7 Sunnah Ketika Idul Adha

Bismillahirrahmanirrahim

*7 Sunnah ketika Idul Adha (jangan lepaskan peluang emas)*

1. Takbiran

Disunnahkan untuk takbiran pada Idul Adha sejak setelah Subuh pada tanggal 9 Dzulhijjah hingga Ashar tanggal 13 Dzulhijjah.

2. Mandi sebelum berangkat sholat ied

Mandi sebelum dilakukan seperti mandi besar, hanya niatnya yang berbeda, yakni niat mandi sunnah Idul Adha.

3. Memakai pakaian terbaik shalat Ied

Ali bin Abi Thalib berkata :

“Rasululloh memerintahkan kami untuk memakai pakaian terbaik yang kami miliki pada dua hari raya”. (HR. Hakim)

4. Makan setelah shalat ied

Berbeda dengan shalat Idul Fitri yang disunnahkan untuk makan terlebih dahulu sebelum berangkat shalat ied, pada Idul Adha disunnahkan makan setelah shalat ied.

5. Berangkat shalat ied seawal mungkin

Disunnahkan untuk berangkat shalat Idul Adha seawal mungkin. yakni setelah sholat subuh, atau beberapa waktu setelah itu.

6. Menempuh jalan berbeda ketika pergi dan pulang shalat ied.

“Nabi Muhammad ketika shalat ied, beliau lewat jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang”. (HR. Al Bukhari)

7. Jalan kaki menuju tempat sholat ied

“Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ied dengan berjalan kaki, begitu pula ketika pulang dengan berjalan kaki”. (HR. Ibnu Majah)

Mulai malam ini mari Kita Takbiran: (Penuhi Rumah ALLOH Tabarokta wa Ta’ala/Masjid maupun Musholah)

Allohu Akbar.. 3x

Laa Ilaha Illallohu Allohu Akbar..

Allohu Akbar Walillahilhamd..

Allohu Akbar Kabiro, Walhamdulillahi Katsiro..

Wasubhanallohi Bukrotaw Wa’ashila…

Laa ilaha Illallohu Wala Na’budu Illa Iyyahu ..

Muhlishina Lahuddin, Walaw Karihal Kafirun..

Laa ilahaillahu Wahdah, Shodaqo Wa’dah..

Wanashoro ‘abdah, Wa’a’aza Jundahu Wahazamal Ahzaba Wahdah..

Laa ilaha Illallohu Wallohu Akbar..

Allohu Akbar Walillahilhamd…

Artinya :

Alloh Maha Besar.. Alloh Maha Besar.. Allah Maha Besar..

Tiada Tuhan selain Alloh, Alloh Maha Besar..

Alloh Maha Besar.. Dan segala Puji Hanya kepada Alloh…

Alloh Maha besar dengan segala kebesaran-Nya, Segala Pujian Sebanyak-banyaknya bagi-Nya..

Tiada Tuhan selain Alloh, dan Tidaklah kami Sembah kecuali Dia..

Kami memurnikan Agama Islam, Meskipun orang kafir membencinya.

Tidak ada Tuhan selain Alloh dengan ke-esaan-Nya.. Dia Maha menepati janji..

Dan menolong hamba-hamba-Nya, Memuliakan bala tentara-Nya dan menghancurkan musuh-musuh dengan ke-Esaan-nya..

Tiada Tuhan selain Alloh.. Dan Alloh Maha Besar..

Alloh Maha Besar dan Segala Puji hanya bagi Alloh..

Terulah Ba’da Magrib ini 19 Juli 2021 kumandangkan takbir tahmid dan tahlil….sampai perbanyak istigfar,…detik dan waktu sekarang ini sangat mustajab…., Hingga Ashar tanggal 13 Dzulhijjah. Masya Alloh Tabarokalloh, Baca Info ini : *Khutbah Idul Qurban/Adha’* di;

1. https://retizen.republika.co.id/posts/12222/khutbah-idul-adha-1442-h-menyambut-idul-adha

2. https://oase.chanelmuslim.com/khutbah-idul-qurban-adha-1442-h-2920/

*Keluarga Besar Abu Fayadh Muhammad Faisal Al Jawy al-Bantani, S.Pd, M.MPd, M.Pd, I* Mengucapkan Selamat Hari Raya Iedul Adha 1442 H.

Alloh Tabarokta wa Ta’ala berfirman:

*Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak.

Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Alloh)”. (Terj. QS. Al Kautsar:1-2).

-~-~-~– -~-~-~– -~-~-~–

REPUBLIKA

Apakah Ibadah Harus Diketahui Hikmahnya?

Apakah harus semua ibadah butuh untuk diketahui hikmah, manfaat, atau keuntungannya sehingga dapat dipahami oleh akal kita?

Seperti salah satu hikmah bagi orang yang berpuasa adalah untuk menjaga kesehatan tubuh. Karena ada penelitian bahwa salat tahajud dapat meningkatkan kesehatan, baik fisik maupun mental seseorang. Kemudian ada penelitian lagi tentang berbagai manfaat dalam gerakan-gerakan salat, dan lain sebagainya. Belakangan ini banyak kita dengar berita tentang klaim sebagian pihak yang telah menemukan manfaat ibadah-ibadah agama Islam bagi kesehatan, dan lain-lain.

Lalu terlontar sebuah pertanyaan lagi. Apakah penting bagi kita mencari alasan, manfaat, atau hikmah untuk seluruh ibadah yang akan kita kerjakan sehingga dapat dipahami oleh akal-akal kita?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, perlu kita ketahui terlebih dahulu bahwa Allah Ta’ala yang telah menciptakan syariat agama Islam ini tentu penuh akan hikmah dan kebijaksanaan dalam menetapkan sebuah ibadah untuk makhluknya. Tidak mungkin bagi Allah Ta’ala mensyariatkan sesuatu yang tidak ada maksud atau tujuannya. Hal tersebut karena konsekuensi dari nama dan sifat Allah yang mulia, yakni Al-Hakim (Allah yang Mahabijaksana).

Allah Ta’ala berfirman,

قَالُوْا سُبْحٰنَكَ لَا عِلْمَ لَنَآ اِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۗاِنَّكَ اَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ

“Mereka menjawab (para malaikat), ‘Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahu selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui, Mahabijaksana” (QS. Al Baqarah: 32).

Berkata salah seorang ahli tafsir, Syekh As-Sa’di Rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan maksud dari  الْحَكِيْمُ, yakni,

فما خلق شيئا إلا لحكمة: ولا أمر بشيء إلا لحكمة

“Tidaklah Allah menciptakan segala sesuatu, melainkan pasti ada hikmah dan tidaklah Allah memerintahkan sesuatu perkara, kecuali pasti mengandung sebuah hikmah” (Taisir Karimirrahman).

Bisa kita bayangkan bila ada seseorang yang melakukan sebuah perbuatan seperti bepergian jauh ke sebuah kota, namun di satu sisi dia tidak mengetahui tujuan dari perbuatannya tersebut, tentu ini adalah sebuah keanehan. Bahkan bisa jadi kita menganggap orang tersebut adalah orang yang tak berakal atau gila. Tidak mungkin orang yang sehat akalnya melakukan sesuatu tanpa ada maksud dan tujuan. Maka tentu lebih utama lagi bagi Allah Ta’ala sang-Khaliq (pencipta segala sesuatu) yang Mahabijaksana terhadap apa yang Dia perbuat dan apa yang Dia perintahkan. Semuanya pasti mengandung hikmah yang besar.

Namun banyak kita jumpai sebagian dari saudara-saudara kita terkadang berlebihan dalam mencari tahu sebab atau alasan suatu ibadah agar dapat dipahami oleh akal manusia. Bahkan sampai pada titik bahwa dia tidak mau mengamalkan suatu ibadah tertentu sampai akalnya mengerti maksud atau alasan mengapa syariat menjadikannya sebagai suatu ibadah. Tentu hal ini termasuk perkara yang berlebihan.

Memang benar memahami suatu hikmah dari ibadah dapat membuat hati semakin yakin dan khusyuk mengamalkannya. Namun ketika hikmahnya tidak kita ketahui, wajib bagi kita untuk tetap tunduk dan patuh kepada syariat Allah dan meyakini di sana ada hikmah yang tidak kita ketahui. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Hanya ucapan orang-orang beriman, yaitu ketika mereka diajak menaati Allah dan Rasul-Nya agar Rasul-Nya tersebut memutuskan hukum di antara kalian, maka mereka berkata: sami’na wa atha’na (Kami telah mendengar hukum tersebut dan kami akan taati). Merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. An-Nur: 51).

Para sahabat Nabi tetap tunduk dan taat terhadap ajaran Nabi Shallallahu’alaihi wasallam, walaupun tidak tahu hikmahnya. Umar bin Khathab Radhiallahu’anhu ketika hendak mencium hajar aswad beliau berkata,

إنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ

“Aku tahu betul engkau adalah sebongkah batu. Tidak bisa memberi bahaya dan tidak bisa memberi manfaat. Andaikan bukan karena aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menciummu, aku tidak akan menciummu” (HR. Bukhari no.1605, Muslim no.1270).

Allah Ta’ala terkadang menjelaskan langsung sebab atau alasan suatu ibadah pada Al-Quran dan As-Sunnah. Terkadang juga dapat diketahui lewat perantara seorang ulama atau ahli ilmu. Dan terkadang juga alasan atau sebab tersebut belum diketahui atau tidak diketahui sama sekali.

Untuk sebab yang belum atau tidak diketahui, terkadang para ulama menamainya dengan ‘illatun ta’abbudiyah (sebab yang hanya dalam rangka beribadah). Bisa jadi, hikmah yang belum diketahui ini adalah ujian bagi sebagian orang, apakah dia benar-benar beribadah kepada Allah Ta’ala atau beribadah kepada hawa nafsu dan akalnya sehingga tidak mau beribadah kecuali cocok dengan hawa nafsu dan akalnya.

Seperti halnya di sebagian mazhab fiqih menyebutkan hukum memakan daging unta dapat membatalkan wudu seseorang dengan dalil hadis yang diriwayatkan oleh Sahabat Jabir bin Samurah Radhiyallahu’anhu,

عن جابرِ بنِ سَمُرةَ رَضِيَ اللهُ عنه: ((أنَّ رجلًا سأل رسولَ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: أأتوضَّأُ مِن لُحومِ الغنَم؟ قال: إنْ شئتَ فتوضَّأ، وإن شئتَ فلا توضَّأ. قال: أتوضَّأُ مِن لُحومِ الإبِلِ؟ قال: نعَم، فتوضَّأْ من لحومِ الإبِلِ. قال: أُصلِّي في مرابِضِ الغنَم؟ قال: نعَم. قال: أصلِّي في مبارِكِ الإبلِ؟ قال: لا

“Seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Apakah aku berwudu ketika setelah makan daging kambing?’ Maka beliau menjawab, ‘Jika engkau mau maka berwudulah dan jika engkau tidak mau maka tidak berwudu.’ Lalu laki-laki tersebut kembali bertanya, ‘Apakah aku berwudu ketika setelah makan daging unta?’ Maka beliau menjawab, ‘Ya, berwudulah dari makan daging unta.’ Lalu dia menanyakan, ‘Apakah aku boleh salat di kandang kambing?’ Beliau menjawab, ‘Ya.’ Lalu di menanyakan lagi, ‘Apakah aku boleh salat di tempat menderungnya unta (kendang unta)?’ Beliau menjawab, ‘Tidak’” (HR. Muslim, no.360).

Maka dari sini sebagian ulama mengatakan bahwa alasan daging unta membatalkan wudu adalah ta’abbud (dalam rangka beribadah), dikarenakan akal kita tidak mengetahui maksudnya. Apa bedanya antara daging biri-biri, daging kuda, daging sapi, dan daging-daging lainnya? Maka kita tidak mengetahuinya.

Dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa jika ada suatu ibadah yang memang benar ditetapkan oleh syariat, dan akal kita belum dapat memahami apa maksud dan tujuan syariat ibadah tersebut, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mau mengerjakan bahkan menolak hukumnya dengan dalih akal belum atau tidak bisa memahaminya. Karena kita sebagai seorang mukmin yang beriman yakin bahwa tidaklah Allah Ta’ala menurunkan syariat bagi makhluknya melainkan pasti memiliki hikmah atau tujuan yang agung, walaupun tidak diketahui oleh makhluknya.

Oleh karena itu, Allah Ta’ala menyebutkan di antara serangkaian dari sifat orang yang muttaqin (orang yang bertakwa) yang mendapat petunjuk dan hidayah-Nya adalah orang yang beriman kepada hal yang gaib dan yang telah Allah turunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berupa Al-Quran dan As-Sunnah.

Allah Ta’ala berfirman di surat Al-Baqarah,

الۤمّۤ ۚ ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۙ وَالَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ ۚ وَبِالْاٰخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَۗ اُولٰۤىِٕكَ عَلٰى هُدًى مِّنْ رَّبِّهِمْ ۙ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Alif Lam Mim. Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada (Al-Quran) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya akhirat. Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Al-Baqarah: 1-5).

Wallahu a’lam.

Sumber:

Disarikan dari kitab Manzhumah Ushulil Fiqhi wa Qawaidhi karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Rahimahullah, hal. 94-96 dan hal. 154-155 (cetakan ketiga tahun 1443 H, penerbit Daar Ibnul Jauzi) dengan tambahan contoh dan penjelasan dari penulis dan Tafsir Syekh As-Sa’di Rahimahullah.

Penulis: Muhammad Bimo P.

Sumber: https://muslim.or.id/67459-apakah-ibadah-harus-diketahui-hikmahnya.html

Panjatkan Doa Terbaik di Hari Arafah

Arafah menjadi puncak dalam pelaksanaan ibadah haji.

Arafah menjadi puncak dalam pelaksanaan ibadah haji. Gus Arifin dalam bukunya Ensiklopedi Fiqih Haji dan Umrah menulis bahwa sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah.

“Maksudnya, doa pada hari tersebut paling cepat dikabulkan,” tulis Gus Arifin. 

Kita diperintahkan untuk banyak berdoa pada hari Arafah khususnya bagi jamaah haji yang sedang wukuf di Arafah. Dan doa pada hari Arafah juga berlaku bagi selain jamaah haji sebagai keutamaan. 

Dari Aisyah ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

“Di antara hari yang Allah banyak membebaskan hamba dari neraka adalah pada hari Arafah. Sesungguhnya Dia akan mendekati mereka lalu menambahkan keutamaan mereka kepada para malaikat itu kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka? “(HR.Muslim). 

Dari Amr Bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Nabi SAW bersabda. 

“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah.” (HR. Tirmidzi). 

Bagi jamaah haji yang melakukan wukuf, ritual ini dimulai dari siang hari selepas matahari tergelincir ke barat (masuk waktu salat zuhur/zawal) hingga terbenamnya matahari. Jika lewat dari batas waktu itu maka tidak ada wukuf. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Keutamaan Hari Arafah

SEPULUH hari pertama bulan Dzulhijjah mempunyai keutamaan luar biasa berdasarkan dalil yang terdapat dalam al-Qur’an dan As-Sunnah. Di antara hari-hari pada sepuluh hari pertama tersebut terdapat satu hari yang istimewa dengan banyak keutamaan, yang dikenal dengan hari Arafah, yaitu hari ketika jamaah haji wukuf di Padang Arafah.

Hari Arafah berlangsung pada 9 Dzulhijjah. Pada tahun 2021 ini, hari Arafah berlangsung pada Senin, 19 Juli 2021. Pada hari itu jamaah haji berbodong-bondong menuju padang Arafah setelah sehari sebelumnya melewati hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah).

Di Padang Arafah ini mereka mendengarkan khutbah Arafah, lalu menghabiskan waktu dengan memanjatkan doa kepada Allah Ta’ala. Sebab, kata Rasulullah ﷺ, “Doa terbaik adalah doa pada hari Arafah.” (Riwayat At-Tirmidzi dengan sanad hasan). Adapun waktu paling istimewa dalam memanjatkan doa di hari Arafah ini adalah semenjak Dhuhur sampai masuk Maghrib.

Waktu terbaik dalam berdoa ini bukan sekadar untuk mereka yang sedang berada di Padang Arafah, namun juga bagi kaum Muslim yang tidak sedang behaji. Al-Hafidh Ibnu Rajab Rahimahullah dalam kitabnya Latha’iful Ma’arif mengatakan, “Hari Arafah adalah hari pengampunan dosa dan pembebasan dari api neraka serta doa mustajab bagi jamaah haji yang sedang wukuf di Arafah dan bagi semua umat Islam di semua negeri.”

Selain itu, bagi kaum Muslim yang tidak melaksanakan ibadah haji disunnahkan untuk berpuasa pada hari Arafah. Keutamaannya sangat besar. Rasulullah ﷺ

صوم يوم عرفة يكفر سنتين ماضية ومستقبلة وصوم يوم عاشوراء يكفر سنة ماضية

Artinya, “Puasa hari Arafah dapat menghapus dosa dua tahun yang telah lalu dan akan datang, dan puasa Asyura (tanggal 10 Muharram) menghapus dosa setahun yang lalu,” (HR Muslim).

Mari kita perbanyak dzikir, doa dan istighfar di hari Arafah. Kita doakan keluarga yang sedang sakit atau berjuang mempertahankan hidup dari himpitan ekonomi agar segera Allah sembuhkan dan Allah lapangkan.

Kita doakan juga sahabat-sahabat kita yang kini sedang berjuang mengatasi Covid agar Allah Ta’ala limpahkan kesabaran dan Allah angkat penyakitnya. Dan, jangan lupa doakan negeri kita dan negeri-neri kaum Muslimin agar segera Allah angkat wabah ini. *

HIDAYATULLAH

5 Cara Meraih Keutamaan Hari Arafah Selain Pergi Haji

Sepuluh hari pertama Dzulhijjah adalah hari-hari penuh berkah.

Bagi umat Islam, tidak ada yang lebih kuat dan memuaskan secara spiritual di bulan Dzulhijjah selain mengikuti panduan Nabi Muhammad SAW. Caranya dengan meningkatkan perbuatan baik, meminta ampunan kepada Allah SWT, dan melakukan ibadah haji.

Namun, bagaimana dengan banyak orang yang tidak pergi haji? Terlebih di masa pandemi seperti sekarang. Apakah ada berkah yang tersisa untuk mereka? Jawabannya iya.  

Sepuluh hari pertama Dzulhijjah adalah hari-hari penuh berkah.  Apalagi hari kesembilan, yang dikenal juga sebagai hari Arafah. Ini adalah hari yang sangat istimewa bagi semua umat Islam baik yang sedang berhaji atau tidak.

Untuk menunjukkan pentingnya sepuluh hari pertama Dzulhijjah, Nabi Muhammad (SAW) mengatakan, “Tidak ada hari yang amal shalehnya lebih dicintai Allah daripada sepuluh hari ini.”  Orang-orang bertanya, “Bahkan tidak berjihad karena Allah?”  Dia berkata, “Tidak juga jihad karena Allah, kecuali dalam kasus seorang pria yang keluar, menyerahkan dirinya dan hartanya untuk jalan (Allah), dan kembali tanpa membawa apa-apa” (HR. Bukhari)

Lantas apa saja yang harus dilakukan agar memperoleh keutamaan hari Arafah? Berikut adalah cara yang diajarkan Nabi terutama selama 10 hari yang diberkahi dan selama hari Arafah, dilansir di About Islam.

Puasa

Puasa adalah salah satu ibadah yang paling penting selama 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, terutama pada hari Arafah.  Puasa Arafah menghapus dosa kita selama dua tahun penuh, setahun yang lalu dan yang akan datang.

“Barang siapa yang berpuasa dengan ikhlas di hari Arafah, maka akan diampuni dosa-dosanya setahun yang lalu dan yang akan datang.”  (HR. Muslim)

Dzikir

Hari-hari yang diberkahi ini adalah tentang melakukan perbuatan baik yang akan sangat dihargai di mata Allah. Mengingat hari-hari ini adalah waktu terbaik untuk melakukan amal baik, terutama dzikir.

Maka bacalah: “Subhanallahi wa bihamdihi, subhanallahil adziim” (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya).

“Dua kalimat (subhanallah wa bihamdihi) ringan di lidah, berat di timbangan, dan dicintai oleh Yang Maha Penyayang.” (HR. Bukhari)

Tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil

Empat jenis dzikir ini harus dibaca sebanyak mungkin pada hari Arafah. Tahlil atau membaca “Laa ilaaha il-lal-laah”, Tahmid atau membaca “Alhamdulillah”, Tasbih atau membaca “Subhanallaah” dan Takbir atau membaca “Allahu Akbar”.

Membaca Alquran

Meskipun seseorang harus membaca Alquran setiap hari, hari Arafah ini memiliki keutamaan khusus karena setiap perbuatan baik dikalikan dan ayat-ayat Alquran itu mencari pengampunan Allah 

Berdoa

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Doa yang paling utama adalah doa pada hari Arafah, dan yang paling baik dari apa yang saya dan para nabi sebelum saya katakan, “Tidak ada yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, Dia Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya.” , kepunyaan-Nya kerajaan dan kepunyaan-Nya segala puji, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (HR. Tirmidzi)

Berdoalah sebanyak yang Anda bisa. Carilah pengampunan Allah dan mintalah semua yang Anda inginkan! Teruslah berdoa sampai waktu berbuka (Maghrib) tiba. Imam Muslim meriwayatkan dari `Aisyah bahwa Nabi (damai dan berkah besertanya) berkata, “Tidak ada hari di mana Allah membebaskan lebih banyak budak dari neraka daripada yang Dia lakukan pada hari Arafah.” 

KHAZANAH REPUBLIKA

Saat PPKM Pemerintah Putuskan Tutup Masjid, Zakir Naik; Ikuti dan Patuhi

Sebelumnya belum pernah terjadi dalam sejarah Islam, mayoritas masjid di dunia Islam ditutup seperti  beberapa waktu lalu. Sekitar75 persen masjid ditutup akibat pandemi Covid 19.

Di Indonesia sendiri, pada awal-awal Pandemi masjid ditutup. Kegiatan keagamaan ditiadakan. Shalat Jamaah lima waktu dikerjakan dari rumah. Shalat Jumat, diganti dengan Zuhur. Sebagai keringanan hukum. Shalat taraweh, tadarus Al-Qur’an, dan kultum ditiadakan selama Ramadhan tahun lalu.

Pun ketika Idul Fitri, masjid dianjurkan tidak menggelar ibadah shalat Idul Fitri. Demikian juga Idul Adha. Untuk meminimalisir penyebaran virus Covid-19. Itulah sekelumit kenangan pahit di tahun 2020.

Kini, 2021 pun keadaan tak jauh berubah. Bahkan terbilang lebih parah. Varian baru Delta Covid-19 menyebar begitu cepat. Di susul pelbagai  kebijakan pihak terkait yang gagal dalam mengantisipasi penyebaran Covid-19.

Akhirnya, jutaan orang kembali terjangkit. Ribuan nyawa meninggal setiap hari. Rumah sakit full akibat pasien. Oksigen langka, padahal itu wajib ketika ada pasien terjangkit Covid-19. Tenaga kesehatan kelelahan. Sebab beban kerja yang berat.

Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat diambil pemerintah. Untuk mumutus mata rantai penularan Covid-19. Pelbagai isi point PPKM adalah penutupan rumah ibadah, termasuk masjid. Kemudian direvisi, dengan meniadakan kegiatan keagamaan di dalam masjid.

Pro kontra timbul di tengah masyarakat Islam terkait penutupan masjid dan peniadaan kegiatan keagamaan dalam masjid selama PPKM berlangsung. Lantas bagaimana seyogianya sikap seorang muslim ketika menghadapi kebijakanseperti ini?.

Dokter Zakir Naik, seorang ahli medis, ulama, dai, pakar studi perbandingan agama, dan juga penceramah, memberikan nasihat dan arahan. Nasihat itu ia sampaikan untuk merespons penutupan masjid dan peniadaan kegiatan keagamaan di negara muslim.

Menurut Dokter Zakir Naik Ketika terjadi wabah, pandemi, epidemi—yang kemungkinan besar menular—, merupakan kewajiban dari pemerintah negara Islam, untuk bertanya pada ahlinya. Mereka adalah pakar kesehatan, ahli medis, dan para dokter terkait keadaan ini. Sebagaimana diperintahkan Al-Qur,an Q.S an Nahal ayat 43;

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Artinya; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.

Di samping bertanya pada ahli medis, pemerintah juga harus bertanya pula pada mufti atau ulama di negara tersebut— dalam konteks Indonesia ada MUI. Yang terdiri dari para pakar dalam studi Islam. Misalnya ahli hadis, fikih, sejarah, usul fiqih, dan tafsir Al-Qur’an. Pemerintah bertanya keadaan ini dalam kajian keislaman.

Kemudian, pemerintah mengadakan dialog bersama antara pakar medis dan mufti Islam—ulama-ulama Islam—, terkait persoalan wabah. Dan mengantisipasinya penularan pandemi dalam bidang keagamaan.

Ketika hasil dialog tiga otoritas itu; pemerintah, dokter, dan ahli fikih memutuskan menutup masjid dan meniadakan ibadah selama Covid-19, maka Anda harus setuju. Sebagai seorang muslim kita harus ikut perintah tersebut. Pasalnya mereka adalah orang yang pakar dan juga pemimpin yang sah.

Sebagaimana dikatakan oleh Al-Qur’an dalam Q.S an Nisa, ayat 59, tentang mentaati perintah Allah dan Rasul, pun perintah pemimpin yang sah. Allah berfirman dalam kitab suci Al-Qur’an;

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ

Artinya; Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.

Terlepas dari pendapat pribadi seorang muslim,—apakah ia setuju dan tidak terhadap hasil keputusan itu—, maka kita sebagai muslim harus ikut aturan tersebut. Bila otoritas terkait memutuskan peniadaan kegiatan keagamaan di masjid, kaum muslim harus ikut.

Termasuk dalam hal ini bila seorang muslim tinggal di negera mayoritas non Muslim. Pemerintah non muslim tersebut memutuskan menutup masjid dalam keadaan wabah, maka anda harus mengikuti aturan negara tersebut. Terlebih jika pemerintah sudah melakukan konsultasi dengan pihak medis.

Melihat kasus Covid-19 di Indonesia yang kian parah. Pemerintah Indonesia, pakar medis—para dokter dan epidemolog—, dan pakar hukum Islam (MUI)  telah melakukan dialog. Kemudian memutuskan untuk menutup masjid dan meniadakan kegiatan keagamaan di masjid, termasuk shalat Idul Adha.

Sikap seorang muslim yang taat adalah mengikutinya. Pasalnya, kebijakan itu merupakan bentuk penjagaan keselamatan dan kesehatan umat Islam. Sekaligus, ikhtiar untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19.

Demikian nasihat bijak dan fatwa Dokter Zakir Naik terhadap persoalan penutupan masjid dan peniadaan ibadah, serta kegiatan keagamaan lain. penjelasan ini diambil dari kanal Youtube Dr Zakir Naik dan Cordoba Media. Semoga bermanfaat.

Sebagai catatan, meskipun dr. Zakir Naik dalam masalah atau persoalan lain mengutarakan pendapat yang kontroversial. Pendapat yang perlu untuk dikritisi dan ditelaah bersama. Terutama terkait dialog antar iman dan penafsiran pelbagai ayat dalam Al-Qur’an. Juga persoalan hukum Islam (fiqih). Tetapi dalam persoalan Covid-19, nasihat bijak beliau penting untuk kita renungkan bersama.

BINCANG SYARIAH

Hukum Shalat Idul Adha di Rumah

Pandemi Covid-19 di Indonesia tak kunjung jua usai. Semakin hari korban yang terjangkit positif kian bertambah. Pun korban yang meninggal akibat Covid-19, sepanjang bulan Juni-Juli terus bertambah. Total angka kematian mencapai 69.210 jiwa. Belum lagi kondisi rumah sakit yang full pasien. Dan juga kelangkaan oksigen.

Pemerintah mengeluakan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Kebijakan ini sebagai upaya memutus mata rantai laju Covid-19. Laju Covid-19  kian semakin mengkhawatirkan. Terutama bagi mereka yang berada dalam zona hitam dan merah, seperti Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bila tidak mampu menjaga diri, bisa dipastikan akan terjangkit virus Covid-19.

Kebijakan PPKM dari 3-20 Juli 2021, sebagai upaya penyelamatan kehidupan manusia dari Covid-19. Salah satu poin dalam kebijakan ini adalah menganjurkan kegiatan keagamaan di dalam rumah ibadah ditiadakan. Artinya; ibadah keagamaan dikerjakan dari rumah saja. Misalnya shalat berjamaah, shalat Jumat, dan Idul Adha.

Pada tahun ini, Idul Adha akan jatuh pada  Selasa, 20 Juli 2021 mendatang. Artinya, umat Islam akan merayakan Idul  Adha dalam suasana PPKM Darurat. Lantas bagaimana dengan seorang muslim yang ingin mengerjakan shalat Idul  Adha, padahal masjid ditutup atau meniadakan kegiatan shalat Ied? Bolehkah shalat Idul Adha di rumah saja?

Mengenai hukum shalat Idul Adha, para ulama klasik dan kontemporer  mengatakan bahwa hukum shalat Idul Adha di rumah adalah boleh. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Lembaga Fatwa Mesir. Dar Ifta Mesir menyebutkan di tengah wabah Covid-19 seyogianya melaksanakan shalat Idul Adha di rumah.  Agar terhindar dari wabah virus SAR- CoV 2.

Dar Ifta Mesir mengeluarkan  fatwa berikut;

فإن صلاة العيد سنة مؤكدة لمواظبة سيدنا النبي صلى الله عليه وسلم عليها، ويُستحبُّ أن تصلى جماعة؛ ولأنّ الضرورةَ اقتضت إبقاء المساجد مغلقة للحفاظ على سلامة أرواح الناس وصحتهم، فعندئذٍ تصلى صلاة العيد في البيوت، إما جماعة مع أهل البيت الواحد، ولا يشترط لصحتها الخطبة فلا يؤثر تركُ الخطبتين على صحة الصلاة؛ لأن الخطبة في العيد سنة وليست شرطا لصحة الصلاة

Artinya; Sholat Idul Fitri adalah sunnah muakkad, yang ditegaskan dan ditekuni Nabi Muhammad SAW, dan shalat Ied itu disunnahkan mengerjakannya dalam keadaan shalat berjamaah.  Dan karena keharusan menutup masjid untuk menjaga keselamatan  jiwa dan juga kesehatan manusia, maka shalat Ied dilakukan di rumah, baik secara berjamaah dengan penghuni satu rumah.

Dan khutbah Ied tidak menjadi syarat sahnya shalat.  Dan tidak ada mempengaruhi keabsahan shalat dengan meninggalkan dua khutbah; Karena khutbah di hari raya, adalah sunnah dan bukan syarat sahnya shalat.

Sementara itu, mazhab Syafi’iyyah  membolehkan shalat Idul Adha di dalam rumah. Bahkan bagi orang yang ingin melaksanakan shalat Ied secara munfarid atau sendirian sebaiknya melaksanakan shalat di rumah saja.  Pendapat ini dikatakan oleh Imam Muzani—menukil pendapat dari Imam Syafi’i—, dalam kitab Mukhtasor Al-Umm. Imam Al Muzani berkata;

ويصلي العيدين المنفرد في بيته والمسافر والعبد والمرأة

Artinya; Dibolehkan mengerjakan shalat dua hari raya (Adha dan Fitri) baik sendirian, musafir, hamba sahaya dan wanita di dalam rumahnya. Selesai

Sementara itu, Syekh Syauqi Ibrahim Alam, Mufti Agung Dar Ifta Mesir mengatakan dalam keadaan wabah Covid-19, maka dianjurkan mengerjakanshalat Idul Adha di dalam rumah. Syekh Syauqi Ibrahim Alam  berkata;

وكذا إذا تَعذَّرت إقامة صلاة العيد لمانعٍ -كوباءٍ أو غيره يمنع اجتماع الناس للصلاة-؛ فإنه يُشْرَع لمَنْ كان هذا حاله فِعْل صلاة العيد في البيت

Artinya: dan demikian apabila ada uzur melaksanakan shalat Ied (di masjid atau tanah lapang),—seperti ada wabah atau selainnya yang melarang manusia berkerumun untuk shalat—, maka dalam keadaan seperti ini dianjurkan untuk melaksanakanshalat Idul Adha di rumah.

Lantas bagaimana keutamaan shalat Idul Adha di rumah ketika Covid-19? Syekh Sauqi Alam Ibrahim menjelaskan ibadah yang dikerjakan di rumah disebabkan adanya Pandemi, maka pahalanya setara dengan pahala ibadah yang dikerjakan di masjid. Bahkan, terkadang bisa melebihi pahala ibadah di masjid.

Terlebih dikonsi sekarang, merebaknya wabah mematikan yang telah merenggut nyawa ribuan orang dan telah menyebar di puluhan negara. Syekh Sauqi Alam Ibrahim berkata;

والعبادة في البيت في هذا الوقت توازي في الأجر العبادة في المسجد، بل قد تزيد أجرًا على العبادة في المسجد؛ وذلك لأنَّ هذا هو واجب الوقت الآن لا سيما مع تَفَشِّي الوباء القاتل الذي ذهب ضحيتَه آلافُ البشر، وانتشر في عشرات البلدان، وهو فيروس (كوفيد-19)،

Artinya;  dan ibadah yang dikerjakan di rumah pada waktu ini (wabah) akan menyamai bagi pahala ibadah yang dikerjakan di masjid, bahkan bisa jadi pahalanya akan melebihi ibadah yang dikerjakan di masjid.  Terlebih dengan merebaknya wabah mematikan yang telah merenggut nyawa ribuan orang dan telah menyebar di puluhan negara, dan wabah itu adalah Covid-19.

Demikian penjelasan hukum shalat Idul Adha di rumah.  Pasalnya, di saat PPKM dan wabah yang tengah merebak ini, ibadah di rumah menjadi solusi terbaik. Semoga memberikan manfaat.

BINCANG SYARIAH

Keutamaan Amalan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijah (2)

Adapun amalan yang selayaknya dilakukan oleh setiap muslim yang memiliki kemampuan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah ini adalah sebagai berikut:

Pertama, haji dan umrah. Rasulullah bersabda, “Satu umrah ke umrah lainnya menjadi penghapus dosa-dosa di antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada balasan yang setimpal untuknya selain surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua, haji mabrur adalah haji yang dilaksanakan ikhlas demi meraih ridha Allah dan dikerjakan sesuai tuntunan Rasulullah. Ciri utamanya adalah keimanan, ketakwaan, dan amal shalih pelakunya setelah mengerjakan haji mengalami peningkatan ke arah yang lebih baik.

Ketiga,  Shaum sunnah, yaitu shaum sunnah antara tanggal 1-9 Dzulhijah. Minimal mengerjakan shaum sunnah Arafah tanggal 9 Dzulhijah bagi selain jama’ah haji.

Shaum sunnah adalah amal shalih yang sangat dicintai oleh Allah. Allah bahkan menganggap Dzat-Nya sebagai pemilik khusus shaum, dan Allah sendiri yang akan memberikan balasannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi bahwa Allah berfirman, “Semua amal anak manusia untuk dirinya sendiri, kecuali shaum, karena sesungguhnya shaum itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika kita tidak mampu memperbanyak shaum sunnah pada sembilan hari pertama bulan Dzulhijah ini, maka setidaknya kita melaksanakan shaum hari Arafah pada tanggal sembilan Dzulhijah. Rasulullah  bersabda tentang keutamaan shaum hari Arafah.

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ ، وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ

“Shaum hari Arafah, aku mengharap Allah menghapuskan dengannya dosa satu tahun sebelumnya dan dosa satu tahun sesudahnya.” (HR. Muslim, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Empat, shalat wajib lima waktu secara berjama’ah di masjid dan memperbanyak shalat sunnah.

Sebaiknya setiap muslim menjaga pelaksanaan shalat sunnah Rawatib, shalat Dhuha, shalat Tahajud, shalat Witir, shalat tahiyatul masjid, dan shalat sunnah lainnya. Dalam hadits qudsi Allah SWT berfirman, “Hamba-Ku senantiasa mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Lima,  tasbih, tahmid, tahlil, takbir, dan dzikir

Umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak bacaan tasbih, tahmid, tahlil, takbir, dan dzikir pada sepuluh hari pertama Dzulhijah berdasar firman Allah,

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

“Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (QS. Al-Haj (22): 28)

Dari Ibnu Umar dari Nabi SAW bersabda :                            

عَنِ  ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْعَمَلِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيد

 “Tiada hari yang lebih agung di sisi Allah dan amal kebaikan pada hari tersebut lebih dicintai oleh Allah, melebihi sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah ini. Maka hendaklah kalian memperbanyak tahlil, takbir, dan tahmid.” (HR. Ahmad)

Imam Bukhari berkata, “Ibnu Umar dan Abu Hurairah RA keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah. Keduanya mengumandangkan takbir, maka orang-orang mengikuti keduanya dalam mengumandangkan takbir. Ibnu Umar juga mengumandangkan takbir dari dalam tendanya di Mina, maka jama’ah masjid yang mendengarnya ikut mengumandangkan takbir. Mendengar hal itu, orang-orang di Pasar ikut mengumandangkan takbir, sehingga Mina bergemuruh dengan suara takbir. Pada hari-hari tersebut, Ibnu Umar mengumandangkan takbir di Mina, setelah shalat wajib, di atas kasur, tenda, tempat duduk, dan jalan yang dilaluinya. Ia bertakbir pada seluruh hari tersebut.”

Enam. sedekah.

Sedekah secara umum hukumnya sunnah, dan nilai kesunnahannya pada sepuluh hari pertama bulanDzulhijah ini semakin kuat. Allah SWT berfirman (yang artinya).

 “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir terdapat seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2] : 261).

Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)”. dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezki yang sebaik-baiknya.”  (QS. Saba (34) : 39).

Tujuh. Menyembelih hewan kurban

Di antara bentuk sedekah adalah menyembelih hewan kurban dan membagi-bagikan dagingnya kepada kaum muslimin pada tanggal 10 Dzulhijah.

Dari Anas bin Malik RA berkata, “Nabi SAW berkurban dengan menyembelih dua ekor domba yang berwarna putih dan bertanduk dua. Beliau membaca bismillah dan takbir, menekankan kakinya ke sisi leher domba, dan menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sepertiga untuk yang berkurban dan panitia, sepertiga untuk hadiah kepada kaum muslimin, sepertiga untuk yang memerlukan.

Selain amalan-amalan di atas, terdapat banyak amalan yang selayaknya digalakkan. Antara lain: membaca Al-Qur’an, membaca istighfar, berbakti kepada orang tua, menyambung tali kekerabatan, menyebar luaskan salam, memberikan makanan, mendamaikan dua pihak yang bersengketa, amar ma’ruf dan nahi munkar, menjaga lisan dan kemaluan, berbuat baik kepada tetangga, memuliakan tamu, memberi nafkah kepada keluarga, mengasuh anak yatim, menengok orang sakit, membantu kesulitan orang lain, menunaikan amanat, mengembalikan barang titipan, melunasi hutang, dan lain sebagainya. Wallahu a’lam bishshawab. Dari berbagai sumber. Kudus, 6 Oktober 2013/01 Dzulhijjah 1434 H. Al Faqir Ilal ‘Aliyyil Qadir.*/Abu Ali Haidar

HIDAYATULLAH

Keutamaan Amalan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijah (1)

SAAT ini  kini berada dalam rangkaian sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijah.  Sepuluh hari yang agung. Allah Subhanahu wa ta’ala, Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam, dan seluruh kaum muslimin memuliakan dan mengagungkannya. Syariat memerintahkan umat Islam untuk menyemarakkannya dengan berbagai amal shalih yang istimewa.

ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Demikianlah (perintah Allah). dan barangsiapa mengagungkan, memuliakan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul/lahir dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj [22] : 32).

Syi’ar Allah Ialah: segala amalan yang dilakukan dalam rangka ibadat haji dan tempat-tempat mengerjakannya.

Keutamaan 10 hari pertama bulan Dzulhijah

Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah memiliki keutamaan yang agung/mulia dalam syariat Islam. Di antaranya adalah:

1. Allah SWT bersumpah dengannya. Allah berfirman,

“Demi waktu fajar. Dan demi sepuluh malam.” (QS. Al-Fajr [89] : 1-2)

Makna sepuluh malam dalam ayat yang mulia ini adalah sepuluh malam yang pertama dalam bulan Dzulhijah, menurut mayoritas ulama tafsir, dan inilah pendapat yang benar menurut penelitian imam Ibnu Katsir ad-Dimasyqi.

2. Ia merupakan hari-hari yang disyariatkan secara khusus untuk memperbanyak dzikir. Allah berfirman (yang artinya).

 “Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (QS. Al-Hajj [22] : 28)

Menurut mayoritas ulama tafsir, termasuk di antaranya sahabat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas RA, maksud dari menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah.

3. Rasulullah  bersaksi bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah adalah hari-hari di dunia yang paling mulia.

Dari Jabir RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Hari-hari di dunia yang paling utama adalah sepuluh hari (pertama bulan Dzulhijah)” Para sahabat bertanya, “Hari-hari yang dipergunakan (jihad) di jalan Allah juga tidak menandinginya?” Beliau menjawab, “Hari-hari yang dipergunakan di jalan Allah juga tidak mampu menandinginya, kecuali seseorang yang wajahnya terjerembab di dalam debu (gugur di medan jihad hingga wajahnya beralaskan tanah).” (HR. Al-Bazzar dan Ibnu Hibban)

4. Hari Arafah. Wuquf di Arafah jatuh pada tanggal 9 Dzulhijah setiap tahun. Hari wuquf di Arafah adalah hari yang sangat agung. Pada saat tersebut Allah mengabulkan doa, mengampuni dosa, menerima taubat, dan membebaskan hamba-hamba yang diridhai-Nya dari siksa api neraka. Begitu agungnya hari tersebut, sehingga Rasulullah bersabda, “Haji adalah (wuquf di) Arafah.” (HR. Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Majah, dan Ahmad. Hadits shahih)

5. Hari penyembelihan

Hari penyembelihan atau biasa disebut yaum an-nahr dan idul Adha, jatuh pada tanggal 10 Dzulhijah setiap tahun. Ia merupakan hari raya seluruh umat Islam, dan bagi para jama’ah haji merupakan salah satu rangkaian manasik haji yang sangat penting. Sebagian ulama bahkan berpendapat hari tersebut merupakan hari paling mulia dalam satu tahun, sebagaimana hadits dari Abdullah bin Qurth RA bahwasanya Nabi bersabda :

أَعْظَمُ الْأَيَّامِ عِنْدَ اللهِ يَوْمُ النَّحْرِ ، ثُمَّ يَوْمُ الْقَرِّ

 “Hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari penyembelihan dan hari sesudahnya.”(HR. Ahmad, An-Nasai, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ath-Thabarani, Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan Abu Nu’aim al-Asbahani)

6. Induk berbagai ibadah terkumpul pada hari-hari tersebut.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari mengatakan, “Nampaknya hal yang menyebabkan keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah adalah berkumpulnya induk-induk ibadah pada hari-hari tersebut, yaitu shalat, shaum, sedekah, dan haji. Hal itu tidak mungkin terkumpul pada hari-hari yang lain”

Keutamaan amal shalih pada 10 hari pertama Dzulhijah

Terdapat beberapa hadits shahih yang menerangkan keutamaan amal shalih pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah. Di antaranya adalah :

عَنْ  ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا مِنْ أَيَّامٍ العَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ العَشْرِ فَقَالُوا : يَا رَسُولَ الله وَلَا الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَلَا الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ

Dari Ibnu Abbas RA berkata, Rasulullah bersabda, “Tidak ada hari-hari yang amal shalih pada waktu tersebut lebih dicintai Allah melebihi hari-hari sepuluh (bulan Dzulhijah ini)” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tidak juga amalan jihad di jalan Allah?” Beliau menjawab, “Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang keluar berperang di jalan Allah dengan nyawa dan hartanya, lalu ia tidak kembali dengan membawa sesuatu pun (ia gugur di jalan Allah).” (HR. Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ : كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : فَذُكِرَتِ الْأَعْمَالُ فَقَالَ : مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ فِيهِنَّ أَفْضَلُ مِنْ هَذِهِ الْعَشْرِ قَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ ؟ قَالَ : فَأَكْبَرَهُ فَقَالَ : وَلَا الْجِهَادُ إِلَّا أَنْ يَخْرُجَ رَجُلٌ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فِي سَبِيلِ اللهِ  ثُمَّ تَكُونَ  مُهْجَةُ نَفْسِهِ فِيهِ

Dari Abdullah bin Amru bin Ash RA berkata: “Saya tengah berada di sisi Rasulullah lalu disebutkan beberapa amal shalih, maka beliau bersabda, “Tidak ada hari-hari yang amal shalih pada waktu tersebut lebih mulia daripada hari-hari sepuluh (bulan Dzulhijah ini)” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tidak juga amalan jihad di jalan Allah?” Beliau menjawab, “Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang keluar berperang di jalan Allah dengan nyawa dan hartanya, kemudian ia gugur di jalan Allah.” (HR. Ahmad, Ath-Thahawi, dan Abu Nu’aim al-Asbhani. Dinyatakan shahih oleh muhaqqiq Hilyatul Awliya’)

Imam At-Tirmidzi menyatakan terdapat hadits dengan lafal yang serupa dari jalur Abu Hurairah dan Jabir bin Abdullah RA. Kedua hadits di atas dan hadits-hadits penguatnya menunjukkan beberapa pelajaran penting bagi umat Islam:

Amal shalih apapun lebih dicintai oleh Allah jika dikerjakan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah, melebihi cinta Allah apabila amal shalih tersebut dikerjakan di hari-hari yang lain.

Karena amal shalih yang dikerjakan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah lebih dicintai oleh Allah, maka hal itu bermakna amal tersebut lebih mulia dan lebih utama di sisi Allah.

Orang yang beramal shalih pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah lebih utama daripada orang yang berjihad dengan nyawa dan hartanya di hari-hari yang lain lalu ia bisa kembali kepada keluarganya dengan selamat.

Semua amal shalih pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah, tanpa terkecuali, akan dilipat gandakan pahalanya oleh Allah.

Sungguh sebuah bazar amal yang sangat menguntungkan bagi setiap Muslim.

Amalan-amalan yang sangat dianjurkan dalam 10 hari pertama Dzulhijah Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah adalah musim kebaikan. Sudah selayaknya setiap muslim memberikan perhatian yang lebih terhadapnya. Sudah sewajarnya setiap muslim meningkatkan amal shalihnya pada waktu tersebut, melebihi amal shalihnya pada waktu yang lain. Seorang ulama tabi’in, Abu Utsman Abdurrahman bin Mull an-Nahdi (wafat tahun 95 H) berkata:

Generasi salaf (sahabat) sangat memuliakan puluhan hari yang tiga; sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama Dzulhijah, dan sepuluh hari pertama Muharram.”*/Abu Ali Haidarer

HIDAYATULLAH

Apa yang Dimaksud dengan Takhayul?

Kita sering mendengar kata “takhayul”. Namun apa sebenarnya makna dari takhayul itu? Dan apa hukumnya dalam pandangan Islam? Simak uraian ringkas berikut ini.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), takhayul bermakna:

  1. (sesuatu yang) hanya ada dalam khayal belaka.
  2. kepercayaan kepada sesuatu yang dianggap ada atau sakti, tetapi sebenarnya tidak ada atau tidak sakti.

Makna yang pertama

Makna yang pertama, ini sesuai dengan makna dalam bahasa Arab. Dalam Mu’jam Musthalahat Fiqhiyyah disebutkan:

تخيل ، تصور الشيء في النفس

takhoyyala artinya: tergambarnya suatu hal dalam jiwa (pikiran)”.

Maka takhayul di sini sama dengan kata “berkhayal” atau “khayalan” yang kita tahu bersama. Jika demikian, takhayul dengan makna pertama ini hukumnya tergantung apa yang dikhayalkan dan apa manfaat atau mudaratnya.

Jika yang dikhayalkan adalah perkara yang mubah, maka hukumnya mubah. Jika yang dikhayalkan adalah perkara yang haram, atau mengkhayalkan yang tidak bermanfaat, atau terlalu banyak berkhayal, maka ini terlarang.

Contoh khayalan yang haram adalah seorang lelaki mengkhayalkan wanita yang tidak halal baginya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

إن اللهَ كتب على ابنِ آدمَ حظَّه من الزنا ، أدرك ذلك لا محالةَ ، فزنا العينِ النظرُ ، وزنا اللسانِ المنطقُ ، والنفسُ تتمنى وتشتهي ، والفرجُ يصدقُ ذلك كلَّه أو يكذبُه

“Sesungguhnya Allah telah menakdirkan bahwa pada setiap anak Adam memiliki bagian dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari. Zinanya mata adalah penglihatan, zinanya lisan adalah ucapan, sedangkan nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan berangan-angan. Dan kemaluanlah yang membenarkan atau mengingkarinya” (HR. Bukhari no. 6243 dan Muslim no.2657).

Allah Ta’ala dan Rasul-Nya mencela sifat panjang angan-angan. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ ۖ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ

“Janganlah kalian seperti orang-orang yang telah diberikan kitab (Ahlul Kitab) sebelumnya, panjang angan-angan mereka sehingga rusak hati mereka. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS. Al Hadid: 16).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا يَزالُ قَلْبُ الكَبِيرِ شابًّا في اثْنَتَيْنِ: في حُبِّ الدُّنْيا وطُولِ الأمَلِ

“Hati orang yang sudah tua akan senantiasa seperti anak muda dalam menyikapi dua hal: cinta dunia dan panjang angan-angan” (HR. Bukhari no. 6420).

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ اتِّبَاعُ الْهَوَى، وَطُولُ الْأَمَلِ. فَأَمَّا اتِّبَاعُ الْهَوَى فَيَصُدُّ عَنِ الْحَقِّ، وَأَمَّا طُولُ الْأَمَلِ فَيُنْسِي الْآخِرَةَ

“Perkara yang paling aku takutkan adalah mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Adapun mengikuti hawa nafsu, ia akan memalingkan dari kebenaran. Adapun panjang angan-angan, ia akan membuat lupa akan akhirat” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya‘, 1: 76).

Makna yang kedua

Adapun makna yang kedua, takhayul di sini lebih dekat kepada dua perkara:

  1. Khurafat

Sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Aisyah radhiyallahu ’anha, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

أتدرون ما خرافةُ ؟ إنَّ خُرافةَ كان رجلًا من عذرةٍ أسرَتْه الجنُّ في الجاهليةِ ، فمكث فيهم دهرًا ، ثم ردُّوه إلى الإنسِ ، فكان يُحدِّثُ الناسَ بما رأى فيهم من الأعاجيبِ ، فقال الناسُ : حديثُ خُرافَةَ

“Apakah kalian tahu kisah tentang khurafah? Sesungguhnya khurafah adalah seorang lelaki dari Bani Udzrah, yang ditawan oleh kaum jin di masa Jahiliyah. Khurafah tinggal bersama para jin beberapa waktu. Kemudian para jin mengembalikannya ke tengah manusia. Kemudian si Khurafah ini menceritakan kisah-kisah ajaib yang ia lihat. Maka setelah itu, manusia punya istilah baru yaitu: cerita khurafah” (HR. Ahmad no. 25283, dinilai sebagai hadis yang dhaif oleh Al-Albani dalam Silsilah Adh-Dha’ifah no. 1712).

Hadis ini lemah, namun memiliki makna yang sejalan dengan perkataan para ulama, bahwa khurafah adalah cerita tentang hal-hal yang ajaib dan aneh yang merupakan kedustaan.

Ibnu Manzhur rahimahullah dalam Lisanul Arab menjelaskan makna khurafah dalam hadis dhaif di atas. Beliau rahimahullah berkata,

أَن يريد به الخُرافاتِ الموضوعةَ من حديث الليل، أَجْرَوْه على كل ما يُكَذِّبُونَه من الأَحاديث، وعلى كل ما يُسْتَمْلَحُ ويُتَعَجَّبُ منه

“Yang dimaksud khurafat dalam hadis di atas adalah cerita-cerita malam yang dibuat-buat. Istilah khurafah ini (yang awalnya merupakan nama seorang lelaki) menjadi identik dengan semua cerita yang dusta, yang mengandung kisah-kisah ajaib yang dibumbui”.

Dan khurafat itu minimalnya adalah kebid’ahan dalam keyakinan terhadap perkara gaib, dan seringkali khurafat itu berupa kesyirikan. Contoh khurafat yang berupa cerita adalah cerita-cerita legenda, urban legendfolklore, mitos dan semisalnya.

Demikian juga mitos-mitos yang dikaitkan dengan suatu manfaat atau bahaya, tanpa landasan dalil atau bukti ilmiah, seperti:

  • Berdiri di pintu nanti akan membuat sulit jodoh.
  • Jika gigi putus, lemparkan ke atas atau ke bawah, supaya tumbuh dengan baik.
  • Jika sedang hamil tidak boleh membunuh binatang, nanti anaknya akan lahir dalam keadaan cacat.
  • dan semisalnya.

Ini semua khurafat atau takhayul yang tidak boleh diyakini.

  1. Sihir takhayyul

Salah satu jenis sihir adalah sihir takhayyul. Disebutkan oleh Syekh Shadiq Ibnul Haaj,

سحر التخيل وهو أن يعمـد الساحـر إلـى القـوى المتخيلـة فيتصرف فيها بنوع من التصرف ويلقى فيها أنواعـا من الخـيالات والمـحاكاة وصورا مما يقصده من ذلك ثم ينزلها إلى الحس من الرائيـن بقـوة نفسه الخبيثة المؤثرة فيه فينظرها كأنها فى الخارج وليس هناك شيء من ذلك

“Sihir takhayyul adalah seorang penyihir mengandalkan kekuatan yang mengendalikan khayalan orang, sehingga ia melakukan berbagai macam cara untuk menimbulkan suatu khayalan dan gambaran dalam benak seseorang sesuai dengan keinginan si penyihir. Kemudian khayalan tersebut seolah-olah bisa diindera secara fisik karena kuatnya pengendalian khayalan tersebut. Sehingga orang yang disihir merasa itu terjadi secara nyata, padahal tidak ada apa-apa” (Al-Iidhahul Mubin, li Kasyfi Hiyalis Saharah wal-Musya’wadzin, hal. 9).

Contohnya sebagaimana penyihir yang dihadapi Nabi Musa ‘alaihis salaam,

قَالَ بَلْ أَلْقُوا ۖ فَإِذَا حِبَالُهُمْ وَعِصِيُّهُمْ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِن سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَىٰ

“Nabi Musa mengatakan, ‘Hendaknya kalian (penyihir) yang melempar duluan.’ Seketika itu tali dan tongkat mereka dikhayalkan dengan sihir mereka seolah-olah benda-benda tersebut bergerak-gerak” (QS. Thaha: 66).

Jika demikian, maka takhayyul di sini termasuk sihir dan sihir itu termasuk kekufuran. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ

“Mereka (Harut dan Marut) mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, ‘Sesungguhnya kami hanya ujian (bagimu), sebab itu janganlah kamu kufur’” (QS. Al-Baqarah: 102).

Maka, takhayul dalam artian sihir takhayul ini wajib dijauhi sejauh-jauhnya.

Wallahu a’lam. Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

Baca Juga:

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/67397-apa-yang-dimaksud-dengan-takhayul.html