Metode Beragama Empat Imam Madzhab

Imam Madzhab yang Empat, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, semuanya berusaha mengikuti petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah. Itulah metode mereka beragama.

وقَولُ أَعلاَمِ الْهدى لاَ يُعمَلُ * بقَولنا بِدون نصٍّ يُقْبلُ

فيه دليلُ الأَخذ بِالْحديثِ * وذَاك في الْقَديمِ والْحديثِ

Dalam pendapat kami, perkataan para Tokoh Islam tidaklah boleh diamalkan,

bila tidak ada dasar dari nash yg diterima (ke-shohih-annya)

Ini merupakan dalil wajibnya mengambil hadits Nabi,

dari zaman dulu hingga sekarang ini

قَالَ أَبو حنيفَةَ الإِمامُ * لاَ ينبغي لمن له إسلاَمُ

أخذٌ بأَقْواليَ حتى تُعرضَا * علَى الْكتابِ والْحديثِ الْمرتضَى

Imam Abu Hanifah mengatakan:

Tidak sepantasnya bagi seorang muslim,

mengambil pendapat-pendapatku hingga ia cocokkan

dengan Alkitab dan hadits yg diridloi (ke-shohih-annya).

ومالكٌ إمام دارِ الْهِجرةِ * قَالَ وقَد أشار نحو الْحجرةِ

كُلُّ كَلاَمٍ منه ذُو قَبولِ * ومنه مردودٌ سوى الرسولِ

Sambil menunjuk ke arah kamar (makam Rasulullah)

Imam Malik mengatakan:

“Setiap perkataan bisa diterima dan bisa pula ditolak,

kecuali perkataan Rosul”.

والشافعيُّ قَالَ: ِإن رأيتمُ * قَولي مخالفًا لما رويتمُ

من الْحديثِ فَاضرِبوا الجدارَ * بقَوليَ الْمخالفِ الأَخبارَ

Sedang Imam Syafi’I mengatakan: “Jika kalian melihat perkataanku

menyelisihi hadits yang kalian riwayatkan,

maka campakkanlah ke dinding

perkataanku yang menyelisihi hadits itu”

وأحمدُ قَالَ لهم لاَ تكْتبوا * ما قُلْتُه، بلْ أَصلُ ذَلك اطْلُبوا

Adapun Imam Ahmad, beliau mengatakan: “Jangan kalian menulis perkataanku,

akan tetapi carilah sumber/dasar dari perkataan itu.

فَاسمعْ مقَالاَتِ الْهداةِ الأَربعة * واعملْ بها فإِنَّ فيها منفَعة

لقَمعِها لكُلِّ ذي تعصُّبِ * والْمنصفُونَ يكْتفُونَ بِالنِبي

Dengarkanlah perkataan para imam 4 pembawa petunjuk ini dan terapkanlah,

karena sesungguhnya di dalamnya terdapat faedah

Ia dapat membungkam setiap orang yang fanatik.

Adapun mereka yang obyektif, mereka akan mencukupkan diri dg Nabi.

(Madinah, 30 /04 / 1433 = 22 / 02/ 2012)

Penulis: Ustadz Musyaffa’ Addariny, MA

Muslim.Or.Id

Istri Menafkahi Suami yang Menganggur

Seseorang yang memasuki gerbang rumah tangga otomatis diikuti dengan hak dan kewajiban masing-masing. Di antara kewajiban seorang suami adalah memberi nafkah lahir dan batin. Kewajiban sang suami juga menjadi hak seorang istri.

tidak lagi wajib bagi seorang wanita. Seorang laki-laki mengambil tanggung jawab itu selepas akad nikah terucap.

Namun, karena situasi dan kondisi, seperti PHK, pendidikan rendah, atau bahkan faktor kemalasan, suami memilih tidak bekerja pada saat istri mapan dalam mencari nafkah. Bolehkah peran suami-istri tersebut ditukar?

Kewajiban suami dalam mencari nafkah tetap tidak berubah. Allah SWT berfirman dalam surah an-Nisaa’ ayat 34, “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita). Dan karena mereka (laki-laki) menafkahkan sebagian harta mereka…”

Dalam ayat ini jelas disebutkan jika kewajiban memberi nafkah ada di pundak laki-laki. Seorang suami harus berusaha sekuat kemampuannya untuk memberi nafkah kepada istrinya. Meski kondisi sedang sulit, kewajiban ini tidak lantas gugur dengan sendirinya. Bahkan, jika ia sengaja tidak bekerja maka beberapa ulama menggolongkan perbuatannya masuk dosa besar.

Rasulullah SAW bersabda, “Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa jika menahan makan (upah dan sebagainya) orang yang menjadi tanggungannya.” (HR Muslim).

Di sisi lain baik seorang laki-laki itu bekerja atau tidak, ia tetap pemimpin dari istrinya. Artinya meski memiliki penghasilan, seorang wanita tidak boleh merendahkan atau menolak taat kepada suaminya. Sepanjang perintah sang suami tidak dalam bentuk kemaksiatan.

Harta yang dihasilkan dari pekerjaan istri sepenuhnya milik istri. Jika ia menggunakannya untuk menafkahi keluarga maka itu termasuk sedekah dan kemuliaan. “Apabila seorang Muslim memberikan nafkah kepada keluarganya dan dia mengharap pahala darinya maka itu bernilai sedekah.” (HR Bukhari)

Mengenai hukum wanita bekerja, Syekh Yusuf Qaradhawi memandang hukumnya diperbolehkan. Bahkan, bisa menjadi sunah atau wajib jika wanita tersebut membutuhkannya. Seperti dalam kondisi ia seorang janda, sedangkan tidak ada anggota keluarganya yang mampu menanggung kebutuhan ekonomi.

Selain itu, dalam sebuah keluarga, kadang diperlukan seorang wanita membantu ekonomi suaminya yang masih kekurangan, menghidupi anak-anak atau ayahnya yang telah tua renta. Seperti dalam cerita yang termaktub dalam surah al-Qashash ayat 23. “…kedua wanita itu menjawab, ‘Kami tidak dapat memberi minum ternak kami sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan ternaknya, sedang bapak kami termasuk orang tua yang lanjut umurnya.”

Juga kisah Asma’ binti Abu Bakar biasa membantu suaminya, Zubair bin Awwam, mengurus kuda, menumbuk biji-bijian untuk dimasak, kadang ia memanggulnya di atas kepala dari kebun yang jauh dari Madinah.

Meski diperbolehkan bekerja, ada beberapa syarat, menurut Syekh Qaradhawi, yang wajib dipenuhi. Pertama, pekerjaan tersebut tidak melanggar syariat, seperti bekerja di bar-bar yang menghidangkan minuman keras, bekerja melayani lelaki bujang, atau pekerjaan yang mengharuskan ia berkhalwat dengan laki-laki.

Kedua, seorang wanita mestilah menaati adab-adab ketika keluar rumah jika pekerjaannya mengharuskan ia bepergian. Ia harus menahan pandangan dan tidak menampakkan perhiasaan (QS an-Nur [24]:31).

Terakhir, ia tidak boleh mengabaikan tugas utamanya untuk mengurus keluarga. Jangan sampai kesibukan bekerja menyebabkan suami dan anak-anaknya telantar.

Dr Abd al-Qadr Manshur mengatakan bahwa wanita yang bekerja mestilah memperhatikan faktor fisik. Wanita dianjurkan tidak melakukan pekerjaan berat maupun yang berisiko.

Hal ini bukan untuk menghalangi atau membatasi. Anjuran itu terkait pula dengan tugas alamiah wanita, seperti melahirkan, menyusui, dan menjaga keluarga.

Bidang pekerjaan wanita akan menjadi haram jika mengandung tiga hal. Yakni, berduaan dengan laki-laki, terbukanya aurat, serta ada persentuhan anggota badan dengan laki-laki dan wanita. Namun, hukum haram ini tidak berlaku untuk mereka yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan.

Disarikan dari Dialog Jumat Republika

REPUBLIKA.co.id

Mengeluhlah Pada Al-Qur’an, Engkau Akan Mendapat Jawaban!

khazanahalquran.com – (1). Jika kau berkata, “Aku dalam kondisi yang sangat menyedihkan.”

Al-Qur’an menjawabmu :

وَٱسۡتَعِينُواْ بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَوٰةِۚ

“Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat.” (QS.Al-Baqarah:45)

(2). Jika kau berkata, “Tidak ada yang mengerti betapa beratnya beban yang ada di hatiku.”

Al-Qur’an menjawabmu :

أَنَّ ٱللَّهَ يَحُولُ بَيۡنَ ٱلۡمَرۡءِ وَقَلۡبِهِۦ

“sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya.” (QS.l-Anfal:24)

(3). Jika kau berkata, “Aku tak memiliki siapa-siapa.”

Al-Qur’an menjawabmu :

وَهُوَ مَعَكُمۡ أَيۡنَ مَا كُنتُمۡۚ وَٱللَّهُ

“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS.Al-Hadid:4)

(4). Jika kau berkata, “Jangan lupakan aku Ya Allah.”

Al-Qur’an menjawabmu :

فَٱذۡكُرُونِيٓ أَذۡكُرۡكُمۡ

“Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu.” (QS.Al-Baqarah:152)

(5). Jika kau berkata, “Aku sudah tidak punya harapan lagi.”

Al-Qur’an menjawabmu :

يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ

“Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.” (QS.Az-Zumar:53)

(6). Jika kau berkata, “Aku benar-benar dalam kesusahan yang sangat.”

Al-Qur’an menjawabmu,

إِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرٗا

“Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan.” (QS.Al-Insyirah:6)

(7). Jika kau berkata, “Bagaimana cara agar cita-citaku terwujud?”

Al-Qur’an menjawabmu :

ٱدۡعُونِيٓ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ

“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.” (QS.Ghafir:60)

(8). Jika kau berkata, “Aku berada dalam kesempitan dalam hidup sehingga membuatku tidak tentram.”

Al-Qur’an menjawabmu :

أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ

“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS.Ar-Ra’d:28)

Semoga bermanfaat…

KHAZANAHALQURAN.com

Kegelapan dan Cahaya dalam Surat Ibrahim (Bag 2)

Pada bagian pertama kita telah menyebutkan wajah ataupun gambaran dari kelompok yang berada dalam kegelapan. Nah, sekarang kita akan menyebutkan wajah kelompok-kelompok yang berada dalam cahaya.

1). Kelompok yang hidup dalam cahaya, yang memiliki pandangan dan tujuan yang jelas, tidak mudah tertipu dan terpedaya. Pada ayat pertama disebutkan :

إِلَىٰ صِرَٰطِ ٱلۡعَزِيزِ ٱلۡحَمِيدِ

“(yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Mahaperkasa, Maha Terpuji.” (QS.Ibrahim:1)

2). Kelompok yang berada dalam cahaya selalu mengajak untuk mendirikan sholat sebagai kebaikan untuk diri sendiri dan memberi zakat serta infak sebagai kebaikan untuk orang lain.

قُل لِّعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ يُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُنفِقُواْ مِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ سِرّٗا وَعَلَانِيَةٗ

Katakanlah (Muhammad) kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman, “Hendaklah mereka melaksanakan shalat, menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan secara sembunyi atau terang-terangan.” (QS.Ibrahim:31)

3). Kelompok yang berada dalam cahaya selalu dalam keadaan takut kepada Allah dan sadar bahwa ia selalu di awasi oleh Allah. Ia selalu sadar tentanh kehidupan akhirat sehinggan setiap saat ia terdorong untuk berbuat kebaikan.

مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ يَوۡمٞ لَّا بَيۡعٞ فِيهِ وَلَا خِلَٰلٌ

“sebelum datang hari, ketika tidak ada lagi jual beli dan persahabatan.” (QS.Ibrahim:31)

4). Kelompok cahaya selalu memberikan informasi yang benar dan jujur, tutur katanya indah dan tidak memutarbalikkan fakta dalam berbicara. Ia bagaikan pohon yang selalu memberikan buah (manfaat) bagi orang lain.

أَلَمۡ تَرَ كَيۡفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلٗا كَلِمَةٗ طَيِّبَةٗ كَشَجَرَةٖ طَيِّبَةٍ أَصۡلُهَا ثَابِتٞ وَفَرۡعُهَا فِي ٱلسَّمَآءِ – تُؤۡتِيٓ أُكُلَهَا كُلَّ حِينِۭ بِإِذۡنِ رَبِّهَاۗ

“Tidakkah kamu memperhatikan bagai-mana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit, (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. (QS.Ibrahim:24-25)

5). Kelompok cahaya selalu mengangkat bendera Tauhid dan menolak kesyirikan dengan segala bentuk dan macamnya. Karena bagi mereka keamanan tidak akan diraih tanpa keimanan.

وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَٰهِيمُ رَبِّ ٱجۡعَلۡ هَٰذَا ٱلۡبَلَدَ ءَامِنٗا وَٱجۡنُبۡنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعۡبُدَ ٱلۡأَصۡنَامَ

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhan, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku agar tidak menyembah berhala.” (QS.Ibrahim:35)

6). Kelompok cahaya menegakkan syiar-syiar ibadah tak terkecuali sholat. Karena ibadah akan menumbuhkan cahaya dalam diri kita. Hal ini tercermin dalam doa Nabi Ibrahim as untuk keturunannya.

رَبِّ ٱجۡعَلۡنِي مُقِيمَ ٱلصَّلَوٰةِ وَمِن ذُرِّيَّتِيۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلۡ دُعَآءِ

“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” (QS.Ibrahim:40)

Dan doa Nabi Ibrahim as secara luas diperuntukkan untuk memohon ampunan dan rahmat bagi seluruh kaum mukminin.

رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيَّ وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ يَوۡمَ يَقُومُ ٱلۡحِسَابُ

“Ya Tuhan kami, ampunilah aku dan kedua ibu bapakku dan semua orang yang beriman pada hari diadakan perhitungan (hari Kiamat).” (QS.Ibrahim:41)

Maka kesimpulan dari dua contoh kelompok ini adalah mengajak kita untuk mendekati kelompok cahaya dan menjauhi kelompok kegelapan.

Karena kelompok kegelapan akan membawamu pada kehancuran dan kesia-siaan dalam hidup.

مَّثَلُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بِرَبِّهِمۡۖ أَعۡمَٰلُهُمۡ كَرَمَادٍ ٱشۡتَدَّتۡ بِهِ ٱلرِّيحُ فِي يَوۡمٍ عَاصِفٖۖ لَّا يَقۡدِرُونَ مِمَّا كَسَبُواْ عَلَىٰ شَيۡءٖۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلضَّلَٰلُ ٱلۡبَعِيدُ

“Perumpamaan orang yang ingkar kepada Tuhannya, perbuatan mereka seperti abu yang ditiup oleh angin keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak kuasa (mendatangkan manfaat) sama sekali dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” (QS.Ibrahim:18)

Dan kita juga di ingatkan tentang akhir kisah mereka di akhirat.

وَلَا تَحۡسَبَنَّ ٱللَّهَ غَٰفِلًا عَمَّا يَعۡمَلُ ٱلظَّٰلِمُونَۚ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمۡ لِيَوۡمٖ تَشۡخَصُ فِيهِ ٱلۡأَبۡصَٰرُ

Dan janganlah engkau mengira, bahwa Allah lengah dari apa yang diperbuat oleh orang yang zhalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. (QS.Ibrahim:42)

Dan pada akhir Surat, Allah ingin menyampaikan pada seluruh manusia yang masih memiliki akal bahwa mereka diberi pilihan dan tanggung jawab antara bergabung pada kelompok cahaya atau kelompok kegelapan.

هَٰذَا بَلَٰغٞ لِّلنَّاسِ وَلِيُنذَرُواْ بِهِۦ وَلِيَعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَا هُوَ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞ وَلِيَذَّكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ

Dan (Al-Qur’an) ini adalah penjelasan (yang sempurna) bagi manusia, agar mereka diberi peringatan dengannya, agar mereka mengetahui bahwa Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang yang berakal mengambil pelajaran. (QS.Ibrahim:52)

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Ganjaran Bagi Mereka yang Sholat Tahajud

Allah memberikan balasan bagi siapa pun yang melakukan sholat malam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Allah memberikan balasan bagi siapa pun yang melakukan sholat malam. Syekh Ahmad bin Syekh Hijazi al-Fasyani dalam kitab al-Majalisus Saniyah fil Kalam alal’Arba’in Nawawiyah menceritakan pengalaman menarik yang dialami sahabat Rasulullah, Tsabit r.a.

Ayah Tsabit dahulu termasuk orang yang kuat mengamalkan tahajud di tengah keheningan malam. Suatu ketika, Tsabit bermimpi melihat wanita cantik yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Kemudian, Tsabit bertanya siapa kepada wanita, “Kamu siapa?” Wanita tersebut lalu menjawab, “Aku bidadari hamba Allah.”

Tsabit minta dinikahkan dengan wanita itu, tapi wanita itu menjawab, “Lamar aku lewat sisi Tuhanmu, tebuslah maharku.” Tsabit menjawab, “Apa maharmu?” Bidadari itu menjawab, “Lamakan tahajudmu.”

Terlepas dari itu, ada ganjaran lain yang Allah siapkan bagi hamba-Nya yang melaksanakan sholat malam. Sholat malam memiliki tempat istimewa di sisi Allah.

Bahkan, Rasulullah SAW sering melakukan sholat malam sampai telapak kakinya pecah-pecah. Dia mendorong umatnya agar menjalankan sholat malam.

Rasulullah bersabda, “Tuhan kita, Allah tabraka wa ta’ala, ‘turun’ setiap malam ke langit dunia di saat sepertiga malam akhir. Kemudian, Allah berfirman, barangsiapa berdoaa kepada-Ku, akan Aku kabulkan. Barangsiapa meminta kepadaKu, akan Aku beri. Barangsiapa meminta ampun kepada-Ku, akan Aku beri ampunan. (Muttafaq ‘alaih).

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=Wmottjf7B3c&t=135s

MOZAIK REPUBLIKA

Benarkah Menggunakan Uang Kertas Termasuk Riba?

Uang kertas sering juga dikenal dengan istilah al-auraq al-maliyah, merupakan sebuah mata uang yang digunakan oleh banyak negara modern dewasa ini.

Di awal kemunculannya, mata uang ini merupakan yang dianggap lebih praktis dibanding mata uang logam seiring ketersediaan bahan baku pembuat mata uang yang bersifat melimpah di alam dan bersifat bisa diperbarui.

Lain halnya dengan bahan baku emas, perak, tembaga, kuningan, atau aluminium, seluruhnya bersifat terbatas dan tidak bisa diperbarui (unrenewable resources).

Unsur Penyusun Mata Uang Kertas

Berbeda dengan mata uang logam yang sebelumnya telah lama diperkenalkan dan telah banyak digunakan secara meluas oleh masyarakat, maka untuk mata uang kertas diawali  dengan perdebatan mengenai keterpenuhannya sebagai alat tukar suatu barang.

Diawali dari perdebatan mengenai nilai bahan, maka mata uang logam, satuan nilai tukarnya terletak pada kandungan nilai bahannya. Misalnya, untuk mata uang logam senilai 1 dinar, terdiri dari 22 karat emas seberat 2.4 gram. Satuan berat dan kadar ini menjadi faktor penentu nilai  tukar dari dinar tersebut. (Baca: Hukum Jual Beli Uang Logam yang Masih Laku di Pasaran)

Bagaimana dengan nilai tukar mata uang kertas? Satuan nilai tukar itu terletak di mana? Apakah cukup dengan ditulis nominal angkanya, kemudian ia sudah bisa diberlakukann sebagai besaran satuan nilai tukar?

Di sini kemudian muncul jawaban, bahwa mata uang kertas merupakan yang berjamin emas dan awalnya tersimpan di tukang pandai emas. Di era modern, jaminan bagi uang kertas (fiat) ini, kemudian ditaruh di bank-bank sentral suatu negara.

Nah, keberadaan uang kertas dengan jaminan emas inilah perdebatan mengenai status ribawinya mata uang kertas itu awal kalinya diperdebatkan. Perdebatan itu diawali dari pengkajian kaidah sharf (pertukaran barang ribawi sejenis) yang berlaku atas emas dan perak.

Kaidah Sharf dalam Islam

Konsepsi sharf diawali dengan sajian sebuah hadits yang menyatakan bahwa emas dan perak merupakan dua jenis aset yang menjadi wasilah pertukaran secara muktabar. Hal ini bukan berangkat dari tanpa dasar, yaitu karena adanya hadits yang menyatakan secara tegas bahwa kedua aset emas dan perak merupakan yang tauamani ‘kembar’.

Selanjutnya, kaidah tersebut ditambah dengan penjelasan bahwa pertukaran emas dengan emas, atau perak dengan perak, wajib memenuhi konsepsi matsalan bi matsalin (sepadan dengan sepadan) dan harus yadan bi yadin (saling serah terima) di majelis akad. Adapun pertukaran yang tidak sejenis (misalnya emas dengan perak), maka disyaratkan boleh tidak sepadan, akan tetapi tetap wajib yadan bi yadin (saling serah terima).

Kedua batasan syariat akan wajibnya matsalan bi matsalin dan yadan bi yadin inilah, yang melatarbelakangi mengapa kemudian muncul pendapat bahwa penggunaan mata uang kertas sebagai wasilah pertukaran / perdagangan adalah sebagai yang memenuhi transaksi ribawi, sehingga dipandang haram.

Mengapa? Sebab di dalam perturannya, tidak terpenuhi syarat ketentuan minimal yang manshush (dinyatakan oleh nash) bahwa dalam pertukaran barang ribawi adalah wajib berlaku ketentuan yadan bi yadin yang dimaknai sebagai wajibnya qabdlu al-haqiqi (penerimaan barang secara riel) berupa emas atau perak, sebelum perpisahan majelis itu terjadi (al-taqabudl qabla tafarruq al-majlis).

Lantas, bagaimana Konsep Mata Uang Kertas itu diterima?

Konsepsi penerimaan mata uang kertas bukan tanpa dasar. Pendekatan tidak hanya terjadi pada hal yang bersifat manshush, namun juga berlaku lewat pendekatan yang berbasis qiyasi (analogi) dan manhajy (metodologi). Sudah barang tentu, agar langkah itu diaku sebagai sah, maka harus ada cantolan hukum bahwa hal tersebut pernah diterima. Di dalam sebuah sirah, dinyatakan bahwa Sayyidina Umar pernah hendak menerbitkan mata uang yang terbuat dari kulit onta. Di sinilah penggunaan mata uang kertas itu kemudian memiliki dasar cantolan hukum.

Adanya pertimbangan Sayyidina Umar hendak menerbitkan mata uang yang terbuat dari kulit onta untuk dijadikan mata uang bukanlah sebagai suatu pendapat yang berdiri tanpa adanya illat hukum. Salah satu illat hukum yang dibenarkan adalah tentu kulit onta tersebut dinilai bukan karena faktor bahan bakunya, akan tetapi lebih dikarenakan adanya bahan penjamin di balik penggunaannya.

Bahan penjamin itu adalah berupa cadangan emas hasil rampasan perang yang tersimpan di Baitul Mal. Alhasil, secara fikih, konsepsi itu menjadi bisa diterima, sebab kulit onta itu kedudukannya menjadi sebagai aset yang berjamin emas (ma fi al-dzimmah). Mengapa hal itu tidak jadi diwujudkan? Pertimbangan dasar Sayyidina Umar dibaca oleh fuqaha’ sebagai 2, yaitu:

  1. Karena kalau kulit onta itu dijadikan mata uang, maka lama-lama onta akan banyak yang terbunuh sehingga punah, dan
  2. Penggunaan kulit onta untuk dijadikan mata uang dinilai sebagai yang tidak praktis, sebab terlalu lebar dan mudah rusak. Padahal, yang dinamakan sebagai uang, adalah harus memenuhi kaidah bisanya dipergunakan sebagai unit penyimpan harta.

Nah, di era modern ini, permasalahan yang ditemui oleh Sayyidina Umar ibn Khathab tersebut bisa diminimalisir, seiring ditemukannya mesin pencetak kertas dan teknologi mesin cetak. Konsepsi cadangan emasnya tetap dipertahankan, namun bahan baku uangnya terbuat dari kertas.

Status Mata Uang Kertas dan Aspek Ribawi

Menyimak dari status mata uang kertas sebagai yang berjamin emas, secara tidak langsung mendudukkan mata uang kertas tersebut sebagai ma fi al-dzimmah (harta berjamin emas). Istilah lain dari ma fi al-dzimmah ini adalah mal duyun (harta utang)

Ketika mata uang kertas tersebut ditransaksikan dalam bentuk pertukaran, maka seolah telah terjadi pengalihan utang terhadap utang. Istilah lain dari pengalihan utang terhadap utang, adalah bai’ al-dain bi al-dain (jual beli utang  terhadap utang) atau bai’u ma fi al-dzimmah bi ma fi al-dzimmah.

Bagi pihak yang berpedoman teguh pada kaidah manshush, maka ia menggunakan hadits larangan jual beli utang dengan utang ini dipandang sebagai riba. Mengapa? Sebab, seolah telah terjadi serah terima emas dengan emas tanpa adanya wujud fisik emas yang dijadikan wasilah.

Adapun para ulama yang berpendapat bahwa tidak selamanya yang dinamakan dengan bai’ al-dain bi al-dain (jual beli utang dengan utang) itu sebagai yang diharamkan, maka mereka memberi catatan yaitu wajibnya kesepadanan antara utang yang ditukar atau dialihkan.

Jika utang tersebut sepadan (tamatsul), maka tidak ada illat riba di dalamnya. Sebab yang dinamakan dengan riba adalah bila di salah satu utang yang ditukar, mensyaratkan adanya kelebihan di sisi utang yang lain.

Kesimpulan

Pertukaran yang terjadi pada aset berjamin (ma fi al-dzimmah / maal duyun), secara tidak langsung menjadi wajibnya berlaku kaidah kesamaan utang. Akad yang berlaku dalam transaksi adalah akad hiwalah (oper tanggungan). Dan di dalam oper tanggungan, yang dibutuhkan hanyalah ridha pihak yang berakad, dan bukan bergantung pada penerimaan fisik barang yang dipertukarkan.

Alhasil, karena mata uang kertas merupakan ma fi al-dzimmah, maka pertukarannya tidak menduduki pertukaran barang ribawi yang dilarang, sebab adanya kesepadanan. Ketiadaan kesepadanan, mendudukkan pertukarannya sebagai transaksi riba.

Jadi, selama kaidah kesepadanan itu dipegang erat, maka penggunaan mata uang kertas dalam ruang transaksi, bukanlah termasuk perilaku riba. Wallahu a’lam bi al-shawab

BINCANG SYARIAH

Lebih Baik Banyak Anak atau Sedikit tapi Berkualitas?

Rasulullah SAW menyukai umat Muslim yang banyak anak

Rasulullah SAW memang menyukai jumlah umatnya yang banyak. Dalam hadis lainnya, Rasulullah juga bersabda: 

‏ اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ ‏ “Allahumma aktsir maa lahu wawaladahu wa baariklahu fiima a’thaitahu.” 

Yang artinya: “Ya Allah, limpahkanlah hartanya dan limpahkanlah (jumlah) anaknya. Dan berkahilah apa yang Engkau telah berikan kepadanya.” Hadis ini diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim (Muttafaqun Alaih).

Memiliki banyak anak juga mendapatkan keutamaan tersendiri. Rasulullah bersabda mengenai seseorang yang derajatnya ditinggikan di surga, lalu Abu Hurairah terheran-heran dan bertanya bisakah ia juga memperoleh derajat yang tinggi seperti itu di surga, bagaimana caranya? Nabi pun menjawab: 

 إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ أَنَّى هَذَا فَيُقَالُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ

“Bistighfaari waladika laka”. Yang artinya: “Disebabkan permohonan ampun dari anakmu kepada Allah SWT untukmu.” 

Namun demikian di sisi lain, kualitas dalam diri anak juga sama pentingnya. Kualitas anak yang shaleh dan shalehah serta mampu bermanfaat bagi sekelilingnya adalah hal yang tak luput ditekankan Islam. Rasulullah SAW bersabda: 

 المؤمن القوي خير وأحبُّ إلى الله من المؤمن الضعيف  “Al-mu’minul-qawiyyu khairun wa ahabbu ilallahi minal-mu’mini ad-dha’ifi.” 

Yang artinya: “Mukmin yang kuat (berkualitas) lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah.”  

KHAZANAH REPUBLIKA

Kumpulan Doa Mustajab Menjadikan Anak dan Zuriat Sholeh dan Sholihah dalam Al-Quran dan Hadits

MENJADI fitrah bagi kedua ibu bapa menginginkan anak yang sholeh karena anak sholeh banyak memberi manfaat kepada kedua orang tuanya. Lebih-lebih lagi bila sampai hari tua dan kematian. Sebab hanya doa anak sholeh yang tidak putuh setelah orang tua meninggal dunia.

Sunnah para Rasul sentiasa berdoa untuk mendapatkan anak yang sholeh/shalihah. Para Nabi juga berdoa kepada Allah (sebelum dikurniakan anak) agar Allah berikan mereka anak yang sholeh, baik lagi bermanfaat.

Doa Anak Sholeh Mengangkat Derajat Orang Tua di Surga

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللّٰهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ، فَيَقُولُ: يَا رَبِّ، أَنَّى لِي هَذِهِ ؟ فَيَقُولُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ. (رواه احمد وابن ماجه)

“Artinya: Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu– berkata, Rasûlullâh ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah ‘Azza Wajalla meninggikan derajat seorang hamba-Nya yang Sholeh di SURGA, sehingga hamba tersebut bertanya: ‘Ya Rabb, Bagaimanakah semua ini (bisa menjadi) milikku?’, Allah menjawabnya: ‘Karena doa anakmu itu untuk dirimu‘.” (HR: Ahmad dan Ibnu Majah)

Sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasûlullâh ﷺ ﷺ bersabda:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. (رواه مسلم)

“Ketika seorang manusia meninggal, maka putuslah amalannya darinya kecuali dari tiga hal: (yaitu) sedekah (amal) jariyah, atau ilmu yang dimanfaatkan, dan anak sholeh yang mendo’akannya.” (HR. Muslim, no. 1631)

Maka alangkah beruntungnya orang tua yang beriman dan shaleh, terlebih apabila ia memiliki anak cucu yang sholeh dan sholihah. Mereka akan berkumpul bersama di Surga yang penuh kenikmatan dan kekal selama-lamanya.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan; “Allah mengumpulkan mereka dengan orang-orang yang mereka cintai di dalam Surga yaitu; orang tua, istri, dan anak keturunan mereka yang beriman, agar hati mereka terhibur dan merasa senang. Sampai-sampai, Allah mengangkat derajat yang rendah menjadi tinggi, tanpa mengurangi derajat keluarganya yang tinggi, agar mereka bisa berkumpul di dalam Surga yang sama derajatnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4;496)

Inilah 10 doa menurut Al-Quran dan Sunnah agar anak kita menjadi sholeh dan shaliah;

1. Doa Memiliki Keturunan yang Sholeh dan Berkah

اَللهم اجْعَلْ اَوْلَادِي مِنْ اَهْلِ الْعِلْمِ وَاَهْلِ الْخَيْرِ وَلَا تَجْعَلْهُمْ مِنْ اَهْلِ السُّوْءِ وَاَهْلِ الضَّيْرِ . اَللهم بَارِكْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي وَاحْفَظْهُمْ وَلَاتَضُرَّهُمْ وَارْزُقْنِي بِرَّهُمْ اَللهم اَتِنِي رِضَاكَ فِي الدُّنْيَا وَالْاَخِرَةِ وَاخْتِمْ لَنَا بِالسَّعَادَةِ وَالشَهَادَةِ وَالْمَغْفِرَةِ

Allhumaj’al Auladii min ahlil ilmu wa ahlil khoir, walaa taj’al min ahlissu’ wa ahlidzoir, Allahumma baariklii fii dzurriyatii, wakhfadzhum walaa taddzurruhum warzuknii birrohum, Allahumma aatini ridhooka fiddunyaa wal khoir, wahtimlana bissa’aadatihim wassahaadati wal maghfirati

“Artinya: Yaa Allah jadikan anak-anakku ahli ilmu dan ahli kebaikan dan jangan jadikan mereka ahli keburukan dan ahli madhorot .Yaa Allah berikanlah keberkahan pada keturunanku dan peliharalah mereka dan jangan timpakan keburukan kepada mereka dan karuniakan aku dengan kebaikan mereka. Yaa Allah berikan aku ridhomu di dunia dan dan di akherat dan akhirilah hidup kami dengan kebahagiaan dan bacaan syahadat dan ampunan.”

رَبِّ لاَ تَذَرْنِى فَرْدًا وَأَنْتَ خَيْرُالْوَرِثِيْنَ

Rabbi la tadzarnii fardan wa anta khairul warisiin

“Ya Rabbku, janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah waris yang paling baik.” (QS: Al-Anbiyaa’: 89)

رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ

Robbi hab lii min ladunka dzurriyyatan thoyyibatan, innaka samii’ud du’aa’

“Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mengdengar doa.” (QS: Ali Imron: 38).

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ

Robbi hablii minash shoolihiin

Artinya: “Ya Rabbku, anugerahkanlah kepada (seorang) anak yang shaleh”. (QS: Ash-Shaffaat:100)

2. Doa Nabi Zakaria a.s

رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً ۖ إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ

Robbiy habliy mil ladunka dzurriyyatan thoyyibatan innaka sami’ud du’a’

“Wahai Tuhanku! Kurniakanlah kepadaku dari sisiMu zuriat keturunan yang baik; sesungguhnya Engkau sentiasa Mendengar (menerima) doa permohonan”. (QS: Ali Imran: 38)

3. Doa Nabi Ibrahim a.s agar Anak Mendirikan Shalat

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ

Robbij’alnii Muqimasholatii wamin dhurriyatii, Robbanaa wataqobbal Du’aa

“Wahai Tuhanku! Jadikanlah daku orang yang mendirikan shalat dan demikianlah juga zuriat keturunanku. Wahai Tuhan kami, perkenankanlah doa permohonanku.” (QS Surah Ibrahim: 40)

4. Doa Nabi Musa a.s

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Rabbi auzi’nī an asykura ni’matakallatī an’amta ‘alayya wa ‘alā wālidayya wa an a’mala ṣāliḥan tarḍāhu wa aṣliḥ lī fī żurriyyatī, innī tubtu ilaika wa innī minal-muslimīn

Artinya: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shaleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. (QS: Surah al Ahqaf: 15)

5. Doa Nabi Ibrahim a.s

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ

Rabbi Hablii Minassalihiin

“Wahai Tuhanku! Kurniakanlah kepadaku anak yang terhitung dari orang-orang yang sholeh!” (Surah as Saffat: 100)

6. Doa Diberi Istri dan Keturunan Sholeh dan Beriman

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Robbana hablana min azwajina wa dzurriyyatina qurrota a’yun waj ‘alna lil muttaqiina imama

“Wahai Tuhan kami, berilah kami beroleh dari isteri-isteri dan zuriat keturunan kami: perkara-perkara yang menyukakan hati melihatnya, dan jadikanlah kami imam ikutan bagi orang-orang yang (mahu) bertaqwa.” (Quran Surah al Furqan: 74)

7. Doa Rasulullah pada Ibnu Abbas

Abdullah bin Abbads dikenal sebagai ahli hadits dan tafsir. Beliau banyak meriwayatkan hadist, tak kalah dari sahabat Nabi Muhammad ﷺ sekaligus perawi hadist lainnya, seperti Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan lainnya. Beliau tumbuh sebagai anak muda yang cerdas dan unggul, memiliki pemahaman yang mengagumkan terhadap makna ayat Al-Qur`an.

Walaupun hanya sekitar tiga puluh bulan bermulazamah kepada Rasulullah ﷺ, riwayat hadits Ibnu Abbas menyentuh bilangan 1.660 hadits. Keahlian Ibnnu Abbas ini tidak lain akibat doa Rasulullah ﷺ. Inilah doa Nabi kepada Ibnu Abbas.

اللّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ، وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ

Allahumma Faqqihmu Fi-ddin, Wa-allimhu Ta’wiil

“Ya Allah, pahamkanlah dia terhadap agama dan ajarkanlah (ilmu) tafsir kepadanya.” (HR. Ahmad).

8. Doanya Istri Imran setelah Melahirkan Maryam

(رَبّ) إِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Rabbi Inni u’idzuha bika wa dzurriyyataha minasy syaithanir rajim

Artinya: “Dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada setan yang terkutuk.” (Al Quran Surat Alim Imran: 34-36)

9. Doanya Nabi Muhammad ﷺ untuk Meruqyah Al Hasan Al Husein radhiyallahu ‘anhuma:

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ ، وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لاَمَّةٍ

A’udzu bikalimatillahit tammah wa min kulli syaithanin wa hammah wa min kulli ‘ain lammah

Artinya: “Aku melindungkan dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari setiap setan dan penyakit yang beracun dan dari setiap mata yang menyakiti.” (HR Bukhari dan Muslim).

10. Doa Nabi ﷺ Meminta Keberkahan untuk Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ

Allahumma Aktsir malahu wa waladahu wa barik lahu fima a’thaitahu

Artinya: “Wahai Allah, perbanyaklah harta dan anaknya serta berkahilah selalu baginya apa yang telah Engkau berikan kepadanya.” (HR Bukhari).*

HIDAYATULLAH

Anak Salah vs Anak Sholeh

“Kejahatan bisa datang dari keshalihan”. Demikian ungkap Umberto Eco dalam novelnya, The Name of the Rose.

Kalimat tersebut sempat tampil di Jawa Pos pada Jumat 27 Maret 2015 pada kolom Jati Diri. Tulisan tersebut menarik untuk disimak sekaligus dicermati, berkaitan dengan banyaknya fenomena kejahatan yang ditengarai pelakunya “anak shaleh”.

Tulisan Masdar Hilmy di Jawa Pos 27 Maret 2015 pada kolom opini yang berjudul Anak Muda di Tengah Pusaran Radikalisme, seakan mempertegas statement tersebut. Masdar menulis, keterlibatan kaum muda dalam pusaran ideologi radikalisme dan terorisme sudah mencapai level yang menghawatirkan.

Berbagai aksi kekerasan yang bernuasa ideologi radikalisme yang kebetulan diperagakan sebagian pemuda menjadi bukti di tengah masyarakat. Beberapa kasus yang ditengarai sebagai luapan aksi radikalisme seperti bom bunuh diri baik di dalam negeri ataupun luar negeri selalu melibatkan peran anak muda.

Penyesatan Opini

Sebuah ungkapan mengatakan “If you repeat a lie often enough, it becomes truth”. Jika anda mengulang suatu kebohongan cukup sering, maka kebohongan tersebut bisa menjadi kebenaran.

Maksud ungkapan diatas adalah, jika sebuah kebohongan atau keburukan selalu diulang-ulang, maka lama kelamaan akan diterima dan kelak kebohongan tersebut menjadi sebuah kebenaran. Begitupun sebaliknya, jika kebaikan atau kebenaran selalu dicitrakan buruk, selalu disiarkan negatif, maka lama kelamaan kebaikan tersebut dianggap keburukan.

Shalih yang sejatinya baik, tetapi bila terus disiarkan dan citrakan buruk, maka bukan tidak mungkin akan tercipta sebuah paradigma buruk pada kata shalih tersebut. Jadi anak yang dianggap shalih atau diindikasikan shalih, akan dijauhi masyarakat bahkan orang tuanya sendiri.

Ustad Budi Ashari,Lc mengatakan  “para orang tua banyak yang khawatir begitu melihat anaknya berubah menjadi baik. Seorang ibu ketakutan melihat anaknya liburan dari pesantrennya. Karena melihat pakaian putrinya itu sangat rapi menutup aurat sesuai syariat Isalam. “apa anak saya sudah kerasukan pemikiran radikal?”

Para orang tua ketakutan apabila mendapati putrinya tiba-tiba memakai jilbab bila keluar rumah, membaca Al-Qur’an setiap hari di kamarnya, rajin puasa senin kamis, dan buah hatinya tidak mau berjabat tangan dengan sembarang pria karena alasan bukan muhrim. Dampaknya bukan orang tua saja yang khawatir anaknya menerapkan syariat Islam.

Kekhawatiran pun muncul di sekolah tempat anak menimba ilmu pengetahuan. Beberapa sekolah di tanah air sempat melarang siswinya menggunakan jilbab. seperti yang terjadi disebuah Sekolah Negeri di Bali pada November 2014.

Bentuk penghakiman seperti di atas sungguh sangat berbahaya. Ibarat virus, ia akan menggorogoti mind set  masyarakat khususnya para orang tua. Hari ini mungkin pikiran para orang tua belum terpengaruh. Tetapi siapa yang menjamin di hari esok?

Bagaimanapun, pernyataan-pernyataan tidak produktif sepeti itu akan menghancurkanpertahanan positif thinking mereka pada ajaran agamanya sendiri, yaitu menjadi muslim sejati. Jika terus dibiarkan, maka suatu hari kita akan menemukan para orang tua lebih nyaman melihat anaknya menjauh dari masjid, memberi wejangan agar jauh dari kajian keislaman di sekolah dan kampus.

Karena melihat orang tuanya yang gamang seperti itu, maka anak pun mengambil jalan hidup  sendiri yaitu  bergaul tanpa batas, nongkrong di kafe dan pinggir jalan, tidak pernah alpa dan lupa di tempat maksiat. Perlu dicatat, anak yang berkubangan maksiat, penuh dosa tidak akan memberikan aura positif.

Bahkan tidak ada jaminan sepotong doa muncul dari bibir anak salah alias ahli maksiat. Anak seperti inikah yang kita inginkan? Tentunya tidak.

Memahami Makna Anak shaleh

Menurut arti kata, shalih adalah adalah taat dan sungguh-sungguh menjalankan ibadah. Sedangkan dalam buku Golden Ways Anak Sholeh, karangan Zainal Abidin bin Syamsuddin,  mendefinisikan, anak shalih adalah dambaan hati, kebanggan dan simpanan berharga bagi orang tua, tempat berkeluh kesah disaat usia senja, tempat berbagi duka dikala nestapa, dan tempat bertumpunya harapan orang tua di masa yang akan datang setelah harapan kepada Allah Ta’ala.

Hanya anak shalih-lah, sambungnya, yang akan bisa mencurahkan pikiran, tenaga, harta dan waktu untuk merawat dan menjaga orang tua selagi hayat masih dikandung badan.  Sebaliknya, tidak ada orang tua yang mengharapkan anak salah atau durhaka. Para orang tua tidak menghendaki anaknya justru menjadi musuh baginya.

“Perbedaan anak salah dan shaleh/at jelas terlihat. Anak salah tetaplah salah dalam semua aspek”

Sebagaimana dalan Al-Qur’an, At-Taghabun:14

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّ مِنْ أَزْوَٰجِكُمْ وَأَوْلَٰدِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَٱحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِن تَعْفُوا۟ وَتَصْفَحُوا۟ وَتَغْفِرُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Hai orang-orang yang mukmin, sesungguhnya diantara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi mush bagimu. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.” (QS: at-taghabun:14).

Anak Shaleh Dambaan Orang Tua

Mempunyai anak shaleh, orang tua mana yang tidak ingin. Anak shalih akan senantiasa mengalirkan kebaikan kepada orang tuanya, meskipun keduanya telah tiada.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu Nabi bersabda;

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Ketika seorang manusia meninggal, maka putuslah amalannya darinya kecuali dari tiga hal, (yaitu) sedekah (amal) jariyah, atau ilmu yang dimanfaatkan, dan anak shalih yang mendoakannya.” (HR: Abu Hurairah).

Di akhirat kelak, derajat orang tuanya bisa terangkat berkat istighfar anaknya shalihnya. Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِيْ الْجَنَّةِ فَيَقُوْلُ : يَا رَبِّ أَنىَّ لِيْ هَذِهِ ؟ فَيَقُوْلُ : بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ

“Sungguh, Allah benar-benar mengangkat derajat seorang hamba-Nya yang shaleh di Surga,”Maka ia pun bertanya: “Wahai Rabbku, bagaimana ini bisa terjadi?” Allah menjawab: “Berkat istighfar anakmu bagi dirimu”. (HR. Ahmad, no. 10232).  

Siapapun orang tua yang sadar dan beriman, pasti mendambakan doa buah hatinya. Dan anak yang bisa mendoakan orang tuanya hanyalah anak shalih. Sekali lagi, hanya anak shalih lah yang bisa memohon kepada Rabnya agar sekiranya Allah Ta’ala mengasihi orang orang tuanya, sebagaimana dia dikasihi orang tuanya sewaktu kecil. Sebagaimana firman Allah swt dalam Al-Qur’an, surat Al Isra’:24 :

Dan ucapkanlah, wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagai mereka telah mendidik aku waktu kecil.”

Sebagai penghujung tulisan, perbedaan anak salah dan shaleh jelas terlihat. Anak salah tetaplah salah dalam semua aspek.

Ia yang salah, tidak akan pernah memberikan dampak kebaikan pada orang tuanya, masyarakat dan juga agamanya. Islam tidak pernah menyuruh orang tua melahirkan anak salah, keberadaannya hanya membuat tatanan kehidupan semakin buruk.

Sebaliknya anak shaleh adalah anak yang selalu menenteskan kebaikan dimanapun ia berada. Ia akan dibanggakan dan dicintai orang tuanya, masyarakatnya dan juga agamanya. Wallahu A’lam bisshowab.*/Syamsul Alam Jaga

HIDAYATULLAH

Kegelapan dan Cahaya dalam Surat Ibrahim

Di dalam Surat Ibrahim kita dapati dua gambaran yang bertolak belakang yaitu antara kegelapan dan cahaya.

Dalam pembukaan Surat ini Allah Swt berfirman :

الٓرۚ كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ لِتُخۡرِجَ ٱلنَّاسَ مِنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ بِإِذۡنِ رَبِّهِمۡ إِلَىٰ صِرَٰطِ ٱلۡعَزِيزِ ٱلۡحَمِيدِ

“Alif Lam Ra. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) agar engkau mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Mahaperkasa, Maha Terpuji.” (QS.Ibrahim:1)

Ayat ini memberi sebuah kesimpulan bahwa tujuan utama diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan dengan segala bentuk dan macamnya menuju cahaya kebenaran dan hidayah.

Uniknya, kata ظلمات (kegelapan) menggunakan bentuk Jama’ (banyak) sementara kata نور (cahaya) menggunakan bentuk mufrod (tunggal). Sebagai isyarat bahwa jalan kegelapan itu bermacam-macam sementara jalan cahaya hanyalah satu yaitu jalan menuju Allah swt.

Lalu bagaimana wajah kelompok yang berada di jalan kegelapan seperti yang di gambarkan di dalam Surat ini ? Mari kita simak poin-poin berikut ini.

1). Kelompok yang tenggelam dalam kenikmatan dunia. Kemudian mereka mulai melawan syariat Allah dan lebih memilih jalan yang sesuai dengan selera hawa nafsunya.

ٱلَّذِينَ يَسۡتَحِبُّونَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا عَلَى ٱلۡأٓخِرَةِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ وَيَبۡغُونَهَا عِوَجًاۚ أُوْلَٰٓئِكَ فِي ضَلَٰلِۭ بَعِيدٖ

“(yaitu) orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada (kehidupan) akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan (jalan yang) bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh.” (QS.Ibrahim:3)

2). Kelompok yang menindas rakyatnya dengan membunuh atau mengusir dari tempat tinggal mereka. Dalam surat ini Allah gambarkan Bani Israil yang ditindas oleh Fir’aun.

وَإِذۡ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوۡمِهِ ٱذۡكُرُواْ نِعۡمَةَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ إِذۡ أَنجَىٰكُم مِّنۡ ءَالِ فِرۡعَوۡنَ يَسُومُونَكُمۡ سُوٓءَ ٱلۡعَذَابِ وَيُذَبِّحُونَ أَبۡنَآءَكُمۡ وَيَسۡتَحۡيُونَ نِسَآءَكُمۡۚ وَفِي ذَٰلِكُم بَلَآءٞ مِّن رَّبِّكُمۡ عَظِيم

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia menyelamatkan kamu dari pengikut-pengikut Fir‘aun; mereka menyiksa kamu dengan siksa yang pedih, dan menyembelih anak-anakmu yang laki-laki, dan membiarkan hidup anak-anak perempuanmu; pada yang demikian itu suatu cobaan yang besar dari Tuhanmu.” (QS.Ibrahim:6)

3). Kelompok yang mendeklarasikan kekufuran dan lari dari agama Allah. Dalam surat ini Allah sebutkan perlakuan umat-umat terdahulu kepada Nabinya.

أَلَمۡ يَأۡتِكُمۡ نَبَؤُاْ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ قَوۡمِ نُوحٖ وَعَادٖ وَثَمُودَ وَٱلَّذِينَ مِنۢ بَعۡدِهِمۡ لَا يَعۡلَمُهُمۡ إِلَّا ٱللَّهُۚ جَآءَتۡهُمۡ رُسُلُهُم بِٱلۡبَيِّنَٰتِ فَرَدُّوٓاْ أَيۡدِيَهُمۡ فِيٓ أَفۡوَٰهِهِمۡ وَقَالُوٓاْ إِنَّا كَفَرۡنَا بِمَآ أُرۡسِلۡتُم بِهِۦ وَإِنَّا لَفِي شَكّٖ مِّمَّا تَدۡعُونَنَآ إِلَيۡهِ مُرِيبٖ

“Apakah belum sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, tsamµd dan orang-orang setelah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah. Rasul-rasul telah datang kepada mereka membawa bukti-bukti (yang nyata), namun mereka menutupkan tangannya ke mulutnya (karena kebencian), dan berkata, “Sesungguhnya kami tidak percaya akan (bukti bahwa) kamu diutus (kepada kami), dan kami benar-benar dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap apa yang kamu serukan kepada kami.” (QS.Ibrahim:9)

4). Kelompok yang mengganggu dan menyakiti orang-orang yang ingin memperbaiki keadaan, seperti Rasul dan para utusan Allah yang selalu memegang kesabaran sebagai syiar mereka dalam berdakwah.

وَلَنَصۡبِرَنَّ عَلَىٰ مَآ ءَاذَيۡتُمُونَاۚ وَعَلَى ٱللَّهِ فَلۡيَتَوَكَّلِ ٱلۡمُتَوَكِّلُونَ

“Dan kami sungguh, akan tetap bersabar terhadap gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang yang bertawakal berserah diri.” (QS.Ibrahim:12)

5). Kelompok yang mengancam para Rasul dan orang-orang sholeh dengan ancaman pengusiran dan pengasingan jika tidak mau kembali kepada keyakinan mereka yang dulu.

وَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لِرُسُلِهِمۡ لَنُخۡرِجَنَّكُم مِّنۡ أَرۡضِنَآ أَوۡ لَتَعُودُنَّ فِي مِلَّتِنَاۖ

Dan orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul mereka, “Kami pasti akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu benar-benar kembali kepada agama kami.” (QS.Ibrahim:13)

6). Kelompok yang membawa informasi palsu dan kalimat-kalimat yang busuk dengan tujuan menyesatkan masyarakat dan memutar balikkan fakta. Mereka berusaha menampilkan kemungkaran sebagai sesuatu yang indah.

Dalam ayat ini digambarkan seperti pohon yang busuk yang tak memiliki akar ataupun dasar yang kuat.

وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٖ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ ٱجۡتُثَّتۡ مِن فَوۡقِ ٱلۡأَرۡضِ مَا لَهَا مِن قَرَارٖ

“Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.” (QS.Ibrahim:26)

7). Kelompok yang mengkufuri nikmat dan memanfaatkan kemikmatan Allah untuk maksiat dan merusak.

۞أَلَمۡ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ بَدَّلُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ كُفۡرٗا وَأَحَلُّواْ قَوۡمَهُمۡ دَارَ ٱلۡبَوَارِ

“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan ingkar kepada Allah dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan?” (QS.Ibrahim:28)

Dan dalam ayat lain Al-Qur’an mensifati orang yang tidak bersyukur dengan nikmat Allah dengan sebutan sangat dzalim dan sangat kufur.

وَإِن تَعُدُّواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحۡصُوهَآۗ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَظَلُومٞ كَفَّارٞ

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, manusia itu sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS.Ibrahim:34)

8). Kelompok yang selalu memikirkan cara untuk menghancurkan Islam, di waktu pagi dan malamnya. Mereka selalu mencari strategi untuk menghalau agama Allah, mengusik para pengikutnya dan mengusir mereka dengan cara apapun.

وَقَدۡ مَكَرُواْ مَكۡرَهُمۡ وَعِندَ ٱللَّهِ مَكۡرُهُمۡ وَإِن كَانَ مَكۡرُهُمۡ لِتَزُولَ مِنۡهُ ٱلۡجِبَالُ

“Dan sungguh, mereka telah membuat tipu daya padahal Allah (mengetahui dan akan membalas) tipu daya mereka. Dan sesungguhnya tipu daya mereka tidak mampu melenyapkan gunung-gunung.” (QS.Ibrahim:46)

Inilah gambaran kelompok manusia yang berada dalam kegelapan dan selalu ingin mengusik cahaya Allah. Nantikan penjelasan kelompok yang berada di jalan cahaya pada bagian selanjutnya.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN