Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 2)

Baca penjelasan sebelumnya Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 1)

Bismillah.

Alhamdulillah pada kesempatan ini Allah berikan kemudahan bagi kita untuk melanjutkan kembali pembahasan dari risalah Qawa’id Arba’ atau empat kaidah utama karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Pada bagian terdahulu kita telah membaca mukadimah atau pengantar dari beliau yang berisi doa bagi pembaca risalahnya agar mendapatkan pertolongan dari Allah dan diberkahi dimana pun ia berada.

Kemudian, beliau berkata : Semoga Allah menjadikan kamu termasuk orang yang bersyukur ketika diberi nikmat, bersabar ketika diberi cobaan/musibah, dan beristighfar apabila berbuat dosa. Karena sesungguhnya ketiga hal ini merupakan tanda-tanda kebahagiaan.

Penjelasan :

Tidaklah diragukan bahwa kebahagiaan menjadi dambaan setiap insan. Tidak ada orang yang ingin hidup sengsara. Semua pasti ingin bahagia. Akan tetapi banyak orang salah paham tentang hakikat kebahagiaan. Mereka menyangka bahwa kebahagiaan itu terletak pada banyaknya harta, tingginya jabatan, ketenaran, atau ketampanan dan kecantikan. Oleh sebab itu banyak orang hanyut dalam kerusakan akhlak dan kesesatan aqidah dengan dalih demi mengejar kebahagiaan.

Padahal, Allah menjadikan kebahagiaan itu akan bisa diraih dengan mengikuti petunjuk-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123). Hakikat kebahagiaan itu adalah kelapangan dada dan ketenangan hati, sebagaimana sering diulang-ulang oleh Ustaz Afifi hafizhahullah dalam ceramahnya. Hal ini senada dengan penjelasan Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah dalam kitabnya at-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman bahwa pokok kehidupan yang baik itu adalah kelapangan hati dan ketenangannya (lihat at-Taudhih wal Bayan, hal. 50)

Kebahagiaan hakiki itu hanya bisa digapai dengan iman dan amal salih. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang melakukan amal salih dari kalangan lelaki dan perempuan dalam keadaan beriman maka benar-benar Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa-apa yang telah mereka amalkan.” (an-Nahl : 97). Iman dan amal salih inilah yang akan membuahkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Bagi orang beriman kelezatan hidup itu ada pada ketaatan. Kebahagiaan ada di tangan Allah dan tidak bisa diraih kecuali dengan taat kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pasti merasakan lezatnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim). Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Orang-orang yang malang dari penduduk dunia. Mereka yang keluar darinya dalam keadaan belum merasakan sesuatu yang terbaik di dalamnya.” Orang-orang bertanya kepadanya, “Wahai Abu Yahya, apakah itu yang terbaik di dunia?” beliau menjawab, “Yaitu mengenal Allah ‘azza wa jalla.”

Orang yang mengenal Allah maka dia akan menyadari bahwa segala nikmat yang dia peroleh datangnya dari Allah, sehingga dia pun bersyukur kepada-Nya. Orang yang mengenal Allah maka dia pun meyakini bahwa musibah adalah takdir Allah yang wajib dihadapi dengan kesabaran. Orang yang mengenal Allah maka dia menyadari dosa dan kesalahannya sehingga dia pun beristighfar memohon ampunan kepada Allah atas dosa-dosanya. Ketiga hal ini; syukur, sabar dan istighfar merupakan tanda kebahagiaan hamba, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah di bagian awal kitabnya al-Wabil ash-Shayyib (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hal. 5)

Dari sinilah kita mengetahui betapa besar nikmat hidayah dan petunjuk agama. Sebab tanpa hidayah dan petunjuk agama Islam maka manusia akan tenggelam dalam kesesatan dan hanyut dalam kerusakan. Maka banyak orang diberi nikmat tetapi tidak bersyukur kepada Allah. Mereka tertimpa musibah tetapi tidak bersabar dalam menghadapinya, mereka marah kepada Allah dan tidak menerima ketetapan-Nya. Begitu pula tidak sedikit orang yang berbuat dosa dan tidak kunjung beristighfar, bahkan mereka berbangga dengan dosa dan tidak malu dengan maksiatnya.

Sungguh hidayah agama ini merupakan kebahagiaan besar bagi seorang hamba, sebuah kebahagiaan yang tidak ternilai harganya. Sehingga dia akan meyakini bahwa kebahagiaan itu bukanlah dengan menumpuk-numpuk harta. Akan tetapi hakikat orang bahagia adalah mereka yang menghiasi hati dan perilakunya dengan takwa. Karena itulah Allah berfirman mengenai hari akhirat (yang artinya), “Pada hari itu tiada berguna harta dan anak-anak kecuali bagi mereka yang datang kepada Allah dengan membawa hati yang selamat.” (asy-Syu’ara’ : 88-89)

Syukur kepada Allah dilandasi oleh keyakinan di dalam hati bahwa semua nikmat yang kita raih berasal dari Allah. Kemudian kita memuji Allah atas nikmat-nikmat itu, kita sandarkan nikmat kepada-Nya bukan kepada selain-Nya. Termasuk bentuk syukur adalah tidak menggunakan nikmat kecuali dalam rangka ketaatan kepada-Nya. Dengan demikian melakukan segala bentuk amal salih pada hakikatnya merupakan aplikasi dari syukur kepada Allah. Pokok dari syukur itu adalah mentauhidkan Allah. Karena hanya Allah yang menciptakan kita maka hanya kepada-Nya kita beribadah. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai manusia sembahlah Rabb kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21)

Untuk bisa mewujudkan syukur kepada Allah seorang hamba harus mewujudkan sikap musyahadatul minnah; yaitu menyaksikan dan menyadari berbagai macam nikmat yang Allah curahkan kepadanya. Sebagaimana tertuang dalam doa sayyidul istighfar pada kalimat ‘abuu’u laka bini’matika ‘alayya’ yang artinya : Dan aku mengakui kepada-Mu akan segala nikmat yang Kau berikan kepadaku… (HR. Bukhari). Dengan musyahadatul minnah inilah akan tumbuh kecintaan, pujian dan syukur kepada Allah (lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam al-Wabil ash-Shayyib, hal. 11)

Oleh sebab itu setiap hari di dalam sholat kita diajari untuk memuji Allah dalam kalimat alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, di dalam bacaan al-Fatihah. Tidak kurang dari 17 kali dalam 24 jam. Di setiap raka’at sholat kita memuji Allah dan menyanjung-Nya. Alhamdulillah adalah kalimat yang terucap dari setiap orang yang bersyukur kepada Allah. Dia memuji Allah dengan penuh kecintaan dan pengagungan. Dia memuji Allah atas sekian banyak nikmat yang Allah curahkan kepada dirinya. Alhamdulilah ini pula salah satu kalimat yang paling Allah cintai.

Allah Mahaterpuji karena kesempurnaan sifat dan perbuatan-Nya. Allah juga terpuji karena limpahan nikmat yang tercurah kepada kita. Tidak ada satupun nikmat yang ada pada diri kita kecuali datangnya dari Allah semata. Bahkan pada setiap kali bangun tidur kita diajari untuk bersyukur kepada Allah dengan membaca doa alhamdulillahilladzi ahyaanaa ba’da maa amaatana… Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kita kembali setelah mematikan kita… (HR. Bukhari)

Kehidupan ini adalah nikmat agung yang Allah berikan kepada kita dan wajib kita syukuri. Bukankah Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah diantara kalian yang lebih bagus amalnya.” (al-Mulk : 2). Dan sebagaimana telah ditafsirkan oleh ulama salaf bahwa yang paling bagus amalnya yaitu yang paling ikhlas dan paling benar. Ikhlas ketika amal itu dilakukan karena Allah, sedangkan benar adalah apabila amalan itu sesuai dengan sunnah/tuntunan rasul.

Mensyukuri nikmat Allah bukanlah perkara yang sepele. Karena dengan syukur itulah nikmat semakin Allah tambahkan, dan dengan syukur itu pula akan terjaga nikmat-nikmat yang telah kita dapatkan. Tanpa syukur kepada Allah maka nikmat-nikmat itu justru akan berubah menjadi malapetaka. Sebagaimana telah diingatkan oleh Abu Hazim rahimahullah“Setiap nikmat yang tidak semakin menambah dekat kepada Allah maka pada hakikatnya itu adalah malapetaka.”

Allah berikan nikmat itu demi menguji hamba apakah dia bersyukur kepada Allah ataukah justru kufur akan nikmat-Nya. Allah pun berikan cobaan berupa musibah kepada kita agar terlihat siapakah orang-orang yang sabar menghadapinya dan siapa yang justru marah kepada takdir-Nya. Inilah kehidupan yang kita jalani. Hidup penuh dengan ujian. Hanya orang beriman yang bisa menyambut nikmat dengan kesyukuran dan menyambut musibah dengan kesabaran.

[Bersambung]

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si

Sumber: https://muslim.or.id/68732-penjabaran-empat-kaidah-utama-bag-2.html

4 Fakta tentang Sirah, Kajian Kehidupan Nabi Muhammad

Sirah menjadi pedoman bagi Muslim bagaimana mereka harus berperilaku.

Nabi Muhammad adalah utusan Allah yang terakhir. Umat Muslim dianjurkan mengetahui perjalanan Nabi, termasuk mengenal keluarga dan sahabatnya. Berikut empat fakta tentang sirah, kajian kehidupan Nabi, seperti dilansir About Islam, Senin (6/9).

1. Setiap Muslim diimbau mempelajari sirah Nabi SAW

Umat ​​Islam memandang Nabi Muhammad sebagai panutan mereka. Mereka berusaha meniru dia dan mencintainya lebih dari mereka mencintai diri mereka sendiri. Salah satu cara terbaik mencapai ini adalah belajar tentang dia dan kehidupannya. Studi tentang kehidupan Nabi dikenal sebagai sirah.

Materi ini mencakup kehidupan sehari-hari, interaksi dengan sahabat dan keluarga, perannya sebagai pemimpin, sifat dan perilakunya. Semakin banyak orang belajar tentang kehidupan Rasulullah, semakin mereka belajar tentang pengabdiannya kepada Allah dan kepeduliannya terhadap seluruh umat manusia. Hal ini menghasilkan penghargaan dan cinta untuk Nabi dan memotivasi diri untuk mengikuti jalan-Nya.

2. Sirah Nabi tidak dimulai dari kelahirannya

Ketika mempelajari sirah, seseorang tidak dapat memulai dengan hari ia dilahirkan. Tidak seperti karya biografi tokoh terkenal lainnya dalam sejarah, studi tentang kehidupan Nabi dimulai dari generasi sebelumnya.

Terkadang, kitab sirah dimulai sejak zaman Nabi Ibrahim dan putra-putranya. Muslim percaya Nabi Muhammad berasal dari garis keturunan Nabi Ismail, putra Nabi Ibrahim. Oleh karena itu, banyak sumber sirah dimulai dengan waktu ini dalam sejarah dan penempatan Nabi Ismail dan ibunya di Makkah meskipun mereka hidup beberapa generasi sebelum Nabi Muhammad.

3. Yang diketahui tentang sirah berasal dari para sahabat Nabi

Para sahabat Nabi sangat mencintainya. Akibatnya, mereka memperhatikan dengan seksama perilaku dan kehidupannya lalu mencatatnya. Setelah itu, mereka meneruskan pengetahuan ini untuk kepentingan semua Muslim yang akan datang setelah mereka.

Mereka mengikuti jejak Nabi Muhammad, mengetahui cara hidupnya diterima dan dicintai Allah. Berkat mereka, umat Islam saat ini memiliki pedoman tentang bagaimana mereka harus berperilaku.

4. Pengetahuan tentang sirah memberi konteks Alquran dan hadits

Banyak ayat dan narasi yang datang dalam Alquran dan hadits membutuhkan sedikit lebih banyak konteks untuk memahami situasi sepenuhnya. Pengetahuan tentang kehidupan Nabi sangat berguna untuk memahaminya. Misal, firman Allah dalam surat Ad-Dhuha ayat 3:

مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلٰىؕ

“Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu,”

Ketika dibaca sendiri, tidak ada konteks sama sekali untuk memahami ayat ini. Tapi sirah melukiskan latar belakang di mana wahyu ini diturunkan. Nabi Muhammad tidak menerima wahyu untuk beberapa waktu sebelum ayat ini dan berurusan dengan musuh-musuhnya yang mengejeknya. Pikiran bahwa Allah menjadi tidak senang dengan akhirnya menetap di kepalanya dan saat itulah Tuhan meyakinkan Nabi bahwa ini tidak terjadi.

KHAZANAH REPUBLIKA

Bolehkah Haji Diwakilkan?

Ibadah haji memiliki karakteristik ibadai yang tidak kaku dalam pelaksanaannya. Sehingga bagi orang yang sudah mampu secara ekonomi namun fisik tidak maka dapat diwakilkan.

Ichsanuddin Kusumadi dalam bukunya Memahami Haji dan Umrah mengatakan, kebolehan mewakilkan ibadah haji, sesuai pendapatnya Imam Syafi’i.

“Imam  Syafi’i berpendapat atas wajibnya mewakilkan,” katanya.

Jadi menurut pendapatnya seseorang yang mempunyai harta yang mencukupi bagi orang lain untuk menghajikan dirinya, jika dirinya memang tidak sanggup mengerjakan Haji sendiri, maka wajib atasnya mengongkosi orang lain untuk berhaji atas namanya.

“Yakni atas nama pemilik harta dengan hartanya itu,” katanya.

Jika ada lain baik saudara maupun bukan, yang sanggup menghajikan dirinya, maka gugurlah kewajiban hal tersebut. 

Sementara, Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayah al-Mujtahid menjelaskan secara singkat akan hukum mewakili ibadah haji, yaitu bahwa mengenai seseorang yang tidak sanggup mengerjakan sendiri ibadah hajinya, tetapi ia sanggup mewakilinya kepada orang lain, maka Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak wajib atasnya mewakilkan. 

Ichsanuddin Kusumadi mengatakan, silang pendapat ini disebabkan oleh adanya pertentangan antara qiyas dengan hadis. Pertama yang menggunakan qiyas menghendaki bahwa dalam urusan-urusan beribadah dan itu seseorang tidak bisa mewakilkan orang lain. Seperti halnya dalam salat seseorang tidak dapat mengerjakan salat atas nama orang lain.

“Itu berdasarkan kesepakatan fuqoha,” katanya.

Berdasarkan hadis yang bertentangan dengan qiyas tersebut adalah Hadits Ibnu Abbas ra yang terkenal dan diriwayatkan oleh Bukhari Muslim yang artinya. Sesungguhnya seseorang perempuan dari Khatami berkata kepada  Rasulullah SAW. 

“Ya Rasulullah kewajiban hamba-hamba Allah terhadap-Nya ialah ibadah haji dan aku menjumpai ayahku sudah lanjut usia dan tidak sanggup bertahan di atas kendaraan. Apakah aku boleh menghajikannya? “Nabi SAW bersabda, “Ya” dan ini terjadi pada Haji Wada. (HR Bukhari Muslim).

IHRAM

Penjelasan Haji Jadi Momen Pernikahan Antarsuku Arab

Bangsa Arab memiliki interaksi sosial yang begitu kuat dengan beberapa bangsa dan kabilah satu sama lain. 

Akibat interaksi inilah terjadi pertukaran manusia dari satu keadaan keadaan lain. Ibadah haji menjadi salah satu penyebab terpenting dari terjadinya percampuran darah dan keturunan antara kabilah Arab. 

“Di sana (Makkah saat haji), berkumpul kaum Muslimin dari berbagai bangsa berkenalan-kenalan antara satu dengan yang lain,” tulis Prof Hamka dalam bukunya “Sejarah Umat Islam Prakenabian Hingga Islam di Nusantara”. 

Percampuran darah itu dengan bangsa Mesir, Suriah, Hindi, Tionghoa, Persia, Zanji, Habasyi, Maroko, Aljazair ,Indonesia, Syam, dan lain-lain. Banyak persemendaan dan permantuaan. 

Sekarang ini 65 persen dari penduduk Makkah adalah bangsa campuran dari seluruh darah umat Islam karena pada sebagian kota di Arab banyak terjadi percampuran. 

Sementara itu pada kota yang lain beda pula pencampurannya. Akibatnya, pada zaman sekarang banyak didapati perbedaan perangai atau peradaban di antara para penduduk tanah Arab. 

Orang Arab Makkah memiliki rupa yang kuning. Arab Najd rupanya sedikit hitam. Arab Oman berbadan besar, Arab Yaman berbadan kecil seperti orang Jepang. Arab Suriah hampir menyerupai Arab Marokok yaitu berkulit seperti bangsa barat.  

Arab Mesir agak hitam dan besar tubuhnya mirip orang Sudan, sedangkan yang di kota berkulit kuning karena banyak bercampur dengan darah Turki dan lain-lain. Arab Irak berbadan tegap, demikian juga dengan Arab Andalusia Utara rupanya seperti orang Eropa.  

“Akhirnya sampai pada keturunan bangsa Arab di negeri kita ini seperti yang terdapat di Tanah Bugis hanya kopiah putih nya saja yang menunjukkan ia adalah orang Arab,” katanya. Dan bangsawan-bangsawan Siak dan bangsawan Pontianak sudah memiliki rupa Melayu.  

IHRAM

Punya Anak yang Mudah Marah? Ini Dia Solusinya

Anak kecil sangat berpotensi untuk marah. Baik ia marah kepada orang tuanya, temannya, gurunya, orang tak dikenal, bahkan diri sendiri. Itulah anak-anak yang terkadang sulit untuk dimengerti. Namun, semua ada solusinya. Karena, sesungguhnya anak itu membutuhkan kasih sayang yang lembut dari orang tuanya, baik saat anak itu bersikap baik atau menjengkelkan. Karena, pendidikan dengan hati lebi efektif, meski terkadang dalam Islam ada pendidikan yang bersifat keras seperti memukul. Dan, tidak ada keraguan lagi dalam semua ajaran itu bahwa keseluruhan metode pendidikan anak baik secara halus ataupun sedikit ‘galak’ mengandung positif yang baik utnuk anak.

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan guru Taman Kanak-Kanak untuk menghindarkan anak-anak dari gejala-gejala amarah.

Seperti yang lazim diketahui, ketika anak sedang asyik memainkan mainan-mainannya lalu dipanggil ibunya untuk segera mengenakan pakaian dan siap-siap pergi ke pasar saat itu ia merasa marah dan menolak untuk pergi bersama ibu. Karena, bermain baginya lebih senang dari pada pergi ke pasar.

Cara Mengatasi

Dalam situasi seperti ini, ibu bisa berkata kepadanya. “Ibu tahu kamu marah. Ibu juga mungkin marah ketika tidak bisa melakukan apa yang ibu inginkan. Tapi kita tidak selamanya bisa melakukan apa yang kita inginkan. Untuk itu, mari sama-sama kita menikmati waktu sebentar untuk pergi berbelanja keperluan rumah.”

Mungkin cara ini tidak serta-merta menghilangkan amarah anak, namun ibu harus terus memastikan agar ia melakukan apa yang ibu minta, sehingga pada saat yang bersamaan ia tahu bahwa ibunya merasakan apa yang ia rasakan. Perasaan-perasaan ini merupakan hal normal sehingga membuat ia mau menerimanya tanpa tindakan-tindakan mengusik.

Lain halnya ketika ibu membuatnya merasa bahwa bersikap mengusik dan marah dalam situasi-situasi seperti ini tidak bisa diterima, dan ibu tidak mencintainya karena anak meluapkan amarah.

Saat itu perasaan sedihnya akan semakin runyam dan meningkat. Ketika situasi-situasi seperti ini terus berulang, tidak menutup kemungkinan ia menjadi sangat pendiam, sehingga tidak mau menunjukkan perasaan dalam hati, selalu merasa bersalah tanpa sebab yang jelas. Bisa jadi kelak ia tumbuh dewasa dengan merasa kepribadiannya terpecah dan kepercayaan dirinya lemah. [1]

Anakku Marah di Taman Kanak-kanak

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan guru Taman Kanak-Kanak untuk menghindarkan anak-anak dari gejala-gejala amarah.

    Penuhi keinginan untuk makan dan istirahat.

    Sibukkan anak dengan kegiatan yang menyedot aktivitasnya, misalkan memberikan bola untuk ia mainkan.

    Usahakan untuk tidak memperhatikan anak saat sedang tegang, dan biarkanlah dia hingga tenang.

    Jangan menggunakan ancaman atau pukulan pada anak saat sedang marah.

    Buatlah anak merasa bahwa ia anak normal dan Anda harus menerimanya. Tindakan Anda ini bisa membuatnya tenang dan menjadi lebih kooperatif. [2]

—–

[1] Awlādunā, Dr. Mamun Mabidh

[2] Al-Mursyid At-Tarbawy li Mu’allimāt Riyādhil Athfāl, Dr. Khudhair as-Sa’ud Al-Khudhair (dengan perubahan).

Diketik ulang dari buku terjemahan ‘Modern Islamic Parenting: Cara Mendidik Anak Masa Kini dengan Metode Nabi’.

Judul Asli : Kaifa Turabbi Abnaa’aka fii Haadzaz Zamaan?

Penulis      : Dr. Hassan Syamsi

Sumber: https://muslimah.or.id/7967-cara-mengatasi-kemarahan-anak.html
Judul Asli: Cara Mengatasi Kemarahan Anak

ISLAM KAFFAH

Mengapa Kita Memerlukan Tafsir untuk Memahami Al-Qur’an?

Allah Swt menurunkan kitab suci al-Qur’an sebagai pedoman agar umat manusia menjadi lebih berbudi dan berbudaya. Hal ini bisa kita saksikan dari banyak ayat yang menegaskan fungsi al-Qur’an bagi perubahan sosial, misalnya firman Allah yang menyebutkan bahwa al-Qur’an diturunkan sebagai cahaya (Lihat Q.S. 4:174), penyembuh (Lihat Q.S. 17:82), pengarah (Lihat Q.S. 2:185) dan solusi manusia keluar dari kebodohan (Lihat Q.S. 14:1). Mengapa kita memerlukan tafsir untuk memahami Al-Qur’an?

Al-Qur’an, sebagai kitab yang berisi tuntunan manusia, untuk mencapai tujuannya yang purna, dibutuhkan penyertaan penjelasan ulama atas ayat-ayat yang ada di dalamnya. Tak bisa dipungkiri, bahwa dalam ayat al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang samar yang membutuhkan penjelasan ahli. Hal ini baik dikarenakan keterbatasan kita memahami istilah khusus yang dipakai al-Qur’an, keterbatasan kita menyingkap makna yang terkandung dalam al-Qur’an hingga kealpaan kita atas latarbelakang turunnya ayat al-Qur’an yang sangat penting dalam menghadirkan pemahaman yang utus atas satu tafsir.

Atas dasar itu, KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi yang akrab disapa dengan Gus Awis, pakar kajian keislaman di Indonesia, membuat pembahasan menarik perihal alasan-alasan mengapa kita membutuhkan tafsir untuk menjelaskan makna al-Qur’an?

Dalam kitab karangannya berjudul Ilm al-Tafsir : Ushuluhu wa Manahijuhu, kitab yang memuat kajian ilmu tafsir yang disajikan dengan bahasa mudah guna menyesuaikan pelajar Indonesia,  KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi menyebutkan bahwa ada 4 hal yang menguatkan perlunya kita mengakses kitab tafsir al-Qur’an dalam memahami ayat-ayat al-Quran.

Pertama adalah karena dalam tafsir al-Qur’an terdapat satu perangkat jitu menghadirkan pemahaman ayat yang komprehensif berupa ilmu sabab nuzul. Ilmu Sabab Nuzul adalah cabang disiplin keillmuan al-Qur’an yang membantu seseorang memahami ayat dengan utuh. Sabab Nuzul meniscayakan seseorang melacak horizon historitas turunnya ayat al-Qur’an demi melahirkan pemahaman yang komprehensif. Jika seseorang mengalami kebuntuan dalam menganalisa makna ayat, di mana seseorang hanya dimodalkan sepenggal ayat semata, maka sabab nuzul menjadi solusi menerangi makna ayat tersebut.

Sebagai contoh adalah firman berikut :

وَّعَلَى الثَّلٰثَةِ الَّذِيْنَ خُلِّفُوْاۗ حَتّٰٓى اِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْاَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ اَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوْٓا اَنْ لَّا مَلْجَاَ مِنَ اللّٰهِ اِلَّآ اِلَيْهِۗ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوْبُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ ࣖ

Dan terhadap tiga orang yang ditinggalkan. Hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah (pula terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja, kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (Q.S. 9:118)

Dengan merujuk kepada Sabab Nuzul, terurai makna siapakah ketiga orang yang dimaksud oleh ayat di atas dan apa sebabnya. Tidak ada kesamaran atasnya.

Quraish Shihab (2002:273) menjelaskan bahwa ketiga orang yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Ka’ab bin Malik, Hilla bin Umayyah, dan Mararah bin Rabi’. Ketiganya diperintahkan untuk diboikot oleh Rasulullah Saw lantaran mereka tidak mengikuti perang Tabuk pada tahun 8 H. Rasulullah Saw melarang warga dan isteri ketiga orang tersebut untuk berinteraksi dengan mereka. Namun, sering berjalannya waktu, Allah memerintahkan kepada Rasulullah agar mengampuni mereka. Informasi seperti ini didapat hanya jika kita menelaah riwayat Sabab Nuzul ayat terkait.

Kedua adalah karena dalam al-Qur’an terdapat banyak hal yang bersifat mujmal, global. Contohnya adalah mengenai seruan penegakan shalat, penunaian zakat, puasa dan lain sebagainya. Seruan yang ada di dalam al-Qur’an bersifat sangat global. Sebagai contoh, dalam al-Qur’an hanya ada seruan kewajiban mendirikan shalat, namun perihal bagaimana cara shalat, syarat dan rukun shalat, hal-hal yang membataskan shalat, tidak disebutkan dalam al-Qur’an.

Adalah lewat tafsir al-Qur’an, dengan diperbantukan dalil-dalil berupa amaliyah Nabi yang terhimpun dalam hadis-hadis, dijelaskan rincian mengenai amaliyah ibadah shalat. Hal ini yang kemudian menjadikan argumen inkarussunnah, menurut Abdul Majid Khon, cendekiawan keislaman, tidak relevan untuk diterapkan. Ajaran al-Qur’an yang bersifat global tidak bisa dipahami secara sempurna jika meninggalkan otoritas sunnah sebagai penjelasnya. (2012:72)

Ketiga adalah karena di dalam al-Qur’an terdapat ayat mutasyabihat, ayat yang masih belum jelas maknanya, yang memunculkan kemungkinan beberapa pemahaman yang terkandung di dalamnya. Hal ini, menurut Gus Awis, hanya bisa dipahami dengan menyandingkannya kepada ayat-ayat muhkamat, ayat yang terang benderang maknanya.

Allah berfirman,

هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ اٰيٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ اُمُّ الْكِتٰبِ وَاُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌ ۗ فَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاۤءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاۤءَ تَأْوِيْلِهٖۚ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗٓ  اِلَّا اللّٰهُ

Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. (Q.S. 3:7)

Keempat adalah karena proses turunnya al-Qur’an yang berangsur-angsur. Sesungguhnya al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, salah satunya, adalah untuk menguatkan dan menghibur hati Nabi Muhammad Saw.

Allah berfirman :

وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

Dan Kami turunkan Ad-Dzikr (Al-Qur’an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan. (Q.S. 16:44)

Perintah Allah agar kepada Nabi Muhammad agar menjelaskan makna ayat (litubayyina) tentu lebih dari sekadar perintah-Nya untuk membacakan ayat semata (litaqra’a). Hal ini yang menjadi embrio lahirnya tafsir.

Proses turunnya al-Qur’an yang bertahap meniscayakan keterpisahan ayat-ayat tentang satu tema di beberapa surat berbeda. Hal ini bisa kita jumpai saat mufassir menjelaskan makna ayat dengan menyandingkan beberapa ayat tematis demi melahirkan pemahaman yang komprehensif. Selain itu, proses turunnya ayat al-Qur’an yang berangsur-angsur juga meniscayakan satu topik pembahasan yang terangkum di kumpulan beberapa ayat, dalam satu himpunan, yang saling berkaitan.

Terkait otoritas tafsir ulama atas ayat-ayat al-Qur’an, Musaid bin Sulayman al-Thayyar, penulis kitab Fushulun fi Ushul al-Tafsir (hal. 12) menjelaskan bahwa mempelajari dan memahami tafsir adalah wajib bagi setiap orang. Hal ini juga sebagaimana ditegaskan oleh KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi dalam Ilm al-Tafsir : Ushuluhu wa Manahijuhu (hal. 4)

Tafsir, menurut Gus Awi, jika dilihat dari sumber refrensinya, terdiri dari dua bagian. Pertama adalah tafsir yang memperbantukan ayat sebagai penjelas ayat lainnya. Kedua adalah tafsir yang memperbantukan hadis atau sunnah sebagai penjelas makna ayat. Selain keduanya, tentu ungkapan ulama, temuan sains, nalar mumpuni juga menjadi penyokong lahirnya tafsir yang bernas.

Terakhir, mengapa merujuk kepada tafsir menjadi hal penting dalam memahami al-Qur’an? Karena dengan kita merujuk kepada orang yang berkompeten dalam bidangnya, kita akan terselamatkan dari kesalahpahaman. Keragaman bentuk tafsir juga membentuk kesadaran kita untuk berlaku moderat, bagaimanapun, ragamnya penafsiran membuktikan bahwa kebenaran tidak hanya milik suatu golongan tertentu.

BINCANG SYARIAH

Apakah Kita Sudah Menjadi Orang yang Beriman?

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Orang-orang Arab Badui berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah “Kami telah tunduk (Islam),” karena iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalmu. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Al-Hujurat 49: Ayat 14)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

قَا لَتِ الْاَ عْرَا بُ اٰمَنَّا ۗ قُلْ لَّمْ تُؤْمِنُوْا وَلٰـكِنْ قُوْلُوْۤا اَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْاِ يْمَا نُ فِيْ قُلُوْبِكُمْ ۚ وَاِ نْ تُطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ لَا يَلِتْكُمْ مِّنْ اَعْمَا لِكُمْ شَيْئًــا ۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Orang-orang Arab Badui berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah “Kami telah tunduk (Islam),” karena iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalmu. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.””(QS. Al-Hujurat 49: Ayat 14)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, mengingkari orang-orang Arab Badui yang baru saja masuk Islam, lalu mereka mengiklankan dirinya beriman, padahal iman masih belum meresap ke dalam hati mereka.

{قَالَتِ الأعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الإيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ}

Orang-orang Arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk,’ karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.” (Al-Hujurat: 14)

Dari makna ayat ini dapat disimpulkan bahwa iman itu pengertiannya lebih khusus daripada Islam, seperti yang dikatakan oleh mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Pengertian ini diperkuat dengan adanya hadis Jibril ‘alaihissalam ketika ia bertanya (kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam) tentang Islam, kemudian iman, dan terakhir tentang ihsan. Dalam pertanyaannya itu ia memulai dari yang umum, kemudian kepada yang khusus, lalu kepada yang lebih khusus lagi.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَر، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عَامِرُ بْنُ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: أَعْطَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رِجَالًا وَلَمْ يُعْطِ رَجُلًا مِنْهُمْ شَيْئًا، فَقَالَ سَعْدٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَعْطَيْتَ فُلَانًا وَفُلَانًا وَلَمْ تُعط فُلَانًا شَيْئًا، وَهُوَ مُؤْمِنٌ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “أَوْ مُسْلِمٌ” حَتَّى أَعَادَهَا سَعْدٌ ثَلَاثًا، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: “أَوْ مُسْلِمٌ” ثُمَّ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنِّي لَأُعْطِي رِجَالًا وَأَدَعُ من هو أحب إليّ منهم فلم أعطيه شَيْئًا؛ مَخَافَةَ أَنْ يُكَبُّوا فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ”.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Az-Zuhri, dari Amir ibnu Sa’d ibnu Waqqas, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memberi bagian kepada banyak laki-laki, tetapi tidak memberi seseorang dari mereka barang sedikit pun. Maka Sa’d ibnu Abu Waqqas Radhiyallahu Anhu bertanya, “Wahai Rasulullah, engkau telah memberi Fulan dan Fulan, tetapi engkau tidak memberi si Fulan barang sedikit pun, padahal dia seorang mukmin?” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam balik bertanya, “Bukankah dia seorang muslim?” Sa’d mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali, dan selalu dijawab oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan pertanyaan, “Bukankah dia seorang muslim?” Kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: Sesungguhnya aku benar-benar memberi bagian kepada banyak laki-laki dan aku tinggalkan seseorang yang lebih aku sukai daripada mereka (yang kuberi bagian) tanpa memberinya sesuatu pun, karena aku merasa khawatir bila kelak Allah akan menyeret mereka ke dalam neraka dengan muka di bawah.

Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini melalui Az-Zuhri dengan sanad yang sama.

Dalam hadis ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membedakan antara orang mukmin dan orang muslim; hal ini menunjukkan bahwa pengertian iman itu lebih khusus daripada Islam. Kami telah menerangkan hal ini berikut dalil-dalilnya dalam syarah Imam Bukhari Kitabul Iman.

Hadis di atas menunjukkan pula bahwa lelaki yang tidak diberi bagian itu adalah seorang muslim, bukan seorang munafik, dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak memberinya sesuatu bagian pun karena beliau percaya dengan keislaman dan keimanannya yang telah meresap ke dalam hatinya. Hal ini menunjukkan pula bahwa orang-orang Arab Badui yang disebutkan dalam ayat ini bukan pula orang-orang munafik; mereka adalah orang-orang muslim, tetapi iman masih belum meresap ke dalam hati mereka. Ketika mereka mengakui bahwa dirinya telah mencapai suatu tingkatan yang pada hakikatnya mereka masih belum mencapainya, maka diberi-Nyalah mereka pelajaran etika. Pengertian inilah yang dimaksudkan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, Ibrahim An-Nakha’i, dan Qatadah, lalu dipilih oleh Ibnu Jarir.

Sesungguhnya kami kemukakan pendapat ini untuk menyanggah apa yang telah dikatakan oleh Imam Bukhari rahimahullah yang berpendapat bahwa orang-orang Arab Badui itu adalah orang-orang munafik yang mengaku-aku dirinya beriman, padahal kenyataannya tidaklah demikian.

Telah diriwayatkan dari Sa’id ibnu Jubair, Mujahid, dan Ibnu Zaid, bahwa mereka telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk.’ (Al-Hujurat: 14) Yakni kami tunduk dan patuh karena takut dibunuh atau ditawan.

Mujahid mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Bani Asad ibnu Khuzaimah.

Qatadah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan suatu kaum yang mengakui dirinya berjasa kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam karena mereka mau beriman.

Tetapi pendapat yang sahih adalah pendapat yang pertama yang mengatakan bahwa mereka adalah suatu kaum yang mendakwakan dirinya menduduki tingkatan iman, padahal iman masih belum meresap ke dalam hati mereka. Maka mereka diberi pelajaran etika dan diberi tahu bahwa sesungguhnya tingkatan iman yang sebenarnya masih belum mereka capai.

Sekiranya mereka itu orang-orang munafik, tentulah mereka dikatakan dengan nada yang keras dan dipermalukan, seperti penuturan perihal orang-orang munafik dalam surat At-Taubah. Dan sesungguhnya hal ini dikatakan kepada mereka hanyalah semata-mata untuk mendidik mereka, yaitu firman-Nya:

{قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الإيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ}

Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk, ‘ karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.” (Al-Hujurat: 14)

Yaitu kalian masih belum mencapai hakikat iman, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

{وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا }

jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dia tiada mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu. (Al-Hujurat: 14)

Dia tidak akan mengurangi pahala amalanmu barang sedikit pun, semakna dengan apa yang disebutkan dalam firman-Nya:

{وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ}

dan Kami tidak mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. (Ath-Thur: 21)

Untuk mencapai tingkat keimanan maka kita perlu memahami dan mempelajari serta mengamalkan Dien ini secara sempurna, karena Iman akan bertambah dengan amal dan akan berkurang dengan maksiat.

Wallahu A’alam

ISLAM KAFFAH

Doktrin Trinitas dan Tafsir al-Maidah Ayat 73

Ada banyak sekali ayat-ayat alquran yang menyinggung soal iman Kristen. Ketika membaca al-Milal wa an-Nihal karya As-Syahrastani dengan seksama, akan terkesan dalam benak kita bahwa ayat-ayat alquran yang menyinggung dan mengkritik soal keimanan Kristen terkadang tidak bisa dipukul rata untuk semua sekte Kristen. Bisa jadi aspek teologis yang dikritik alquran dalam satu ayat tertentu berlaku untuk suatu iman Kristen tertentu dan tidak berlaku untuk sekte Kristen yang lain.

Karena itu, kritik alquran terhadap mereka tidak bisa digeneralisir hanya dengan satu ayat tertentu. Dengan kata-kata lain, kritik alquran terhadap iman Kristen mungkin hanya berlaku kepada sekte-sekte tertentu saja yang dikenal di masa alquran turun. Dan bisa jadi ayat yang berisi kritik itu ialah respon alquran yang terhadap situasi historis keyakinan Kristen yang terkondisikan di masanya

Berpijak dari kritik alquran untuk sekte-sekte tertentu itulah kemudian as-Syahrastani mengklasifikasikan sekte-sekte Kristen yang dikenal di masanya untuk kemudian dicocokkan dengan kritik yang digaungkan alquran terhadap mereka.

As-Syahrastani membagi sekte Kristen di Timur Tengah yang dikenal sampai di masanya menjadi tiga sekte pokok: al-Mulkaniyyah, Nestor dan al-Yaqubiyyah.

Semua sekte ini titik temunya terletak kepada pembahasan mengenai Yesus Kristus dalam hubungannya dengan Allah. Lalu muncullah pembahasan tentang trinitas, keilahian dan kemanusian Yesus, soal kesatuan Yesus dengan Firman Allah dan lain-lain. Semua dibahas oleh as-Syahrastani dengan sangat menarik dalam al-Milal wa an-Nihal.

Meski demikian, sayangnya, as-Syahrastani tidak membahas baik secara eksplisit maupun implicit sekte-sekte apa saja yang dikritik oleh alquran. Bahkan dalam bukunya ini tidak disajikan sekte-sekte Kristen yang dikenal di zaman Nabi. Misalnya sekte Kristen Najran yang pada tahun delegasi disambut dan diajak berdiskusi oleh Nabi di mesjid Nabawi. Bahkan Nabi membiarkan mereka melakukan kebaktian sesaat di mesjid ini.

Kurangnya data-data kesejarahan tentang iman Kristen di sekitar Mekkah dan Madinah inilah yang membuat para mufassirin banyak mengira-ngira soal tafsir ayat-ayat yang berkenaan dengan keyakinan mereka. Dan parahnya lagi, meski tingginya kemampuan bahasa mereka, sejauh yang teramati, tidak ada satu pun yang membahas aspek kebahasaan mengenai doktrin thalith thalathah yang dikritik alquran. Para ahli tafsir ini cukup hanya menerima bahwa thalith thalathah itu identik dengan doktrin tathlith ‘trinitas’. Padahal tidak demikian.

Kita coba mengkaji ayat 73 dalam Q.S. Al-Maidah yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai kritik alquran terhadap doktrin trinitas. Ayat tersebut berbunyi:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Depag menerjemahkan ayat di atas sebagai berikut:

Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.

Dalam beberapa literatur tafsir Modern, terutama yang berbahasa Inggris, kita akan menemukan penerjemahan yang berbeda-beda. Abdullah Yusuf Ali dalam The Holy Quran menerjemahkannya sebagai one of three in a trinity salah satu dari tiga dalam trinitas. Terjemahan demikian memiliki kecenderungan yang sama dengan terjemahan Depag di atas dan tentu sangat jauh dari makna thalith thalathah. Kenapa demikian? Dalam terjemahan Depag dan Yusuf Ali ini, kita tidak menemukan padanan salah satu dalam versi bahasa Arab thalith thalathah. Jadi lebih tepatnya padanan Arab dari terjemahan Depag dan Yusuf Ali ini ialah wahid min thalathah salah satu dari yang tiga.

Muhammad Asad dalam The Message of The Quran terkesan masih ambigu dalam menerjemahkan thalith thalathah ini. Asad menerjemahkannya sebagai the third of a trinity yang ketiga dari trinitas. Sayangnya Asad juga tidak mengelaborasi lebih jauh maksud dari terjemahannya ini. Kalau konsep trinitas ini diartikan sebagai bahwa Allah itu Bapa, Putera dan Roh Kudus dengan catatan bahwa tiga hal ini merupakan sifat yang melekat dalam diri Allah, maka terjemahan yang ketiga dari trinitas ini meletakkan Allah dalam posisi Roh Kudus karena urutannya yang ketiga. Ini jelas bukan itu yang dimaksud dalam keyakinan Kristen.

Namun yang sekiranya agak tepat menerjemahkan thalith thalathah ini ialah Maulana Muhammad Ali dalam The Holy Quran. Dalam karyanya ini, thalith thalathah diterjemahkan sebagai the third of the three yang ketiga dari tiga. Hanya saja, sama seperti Asad, Ali tidak mengelaborasi lebih jauh konsep ini.

Kalau dilihat secara struktur kata yang membentuknya, thalithu thalathah ini masuk ke dalam kategori idhafah (aneksasi) dalam bahasa Arab. Seperti yang jamak diketahui, makna idhafah dari konstruksi thalithu thalathah ialah kemungkinan bisa disisipkannya huruf jar min dari. Jadi thalith thalathah ini bisa juga dibentuk menjadi al-thalith min ath-thalathah urutan yang ketiga dari tiga.

Dengan demkian, pertanyaan yang muncul selanjutnya ialah apa maksud al-Quran dari konsep thalith thalathah yang dengannya suatu sekte dalam Kristen dianggap kafir? Untuk menjawab ini, kita simak dulu Q.S. al-Maidah: 116 yang mengatakan:

أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ

“Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia, ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah’?

Jika kita mencoba membaca alquran berdasarkan prinsip bahwa ayat-ayat di dalamnya saling menafsirkan antara yang satu dengan yang lainnya, maka akan dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan konsep thalith thalathah ini ialah ajaran triteisme, ajaran yang menyatakan adanya tiga tuhan yang dalam konteks ayat 73 dan 116 Q.S. al-Maidah di atas, Allah diposisikan sebagai yang ketiga setelah Yesus dan Bunda Maria.

Jadi urutannya ialah pertama, Yesus, kedua Maryam dan ketiga, Allah. Mereka semua ini dianggap Tuhan oleh sekte tertentu dalam Kristen. Dengan kata-kata lain ini artinya bahwa thalith thalathah ialah paham yang menganut ajaran triteisme (tiga tuhan) bukan trinitas. Alquran dengan tegas menyebut keyakinan demikian sebagai keliru.

Pertanyaan selanjutnya, lalu apakah triteisme sama dengan trinitas? Kita lihat terlebih dahulu bahwa kata Trinitas sendiri berasal dari bahasa Latin: treis tiga dan unitas satu. Gabungan keduanya memiliki arti tiga dalam yang esa. Mungkin kira-kira terjemahan tepat dalam bahasa Arabnya ialah ath-thalath fi ahad atau thalithu ahad dan bukan thalithu thalathah.

Simpulnya trinitas ialah tiga sifat dalam dzat yang Esa. Makna demikian dapat dipertegas lagi jika kita mambaca tafsir Jami al-Bayan fi Tafsir ayat min Ayil Quran karya at-Thabari. At-Thabari merangkum pandangan tathlith ini dengan mengatakan bahwa:

 الإله القديم جوهر واحد يعم ثلاثة أقانيم: أبًا والدًا غير مولود، وابنًا مولودًا غير والد، وزوجًا متتبَّعة بينهما “

‘Tuhan Maha Qadim itu ialah Yang Esa dalam substansi serta memiliki tiga hipostasis: Bapa yang melahirkan dan tidak dilahirkan, Putera yang dilahirkan dan tidak melahirkan, dan Roh yang menghubungkan keduanya’.

Jika Allah itu Bapa yang merupakan kiasan dari Wujud, Putera yang merupakan kiasan dari Firman/Kalam-Nya, dan Roh Kudus yang merupakan kiasan dari Hayat-Nya, maka apa yang kufur dari pandangan seperti ini? Bukankah pandangan demikian masih dalam koridor tauhid? Lalu sekte Kristen mana yang dikritik oleh al-Quran dalam surat al-Maidah ayat 73 di atas?

Untuk lebih ringkas menjawabnya, tampaknya pertanyaan terakhir yang mudah dijawab. Sekte Kristen yang dikritik oleh alquran ialah Kristen Najran yang heretic yang memiliki keyakinan bahwa Yesus, Maria dan Allah itu Tuhan. Dari sini kemudian muncullah doktrin yang dinamakan alquran sebagai thalithu thalathah. Tentu doktrin ini jelas-jelas tidak tauhid sama sekali. Allahu A’lam.

BINCANG SYARIAH

Hukum Shalat di Rumah Non Muslim

Dalam sebuah kesempatan, pernah ada seseorang yang bertanya mengenai hukum beribadah di rumah non muslim. Pasalnya dia memiliki keluarga non muslim dan pada saat berkunjung di rumahnya, dia melaksanakan shalat di rumah keluarga yang non muslim tersebut. Bagaimana hukum melaksanakan shalat di rumah non muslim, apakah boleh?

Melaksanakan beribadah di rumah non muslim hukumnya adalah boleh. Tidak masalah bagi kita melaksanakan beribadah di rumah non muslim selama tempat yang dijadikan untuk melaksanakan shalat bersih dan suci dari najis, dan juga tidak ada patung di dalamnya.

Di antara dalil yang dijadikan kebolehan melaksanakan beribadah di rumah non muslim adalah hadis riwayat Imam Al-Bukhari, Nabi Saw bersabda;

وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ

Dan dijadikan untukku bumi sebagai masjid dan bersuci, dimana saja seseorang dari umatku mendapatkan shalat, hendaknya dia menunaikan shalat.

Hadis ini merupakan penegasan bahwa semua tempat, asalkan bersih dan suci, boleh dijadikan tempat untuk melaksanakan ibadah, termasuk rumah non muslim. Bahkan menurut sebagian ulama, bukan hanya di rumah non muslim yang boleh, namun juga di tempat ibadah mereka pun boleh melaksanakan shalat, asalkan bersih dan suci dari najis, dan tidak ada patungnya.

Ini sebagaimana disebutkan oleh Muhammad bin Muflih Al-Maqdisi dalam kitab al-Adabu Al-Syar’iyah wa Al-Minah Al-Mar’iyah berikut;

لا بأس بالصلاة في الكنيسة النظيفة روي ذلك عن ابن عمر وأبي موسى وحكاه عن جماعة

Tidak masalah melaksanakan shalat di dalam gereja yang bersih. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Musa dan Jamaah.

Adapun jika ada patungnya, maka shalat di rumah tersebut tetap boleh dan sah, hanya saja hukumnya makruh. Ini sebagaimana makruh shalat di tempat ibadah non muslim yang di dalamnya terdapat sebuah patung. Muhammad bin Muflih Al-Maqdisi dalam kitab al-Adabu Al-Syar’iyah wa Al-Minah Al-Mar’iyah berkata sebagai berikut;

وقال ابن تميم لا بأس بدخول البيع والكنائس التي لا صور فيها والصلاة فيها

Ibnu Tamim berkata; Tidak masalah memasuki sinagog dan gereja yang di dalamnya tidak ada patung, dan juga tidak masalah melaksanakan shalat di dalamnya.

BINCANG SYARIAH

China Larang Seleb Pria Banci Tampil di Televisi

Pemerintah Cina melarang laki-laki yang dianggap tidak cukup maskulin atau berpenampilan feminim untuk tampil di televisi (TV), Kamis (2/9) waktu setempat. Pemerintah Cina mulai menggalakkan dunia pertelevisian untuk lebih mempromosikan budaya revolusioner.

Presiden Cina Xi Jinping mengontrol lebih ketat bisnis, pendidikan, budaya, dan agama di seluruh negeri. Perusahaan dan publik berada di bawah tekanan yang meningkat untuk menyelaraskan visi Xi untuk Cina yang lebih kuat dan masyarakat yang lebih sehat.

Sebelumnya Pemerintahan Xi telah mengurangi akses anak-anak ke game daring. Kini kendali Partai Komunis mencoba untuk mencegah para selebriti menampilkan apa yang menurut pemerintah tidak sehat.

“Lembaga penyiaran harus dengan tegas mengakhiri program yang menghadirkan pria banci dan estetika abnormal lainnya,” kata Administrasi Radio dan TV Nasional (NRTA). Pihaknya menggunakan istilah slang yang menghina untuk pria banci “niang pao,” atau secara harfiah “senjata girlie.”

Larangan ini mencerminkan kekhawatiran pihak pemerintah bahwa artis pop Cina gagal mendorong pria muda negeri untuk menjadi maskulin. Seperti diketahui, artis pop Cina dipengaruhi oleh penampilan ramping dan modis dari beberapa penyanyi dan aktor Korea Selatan dan Jepang.

NRTA mengatakan, bahwa program hiburan televisi yang melibatkan selebritas internet yang vulgar, berskandal, dan pamer kekayaan bakal ditolak. “Sebaliknya, program seharusnya mempromosikan budaya tradisional Cina yang sangat baik, budaya revolusioner, dan sosialis yang maju,” tulis pernyataan NRTA.

Partai Komunis memperketat kontrol atas selebriti. Regulator NRTA mengatakan, program televisi harus menghindari artis yang melanggar ketertiban umum atau kehilangan moralitas. Program tentang anak-anak selebriti juga dilarang.

Pada Sabtu, platform mikroblog Weibo Corp menangguhkan ribuan akun untuk klub penggemar dan berita hiburan. Seorang aktris populer, Zhao Wei telah menghilang dari platform streaming tanpa penjelasan. Namanya juga telah dihapus dari kredit film dan program TV.

Perintah Kamis mengatakan kepada penyiar untuk membatasi pembayaran bagi para pemain dan untuk menghindari persyaratan kontrak yang mungkin membantu mereka menghindari pajak. Aktris lain, Zheng Shuang, didenda 299 juta yuan (46 juta dolar AS) pekan lalu atas tuduhan penghindaran pajak dalam peringatan kepada selebriti untuk menjadi panutan yang positif.

Pemerintah Xi juga memperketat kontrol atas industri internet Cina. Ini telah meluncurkan anti-monopoli, keamanan data, dan tindakan penegakan lainnya di perusahaan termasuk penyedia game dan media sosial Tencent Holding dan raksasa e-commerce Alibaba Group yang dikhawatirkan oleh pihak yang berkuasa terlalu besar dan independen.

Aturan yang mulai berlaku Rabu membatasi siapa pun yang berusia di bawah 18 hingga tiga jam per minggu untuk bermain game daring dan melarang bermain pada hari-hari sekolah. Pengembang game sudah diminta untuk menyerahkan judul baru untuk persetujuan pemerintah sebelum dapat dirilis. Para pejabat telah meminta mereka untuk menambahkan tema nasionalistik.

IHRAM