Kesombongan di Balik Kata Hamba Allah

Suatu ketika hiduplah seorang cendekiawan muda yang sangat mahir dalam menciptakan berbagai macam keajaiban melalui kata yang dituliskannya melalui buku, novel, media sosial, dan media masa lainnya. Karyanya sudah banyak dikagumi khalayak ramai, tak sedikit pula yang membagikan hasil tulisannya. Dan di setiap tulisannya pasti terkandung nilai-nilai kehidupan, kemanusiaan, bahkan ketuhanan, sebagai natijah atau nilai dari buah pemikirannya yang begitu matang.

Dalam setiap karyanya pasti tertera nama pena berupa hamba Allah atau terkadang ia memakai nama samaran al-faqir ila rahmatillahi yang dicontohnya dari maha karya para ulama tasawuf terdahulu. Karya demi karya cendekiawan muda itu semakin digandrungi oleh masyarakat karena kerendahan hatinya.

Tak bisa dipungkiri, kepiawaiannya dalam merangkai kata menjadi sebuah bait pemikiran yang begitu indah, membuatnya banyak dicari-cari identitas aslinya oleh para pembaca setianya. Terlebih ketika ia menulis babakan keikhlasan, pasti para pembaca dibuatnya terbelalak kagum membaca tulisannya itu.

Karya demi karya banyak dilahirkannya dengan nama pena “hamba Allah”. Hingga akhirnya ia mulai terlena pada hakikat nama pena yang disandangnya itu. Ia mulai lupa bahwa setiap karya yang ditulisnya itu sejatinya adalah anugerah atau kelebihan dari Allah yang diberikan padanya. Ia lupa bahwa yang membuatnya bisa sebegitu masyhur adalah Zat Yang Maha Masyhur.

Suatu ketika, ia tengah duduk bersama sekelompok anak muda yang tengah asyik membincangkan masalah sastra, sekelompok pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa di hadapan mereka itu adalah seorang cendekiawan hebat yang sebenarnya mereka cari-cari selama ini. Salah satu dari pemuda itupun kemudian membahas karya-karya dari sang hamba Allah itu, menurutnya karyanya begitu memotivasi kehidupannya yang dulunya sempat kelam.

Sang cendekiawan muda itu hanya mendengarkan pujian demi pujian yang dilontarkan oleh sekelompok pemuda tersebut, sembari membatin bahwasanya “siapa lagi yang bisa menciptakan karya seindah itu selain aku sang hamba Allah ini”. Sesekali ia juga ikut nimbrung untuk hanya sekedar berpura-pura menanyakan, siapakah hamba Allah itu yang karya-karyanya begitu indah. Walaupun sebenarnya yang ia tanyakan itu sebenarnya ialah dirinya sendiri.

Cendekiawan muda itu semakin dibuat lupa oleh nama hamba Allah yang selalu disematkannya itu, ia lupa bahwa segala pujian yang menyangkut setiap karya-karyanya itu seharusnya tertuju pada Sang Pemilik Hamba, bukan sang hamba Allah itu sendiri. Ia malah seakan-akan mempopulerkan nama Allah melalui nama penanya itu, tanpa menyadari bahwa sebenarnya yang mempopulerkan nama penanya itu adalah Allah.

Ia semakin hanyut dalam pengakuan dirinya melalui nama hamba Allah disetiap karyanya itu, tanpa benar-benar mempraktikan nama hamba Allah di dalam kehidupannya. Ia lupa bahwa nama penanya itu seharusnya sebagai pengakuan diri yang hina, lemah, dan tak berdaya untuk menghasilkan sebuah karya tulis. Bukan sebagai pengakuan diri bahwa tiada orang yang dapat menciptakan karya seindah karyanya itu. Bukan pula sebagai pengakuan diri bahwa hanya ialah hamba Allah yang dapat menciptakan karya yang begitu memotivasi.

Ia semakin terjebak dalam kesombongan yang syir, nama hamba Allah bukannya sebagai salah satu lakunya untuk lebih tawadu, malah menjadikan dirinya semakin sombong dalam pengakuannya pada nama hamba Allah, tanpa menyadari bahwa di dalam dirinya ada sekecil biji kesombongan pada setiap lakunya yang seakan akan adalah sebuah keikhlasan itu sendiri.

Dan pada akhirnya, ia hanya terkotak dengan kesombongan syirnya, selama ia tak bisa benar-benar menyadari bahwa sebenarnya nama hamba Allah adalah sebuah predikat atau sandangan tertinggi bagi para kekasih Allah yang benar-benar memiliki kriteria keikhlasan yang murni dan dikaruniai qalbun salim seperti nabi Muhammad Saw.

BINCANG SYARIAH

Memahami Doa Nabi untuk Menangkal Hujan

Saat ritual pawang hujan dalam perhelatan Moto GP Mandalika 2022 viral beberapa waktu lalu, beberapa warganet membanding-bandingkannya dengan doa yang diajarkan oleh Nabi untuk memindahkan hujan. Namun, perlu ada pemahaman yang lengkap tentang doa nabi untuk menangkal hujan tersebut.

Redaksi doa Nabi untuk menangkal hujan berbunyi sebagai berikut:

اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا

Ya Allah, turunkan hujan di sekitar kami, bukan yang merusak kami”

Dalam riwayat lain, terdapat redaksi yang lebih lengkap, yaitu:

اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا، اللَّهُمَّ عَلَى الآكَامِ وَالظِّرَابِ، وَبُطُونِ الأَوْدِيَةِ، وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ

Ya Allah, turunkan hujan di sekitar kami, bukan yang merusak kami. Ya Allah! Turunkanlah hujan di atas dataran tinggi, di bukit-bukit, di perut lembah dan di tempat tumbuhnya pepohonan”

Doa ini dikutip dari hadits riwayat Anas bin Malik, sebagaimana tertulis dalam Shahih al-Bukhari (2/29), yang menceritakan Rasulullah tengah berkhutbah pada hari Jumat. Tiba-tiba seorang laki-laki menginterupsi beliau dan mengeluhkan keadaan paceklik yang menimpa Madinah saat itu. Rasulullah pun berdoa agar hujan turun.

Hujan pun turun hari itu, dan terus-menerus turun tiada henti selama hampir seminggu. hingga dikatakan matahari tidak terlihat selama 6 hari.

Pada hari Jumat berikutnya, laki-laki tersebut kembali menginterupsi Nabi ketika khutbah berlangsung, dan mengeluhkan kerugian materi akibat hujan yang terus berlangsung. Rasulullah pun berdoa dengan doa sebagaimana tertulis di atas, dan terlihat mendung pindah ke sekitar Madinah, sehingga Madinah cerah kembali sedangkan sekitarnya turun hujan.

Ibnu Baththal dalam kitabnya, Syarh Shahih al-Bukhari li Ibni Baththal (3/13), menjelaskan bahwa doa ini menggambarkan keagungan akhlak dan adab Nabi Muhammad saw. Beliau sama sekali tidak memohon kepada Allah agar menghentikan hujan  secara mutlak.

Sebab beliau sadar bahwa hujan merupakan salah satu nikmat yang mengandung keutamaan, keberkahan, dan kemanfaatan. Sehingga beliau memohon agar hujan tersebut dipindahkan ke tempat atau daerah yang lebih membutuhkan, seperti bukit atau lembah.

Dalam kitab ‘Umdatul Qari Syarh Shahih al-Bukhari (6/238) juga dijelaskan bahwa Rasulullah dalam doa ini pada hakikatnya memohon agar terhindar dari ancaman bahaya yang ditimbulkan dari hujan kepada penduduk, dan agar hujan tersebut turun pada tempat yang lebih membutuhkan manfaatnya.

Juga hadits ini mengandung anjuran agar berdoa memohon putusnya hujan dari rumah penduduk apabila turun lebat dan menimbulkan ancaman bahaya.

Mengenai redaksi doa Nabi ini, ada penjelasan menarik dari Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA dalam kitabnya at-Thuruq as-Shahihah fi Fahm as-Sunnah an-Nabawiyah (halaman 81-82). Menurut beliau, redaksi doa Nabi ini tak bisa lepas dari letak geografis kota Madinah saat itu yang dikelilingi oleh padang pasir.

Oleh karena itu, Nabi berdoa agar hujan turun di sekitar Madinah sehingga tidak menimbulkan bahaya bagi penduduk Madinah.

Tentu redaksi doa ini tidak bisa diterapkan di kota Jakarta, misalnya, yang apabila hujan turun lebat di daerah-daerah sekitarnya, malah akan menimbulkan ancaman banjir bagi penduduknya. Oleh karena itu, redaksi doa tersebut bisa diubah sesuai makna esensi hadits, semisal:

اللَّهُمَّ   عَلَى  الْبَحْرِ، لَا عَلَيْنَا وَلَا حَوَالَيْنَا 

Ya Allah, turunkan hujan di atas laut, bukan di atas kami dan bukan di sekitar kami”

Redaksi doa yang demikian hukumnya boleh dan tidak menyimpang dari teks hadits. Sebab, esensi dari doa yang diajarkan nabi dalam hadits tersebut adalah untuk menghindari ancaman bahaya dari turunnya hujan.

Dengan demikian, ilmu geografi juga dibutuhkan untuk memahami teks hadits, meskipun bukan termasuk dari dalil atau sumber hukum Islam.  

Memahami doa Nabi untuk menangkal hujan. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Mengapa Suami Istri Dilarang Saling Berburuk Sangka?

Berburuk sangka suami istri bisa berakibat fatal terhadap rumah tangga

Salah satu penyebab terjadinya pertengkaran di dalam rumah tangga adalah karena kerap berprasangka buruk terhadap pasangan. 

Bahkan banyak hubungan pernikahan berakhir dengan perceraian karena hal tersebut. Lalu bagaimana agar hubungan suami terhindar dari prasangka buruk?  

Al Habib Hasan bin Ismail Al Muhdhor mengatakan bahwa bila ingin hidup bahagia dengan pasangan, maka langkah awalnya adalah harus mempunyai prasangka baik. 

Bila suami istri membangun pondasi keluarga dengan berprasangka baik, artinya suami berprasangka baik pada istrinya begitu juga sebaliknya istri berprasangka baik pada suaminya, maka kebaikan suami atau istri akan terlihat besar dan kejelekan atau kesalahan suami atau istri akan terlihat kecil karena atas dasar prasangka baik.

Sebaliknya bila rumah tangga dibangun dengan prasangka buruk maka kebaikan suami atau istri akan terlihat kecil, dan kejelekan suami atau istri menjadi terlihat besar.

“Sekian waktu (suami istri) tidak bertemu, mestinya perjumpaan itu menjadi perjumpaan yang membuat kebahagiaan. Tapi kalau dengan kacamata su’udzan pertama jumpa akan langsung bertengkar,” kata Habib Hasan dalam kajianya pada sesi tanya jawab yang disiarkan melalui Al Wafa Tarim Official Channel You Tube TV Alwafa Tarim yang diasuh langsung Al Habib Hasan bin Ismail Al Muhdhor beberapa waktu lalu.

Karena itu Habib Hasan berpesan agar jangan sampai cinta (mahabbah) dan prasangka baik sebagai fondasi keluarga berkurang. Maka hindari hal-hal yang berpotensi memunculkan prasangka buruk terhadap pasangan. Lebih lanjut Habib Hasan mengingatkan bahwa dosa besar bagi orang-orang yang berupaya merusak hubungan keluarga orang lain.  

“Termasuk dosa besar orang yang berusaha merusak hubungan suami istri. Berapa banyak keluarga yang harmonis, tenang, damai, indah walaupun tidak ada yang sempurna. Masuk orang ketiga, dari pihak keluarga, teman, tetangga yang berusaha merusak hubungan ini sehingga hubungan yang indah dan harmonis menjadi kacau dan rusak,” katanya.   

IHRAM

3 Doa agar Suami Setia dan Jauh dari Perselingkuhan

Tren perselingkuhan di era digital ini cenderung naik, sehingga di beberapa daerah angka perceraian pun semakin meningkat. Bahkan, sekarang marak persilungkuhan online yang bisa mengarah kepada perzinaan. Hal ini tentunya membuat khawatir setiap pasangan, terutama para istri.

Agar suami tidak berselingkuh, ada beberapa doa yang bisa diamalkan oleh para istri. Di antaranya doa yang berasal dari ayat suci Alquran. Berikut tiga doa yang bisa dipanjatkan setiap istri agar suaminya tidak selingkuh.

Pertama, doa agar suami menjauhi maksiat 

اَللّٰهُمَّ اِنَّا نَساَلُكَ التَّوبَةَ وَدَوَامَهَا وَنَعُوذُبِكَ مِنَ المَعصِيَةِ وَاَسبَابِهَا وَذَكِّرنَا بِالخَوفِ مِنكَ قَبلَ هُجُومِ خَطَرَاتِهَا وَاحمِلنَا على النَّجَاةِ مِنهَا وَ مِنَ التَّفَكُّرِ فِى طَرَائِقِهَا وَامحُ مِن قُلُوبِنَا حَلَاوَةَ مَااجتَنَينَاهُ مِنهَا وَاستَبدِلْهَا بِالكَرَاهَةِ لَهَا وَالطَّمَعِ لِمَا هُوَ بِضِدِّهَا.

“Allahumma innaa nasalukat taubata wa dawaamahaa. Wa na’uudzu bika minal ma’shiyyati wa asbaabihaa wa dzakkirnaa bil khaufi minka qabla hujuumi khatharaatihaa wahmilnaa ‘alan najaati minhaa wa minat tafakkuri fii tharaaiqihaa wamhumin quluubinaa halaawata majtabainaahu minhaa wastabdilhaa bil karaahati lahaa wath thama’i limaa huwa bidhiddihaa.”

 Artinya: “Ya Allah, kami memohon petunjuk kepada-Mu sehingga kami senantiasa bertaubat dari segala dosa dan kesalahan. Dan saya berlindung kepada-Mu dari perbuatan maksiat serta sebab-sebabnya, dan jadikanlah kami senantiasa ingat kepada-Mu, sebelumnya datangnya keinginan untuk berbuat maksiat yang penuh bahaya. Selamatkanlah karenanya ada perasaan tidak suka senantiasa pada perbuatan maksiat dan terbitkanlah dalam hati kami keinginan untuk berbuat sebaliknya,”. 

Kedua, doa agar hati suami tertutup dari perselingkuhan

Doa ini dapat diamalkan oleh seorang istri setiap melaksanakan sholat lima waktu, sehingga hati suaminya tertutup dari perselingkuhan. 

أَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِنِّي وَلِتُصْنَعَ عَلَىٰ عَيْنِي “Walqoytu a’laika mahabbatam minii wa litusna’a ‘alaa ‘aini.”

Artinya: “Aku telah memberikan kepadamu sebuah kasih dan sayang yang datang dari-Ku, dan agar engkau diasuh di bawah pengawasan-Ku.” (QS Thaha ayat 39)

Ketiga, doa agar suami tetap setia

Doa ini terdapat dalam surat Ali Imran ayat 31. Dengan membaca ayat ini, maka suami akan tetap mencintai istrinya. 

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ “Qul in kuntum tuhibbuuna Allaha fattabi ‘uunii yuhbibkumu Allahu wayaghfirlakum zunuubakum wallahu ghafuurun rahiim.” 

Artinya: “Katakanlah (Muhammad), jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu dan Allah Mahapengampun, Mahapenyayang.”

IHRAM

Begini Para Salaf Menyambut Ramadhan

SETIAP orang pasti akan mengistimewakan apa yang menjadi kecintaannya. Rasanya tak ingin terlewatkan untuk menyambut ketibaannya. Ada yang menyambutnya dengan berlari, ada yang berlari kecil, dan ada yang berjalan. Pun ada yang tak menyambut dengan cara mendatanginya, melainkan hanya menanti hingga hari itu tiba, tanpa persiapan istimewa.

Ramadhan selalu begitu, beragam cara orang menyambutnya. Menunjukkan seberapa istimewa Ramadhan bagi mereka. Ada yang menangis haru karena kesempatan berjumpa, ada juga yang riang gembira karena makanan akan berlimpah ruah saat berbuka.

Beragam cara penyambutan, sangat memepengaruhi cara memperlakukan. Ada yang bersungguh-sungguh pun ada yang biasa saja sebagaimana bulan lainnya. Para ulama memberi banyak contoh bagaimana memperlakukan Ramadhan demikian istimewa. Dengan persiapan yang luar biasa.

Karena sudah seyogyanya siapapun yang ingin berangkat menjumpai satu keadaan ia mesti punya bekalan. Allah ta’ala berfirman:

وَلَوْ أَرَادُوا الْخُرُوجَ لأعَدُّوا لَهُ عُدَّةً

 “Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu……” (QS: At Taubah: 46).

Dan bekal menyambut Ramadhan adalah memperbanyak doa dan amal saleh serta memperbaharui taubat sebagaimana para salaf.

Syaikh al-Fauzan pernah ditanya :

Bagaimanakah keadaan salafus shalih –radhiyallahu’anhum wa rahimahum– dalam menyambut bulan yang agung ini? Bagaimanakah bimbingan mereka? Bagaimanakah kebiasaan dan sikap mereka?

Keadaan salaf di bulan Ramadhan, sebagaimana hal itu telah tercatat dalam kitab-kitab yang diriwayatkan dengan sanad yang terpercaya.  Bahkan para salaf senantiasa memohon kepada Allah ‘azza wa jalla agar menyampaikan/mengantarkan mereka sehingga bisa menjumpai Ramadhan, yaitu sebelum masuknya bulan itu.

Mereka meminta kepada Allah supaya mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan. Mereka mengetahui bahwa di bulan itu terdapat kebaikan yang sangat besar dan kemanfaatan yang begitu luas.

Karenanya Sebagian ulama salaf mengatakan:

كَانُوا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ

”Mereka (para sahabat) berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadlan.” (dalam Lathaaiful Ma’arif hal. 232)

Adapun Nabi ketika Ramadhan akan tiba ia menyambutnya dengan puasa di bulan sya’ban Sebagai persiapan menyambut Ramadhan, Rasulullah ﷺ memperbanyak puasa. ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu berkata,

وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً

“Saya sama sekali belum pernah melihat Rasulullah ﷺ berpuasa dalam satu bulan sebanyak puasa yang beliau lakukan di bulan Sya’ban, di dalamnya beliau berpuasa sebulan penuh.” Dalam riwayat lain, “Beliau berpuasa di bulan Sya’ban, kecuali sedikit hari.” (HR. Muslim: 1156)

Mengapa Sya’ban menjadi tempat yang Rasulullah ﷺ pilih untuk memperbanyak puasa? Salah satunya karena Sya’ban itu kata para ulama adalah tempat menumbuhkan dahan-dahan kebaikan.

السنة مثل الشجرة و شهر رجب أيام توريقها و شعبان أيام تفريعها و رمضان أيام قطفها و المؤمنون قطافها جدير بمن سود صحيفته بالذنوب أن يبيضها بالتوبة في هذا الشهر و بمن ضيع عمره في البطالة أن يغتنم فيه ما بقي من العمر

“Waktu setahun itu laksana sebuah pohon. Bulan Rajab adalah waktu menumbuhkan daun, Syaban adalah waktu untuk menumbuhkan dahan, dan Ramadhan adalah bulan memanen, pemanennya adalah kaum mukminin. (Oleh karena itu), mereka yang “menghitamkan” catatan amal mereka hendaklah bergegas “memutihkannya” dengan taubat di bulan-bulan ini, sedang mereka yang telah menyia-nyiakan umurnya dalam kelalaian, hendaklah memanfaatkan sisa umur sebaik-baiknya (dengan mengerjakan ketaatan) di waktu tesebut.” (dalam Lathaaiful Ma’arif hal. 130)

Kedua, amal shaleh tentu menjadi bekal penting, jika tidak maka kita akan lemah menghadapi Ramadhan.

Tanpa bekalan amal shaleh, raga akan dilemahkan untuk menjalaninya. Sebab tanpa amal shaleh, kita bisa saja kehabisan bekalan dalam perjalanan.  Maka Ramadhan akan meninggalkan kita dalam kondisi demikian, karenanya keberangkatan tanpa persiapan itu dicela oleh Allah.

وَلَكِنْ كَرِهَ اللَّهُ انْبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيلَ اقْعُدُوا مَعَ الْقَاعِدِينَ (٤٦)

“….Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” (QS: At Taubah: 46).

Imam Abu Bakr Az Zur’i rahimahullah berkata, bahwa salah satu perkara yang wajib diwaspadai oleh setiap Muslim adalah,

[اَلتَّهَاوُنُ بِالْأَمْرِ إِذَا حَضَرَ وَقْتُهُ]

Kewajiban telah datang tetapi kita tidak siap untuk menjalankannya.

Begitulah keadaan para salaf dalam memperlakukan Ramadhan sebagai tamu istimewa.

Mereka berdoa tiada henti bukan hanya dalam menyambutnya, bahkan di dalam Ramadhan, dan di saat Ramadhan telah berlalu mereka masih juga berdoa. Mereka meminta kepada Allah di luar bulan Ramadhan agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan, karena mengetahui bahwa di bulan itu terdapat kebaikan yang sangat besar dan kemanfaatan yang begitu luas.

Jika bulan Ramadhan sudah tiba mereka pun meminta kepada Allah untuk memberikan pertolongan dan bantuan kekuatan agar mereka dapat dalam beramal salih di bulan tersebut. Jika Ramadhan usai mereka pun masih juga memohon kepada Allah agar menerima amalan-amalan mereka.

Hal itu semua mereka lakukan karena dirundung oleh rasa cemas dan khawatir setelah beramal; apakah amalnya itu diterima Allah atau tidak sama sekali.

Mereka pun memperbanyak amal shaleh seperti shalat tahajjud, tilawah al-Qur’an dan puasa di bulan Sya’ban.

Tak lupa mereka senantiasa meperbaharui taubat mereka kepada Allah, sebagai upaya untuk memperbaharui iman dan menjaga keberuntungan. Allah ta’ala berfirman,

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٣١)

“Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS: An Nuur: 31).

Bagian dari kesadaran bahwa kita semua adalah pendosa, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُون

“Setiap keturunan Adam itu banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat.” (Hasan. HR. Tirmidzi: 2499)

Akhirnya marilah senantiasa menjaga doa, agar terijabah dengan banyak melakukan taubat dan amal shaleh. Sebagai upaya menyambut Ramadhan yang mulia.

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْأَمْنِ وَالْإِيمَانِ، وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ، وَالتَّوْفِيقِ لِمَا تُحِبُّ وَتَرْضَى، رَبُّنَا وَرَبُّكَ اللَّهُ

Allahu Akbar, ya Allah jadikanlah hilal (Ramadhan) itu bagi kami dengan membawa keamanan dan keimanan, keselamatan dan islam, dan membawa taufiq yang membimbing kami menuju apa yang Engkau cintai dan Engkau ridhai. Tuhan kami dan Tuhan kamu (wahai bulan), adalah Allah.” (HR. Ahmad 888, Ad-Darimi dalam Sunannya no. 1729).*/Naser Muhammad

HIDAYATULLAH

Amalan Menyambut Ramadhan yang Dicontohkan Nabi Muhammad

Nabi Muhammad memberikan contoh amalan untuk menyambut Ramadhan.

Tidak lama lagi, umat Islam di seluruh penjuru dunia akan melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan dikenal sebagai bulan yang istimewa, begitu pun di sisi Nabi Muhammad. Karena bulan yang istimewa, Nabi Muhammad menyiapkan diri dalam menyambut Ramadhan dengan sejumlah amalan ibadah.

Dilansir di About Islam, Nabi Muhammad SAW menjelang Ramadhan kerap berpuasa selama bulan Sya’ban, bulan sebelum Ramadhan dalam kalender Islam. Nabi juga mendorong umat Islam di sekitarnya meningkatkan ibadah sebelum Ramadhan benar-benar tiba.

Rasulullah diriwayatkan kerap melakukan amalan ibadah sunnah yang bernilai kebajikan dalam menyambut Ramadhan. Tak lupa, beliau juga kerap memotivasi umat Islam di sekelilingnya menyambut Ramadhan dengan sukacita dengan menjalani ibadah.

Setidaknya, Nabi Muhammad SAW memiliki tiga strategi untuk mempersiapkan Ramadhan. Pertama, persiapan praktis seperti berpuasa dengan ikhlas.

Kedua, meminta keberkahan kepada Allah melalui doa. Ketiga, menasihati, memotivasi, dan mengingatkan orang-orang di sekitarnya tentang kedatangan Ramadhan. Beliau juga mendorong mereka melakukan perbuatan baik di dalamnya.

Puasa sunnah selama Sya’ban dilakukan Nabi Muhammad pada masa lalu sebagaimana yang terekam dalam hadis shahih. Hadits tersebut berbunyi: “Dari Usamah bin Zaid, dia berkata: Saya berkata: Wahai Rasulullah, saya tidak melihat Anda berpuasa dalam sebulan layaknya engkau lakukan di bulan Sya’ban.”

Mendengar itu, Rasulullah menjawab: “Itu adalah bulan di mana orang tidak terlalu memperhatikan, antara Rajab dengan Ramadhan. Itu adalah bulan di mana perbuatan itu diangkat oleh Allah SWT, dan aku suka perbuatanku (amalanku) diangkat Allah ketika menjalani puasa.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i.

Hal yang sama juga telah dicatat berdasarkan hadits yang bersumber dark Aishah: “Bulan yang paling disukai Rasulullah untuk berpuasa adalah Sya’ban. Memang, ia biasa bergabung ke Ramadhan.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i dengan kadar hadis yang shahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud.

Meski jumlah pasti hari berpuasanya Rasulullah pada Sya’ban belum dapat dipastikan, tetapi kita dapat mengemukakan pada saat Ramadhan tiba, Rasulullah SAW seolah mengajari umat Islam terbiasa menjalani puasa setiap hari selama Ramadhan.

Di sisi lain, memohon keberkahan saat bulan sabit nampak juga dilakukan Rasulullah SAW. Setiap kali Nabi Muhammad melihat bulan sabit, beliau menandakan dimulainya bulan baru, termasuk Ramadhan. Maka beliau akan memanjatkan doa khusus.

Doa itu sebagaimana yang diriwayatkan Talhah bin Ubaidullah: “Saat melihat bulan baru (bulan lunar), Nabi biasanya berdoa: “Ya Allah, biarkan bulan ini menampakkan diri pada kami dengan keamanan dan keyakinan.  Dengan keamanan dan Islam. Wahai Bulan, Tuanmu adalah Allah. Semoga bulan ini membawa petunjuk dan kebaikan.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi berkadar shahih.

Kemudian, Rasulullah juga mengingatkan orang-orang tentang berkah Ramadhan dan mendorong umat Muslim melakukan perbuatan yang lebih baik lagi. Rasulullah SAW berkata: “Telah datang kepadamu Ramadhan, bulan yang diberkati, di mana Allah, Yang Mahakuasa telah memerintahkanmu untuk berpuasa. Selama itu, gerbang surga dibuka dan gerbang Neraka ditutup, dan setiap iblis dirantai. Di dalamnya, Allah memiliki malam yang lebih baik dari seribu bulan; siapa pun yang kehilangan kebaikannya memang dirampas.”

Untuk itulah ketika mengacu pada apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, umat Islam dapat melihat sesungguhnya beliau telah mendorong umat Islam di sekitarnya untuk meningkatkan ibadah di bulan Ramadhan. Sebelum Ramadhan benar-benar tiba, banyak amalan ibadah yang dapat dilakukan sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW.

KHAZANAH REPUBLIKA

Hukum Menggadai Rumah Kepada Non-Muslim

Sudah maklum bahwa melakukan transaksi dengan non-muslim, seperti jual-beli, hukumnya boleh dan sah. Namun bagaimana hukum jika kita melakukan transaksi gadai dengan non-muslim, seperti kita menggadai rumah kepada non-muslim, apakah boleh?

Hukum menggadai rumah kepada non-muslim, baik yang beragama Kristen, Yahudi, Hindu, Konghucu, Nasrani dan lainnya, hukumnya adalah boleh. Tidak ada larangan dalam Islam untuk menggadaikan barang atau tempat tertentu seperti rumah, kos, dan lainnya kepada non-muslim. Akad gadai yang dilakukan oleh orang muslim dan non-muslim dihukumi sah dan uangnya juga dihukumi halal.

Menurut para ulama, semua bentuk muamalah yang boleh dilakukan sesama muslim, maka hukumnya boleh dilakukan dengan non-muslim. Misalnya, jual beli, gadai, sewa, dan lainnya. Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-‘Alaqah Al-Ijtima’iyyah Bain Al-Muslimin wa Ghair Al-Muslimin berikut;

كل ما جاز للمسلمين من البياعات من صرف وسلم ونحوهما من التصرفات يجوز لغيرهم من الكفار. وما لا يجوز من البياعات للمسلمين لا يجوز لغيرهم إلا الخمر والخنزير.

Segala transaksi jual beli yang dibolehkan bagi kaum muslimin untuk melakukannya, maka hal itu juga dibolehkan bagi selain mereka (non muslim). Sebaliknya segala transaksi yang diharamkan bagi umat Islam untuk melakukannya, maka hal tersebut juga diharamkan bagi mereka kecuali (dalam transaksi) khamar dan babi. 

Khusus mengenai gadai sendiri, Rasulullah Saw pernah menggadaikan baju perangnya kepada orang Yahudi. Ini menjadi dalil bahwa melakukan transaksi gadai dengan orang non-muslim hukumnya boleh, baik berupa barang maupun tempat.

Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Bukhari dari Sayidah Aisyah, dia berkata;

اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا، وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ

Rasulullah Saw membeli makanan dari seorang Yahudi (Abu Syahm) dan menggadaikan baju besi beliau kepadanya. 

Dalam riwayat lain juga disebutkan sebagai berikut;

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ، وَارْتَهَنَ مِنْهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ 

Sesungguhnya Nabi Saw membeli bahan makanan dari seorang Yahudi dengan hutang dan orang Yahudi mengambil baju besi beliau sebagai gadai jaminannya.

Bahkan dalam riwayat lain disebutkan bahwa Nabi Saw tidak bisa menebus jaminan gadainya hingga beliau wafat. Disebutkan bahwa yang kemudian menebus gadai jaminan beliau adalah Sayidina Ali. 

Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Bukhari dari Sayidah Aisyah, dia berkata;

تُوُفِّيَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ ودِرْعُهُ مَرْهُونَةٌ عِنْدَ يَهُودِيٍّ، بثَلَاثِينَ صَاعًا مِن شَعِيرٍ
Rasulullah Saw wafat dan baju perang digadaikan pada seorang Yahudi dengan 30 sha’ gandum. 
Tiga riwayat hadis ini menjadi dalil mengenai kebolehan melakukan akad gadai dengan non-muslim, baik kita yang menggadaikan barang tertentu kepada non-muslim maupun non-muslim yang menggadaikan barang kepada kita. Karena itu, hukum menggadai rumah atau barang lainnya kepada non-muslim hukumnya adalah boleh. 

BINCANG SYARIAH

Nikah Beda Agama Putri Rasulullah; Zainab binti Muhammad dan Abul Ash bin ar-Rabi’

Ada fakta menarik bahwa di masa lampau nikah beda agama pernah dilakukan oleh anak Rasulullah. Berikut penjelasan tentang nikah beda agama Putri Rasulullah; Zainab binti Muhammad dan Abul Ash bin ar-Rabi’

Di sosial media, sempat viral berita tentang pernikahan beda agama, pernikahan yang dilarang Islam dan negara. Dalam hukum Islam, menurut golongan jumhur,  perempuan muslimah tidak boleh menikah dengan pria non muslim.

Sedangkan laki-laki yang muslim dan ingin menikahi perempuan non muslim masih ada celah dilegalkan jika perempuannya ahlul kitab.

Di Indonesia, fenomena nikah beda agama atau lintas agama bukan persoalan baru, karena tidak sedikit publik figur melakukan pernikahan tersebut. Namun, menjadi perbincangan hangat karena tersebar foto pernikahan perempuan berjilbab di Gereja, tepatnya di Semarang Jawa tengah. 

Terlepas dari pro-kontra yang terjadi di tengah masyarakat, kami hanya ingin memaparkan kisah cinta sepasang pasutri yang beda agama di masa Nabi Muhammad saw. Peristiwa itupun terjadi pada putri sulungnya Rasulullah, yaitu Zainab anak yang dilahirkan dari rahim Khadijah.

Jalinan cinta (dalam nikah) antara Zainab binti Muhammad dengan Abul Ash bin ar-Rabi’ bukan tanpa alasan. Ibnu Hisyam menuturkan, disamping Abul Ash bin ar-Rabi’ seorang yang kaya dan tajir, ia juga merupakan pemuda yang memiliki talenta dalam bisnis, dan yang tidak kalah penting ia orangnya dikenal jujur. 

Maka tidak mengherankan, jika Khadijah membujuk sang suami untuk menikahkan putri sulungnya dengan pemuda tersebut. Tidak hanya itu, Abul Ash bin ar-Rabi’ juga keponakan dari Khadijah karena anak lelaki Halah binti Khuwailit (saudari kandung Khadijah), berarti Zainab adalah sepupu Abul Ash bin ar-Rabi’.

Sayang, cinta keduanya harus mengalami cobaan sebab berbeda keyakinan. Bermula ketika Nabi mendapat wahyu dan mendakwahkannya Zainab ikut serta memeluk islam sedangkan kekasihnya tetap dalam kekufurannya. Dalam Kondisi ini, musuh Nabi banyak yang memutus hubungan pernikahan putri-putri Nabi. 

Diantaranya, putrinya Ruqayyah yang diceraikan oleh suami Utbah bin Abu Jahal. Namun, hal itu tidak berlaku kepada Abul Ash yang mencintai Zainab. Bahkan ia dengan tegas mengatakan, sebagaimana diabadikan Ibnu Hisyam.

 وَمَا أُحِبُّ أَنَّ لِي بِامْرَأَتِي امْرَأَةً مِنْ قُرَيْشٍ

“Aku tidak bisa mencintai wanita Quraisy manapun karena sudah ada istriku (Zainab)”

Keduanya merajut mahligai rumah tangga sekitar dua belas tahun dengan kondisi agama yang berbeda, namun kekuatan cintanya tetap mengikat kuat i’tikad bersama.

Bahkan Zainab tetap memilih tinggal di Mekah dan rela berpisah dengan keluarga terkhusus ayah tercinta, Nabi Muhammad yang berhijrah ke Madinah. Karena ia terikat dengan suaminya yang masih kufur namun jujur. 

Tidak berhenti di situ, menurut laporan Ibnu Atsir dalam al-Kamil fi al-Tarikh [27/2], pada tahun kedua Hijriyah ketika perang Badar meledak antara kaum Quraisy Mekah dan kelompok Rasulullah di Madinah, menantu Nabi, Abul Ash ikut serta berperang hingga terciduk menjadi tawanan saat peperangan selesai.

Pasca perang Badar kaum Quraisy menebus para tawanan di Madinah. Zainab dengan besarnya cinta juga ikut menebus sang suami yang ikut ditawan. Tidak tanggung-tanggung, harta yang dijadikan tebusan sang suami merupakan harta peninggalan mendiang ibundanya Khadijah, yang berupa kalung. Hal ini membuktikan cinta yang diperjuangkan.

Melihat kalung itu, Rasulullah langsung “tersedu-sedu” dalam keharuan mengenang kenangan dalam memori ingatan. Ia pun langsung membebaskan para tawanan. Akan tetapi, khusus menantunya, Abul Ash, Nabi memintanya untuk mendatangkan Zainab ke Mekah.

Permintaan itu pun sulit ditolak oleh Abul Ash dengan kondisi yang sedang meliputi, maka dengan rasa terpaksa Abul Ash merelakan kepergian istri kinasihnya untuk berkumpul kembali dengan Rasulullah di Madinah. Raga keduanya pun dibatasi ruang dan waktu namun tidak dengan cintanya yang tetap bersemi dalam qalbu, konon istilah milenialnya adalah LDR.

Bukti dari cinta yang masih bersemi, tepat sebelum Fathu Mekah sekitar tahun delapan Hijriah Abul Ash menjalani profesi dagangnya namun di tengah perjalanan pulang ia kena patroli tentara Madinah.

Maka malamnya, Abul Ash menyusup ke Madinah dan mencari pujaan hati Zainab yang pernah meninggalkan dirinya selama kurang lebih enam tahun, untuk meminta perlindungan sekaligus mengobati rindunya. Usahanya pun berhasil dan Abul Ash membawa harta dagangannya untuk dibagikan kepada para pemiliknya di Mekah.

Namun apa yang terjadi setelah itu membuat tercengan seantero Mekah. Sebab secara terang-terangan Abul Ash mendeklarasikan untuk masuk islam. Ternyata, pertemuan singkat dengan sang pujaan hati Zainab di malam, itu telah mengundang taufik dan hidayah untuk masuk islam secara suka rela. 

Akhirnya, Abul Ash pergi ke Madinah menemui Nabi sekaligus istri yang dulu sempat terpisah. Nabi pun akhirnya mengembalikan Zainab dalam pelukan kekasihnya tersebut. merekapun hidup bahagia secara lahir dan batin dan memiliki putri Umamah yang juga disayang Rasulullah.

Yang menjadi problem apakah nikah beda agama boleh atau tidak diantaranya adalah riwayat tentang kisah cinta Zainab dan Abul Ash tersebut. Sebab, menurut satu riwayat yang dijadikan pedoman ulama jumhur, ketika Nabi mengembalikan Zainab dalam pangkuan Abul Ash disertai dengan akad dan mahar baru. 

Ini artinya, pernikahan saat beda agama batal atau tidak dianggap lantaran ada larangan quran yang turun di tahun ke-6 yaitu surah Al-Mumtahanah. Sedangkan menurut pendapat lainnya, Nabi tidak mengadakan akad baru. 

Dengan demikian, nikah beda agama sebelumnya diakui dan sah. Kedua pendapat inilah yang kemudian menjadi ajar perbedaan terkait boleh atau tidaknya nikah beda agama. Kedua riwayat tersebut dicatat oleh Ibnu Atsir dalam kitab Kamil fi Al-Tarikh. Wallahu A’lam.

Demikian penjelasan terkait nikah beda agama putri Rasulullah, yakniZainab binti Muhammad dan Abul Ash bin ar-Rabi’. Semoga artikel nikah beda agama putri Rasulullah ini bermanfaat, bukan menciptakan polemik baru.

BINCANG SYARIAH

Fatwa Ulama: Perbedaan Makna Iman, Tauhid, dan Akidah

Fatwa Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullahu Ta’ala

Pertanyaan

Iman, tauhid, dan akidah adalah nama-nama dan istilah-istilah yang tersendiri. Apakah masing-masing berbeda  maknanya?

Jawaban

Iya, ketiganya berbeda tetapi kembali pada satu hal. At-tauhid adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Al-imān adalah meyakini bahwa Allah Ta’ala yang berhak untuk diibadahi semata dan meyakini semua yang difirmankan-Nya. Iman memiliki makna lebih luas dibanding makna tauhid. Tauhid merupakan mashdar dari wahhada – yuwahhidu, yang maknanya mengesakan Allah dalam ibadah dan mengkhususkan-Nya dengannya. Tauhid maknanya meyakini bahwa Allah Ta’ala semata yang berhak disembah. Allah adalah Al-Khāliq (Maha Pencipta), Ar-Rāziq (Maha Pemberi Rizqi), yang Mahasempurna dalam segala nama, sifat, dan perbuatan-Nya. Allah adalah Maha Pengatur, yang mengatur segala urusan hambanya. Allah Ta’ala semata adalah yang berhak diibadahi.

Tauhid artinya mengesakan Allah dalam ibadah dan menafikan semua sembahan selain Allah. Iman  memiliki makna lebih luas daripada tauhid. Iman di dalamnya mancakup makna tauhid. Iman bentuknya mentauhidkan Allah dan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya. Makna iman mencakup juga menerima dan membenarkan semua yang disampaikan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Akidah memiliki makna yang mencakup dua perkara. Makna akidah mencakup makna tauhid dan makna iman. Makna iman yang tercakup dalam makna akidah antara lain, iman kepada Allah, iman kepada kabar yang datang dari Allah, iman kepada kabar dari Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan iman kepada asma wa shifat-Nya.

Akidah adalah sesuatu yang diyakini seorang manusia dengan hatinya. Dia beragama dengan akidah tersebut dan menyembah Allah dengan akidah tersebut. Makna akidah mencakup semua yang diyakini terkait perkara tauhid. Akidah juga mengimani bahwa Allah adalah Al-Khāliq, Ar-Rāziq, dan pemilik al-asmaa’ al-husnaa (nama-nama yang indah) dan ash-shifaat al-’ulaa (sifat-sifat yang tinggi). Selain itu, akidah mencakup mengimani bahwa tidak sah suatu ibadah ditujukan kepada selain Allah Ta’ala. Makna akidah juga mencakup beriman kepada perintah Allah Ta’ala berupa pengharaman, penghalalan, dan syariat yang diturunkan. Oleh karena itu, akidah memiliki makna lebih luas dibandingkan iman dan tauhid [1].

Fatwa Syekh Utsaimin Rahimahullahu Ta’ala

Pertanyaan

Apakah makna iman sama dengan tauhid?

Jawaban

Tauhid adalah mengesakan Allah ‘Azza Wa Jalla dalam hal yang menjadi kekhususan Allah Ta’ala dan hal yang wajib untuk-Nya. Sedangkan iman adalah membenarkan dengan disertai al-qabuul (menerima dengan lapang dada) dan al-idz’aan (taat).

Keduanya memiliki keumuman dan kekhususan. Setiap orang yang bertauhid adalah orang yang beriman (mukmin) dan setiap mukmin secara umum adalah orang yang bertauhid. Akan tetapi, terkadang makna tauhid lebih khusus dari makna iman, dan terkadang makna iman lebih khusus dari makna tauhid. Wallahu a’lam [2].

***

Penerjemah: Muhammad Fadli

Sumber: https://muslim.or.id/73263-fatwa-ulama-perbedaan-makna-iman-tauhid-dan-akidah.html

Fatwa Ulama: Fawaid Seputar Surat Al Ikhlash

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Rahimahullah

Pertanyaan

Mengapa surah “qul huwallāhu ahad” dinamakan dengan surah Al-Ikhlas? Apa sisi pendalilannya? Mengapa surah ini dikatakan mencakup tiga jenis tauhid? Saya mohon penjelasan akan hal tersebut.

Jawaban

Surah Al-Ikhlas adalah firman Allah Ta’ala,

﴿قلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ۞ اللَّهُ الصَّمَد ۞ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ُ۞ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُواً أَحَدٌ﴾

“Katakanlah, Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Ash-Shamad (Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu). Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara bagi-Nya.” (QS. Al-Ikhlas: 1-4).

Dinamakan surah Al-Ikhlas karena dua hal, yaitu:

Pertama, Allah Ta’ala menjadikan surah tersebut murni untuk diri-Nya. Tidak ada di dalamnya perkataan kecuali tentang Allah Subhanahu wa ta’ala dan sifat-sifat-Nya.

Kedua, untuk seseorang yang membaca surah ini akan memurnikan akidahnya dari kesyirikan, jika dia membacanya dengan meyakini apa yang ditunjukkan surah tersebut.

Adapun sisi pendalilan nama tersebut mencakup tiga bentuk tauhid, yaitu:

Pertama, tauhid rububiyah;

Kedua, tauhid uluhiyah; dan

Ketiga, tauhid al-asmaa’ was shifaat.

Dalil yang berhubungan dengan tauhid uluhiyah adalah ayat,

(قل هو الله)

“Katakanlah Dialah Allah,” (QS. Al-Ikhlas: 1).

Allah Ta’ala satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Tidak ada yang berhak disembah selain Allah Ta’ala. Inilah pendalilan tauhid uluhiyyah.

Sedangkan, dalil yang berhubungan dengan tauhid rububiyyah dan tauhid al-asmaa’ was shifat ada dalam firman-Nya,

(الله الصمد)

“Allah lah Ash-Shamad (Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu).” (QS. Al-Ikhlas: 2).

Firman Allah ini menunjukkan bahwa Allah yang Mahasempurna dalam sifat-sifat-Nya dan semua ciptaan-Nya bergantung kepada Allah Ta’ala. Kesempurnaan sifat-sifat Allah Ta’ala berkaitan dengan tauhid al asma’ was shifat. Kebutuhan dan kebergantungan semua makhluk kepada-Nya merupakan dalil bahwa Dia adalah satu-satunya Tuhan yang menjadi tujuan manusia. Tujuannya untuk menghindarkan seorang hamba dari segala kesusahan dan hal-hal yang dibenci, serta tercapainya keinginan-keinginan dan segala kebutuhan.

Pada firman-Nya,

(أحد)

“… Maha Esa.” (QS. Al-Ikhlas: 1).

memiliki kandungan tiga perkara tauhid. Allah Subhanahu wa ta’ala satu-satunya yang memiliki sifat-sifat seperti disebutkan di atas, yaitu secara uluhiyah (pengesaaan Allah dalam beribadah) dan kebergantungan para makhluk kepada-Nya. Allah Ta’ala melanjutkan surah tersebut dengan firman-Nya,

(لم يلد ولم يولد)

“Tidak memiliki anak dan tidak pula diperanakkan.” (QS. Al-Ikhlas: 3).

Pada ayat ini terdapat bantahan terhadap kaum Nasrani yang mengatakan, “Sesungguhnya Isa Al-Masih adalah anak Allah.” Ayat ini juga membantah kaum Yahudi yang mereka mengatakan, “‘Uzair adalah anak Allah.” dan membantah kaum musyrikin yang mengatakan, “Sesungguhnya para malaikat adalah anak-anak perempuan Allah.” Pada ayat selanjutnya Allah Ta’ala berfirman,

(لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفواً أحد)

“Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara bagi-Nya.” (QS. Al-Ikhlas: 3-4)

Allah Ta’ala berfirman,

(ولم يكن له كفواً أحد)

“Dan tidak ada seorang pun yang setara bagi-Nya.” (QS. Al-Ikhlas: 4).

Ayat ini bertujuan untuk menunjukkan kesempurnaan sifat-sifat-Nya. Tidak ada satu pun yang setara dengan Allah Ta’ala dan tidak ada satu pun yang semisal dengan Allah Ta’ala.

***

Penerjemah: Muhammad Fadli

Referensi:

https://binothaimeen.net/content/7980

Sumber: https://muslim.or.id/73261-fatwa-ulama-fawaid-seputar-surat-al-ikhlash.html