Serial Fiqh Zakat (Bag. 10): Penggunaan Kalender Masehi dalam Penetapan Haul Zakat

Baca pembahasan sebelumnya Serial Fiqh Zakat (Bag. 9): Zakat Uang Kartal

Mayoritas ulama berpendapat bahwa tercapainya haul merupakan syarat yang wajib terpenuhi bagi obyek zakat yang berupa emas dan perak, hewan ternak, dan barang perdagangan.

Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan,

السَّائمةُ من بهيمةِ الأنعامِ، والأثمانُ؛ وهي الذهب والفضَّة، وقِيَمُ عُروضِ التِّجارة، وهذه الثلاثة الحَوْلُ شرطٌ في وجوبِ زكاتِها. لا نعلم فيه خلافًا). ((المغني)) (2/467).

“(Untuk) hewan ternak yang berkategori saa-imah; emas dan perak; dan nilai barang perdagangan, haul merupakan syarat wajib zakat bagi ketiganya. Kami tidak mengetahui ada pendapat yang berbeda dalam hal ini.” (al-Mughni, 2: 467)

Dalam Bidayatul Mujtahid (1: 270), Ibnu Rusyd Rahimahullah menginformasikan bahwa syarat haul tersebut merupakan kesepakatan al-Khulafa ar-Rasyidin dan telah luas dipraktikkan di masa sahabat Radhiallahu ‘anhum. Keterangan Ibnu Rusyd tersebut didukung oleh riwayat Malik dari Abu Bakr ash-Shiddiq dan Utsman bin ‘Affan dalam al-Muwaththa’ no. 638, yang menetapkan pensyaratan haul.

Di masa ini, timbul persoalan baru terkait pensyaratan haul untuk kewajiban zakat, yaitu penggunaan kalender solar (kalender surya) dalam penentuan haul zakat. Hal ini karena dalam berbagai interaksi, mayoritas masyarakat telah bergantung pada penanggalan Masehi yang berpatokan pada kalender solar.

Apakah penentuan haul zakat diperbolehkan berpatokan pada kalender solar ataukah tetap wajib berpatokan pada kalender lunar yang terwujud dalam penanggalan Hijriyah?

Sekilas tentang kalender olar dan kalender lunar

Kalender solar adalah sistem penanggalan yang didasarkan atas revolusi bumi mengelilingi matahari [Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Kalender_surya].

Hal ini mengakibatkan tahun dalam kalender solar terbagi ke dalam empat musim, yaitu musim panas, musim dingin, musin semi, dan musim gugur, dimana dalam setahun terdiri dari sekitar 365,2422 hari. Adapun pembagian tahun dalam kalender solar menjadi beberapa bulan, hal itu merupakan kreasi sebagian bangsa yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Dari kalender solar inilah kemudian tercipta penanggalan Masehi. (at-Tarikh al-Hijriy, hlm. 22)

Adapun kalender lunar (as-sanah al-qamariyah) yang juga dikenal dengan al-haul al-qamariy merupakan sistem penanggalan yang didasarkan pada revolusi bulan yang mengelilingi bumi dan itulah yang menjadi sebab penetapan bulan-bulan dalam setahun. Waktu total revolusi bulan mengelilingi bumi merepresentasikan satu bulan dalam kalender lunar yang membutuhkan waktu sekitar 29,52 hari. Jumlah bulan dalam kalender lunar ini sebanyak 12 bulan, yang dalam penanggalan Hijriyah dikenal dengan 12 bulan Arab yang terkenal, dimulai dari bulan Muharram dan diakhiri dengan bulan Dzulhijjah. Berdasarkan hal itu, dalam kalender lunar, khususnya dalam penanggalan Hijriyah, terdapat 354,36 hari dalam setahun, yang jika dibandingkan dengan kalender solar terdapat selisih 10,88 hari. (at-Tarikh al-Hijriy, hlm. 23)

Dapat diperhatikan dari uraian di atas bahwa kalender lunar berpatokan pada pergerakan dan perputaran bulan di sekitar bumi dan tidak berkaitan dengan pergerakan bumi di sekitar matahari.

Kalender lunar adalah patokan dasar dalam penentuan waktu

Penentuan waktu dalam Islam berpatokan pada kalender lunar atau penanggalan Hijriyah, bukan berpatokan pada kalender solar atau penanggalan Masehi. Ibnu Taimiyah Rahimahullah menuturkan,

فجعل اللهُ الأهلَّةَ مواقيتَ للناس في الأحكام الثابتة بالشرع ابتداءً، أو سببًا من العبادة، وللأحكامِ التي تثبُتُ بشروط العَبدِ. فما ثبت من المؤقتاتِ بشرع أو شرط فالهلالُ ميقاتٌ له، وهذا يدخُلُ فيه الصيام والحجُّ، ومدةُ الإيلاءِ والعدَّة، وصومُ الكفَّارة… وكذلك صوم النذر وغيره. وكذلك الشروط من الأعمال المتعلِّقة بالثَّمن ودَين السَّلَم، والزَّكاة، والجِزية، والعقل، والخيار، والأيمان، وأجَل الصَّداق، ونجومُ الكتابة، والصُّلح عن القِصاص، وسائر ما يُؤجَّلُ منِ دَين وعَقدٍ وغيرهما

“Maka Allah menjadikan hilal (bulan sabit) sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia dalam hukum-hukum yang ditetapkan oleh syariat, baik sebagai permulaan suatu ibadah atau sebagai sebab suatu ibadah. Juga sebagai tanda-tanda waktu bagi hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan persyaratan manusia. Dengan demikian, setiap ketentuan waktu yang ditetapkan oleh syariat atau syarat, maka yang menjadi patokan adalah hilal. Hal ini mencakup ibadah puasa; haji; jangka waktu ilaa dan ‘iddah; dan puasa kaffarah … termasuk puasa nadzar dan selainnya. Demikian pula syarat-syarat dari aktifitas yang berkaitan dengan uang, utang salam, zakat, jizyah, pembatalan, khiyar, sumpah, utang mahar, pembebasan status budak dengan tebusan, perdamaian dalam qishash, dan seluruh perkara lain yang ditunda, baik berupa utang, akad, dan selainnya” (Majmu’ al-Fatawa, 25: 133, 134).

Dalil yang mendasari penggunaan kalender lunar

Hal ini didasarkan pada sejumlah dalil berikut:

Dalil pertama

Dalil-dalil agama menunjukkan kewajiban menggunakan penentuan waktu yang berdasarkan kalender lunar yang direpresentasikan dalam penanggalan Hijriyah dan bukan menggunakan kalender solar yang direpresentasikan dalam penanggalan Masehi.

Allah Ta’ala berfirman,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji” (QS. al-Baqarah: 189).

Pada ayat di atas, Allah Ta’ala menjadikan hilal sebagai tanda awal dan akhir bulan, sehingga hal ini berarti hilal merupakan tanda waktu, sebagaimana hitungan bulan itu tepat bila berpatokan pada kalender lunar karena terkait dengan hilal yang merupakan salah satu fase bulan.

Asy-Syafi’i Rahimahullah mengatakan,

فـأعلم الله تعالى بالأهلة جمل المواقيت… ولم يـجعل علماً لأهل الإسلام إلا بها، فمن أعلم بغيرها، فبغير مـا أعلم الله أعلم

“Maka Allah Ta’ala menjadikan hilal sebagai tanda bagi berbagai ketentuan waktu … Dia tidak menjadikan hal lain sebagai tanda-tanda waktu bagi kaum muslimin. Maka setiap orang yang menjadikan hal selain hilal sebagai tanda waktu, maka ia telah menjadikan hal lain yang tidak digunakan Allah sebagai tanda waktu.” (al-Umm, 3: 118)

Allah Ta’ala juga berfirman,

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ

“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)” (QS. Yunus: 5).

Pada ayat di atas, Allah Ta’ala menjadikan bilangan tahun dan perhitungan waktu berpatokan pada fase-fase bulan, dimana hal itu hanya bisa terwujud jika menggunakan bulan-bulan Hijriyah yang awal dan akhir bulannya diketahui berdasarkan pada rukyah hilal. (at-Tafsir al-Kabir, 16: 50)

Dalil kedua

Menghitung dan menggunakan kalender lunar sebagai patokan selaras dengan kelapangan, kemudahan, dan keuniversalan agama Islam. Karena penghitungan dan pengenalan terhadap hari dan bulan dalam kalender lunar (kalender Hijriyah) dapat dilakukan oleh setiap orang sehingga tidak membutuhkan bantuan seorang pakar.

Ibnu al-Qayyim Rahimahullah menuturkan,

ولذلك كان الحساب القمري أشهر وأعرف عند الأمم، وأبعد عن الغلط، وأصح للضبط من الحساب الشمسي، ويشترك فيه الناس دون الحساب الشمسي

“Oleh karena itu, penghitungan yang berpatokan pada kalender lunar lebih populer dan lebih terkenal di kalangan umat manusia; minim alat dan akurat daripada penghitungan yang berpatokan pada kalender solar. Setiap orang dapat menguasainya, berbeda dengan penghitungan kalender solar” (Miftaah Daar as-Sa’adah, 2: 272).

Dengan demikian, kalender lunar (kalender Hijriyah) sesuai untuk setiap orang, baik yang terpelajar maupun bodoh, penduduk kota maupun penduduk desa, di masa silam maupun masa modern, yang menegaskan berpatokan pada kalender lunar adalah sebuah keharusan, bukan berpatokan pada kalender solar. Hal ini dikarenakan kalender lunar memiliki karakteristik yang sesuai dengan karakteristik agama Islam, terlebih lagi kebutuhan masyarakat untuk berpatokan pada penghitungan yang bisa digunakan dalam kehidupan mereka dengan beragam tempat dan waktu hanya terwujud dengan menggunakan penanggalan Hijriyah yang berdasarkan kalender lunar. (at-Tarikh al-Hijriy, hlm. 52)

Menggunakan penanggalan masehi dalam menunaikan zakat

Al-Lajnah ad-Daimah Kerajaan Arab Saudi memfatwakan bahwa penanggalan yang menjadi patokan dalam menunaikan zakat adalah penanggalan Hijriyah dan bulan-bulan Qamariyah, bukan menggunakan penanggalan Masehi (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta, 9: 200, Fatwa no. 9410).

Agak berbeda dengan al-Lajnah ad-Damimah, Bait az-Zakat di Kuwait memang berpandangan bahwa dalam menunaikan zakat hendaknya berpatokan pada penanggalan Hijriyah (kalender lunar). Namun, jika hal itu sulit dilakukan, semisal karena keterkaitan anggaran perusahaan atau yayasan dengan penanggalan Masehi (kalender solar), maka dalam kondisi tersebut boleh menggunakan penanggalan Masehi (kalender solar) dalam menunaikan zakat. Dengan catatan besaran zakat bertambah menjadi 2,575% akibat adanya selisih hari antara penanggalan Masehi dan penanggalan Hijriyah. (Ahkam wa Fatawa az-Zakah wa ash-Shadaqat wa an-Nudzur wa al-Kaffarat tahun 1423 H)

Empat alasan tidak menggunakan penanggalan masehi Sebagai patokan

Jika diteliti, perbedaan di atas hanyalah perbedaan dalam redaksi kata, karena keduanya sama-sama sepakat tetap menggunakan penanggalan Hijriyah (kalender lunar) dalam menunaikan zakat. Bait az-Zakat Kuwait memang membolehkan penghitungan haul zakat berdasarkan penanggalan Masehi, tetapi dengan tetap menyetarakannya dengan penanggalan Hijriyah. Yaitu adanya tambahan pada besaran zakat sebagai kompensasi atas selisih hari yang terjadi ketika menggunakan penanggalan Masehi.

Bait az-Zakat Kuwait juga membatasi penggunaan penanggalan Masehi dalam menunaikan zakat jika memang sulit menggunakan penanggalan Hijriyah. Dengan demikian, pada dasarnya yang disepakati adalah menghitung haul zakat sesuai dengan penanggalan Hijriyah dan bukan berpatokan pada penanggalan Masehi. Hal itu dikarenakan sejumlah alasan berikut:

Alasan pertama

Dalil-dalil agama dan kutipan ulama yang menunjukkan kewajiban menggunakan penanggalan Hijriyah sebagai patokan dalam menunaikan zakat. Apalagi penanggalan Masehi merupakan kreasi umat sebelum datangnya Islam, yang bisa ditambah ataupun dikurangi, sehingga penanggalan ini tidak berpijak pada standar yang baku.

Alasan kedua

Telah ditetapkan bahwa tidak boleh menggunakan kalender solar yang direpresentasikan dalam penanggalan Masehi. Demikian pula, tidak boleh menghitung tanda-tanda waktu berdasarkan penanggalan tersebut, sehingga tidak boleh berpatokan pada penanggalan Masehi dalam menghitung haul zakat.

Alasan ketiga

Menggunakan kalender solar yang direpresentasikan dalam penanggalan Masehi sebagai patokan justru akan menyebabkan penunaian zakat tertunda selama kurang lebih 11 hari. Sehingga dalam rentang waktu sekitar 30 tahun, hal ini bisa mengakibatkan seorang muslim tidak menunaikan kewajiban zakatnya selama satu tahun penuh. Artinya semasa hidup mereka, jutaan kaum muslimin bisa melewatkan kewajiban menunaikan zakat sebanyak satu atau dua kali. Tentu saja hal ini merugikan kepentingan umat secara umum dan merugikan delapan pihak yang berhak menerima zakat secara khusus.

Alasan keempat

Berpatokan pada kalender solar mengakibatkan hilangnya tanggung jawab wajib zakat (muzakki) ketika harta belum mencapai nisab atau ketika wajib zakat wafat setelah haul penanggalan Hijriyah terpenuhi, sementara haul penanggalan Masehi belum terpenuhi. Artinya, jika menggunakan penanggalan Masehi, tanggung jawab wajib zakat untuk menunaikan zakat menjadi tidak ada dalam rentang waktu sekitar 11 hari yang merupakan selisih antara penanggalan Masehi dan penanggalan Hijriyah. Hal ini menimbulkan kerugian yang nyata dan menyia-nyiakan hak Allah dan hak hamba-Nya.

Apabila dalam menghitung haul zakat berdasarkan penanggalan Hijriyah terdapat kesulitan karena alasan yang logis, maka boleh menghitung haul zakat berdasarkan penanggalan Masehi berdasarkan pendapat yang membolehkan penundaan zakat karena adanya kebutuhan. Misalnya, kondisi yang dialami sebagian perusahaan yang membangun anggaran keuangan berdasarkan penanggalan Masehi. Perusahaan tersebut berpatokan pada penanggalan Masehi karena memiliki cabang-cabang perusahaan di luar negeri yang menggunakan penanggalan Masehi, dimana penanggalan itulah yang menjadi standar internasional. Patut diperhatikan bahwa hal ini dibolehkan dengan tetap memperhatikan sejumlah batasan berikut:

Pertama, keterkaitan zakat dengan tanggung jawab wajib zakat (muzakki) tetap mengacu pada kesempurnaan haul yang berdasarkan penanggalan Hijriyah. Artinya, apabila wajib zakat wafat setelah haul penanggalan Hijriyah tercapai, ia tetap wajib menunaikan zakat meskipun haul berdasarkan penanggalan Masehi belum tercapai. Dengan demikian, besaran zakat itu menjadi utang yang wajib ditunaikan dan dibayar dari harta peninggalannya sebelum dibagikan kepada ahli waris.

Kedua, wajib memperhitungkan selisih yang timbul dari penundaan penunaian zakat akibat menggunakan penanggalan Masehi. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam fatwa Bait az-Zakat Kuwait sebelumnya.

Demikian yang dapat disampaikan. Semoga bermanfaat.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Artikel: www.muslim.or.id

Catatan kaki:

Artikel ini disadur dari Nawazil az-Zakat Dirasah Fiqhiyah Ta-shiliyah li Mustajaddat az-Zakat, karya Dr. ‘Abdullah ibn Manshur al-Ghufailiy hlm. 81-88.

Berilah Kabar Gembira, Jangan Kau Takuti!

Rasulullah Saw telah di utus sebagai pemberi kabar gembira bagi para pengikutnya dan pemberi peringatan bagi musuh-musuhnya. Bahkan kedua tugas ini adalah termasuk tugas terpenting yang di emban oleh para Rasul.

وَمَا نُرۡسِلُ ٱلۡمُرۡسَلِينَ إِلَّا مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَۖ

“Para rasul yang Kami utus itu adalah untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan.” (QS.Al-An’am:48)

Dan dalam banyak ayat lainnya Allah Swt memerintahkan para utusan-Nya untuk memberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman, bersabar, berbuat baik dan sebagainya.

Kabar gembira itu membawa ketenangan hati, harapan dan semangat untuk terus berbuat baik.

Memberi kabar gembira adalah salah satu metode terbaik yang digunakan oleh Nabi Saw dan selalu ditekankan dalam Al-Qur’an. Beliau selalu memilih waktu yang tepat untuk memberi kabar gembira dan menasehati sahabat-sahabatnya. Semua itu dilakukan agar umat tidak lari dari agama.

Salah satu pesan dakwah yang disampaikan oleh Nabi Saw adalah :

يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا، بَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا

“Permudahlah, jangan kau persulit dan berilah kabar gembira, jangan kau takut-takuti.”

Rasulullah Saw menggunakan metode memberi kabar gembira untuk menumbuhkan semangat dalam menjalankan ketaatan. Karena manusia dalam kondisi terpuruk membutuhkan suntikan semangat dan kabar gembira tentang besarnya hadiah kesabaran yang akan dia dapatkan. Begitu pula ketika tertimpa musibah, seseorang butuh dorongan untuk menghapus kesedihannya dan memberinya semangat bahwa semua masalah pasti akan berlalu.

Sebagaimana Allah Swt memberi kabar gembira bagi mereka yang mau “menjual dirinya” untuk Allah di jalan dengan berjihad membela agama-Nya.

فَٱسۡتَبۡشِرُواْ بِبَيۡعِكُمُ ٱلَّذِي بَايَعۡتُم بِهِۦۚ وَذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ

“Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung.” (QS.At-Taubah:111)

Dan begitupula ketika Allah memberi kabar gembira bagi para wali-Nya yaitu orang-orang yang beriman dan bertakwa.

لَهُمُ ٱلۡبُشۡرَىٰ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِۚ لَا تَبۡدِيلَ لِكَلِمَٰتِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ

“Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Demikian itulah kemenangan yang agung.” (QS.Yunus:64)

Dan dalam sebuah kesempatan, Rasulullah Saw memberikan kabar gembira kepada mereka yang hanya menyembah Allah dan berpegang dengan kalimat Tauhid sepanjang hidupnya. Di dalam hati, dalam ucapan dan dalam amal perbuatannya.

“Aku berikan kabar gembira untuk kalian dan berilah kabar ini kepada orang-orang dibelakang kalian. Bahwa siapa yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dengan hati yang tulus maka ia akan masuk surga.”

Maka setiap mukmin harus selalu menebar kabar gembira kepada saudaranya untuk menumbuhkan jiwa mereka dan kecintaan mereka pada perbuatan baik. Agar setiap dari kita menjadi pemberi semangat dan kabar gembira bagi saudara kita masing-masing sehingga semangat untuk menuju kebaikan akan semakin berjalan.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Tafsir Al-Qur’an Mengenai Bijak dalam Membelanjakan Harta

Membelanjakan harta adalah suatu hal yang tidak terpisah dalam kehidupan setiap orang. Pasalnya masing-masing dari individu pasti memiliki kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Kebutuhan tersebut mencakup kebutuhan primer seperti sandang, pangan, dan papan, atau kebutuhan sekunder dan tertier seperti memiliki kendaraan dan rumah yang indah.

Ketiga kebutuhan tersebut pasti akan terus berusaha dipenuhi agar mereka dapat bertahan hidup dan atau memiliki taraf kehidupan yang layak, dengan cara membelanjakan harta yang mereka miliki.

Meski tujuan utama harta adalah untuk memenuhi hajat hidup manusia, namun faktanya seringkali manusia luput dalam membelanjakan harta yang ia miliki, sehingga menyebabkan malapetaka dalam kehidupannya sendiri, seperti membelanjakan harta untuk membeli barang terlarang yang dapat menjebloskan pada kasus pemidanaan. Lalu bagaimanakah sebenarnya cara yang bijak dan tepat dalam membelanjakan harta sesuai tuntuan al-Qur’an?

Cara Membelanjakan Harta dalam Al-Qur’an

Sebagai agama yang sempurna, Allah telah menjelaskan tuntunan pada seluruh lini kehidupan dalam syariat yang Ia turunkan, tak terkecuali tentang bagaimana cara membelanjakan harta yang telah Allah jelaskan dalam al-Qur’an surat Al-Isra’ ayat 29 Allah menegaskan

وَ لَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً اِلَى عُنُقِكَ فَتَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَذَرُواهَا كَالْمُعَلَّقَة

Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu, dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya, maka kemudian engkau akan menjadi tercela dan menyesal

Dalam ayat di atas Allah mengibaratkan pembelanjaan harta dengan dua buah tangan, di mana jika tangan tersebut terbelenggu pada leher seseorang, maka ia akan tercekek kesakitan, begitupun sebaliknya, jika ia mengulurkan tangannya secara berlebihan maka ia akan kehilangan semua yang ada dalam genggamannya.

Dari gambaran tersebut dapat dipahami bahwa syariat memerintahkan seluruh penganutnya agar selalu menjaga keseimbangan dalam pembelanjaan harta yang ia miliki, agar harta tersebut dapat menjadi salah satu jalan baginya untuk meraih kehidupan yang bahagia di dunia maupun di akhirat kelak.

Selain ayat di atas Syari’ (Allah) menjelaskan secara eksplisit cara ideal membelanjakan harta dalam surat Al-Furqan ayat 67 yang berbunyi:

وَالَّذِينَ اِذَا اَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَ كَانَ بَيْنَ ذَالِكَ قَوَامًا

Dan orang-orang (hamba Allah) apabila membelanjakan (harta) tidak berlebihan dan tidak pula kikir, dan (pebelanjaan tersebut) di tengah-tengah antara yang demikian

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa hamba-hamba Allah yang baik adalah mereka yang tidak israf (berlebih-lebihan), dan tidak taqtir (kikir) dalam membelanjakan hartnya. Dalam memaknai kata israf dan taqtir para ahli tafsir memiliki beberapa pandangan, salah satunya dikemukakan oleh Syaikh Abdurrahman Al-Jaili bahwa berlebih-lebihan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah setiap pembelanjaan harta pada selain jalan Allah, sedangkan kikir yang dimaksud adalah mencegah pembelanjaan harta di jalan Allah (dengan tidak menjalankan kewajiban). (Muhammad Yusuf Abu Hayyan Al-Andalusy, Al-Bharul Muhith, vol.6, h.436, Dar Al-Kutub Al-Alamiyyah).

Tafsiran yang berbeda datang dari Imam Ibn Katsir yang menyampaikan dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan israf dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang jika membelanjakan harta dengan cara menghambur-hamburkan dan melebihi dari kadar yang dibutuhkan, sedangkan orang yang taqtir menurut beliau adalah orang-orang yang memangkas pembelanjaan harta sehingga kebutuhannya sendiri saja tidak tercukupi.)  Imam Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’anil Adzim, vol.5, h.608, Dar Ibn Jauzy)

Lebih lanjut pandangan kedua ahli tafsir di atas tentang orang yang berlebih-lebihan dapat dikompromikan dalam satu definisi yang disebut dengan tabdzir/mubaddzzir, yankni orang yang membelanjakan hartanya secara berlebihan, membelanjakan dalam keburukan, dan atau membelanjakan harta tidak dengan cara yang hak dan benar.

Tiga Kelompok Umat dalam Membelanjakan Harta

Dari cara pembelanjaan harta di atas, setidaknya umat muslim dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yakni

  1. Muqtir adalah orang yang sangat pelit baik terhadap kewajiban yang telah Allah fardukan, atau pelit terhadap diri sendiri sehingga tidak mencukupi kebutuhannya atau orang yang wajib dinafkahi.
  2. Mubadzir/musrif adalah orang yang berlebih-lebihan atau berfoya-foya di luar kadar kebutuhannya.
  3. Mutawassit adalah orang yang tengah-tengah, yang menjalankan kewajiban penunaian kewajiban harta yang telah difardukan, mencukupi kebutuhan diri dan orang yang wajib dinafkahi, serta tidak berlebih-lebihan dan berfoya-foya.

Dari tiga golongan yang telah disebutkan tentu golongan yang ketigalah yang sesuai dengan tuntunan syariat Islam, sebagaimana yang disampaikan Allah dalam firmannya dengan ungkapan “qawamun” atau tengah-tengah antara sifat boros, dan kikir.

Sehingga hemat penulis sangat tepatlah jika seseorang hanya membelanjakan hartanya untuk sekedar menutupi rasa lapar, atau membeli pakaian untuk sekedar menutup aurotnya, tanpa harus disertai sikap berfoya-foya sebab sebaik-baiknya sebuah perkara adalah pertengahannya.

BINCANG SYARIAH

Makna Kejujuran dan Pelaksanaannya dalam Kehidupan

Apa makna dari kejujuran dan bagaimana pelaksaannya dalam kehidupan sehari-hari?

Dalam bahasa Arab, kata jujur semakna dengan assidqu atau siddiq yang berarti benar, nyata, atau berkata benar. Lawan kata ini adalah dusta.

Secara istilah, jujur atau as-sidqu memiliki tiga makna. Pertama, kesesuaian antara ucapan dan perbuatan.

Kedua, kesesuaian antara informasi dan kenyataan. Ketiga, ketegasan dan kemantapan hati dan keempat, sesuatu yang baik yang tidak dicampuri kedustaan.

Imam al-Ghazali membagi sifat jujur atau benar (shiddiq) sebagai berikut:

Pertama, jujur dalam niat atau berkehendak, yakni tak ada dorongan bagi seseorang dalam segala tindakan dan gerakannya selain dorongan karena Allah Swt. semata.

Kedua, jujur dalam perkataan atau lisan, yakni sesuainya berita yang diterima dengan yang disampaikan. Setiap orang harus mampu memelihara perkataannya. Ia tidak berkata kecuali dengan jujur.

Barangsiapa yang menjaga lidah dengan cara selalu menyampaikan berita yang sesuai dengan fakta yang sebenarnya, maka ia termasuk jujur jenis ini. Menepati janji termasuk jujur jenis ini.

Ketiga, jujur dalam perbuatan atau amaliah. Artinya adalah beramal dengan sungguh-sungguh sehingga perbuatan żahirnya tidak menunjukkan sesuatu yang ada dalam batinnya dan menjadi tabiat bagi dirinya.

Kejujuran adalah fondasi atas tegaknya suatu nilai-nilai kebenaran, sebab jujur identik dengan kebenaran.

Allah Swt. berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah Swt. dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (Q.S. al-Ahzāb (33):70)

Orang yang beriman perkataannya harus sesuai dengan perbuatannya karena sangat berdosa besar bagi orang-orang yang tidak mampu menyesuaikan perkataannya dengan perbuatan, atau berbeda apa yang di lidah dan apa yang diperbuat.

Allah Swt. berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apaapa yang tidak kamu kerjakan.” (Q.S. aś-Śaff/61:2-3)

Pesan moral dari dua ayat tersebut adalah memerintahkan satunya perkataan dengan perbuatan. Dosa besar di sisi Allah Swt., mengucapkan sesuatu yang tidak disertai dengan perbuatannya.

Perilaku jujur mampu menghantarkan pelakunya menuju kesuksesan dunia dan akhirat. Bahkan, sifat jujur adalah sifat yang wajib dimiliki oleh setiap Nabi dan Rasul-Nya.

Artinya, orang-orang yang selalu istiqamah atau konsisten mempertahankan kejujuran, sesungguhnya ia telah memiliki separuh dari sifat kenabian.

Jujur, sikap yang tulus dalam melaksanakan sesuatu yang diamanatkan, baik berupa harta atau tanggung jawab. Orang yang melaksanakan amanat disebut al-Amin, yakni orang yang terpercaya, jujur, dan setia.

Nama Al-Amin diberikan sebab segala sesuatu yang diamanatkan kepadanya menjadi aman dan terjamin dari segala bentuk gangguan, baik yang datang dari dirinya sendiri atau dari orang lain.

Sifat jujur dan terpercaya adalah hal yang sangat penting dalam segala aspek kehidupan, seperti dalam kehidupan rumah tangga, perniagaan, perusahaan, dan hidup bermasyarakat.

Salah satu faktor yang menyebabkan Nabi Muhammad Saw. berhasil dalam membangun masyarakat Islam adalah adanya sifat-sifat dan akhlak yang sangat terpuji.

Salah satu sifat Rasulullah Saw. yang menonjol adalah kejujurannya sejak masa kecil sampai akhir hayatnya. Konsistensi tersebut membuat ia mendapat gelar al-Amin yakni orang yang dapat dipercaya atau jujur.

Kejujuran akan mengantarkan seseorang meraih cinta kasih dan keridaan Allah Swt. Sementara, kebohongan adalah kejahatan yang menjadi faktor terkuat dan mendorong seseorang berbuat kemunkaran, lalu menjerumuskannya ke jurang neraka.

Kejujuran adalah sumber keberhasilan, kebahagian, serta ketenteraman yang harus dimiliki oleh setiap Muslim.

Seorang Muslim bahkan wajib menanamkan nilai kejujuran pada anak-anaknya sejak dini sampai menjadi generasi yang meraih sukses dalam kehidupan.[]

BINCANG SYARIAH

Estafeta Dakwah Nabi ﷺ

Rabiul Awwal adalah bulan istimewa dalam perjalanan sejarah Islam dan manusia. Di bulan tersebut lahir seorang manusia penuh cinta dan kasih sayang. Seorang nabi pilihan di akhir zaman, pempurna ajaran-ajaran nabi sebelumnya. Kelahirannya dinanti oleh semua makhluk dan  para ahlul kitab yang faham akan kehadirannya. Lahir di kota suci, tempat baitullah dan Nabi Ismail berada. Dan, hadir di saat manusia diliputi kejahiliyahan.

Tumbuh berkembang di antara orang-orang penuh cinta dan perjuangan. Disusui wanita dari lingkungan Bani Sa’ad yaitu Halimah as-Sa’diyah. Sempat diasuh ibundanya, Aminah, yang penuh kasih sayang dan kesabaran. Dan, wafatnya ibunda Aminah melengkapi perjuangan Nabi Muhammad muda, hingga sang kakek pun Abdul Mutholib turut mengasuh.

Bersama Abdul Mutholib Nabi Muhammad belajar kedermawanan, menjadi pelayan para tamu Allah di Masjidil Haram. Setelah sang kakek meninggal, pengasuhan beralih kepada Abu Thalib, paman yang sangat mencintainya. Beliau yang paling lama dan banyak memberikan pengaruh kepada Nabi Muhammad terkait kepemimpinan, kemandirian, dan perniagaan.

Nabi ﷺ sangat dikenal oleh penduduk Makkah, sebelum dan setelah mengemban tugas kenabian. Sebelum menjadi Nabi, beliau terlibat banyak peristiwa penting di Makkah. Dua diantaranya perihal Hilful Fudhul (perjanjian kebaikan) dan peristiwa peletakan Hajar Aswad.

Perjanjian Hilful Fudhul, saat seorang pedagang yang merasa dirugikan akibat barang dagangannya yang tidak dibayar oleh sang pembeli. Inilah yang menggerakkan Nabi ﷺ untuk mengajak para pemuka Quraisy menuntut sang pembeli agar mau membayar barang dagangan yang telah diambil. Kemudian dibuat perjanjian kebaikan agar setiap kewajiban ditunaikan dan hak diberikan, yang kemudian dikenal dengan Hilful Fudhul.

Peristiwa berikutnya terjadi ketika Ka’bah mengalami renovasi. Para pemuka dari setiap kabilah di Quraisy merasa berhak untuk meletakkan kembali hajar Aswad ke tempatnya semula. Hal ini menimbulkan keributan dan hampir terjadi perang di antara sesama suku Quraisy.

Hingga akhirnya seorang di antara mereka mengusulkan agar keputusan diberikan kepada siapapun yang masuk ke Masjidil Haram di saat para pemuka berada di dalam.  Dan, yang hadir adalah sosok yang tepat, pemuda yang jujur, berakhlak mulia dan bukan salah satu di antara kabilah yang sedang berebut, yaitu Nabi Muhammad.

Nabi Muhammad memutuskan dengan meletakkan dan melebarkan kain sorbannya. Lalu, Hajar Aswad diletakkan di atas kain. Setelah itu, beliau meminta para pemuka Quraisy mengangkat Hajar Aswad secara bersama.

Setelah dekat, Nabi meletakkannya di tempatnya. Keputusan ini diterima para pemuka Quraisy yang tadinya bersitegang. Pasca Bi’tsah Nubuwah (penetapan Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul), tugas beliau semakin berat dan besar. Nabi ﷺ berusaha menggerakkan orang-orang terdekat untuk terlibat dalam proses dakwah Islam. Seperti Khadijah istri Nabi, Ali bin Abi Thalib sepupunya, Zaid bin Haritsah anak angkatnya, dan Abu Bakar sahabat terdekat. Mereka dikenal as-sabiqunal awwalun yang membantu pergerakan dan penyebaran dakwah Islam. Hingga pada puncaknya dakwah dikekang, dan akhirnya diperintahkan untuk hijrah ke Madinah.

Rabiul Awwal kembali menjadi penting, karena di bulan ini Rasul dan Abu Bakar sampai di Kota Madinah untuk hijrah. Setelah melewati perjuangan dan pengejaran kafir Quraisy, Nabi pun mengawali perjuangan dakwah di Madinah. Peristiwa hijrah ini merupakan tonggak awal sejarah berdirinya kekuatan dan pemerintahan Islam pertama.

Dari Madinah penyebaran wilayah Islam meluas khususnya wilayah Jazirah Arab. Di masa Khulafaurrasyidin dan pemerintahan Daulah Bani Umayyah, Abbasiyah hingga Turki Utsmani melanjutkan penyebaran Islam hingga dua pertiga adalah kekuasaan Islam.

Tugas Mabi ﷺ berakhir di bulan Rabiul Awwal tahun sebelas Hijriyah, beliau wafat diusia 63 tahun. Bulan yang menjadi kesedihan mendalam bagi para sahabat, sekaligus sebagai babak baru pemerintahan Islam. Di mana Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib menjadi sosok pemimpin pelanjut pemerintahan Islam.

Perjalanan dan pertumbuhan Islam tidak pernah jauh dari da’i dan penggerak awal yaitu Nabi ﷺ. Beliau adalah sosok saleh yang dapat menggerakan orang lain menjadi saleh dan bertugas mensalehkan orang lain. Dilanjutkan, tidak terputus para penggerak kebaikan ini, dan terus melanjutkan estafeta dakwah Islam sampai akhir zaman. Mereka para da’i, ulama, dan guru yang terus mengajarkan dan menjadi teladan yang menggerakan umat untuk beramal shaleh, mengajak pada jalan yang benar dan mencegah kemungkaran.

Semoga Allah membimbing kita kaum Muslimin agar menjadi bagian dari orang-orang yang melanjutkan estafeta dakwah Nabi ﷺ. Amin.*/ Firdauspengurus Korps Mubaligh Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

HIDAYATULLAH

Segerakan Tobat, Agar Lebih Terhormat!

“Hidupku sudah bergelimang dosa dan maksiat, lebih baik aku jalani saja apa adanya, “
demikian sering kita dengar dari sebagian para pelaku maksiat.

Banyak para pelaku maksiat merasakan hidup seperti memakan buah simalakama. Dimakan kena gak dimakan tetap juga kena. Akhirnya, mereka tetap berkatifitas dan melakukan kemaksiatan dan keburukan. Contoh seperti ini sesungguhnya sebuah gambaran orang-orang yang putus harapan. Seolah hidupnya sudah tidak berarti lagi.

Tak sedikit orang-orang yang sudah berusia lanjut bergaya bak anak muda. Umur sudah mendekati ajal, namun gaya tak ketulungan. Meski sudah keriput, maksiat tetap tak surut. Rambut dikuncir, telinga pakai anting, dan semua tangannya pakai tato. Tua-tua keladi, ujar pepatah. Makin tua makin menjadi-jadi. Bukan insyaf tapi malah terus bermaksiat.

Sebaliknya, jika yang tua makin menjadi-jadi, yang muda justru tak memiliki hati. Mereka tahu apa yang dilakukan itu kurang baik dan merugikan, tetap saja menutup mata dan hatinya hanya untuk terus memperkokoh dahaga nafsunya. “Muda Foya-foya, Tua Kaya-raya, Mati masuk Surga, “. Slogan ini awalnya hanya gurauan yang ditempel di stiker-stiker bahkan digunakan jadi T-Sirt. Namun, sesungguhnya saat ini banyak dijadikan modal dan spirit kaum muda.

Dengan memasuki masa remaja, mereka seolah punya tiket untuk bisa bersenang-senang dan berbuat apasaja. Dan seringkali pula para orangtua memberikan legitimasi. “Mumpung masih muda, berbuatlah sesukamu,” begitu katanya.
Bagaimana mungkin, hanya dengan foya-foya, tanpa amalan sholeh orang bisa masuk surga? sungguh sangatlah mustahil.

Banyak orang mengaku sulit untuk melakukan kebaikan. Karenanya ia merasa akan terus berbuat keburukan dan bermaksiat. “Ya, saya sudah tahu ini keliru, tapi masih belum siap melakukannya, “ bagitu jawabnya.

Padahal, memulai kebaikan tidak perlu menunggu waktu dan tidak perlu menunggu orang banyak. Cukup mulailah dari hati dan niatkan. Jika masih malu dilihat orang, bersembunyilah untuk melakukan kebaikan sampai suatu saat siap waktunya. Sebab, tanpa memulai rasanya mustahil. Seharusnya, para pelaku kebaikan memegang prinstip, “Kalau bisa dimulai saat ini, kenapa harus menunggu sampai nanti?. Sebab, belum tentu esok hari umur kita masih ada.”

Rasulullah sangat berhati-hati dalam masalah ini. Beliau mengingatkan arti penting memanfaatkan waktu yang dimiliki tiap manusia, bahkan di saat manusia menginjak usia belia.

Dalam haditsnya, Rasulullah mengatakan, “Wahai remaja, peliharalah (perintah) Allah, niscaya Allah akan menjaga kamu, peliharalah (hukum-hukam) Allah niscaya Allah akan bersama kamu, jika kamu memohon sesuatu maka mohonlah kepada Allah”. [Hadis Hasan Sahih riwayat Imam Tarmizi]

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara : [1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, [2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, [3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, [4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, [5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir)

Rasulullah juga bersabda, “ Sekali-kali tidak akan beranjak kedua kaki seorang hamba (manusia) pada Hari Kiamat nanti sehingga kepadanya ditanya tentang empat perkara: Pertama, kemana umurnya dia habiskan. Kedua, ke mana masa mudanya dia pergunakan. Ketiga, ke mana harta-bendanya ia belanjakan. Keempat, ke mana ilmunya diamalkan.” [al-hadits]

Bertaubatlah

Kini, mumpung masih ada waktu, marilah di setiap kita bertanya pada diri sendiri. Akan ke mana setelah ini? Dan apa amal kita yang akan kita bawa nanti saat menghadap kepada Allah SWT?

Islam tak pernah menganggap taubat sebagai langkah terlambat. Kapanpun kesadaran itu muncul, Allah tetap menerimanya, selama nafas masih menempel di badan. Hisab (perhitungan) akan amal-amal buruk kita di mata Allah akan segera terhapus dengan taubat kita yang sungguh-sungguh (taubatan nasuha).

Kata Nabi, “Siapa yang bertobat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima taubat dan memaafkannya.” (H.R. Muslim)

Hanya saja dalam Islam, menyangkut taubat ada kaidah dan adab-adabnya. Secara terminologis, taubat mencakup tiga syarat: Pertama, meninggalkan perbuatan dosa. Kedua, menyesali perbuatan yang telah dilakukannya. Ketiga, bertekad tidak akan melakukannya kembali.

Taubat adalah sebuah kata yang sangat sederhana, akan tetapi tindakan ke arahnya bukanlah pekerjaan yang mudah. Banyak orang yang menginginkan segera mengakhiri segala tindak dosanya, akan tetapi akibat balutan nodanya demikian pekat, selalu saja mengalami kegagalan untuk bertaubat. Hanya mereka yang punya tekad kuat dan yang dapat petunjuk dari Allah yang segera melangkahkan kaki menuju taubat.

Setiap manusia, pada dasarnya tidak akan terlepas dari perbuatan dosa. Sayangnya terkadang –di antara tumpukan dosa itu—seseorang merasa bahwa semuanya sudah terlambat untuk dibersihkan atau dihilangkan.

Perasaan seperti ini jelas keliru. Hal itu termasuk Al Khabair, yakni satu di antara puluhan dosa besar, yakni berputus asa dari rahmat Allah SWT.

Jangan sampai hal seperti ini dibiarkan terus.Syetan akan memanfaatkan kondisi setengah putus asa hingga bener-benar putus asa seperti ini, untuk terus mendorong kita semakin terjerumus dalam bujuk rayunya.

Allah SWt berfirman,” …dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan; karena sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS.Al Baqarah: 168). Lebih lanjut Allah menjelaskan: “Barangsiapa yang mengikuti langkah-lanngkah syetan, maka sesungguhnya syetan itu menyuruh mengerjakan yang keji dan yang munkar.” (QS.24: 21)

Sebagai akibat dari sikap mengikuti syetan ini, kemudian melahirkan sikap lain, yaitu: “ semuanya sudah terlanjur atau nasi sudah menjadi bubur” dan perasaan lain seolah semua dosanya itu tidak akan ada lagi ampunan. Orang yang membiarkan dirinya ada dalam suasana seperti ini akan terus tercampakkan dalam perbuatan dosa dan kemaksiatan yang semakin jauh dan dalam. Tentu sikap seperti ini berakibat fatal bagi individu yang bersangkutan.

Dengan disyari’atkannya prinsip taubat, maka dapat dijelaskan bahwa syariat taubat merupakan bentuk rahmat Allah yang tak terhingga untuk ummat manusia. Al-Qur’an menjelaskan keutamaan taubat ini. Agar jiwa manusia kembali kepada jalan kesucian.

Dengan sadar dirinya sedang berburu dengan waktu dan usia, maka orang yang bertaubat secara benar dan sadar (taubatan nashuha), akan mengisi hidupnya dari kebaikan ke kebaikan. Ketika jalan itu sudah dipilih kemudian tergelincir (kembali) dalam perbuatan dosa, maka dia juga segera kembali jalan Allah.

Karenanya, tak ada alasan lagi untuk kembali ke hadapan Nya dengan penuh permohonan ampun. Sebab, ampunan Allah maha luas, tak peduli seberapa besar dan beratnya dosa yang dimiliki manusia.

Ibaratnya, jika seseorang telah melakukan kemaksiatan seluas lautan, maka ampunan Allah melebih luas langit dan bumi.

“Dan bersegeralah menuju ampunan Tuhanmu dan Surga yang luasnya seluas langit danbumi, disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Ali Imran:133)

Semoga kita termasuk orang-orang mampu menyesali masa lalu yang buruk dan menjadi ahli taubat. Amin ya Robbal ‘alamiin.[atw/cha/hidayatullah.com]

HIDAYATULLAH

Adab dan Metode Menyampaikan Nasihat (Bagian 1)

Menyampaikan nasihat adalah bagian dari kerja dakwah. Dalam berdakwah, tidak boleh ada yang ditutup-tutupi atau disembunyikan.

Semua kebenaran harus disampaikan, meski mungkin akan berdampak buruk bagi yang menyampaikan.

Semua pekerjaan harus dikerjakan dengan cara yang terbaik, sama halnya dalam pelaksanaan dakwah.

Memberikan nasihat kepada orang lain mesti memperhatikan banyak aspek. Hal paling utama yang mesti diperhatikan adalah objek dakwah yakni orang yang akan diberi nasihat.

Orang yang akan dinasihati adalah manusia yang memiliki beragam adat, budaya, kecenderungan, pengetahuan, dan latar belakang sosial lainnya.

Semua hal yang melekat membuat manusia menjadi makhluk unik yang mesti didekati dengan cara yang berbeda-beda pula.

Oleh sebab itu, untuk mengoptimalkan hasil dakwah dan meminimalisasi dampak buruknya, perlu diperhatikan adab berikut ini:

Pertama, nasihat disampaikan dengan cara santun dan lemah lembut.

Dalam banyak ayat di Al-Qur’an, Allah Swt. mengajarkan hambaNya bagaimana menyampaikan dakwah atau nasihat kepada orang lain dengan cara santun dan lemah lembut, di antaranya dalam ayat berikut:

”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…” (Q.S. Ali Imran (3):159)

Ayat di atas menunjukan bahwa dalam memberikan nasihat, seorang Muslim tidak perlu berlaku kasar, egois, sok tahu, merasa paling benar, apalagi memojokkan.

Sebab, mereka pasti tidak akan bersimpati kepada kita bahkan tidak mau lagi menggubris nasihat kita.

Terkait strategi dakwah, ada ayat yang menjelaskannya.

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. An-Nahl (16): 125).

Dalam ayat di atas terdapat beberapa adab bertausiyah atau berdakwah yakni disampaikan dengan hikmah (bijak); jika berbentuk nasihat lisan, hendaknya disampaikan dengan cara yang baik; jika harus bertukar argumen (debat, diskusi, atau dialog), dan hendaknya dilakukan dengan cara terbaik.

Kedua, menghargai perbedaan.

Saat kita bertukar argumen dengan orang yang kita nasihati, kemudian tidak terjadi titik temu, hargai pendapat mereka, dan tidak semestinya kita memaksa mereka untuk tunduk kepada pendapat dan ajakan kita.

Dakwah adalah mengajak dengan cara santun, bukan memaksa, karena Rasulullah pun dilarang memaksa, seperti yang tercermin dalam ayat berikut:

“Kamu bukanlah seorang pemaksa bagi mereka” (Q.S. alGhasyiyah/88:22).

Ketiga, memperhatikan tingkat pendidikan.

Tingkat pendidikan dan kemampuan berpikir objek dakwah harus menjadi pertimbangan dalam menyampaikan dakwah billisan, Rasulullah bersabda:

“Berbicaralah dengan manusia sesuai dengan kadar akal (daya pikir) mereka”(H.R. Dailami).

Keempat, menggunakan bahasa yang sesuai.

Bahasa yang digunakan hendaknya bahasa yang dapat dipahami dan sesuai dengan tingkat intelektual objek dakwah.

Ketika berbicara di hadapan kalangan masyarakat awam, gunakan bahasa yang berbeda dengan yang digunakan untuk berceramah di hadapan kaum terpelajar, dan sebaliknya.

Kelima, memperhatikan budaya.

Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Pepatah itu diperlukan dalam dunia dakwah.

Seorang dai yang tidak menghargai budaya setempat, bukan saja sulit mendapat simpati, tetapi bisa jadi tidak punya kesempatan berdakwah lagi ketika masyarakat tersinggung dan merasa tidak dihargai budayanya.

Menghargai budaya bukan berarti melebur ke dalam kesesatan yang ada dalam sebuah masyarakat, akan tetapi berdakwah dengan cerdas dan cermat dalam memilih pendekatan dan cara.

Mengubah budaya yang mengandung kemungkaran harus tetap dilakukan, tetapi lagi-lagi adalah “cara” yang digunakan harus dipertimbangkan masak-masak.

Di sinilah para dai dituntut untuk memiliki wawasan seluas-luasnya supaya mampu menyikapi setiap permasalahan dengan santun dan bijak.

Keenam, memperhatikan tingkat sosial-ekonomi.

Kondisi ekonomi masyarakat kita berdakwah adalah hal yang harus diperhatikan oleh para dai.

Jika secara ekonomi masuk kategori mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) karena miskin, maka konten dakwah yang diberikan jangan didominasi materi tentang kewajiban zakat.

Konten dakwah yang mesti muncul adalah motivasi bagaimana agar zakat yang diterima dapat produktif dan selanjutnya tidak lagi menjadi mustahiq, tapi menjadi muzakki, orang yang mengeluarkan zakat sudah mandiri secara ekonomi.[]

BINCANG SYARIAH

Kemiripan Bekal Berhaji dengan Persiapan Menuju Kematian

Persiapkanlah semua keperluan yang ahsan (baik halal) harta ketika akan menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Begitupun persiapkanlah bekal berupa amal saleh agar mudah menuju perjalanan ke kampung akhirat. 

Syekh Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi, dalam kitabnya Fadilah Haji mengatakan, banyak sekali orang kaya yang diberi Allah SWT harta yang melimpah ruah yang sampai ke tanah Hijaz dengan cepat.

Setelah semua perbekalan siap orang itu calon jamaah haji diberikan paspornya tanpa pemeriksaan ketat. “Begitulah keadaannya jenazah yang mempunyai simpanan amal yang melimpah ruah,” katanya.

Jenazah itu tidak takut akan seluruh keadaan di dalam kubur. Karena dia tinggal di dalamnya dengan tenang seperti seorang pengantin sehingga massa yang panjang sampai hari kiamat akan berlalu untuknya dalam waktu beberapa menit atau beberapa jam saja. 

“Dia akan tidur di dalam kubur seperti sepasang pengantin yang tidur di atas ranjang dengan berselimut kain sutra dan selimut yang sangat halus pada malam pertama,” katanya. 

Jamaah haji harus mengingat ketika melihat dua helai kain ihram yang putih dibalutkan pada tubuh. Selalu bayangkan bahwa kain ihram ini merupakan kain kafan yang akan kita gunakan pergi ke alam kubur. 

“Lihatlah dengan pandangan ‘ibrah’ maka selama dia memakai pakaian ihram hendaknya ia ingat bahwa tubuhnya dibungkus dengan kain kafan putih dan ucapkanlah ‘Labbaik‘ (saya hadir). Pada saat ihram mengingat berlarian yang semua orang ketika mendengar suara orang malaikat yang menyeru pada hari kiamat,” katanya. 

Keadaan ini kata Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandahlawi, sesuai dengan surat Toha ayat 108 Allah SWT berfirman: 

يَوْمَئِذٍ يَتَّبِعُونَ الدَّاعِيَ لَا عِوَجَ لَهُ ۖ وَخَشَعَتِ الْأَصْوَاتُ لِلرَّحْمَٰنِ فَلَا تَسْمَعُ إِلَّا هَمْسًا “Pada hari itu manusia mengikuti (menuju kepada suara) penyeru dengan tidak berbelok-belok; dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Mahapemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja.”

Dan bayangkan ketika masuk ke Makkah seakan-akan kita masuk ke alam kubur. Di Makkah, ada harapan untuk mendapatkan rahmat Allah SWT karena Makkah adalah Darul Aman, akan tetapi, karena amal buruknya, orang hendaknya selalu merasa takut kalau-kalau di tempat yang aman pun ia tidak mendapatkan keamanan. “Jamaah haji yang tinggal di Makkah selalu memperbarui ingatan tentang harapan itu,” katanya.

Adanya Makkah sebagai tempat yang aman selalu mengingatkan kita kepada rahmat Allah. Ampunan karunia-Nya, dan pemberian-Nya. Dengan mengingat seluruh amal buruknya yang telah dia kerjakan semasa hidupnya maka dia akan teringat satu bait syair yang berbunyi. “Jika setelah mati tidak hidup tenang maka mau lari kemana.”

Dan ketika memandang Baitullah mengingatkan kita ketika melihat rumah al-Malik pada hari kiama. Dan karena Baitullah adalah tempat munculnya kehebatan, keagungan dan kebesaran Allah SWT hendaknya kita datang ke Baitullah dengan penuh adab sebagaimana menerapkan adab pada waktu hadir di istana raja. 

Tawaf di Baitullah mengingatkan tawafnya para malaikat di Arsy Mualla di mana mereka selalu mengerjakan tawaf di sana. Menangis dengan selimut kelambu Kabah dan menangis di Multazam adalah seperti perbuatan seorang yang bersalah kepada seorang tuan yang baik telah memenuhi segala keperluannya. 

“Dia menangis dengan memegang ujung bajunya supaya dimaafkan, dan menangis sambil memegang dinding Baitullah karena inilah satu-satunya jalan agar dosanya dimaafkan,” katanya. 

Dan ini juga merupakan gambaran menangis pada hari kiamat karena teringat akan dosa. Kemudian antara Safa dan Marwah mengingatkan ketika kita berlari kesana dan kemari pada hari Mahsyar. Allah SWT dalam Alquran surat Al-Qamar ayat 7:  

خُشَّعًا أَبْصَارُهُمْ يَخْرُجُونَ مِنَ الْأَجْدَاثِ كَأَنَّهُمْ جَرَادٌ مُنْتَشِرٌ

“Sambil menundukkan pandangan-pandangan mereka keluar dari kuburan seakan-akan mereka belalang yang beterbangan.”  

IHRAM

Saudi Cabut Larangan Perjalanan

Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi pada Ahad (3/1) pagi mengatakan telah mencabut larangan perjalanan sementara yang diberlakukan pada Desember lalu sebagai tindakan pencegahan karena adanya deteksi jenis Covid-19 baru di sejumlah negara. Pihak kementerian juga menyebut perjalanan yang memasuki Arab Saudi melalui udara, darat, dan laut akan dilanjutkan pada Ahad pukul 11.00 waktu setempat dalam sebuah pernyataan yang disiarkan oleh Saudi Press Agency (SPA).

Beberapa pembatasan dilakukan oleh pihak berwenang, termasuk meminta orang non-Saudi yang datang dari Inggris, Afrika Selatan, dan negara lain tempat varian baru Covid-19 terdeteksi agar tinggal setidaknya 14 hari dari negara-negara tersebut sebelum memasuki Saudi. Sementara warga negara Saudi yang diizinkan masuk dan berasal dari negara-negara tempat penyebaran varian Covid-19 baru, diharuskan tetap di rumah mereka selama 14 hari untuk observasi.

Kasus varian baru yang pertama kali terdeteksi di Inggris telah dilaporkan di negara-negara Eropa, termasuk Prancis, Swedia dan Spanyol. Selain di negara Eropa, varian itu juga telah terdeteksi di Afrika Selatan, Yordania, Kanada, dan Jepang. Arab Saudi telah mulai meluncurkan vaksin Covid-19, dimulai untuk mereka yang berisiko tinggi.

Dikutip Arab News, Ahad (3/1), Saudi mengalami penurunan yang stabil dalam jumlah kasus baru dan kematian akibat pandemi. Kementerian Kesehatan Arab Saudi pada Sabtu mencatat 101 kasus baru. Ini menjadi jumlah terendah dalam sembilan bulan dengan dua wilayah melaporkan tidak ada kasus.

Sebanyak 362.488 orang telah terjangkit Covid-19 sejak virus itu pertama kali terdeteksi di Wuhan, Cina pada Desember 2019 lalu. Dari total kasus tersebut, 2.772 kasus masih aktif dan 401 dalam kondisi kritis dan jumlah total kematian per 1 Januari adalah 6.230.

IHRAM

Keistimewaan para Rasul (Bag. 1)

Sesungguhnya para Rasul itu diberikan beberapa keistimewaan dari Allah Ta’ala sehingga membedakannya dari manusia yang lain. Beberapa keistimewaan tersebut antara lain:

Pertama, wahyu.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً

“Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa.” Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amal yang salih dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi [18]: 110)

Yang dimaksud dengan wahyu secara syar’i adalah informasi atau kabar berkaitan dengan syari’at. (Fathul Baari, 1: 12)

Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata,

“Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ayat yang mulia ini untuk mengatakan kepada manusia, “Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia semisal dengan kalian.” Maksudnya, aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa aku ini malaikat atau bukan jenis manusia. Bahkan, aku ini manusia semisal kalian. Maksudnya, sama-sama berasal dari jenis manusia. Akan tetapi, Allah Ta’ala memberikan aku kelebihan dan keistimewaan dengan memberikan wahyu kepadaku berupa tauhid dan syariat.” (Adhwaa’ul Bayaan, 3: 355)

Kedua, al-‘ishmah.

Yang dimaksud dengan al-‘ishmah (ke-ma’shum-an) adalah terjaga dari kesalahan dalam menyampaikan perkara agama.

Allah Ta’ala berfirman,

قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Katakanlah (hai orang-orang mu’min), “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 136)

Allah Ta’ala mewajibkan iman kepada ajaran yang dibawa oleh para Rasul. Seandainya mereka tidak ma’shum, niscaya Allah Ta’ala tidak akan mewajibkan hal tersebut. Tidak ada satu pun kaum muslimin yang memperdebatkan tentang kema’shuman para Rasul dalam menyampaikan wahyu yang berasal dari Allah Ta’ala.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

“Para Nabi -semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada mereka- itu ma’shum dalam perkara yang mereka beritakan dari Allah Ta’ala, juga dalam menyampaikan risalahnya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ Al-Fataawa, 10: 289)

Ketiga, matanya tertidur, namun hatinya tetap terjaga.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي

“Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya mataku tertidur, namun hatiku tidaklah tidur.” (HR. Bukhari no. 1147)

Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita tentang perjalanan malam isra’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari masjid Ka’bah (Masjidil Haram). Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

جَاءَهُ ثَلَاثَةُ نَفَرٍ قَبْلَ أَنْ يُوحَى إِلَيْهِ وَهُوَ نَائِمٌ فِي مَسْجِدِ الْحَرَامِ فَقَالَ أَوَّلُهُمْ أَيُّهُمْ هُوَ فَقَالَ أَوْسَطُهُمْ هُوَ خَيْرُهُمْ وَقَالَ آخِرُهُمْ خُذُوا خَيْرَهُمْ فَكَانَتْ تِلْكَ فَلَمْ يَرَهُمْ حَتَّى جَاءُوا لَيْلَةً أُخْرَى فِيمَا يَرَى قَلْبُهُ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَائِمَةٌ عَيْنَاهُ وَلَا يَنَامُ قَلْبُهُ وَكَذَلِكَ الْأَنْبِيَاءُ تَنَامُ أَعْيُنُهُمْ وَلَا تَنَامُ قُلُوبُهُمْ

“Ketika itu, beliau didatangi oleh tiga orang (malaikat) sebelum beliau diberi wahyu, saat sedang tertidur di Masjidil Haram. Malaikat pertama berkata, “Siapa orang ini di antara kaumnya?” Malaikat yang di tengah berkata, “Dia adalah orang yang terbaik di kalangan mereka.” Lalu malaikat yang ketiga berkata, “Ambillah yang terbaik dari mereka.” Dan beliau tidak pernah melihat mereka lagi hingga akhirnya mereka datang di malam yang lain berdasarkan penglihatan hati beliau. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam matanya tertidur, namun hatinya tidaklah tidur. Demikian pula para nabi (yang lain), mata mereka tidur namun hati mereka tidaklah tidur.” (HR. Bukhari no. 3570)

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata,

“Para Nabi ‘alaihis salaam itu mata mereka tidur, namun hati mereka tidaklah tidur. Oleh karena itu, mimpi para Nabi termasuk wahyu.” (Al-Istidzkaar, 1: 75)

Beliau rahimahullah juga berkata,

“Oleh karena itu, wallahu a’lam, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa mimpi para Nabi itu wahyu. Karena para Nabi itu terbedakan dari manusia lain yang hati mereka tidur, dan sama dengan manusia yang lain dalam hal mata yang tertidur. Seandainya tidur itu menguasai hati para Nabi, sebagaimana manusia yang lain, maka mimpi para Nabi akan sama statusnya dengan mimpi manusia yang lain. Allah Ta’ala memberikan kekhususan dengan keutamaan dari-Nya berupa keistimewaan (apa saja) yang Allah Ta’ala kehendaki.” (Al-Istidzkaar, 2: 101)

Keempat, para Nabi itu dimakamkan di tempat mereka meninggal.

Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

لَمَّا قُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اخْتَلَفُوا فِي دَفْنِهِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا مَا نَسِيتُهُ قَالَ مَا قَبَضَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُدْفَنَ فِيهِ ادْفِنُوهُ فِي مَوْضِعِ فِرَاشِهِ

“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal, para sahabat berselisih pendapat di mana akan memakamkan beliau. Abu Bakar berkata, “Aku telah mendengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuatu yang tidak aku lupakan, yaitu beliau bersabda, “Allah tidak mewafatkan seorang Nabi kecuali di tempat yang mana dia suka untuk dikubur pada tempat itu. Kuburkanlah beliau di tempat tidurnya.” (HR. Tirmidzi no. 1018, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Ini adalah kekhususan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula para Nabi yang lain. Oleh karena itu, para shahabat tidaklah memakamkan orang meninggal di antara mereka di rumahnya, akan tetapi mereka makamkan di pemakaman Baqi’. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memakamkan satu orang pun di rumahnya. Hal ini merupakan dalil bahwa memakamkan di rumah itu tidak diperbolehkan.

Kelima, Nabi diberikan pilihan antara dunia dan akhirat ketika sakit.

Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ نَبِيٍّ يَمْرَضُ إِلَّا خُيِّرَ بَيْنَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

“Tidaklah seorang nabi sakit kecuali akan diberi pilihan antara dunia dan akhirat.” (HR. Bukhari no. 4586)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id