“Kejahatan bisa datang dari keshalihan”. Demikian ungkap Umberto Eco dalam novelnya, The Name of the Rose.
Kalimat tersebut sempat tampil di Jawa Pos pada Jumat 27 Maret 2015 pada kolom Jati Diri. Tulisan tersebut menarik untuk disimak sekaligus dicermati, berkaitan dengan banyaknya fenomena kejahatan yang ditengarai pelakunya “anak shaleh”.
Tulisan Masdar Hilmy di Jawa Pos 27 Maret 2015 pada kolom opini yang berjudul Anak Muda di Tengah Pusaran Radikalisme, seakan mempertegas statement tersebut. Masdar menulis, keterlibatan kaum muda dalam pusaran ideologi radikalisme dan terorisme sudah mencapai level yang menghawatirkan.
Berbagai aksi kekerasan yang bernuasa ideologi radikalisme yang kebetulan diperagakan sebagian pemuda menjadi bukti di tengah masyarakat. Beberapa kasus yang ditengarai sebagai luapan aksi radikalisme seperti bom bunuh diri baik di dalam negeri ataupun luar negeri selalu melibatkan peran anak muda.
Penyesatan Opini
Sebuah ungkapan mengatakan “If you repeat a lie often enough, it becomes truth”. Jika anda mengulang suatu kebohongan cukup sering, maka kebohongan tersebut bisa menjadi kebenaran.
Maksud ungkapan diatas adalah, jika sebuah kebohongan atau keburukan selalu diulang-ulang, maka lama kelamaan akan diterima dan kelak kebohongan tersebut menjadi sebuah kebenaran. Begitupun sebaliknya, jika kebaikan atau kebenaran selalu dicitrakan buruk, selalu disiarkan negatif, maka lama kelamaan kebaikan tersebut dianggap keburukan.
Shalih yang sejatinya baik, tetapi bila terus disiarkan dan citrakan buruk, maka bukan tidak mungkin akan tercipta sebuah paradigma buruk pada kata shalih tersebut. Jadi anak yang dianggap shalih atau diindikasikan shalih, akan dijauhi masyarakat bahkan orang tuanya sendiri.
Ustad Budi Ashari,Lc mengatakan “para orang tua banyak yang khawatir begitu melihat anaknya berubah menjadi baik. Seorang ibu ketakutan melihat anaknya liburan dari pesantrennya. Karena melihat pakaian putrinya itu sangat rapi menutup aurat sesuai syariat Isalam. “apa anak saya sudah kerasukan pemikiran radikal?”
Para orang tua ketakutan apabila mendapati putrinya tiba-tiba memakai jilbab bila keluar rumah, membaca Al-Qur’an setiap hari di kamarnya, rajin puasa senin kamis, dan buah hatinya tidak mau berjabat tangan dengan sembarang pria karena alasan bukan muhrim. Dampaknya bukan orang tua saja yang khawatir anaknya menerapkan syariat Islam.
Kekhawatiran pun muncul di sekolah tempat anak menimba ilmu pengetahuan. Beberapa sekolah di tanah air sempat melarang siswinya menggunakan jilbab. seperti yang terjadi disebuah Sekolah Negeri di Bali pada November 2014.
Bentuk penghakiman seperti di atas sungguh sangat berbahaya. Ibarat virus, ia akan menggorogoti mind set masyarakat khususnya para orang tua. Hari ini mungkin pikiran para orang tua belum terpengaruh. Tetapi siapa yang menjamin di hari esok?
Bagaimanapun, pernyataan-pernyataan tidak produktif sepeti itu akan menghancurkanpertahanan positif thinking mereka pada ajaran agamanya sendiri, yaitu menjadi muslim sejati. Jika terus dibiarkan, maka suatu hari kita akan menemukan para orang tua lebih nyaman melihat anaknya menjauh dari masjid, memberi wejangan agar jauh dari kajian keislaman di sekolah dan kampus.
Karena melihat orang tuanya yang gamang seperti itu, maka anak pun mengambil jalan hidup sendiri yaitu bergaul tanpa batas, nongkrong di kafe dan pinggir jalan, tidak pernah alpa dan lupa di tempat maksiat. Perlu dicatat, anak yang berkubangan maksiat, penuh dosa tidak akan memberikan aura positif.
Bahkan tidak ada jaminan sepotong doa muncul dari bibir anak salah alias ahli maksiat. Anak seperti inikah yang kita inginkan? Tentunya tidak.
Memahami Makna Anak shaleh
Menurut arti kata, shalih adalah adalah taat dan sungguh-sungguh menjalankan ibadah. Sedangkan dalam buku Golden Ways Anak Sholeh, karangan Zainal Abidin bin Syamsuddin, mendefinisikan, anak shalih adalah dambaan hati, kebanggan dan simpanan berharga bagi orang tua, tempat berkeluh kesah disaat usia senja, tempat berbagi duka dikala nestapa, dan tempat bertumpunya harapan orang tua di masa yang akan datang setelah harapan kepada Allah Ta’ala.
Hanya anak shalih-lah, sambungnya, yang akan bisa mencurahkan pikiran, tenaga, harta dan waktu untuk merawat dan menjaga orang tua selagi hayat masih dikandung badan. Sebaliknya, tidak ada orang tua yang mengharapkan anak salah atau durhaka. Para orang tua tidak menghendaki anaknya justru menjadi musuh baginya.
“Perbedaan anak salah dan shaleh/at jelas terlihat. Anak salah tetaplah salah dalam semua aspek”
Sebagaimana dalan Al-Qur’an, At-Taghabun:14
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّ مِنْ أَزْوَٰجِكُمْ وَأَوْلَٰدِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَٱحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِن تَعْفُوا۟ وَتَصْفَحُوا۟ وَتَغْفِرُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Hai orang-orang yang mukmin, sesungguhnya diantara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi mush bagimu. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.” (QS: at-taghabun:14).
Anak Shaleh Dambaan Orang Tua
Mempunyai anak shaleh, orang tua mana yang tidak ingin. Anak shalih akan senantiasa mengalirkan kebaikan kepada orang tuanya, meskipun keduanya telah tiada.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu Nabi bersabda;
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Ketika seorang manusia meninggal, maka putuslah amalannya darinya kecuali dari tiga hal, (yaitu) sedekah (amal) jariyah, atau ilmu yang dimanfaatkan, dan anak shalih yang mendoakannya.” (HR: Abu Hurairah).
Di akhirat kelak, derajat orang tuanya bisa terangkat berkat istighfar anaknya shalihnya. Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِيْ الْجَنَّةِ فَيَقُوْلُ : يَا رَبِّ أَنىَّ لِيْ هَذِهِ ؟ فَيَقُوْلُ : بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ
“Sungguh, Allah benar-benar mengangkat derajat seorang hamba-Nya yang shaleh di Surga,”Maka ia pun bertanya: “Wahai Rabbku, bagaimana ini bisa terjadi?” Allah menjawab: “Berkat istighfar anakmu bagi dirimu”. (HR. Ahmad, no. 10232).
Siapapun orang tua yang sadar dan beriman, pasti mendambakan doa buah hatinya. Dan anak yang bisa mendoakan orang tuanya hanyalah anak shalih. Sekali lagi, hanya anak shalih lah yang bisa memohon kepada Rabnya agar sekiranya Allah Ta’ala mengasihi orang orang tuanya, sebagaimana dia dikasihi orang tuanya sewaktu kecil. Sebagaimana firman Allah swt dalam Al-Qur’an, surat Al Isra’:24 :
“Dan ucapkanlah, wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagai mereka telah mendidik aku waktu kecil.”
Sebagai penghujung tulisan, perbedaan anak salah dan shaleh jelas terlihat. Anak salah tetaplah salah dalam semua aspek.
Ia yang salah, tidak akan pernah memberikan dampak kebaikan pada orang tuanya, masyarakat dan juga agamanya. Islam tidak pernah menyuruh orang tua melahirkan anak salah, keberadaannya hanya membuat tatanan kehidupan semakin buruk.
Sebaliknya anak shaleh adalah anak yang selalu menenteskan kebaikan dimanapun ia berada. Ia akan dibanggakan dan dicintai orang tuanya, masyarakatnya dan juga agamanya. Wallahu A’lam bisshowab.*/Syamsul Alam Jaga
HIDAYATULLAH