Hukum Memakamkan Jenazah di Malam Hari

Terdapat perbedaan pendapat ulama tentang hukum memakamkan jenazah di malam hari. Sebagian ulama menegaskan hal tersebut sebagai perkara yang terlarang seperti pendapat Ibnu Hazm Az-Zahiri rahimahullah. Sebagian ulama menilai makruh seperti pendapat Sa’id bin Musayyib. Mereka menjawab bahwa jika ada yang dimakamkan di malam hari, maka hal itu  diperbolehkan karena kondisi darurat. (Lihat Al-Muhalla, 5: 114)

Adapun mayoritas (jumhur) ulama berpendapat bolehnya memakamkan jenazah di malam hari dan tidak makruh. Pendapat jumhur ulama ini didasarkan atas hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang menceritakan seseorang yang dimakamkan di malam hari. Beliau radhiyallahu ‘anhuma berkata,

صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَجُلٍ بَعْدَ مَا دُفِنَ بِلَيْلَةٍ قَامَ هُوَ وَأَصْحَابُهُ وَكَانَ سَأَلَ عَنْهُ فَقَالَ مَنْ هَذَا فَقَالُوا فُلَانٌ دُفِنَ الْبَارِحَةَ فَصَلَّوْا عَلَيْهِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakan salat jenazah untuk seorang laki-laki yang telah dikebumikan pada malam hari. Beliau mengerjakannya bersama dengan para sahabatnya. Saat itu beliau bertanya tentang jenazah tersebut, “Siapakah orang ini?” Mereka menjawab, “Si fulan, yang telah dimakamkan kemarin.” Maka, mereka pun menyalatkannya.” (HR. Bukhari no. 1340)

Dalam riwayat Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي

Mengapa kalian tidak memberitahukan kepadaku?” (HR. Muslim no. 956)

Dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari perbuatan para sahabat yang memakamkan jenazah di malam hari. Yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sesalkan adalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum tidak memberitahukan berita meninggalnya sahabat tersebut kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.

Bolehnya memakamkan jenazah di malam hari juga diperkuat dengan perbuatan para sahabat yang memakamkan jenazah Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu di malam hari. Sebagaimana hal ini terdapat dalam hadis yang diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, di dalam hadis tersebut terdapat perkataan,

وَدُفِنَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ

Lalu beliau dimakamkan sebelum pagi.” (HR. Bukhari no. 1387)

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata, “Ini semacam ijma’ (kesepakatan) dari para sahabat bahwa hal itu (memakamkan jenazah di malam hari) diperbolehkan.” (Fathul Baari, 3: 208)

Artinya, memakamkan jenazah di malam hari adalah perkara yang sudah dikenal luas kebolehannya di kalangan sahabat, dan tidak ada yang mengingkari hal itu.

Adapun hadis yang diriwayatkan dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا تَدْفِنُوا مَوْتَاكُمْ بِاللَّيْلِ، إِلَّا أَنْ تُضْطَرُّوا

Janganlah kalian menguburkan orang-orang yang telah meninggal dari kalian pada malam hari, kecuali terpaksa.” (HR. Ibnu Majah no. 1521)

adalah hadis yang lemah sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, Hal ini karena di dalam sanadnya terdapat perawi bernama Ibrahim bin Yazid. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Matrukul hadits.” (Lihat Minhatul ‘Allam, 4: 374) [1]

Dalam riwayat Muslim terdapat hadis yang diriwayatkan dari sahabat Jabir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

فَزَجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُقْبَرَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهِ إِلَّا أَنْ يُضْطَرَّ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk menguburkannya di malam hari sampai disalatkan, kecuali jika keadaannya sangat terpaksa.” (HR. Muslim no. 943)

Dalam hadis tersebut, telah disebutkan sebab larangan memakamkan jenazah di malam hari, yaitu karena jika dimakamkan di siang hari, maka akan dihadiri lebih banyak orang yang kemudian akan menyalatkannya. Adapun jika dimakamkan malam hari, yang menghadiri hanya sedikit. Demikian pula sebab larangan yang lain adalah karena sahabat tersebut dikafani dengan kain yang tidak menutupi seluruh badannya.

Kompromi yang terbaik berkaitan dengan hadis-hadis di atas adalah sebagaimana penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah. Yaitu jika memakamkan di malam hari itu tidak mengurangi sedikit pun hak-hak jenazah, maka tidak mengapa dimakamkan di malam hari. Inilah yang ditunjukkan oleh hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya memakamkan jenazah di malam hari. Adapun jika hal itu mengurangi hak-hak jenazah dan pengurusan jenazah menjadi tidak sempurna, maka dilarang. Inilah yang ditunjukkan oleh hadis-hadis yang menunjukkan terlarangnya memakamkan jenazah di malam hari. (Lihat Tahdzib Mukhtashar As-Sunan, 4: 309) [2]

Wallahu Ta’ala a’lam.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/72141-hukum-memakamkan-jenazah-di-malam-hari.html

Bolehkah Perempuan Mengiringi Jenazah?

Diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyyah Radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

نُهِينَا عَنْ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ وَلَمْ يُعْزَمْ عَلَيْنَا

“Kami dilarang mengantar (mengiring) jenazah, namun (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam) tidak menekankan (larangan tersebut) kepada kami” (HR. Bukhari no. 1278, Muslim no. 938).

Hadis di atas menunjukkan larangan bagi kaum wanita untuk mengantar atau mengiringi jenazah, baik mengiringi ke tempat salat jenazah ataupun mengiringi ke pemakaman. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami hadis ini. Apakah larangan tersebut menunjukkan hukum makruh atau haram?

Pendapat ulama terkait wanita yang mengiringi jenazah

Pendapat pertama, larangan tersebut menunjukkan hukum makruh. Sehingga dimakruhkan bagi kaum wanita untuk mengiring atau mengantar jenazah. Ini adalah pendapat sejumlah sahabat dan tabi’in, juga merupakan pendapat Syafi’iyyah dan Hanabilah, dan Ibnu Hubaib dari Malikiyyah (lihat Al-Majmu’, 5: 277-278; Al-Mughni, 3: 401; dan Al-Muntaqa karya Al-Baji, 2: 18).

Mereka berdalil dengan pemahaman Ummu ‘Athiyyah Radhiyallahu ‘anha yang meriwayatkan hadis tersebut, yaitu perkataan beliau, “namun beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menekankan (larangan tersebut) kepada kami.”

Seolah-olah Ummu ‘Athiyyah Radhiyallahu ‘anha mengatakan, “Kami dilarang mengiring jenazah, namun tidak sampai derajat haram.”  Artinya, Ummu ‘Athiyyah Radhiyallahu ‘anha memahami larangan tersebut tidak sebagaimana larangan yang harus atau wajib dikerjakan.

Pendapat kedua, larangan tersebut menunjukkan hukum haram. Ini adalah pendapat Hanafiyyah (lihat Bidayah Ash-Shanaai’, 1: 310 dan Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 2: 232).

Pendapat ini juga dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah. Beliau beralasan bahwa hukum asal larangan adalah haram. Pada kasus ini tidak ada yang memalingkannya dari hukum asal haram tersebut.

Adapun perkataan Ummu ‘Athiyyah Radhiyallahu ‘anha adalah berdasarkan pemahaman beliau sendiri. Hal itu bisa jadi karena tidak adanya ancaman, atau larangan tersebut tidak sangat ditekankan kepada kaum wanita, atau sebab-sebab yang lainnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata,

“(Perkataan Ummu ‘Athiyyah), ‘namun (beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam) tidak menekankan (larangan tersebut) kepada kami’, bisa jadi maksudnya adalah larangan tersebut tidak ditekankan. Namun hal itu tidaklah menghalangi dari adanya konsekuensi hukum haram. Atau bisa jadi karena Ummu ‘Athiyyah menyangka bahwa larangan tersebut tidak sampai derajat haram. Sedangkan hujjah itu berada pada perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan pada persangkaan selain beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam” (Majmu’ Al-Fataawa, 24: 355).

Pertimbangan yang menguatkan haramnya wanita mengiringi jenazah

Pendapat yang mengatakan hukumnya haram ini sangat kuat, dengan mempertimbangkan dua hal berikut ini:

Pertama, keluarnya kaum wanita untuk mengiring atau mengantar jenazah bisa menjadi sebab munculnya fitnah, juga memicu munculnya rasa takut atau kesedihan kaum wanita karena melihat jenazah ketika dibawa ke pemakaman sampai dimasukkan ke liang kubur.

Kedua, hal itu bisa menyebabkan kaum wanita bercampur baur dengan kaum lelaki dan berdesak-desakan dengan mereka. Ini adalah fakta yang bisa dilihat, baik ketika di jalan, atau ketika di pemakaman karena lahan yang sempit. Tidak diragukan lagi bahwa bercampur baurnya laki-laki dan perempuan adalah kemungkaran yang besar. Dan semua sarana menuju hal itu adalah haram. Wallahu Ta’ala a’alam.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/72144-bolehkah-perempuan-mengiringi-jenazah.html

Agama dalam Pandangan Gus Mus

Ahmad Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus adalah seorang ulama asal Rembang, Jawa Tengah. Dia bukan hanya tokoh yang karismatik karena ceramah-ceramahnya yang menyejukkan, tetapi juga karena tulisan-tulisannya yang menggugah. Salah satu topik yang kental dalam karya-karyanya adalah agama.

Gus Mus menyadari betul, cara pandang kita terhadap agama sangat menentukan bagaimana sikap kebaragaman kita, sikap kita terhadap sesama. Apakah kita mengggap agama sebagai ghayah (tujuan akhir), atau hanya washilah yang berarti kendaraan atau perantara menuju ghayah.

Dalam bukunya, Agama Anugerah Agama Manusia, Gus Mus menerangkan makna agama yang kerap disalahpahami. Kita seringkali menganggap agama sebagai tujuan akhir, ghayah. Tidak hanya agama, terkadang kita juga memandang organisasi kita, partai kita, kelompok kita, sebagai tujuan akhir. Apa pun rela dikorbankan.

Tentu bukan hal yang mengherankan jika kita menemukan orang-orang yang tega menghancurkan saudara sebangsanya sendiri demi organisasi atau partainya itu. Kita sering keliru atau “salah kaprah”, meminjam istilah gus Mus, dalam menempatkan antara tujuan dan jalan. Karenanya kita rentan kehilangan makna agama yang sesungguhnya.

Organisasi, partai, seharusnya merupakan jalan, bukan tujuan. Begitu juga dengan agama. Menurut Gus Mus, jika kita memandang agama sebagai tujuan akhir, maka kita akan dengan mudah menuduh yang lainnya sebagai sesat. Dengan menjadikan agama sebagai tujuan akhir, kita bisa begitu fanatik terhadap agama. Kefanatikan inilah yang dapat menghilangkan ini agama itu sendiri.

Agama, menurut pengasuh pondok pesantren Taman pelajar Rembang ini, adalah washilah. Bukan ghayah. Ketika berkesempatan menyampaikan pendapat ini dalam ceramahnya, beberapa orang memberikan respon penolakan. Di antaranya ada yang membalas dengan menyampaikan Q.S. Ali Imran/3: 19;

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ 

Sesungguhnya agama yang diridhai Allah hanyalah Islam.”

Ada juga yang mengajukan ayat lain, seperti Q. S. Ali Imran/3: 85. 

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ ٱلْإِسْلَٰمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ

Barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang merugi. “

Alih-alih mengubah pendapatnya, Gus Mus justru semakin yakin dengan pendapatnya itu. Melalui ayat-ayat tersebut, ia semakin percaya bahwa Islam sebagai agama tauhid memang bukanlah ghayah melainkan washilah.

Agama adalah jalan, kendaraan, perantara. Lantas, jika Islam adalah washilah, maka apakah yang menjadi ghayahnya? Ghayahnya adalah Allah, ridha Allah Swt.

Dalam sebuah puisinya yang berjudul Aku Manusia, Gus Mus menuturkan;

Agama

adalah kereta kencana

yang disediakan Tuhan

untuk kendaraan kalian

berangkat menuju hadirat-Nya

Jangan terpukau pada keindahannya saja

Apalagi sampai

dengan saudara-saudara sendiri bertikai

berebut tempat paling depan

Berangkatlah!

Ia menunggu kalian

sejak lama.

Demikian penjelasan tentang agama dalam pandangan Gusmus. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

6000 Jamaah Umroh Berdatangan ke Makkah

Makkah perlahan-lahan bangkit dari pembatasan selama tujuh bulan pada hari Ahad (4/10) ketika para jamaah berdatangan setelah otoritas Arab Saudi mencabut sebagian larangan virus corona untuk melakukan umroh.

Arab Saudi, yang sebagian besar menggelar haji simbolis awal tahun ini terbatas pada jamaah domestik, telah mengizinkan warga dan penduduk untuk mulai menunaikan umroh pada hari Ahad dengan kapasitas 30 persen, atau 6.000 jamaah sehari.

Makkah akan terbuka untuk Muslim dari luar negeri mulai 1 November. Tahun lalu negara Teluk itu menarik 19 juta jamaah umroh.

“Seluruh Makkah bahagia hari ini, ini seperti akhir masa penjara. Kami telah merindukan perasaan spiritual para peziarah yang berkeliaran di kota, ” kata Yasser al-Zahrani. Ia telah menjadi pengemudi Uber setelah kehilangan pekerjaan konstruksi selama tiga bulan karantina nasional yang diberlakukan pada Maret.

“Saya berdoa agar kami tidak pernah melewati beberapa bulan terakhir ini lagi, itu adalah mimpi buruk. Hampir tidak ada pekerjaan untuk menutupi tagihan saya,” katanya dilansir di Reuters, Ahad (4/10).

Sebelum pandemi, lebih dari 1.300 hotel dan ratusan toko berdesakan sepanjang waktu untuk melayani para jamaah yang mengunjungi kota suci Mekah dan Madinah. Sekarang banyak yang tertutup, jendela-jendela berdebu.

Tengah malam, puluhan jemaah haji yang terdaftar memakai masker dan bersiap memasuki Masjidil Haram dalam kelompok-kelompok kecil.

Saat mereka mengelilingi Ka’bah, sebuah bangunan batu yang paling suci dalam Islam dan arah yang dihadapi umat Islam untuk sholat, para pejabat memastikan mereka menjaga jarak yang aman. Para jamaah tidak lagi diperbolehkan menyentuh Ka’bah yang terbungkus kain hitam berhiaskan kaligrafi Arab dengan emas.

Umroh adalah tulang punggung dari rencana untuk memperluas pariwisata di bawah dorongan Putra Mahkota Mohammed bin Salman untuk mendiversifikasi ekonomi pengekspor minyak utama dunia. Kerajaan bertujuan untuk meningkatkan pengunjung umroh menjadi 15 juta pada tahun 2020, rencana yang terganggu oleh virus corona, dan menjadi 30 juta pada tahun 2030.

Umroh telah menghasilkan pendapatan 12 miliar dolar AS dari penginapan, transportasi, hadiah, makanan, dan biaya jamaah, menurut data resmi.

Arab Saudi menjadi tuan rumah haji yang berkurang drastis pada akhir Juli untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, dengan beberapa ribu jemaah haji domestik alih-alih 3 juta Muslim dari seluruh dunia.

Di dekat Masjidil Haram, hotel-hotel di menara bertingkat sebagian besar kosong dan pusat perbelanjaan tutup beberapa jam sebelum umrah dimulai. Puluhan toko dan restoran tutup.

Para ekonom memperkirakan sektor hotel Makkah mungkin kehilangan setidaknya 40 persen dari pendapatan yang didorong oleh haji tahun ini. 

IHRAM

Kemenkes Tetap Persiapkan Kesehatan Jamaah Haji 2022

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tetap mempersiapkan penyelengaraan ibadah haji 2022.

Kepala Pusat Kesehatan, Haji Budi Sylvana, mengatakan bukti keseriusan Kemenkes mempersiapkan penyelenggaraan ibadah haji tahu ini telah dikeluarkannya surat edaran dari Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan tentang pelaksanaan pemeriksaan dan pembinaan kesehatan haji.

“Itu bukti Kemenkes tetap optimis melakukan persiapan haji tahun 2022,” kata Budi Sylvana, saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (8/2/2022). 

Budi mengatakan, di antara persiapan yang telah dilakukan Kemenkes melalui Pusat Kesehatan haji antara lain ialah memperpanjang kontrak tiga gedung untuk RS di Arab Saudi. 

Untuk melayani jamaah haji terkait masalah kesehatannya, Kemenkes memiliki Kantor Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) yang ada di Makkah, Madinah, dan Jeddah. “Kontrak untuk gedung KKHI ini dilakukan setiap tahun,” ujarnya. 

Kontrak-kontrak lain yang juga yang harus dilakukan perpanjangan adalah katering, perekrutan petugas, penyiapan obat dan perbekalan kesehatan dan persiapan lainnya prosedur PCR di embarkasi. 

Semua persiapan teknis tengah dilakukan Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan. “Semua persiapan teknis sedang berjalan,” katanya. 

Budi mengatakan, selain mempersiapkan teknis, Pusat Kesehatan Haji juga mempersiapkan literasi kepada calon jamaah dan petugas kesehatan haji. Persiapa literasi seperti membuat fokus group diskusi (FGD) critical periode pada penyelenggaraan kesehatan haji. 

Budi mengatakan, dala FGD tersebut dibahas bagaimana mengurangi risiko kesehatan terhadap jamaah haji. Menurutnya, berdasarkan data dari Pusat Kesehatan Haji menunjukkan bahwa jumlah jemaah haji yang sakit dan memerlukan rujukan ke KKHI/RSAS cukup tinggi dan bahkan wafat. 

Dia menjelaskan, angka kematian pada penyelenggaraan kesehatan haji 2017 sampai dengan 2019 menunjukkan sekitar 2 persen wafat setiap tahunnya. 

Pada 2017, jumlah kematian jemaah haji sebanyak 645 orang (2,92 persen), sedangkan 2018 jumlah kematian jamaah haji sebanyak 386 (1,75 persen) dan pada 2019 jumlah kematian jamaah haji sebanyak 453 (1,96 persen). 

Data tersebut kata Budi, menunjukkan bahwa angka kematian jamaah haji Indonesia masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan jamaah haji dari negara lain. 

Sebagai perbandingan, India adalah pengirim jamaah haji terbesar kedua setelah Indonesia. Pada 2016 dengan kuota 140 ribu jamaah haji jumlah yang wafat sebanyak 1.19 persen sementara Indonesia 2.02 persen. 

Data Pusat Kesehatan Haji tahun 2017-2019 juga menunjukkan lonjakan angka kematian mulai terlihat hari ke-25 dan baru menurun pada hari ke-60 operasional haji. “Masa inilah yang kami sebut dengan critical period,” katanya.

Budi mengatakan, FGD ini bertujuan untuk memperoleh saran dan masukan dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan kesehatan haji sehingga diharapkan menurunkan kasus kematian pada jemaah haji. Peningkatan kualitas penyelenggaraan kesehatan haji tersebut meliputi upaya di Tanah Air maupun di tanah suci.   

IHRAM

Larangan Berlebihan dalam Memuji, Ini Enam Bahayanya Menurut Imam Ghazali

Pujian, dalam beberapa kondisi perbuatan ini dilarang. Pujian merupakan salah satu bahaya yang berasal dari lidah yang tidak berucap sesuai dengan porsinya.

Itulah sebabnya rasulullah sangat melarang seseorang sering-sering melontarkan pujian. Beliau mengatakan kepada orang yang menyampaikan pujian,

ويحك قطعت عنق صاحبك، (يقوله مراراً)، إن كان أحدكم مادحاً لا محالة، فليقل: أحسِبَ كذا وكذا- إن كان يرى أنه كذلك – وحسيبه الله، ولا يزكي على الله أحداً

“Celaka engkau, engkau telah memotong leher temanmu (berulang kali beliau mengucapkan perkataan itu). Jika salah seorang di antara kalian terpaksa harus memuji, maka ucapkanlah, ”’Saya kira si fulan demikian kondisinya.” -Jika dia menganggapnya demikian-. Adapun yang mengetahui kondisi sebenarnya adalah Allah dan  janganlah mensucikan seorang di hadapan Allah.” (HR. Bukhari)

Pujian, menurut Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin, mempunyai enam sisi kejelekan yang berbahaya bagi si pemuji dan yang dipuji. Empat bahaya di antaranya bersarang pada orang yang memuji dan sisanya terletak pada orang yang dipuji.

Adapun empat poin tercela yang terdapat pada orang yang memuji adalah sebagai berikut;

Pertama. Jika pujiannya cenderung berlebih-lebihan, sehingga menyebabkan sang pemuji harus berdusta karenanya.

Kedua. Jika dimasuki unsur riya’ karena di balik pujian yang ia berikan terselip keinginan agar mendapatkan imbalan.

Ketiga. Terkadang dalam pujian yang disampaikan ia mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya sendiri secara pasti dan masih memiliki berbagai kemungkinan.

keempat. Hanya ingin menyenangkan hati orang yang dipujinya meski sebenarnya pihak yang dipuji adalah seorang yang zalim. Perbuatan tersebut jelas-jelas dilarang. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda

إن الله تعالى يغضب إذا مدح الفاسق

“Sesungguhnya Allah Ta’ala sangat murka jika mendengar orang yang fasik dipuji.” (HR. Tirmidzi)

Sedangkan dua poin yang sangat membahayakan bagi pihak yang dipuji adalah sebagai berikut;

Pertama. Dapat memunculkan kesombongan dan kebanggaan terhadap diri sendiri dan meremehkan pihak lain.

Kedua. Jika dipuji dengan kebaikan, maka ia merasa sangat bangga, sehingga ia lupa atas kekurangan dirinya dan hal itu berdampak pada mengurangi usahanya untuk mendapatkan kebaikan di masa mendatang.

BINCANG SYARIAH

Selama Bulan Rajab, Amalan Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Bulan Rajab, salah satu bulan suci dalam kalender hijiriyah.  Dilansir dari laman About Islam pada Ahad (6/2), berikut enam amalan yang bisa dilakukan selama bulan Rajab:

1. Langkah pertama pikirkan niat. Anda dapat menerapkannya dengan niat untuk mempersiapkan mental dan fisik menyambut Ramadhan. 

2. Cari Pengampunan, dan Maafkan Tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Semua manusia berdosa. Berusahalah untuk melakukan taubat nasuha dengan tulus. Mohon ampun kepada Allah, agar bisa mengawali Ramadhan dengan hati yang terasa ringan dan cukup kuat untuk beribadah dengan baik. Selain itu juga, cobalah untuk memaafkan orang lain, sehingga hati Anda tidak akan dendam atau sakit hati. Makan Anda akan bebas untuk menikmati ibadah di bulan Ramadhan. 

3. Berpuasa Tidak ada riwayat otentik dari Nabi maupun para sahabat yang menyatakan bahwa ada keutamaan khusus dalam puasa di bulan Rajab. Puasa yang sama disyariatkan seperti pada bulan-bulan lainnya, misalnya Senin dan Kamis dan tiga hari pertengahan bulan islam atau puasa berselang-seling. Tidak ada cara yang lebih baik untuk mempersiapkan mental dan fisik selain berpuasa beberapa hari ekstra.  Jadi, jika Anda belum pernah berpuasa pada hari Senin atau Kamis, mulailah setidaknya satu hari dalam sepekan!  

4. Menahan hawa nafsu

Mulailah melatih diri untuk melawan hawa nafsu. Misalnya, makan malam sederhana selama akhir pekan, atau hindari biskuit dan permen sebagai gantinya. Ini akan mengatur irama bagi Anda untuk mengontrol nafsu di bulan Ramadhan. 

5. Beramal Di bulan ini lakukanlah amal shaleh dengan sadar dan niat untuk mencari ridha Allah. Pikirkan tentang perbuatan baik yang dapat Anda lakukan. Bantu seseorang, masak untuk seseorang, berikan pujian, buat ibumu tersenyum, dan bahkan berusaha menjauhi kebiasaan buruk seperti terlalu banyak menonton televisi. 

6. Berdoa Mohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan semoga kaum muslimin bisa sampai ke bulan Ramadhan. 

IHRAM

Kemenag: Sampai Saat Ini Keberangkatan Umrah Masih dari Soetta

Kepala Sub Direktorat Pemantauan dan Pengawasan Umrah dan Haji Khusus, M Noer Alya Fitra, menyebut sampai saat ini keberangkatan jamaah umrah masih melalui Bandara Soekarno Hatta.

Meski demikian, opsi dibukanya bandara lain untuk keberangkatan umrah disebut telah dibahas dalam rapat bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan asosiasi umrah 

“Kami sudah rapat dengan BNPB dan asosiasi untuk membahas antara lain hal tersebut. Sampai dengan saat ini, masih menggunakan Bandara Soetta untuk penyelenggaraan umrah,” ujar dia saat dihubungi Republika, Senin (7/2/2022).

Lebih lanjut, ia mengatakan pembukaan bandara lain akan dievaluasi terus, sembari melihat kondisi positivity rate jamaah yang terpapar Covid-19 saat kepulangan umrah.

Seiring dengan kondisi tersebut, ia juga menyebut belum dilakukan persiapan skema satu pintu atau One Gate Policy (OGP) untuk bandara lainnya.

Sebelumnya, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag, Hilman Latief, menyebut akan menyurati Satgas Nasional Penanganan Covid-19. Hal ini sehubungan dengan usulan pembukaan bandara lain untuk keberangkatan umrah.

Ia mengatakan kewenangan untuk membuka bandara lain ada pada Satgas Nasional Penanganan Covid-19. Pembukaan akses kedatangan warga dari luar negeri ke Indonesia disebut juga berkaitan dengan kesiapan fasilitas bandara, serta sarana karantina.

Hingga saat ini, hanya Bandara Soekarno-Hatta yang digunakan untuk pemberangkatan dan pemulangan jamaah.

“Kementerian Agama akan bersurat ke BNPB untuk mengusulkan pembukaan bandara di kota lainnya sebagai tempat pemberangkatan dan pemulangan jamaah umrah,” ujar Hilman melalui pesan tertulis yang diterima Republika, Rabu (2/2/2022).

Adapun usulan tersebut ia sampaikan dalam rangka mengantisipasi penumpukan dan penuhnya kapasitas (overload) Bandara Soekarno-Hatta.  

IHRAM

Hukum lbadah Haji bagi Anak Kecil

Syekh Sa’id bin Abdul Qodir Basyanfar mengatakan, anak kecil tidak wajib menunaikan ibadah haji. Akan tetapi jika ia menunaikan haji, ibadah hajinya sah.

“Hal ini berdasarkan beberapa hadits di antaranya yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA,” tulis Syaikh Sa’id bin Abdul Qodir Basyanfar dalam kitabnya Al-Mughnie.

Dari lbnu Abbas RA bahwa salah seorang perempuan mengadukan kepada Rasulullah SAW perihal anak kecilnya seraya berkata, “Ya, Rasulullah! Apakah anak kecil itu diperbolehkan berhaji?”

Rasulullah SAW menjawab “Ya dan engkau mendapat pahalanya.” ( Hadis riwayat Imam Muslim).

Hadits itu menjadi dalil sahnya haji anak kecil dan pelaksanaannya terlepas anak itu sudah memasuki masa tamyiz atau belum. Jika anak itu sudah masuk masa tamyiz, ia berihram atas izin walinya. 

“Namun jika belum masuk masa tamyiz, walinya yang berihram atas nama anak itu,” katanya.

Pendapat itu dipegang mayoritas ulama, tetapi pelaksanaan haji anak kecil itu tidak menggugurkannya dari kewajiban menunaikan haji jika ia baligh.

Imam Ibnu Mundzir berkata, “Para ulama telah sepakat-kecuali kelompok kecil yang menyimpang dan pendapatnya tidak dianggap suatu perbedaan-bahwa anak kecil jika berhaji pada masa kecilnya kemudian menginjak dewasa, ia harus menunaikan haji wajib jika mampu melakukannya.” 

Imam Tirmidzi berkomentar, “Para ulama telah sepakat tentang pendapat itu.” 

Dalil Pedapat Ulama tentang Haji Anak Kecil

Adapun dalil pendapat itu adalah dua hadis dari riwayat Ibnu Abbas. Ibnu Abbas RAberkata, Rasulullah SAV/ bersabda, “Anak kecil yang dihajikan keluarganya lalu ia dewasa, wajib baginya menunaikan haji lagi.” (Hadis dikeluarkan Imam Ktatib, Dhiya Maklisy, dan Imam al Hakim. Komentar beliau, “Hadis itu sahih dengan syarat kedua imam tersebut.” Begitu juga Imam lbnu Khuzaimah.) 

Dari lbnu Abbas RA, beliau berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Anak kecil yang telah menunaikan ibadah haji lalu ia menginjak dewasa, wajib baginnya menunaikan haji lagi/haji fardhu. Hamba sahaya yang telah menunaikan ibadah wajib lalu dibebaskan/merdeka, ia pun wajib melaksanakan ibadah haji lagi/haji fardu. (Hadits riwayat lmam Syafii dan lmam Thayalisy).

Jika si anak kecil itu menginjak usia balig sebelum wuquf atau pada saat wuquf di Arafah, gugurlah kewajibannya menunaikan haji fardhu. Pendapat itu berdasarkan dalil yang telah dikeluarkan Imam Abu Bakar al Quthi’i dalam kitab Manasik-nya dari Sa’id bin Abi Urubah dengan sanad yang sahih dari Imam Qatadah dan Atha’bahwa kedua sahabat itu berkata. 

“Jika seorang hamba sahaya dimerdekakan atau seorang anak kecil bermimpi (tanda usia balig) pada sore hari wuquf di Arafah dan ia menyaksikan wuquf itu, gugurlah bagi mereka berdua kewajiban menunaikan haji fardhu/rukun.

Pendapat itu adalah pendapat Ibnu Abbas RA dan pendapat Imam. Syafi, Imam Ahmad, serta Imam Ishaq. Adapun Imam Malik dan Imam Abu Tsaur berpendapat, “Pelaksanaan haji tersebut mencukupkannya dari kewajiban melaksanakan haji fardhu.” 

Pendapat itu dipilih Imam Ibnul Mundzir juga. Adapun Imam Abu Hanifah berpendapat, “Jika anak kecil itu memperbaharui ihramnya (niat hajinya) setelah bermimpi dan sebelum wuquf di Arafah, hajinya itu mencukupkannya dari melaksanakan haji fardhu. Jika ia tidak memperbaharuinya, hajinya itu tidak mencukupkannya dari haji fardhu karena ihram-nya harus terlaksana dalam kedudukan wajib.” 

Jika seorang anak kecil menunaikan haji, ia harus menjauhi semua larangan yang harus diiauhi semua yang berihram. Mengenai segala kegiatan ibadah haji yang ia sendiri tidak mampu melaksanakannya, hendaklah kegiatan itu dilakukan walinya berdasarkan hadis Jabir RA:

Dari Jabir RA, ia berkata, “Aku berhaji bersama Rasulullah SAW. Ikut bersama kami kaum muslimat dan anak-anak kecil, Kami mengucapkaan talbiyyah dan melempar jumrah mewakili anak-anak kecil itu.” (Hadits riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Majah).

Setiap kegiatan ibadah haji yang mampu dilakukan anak kecil itu sendiri, ia sendiri yang harus menunaikannya seperti wuquf di Arafah, mabit di Muzdalifah, dan lainnya. Adapun untuk kegiatan ibadah haji yang tidak mampu dilakukan sendiri, walinyalah yang melakukannya. 

Dalil lain adalah riwayat dari Ibnu Umar RA bahwa beliau menghajikan anak-anaknya padahal mereka masih kecil. Jika di antara anak-anaknya itu ada yang mampu melempar sendiri, ia melempar sendiri. Sementara anak yang tidak mampu melempar, walinya yang menggantikan. Ibnu Mundzir berkata.

“Setiap yang aku kenal dari kalangan ulama, mereka berpendapat bahwa wali boleh mengganti melemparkan jumrah bagi anak kecil yang tidak mampu melakukannya.”

IHRAM

Membantu Pelaku Bunuh Diri, Apakah Berdosa?

Umumnya pelaku bunuh diri melakukan perbuatan nekat bunuh diri tanpa diketahui siapapun, melainkan atas inisiatif sendiri dan dilakukan dalam keadaan tersembunyi. Namun demikian, ada juga pelaku bunuh diri melakukan perbuatan bunuh diri dengan bantuan orang lain, misalnya memberikan sarana berupa obat, tempat dan lainnya. Bagaimana hukum membantu pelaku bunuh diri, apakah berdosa?

Perbuatan bunuh diri termasuk perkara yang sangat dilarang dalam Islam, bahkan termasuk dosa besar dan diancam dengan masuk neraka. Karena itu, dalam keadaan apapun, seseorang dilarang untuk mengakhiri hidupnya dengan melakukan bunuh diri, baik dengan minum racun, gantung diri dan lainnya.

Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Muslim berikut;

مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ يَتَوَجَّأُ بِهَا فِي بَطْنِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ شَرِبَ سَمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ يَتَحَسَّاهُ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ يَتَرَدَّى فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا

Barangsiapa yang bunuh diri dengan besi, maka besi yang tergenggam di tangannya akan selalu ia arahkan untuk menikam perutnya dalam neraka jahanam secara terus-menerus dan ia kekal di dalamnya. Barangsiapa yang bunuh diri dengan cara meminum racun maka ia akan selalu menghirupnya di neraka Jahannam dan ia kekal di dalamnya.

Barangsiapa yang bunuh diri dengan cara terjun dari atas gunung, maka ia akan selalu terjun ke neraka Jahanam dan dia kekal di dalamnya.

Karena bunuh diri merupakan perbuatan dosa besar, maka membantu pelaku bunuh diri dalam melakukan bunuh diri hukumnya haram dan berdosa. Dalam Islam, membantu terlaksananya perbuatan dosa juga dinilai dosa.

Karena itu, membantu pelaku bunuh diri hukumnya haram dan berdosa, baik membantu dari segi sarana, tempat, dukungan dan lainnya. Menurut sebagian ulama, orang yang membantu pelaku bunuh diri harus dihukum dengan hukuman takzir.

Ini sebagaimana disebutkan oleh Abdul Qadir Audah dalam kitab Al-Tasyri’ Al-Jina-i Al-Islami berikut;

ويترتب على تحريم الانتحار ان يعاقب شريك المنتحر سواء كان الاشتراك بالتحريض او الاتفاق او العون

Keharaman bunuh diri mengakibatkan orang yang membantu pelaku bunuh diri harus dihukum, baik bantuan tersebut berupa dorongan, persetujuan maupun bantuan. 

BINCANG SYARIAH