahan kepada kita, mungkin memaafkan menjadi hal yang sulit untuk dilakukan. Namun, tahukah Anda bahwa memaafkan mampu menambah kemuliaan seseorang?  

Mengutip buku “20 Sebab Kenapa Harus Memaafkan”karya DR Firanda Adirja, dijelaskan bahwa menurut Ibnu Taimiyyah, hendaknya seseorang mengetahui bahwa tidaklah seseorang membalas untuk membela jiwanya kecuali hal itu akan menimbulkan kehinaan pada dirinya. 

Apabila dia memaafkan, maka Allah akan memuliakannya, dan ini telah dikabarkan Rasulullah SAW. Beliau bersabda, ‘Tidaklah seseorang memaafkan kecuali Allah akan menambah kemuliaannya.’ (HR Muslim no 2588).”

Redaksi lengkap hadis tersebut sebagaimana riwayat hadis Abu Hurairah berkaitan dengan tiga perkara yang di luar yang tampak. Hadits lengkapnya berbunyi, “Sedekah itu tidak akan mengurangi harta. Tidak ada orang yang memberi maaf kepada orang lain, melainkan Allah SWT akan menambah kemuliaannya. Dan tidak ada orang yang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya’.” (HR Muslim no 2588)

Pertama, tatkala seseorang berinfak maka secara lahir harta akan berkurang, akan tetapi Nabi SAW mengatakan bahwa berinfak itu tidak akan mengurangi harta.

Kedua, tatkala seseorang memaafkan dan mengalah maka secara lahir menunjukkan bahwa orang tersebut adalah lemah dan tidak memiliki kekuatan, akan tetapi Nabi SAW mengatakan bahwa barang siapa yang memaafkan atau mengalah maka Allah akan tambah kemuliaannya.

Ketiga, tatkala seseorang bersifat tawadu maka secara lahir dia adalah orang yang rendah atau bahkan hina, akan tetapi Nabi SAW mengatakan bahwa sesungguhnya orang tawadu itu akan diangkat derajatnya di sisi Allah SWT. 

Ini semua tentunya membutuhkan keyakinan. Adapun tentang bagaimana cara Allah SWT melakukannya, maka itu menjadi urusan Allah. Intinya adalah bagaimana seseorang melakukan semua itu ikhlas karena Allah semata. 

Oleh karenanya jika seseorang memaafkan, maka hendaknya dia yakin bahwa dia akan diangkat derajatnya dan bertambah kemuliaannya sebagaimana perkataan Nabi  SAW. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Memaafkan Adalah Senjata Orang-Orang Kuat

Allah Swt mengajak hamba-hambaNya untuk saling memaafkan.

خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ

“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (Al-A’raf:199)

ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡكَٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

“(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (QS.Ali ‘Imran:134)

Sesungguhnya rahmat di dalam hati seseorang menjadikannya mudah untuk memaafkan orang yang melakukan kesalahan kepadanya atau mendzaliminya. Dia tidak melakukan balas dendam walau ia mampu. Dan jika seorang hamba telah mampu memaafkan orang lain maka ia layak mendapatkan maaf dan ampunan Allah Swt.

وَلۡيَعۡفُواْ وَلۡيَصۡفَحُوٓاْۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغۡفِرَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٌ

“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS.An-Nur:22)

Islam menginginkan pengikutnya menjadi tauladan dengan akhlak yang mulia, dan salah satu akhlak yang paling mulia adalah sikap memaafkan. Karena sering kali orang-orang kafir yang memusuhi Islam kala itu hatinya luluh dan mau menerima Islam karena sikap memaafkan yang ditampilkan oleh Nabi dan para pengikut beliau.

Lalu apakah orang yang tertindas harus selalu diam dan memaafkan orang yang dzalim?

Islam telah menentukan scara detail tentang hak orang yang tertindas dan hukuman bagi orang yang dzolim  karena hal ini haus di atur dan ditegakkan demi terwujudnya keadilan.

Sikap memberi maaf disini tidak dalam rangka mendukung kejahatan orang-orang yang dzalim sehingga mereka menjadi seenaknya berbuat, dalam kondisi-kondisi tertentu orang yang tertindas harus bangkit, melawan dan menuntut haknya.

وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَابَهُمُ ٱلۡبَغۡيُ هُمۡ يَنتَصِرُونَ-وَجَزَٰٓؤُاْ سَيِّئَةٖ سَيِّئَةٞ مِّثۡلُهَاۖ فَمَنۡ عَفَا وَأَصۡلَحَ فَأَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ

“Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zhalim, mereka membela diri. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zhalim.” (QS.Asy-Syura:39-40)

Ayat ini berbicara tentang hak orang-orang mukmin untuk membela diri bila ditindas. Mereka harus melepaskan tali kekang yang selama ini menjerat kebebasan mereka. Namun semua itu tidak boleh dilakukn secara berlebihan, tetap dalam batasnya.

Kemudian di sisi lain Allah menjabarkan tentang tingkatan lain dari keimanan seseorang yaitu sikap memaafkan.

فَمَنۡ عَفَا وَأَصۡلَحَ فَأَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۚ

“Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah.” (QS.Asy-Syura:40)

Memaafkan adalah tanda kemuliaan seseorang. Karena yang bisa memberi maaf hanyalah orang-orang yang telah menguasai hatinya, mengesampingkan emosinya dan menjaga lisan dan tangannya untuk membalas walau ia mampu melakukannya.

Memaafkan adalah akhlak orang-orang yang kuat. Bagaimana tidak ? Ia lebih memilih memaafkan orang yang menyakitinya daripada melakukan balas dendam dengan keburukan yang sama !

Sikap memaafkan mewariskan wibawa dan kemuliaan pada pelakunya. Oramg yang memaafkan bukanlah orang lemah dan hina.

Rasulullah Saw bersabda :

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ،
وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ للَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ

“Sedekah tidak akan membuat harta berkurang dan maaf tidak akan menambah apapun bagi seorang hamba kecuali kemuliaan dan tidak ada seorang yang rendah hati karena Allah kecuali Allah akan mengangkat derajatnya.”

Mari kita saling memaafkan di antara sesama hamba Allah agar Allah melimpahkan rahmat dan ampunan-Nya kepada kita semua.

KHAZANAH ALQURAN

Lima Rahasia di Balik Kalender Masehi

Bismillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Ya, ada lima bahaya besar yang menjadi rahasia di balik kalender masehi. Namanya saja bahaya berstatus rahasia, masih banyak orang yang terjatuh ke dalamnya karena tidak menyadarinya. Anda ingin selamat darinya? Mari, simaklah renungan berikut ini.

Tahukah Anda kalender masehi adalah syi’ar agama nashara (Kristiani)?

Ini bisa disimpulkan dari asal penyebutan kata “masehi”, penisbatan kepada Nabi ‘Isa  ‘alaihis salam karena awal perhitungan penanggalan ini diambil dari tahun lahirnya Nabi ‘Isa ‘alaihis salam (Sumber: artikel Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid di http://www.saaid.net/mktarat/aayadalkoffar/55.htm dan Istikhdamut TarikhilMiladi, http://www.dorar.net/art/223).

Dengan demikian, kalender masehi hakikatnya adalah simbol dari agama mereka. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah, “…Apalagi kalender masehi adalah simbol dari agama mereka karena ia mengisyaratkan pada pengagungan kelahiran Al-Masih ‘alaihis salam dan berhari raya dengannya di setiap penghujung tahun. Ini adalah bid’ah yang diada-adakan oleh nashara” (http://www.alathary.net/vb2/showthread.php?13590- ). Lantas apakah kita sebagai seorang muslim rela mengiklankan secara gratis  syi’ar agama nashara yang isinya adalah pelecehan terhadap Rabbul ‘alamiin? Di sisi lain, relakah kita meninggalkan syi’ar Muslimin berupa penanggalan Hijriyyah? (baca: Raihlah enam keuntungan menggunakan kalender Hijriyyah).

Apakah seorang yang menyatakan dirinya muslim rela mengatakan, “Biarlah pudar sinar syi’ar muslimin dan berkibar bendera syi’ar agama nashara?” Kalau bukan kita, kaum muslimin, siapa lagi yang akan mengibarkan bendera syi’ar umat ini (kalender Hijriyyah)? Camkanlah!

Tahukah Anda Sebagian Penamaan Bulan-Bulan dalam Kalender Masehi Diambil dari Nama Berhala-Berhala Romawi dan Kaisar-Kaisarnya?

Berikut asal pengambilan nama-nama bulan dalam  kalender masehi:

  1. Januari diambil dari Janus (dewa permulaan dan akhir bangsa Romawi ada yang mengatakan dewa matahari).
  2. Februari diambil dari februus (dewa kematian dan pemurnian Romawi yang juga menjadi dewa bangsa etruskan. Bulan ini menjadi bulan perayaan ritual pemurnian di romawi yang dirayakan setiap tanggal 15 bulan ini).
  3. Maret diambil dari mars (dewa perang romawi) .
  4. April diambil dari aperire yang artinya membuka. Bulan April (aprilis) dalam kalender romawi merupakan penghormatan untuk dewi venus, dewa cinta dan keindahan. Kata april diambil dari nama venus dalam bahasa yunani yaitu aphrodite (Aphros).
  5. Mei diambil dari maia maiestas (dewi romawi ,dewi kelahiran dan perkembangbiakan keturunan).
  6. Juni diambil dari juno (dewi romawi, istri jupiter (mitologi), ada yang mengatakan dewi bulan).
  7. Juli diambil dari julius caesar (diktator romawi).
  8. Agustus diambil dari agustus (kaisar romawi pertama).

(Sumber: artikel Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid di http://www.saaid.net/mktarat/aayadalkoffar/55.htm & http://id.wikipedia.org/wiki/Kalender_gregorius).

Saudaraku seiman, tentulah kalau bukan karena kebutuhan yang mendesak, tentu keimanan kita menolak mentah-mentah mengucapkan nama-nama berhala, dewa, dewi, dan kaisar mereka dengan lisan kita. Tak sudi rasanya hati yang dipenuhi keimanan memuliakannya (kalender masehi), lisan yang basah dengan dzikrullah menyebut-nyebutnya, jari-jemari yang akrab dengan mushaf Al-Qur`an menuliskan nama-nama berhala, dewa, dewi, dan kaisar mereka.

(baca artikel Benarkah penggunaan kalender masehi dalam keadaan tertentu dibolehkan?)

Tahukah anda bahwa menggunakan kalender Masehi adalah bentuk tasyabbuh terhadap orang kufar?

Tahukah Anda bahwa seseorang yang sudah mengetahui status kalender masehi sebagai syi’ar agama nashara dan romawi kemudian masih nekad menggunakannya sebagai ganti kalender Hijriyyah, hakikatnya itu merupakan bentuk  meniru (tasyabbuh) dengan simbol-simbol mereka?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من تشبه بقوم فهو منهم

Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia bagian dari kaum itu” (HR. Abu Dawud,Syaikh Al-Albani menyatakan derajatnya hasan shahih).

Hadits di atas mengandung larangan tasyabbuh dengan simbol-simbol orang kafir, hari raya, kebiasaan-kebiasaan, dan seragam-seragam khas mereka serta apa-apa yang menjadi kekhususan mereka. Dan tidak diragukan lagi bahwa penggunaan kalender masehi masuk kedalam ciri khas orang kafir.

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah pernah ditanya tentang apakah perhitungan dengan kalender masehi termasuk bentuk loyalitas kepada orang kafir?

Maka beliau hafizhahullah menjawab,”Tidak dianggap sebagai bentuk loyalitas, akan tetapi dianggap sebagai tasyabbuh (dengannya) (Istikhdamut Tarikhil Miladi, http://www.dorar.net/art/223).

Tahukah Anda Bahwa Menggunakan Kalender Masehi dan Meninggalkan Kalender Hijriyyah Hakikatnya Bentuk Penjajahan Karakter Kaum Muslimin?

Sesungguhnya kaum muslimin -sejak dicanangkannya kalender Hijriyyah oleh Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu- telah menggunakan kalender Hijriyah, namun penjajahan kuffar terhadap kaum musliminlah yang menyebabkan banyak dari mereka lupa dengan kalender mereka sendiri (kalender Hijriyah).

Berikut penjelasan Fadhilatusy Syaikh Dr. Abdullah bin ‘Abdurrahman Al-Jibrin rahimahullah“…Dan kaum Muslimin (zaman dulu telah) menggunakannya (kalender Hijriyah) dalam kitab-kitab dan sejarah mereka, sekalipun mereka telah mengetahui kalender-kalender umat sebelum mereka.”

Hal ini terus berlangsung hingga orang-orang kristen menguasai sebagian besar negeri-negeri Islam, menjajah mereka, memaksa mereka untuk mempelajari kalender masehi, dan membuat kaum muslimin lupa dengan kalender Hijriyah kecuali apa yang dikehendaki Allah. (Istikhdamut Tarikhil Miladi, http://www.dorar.net/art/223).

Ketika banyak kaum muslimin yang lupa dengan kalender mereka sendiri (kalender Hijriyah) dan menggantinya dengan kalender masehi, maka lunturlah bagian besar jati diri dan karakter khas mereka. Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Wahai kaum muslimin, sesungguhnya kalender dan penanggalan adalah syi’ar sebuah umat. Jika umat melupakan syi’ar ini, maka mereka pun melupakan jati diri mereka”.

Selanjutnya, beliau pun menjelaskan tentang pentingnya kaum muslimin dalam menjaga kepribadian mereka, di antaranya dengan memiliki penanggalan yang khas sebagai ciri khas mereka sebagai umat yang terhormat, beliau berkata, “Wahai kaum muslimin, selayaknyalah kita memiliki kepribadian yang khas, sebuah karakter yang menjadi jati diri mereka (kaum muslimin), tidak mengikuti umat lain (selain muslimin-pent).

Bukanlah maksud kita memerangi setiap perkara yang baru yang berasal dari umat lain. Jika itu memang baik (kita terima-pent), akan tetapi kita memerangi umat lain yang datang dengan tujuan buruk, yaitu melunturkan kepribadian kita.

Wahai Kaum muslimin, sesungguhnya kaum muslimin adalah umat Islam yang memiliki jati diri, memiliki ciri agama, bahasa, kalender/sejarah, dan ibadah yang khas. Umat Islam adalah umat yang memiliki jati diri yang kokoh, maka (umat Islam) wajib tidak menjadi pengekor umat lainnya sebagaimana Allah telah menganugerahkan kepada umat Islam ini agama yang mulia, Allah berfirman,

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) ilmu dan amal, untuk dimenangkan-Nya atas segala agama lain, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai”(At-Taubah:33).

Sesungguhnya Islam adalah agama yang tinggi (mulia) dan tidak ada satupun yang bisa merendahkannya, maka wajib bagi umat Islam menjadi umat yang  yang tinggi (mulia) pula dan tidak ada seorang pun yang merendahkannya. Inilah kewajiban kita jika bercita-cita meraih kemuliaan dan kehormatan” (http://www.ibnothaimeen.com/all/khotab/article_89.shtml).

Tahukah Anda Bahwa Menggunakan Kalender Masehi dan Meninggalkan Kalender Hijriyyah hakikatnya Adalah Bentuk Perbudakan dan Perendahan Martabat Kaum Muslimin?

Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan hakikat penerapan kalender masehi, Ketika orang-orang kafir berhasil menjajah sekian banyak negeri-negeri muslimin, mereka mengganti kalender muslimin dengan kalender mereka dalam rangka memperbudak negeri-negeri kaum Muslimin dan menghinakannya” (Liqaul Babil Maftuhhttp://sh.rewayat2.com/fkh3ame/Web/7687/006.htm).

Semoga Allah Ta’ala menjaga umat ini dari terjatuh ke dalam kehinaan dan menjadikan mereka sebagai umat yang berkuasa di muka bumi, taat kepada Rabbnya,di manapun mereka berada. Amin.

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.Or.Id