Hindari Penggugur Amal

Kaum Muslimin hendaknya menghindari penggugur nilai perbuatan baik.

Islam mengajarkan, kehidupan di dunia hanyalah sementara. Karena itu, jadikanlah dunia yang fana ini sebagai ladang berbekal. Sebaik-baiknya bekal bagi setiap insan ialah iman dan ketakwaannya kepada Allah SWT.

Ibadah tidak hanya berkaitan dengan aspek kuantitas, tetapi juga kualitas. Oleh karena itu, kaum Muslimin hendaknya menghindari penggugur nilai perbuatan baik. Nabi Muhammad SAW mengungkapkan, sekurang-kurangnya ada tujuh dosa yang bisa menghancurkan kadar amal ibadah seorang Mukmin.

Berbuat Syirik

Dari Abi Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Jauhilah tujuh dosa penghancur (amal).” Para sahabat bertanya, “Apakah yang tujuh itu?” Beliau menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang Allah larang kecuali dengan hak (hukum), memakan riba, memakan harta anak yatim (dengan jalan yang tidak benar), melarikan diri saat pertempuran (jihad), serta menuduh (zina) wanita Mukminah yang memelihara kehormatannya.” (HR Bukhari).

Berdasarkan hadis di atas, penggugur amal yang paling patut diwaspadai ialah syirik atau mempersekutukan Allah Ta’ala dengan selain-Nya. Para ulama membagi syirik kepada dua jenis.

Pertama, syirik besar, yakni meyakini adanya Tuhan selain Allah atau mempercayai adanya zat yang sebanding dengan-Nya. Kedua, syirik kecil atau riya. Pelakunya sengaja memperbagus amal ibadah agar dilihat dan dipuji manusia. Nabi SAW bersabda, “Sesuatu yang aku khawatirkan menimpa kalian adalah syirik kecil.”

Sihir

Belajar, mengajarkan, dan mempraktikkan sihir juga termasuk penggugur nilai amal kebajikan. Mereka yang mengandalkan sihir digolongkan sebagai orang-orang musyrik.

“Barangsiapa membuhul tali dan meniupnya, berarti ia telah melakukan sihir. Barangsiapa yang melakukan sihir, berarti ia telah syirik,” begitu sabda Nabi Muhammad SAW.

Secara kebahasaan, sihir dalam bahasa Arab berakar pada kata as-sihr, yang berarti ‘tipu daya’. Beberapa praktik ilmu sihir mampu mengubah perasaan seseorang terhadap orang lain. Awalnya sayang, tetapi tiba-tiba keduanya saling membenci. Sebaliknya, melalui jasa penyihir seseorang dapat meminta agar orang tertentu jatuh cinta kepadanya.

Menumpahkan Darah

Islam mempunyai prinsip rahmatan lil ‘alamin. Karena itu, umat manusia dilarang untuk saling membunuh. Tidak boleh membunuh tanpa hak yang dibenarkan syariat.

Allah SWT mengancam pelaku yang sengaja membunuh orang Mukmin. “Dan barangsiapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS an-Nisa: 93).

Dalam ayat lain, Allah menjelaskan, “Barangsiapa membunuh seseorang bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena (orang itu) berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan ia telah memelihara kehidupan semua manusia.” (QS al-Maidah: 32).

OLEH HASANUL RIZQA

REPUBLIKAID

KH. Hasyim Asy’ari: Jangan Ta’ashub, Belalah Islam dan Jangan Terpecah Belah karena Furu’iyah!

DALAM majalah Panji Masyarakat No. 5 (Thn. I: 1959) ada artikel menarik tentang nasihat KH. Hasyim Asy’ari dalam bahasa Arab. Artikel ini kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dan diberi judul “Al-Mawaa’izh Sjaich Hasjim Asj’ari” yang diterjemahkan oleh Buya HAMKA.

Nasihat-nasihat yang disampaikan KH. Hasyim Asy’ari ini jika diamati secara mendalam, nilainya sangat relevan dipraktikkan dalam era saat ini, khususnya bagi para ulama. Nasehat-nasehat beliau akan penulis bagi pada poin-poin berikut: Pertama, sebab terjadinya pertentangan dan fitnah di kalangan muslim adalah karena mengganti Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah.

Allah telah menegaskan bahwa sesama orang beriman adalah saudara. Demikian juga Nabi telah melarang sesama mukmin supaya tak saling mendengki, benci dan seterusnya yang mana mereka adalah hamba Allah dalam satu persaudaraan. Pada kenyataannya, saat nasihat ini diberikan, umat Islam sedang dirundung fitnah internal dan mereka bertentangan satu sama lain hanya karena soal yang tak prinsipil.  Melihat ini, beliau menasihati begini;

“Wahai ulama2 jang telah ta’ashshub kepada setengah madzhab atau setengah qaul! Tinggalkanlah ta’ashshubmu dalam soal2 ‘furu’ (ranting2) itu! Jang ulama sendiri dalam hal demikian mempunjai dua pendapat.” (Panji Masyarakat No. 5, Thn. I: 1959).

Maksudnya, jika orang berijtihad benar dapat satu pahala, dan jika salah dapat satu pahalah. Tidak seharusnya berfanatik dalam urusan ini yang menimbulkan perpecahan umat Islam. Kedua, melepaskan diri dari hawa nafsu yang merusak serta membela agama Islam. Di sini, KH. Hasyim Asy’ari memusatkan perhatian umat kepada hal yang lebih esensial yaitu meninggalkan pertentangan yang tak perlu dengan menghindari taasub dan fokus berijtihad dan membela Islam terhadap rang yang menghina Al-Qur`an dan sifat-sifat Tuhan.

“Tinggalkanlah ta’ashshub itu dan lepaskanlah diri daripada hawa-nafsu jang merusak itu. Dan belalah Agama Islam, beridjtihadla menolak orang2 jang menghina Al-Qur`an dan sifat2 Tuhan. Berjuanglah menolak orang jang menda’wahkan ilmu jang sesat jang kepertjajaan jang merusak.” (Panji Masyarakat No. 5, Thn. I: 1959).

Berjihad menghadapi orang demikian, bagi KH. Hasyim Asy’ari adalah wajib. Maka alangkah baiknya jika tenaga umat Islam diarahkan ke arah ini. Ketiga, masih banyak orang kafir, siapa yang berusaha berdakwah menuntun mereka. Oleh kerena itu, daripada energi habis karena perdebatan internal umat, lebih baik tenaga diarahkan untuk mendakwahkan Islam ke luar karena masih banyak yang membutuhkan hidayah. Karena itulah beliau menghimbau, “Wahai sekalian ulama! Kedjurusan inilah pergunakan idjtihadmu, dan dalam lapangan inilah kalau kamu hendak berta’ashshub!” Kiai Hasyim melihat umat Islam masih ribut dengan masalah furu’iyah, sementara itu masih banyak orang di luar sana yang meninggalkan shalat. Perhatikan kata-kata beliau ini;

“Bagaimanalah perasaanmu! Kamu berkeras membitjarakan perkara furu’, jang dipertikaikan oleh ulama, tetapi tidak kamu engkari perbuatan haram jang dilakukan orang, jang idjma’ sekalian ulama atas haramnja, sebagai zina (pelatjuran), riba (rente), minum2man keras dan lain2. Tidak ada tjemburumu melihat jang demikian itu. Kamu hanja tjemburu untuk Sjafi’i dan Ibnu Hajar.” (Panji Masyarakat No. 5, Thn. I: 1959).

Menuru Kiai Hasyim, yang demikian menyebabkan pecahnya persatuan dan terputusnya hubungan kasih sayang di antara umat Islam. Keempat, jangan mencerca atau mencela orang yang berbeda dalam masalah furu’. Jika tidak setuju dalam perbedaan pendapat, kata beliau, “djanganlah kamu tjertja mereka, tapi beri petundjuklah dengan halus! Dan djika mereka tidak sudi mengikut kamu djanganlah mereka dimusuhi!” Orang demikian, kata Kiai Hasyim, sama halnya dengan yang membangun istana dengan menghancurkan sebuah kota. Kelima, bertakwa kepada Allah, kembali kepada Kitab Allah, dan beramal menurut Sunnah Nabi serta mengikuti jejak Salafu Saleh. Beliau menasihati;

“Taqwalah kepada Allah, perbaikilah hubungan diantara kamu, bantu-bantulah atas kebadjikan dan taqwa; djangan berbantu2an diatas dosa dan permusuhan. Semoga Tuhan Allah melimpahkan rahmat-Nja diatas kamu semuanja, dan melimpahi kamu dengan Ihsan anugerahnja. Dan djanganlah kamu menjerupai orang jang berkata, ‘Kami dengan nasehat itu’ padahal tidak didengarnja.” (Panji Masyarakat No. 5, Thn. I: 1959).

Nasihat-nasihat ini disampaikan oleh KH. Hasyim Asy’ari ketika terjadi pertentangan antara umat Islam terkait Kaum Tua dan Muda yang saling menyesatkan. Nasihat ini kemudian disiarkan dalam Kongres Nahdatul-Ulama ke-XI di Banjarmasin 1935. Dengki dan saling hina, hanya akan menambah perpecahan di kalangan umat. Dalam hal ini, KH Hasyim memberi pertanyaan kepada diri kita masing-masing, yang seolah berupa nada tantangan;

“Atau akan kita ladjutkan djugakah perpetjahan ini; hina menghinakan, petjah memetjah, munafik; pepat diluar pantjung didalam, rasa bentji memenuhi hati, dan dengki merusak kawan, dan sesat pusaka lama! Padahal agama kita hanja satu belaka; Islam!” (Panji Masyarakat No. 5, Thn. I: 1959).

Nasihat yang disampaikan KH. Hasyim Asy’ari ini masih sangat aktual hingga saat ini. Betapa kalau dilihat dari media sosial, umat Islam masih sibuk dengan pertentangan internal, sementara hal-hal yang lebih prinsipil dan bisa merekatkan persatuan, tidak begit diperhatikan. Faktanya, kita banyak yang sibuk dengan perbedaan, sementara kita banyak sekali persamaannya.  Melihat kondisi demikian, supaya energi umat tidak habis, maka ikutilah nasihat KH. Hasyim Asy’ari agar umat : tidak ta’ashub, terus berdakwah amar ma’ruf nahi munkar, membela Agama Islam, saling toleran dalam hal furu’iyah, tidak saling mencela hanya karena berbeda pendapat dan galakkan semangat persatuan. Ta’ashub adalah istilah dalam Islam yang artinya fanatik buta atau semangat membela golongan/kelompok. Ta’ashub adalah segala perbuatan yang berbentuk pengingkaran, perendahan dan pemutusan hubungan dengan penganut madzhab lain. Semoga nasehat Mbah Hasyim bisa membawa Indonesia bisa bersatu mambangun peradaban luhur di masa depan.*/Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH

Menerima Hadiah Natal, Bolehkah?

Hukum saling memberi dan menerima hadiah dari orang kafir

Saling memberi dan menerima hadiah dari orang kafir hukum asalnya boleh. Tindakan itu bahkan bisa menjadi sarana dakwah kepada non muslim. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah memberi dan menerima hadiah dari orang kafir.

Di antara riwayat yang menyebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memberi hadiah orang kafir adalah kisah sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,

ما سُئِلَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ علَى الإسْلَامِ شيئًا إلَّا أَعْطَاهُ، قالَ: فَجَاءَهُ رَجُلٌ فأعْطَاهُ غَنَمًا بيْنَ جَبَلَيْنِ، فَرَجَعَ إلى قَوْمِهِ، فَقالَ: يا قَوْمِ أَسْلِمُوا، فإنَّ مُحَمَّدًا يُعْطِي عَطَاءً لا يَخْشَى الفَاقَةَ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah diminta apa saja yang beliau miliki melainkan beliau akan berikan.”

Anas melanjutkan cerita, “Pernah seorang datang meminta kepada beliau, lalu beliau berikan seluruh kambing beliau yang berada di antara dua gunung. Saat orang itu kembali ke kaumnya, dia berseru, “Hai rakyatku, ayo masuk Islam. Karena sesungguhnya Muhammad telah memberi pemberian yang beliau tidak takut miskin.” (HR. Muslim no. 2312)

Kemudian riwayat yang menceritakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah dari orang kafir adalah riwayat dari Abu Humaid radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan,

أَهْدَى مَلِكُ أَيْلَةَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَغْلَةً بَيْضَاءَ وَكَسَاهُ بُرْدًا وَكَتَبَ لَهُ بِبَحْرِهِمْ

“Raja negeri Ailah menghadiahkan seekor keledai putih kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan memberi beliau pakaian burdah (pakaian yang berfungsi juga sebagai selimut) dan beliau menulis surat untuknya di negeri mereka.” (HR. Bukhari no. 1387)

Juga riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah daging kambing yang dicampuri racun dari seorang wanita bergama Yahudi.

Baca Juga:

Bagaimana jika bertepatan dengan momen hari raya orang kafir?

Yang menjadi masalah adalah bagaimana jika hadiah kepada kita tersebut bertepatan momen hari raya natal atau hari raya orang kafir lainnya?

Jawabannya adalah boleh, silahkan diterima. Asalkan jangan memakan hadiah yang berupa daging sembelihan. Karena bisa dipastikan mereka menyembelih hewan itu bukan atas nama Allah, tetapi atas nama sesembahan mereka.

Alasannya adalah:

Pertama, menerima hadiah dari orang kafir, meskipun hadiah itu atas nama hari raya meraka, adalah bagian dari berbuat baik (al-Birru) kepada mereka, yang disinggung di dalam firman Allah Ta’ala,

لَّا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ

Allah tiada melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusirmu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Menerima hadiah dari mereka, tentu adalah tindakan muamalah yang baik kepada mereka. Bisa membuka hati mereka menerima Islam.

Kedua, disebut di dalam sebuah riwayat bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah menerima hadiah orang Majusi bertepatan dengan hari Nairuz (hari raya mereka). (Riwayat ini dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah)

Ketiga, riwayat Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau pernah ditanya oleh seorang wanita,

إن لنا أظآرا [جمع ظئر ، وهي المرضع] من المجوس ، وإنه يكون لهم العيد فيهدون لنا 

“Kami memiliki beberapa wanita yang menyusui anak-anak kami, mereka beragama Majusi. Sebentar lagi mereka merayakan hari raya, dan akan memberi hadiah kepada kami.”

Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab,

أما ما ذبح لذلك اليوم فلا تأكلوا ، ولكن كلوا من أشجارهم 

“Hadiah berupa daging sembelihan, jangan dimakan. Makanlah hadiah yang menempel di pohon (simbol hari raya) mereka.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah)

Para sahabat dan juga para ulama berfatwa boleh menerima hadiah orang kafir di hari raya mereka, karena memang dalam hal itu tidak ada nilai mendukung atau ikut serta perayaan mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah setelah menukil sejumlah riwayat di atas menerangkan,

فهذا كله يدل على أنه لا تأثير للعيد في المنع من قبول هديتهم ، بل حكمها في العيد وغيره سواء ؛ لأنه ليس في ذلك إعانة لهم على شعائر كفرهم

“Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa hari raya orang kafir tidak menjadi pengaruh larangan menerima hadiah dari mereka. Hukum menerima hadiah saat hari raya mereka atau hari biasa, sama bolehnya. Karena menerima hadiah tidak ada unsur menolong kemungkaran atau syiar mereka.” (Iqtidho’ As-Sirot Al-Mustaqim, hal. 544-545)

Berbeda dengan hukum memberi hadiah kepada orang kafir di saat momen hari raya mereka, nah ini yang dihukumi haram. Karena hal tersebut mengandung unsur dukungan kepada kekufuran atau kesyirikan yang mereka lakukan. Terlebih bila hadiah itu dapat membantu mereka merayakan hari raya mereka, maka lebih diharamkan lagi.

Wallahul Muwaffiq.

Baca Juga:

Salatiga, 19 Jumada I 14423 H

****

Penulis: Ahmad Anshori, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/71400-menerima-hadiah-natal-bolehkah.html

Pernak-Pernik Ucapan Selamat Hari Raya Non-Muslim

Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa la haula wa la quwwata illa billah, amma ba’du,

Definisi “ucapan selamat”

Definisi “ucapan selamat” adalah menyampaikan ungkapan yang menggembirakan terkait dengan momen tertentu. Maksud ucapan selamat adalah menyatakan kasih sayang dan menampakkan kegembiraan.

Dengan demikian, mengucapkan ucapan selamat hari raya nonmuslim hakekatnya adalah ikut serta bergembira dengan hari raya mereka. Dan hal ini pada umumnya menunjukkan pengakuan dan rida terhadapnya.

Sepakat ulama dahulu hukumnya haram!

Hukum seorang muslim mengucapkan ucapan selamat hari raya nonmuslim adalah haram. Hal ini adalah perkara yang disepakati oleh para ulama rahimahumullah  zaman dahulu.

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menyatakan dalam Ahkamu Ahlidz Dzimmah,

“Adapun ucapan selamat terkait syiar-syiar khusus kekafiran, maka hukumnya haram. Ulama sepakat akan hal ini.

Contoh:

Seseorang mengucapkan selamat terkait hari raya dan puasa (ibadah) kaum nonmuslim dengan mengatakan, “Hari raya yang semoga anda diberkahi padanya” atau mengucapkan, “Selamat hari raya” kepada nonmuslim dan ucapan lain yang semisalnya.

Terkait dengan hal ini, seandainya pengucapnya selamat dari kekafiran pun, maka tetap diharamkan dan statusnya sama seperti seseorang mengucapkan selamat kepada nonmuslim terkait dengan sujudnya (ibadah mereka) kepada salib.

Bahkan, dosa ucapan selamat hari raya nonmuslim ini lebih besar dan lebih dibenci di sisi Allah daripada ucapan selamat minum miras/khamr, selamat membunuh, selamat berzina, dan yang semisalnya. Banyak orang-orang yang tidak memiliki perhatian baik kepada agama Islam terjerumus dalam masalah ini, sedangkan ia tidak mengetahui keburukan perbuatannya.

Barangsiapa yang memberi ucapan selamat maksiat, bid’ah, atau kekufuran kepada pelakunya, maka ia akan terancam mendapatkan kebencian dan kemurkaan Allah.” Demikian tegas Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah.

Alasan diharamkannya

Alasan Pertama: Terkandung pengakuan terhadap syiar kekafiran dan rida terhadapnya

Mengucapkan ucapan selamat hari raya nonmuslim itu terkandung pengakuan terhadap syiar kekafiran dan rida terhadapnya, meski ia tidak rida syiar kekafiran tersebut untuk dirinya, namun tetap haram ia rida syiar kekafiran tersebut untuk orang lain.

Bahkan, hari raya nonmuslim termasuk ajaran agama mereka yang paling khusus dan syiar agama mereka yang paling nampak. Sehingga, mengucapkan ucapan selamat hari raya nonmuslim itu terkandung pengakuan dan rida terhadap:

– ajaran agama mereka yang termasuk paling khusus,

– syiar kekafiran yang termasuk paling nampak.

Padahal, Allah Ta’ala tidak rida kepada kekafiran,

اِنْ تَكْفُرُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ ۗوَلَا يَرْضٰى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ

“Jika kalian kafir, maka (ketahuilah) sesungguhnya Allah tidak memerlukan kalian dan Dia tidak meridai kekafiran hamba-hamba-Nya.” (QS. Az-Zumar : 7)

Hanya Islam agama yang Allah ridai,

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًا

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian untuk kalian, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagi kalian, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama kalian.” (QS. Al-Maidah : 3)

Alasan Kedua : Termasuk tasyabbuh (meniru kekhususan) nonmuslim

Mengucapkan ucapan selamat hari raya nonmuslim termasuk bentuk menyerupai kekhususan nonmuslim karena hari raya keagamaan termasuk syiar yang paling khusus suatu agama.

Padahal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyatakan bahwa menyerupai atau meniru-niru kekhususan suatu kaum menyebabkan pelakunya digolongkan ke dalam golongan kaum tersebut dalam hal yang ditiru tersebut.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.’” (HR. Abu Dawud, Syekh Al-Albani menyatakan Hasan Sahih.]

Oleh karena itu, haram bagi kaum muslimin meniru nonmuslim dalam kekhususan agama mereka. Contohnya haram:

-ikut serta merayakan hari raya non muslim,

-saling tukar menukar hadiah atau membuat kue-kue dalam rangka ikut merayakannya,

-meliburkan diri demi mengagungkan hari raya mereka dan agar bisa menggunakan waktu liburan untuk ikut serta bersukaria dengan hari raya mereka,

– dan semacamnya.

Mengapa tasyabbuh dengan orang nonmuslim dalam kekhususan mereka itu dilarang?

– Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarangnya,

– Karena meniru kekhususan keagamaan mereka ini bisa melahirkan rasa suka terhadap kebatilan akidah mereka sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Alasan Ketiga: Sarana mereka senang dengan keyakinan kekafiran dan tetap berada di dalamnya

Mengucapkan ucapan selamat hari raya nonmuslim termasuk sebab pendorong mereka senang dengan keyakinan kekafiran. Bahkan, bisa bangga dengannya dan tetap berada di dalam kekafiran, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak rida terhadap kekafiran.

اِنْ تَكْفُرُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ ۗوَلَا يَرْضٰى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ

“Jika kalian kafir, maka (ketahuilah) sesungguhnya Allah tidak memerlukan kalian dan Dia tidak meridai kekafiran hamba-hamba-Nya.” (QS. Az-Zumar : 7)

Dan Allah melarang kita saling tolong menolong dalam kemaksiatan, sedangkan kekafiran adalah kemaksiatan yang terbesar. Oleh karena itu, kita tidak boleh mengucapkan ucapan selamat hari raya nonmuslim yang hal ini menjadi sarana mereka senang dengan keyakinan kekafiran dan tetap berada di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

“Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan! Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2)

Alasan Keempat : Bertentangan dengan kewajiban mendakwahi dan memberi pencerahan kepada orang yang berada dalam kekafiran sebagai bentuk Islam rahmatan lil’alamin.

Dalam Islam, kekafiran adalah dosa terbesar, sedangkan tatkala kita melihat perkara kekafiran, kita diperintahkan untuk mendakwahi manusia agar senantiasa mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, meninggalkan kekafiran dan kesyirikan, dan tidak membiarkannya berada dalam kebatilan tanpa pencerahan dan dakwah. Dan hakekatnya mendakwahi mereka dan memberi pencerahan kepada mereka adalah bentuk kasih sayang kita kepada mereka agar mereka mendapatkan keridaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan jauh dari murka-Nya. Dan ini juga bentuk kebaikan terbesar dari seorang muslim kepada nonmuslim. Ini adalah salah satu bukti Islam rahmatan lil’alamin.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ هٰذِهٖ سَبِيْلِيْٓ اَدْعُوْٓا اِلَى اللّٰهِ ۗعَلٰى بَصِيْرَةٍ اَنَا۠ وَمَنِ اتَّبَعَنِيْ ۗوَسُبْحٰنَ اللّٰهِ وَمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

“Katakanlah (Wahai Nabi Muhammad), ‘Ini adalah jalanku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (manusia) kepada Allah di atas basirah (ilmu syar’i). Mahasuci Allah. Dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf : 108)

Catatan :

Tentunya, mendakwahi dan memberi pencerahan kepada orang yang berada dalam kekafiran ini dengan lembut dan bijaksana, dengan metode dakwah yang simpatik, serta bukan dengan kekerasan. Namun, tampakkan keindahan tauhid dan tidak benarnya kesyirikan dan kekafiran sehingga diharapkan mereka meninggalkan syirik dan kekafiran dan mentauhidkan Allah Ta’ala dengan sukarela dan tanpa paksaan.

Allah Ta’ala berfirman memerintahkan kita berdakwah dengan bijaksana (hikmah),

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”  (QS. An-Nahl : 125)

Bagaimana jika sebabnya hanya basa-basi, malu, sungkan, dan rasa sayang, atau semisalnya?

Barangsiapa melakukan hal-hal terlarang di atas (mengucapkan ucapan selamat hari raya nonmuslim, ikut serta merayakan hari raya nonmuslim, saling tukar menukar hadiah, atau membuat kue-kue dalam rangka ikut merayakannya, meliburkan diri demi mengagungkan hari raya mereka ,dan perbuatan semacamnya baik hal-hal itu dilakukan hanya sekedar basa-basi, malu, sungkan, karena rasa sayang, ataupun alasan semisalnya, maka ia tetap berdosa karena termasuk bentuk basa-basi dalam perkara yang terlarang dan bisa menyebabkan mereka berbangga dengan kekafiran mereka.

Bagaimana jika pihak nonmuslim yang memberi ucapan selamat hari raya mereka kepada seorang muslim?

Apabila seorang muslim mendapatkan ucapan selamat hari raya nonmuslim dari seorang nonmuslim, maka kita tidak boleh membalasnya dengan mengucapkan selamat hari raya karena itu bukan hari raya kaum muslimin dan Allah tidak mensyariatkan merayakan hari raya tersebut. Bahkan, itu adalah hari raya yang tidak Allah ridai.

Allah berfirman,

وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُۚ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

“Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” (QS. Ali ‘Imran : 85)

Haramnya ucapan selamat hari raya nonmuslim BUKAN berarti menunjukkan bolehnya menzalimi mereka!

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama (kalian) dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Ulama menjelaskan bahwa selama orang nonmuslim tersebut adalah seorang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin, mereka hidup damai bersama kaum muslimin seperti contohnya keumuman masyarakat kita di NKRI yang kita cintai ini, maka seorang muslim tidak boleh menzalimi nonmuslim, tidak pada jiwa, harta, maupun kehormatannya. Karena ia menunaikan hak kepada seorang muslim, maka tidak boleh seorang muslim menzaliminya baik tidak menzhaliminya pada hartanya, misalnya dengan tidak mencuri, tidak berkhianat, dan tidak menipunya. Tidak pula seorang muslim menzaliminya pada badannya, misalnya dengan tidak memukul dan selainnya.

Meski seorang muslim tetap berprinsip tegas, tidak mengucapkan ucapan selamat hari raya nonmuslim, namun tetap berlaku baik dan tidak berlaku zalim.

Jadi, profil seorang muslim adalah Tegas dalam hal prinsip, namun tetap baik dan tidak zalim.

Haramnya ucapan selamat hari raya nonmuslim BUKAN berarti tidak toleransi kepada mereka!

Dalam agama Islam, toleransi yang baik itu harus sesuai dengan Syariat Islam dan bukan dengan melanggar Syariat Islam, bukan pula dengan mengorbankan akidah Islam dan menukarnya dengan akidah batil!

Umat Islam adalah umat moderat (pertengahan). Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Al-Baqarah :143,

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا

“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai ”umat moderat (pertengahan)” agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.”

Toleransi itu harus moderat (pertengahan), tengah-tengah antara ifroth (melampui Batasan Syariat Islam) & tafrith (mengurangi Batasan Syariat Islam)! Toleransi itu:

-tidak boleh kebablasan (ghuluw), tidak boleh berlebihan, dan tidak boleh keterlaluan! Atau dengan istilah lain tidak boleh ifroth (melampui Batasan Syariat Islam).

-Tidak boleh menelantarkan, tidak boleh teledor, dan tidak boleh meninggalkan toleransi kepada nonmuslim. Atau dengan istilah lain tidak boleh tafrith (mengurangi Batasan Syariat Islam).

Moderat yang benar itu tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal.

Sesuatu yang di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dinilai syirik, sekarang pun tetap syirik, dan yang dulu dinilai maksiat, sekarang pun juga  tetap maksiat. Ini baru moderat, karena moderat bukan dengan merubah Syariat!

Toleransi yang benar adalah toleransi sesuai Syari’at Islam. Contohnya di NKRI yang kita cintai ini, kita bertoleransi kepada umat nonmuslim dengan tidak mengganggu ibadah mereka, tidak boleh menzalimi mereka, tidak boleh mengganggu keamanan mereka, tidak boleh bersikap keras dan memaksa mereka masuk ke dalam Islam, dan tetap berbuat baik, simpatik, bijaksana, dan lembut dalam rangka mendakwahi mereka dan menampakkan keindahan Islam kepada mereka.

Toleransi yang tidak tepat, contohnya: ikut mengucapkan ucapan selamat hari raya nonmuslim, ikut merayakan hari raya mereka, ikut ibadah mereka di tempat ibadah mereka, berdoa dengan cara doa mereka, dan mengucapkan kalimat-kalimat ritual mereka.

Haramnya ucapan selamat hari raya non muslim TIDAKLAH berdampak kepada antipatinya mereka terhadap agama Islam, selama kaum muslimin bersikap baik dan toleran, sesuai ajaran Islam kepada mereka, insyaAllah!

Dikarenakan Islam ajaran yang adil, indah, lengkap, serta sempurna, selama kaum muslimin bersikap baik dan toleran sesuai ajaran Islam, maka sikap tidak mau mengucapkan selamat hari raya nonmuslim itu justru menunjukkan kesan positif bahwa kaum muslimin punya prinsip agama yang benar dan tegas, tidak basa-basi dengan mengorbankan akidah yang hak dan menukarnya dengan kekafiran, serta tidak mengakui dan tidak rida terhadap kekafiran.

Di sisi lainnya, akan lahir kesan positif bahwa kaum muslimin adalah umat yang berlaku baik dan simpatik, kaum muslimin adalah umat yang toleran, bahkan suka menolong umat lainnya ketika mereka berada dalam kesulitan dan tertimpa musibah demi menampakkan indahnya Islam dan saling tolong menolong dalam perkara yang bermanfaat dan tidak melanggar Syariat Islam.

Dengan demikian, citra Islam dan kaum muslimin justru positif meski tidak mau mengucapkan selamat hari raya nonmuslim, asalkan tetap bersikap baik dan toleran sesuai Syariat Islam, insyaAllah!

Mari kita hidup indah, tanpa menggadaikan akidah!   

Dan hidup damai tanpa saling bertikai!

حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ و لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ العَلِيِّ العَظِيْمِ و اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتِ

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Referensi:

  1. https://www.alukah.net/spotlight/0/131914/
  2. https://Islamqa.info/ar/answers/947
  3. http://www.binbaz.org.sa/node/290

Sumber: https://muslim.or.id/71402-pernak-pernik-ucapan-selamat-hari-raya-non-muslim.html

Ciri Doa yang Terkabul

Seorang Muslim tentu sudah semestinya terus memanjatkan doa kepada Allah SWT, baik dalam kondisi senang maupun sulit. Namun, ada kalanya kita tidak mengetahui apakah doa yang telah disampaikan itu terkabul atau belum.

Lantas apa ciri-ciri doa kita terkabul?

Dilansir dari laman Elbalad yang mengutip pandangan Darul Ifta Mesir, bahwa ada tanda-tanda doa yang dikabulkan. Di antara tanda-tanda dikabulkannya doa, pertama adalah merasakan hati ini menjadi bersih, dan hati seolah menjadi luruh.

Ciri berikutnya adalah mendapatkan perasaan yang hening, tenang, dan sejuk. Dan ciri terakhir mengenai doa yang terkabul, yaitu kecemasan yang sebelumnya dirasakan pun menjadi hilang.

Karena itu, setiap Muslim hendaknya terus memanjatkan doa dan tidak berputus-asa. Doa bagaimana pun adalah senjata yang dapat digunakan untuk memperkuat semua keadaan beratnya kehidupan yang kita alami. Dengan demikian, semakin dekatlah diri ini kepada Allah SWT dengan melakukan segala amal baik.

Allah SWT berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS Gafir ayat 60)

Allah SWT senang mendengar doa-doa dari para hamba-Nya. Dan Dia mengabulkan doa tersebut sesuai dengan apa yang pantas dan terbaik untuk hamba tersebut, baik dalam kehidupannya di dunia maupun akhirat.

Allah SWT bisa menunda mengabulkan doa hamba-Nya, lalu menggantinya dengan mengusir malapetaka dari hamba tersebut. Atau, Allah SWT juga dapat menyimpan jawaban atas doa tersebut sampai Hari Kiamat.

IHRAM

Apakah Boleh Berdoa dengan Bahasa Sehari-Hari?

Sebagian Muslim mungkin pernah berdoa kepada Allah SWT dengan bahasa sehari-hari. Namun apakah ini dibenarkan dalam Islam?

Direktur Departemen Riset Syariah Darul Ifta Mesir, Syekh Ahmad Mamduh menjelaskan, berdoa kepada Allah SWT sebetulnya tidak perlu dengan bahasa tertentu atau dengan cara tertentu. Meski begitu, tetap penting mengedepankan kesantunan dan kesopanan saat berdoa.

“Hal terpenting dalam berdoa adalah doa itu tulus dari hati yang terdalam dan yakin doanya akan terkabul,” kata dia dilansir dari laman Elbalad, Jumat (24/12).

Syekh Mamduh juga menjelaskan, Allah SWT mendengar doa yang menggunakan bahasa selain bahasa Arab, sebagaimana Dia mendengar doa yang menggunakan bahasa Arab.

Syekh Mamduh menyampaikan, agar doa dikabulkan Allah SWT, maka sebaiknya doa tersebut disampaikan pada waktu tengah malam hingga waktu Subuh yang menjadi waktu terakhir sebelum terbit fajar. Waktu lainnya ialah pada hari Jumat setelah Ashar dan ketika berbuka puasa.

Semua waktu tersebut adalah waktu yang mustajab agar doa terkabul. “Dan siapa yang berdoa, maka Dia harus mengedepankan adab yang sopan santun. Allah SWT mengabulkan doa kita saat Dia inginkan, bukan saat kita mau,” katanya.

Lantas bagaimana jika seorang Muslim yang sudah berkali-kali berdoa tapi doanya belum juga terkabul. Mengenai faktor yang membuat doanya belum terkabul, Penasihat Mufti Mesir Syekh Dr Majdi Ashour mengatakan bahwa Allah SWT senang mendengar hamba-Nya yang berdoa.

“Tuhanmu selalu senang mendengar suaramu saat berdoa, lalu Dia (Allah SWT) menjawab suara kamu itu sayang dan berharga, dan Dia senang mendengarnya,” kata dia.

IHRAM

Keteladanan Melahirkan Manusia Beradab

Abdurrahman an-Nahlawi dalam kitab Ushul at-Tarbiyah al-Islamiyah mengatakan, pengaruh yang tersirat dari sebuah keteladanan akan menentukan sejauh mana seseorang memiliki sifat yang mampu mendorong orang lain untuk meniru dirinya, baik dalam keunggulan ilmu pengetahuan, kepemimpinan atau ketulusan.

Dalam pendidikan, keteladanan pendidik merupakan faktor yang dapat melahirkan kepribadian bagi seorang anak didik. Keberhasilan anak didik adalah indikator kesuksesan seorang pendidik tersebut.

Keberhasilan yang dimaksud di sini bukan hanya dalam bidang intelektual, melainkan anak didik yang berhasil adalah yang memiliki akhlakul karimah (akhlak yang mulia).

Pendidikan yang sukses selalu melihat pada anak didik, sebagai objek pendidikan. Anak didik yang sukses merupakan produk dari pendidik yang sukses. Ketika ingin mengindentifikasi pendidik yang cerdas, maka lihatlah anak didiknya.

Ibn Sina mengatakan, guru yang baik adalah guru yang cerdas, mengetahui cara mendidik anak, dan cakap dalam mendidik anak.

Senada, Abdullah Nasih Ulwan berpendapat, keteladanan merupakan kunci dari pendidikan akhlak seorang anak.

Allah berfirman:

إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْماً عَظِيماً

“Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari Kemudian. Dan barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dia-lah yang Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (QS. An-Nisa’ [4]: 48).

Disayangkan, negeri yang telah memiliki enam Undang-Undang Pendidikan Nasional ini sedang mengalami krisis keteladanan.

Sebelumnya pernah dikatakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anis Baswedan, kualitas guru di Indonesia sangat memprihatinkan.

Terbukti dengan banyaknya guru yang tidak mengembangkan potensi diri. Sebagiannya hanya memahami bahwa tugas sebagai pendidik tak lebih dari rutinitas  mengajar dan menuntaskan kriteria pembelajaran atau kurikulum yang dibebaninya.

Guru demikian, biasanya cenderung abai apakah muridnya paham atau tidak paham atas penyampaiannya. Mereka hanya peduli bahwa RPP dan materi pelajaran telah dipenuhi dan tuntas dilaksanakan.

Dalam pendidikan Barat sekular, guru hanya mengajarkan ilmu pengetahuan yang cukup diketahui dan tidak perlu diterapkan.

Guru tidak wajib memiliki kepribadian yang baik, sehingga pendidikan keteladanan tidak dapat berlangsung atau kurang maksimal.

Mirisnya kondisi di atas mulai merambat ke sebagian di negeri ini. Guru datang ke sekolah hanya mengajar dengan metode yang menjenuhkan.

Sekadar mengecek apakah muridnya mengerjakan tugas yang diberikan, kemudian menghukum murid yang mendapat nilai rendah dalam ujian.

Ketiadaan keteladanan berpengaruh pada kepedulian guru terhadap muridnya. Guru lebih gelisah ketika sang murid tak dapat menjawab soal ujian daripada muridnya yang sengaja meninggalkan shalat.

Tak banyak guru yang mengetahui bagaimana latar belakang dan perkembangan muridnya di kelas.

Sikap acuh seperti inilah yang dikhawatirkan oleh sebagian orang tua yang telah mengamanahkan anaknya untuk dididik di sekolah.

Terkadang, kepedulian guru hanya sebatas pada lingkungan sekolah. Jadi ketika seorang anak melakukan kenakalan di luar sekolah, guru pun tidak menunjukkan kepeduliannya.

Lebih jauh, kondisi di atas mengantar murid tidak bisa memahami urgensi dan tujuan dalam menuntut ilmu. Sehingga mereka cenderung meremahkan ilmu.

Padahal ilmu memiliki kedudukan tinggi dalam ajaran Islam. Kewajiban seorang murid bukan hanya untuk memahami ilmu, tapi juga mengamalkan ilmu yang dipahami.

Sorang murid harus memiliki adab terhadap guru dan aktivitas keilmuan. Karena dengan adab, murid itu bisa khusyuk kepada Allah.

Oehnya, jika seorang murid yang cerdas secara intelektual tapi berperilaku buruk. Maka tak bukan, itu difaktori dengan ilmu yang tak berkah.

Burhanuddin Az-Zarnuji pernah berkata, banyak dari para pencari ilmu yang sebenarnya mereka sudah bersungguh-sungguh menuntut ilmu, namun mereka tidak merasakan nikmatnya ilmu.

Hal ini disebabkan mereka meninggalkan atau kurang memperhatikan adab dalam menuntut ilmu.

Fenomena loss of adab (hilangnya adab) dalam pendidikan patut menjadi alasan kecemasan segenap orangtua dan para guru.

Berbagai kasus amoral kian merebak dan bertambah. Nyaris kejahatan tak beradab itu tak henti setiap hari.

Sebagai sosok pelajar atau mahasiswa, bisa dikata mustahil jika mereka tak mengetahui bahwa perbuatan biadab tersebut sangat dilarang dan haram hukumnya dalam Islam.

Pastinya, bukan untuk menyalahkan sepihak kepada guru atau orangtua di sekolah dan di rumah. Tapi perlu diingat, keduanya memegang peran yang sangat vital dalam proses pendidikan.

Oehnya, pendidikan yang sukses adalah bukan pendidikan yang sekadar ditopang dengan gedung megah dan fasilitas mewah serta kurikulum yang wah saja.

Pendidikan yang berhasil adalah ketika sng gukewajibannya sebagai pendidik. Yaitu mengajarkan ilmu dan menanamkan adab kepada murid-muridnya.

Bukan cuma memindahkan ilmu pengetahuan (transfer of knowldge) tapi juha memindahkan nilai dan kepribadian (transfer of value).  Dengan prinsip demikian, niscaya guru menjadi sosok teladan dan murid menjadi pribadi beradab.*

Oleh: Arsyis Musyahadah, Mahasiswa Magister Pendidikan Islam UIKA Bogor

HIDAYATULLAH

Allah Tidak Beranak dan Tidak Diperanakkan

Bahwa Allah itu Esa. Karena Esa maka seluruh makhluk berhajat kepada-Nya, dan bukan sebaliknya. Karena Esa itu maka mustahil Allah “beranak” (melahirkan) dan “diperanakkan” (dilahirkan).

SUATU hari, datanglah rombongkan kafir Quraisy menghadap Rasūlillāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan berkata, “Wahai Muhammad, bagaimana sih rupanya hakikat Tuhanmu itu? Coba terangkan kepada kami!”

Karena pernyataan mereka itu, turunlah firman Allah dalam Sūrah al-Ikhlāsh yang maknanya: “Katakanlah (olehmu, hai Muhammad kepada mereka): ‘Allah itu Esa. Dialah Allah tempat bergantung segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan (tidak melahirkan dan tidak dilahirkan). Dan tidak ada sesuatupun yang setara dengan-Nya.” (HR. at-Tirmidzī)

Kata الصمد maknanya adalah: الذى لم يلد ولم يولد (yang tidak beranak dan tidak diperanakkan). Karena setiap yang ‘dilahirkan’ (diperanakkan) akan mati. Dan setiap yang mati akan diwarisi. Sementara Allah tidak mati. Dengan demikian Dia tidak diwarisi. (Imam Ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm (Kairo: Dār al-Hadīts, 1432 H/2011 M): 4/702).

Menurut pakar pemikiran Imam al-Ghazālī sekaligus salah seorang pemikir dan filsuf Muslim besar Islām abad ini, Prof. Dr. SMN al-Attas, Sūrah al-Ikhlāsh ini merupakan kritikan dan labrakan pertama dari Islām terhadap keyakinan kaum Kristen. (Prof. Dr. SMN al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), 15).

Maknanya, Islām datang untuk meluruskan penyimpangan akidah yang merasuk ke dalam daftar keyakinan kaum Kristen. Bahwa Allah itu Esa. Karena Esa maka seluruh makhluk berhajat kepada-Nya, dan bukan sebaliknya. Karena Esa itu maka mustahil Allah “beranak” (melahirkan) dan “diperanakkan” (dilahirkan).

Menurut Syekh al-Ghazāli, memang tidak pernah terjadi Wahyu menyatakan: ‘Allah punya anak. Dan anak ini kemudian mengorbankan hidupnya demi menebus dosa manusia. Yang ada justru sebaliknya. Di dalam Kitab Suci Al-Qur’ān Allah berfirman: “Belumkah diberitakan mengenai apa yang ada di dalam lembaran-lembaran (yang turun) Mūsā? Dan yang turun kepada Ibrāhīm yang menepati janji? Bahwa seseorang tidak mewarisi dosa orang lain. Dan seorang insan akan menerima balasan amal yang diusahakannya. Dan usahanya niscaya akan diperlihatkan padanya. Kemudian usahanya itu akan dibalas dengan balasan yang sempurna” (Qs. an-Najm: 36-41).

Dan hakikat Islām dan tabiatnya tersebut dikuatkan oleh Taurāt yang turun kepada nabi Mūsā (Qs. 5:44). (Syekh Muhammad al-Ghazālī, al-Mahāwir al-Khamsah li al-Qur’ān al-Karīm (Damaskus: Dār al-Qalam, 1440 H/2019 M), 110).

Sekali lagi, tidak ada dasarnya bahwa Allah itu “beranak” (melahirkan) dan “diperanakkan” (dilahirkan). Ini bukan saja dalam keyakinan umat Islām, tapi juga dalam kekristenan awal.

Di dalam Bible juga tidak ditemukan bahwa Yesus itu “anak Tuhan”. Dalam Yohanes (17:3) Yesus mengakui demikian: “Inilah hidup yang kekal, yaitu supaya mereka mengenal Engkau, Allah yang Esa, dan Yesus Kristus yang telah Engkau suruhkan itu.”

Jika pun kaum Kristen mengklaim bahwa dalil Yesus dalam Bible sebagai “Anak Tuhan” ada dalam Matius (3:17): “Maka suatu suara dari langit mengatakan: “Inilah anakku yang kukasihi. Kepadanya aku berkenan.” Atau dalam Lukas (4:41), tidak sertama merta secara harfiah dimaknai bahwa memang demikian maksudnya. Karena akan berbenturan dengan Matius (5:9): “Berbahagialah segala orang yang mendamaikan orang, karena mereka itu akan disebut anak-anak Allah.” Kalau demikian, maka bukan Yesus saja yang dianggap sebagai “Anak Tuhan”.

Apa yang ditegaskan oleh Allah di dalam Sūrah al-Ikhlās sejatinya adalah pengembalian ulang keyakinan yang keliru ke pengkalnya. Ia bukan sekadar kritik, tapi juga penyadaran. Dan ini disebutkan juga dalam Perjanjian Lama (The Old Testament; al-‘Ahd al-Qadīm), dalam Kitab Ulangan (4:35): “Maka kepadamulah ia itu ditunjuk, supaya diketahui olehmu bahwa Tuhan itulah Allah, dan kecuali Tuhan yang Esa tiadalah yang lain lagi.”

Apa yang disebutkan dalam Perjanjian Lama juga ditegaskan di dalam Perjanjian Baru (The New Testament; al-‘Ahd al-Jadīd), dalam Markus (12:29): “Maka jawab Yesus kepadanya. Hukum yang utama ialah: Dengarlah olehmu hai Israil, adapun Allah kita, ialah Tuhan yang Esa.” Jika kembali lagi di cross-check ke Perjanjian Lama, maka akan ketemu Kitab Ulangan (6:4) yang berbunyi: “Dengarlah olehmu hai Israil, sesungguhnya Hua Allah kita, Hua itu Esa adanya.”

Dalam Bible: Anak Allah Banyak

Jika dalam ulasan sebelumnya dapat kita fahami dua hal penting: Allah itu Esa dan tidak punya maka, maka berikut ini akan ditegaskan ulang bahwa ternyata dalam Bible “Anak Allah” banyak. Bukan hanya Yesus. Sebelumnya sudah pula disebut bahwa “orang yang mendamaikan orang lain” disebut sebagai “Anak Allah”.

Dalam Kitab Keluaran (4:22) disebutkan bahwa Israil adalah anak laki-laki Allah, anak-Nya yang sulung; dalam Yeremia (31:9) disebutkan bahwa Afraim adalah ‘anak sulung Tuhan’. Ini artinya, “Anak Allah” atau “Anak Tuhan” bukanlah dalam makna harfiah. Ia adalah simbolik. Yaitu setiap orang yang dikasihi Tuhan. Bukan anak sebenarnya. Bukan anak secara biologis.

Sungguh, nabi-nabi dan rasul-rasul Allah itu, termasuk nabi ‘Īsā ‘alayhis-salām, menyampaikan bahwa Allah itu Esa, tidak ada Tuhan yang lain daripada-Nya. Itulah kesimpulan yang benar. Dia Esa. Tempat bergantung segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan, tidak seorang pun yang setara dengan-Nya.[]

Penulis buku “Teologi Islam vs Kristen” (2010)  dan “Pendeta Menghujat, Ustadz Meralat” (2015) 

HIDAYATULLAH

Barang-Barang yang Digunakan Nabi Ketika Tidur

Abdul Fattah As-Samman dalam buku Harta Nabi menjelaskan, Nabi Muhammad SAW menggunakan sejumlah barang yang difungsikan untuk tidur. Misalnya sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah, “Tempat Rasulullah biasa berbaring tidur terbuat dari tikar anyaman daun kurma,”.

Sedangkan berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah, dia berkata, “Ketika aku berbaring bersama Rasulullah dalam satu selimut, tiba-tiba aku mengalami menstruasi. Sehingga aku pun keluar secara perlahan mengambil pakaian yang terkena darah haidku. Rasulullah bertanya kepadaku, ‘Apakah kamu sedang haid?’. Aku menjawab, ‘Ya’. Rasulullah kemudian memanggilku lalu aku berbaring lagi bersama beliau dalam satu selimut,”.

Dijelaskan pula bahwa tikar Nabi yang pada era sekarang barangkali menyerupai alas ranjang. Sedangkan alas ranjang mempunyai papan dan tiang penyangga. Muhammad bin Umar berkata, “Para sahabat kami berkumpul di Madinah. Mereka tidak berbeda pendapat mengenai ranjang Nabi bahwa papan-papannya dibeli Abdullah bin Ishaq Al-Ishaqi dari mawali Muawiyah bin Abu Sufyan. Dia membeli papan-papan ranjang Nabi seharga 4.000 dirham,”.

Diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah, dia berkata, “Kaum Quraisy di Makkah tidak ada yang lebih mereka senangi dari ruang ranjang untuk tidur. Tatkala Rasulullah hijrah ke Madinah dan singgah di rumah Abu Ayyub, beliau bersabda, ‘Wahai Abu Ayyub, apakah kamu tidak mempunyai ranjang?’, Abu Ayub berkata, ‘Demi Allah, aku tidak punya’.

Tatkala berita tersebut disampaikan kepada As’ad bin Zurarah, maka As’ad segera mengirim ke rumah Ayyub ranjang berpenyangga. KAyu penyangganya dari pohon jati dan bagian kepalanya dihias dengan gelang-gelang. Rasulullah tidur di atas ranjang tersebut, sampai beliau pindah ke rumah beliau sendiri, ranjang tersebut masih ada. Ranjang itu lalu diberikan padaku.

Rasulullah biasa tidur di atas ranjang itu sampai meninggal. Jasad beliau diletakkan di atasnya dan dishalati di atasnya. Manusia sering menggunakan ranjang tersebut untuk membawa mayit ke makam. Dengan ranjang itu pula, jasad Sayyidina Abu Bakar dan jasad Sayyidina Umar bin Khattab dibawa ke makam. Kaum Muslimin sering menggunakannya untuk mengantarkan jenazah ke keburnya, karena berharap mendapat berkah dari Allah dengannya,”.

Diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah, dia berkata, “Aku pernah tidur terlentang di kasur, lalu Rasulullah datang. Beliau mengambil tempat di tengah kasur kemudian shalat. Karena aku tidak senang tubuhku berada di arah kiblat menghalangi shalat beliau, maka aku beranjak dari arah kedua kaki kasur, hingga aku menarik selimutku,”.

Masih dari hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah, dia berkata, “Seorang perempuan dari Anshar bertamu ke rumahku, lalu dia melihat tikar Rasulullah terbuat dari daun kurma yang dapat dilipat. Maka dia bergegas keluar rumah lalu mengirim tikar berisi bulu domba. Ketika Rasulullah datang, maka beliau bertanya kepadaku, ‘Apakah ini, wahai Aisyah?’. Aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah, tadi ada seorang perempuan Anshar datang kepadaku. Tatkala melihat tikar engkau, maka dia bergegas pergi lalu mengirimkan barang ini kepadaku’. 

Nabi kemudian bersabda, ‘Kembalikanlah ia, Wahai Aisyah. Demi Allah, seandainya aku menghendaki, niscaya Allah menjalankan bersamaku gunung dari emas dan perak’,”.

Dijelaskan bahwa barangkali penolakan tersebut kembali pada konsistensi Rasulullah yang ingin menjalani hidup dengan ubudiyah (peribadahan). Hadis tersebut juga membantah anggapan bahwa tikar yang dapat dilipat dan dibentangkan menunjukkan kondisi kehidupan Rasulullah adalah sempit dan fakir.

Barangkali, kata Abdul Fattah, Rasulullah memilih tikar tipe tersebut sebab mudah dilipat ketika hendak mendirikan shalat malam. Yang jelas, tikar itu bukanlah tikar kamar keluarga, dalam arti bukan tikar untuk tidur Rasulullah bersama istri beliau.

Hal ini bahkan lebih jelas tatkala hadis riwayat Ibnu Majah dibaca, berikut hadisnya dari Ibnu Umar yang berkata, “Ketika Nabi beriktikaf, maka beliau membentangkan tikar beliau, atau beliau membentangkan kasur di balik tiang,”.

IHRAM

10 Kunci Meraih Rasa Lapang Dada (Bag. 8)

Baca pembahasan sebelumnya pada artikel kami yang berjudul 10 Kunci Meraih Rasa Lapang Dada (Bag. 7).

Bismillah wal hamdulillah, wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Sebab kesepuluh, mengikuti nabi mulia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sebaik-baiknya

Pada pembahasan yang telah lalu kita telah membahas 9 sebab untuk mendapatkan kelapangan dada, di mana kelapangan dada adalah tujuan yang sangat mulia. Dengannya kita bisa lebih menerima semua karunia yang telah Allah berikan dan membantu kita menjadi hamba yang lebih bersyukur. Allah Ta’ala berfirman,

وَاشْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Syukurilah nikmat Allah jika kalian benar-benar hanya beribadah pada-Nya” (QS. An-Nahl: 114).

Ayat di atas menjelaskan dengan jelas, bahwa bersyukur dan lapang dada dengan semua nikmat dan takdir yang telah Allah Ta’ala berikan kepada kita merupakan salah satu bukti keimanan dan ketauhidan kita kepada Allah. Sebalikannya, orang yang tidak lapang dada dan legowo, maka itu merupakan pertanda kurangnya keimanan kita, serta lemahnya keyakinan kita bahwa Allah lah satu-satunya Dzat yang berhak disembah.

Allah Ta’ala juga menjanjikan balasan istimewa bagi hamba-Nya yang bersyukur. Allah juga mengiringi ancaman bagi orang yang tidak bisa bersyukur. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Ingatlah tatkala Rabb kalian menetapkan, ‘Jika kalian bersyukur niscaya akan Ku tambah (nikmat-Ku) pada kalian, dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat pedih’” (QS. Ibrahim: 7).

Mengikuti nabi mulia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan kunci utama lapangnya dada

Mengikuti sunah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, berada di atas manhajnya yang lurus, mengikuti semua petunjuknya, merupakan sebab lapangnya dada. Bahkan hal tersebut merupakan rangkuman dari semua pembahasan mengenai sebab lapangnya dada. Kenapa? Karena apa yang kita lakukan ini adalah mencontoh orang yang paling lapang dadanya, paling mulia akhlaknya, paling bagus riwayat hidupannya, dan paling suci kepribadiannya. Allah Ta’ala berfirman,

اَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ

“Bukankah kami telah melapangkan dadamu (Muhammad)? (QS. Al-Insyirah: 1).

Sebagai bentuk Allah Ta’ala melapangkan dada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dengan meluaskannya serta mengumpulkan semua keutamaan, kesempurnaan, adab-adab dengan segala bentuknya di dalam hatinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ

“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak” (HR Al-Baihaqi. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).

Sehingga semakin banyak seorang hamba mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, mengikuti petunjuknya yang mulia, maka ia akan mendapatkan yang sepantas dengannya dari kelapangan dada, rileksnya pikiran, dan tenangnya hati.

Imam Ibnu Qayyim Rahimahullah berkata,

“Maksudnya adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan makhluk yang paling sempurna. Hal itu dikarenakan Rasulullah memiliki sifat dada yang lapang, hati yang luas, dan penyejuk mata, serta apa-apa yang beliau dapatkan secara khusus.

Sejauh mana seseorang mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam secara sempurna, sejauh itu pula ia meraih kelapangan, kelezatan, dan sejuknya mata. Hal itu dikarenakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang memiliki kedudukan dan keluasan dada paling tinggi, namanya sering disebut, dan beratnya timbangan beliau di akhirat kelak. Seberapa besar balasan yang didapatkan oleh pengikutinya, sebesar apa ia mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya Allah-lah sebaik-baik penolong.

Salah satu keutamaan orang yang mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah penjagaan dan perlindungan dari Allah untuk mereka. Selain itu, mereka mendapatkan kemuliaan dan pertolongan dari-Nya, sesuai dengan porsi dan besarnya ia mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bagi mereka yang telah Allah Ta’ala berikan kebaikan, maka ia harus memuji Allah Ta’ala. Barang siapa yang mendapatkan selain hal itu, maka tidak ada yang bisa ia salahkan kecuali dirinya sendiri.”

Lalu bagaimana cara kita mengikuti sunah-sunah Rasulullah di kehidupan sehari-hari? Sehingga dengan melakukan hal tersebut, kita memperoleh kelapangan dada serta tenangnya pikiran?

Beberapa sunah Nabi Muhammad di kehidupan sehari-hari

Terdapat banyak sekali sunah-sunah Rasulullah yang bisa kita praktikkan sehari-hari, yang mana beberapa diantaranya sering kali dilupakan oleh seorang muslim, diantara sunah-sunah tersebut adalah:

1. Membaca zikir pagi, seperti membaca ayat kursi, surat Al-Ikhlas, Al-Muawwidzatain (surat Al-Falaq dan An-Naas), dan lain sebagainya;

2. Memperhatikan adab-adab saat berjumpa dengan sesama muslim, seperti mengucapkan salam, tersenyum, dan berjabat tangan;

3. Memperhatikan adab-adab makan, seperti membaca doa sebelum makan, memakan dengan tangan kanan, mengambil makanan yang dekat dengannya, makan menggunakan tiga jari, dan menjilat sisa-sisa makanan yang berada di jari jemarinya;

4. Mengerjakan salat sunah nawafil di rumah, berdasarkan hadis nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

فإنَّ خَيْرَ صَلَاةِ المَرْءِ في بَيْتِهِ إلَّا الصَّلَاةَ المَكْتوبة

“Sebaik-baik salat seorang hamba adalah di rumahnya, kecuali salat wajib lima waktu” (HR. Bukhari).

5. Mengerjakan sunah-sunah tidur, seperti membaca ayat kursi, tidur dalam keadaan suci, bertumpu dengan badan bagian kanannya/miring ke kanan, membersihkan kasur sebelum tidur, dan meletakkan telapak tangan kanan di bawah pipi kanan;

6. Memperaktekkan sunah-sunah mengenakan pakaian, seperti memulai menggunakan sepatu/sandal sebelah kanan terlebih dahulu, melepas sepatu/sandal sebelah kiri terlebih dahulu, tidak menggunakan sepatu/sandal satu sisi saja (kanan atau kiri), menggunakan baju yang berwarna putih, dan memulai sisi kanan terlebih dahulu ketika menyisir;

7. Mempraktekkan sunah-sunah saat bersin dan menguap, seperti mengucapkan, “Alhamdulilah” setelah bersin, lalu orang yang mendengarnya mengucapkan, “Yarhamukallah (semoga Allah merahmatimu)” , lalu orang yang bersin menjawab kembali, “Yahdikumullah wa yuslihu baalakum (semoga Allah memberimu hidayah dan memperbaiki keadaan kalian).” Sedangkan sunah ketika menguap adalah sebisa mungkin menahannya atau menutupknya dengan tangan, sehingga mulutnya tidak sampai tampak terbuka lebar.

Baca Juga: Mengamalkan Sunnah Nabi ketika Banyak yang Meninggalkannya

Keutamaan yang kita peroleh saat mengikuti sunah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam

1. Meraih kebahagiaan dan kesuksesan di dunia dan akhirat, dikarenakan apa yang kita lakukan itu menyebarkan kemuliaan dan memerangi kebatilan serta kekejian;

2. Mendapatkan pengawasan Allah Ta’ala serta terkabulnya doa kita;

3. Menutup kekurangan dan ketidaksempurnaan kita saat mengerjakan ibadah wajib dan menjauhi jalan-jalan yang menghantarkan kepada kesesatan;

4. Sebab hidupnya hati dan lapangnya dada;

5. Meraih cinta dan rida Allah Ta’ala.

Syekh menutup pembahasan 10 sebab meraih lapang dada ini dengan doa, “Ya Allah, lapangkanlah dada kami, mudahkanlah urusan kami. Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikan kami hamba-hamba-Mu yang mendapatkan petunjuk. Mudahkanlah kami di dalam menempuh jalan yang lurus ini, jalannya orang-orang yang engkau berikan rezeki, baik para nabi, orang-orang yang jujur, orang-orang yang syahid, serta orang-orang saleh. Sungguh mereka adalah sebaik-baik sahabat dan teman perjalanan. Sungguh Engkau Maha Mendengar semua doa kami. Tempat berlabuhnya semua keinginan. Engkaulah satu-satunya penolong kami.”

Segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam, selawat dan salam teruntuk baginda kita Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasalam, beserta keluarga, dan sahabatnya.

[Selesai]

 ***

Penulis: Muhammad Idris

Artikel: Muslim.or.id

Referensi:

Asyartu Asbabin Linsyirahi As-sadr (10 Sebab Memperoleh Rasa Lapang Dada) karya Syekh Abdur Razaq bin Abdul Muhsin Al-Badr Hafidzhohullah dengan beberapa perubahan.

Sumber: https://muslim.or.id/71218-sepuluh-kunci-meraih-rasa-lapang-dada-bag-8.html