Niat, Salah Satu Syarat Sahnya Puasa Ramadhan

Sebagian besar ulama madzhab empat sepakat niat merupakan salah satu syarat sahnya puasa Ramadhan. Adapun apakah niatnya dibaca atau cukup di dalam hati, ini masuk ranah khilaf

SEBAGIAN umat Islam akan memulai puasa Ramadhan (sebagaian sudah berpuasa). Salah satu hal patut diketahui adalah syarat sahnya puasa Ramadhan ada empat, salah satunya adalah niat berpuasa.

Syarat Sah Puasa Ramadhan

Syarat bagi orang yang hendak melakukan ibadah shiyam (puasa) Ramadhan agar  puasanya sah ada 3:

  • Muslim, adalah orang yang setidak-tidaknya dengan sadar telah mengucapkan syahadatain (dua kalimah syahadat).
  • Baligh (dewasa menurut syara’), bagi laki-laki telah bermimpi basah sehingga mengeluarkan mani (sperma) atau yang telah berumur lima belas tahun. Adapun bagi wanita sudah mengalami haid atau telah berumur sepuluh tahun.
  • Berakal sehat, apabila seseorang tidak mengidap penyakit syaraf, gila, idiot dan sejenisnya.

Niat masuk rukun puasa Ramadhan

Seseorang yang tengah melakukan ibadah shiyam (puasa) wajib melaksanakan rukun shiyam (puasa) agar puasanya diterima Alah. Adapun rukun shiyam (puasa) adalah sebagai berikut:

  • Niat
  • Shiyam (puasa)
  • Futhur (berbuka puasa).

Niat merupakan hal yang sangat mendasar dalam setiap ibadah, termasuk dalam puasa. Seluruh ulama sepakat, tanpa niat puasa Ramadhan, puasa Ramadhan menjadi tidak sah.

Terdapat banyak riwayat hadis yang menjelaskan bahwa niat menjadi syarat sah atau kewajiban niat puasa Ramadhan. Di antaranya hadis riwayat Imam Abu Dawud, Imam Al-Tirmidzi, Al-Nasai dan Ibnu Majah dari Sayidah Hafshah, dia berkata bahwa Nabi ﷺ bersabda;

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa tidak berniat puasa di malam hari sebelum terbitnya fajar, maka tidak ada puasa baginya.”

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Mazhab kami –maksdunya Syafiiyyah- bahwa dia tidak sah –maksudnya puasa Ramadhan- kecuali dengan berniat di waktu malam. Dan ini pendapat Malik, Ahmad, Ishaq, Dawud dan mayoritas ulama salaf dan kholaf.” (dari ‘Al-Majmu, 6/318).

Syaikh Wahbah Al-Zuhail dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, menyebutkan bahwa syarat niat puasa Ramadhan ada empat;

Pertama, niat puasa Ramadhan harus dilakukan di waktu malam, dimulai sejak waktu Maghrib tiba hingga waktu Shubuh. Kedua, ta’yinun niah atau menentukan jenis puasa yang hendak dilakukan, sebagaimana wajib menentukan jenis shalat dalam niat ketika mengerjakan shalat wajib.

Dalam puasa Ramadhan, ketika kita melakukan niat, maka kita wajib menyebut ‘Ramadhan’ dalam niat. Misalnya, nawaitu shauma ghadin min romadhan (saya niat puasa besok dari bulan Ramadhan).

Ketiga, memutlakkan niat hanya untuk puasa Ramadhan saja, bukan untuk puasa yang lain. Keempat, harus melakukan niat setiap malam selama bulan Ramadhan. Hal ini karena setiap hari selama bulan Ramadhan merupakan ibadah mustaqillah (independen), tidak dapat dikaitkan dengan hari sebelumnya atau setelahnya. Karena itu, menggabungkan niat hanya di awal malam hari pertama bulan Ramadhan untuk seluruh puasa selama satu bulan dinilai tidak cukup.

Sementara itu, dalam kitab Hasyiyah Bājūrī Imam Ibrāhim Bājūrī mengatakan paling minimalnya niat puasa itu sebagai berikut.

“نويت صوم رمضان”.

Nawaitu shouma rhomadhona

Artinya: “Saya berniat puasa Ramadhan.” (Hasyiyah Bājūrī: 1/633).

Lalu dalam Fathul Qarīb Syarah Ghāyah wa Taqrīb  Imam Ibnu Qasim menerangkan tentang niat puasa Ramadhan secara lengkap.

نويت صوم غد عن أداء فرض رمضان هذه السنة لله تعالى

Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāna hādzihis sanati lillāhi ta‘ālā

“Saya berniat puasa besok, yang mana ia (merupakan bagian) dari kewajiban Ramadhan pada tahun ini karena Allah ta’ala.” (Fathul Qarīb: 194).

Adapun Imam Baramāwi yang dikutip dalam I’ānah Thõlibīn, ia menganjurkan untuk membaca beberapa kalimat pengganti lafadz “lillahi ta’ala”.

وقوله : (لله تعالى) : ويسن أن يقول إيمانا واحتسابا لوجه الله الكريم

“Dan pada lafadz ‘lillahi ta’ala’ disunnahkan untuk mengucapakan ucapan ‘imānan wa ihtisāban li wajhillāhi al-karīm’.”  (I’ānah Thõlibīn: 2/1228).

Apakah niat wajib dilafalkan?

Dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu, Prof Dr Wahbah Az Zuhaili menjelaskan bahwa menurut istilah syara’, niat adalah tekad hati untuk melakukan amalan fardhu atau yang lain. Para ulama berbeda pendapat soal pelafalan niat.

Sebagian besar ulama dari madzhab empat sepakat bahwasannya melafalkan niat puasa bukan merupakan syarat sah atau bukan hal wajib. Adapun Madzhab Hanafi dan Madzab Syafi`i serta pendapat madzhab dalam Hambali menyatakan mustahab dan sunnah.

Sedangkan Madzhab Maliki menyatakan makruh (tidak haram). Adapun sebagian ulama madzhab Hanbali seperti Ibnu Taimiyah menyatakan bahwasannya hal itu bi’dah.

Syekhul Islam, Ibnu Taimiyah termasuk kelompok yang tidak mewajibkan. Beliau mengatakan;

كُلُّ مَنْ عَلِمَ أَنَّ غَدًا مِنْ رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ صَوْمَهُ فَقَدْ نَوَى صَوْمَهُ سَوَاءٌ تَلَفَّظَ بِالنِّيَّةِ أَوْ لَمْ يَتَلَفَّظْ . وَهَذَا فِعْلُ عَامَّةِ الْمُسْلِمِينَ كُلُّهُمْ يَنْوِي الصِّيَامَ

“Setiap orang yang tahu bahwa esok hari adalah Ramadhan dan dia ingin berpuasa, maka secara otomatis dia telah berniat berpuasa. Baik dia lafalkan niatnya maupun tidak ia ucapkan. Ini adalah perbuatan kaum muslimin secara umum; setiap muslim berniat untuk berpuasa.” (dalam Majmu’ Fatawa, 6:79).

Sementara bagi sebagian ulama lain, syarat melafalkan niat, untuk membantu hati memperjelas niat. Hal tersebut sebagaimana yang dijelaskan dalam Fathul Mu’īn oleh Imam Imam Zainuddin Al-Malībārī.

وفرضه، أي: الصوم: النية بالقلب، ولا يشترط التلفظ بها بل يندب.

“Kewajiban puasa salah satunya adalah niat dalam hati. Tidak disyaratkan untuk diucapkan. Akan tetapi dianjurkan.” (Fathul Mu’īn: 261).

Lalu Imam Sayyid Bakri dalam I’ānah Thõlibīn menambahkan alasan dianjurkannya melafalkan niat.

وقوله: (بل يندب) أي: التلفظ بها ليساعد اللسان القلب.

“Pengucapan niat itu (dianjurkan) agar lisan dapat membantu hati.” (I’ānah Thõlibīn: 2/1217).

Dalam Madzhab Syafi’i (termasuk mayoritas umat Islam di Indonesia), lafadz niat puasa Ramadhan adalah sebagai berikut:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ الشَّهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ لِلَّهِ تَعَالَى

Nawaitu shouma ghodin ‘an adaa-i fardhisy syahri romadhooni hadzihis sanati lillaahi ta’aala

“Artinya: Aku niat puasa pada hari esok untuk melaksanakan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Ta’ala.”

Jika demikian, memanglah masalah melafalkan niat merupakan masalah ranah perbedaan pendapat antar ulama sejak dulu. Dalam menyikapi perkara seperti ini maka berlaku kaidah yang disebutkan Imam As Suyuthi dalam Al-Asybah wa An Nadzair (hal. 158):

((لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ))

Artinya: Tidak diinkari perkara yang diperselisihkan padanya, dan sesungguhnya yang diinkari perkara yang ada kesepakatan atasnya (yakni perkara yang disepakati untuk dilarang). Silahkan umat Islam memilih yang mana. Wallahu a`lam bish shawwab.*

HIDAYATULLAH

Pengertian Kaidah Fiqih “al-Dhararu Yuzalu”

Kaidah al-dhararu yuzalu merupakan salah satu kaidah pokok (qaidah kubra) dalam kaidah fikih. Yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bermakna; “setiap dharar harus dihilangkan”.

Kaidah ini mencerminkan maqhasid al-syari’ah al-‘ammah (tujuan umum syariat), yakni mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. Sebab, jika dharar tidak ada maka dalam waktu yang sama maslahat akan hadir.

Kaidah ini berpijak kepada sabda Rasulullah Saw;

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

“Tidak boleh ada dharar dan juga dhirar”. (HR. Bukhari)

Pengertian hadis ini adalah tidak boleh ada dharar dalam bentuk apapun baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain dan tidak boleh membalas dharar kepada orang lain dengan melakukan dharar yang sama.

Hal ini sebagaimana keterangan Imam al-Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah wa al-Nadzair halaman 7;

الثَّالِثَة: الضَّرَر يُزَال. وَأَصْلُهَا قَوْله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

Kaidah kubra yang ketiga adalah al-dhararu yuzalu. Dalil kaidah ini adalah sabda Rasulullah Saw; “tidak boleh ada dharar maupun dhirar”

Namun menurut Imam al-Zarqa redaksi hadis di atas oleh sebagian ulama dijadikan sebagai redaksi dari salah satu kaidah kubra sedangkan kaidah al-dhararu yuzalu dijadikan kaidah turunannya.

Meski demikian, perbedaan ini tidak berarti apa-apa. Perbedaan ini hanya soal sistematika saja, yang paling penting adalah bahwa esensi dari kaidah tersebut tetap sama yaitu menghilangkan setiap dharar yang ada.

Sebagai contoh, jika seseorang membeli suatu barang lalu ternyata terdapat cacat pada barang tersebut maka ia diperbolehkan mengembalikan barang tersebut dan meminta untuk diganti dengan yang baru. Sebab, cacat pada barang adalah ‘dharar’ dan dharar harus dihilangkan.

Contoh lain, jika seorang suami mendapati istrinya mengalami gangguan jiwa (gila) maka ia diberi pemilihan antara melanjutkan pernikahannya atau melapor kepada  hakim lalu memfasakh nikahnya. Sebab, gila merupakan aib sedangkan aib adalah dharar dan dharar harus dihilangkan.

Jadi, kaidah ini sesungguhnya ingin menjaga setiap mukallaf dari hal-hal yang dapat merugikan atau bahkan dapat mencelakakan dirinya. Setiap kali ada sesuatu yang dapat merugikan atau mencelakakan, sebisa mungkin sesuatu itu dihilangkan dengan cara apapun. Wallahu a’lam bi al-shawab.

BINCANG SYARIAH

Doa Setelah Shalat Witir Ramadhan 1443 H

Pada saat Ramadhan, salah satu amalan sunnah adalah shalat Witir dan Taraweh. Berikut ini adalah doa setelah shalat Witir. Yang bisa diamalkan seorang muslim, untuk mendapatkan karunia dari Allah.

Setelah usai mengerjakan shalat Witir, disunnahkan untuk membaca dzikir Subhaanal Malikil Qudduus sebanyak tiga kali. Hal ini, sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad;

عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى الْخُزَاعِيِّ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوتِرُ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى، وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَيَقُولُ إِذَا جَلَسَ فِي آخِرِ صَلاَتِهِ : سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ثَلاَثًا يَمُدُّ بِالآخِرَةِ صَوْتَهُ. (رواه احمد)

Dari Said bin Abdirrahman bin Abza Al-Khuza’i dari ayahnya, bahwasannya Nabi Muhammad shalat witir dengan membaca surah Sabbihisma rabbikal a’la (al a’la), qul yaa ayyuhal kaafiruun (al Kafirun), dan qul huwa Allahu ahad (al ikhlas).

Ketika duduk di akhir shalatnya, beliau membaca subhanal malikil quddus tiga kali, beliau memanjangkan (mengangkat) suaranya pada bacaan yang terakhir.

Setelah shalat Witir juga dianjurkan untuk membaca doa setelah shalat Witir. Doa ini untuk mendekatkan diri pada Allah. Yang maha kasih. Yang Maha Penyayang. Yang Maha Mulia.

Inilah doa setelah shalat Witir;

أَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْاَلُكَ إِيْمَانًا دَاِئمًا وَنَسْأَلُكَ قَلْبًا خَاشِعًا وَنَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَنَسْأَلُكَ يَقِيْنًا صَادِقًا وَنَسْأَلُكَ عَمَلًا صَالِحًا وَنَسْأَلُكَ دِيْنًا قَيِّمًا وَنَسْأَلُكَ خَيْرًا كَثِيْرًا وَنَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ وَنَسْأَلُكَ تَمَامَ الْعَافِيَةِ وَنَسْأَلُكَ الشُّكْرَ عَلَى الْعَافِيَةِ وَنَسْأَلُكَ الْغِنَى عَنِ النَّاسِ أَللَّهُمَّ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صَلَاتَنَا وَصِيَامَنَا وَقِيَامَنَا وَتَخَشُعَنَا وَتَضَرُّعَنَا وَتَعَبُّدَنَا وَتَمِّمْ تَقْصِيْرَنَا يَا أَللهُ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَصَلَّى اللهُ عَلَى خَيْرِ خَلْقِهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Allohumma Inna nasaluka imanan daiman wa nasaluka qalban khasi’an wa nasaluka ‘ilman nafi’an wa nasaluka yaqinan shadiqan wa nasaluka ‘amalan shalihan wa nasaluka dinan qayyiman.

Wanasaluka khairan katsiran wa nasaluka al ‘afwa wal a’fiyah wa nasaluka tamamal ‘afiyah wa nasaluka asy syukra alal A’fiyah, wa nasaluka al ghina ‘anin nas.

Allohumma rabbana taqabbal minna shalatana wa syiyamana wa qiyamana wa takhasyua’na wa tadharu ‘anna wa ta’abbudana wa tammim taqsirana.

Ya Allah, ya arhamar rahimin wa shallallohu a’la khairal khalqihi sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa ashabihi ‘ajmiin. Walhamdulillahi rabbil alamin.   

Artinya; “Ya Allah, kami mohon pada-Mu, iman yang langgeng, hati yang khusyuk, ilmu yang bermanfaat, keyakinan yang benar,amal yang saleh, agama yang lurus, kebaikan yang banyak.kami mohon kepada-Muampunan dan kesehatan, kesehatan yang sempurna, kami mohon kepada-Mu bersyukur atas karunia Kesehatan.

Kami mohon kepada-Mu kecukupan terhadap sesaama manusia. Ya Allah, tuhan kami terimalah dari kami: shalat, puasa, ibadah, kekhusyu’an, rendah diri dan ibadaha kami, dan sempurnakanlah segala kekurangan kami. Ya allah, Tuhan yang Maha Pengasih dari segala yang pengasih.

Dan semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada makhluk-Nya yang terbaik, Nabi Muhammad SAW, demikian pula keluarga dan para sahabatnya secara keseluruhan. Serta segala puji milik Allah Tuhan semestra alam.”

Demikian penjelasan terkait doa setelah shalat Witir. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Hukum Membuka Warung Siang Hari Bulan Ramadhan

Pembahasan hukum membuka warung siang hari bulan Ramadhan tengah ramai dibahas di pelbagai platform media sosial. berikut ini akan dibahas secara detail hukum membuka warung siang hari bulan Ramadhan.

Salah satu nikmat terbesar bagi muslim di seluruh dunia adalah datangnya bulan Ramadhan. Pada bulan ini pahala dilipat gandakan sampai tidak bisa dihitung dengan nominal kebaikan yang setimpal di bulan lainnya. 

Namun, meskipun dituntut untuk melakukan puasa ada juga sebagian warung dan restoran yang masih buka di siang hari Ramadhan. Lantas, bagaimana hukum Islam menanggapi permasalahan ini?

Allah melarang kita untuk tolong-menolong dalam dosa dan maksiat. Sekalipun tidak melakukan maksiat, kita tetap dianggap berdosa manakala kita membantu orang lain untuk melakukan maksiat. Hal ini, sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 2,

وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Artinya : “Janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan maksiat.” 

Dalam kitab Fatawa Syabakah Islamiyah, dinyatakan bahwa sekelompok ulama berfatwa mengenai wajibnya menutup warung di siang hari bulan Ramadhan. Hal ini karena dengan membuka warung maka secara tidak langsung kita telah membantu orang lain untuk melakukan maksiat. Sebagaimana dalam keterangan berikut,

وقد أفتى جماعة من أهل العلم بوجوب إغلاق المطاعم في نهار رمضان ، والله أعلم 

Artinya : “Para ulama memfatwakan, wajibnya menutup warung makan di siang hari ramadhan.”

Meskipun demikian ada juga sebagian warung yang dibuka lantaran pekerjaan tersebut merupakan penghasilan utama dan dikhawatirkan tidak dapat mencukupi nafkah keluarga jika harus menutup warung. Ada juga sebagian orang yang membutuhkan warung tersebut lantaran dalam keadaan udzur untuk berpuasa. Apabila warung didirikan untuk tujuan demikian maka tidak diharamkan.

Mengenai orang – orang yang dianggap udzur untuk berpuasa telah disebutkan secara rinci oleh Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani dalam kitab Kasyifatus Saja,

 يباح الفطر في رمضان لستة للمسافر والمريض والشيخ الهرم أي الكبير الضعيف والحامل ولو من زنا أو شبهة ولو بغير آدمي حيث كان معصوما والعطشان أي حيث لحقه مشقة شديدة لا تحتمل عادة عند الزيادي أو تبيح التيمم عند الرملي ومثله الجائع وللمرضعة ولو مستأجرة أو متبرعة ولو لغير آدمي 

Artinya, “Enam orang berikut ini diperbolehkan berbuka puasa di siang hari bulan Ramadhan. Mereka adalah pertama musafir, kedua orang sakit, ketiga orang tua yang tak berdaya, keempat wanita hamil sekalipun hamil karena zina atau jimak syubhat. 

Kelima orang yang sangat haus dengan memandang kemampuan kebanyakan orang pada lazimnya menurut Az-Zayadi, atau mengalami sebuah kesulitan yang membolehkan orang untuk bertayamum menurut Imam Romli. 

Disamakan dengan orang yang sangat haus orang yang  sangat lapar, dan keenam wanita menyusui baik diberikan upah atau suka rela meskipun  bukan menyusui anak manusia.” 

Sebenarnya membuka warung di siang hari bulan Ramadhan diperbolehkan dengan catatan memang tidak ditujukan untuk orang yang berpuasa. Namun, bagi pemilik warung juga harus sadar dan tetap memperhatikan orang yang berpuasa dengan tidak membuka warung secara vulgar. 

Demikian penjelasan mengenai hukum membuka warung siang hari bulan Ramadhan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Penjelasan Lafzhul Jalaalah “Allah” (Bag. 1)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah. Amma ba’du,

DALIL NAMA “الله”

Dalil tentang nama “الله” banyak jumlahnya, di antaranya adalah firman Allah dalam surah Al-Hasyr ayat 23,

هُوَ اللّٰهُ الَّذِيْ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ

“Dialah Allah tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia.”

ASAL KATA LAFZHUL JALAALAH “الله”

Menurut Al-Kisa’i dan Al-Farra’ rahimahumallah[1], lafzhul jalaalah اللّٰه  asalnya dari الإِلٰه lalu hamzah dihilangkan, lalu huruf lam yang satu diidghamkan ke lam yang lainnya, sehingga menjadi satu lam saja, namun ber-tasydid dan dibaca tebal.

Sebagian ahli bahasa menyebutkan ditebalkan (di-tafkhim)  dalam membaca الله dalam rangka mengagungkan Allah Ta’ala.

Dalil bahwa asal lafzhul jalaalah الله dari الإله adalah firman Allah Ta’ala dalam surah An-Nisa’ ayat 171,

اِنَّمَا اللّٰهُ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ

“Sesungguhnya Allah adalah Ilaah Yang Maha Esa.” [2]

Hamzah setelah alif lam itu dihilangkan dari lafzhul jalaalah الله karena hamzah itu berat diucapkan oleh lisan Arab sebab letaknya di tengah kata.[3]

Alif (setelah lam sebelum ha) itu dihilangkan dalam penulisan lafzhul jalaalah الله, namun tetap ada saat diucapkan. Ini menurut pendapat ulama yang terkuat karena lafzhul jalaalah الله   banyak diucapkan maupun ditulis. Karena sering diulang-ulang dalam tulisan itulah sehingga butuh diringankan dalam penulisannya. Maka dihilangkanlah alif dari lafzhul jalaalah الله.

Hal ini sebagaimana dihilangkan alif (setelah mim sebelum nun) dalam penulisan الرحمن, meski tetap ada saat diucapkan. Dengan sebab yang sama juga, dihilangkanlah alif (setelah lam sebelum ha) dalam penulisan إله dan  اللهم. 
[4]

Menurut Az-Zujaji rahimahullah bahwa alif lam ta’rif dimasukkan di awal lafzhul jalaalah الله, untuk menunjukkan bahwa Allah adalah Ilah Yang Haq, karena lafaz إله itu umum penggunaannya, bisa untuk ilah yang hak dan bisa pula untuk ilah yang batil. Sedangkan lafzhul jalaalah الله hanya untuk nama bagi Ilah Yang Hak, yaitu Allah Ta’ala semata.[5]

Adapun الإله disini mengikuti wazan فِعَال yang maknanya adalah sesembahan (yang berhak disembah). Hal ini berdasarkan qira’ah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma terhadap surah Al-A’raf ayat 127.

وَقَالَ الْمَلَاُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ اَتَذَرُ مُوْسٰى وَقَوْمَهٗ لِيُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ وَيَذَرَكَ وَاٰلِهَتَكَۗ

“Dan para pemuka dari kaum Fir‘aun berkata, ‘Apakah Engkau akan membiarkan Musa dan kaumnya untuk berbuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkanmu dan sesembahan-sesembahanmu?’”

Ini adalah qira’ah yang masyhur di tengah-tengah kaum muslimin. Namun, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma membacanya dengan salah satu dari qira’ah sab’ah lainnya, yaitu (وَيَذَرَكَ وَ إِلاَهَتَكَ) yang artinya “dan meninggalkanmu serta penyembahan terhadap dirimu”. Jika digabungkan dua macam qira’ah, ini menunjukkan bahwa beliau memahami makna الإله adalah sesembahan (yang berhak disembah).[6]

Jadi الإله artinya المألوه yaitu المعبود karena الألوهية bermakana العبودية .

Asal الألوهية diambil dari:

أله – يأله – إلهة – ألوهة . Maka, nama “الله” mengandung sifat al-uluhiyyah (الألوهية), yaitu hak untuk diibadahi.[7]

MAKNA LAFZHUL JALAALAH “الله”

اللهadalah nama Allah yang khusus bagi-Nya dan mengandung sifat al-uluhiyyah (berhak diibadahi). Makhluk tidak boleh menggunakannya sebagai nama dan makhluk juga tidak boleh bersifat dengan sifat yang terkandung di dalamnya. Bahkan, الله adalah nama Allah Ta’ala yang teragung sebagaimana yang akan datang penjelasannya nanti, insyaa Allah.

Ulama tafsir dari kalangan sahabat, Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhuma, berkata ketika menjelaskan makna nama الله”,

الله ذو الألوهية والعبودية على خلقه أجمعين

“Allah adalah Yang bersifat dengan sifat al-uluhiyyah dan memiliki hak untuk diibadahi atas seluruh makhluk-Nya.” (Dikutip oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah dalam kitab Tafsir karya beliau)

Makna lafzhul jalaalah “الله” yang disampaikan Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu ini mengandung dua poin penting:

Pertama, ditinjau dari sifat Allah yang terkandung dalam nama “الله”.

Bahwa Allah adalah Tuhan yang memiliki sifat al-uluhiyyah, yaitu sifat berhak untuk diibadahi/disembah. Sifat al-uluhiyyah adalah sifat kesempurnaan yang mutlak dari segala sisi yang tidak ada aib dan kekurangsempurnaan dari segala sisi pula. Sifat al-‘uluhiyyah adalah sifat yang mengandung seluruh sifat-sifat keindahan, kebesaran, keagungan, kasih sayang, kebaikan, dan seluruh sifat kesempurnaan bagi Allah Ta’ala yang lainnya.

Jadi, sifat al-uluhiyyah mengumpulkan, mengandung, dan menunjukkan kepada seluruh nama Allah Ta’ala yang husna (terindah) dan seluruh sifat-Nya yang ‘ulya (paling sempurna) dan mengandung penyucian Allah Ta’ala dari segala kesamaan dengan makhluk dan dari segala aib serta kekurangsempurnaan.

Karena Allah Ta’ala memiliki sifat al-‘uluhiyyah inilah yang menyebabkan Dia satu-satunya Tuhan yang berhak untuk disembah. Karena sifat ini mengandung kesempurnaan dari segala sisi, tiada duanya, dan penyucian Allah Ta’ala dari segala aib serta kekurangsempurnaan.

Dari sisi bahasa pun telah dijelaskan bahwa lafzhul jalaalah الله  asalnya dari الإله . Sehingga nama “الله” mengandung sifat al-uluhiyyah (الألوهية), yaitu hak untuk diibadahi.

Kedua, ditinjau dari tuntutan atas diri hamba dan sifat hamba.

Makna lafzhul jalaalah “الله”, jika ditinjau dari tuntutan atas diri hamba dan sifat hamba adalah sebagai berikut:

Bahwa karena Allah Ta’ala satu-satunya Tuhan yang memiliki sifat al-uluhiyyah, yaitu satu-satunya Tuhan yang berhak disembah (diibadahi), maka nama “الله” mengandung tuntutan kewajiban atas diri hamba. Sekaligus ini menjadi sifat yang melekat pada diri hamba, yaitu al-‘ubudiyyah (menghamba atau beribadah) hanya kepada Allah Ta’ala semata.

Nama “الله” yang mengandung sifat al-uluhiyyah mengandung tuntutan bahwa wajib bagi kita sebagai hamba-Nya untuk mempersembahkan segala macam ibadah, baik ibadah zahir maupun batin, hanya kepada-Nya semata karena Allah Ta’ala adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah (diibadahi).

Tidaklah kita berdoa, kecuali kepada-Nya saja. Tidaklah kita kembali saat tertimpa musibah dan kesulitan, kecuali kepada-Nya semata. Tidaklah kita bertawakal, kecuali kepada-Nya saja. Tidaklah kita memohon perlindungan dari segala keburukan, kecuali kepada-Nya saja. Tidaklah kita menundukkan dan merendahkan diri dengan ketundukan dan perendahan diri jenis ibadah, kecuali kepada-Nya semata. Karena Allah Ta’ala adalah Yang Mahasempurna dari segala sisi dan disucikan dari aib dan kekurangsempurnaan dari segala sisi pula, yang semua ini terkandung dan terkumpul dalam sifat al-uluhiyyah.

Intinya, kita sebagai hamba Allah Ta’ala, tugas dan kewajiban kita adalah menghamba kepada Allah semata, beribadah, serta menyembah kepada-Nya saja. Ini sesuai dengan akar bahasa hamba Allah, yaitu عبد الله dari عبد – يعبد – عبادة. Sehingga, tugas ‘abdullah (hamba Allah) adalah beribadah kepada Allah Ta’ala semata.

Ingatlah bahwa tujuan hidup kita adalah beribadah hanya kepada Allah Ta’ala semata. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku (saja)”. (QS. Adz-Dzaariyaat: 56).

Sedangkan ibadah menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah,

الْعِبَادَةُ هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ تَعَالَى وَيَرْضَاهُ مِنَ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ

“Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup setiap perkara yang dicintai dan diridai oleh Allah Ta’ala, baik berupa ucapan maupun perbuatan, (baik) yang batin (hati), maupun yang zahir (anggota tubuh yang tampak).”

Jadi, inti ibadah itu adalah mempersembahkan kepada Allah Ta’ala semata segala hal yang dicintai dan diridai-Nya. Dengan demikian, tuntutan yang terkandung dalam nama “الله” atas hamba-Nya adalah bagaimana ucapan dan perbuatan seorang hamba dalam 24 jam dicintai dan diridai oleh Allah Ta’ala. Inilah hakikat penghambaan dan peribadatan kita kepada Allah Ta’ala semata.

DALIL DARI MAKNA LAFZHUL JALAALAH “الله”

Makna lafzhul jalaalah “الله” yang disampaikan oleh ulama tafsir dari kalangan sahabat, yaitu Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhuma tersebut, sesungguhnya berdasarkan dalil-dalil yang menggabungkan antara sifat al-‘uluhiyyah yang ada pada Allah Ta’ala dengan kewajiban ibadah (al-‘ubudiyyah) atas hamba-Nya.

Di antara dalil hal itu adalah firman Allah Ta’ala,

اِنَّنِيْٓ اَنَا اللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدْنِيْۙ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ لِذِكْرِيْ

“Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah salat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaha: 14)

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا نُوْحِيْٓ اِلَيْهِ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدُوْنِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum Engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’ : 25)

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel: www.muslim.or.id

Catatan kaki:

[1]  Fathul Majid, karya Syekh Abdur Rahman Alusy Syaikh rahimahullah.

[2]  Al-Haqqul Wadhih Al-Mubin ( https://www.Islamweb.net/ar/fatwa/64836/  )

[3] https://www.alukah.net/literature_language/0/80377/#ixzz7KlElWyB6

[4] Dalilul Hairan ‘Ala Maurizh Zham’an, Ibrahim At-Tunisi rahimahullah (hal. 37) dan Al-Anbari rahimahullah dalam Al-Bayan fi Gharib I’rabil Qur’an (1: 32), serta As-Syathibi rahimahullah di Aqilah Atrabil Qashaid Fi Asnal Maqashid Fi ‘Ilmi Tasmil Mashahif, hal. 14

[5] http://www.alfaseeh.com/vb/showthread.php?t=64126

[6] At-Tamhid, karya Shaleh Alusy Syaikh rahimahullah

[7]  At-Tamhid, hal. 18 dan Syarah Tsalatsatul Ushul, hal. 56,  karya Syekh Shaleh Alus Syaikh hafizhahullah

Sumber: https://muslim.or.id/73408-penjelasan-lafzhul-jalaalah-allah-bag-1.html

Hukum Makan di Metaverse Saat Puasa

Sekarang sudah ada dunia metaverse.  Yang membuat dunia virtual akan seperti dunia nyata. Nah, lantas bagaimana hukum makan di Metaverse saat puasa? Apakah batal atau tidak?

Ketika era teknologi semakin canggih, maka kita akan mendapati permasalahan-permasalahan baru yang tidak dijumpai dalam kitab turats. Maka mengkontekstualisasikan ibarot di kitab turats itu adalah suatu hal yang niscaya, karena nash (Al-Qur’an dan Al-Sunnah) itu sudah berhenti.

Terkait makan di Metaverse saat puasa, simak penjelasan dari ulama:

المفطر السادس : وصول عين من منفذ مفتوح إلى الجوف : قوله: «وصول عين» خرج به : الهواء، فلا يضر وصول هواء إلى الجوف، وكذلك مجرد الطعم والريح بدون عين فلا يفطر ما وصل منهما إلى الجوف . 

“perkara yang membatalkan puasa yang keenam adalah masuknya ain (benda semisal makanan atau minuman) dari jalan yang tembus yang terbuka (semisal mulut) menuju perut. Dikecualikan dari ain tadi, yaitu hawa atau angin, begitu juga dengan mencicipi atau mengendus makanan yang tanpa ada ain masuk ke perut.”. (Al-Taqrirat al-Sadidah, jilid I/452)

Memandang bahwa dunia metaverse bukanlah dunia nyata, yang mana ketika makan di sana, tidak ada yang masuk pada perut kita, maka yang demikian tidaklah membatalkan puasa. Sebab yang dinamakan makan itu adalah memasukkan makanan atau minuman ke perut, yang demikianlah yang dimaksud dengan makan dan minum itu membatalkan puasa.

Namun ada yang makan ain, tapi tidak membatalkan puasa. Ada keterangan yang unik, ini tertera dalam berbagai kitab, berikutnya adalah redaksinya:

قَوْلُ الْمَتْنِ (وَعَنْ وُصُولِ الْعَيْنِ) أَيْ: الَّذِي مِنْ أَعْيَانِ الدُّنْيَا بِخِلَافِ عَيْنٍ مِنْ أَعْيَانِ الْجَنَّةِ فَلَا يُفْطِرُ بِهَا الصَّائِمُ شَيْخُنَا عِبَارَةُ ع ش. (فَائِدَةٌ) قَالَ شَيْخُنَا الْعَلَّامَةُ الشَّوْبَرِيُّ إنَّ مَحَلَّ الْإِفْطَارِ بِوُصُولِ الْعَيْنِ إذَا كَانَتْ مِنْ غَيْرِ ثِمَارِ الْجَنَّةِ جَعَلَنَا اللَّهُ تَعَالَى مِنْ أَهْلِهَا. فَإِنْ كَانَتْ الْعَيْنُ مِنْ ثِمَارِهَا لَمْ يُفْطِرْ بِهَا ثُمَّ رَأَيْته فِي الْإِتْحَافِ اهـ.

“yang bisa membatalkan puasa adalah ain atau materinya dunia, bukan materi dari surga, maka memakan ain dari surga itu tidak membatalkan puasa. Menurut Imam Al-Syaubari, yang dimaksud batalnya puasa karena makan adalah ketika ada materi (memang benar-benar benda) dunia yang masuk ke perut”. (Hawasyi Syarwani Ala Tuhfat Al-Muhtaj,  III/400)

Keterangan dari Imam Syaubari ini banyak dikutip oleh Ulama’, antara lain: as-Sayyid al-Habib ‘Abdur Rahman Ba’alwiy dalam kitabnya yang Bughyah al-Mustarsyidin (h. 140), Hasyiyah al-Jamal ala Syarh al-Minhaj, ( jilid 3/418) dan I’anah Al-Thalibin.

Jadi makan di metaverse saat puasa adalah tidak membatalkan, sebab tidak ada materi yang masuk ke perut kita. Demikian penjelasan terkait hukum makan di metaverse saat puasa. Wallahu A’lam.

BINCANG SYARIAH

Ini Doa Shalat Tarawih Lengkap Arab, Latin, dan Terjemah

Berikut ini adalah doa shalat Tarawih. Doa ini jamak diamalkan oleh imam-imam dipelbagai masjid yang ada di Indonesia. Berikut penjelasannya.

Pemerintah menetapkan awal puasa atau 1 Ramadhan 1443 Hijriah jatuh pada Minggu, 3 April 2022. Sidang isbat digelar di Kantor Kementerian Agama, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat (01/4/2022).

Pada sidang isbat ini menghadirkan pelbagai ormas Islam, Komisi VIII DPR, BMKG, Tim Unifikasi Kalender Hijriah Kementerian Agama, Komisi VIII DPR RI, MUI, duta besar negara sahabat, dan perwakilan ormas Islam.

Selain itu, hadir juga perwakilan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dan pelbagai lembaga lain.

Dengan demikian, pada Sabtu malam umat Islam Indonesia akan melaksanakan shalat Tarawih dan Witir. Pada Ramadhan kali ini, pemerintah telah memberikan izin untuk melaksanakan Shalat tarawih secara berjamaah dengan protokol kesehatan yang tetap.

Setelah melaksanakan tarawih, jangan lupa untuk membaca doa setelah shalat Tarawih yang disebut dengan doa Kamilin. Adapun doa shalat tarawih sebagai berikut;

اَللهُمَّ اجْعَلْنَا بِالْاِيْمَانِ كَامِلِيْنَ. وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ. وَلِلصَّلاَةِ حَافِظِيْنَ. وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ. وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ. وَلِعَفْوِكَ رَاجِيْنَ. وَبِالْهُدَى مُتَمَسِّكِيْنَ. وَعَنِ الَّلغْوِ مُعْرِضِيْنَ. وَفِى الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ. وَفِى اْلآخِرَةِ رَاغِبِيْنَ. وَبَالْقَضَاءِ رَاضِيْنَ. وَلِلنَّعْمَاءِ شَاكِرِيْنَ. وَعَلَى الْبَلاَءِ صَابِرِيْنَ. وَتَحْتَ لَوَاءِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَائِرِيْنَ وَاِلَى الْحَوْضِ وَارِدِيْنَ. وَاِلَى الْجَنَّةِ دَاخِلِيْنَ. وَمِنَ النَّارِ نَاجِيْنَ. وَعَلى سَرِيْرِالْكَرَامَةِ قَاعِدِيْنَ. وَمِنْ حُوْرٍعِيْنٍ مُتَزَوِّجِيْنَ. وَمِنْ سُنْدُسٍ وَاِسْتَبْرَقٍ وَدِيْبَاجٍ مُتَلَبِّسِيْنَ. وَمِنْ طَعَامِ الْجَنَّةِ آكِلِيْنَ. وَمِنْ لَبَنٍ وَعَسَلٍ مُصَفًّى شَارِبِيْنَ. بِاَكْوَابٍ وَّاَبَارِيْقَ وَكَأْسٍ مِّنْ مَعِيْن. مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَآءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ اُولئِكَ رَفِيْقًا. ذلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللهِ وَكَفَى بِاللهِ عَلِيْمًا. اَللهُمَّ اجْعَلْنَا فِى هذِهِ اللَّيْلَةِ الشَّهْرِالشَّرِيْفَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ السُّعَدَاءِ الْمَقْبُوْلِيْنَ. وَلاَتَجْعَلْنَا مِنَ اْلاَشْقِيَاءِ الْمَرْدُوْدِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِه وَصَحْبِه اَجْمَعِيْنَ. بِرَحْمَتِكَ يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Allahummaj ‘alnaa bil iimaani kaamiliin, walil faraaidhi muaddiin, walis shalaati haafidhiin, waliz zakaati faa ‘iliin, walima ‘indaka thaalibiin, wali’afwika raajiin, wabilhudaa mutamassikiin, wa’anil laghwi mu’ridhiin, wafid dunya zaahidiin,

wafil aakhirati raahibiin, wabilqadhaa-i raadhiin, walinna’maa-i syaakiriin, wa ‘alal balaa-i saabiriin, watahta liwaa-i sayyidina muhammadin saw yaumal qiyaamati saa-iriin, wa-ilal haudhi waaridhiin, wa-ilal jannati daahiliin,

 waminan naari naajiin, wa ‘ala sariiril karaamati qaa ‘idiin, wamin huuril ‘aini mutazawwijiin, wamin sundusin wa istabrakin wadiibaajin mutalabbisiin, wamin ta’aamil jannati aakiliin, wamin labanin wa ‘asalin musaffan syaaribiin, bi-akwaabiw wa abaariqaw waka’sim mimma’iin, ma’al ladziina an’amta ‘alaihim minan nabiyyiina was siddiiqiina was syuhadaa-i was saalihiin, wahasuna ulaa-ika rafiiqa, dzaalikal fadhlu minallaahi wakafaa billaahi ‘aliima.

 Allaahummaj ‘alna fii haadzihil lailatis syariifatil mubaarakati minas su’adaa-il maqbuuliin,walaa taj’alnaa minal asyqiyaa-il marduudiin, wasallallaahu ‘alaa sayyidinaa muhammadin wa-aalihi wa sahbihi ajma’iin, birahmatika yaa arhamar raahimiin, walhamdulillaahi rabbil’aalamii

Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang sempurna imannya, sanggup menjalankan semua kewajiban, mampu menjaga shalat,bisa mengeluarkan zakat, yang mencari apa yang ada di sisi-Mu, yang mengharapkan ampunan dan berpegang teguh pada petunjuk-Mu juga dipalingkan dari segala permainan/tipu daya.

Tergolong menjadi orang-orang yang zuhud di dunia dan mencintai kehidupan akherat, ridha akan qadha’ yang sudah digariskan, bersyukur atas nikmat yang dilimpahkan sabar atas segala musibah, termasuk orang-orang yang beralan di bawah panji-panji junjungan kami Nabi Muhammad, pada hari kiamat sekaligus bisa mendatangi telaga kautsar.

 Yang masuk ke dalam surga dan selamat dari api neraka menjadi orang-orang yang bisa duduk di atas dipan kemuliaan, mempersunting bidadari, yang berpakaian sutra,yang bisa menikmati hidangan surga, minum air susu dan madu yang murni dengan gelas dan cawan bersama orang-orang yang Engkau beri nikmat yaitu dari golongan para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih.

Mereka itulah teman yang terbaik. Kesemuanya itu adalah anugerah dari Allah dan cukuplah Dia sebagai Zat yang Maha Mengetahui.Ya Allah, jadikanlah kami pada malam yang mulia dan diberkahi ini termasuk golongan orang-orang yang beruntung yang diterima segala permohonannya.

Dan janganlah Engkau jadikan kami termasuk golongan orang-orang yang celaka yang tidak diperkenankan amalnya. Shalawat beserta salam Allah semoga tetap terlimpahkan atas pemimpin kami Nabi Muhammad Saw, keluarga dan semua sahabatnya dengan rahmat-Mu wahai Zat yang paling Pengasih di antara para pengasih. Dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.

Demikian penjelasan terkait doa Shalat Tarawih. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Cara Niat Puasa Ramadhan Sebulan Penuh

Berikut tata cara niat puasa Ramadhan sebulan penuh. Hal ini untuk memudahkan bagi seseorang yang sering lupa niat puasa pada saat sahur.

Para ulama telah sepakat bahwa puasa Ramadhan dinilai tidak sah tanpa diawali dengan niat. Ini karena menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, niat termasuk syarat sah puasa. Sementara menurut ulama Syafi’iyah, niat termasuk rukun puasa Ramadhan. Karena itu, puasa Ramadhan yang tidak diawali dengan niat, maka puasanya dinilai tidak sah.

Hanya saja, para ulama berbeda mengenai teknis pelaksanaan niat puasa Ramadhan. Menurut ulama Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah, niat puasa Ramadhan wajib dilakukan setiap malam selama bulan puasa Ramadhan. Hal ini karena setiap satu hari di bulan Ramadhan merupakan ibadah mustaqillah (independen), tidak dapat dikaitkan dengan hari sebelumnya atau setelahnya.

Sementara menurut Imam Malik dan ulama Malikiyah, niat puasa Ramadhan tidak wajib dilakukan setiap malam selama bulan Ramadhan, melainkan boleh dilakukan hanya di malam pertama saja untuk puasa selama satu bulan penuh.

Tidak perlu memperbarui niat setiap malam karena semua hari di bulan Ramadhan seperti halnya satu hari, sebagaimana tidak perlu juga memperbarui niat dalam setiap rakaat shalat.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Muqaddimat Al-Mumhidat berikut

ورمضان كله كيوم واحد إذ لا يتخلله وقت فطر يصح صومه، فتجزئ فيه نية واحدة في أوله، ويكون حكم النية باقيا مستصحبا لا يحتاج إلى تجديد النية عند كل يوم، كالصلاة التي يلزمه إحضار النية لها عند أولها، ولا يلزمه تجديدها عند كل ركن من أركانها.

Sebulan penuh Ramadhan seperti halnya satu hari karena tidak diselingi waktu lain yang sah berpuasa selain puasa Ramadhan. Karena itu, cukup berniat di malam pertama saja dan hukum niat tersebut tetap berlaku untuk malam-malam berikutnya sehingga tidak butuh memperbarui niat setiap hari. Sebagaimana shalat yang hanya wajib berniat di awal shalat saja, dan tidak wajib memperbaruinya di setiap rukun-rukun shalat. 

Karena itu, jika kita hendak melakukan niat puasa Ramadhan sebulan penuh untuk berjaga-jaga agar puasa tetap sah ketika kita lupa niat, maka pada malam pertama puasa Ramadhan kita mengucapkan niat sebagai berikut;

نَوَيْتُ صَوْمَ جَمِيْعِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ تَقْلِيْدًا لِلْإِمَامِ مَالِكٍ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى 

Aku niat berpuasa di sepanjang bulan Ramadhan tahun ini dengan mengikuti Imam Malik, wajib karena Allah.

Atau bisa juga mengucapkan niat sebagai berikut;

نَوَيْتُ صَوْمَ شَهْرِ رَمَضَانَ كُلِّهِ هَذِهِ السَّنَةَ فَرْضا للهِ تَعَالَى 


Aku niat berpuasa selama sebulan penuh Ramadhan di tahun ini, wajib karena Allah. 

Demikian cara niat puasa Ramadhan sebulan penuh. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Sifat Muslim: Mencari Ilmu Sepanjang Hayat

MENCARI ILMU sepanjang hayat, begitulah ciri seorang Muslim sejati. Allah Subhanahu Wata’ala sendiri telah menyampaikan, sesungguhnya ilmu Allah itu luas, memenuhi langit dan bumi.

Bahkan, jika seluruh lautan dijadikan tinta untuk menulis segala sesuatu yang diketahui Allah SWT mulai dari Al-Qur’an sebagai dasarnya, pasti seluruh lautan tidak akan kehabisan ilmu Allah SWT. Ini juga fakta bahwa semakin banyak kita belajar, semakin kita merasakan betapa banyak yang tidak kita ketahui.

قُلْ لَّوۡ كَانَ الۡبَحۡرُ مِدَادًا لِّـكَلِمٰتِ رَبِّىۡ لَـنَفِدَ الۡبَحۡرُ قَبۡلَ اَنۡ تَـنۡفَدَ كَلِمٰتُ رَبِّىۡ وَلَوۡ جِئۡنَا بِمِثۡلِهٖ مَدَدًا

“Katakanlah (Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS: Al-Kahfi: 109).

Tidak ada pembelajar yang merasa sudah mengetahui segala sesuatu, bahkan sebaliknya bagi seorang siswa akan selalu dirinya sendiri masih harus banyak belajar dan itulah sebabnya dia mendorongnya untuk terus belajar.

Bahkan dalam dunia akademik pun hal yang sama terjadi sekalipun dia seorang profesor, semakin banyak ia belajar selama itu pula ia merasa masih banyak ilmu yang belum diketahui. Oleh karena itu menuntut ilmu itu wajib, terutama ilmu-ilmu bersifat fardu ‘ain, seperti: ilmu fikih, ilmu akidah, tazkiyatunnafs (tasawuf).

Dahulu kita tidak pernah mendengar bahwa shalat  bisa menjadi terapi untuk kesehatan, namun dengan kajian demi kajian kita menemukan bahwa sholat sangat baik untuk kesehatan. Shalat tidak hanya merupakan kewajiban agama atau perintah Allah SWT, tapi secara fisik juga ada manfaat kesehatan.

Untuk mendapatkan berkah ilmu, apapun yang dipelajari harus niat untuk diamalkan dan dengan begitu ilmu menjadi berkah. Ilmu juga memilih dengan siapa ia ingin berteman dan di dada siapa ia ingin duduk. Ada orang yang ilmunya ingin “berteman” maka ia akan melekat pada orang tersebut, namun jika ilmu melihat bahwa orang tersebut tidak berbuat baik dengan ilmunya, maka ilmu tersebut akan meninggalkannya.

Seorang tabi’in bernama Said bin Jubair yang belajar dari para sahabat seperti Abu Hurairah dan Abdullah bin Abbas RA. Rasulullah ﷺ sendiri berdoa kepada Abdullah bin Abbas RA yang berbunyi:

اللهم فقهه فى الدين وعلمه التأويل

“Allahumma faqqih hu fid diin, wa alimhuttakwiil.”

“Ya Allah, berilah kefahaman tentang agama (Islam) kepadanya dan kurniakanlah ilmu tentang takwil (tafsiran dan pemahaman alQuran).” (HR Ahmad bin Hanbal, al-Hakim, al-Thabarani dalam Mu’jam al-Kabir, al-Ausath dan Saghir).

Maksudnya: “Ya Allah, ajarkanlah Ibn Abbas ini dalam urusan agama dan ajarkanlah dia takwil (menafsir Al-Quran).”

Doa ini sering dibacakan kepada bayi yang baru lahir, dalam upacara tahnik, atau “membuka mulut”.

Mencari ilmu sepanjang hayat & Terus belajar meski telah memiliki ilmu

Said bin Jubair pernah berkata bahwa kita tidak belajar hanya karena dia tidak tahu, tetapi kita belajar melampaui apa yang kita pikir sudah kita ketahui. Orang yang bertakwa bukanlah orang yang merasa sudah memiliki ilmu, tetapi orang yang bertakwa selama orang tersebut terus belajar. Pada saat dia berhenti belajar, pada saat itu dia bukan lagi orang yang shaleh.

Belajar sepanjang hayat bisa kita lakukan kepada siapa saja. Bahkan kepada orang yang tidak tahu, dengan lingkungan bahkan dengan alam sekitar.

Imam Syafii pernah menyebutkan bahwa jatuhnya seseorang itu ketia dia merasa hebat, maka jika seseorang merasa alim dan berilmu, maka tunggulah saat kejatuhannya.

Imam Ahmad pernah berkata bahwa kebaikan ilmu tiada tandingnya jika ilmu yang dicari dimaksudkan untuk menghilangkan kebodohan, terutama  kebodohan diri terlebih dahulu. Inilah kemaslahatan terbesar bagi orang yang mencari ilmu, yaitu mengoreksi kebodohannya diri sendiri.

Rasulullah ﷺ mengatakan;

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُنْ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا أَوْ مُسْتَمِعًا أَوْ مُحِبًّا وَلَا تَكُنْ خَامِسًا فَتَهْلِكَ (رواه بيهقى)

“Nabi ﷺ bersabda,”Jadilah engkau (1) orang berilmu, atau (2) orang yang menuntut ilmu, atau (3) orang yang mau mendengarkan ilmu, atau (4) orang yang menyukai ilmu. Dan (5) janganlah engkau menjadi orang yang kelima maka kamu akan celaka.” (HR:Baihaqi).

Mencari ilmu sepanjang hayat & tetap mencari ilmu meski usia tidak muda

Sebab Baginda Nabi ﷺ mengajarkan umatnya untuk tetap mencari ilmu sepanjang hayat. Itulah sebabnya Baginda Rasulullah ﷺ menjelaskan dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr bahwa mencari ilmu pengetahuan itu merupakan kewajiban ke atas setiap Muslim.

Kewajiban mencari ilmu itu seharusnya difahami sebagai suatu proses mencari ilmu sepanjang hayat dan tidak terbatas pada waktu atau umur tertentu. Beberapa ulama besar bahkan baru belajar di usia yang sudah berumur.

Ibn Hazm, mulai belajar fikih di usia menginjak 26 tahun.  Beliau belajar ilmu fikih kepada Abu Abdillah bin Dahun. Gurunya itu pertama kali mengenalkan kitab Imam Malik, al-Muwatho’. (Sair A’lam an-Nubala).

Imam Al-Qoffal mendalami ilmu fiki pada usia 30 tahun. Tokoh Mazhab Syafi’iyah ini akhirnya dijuluki . Al-Qoffal artinya pembuat kunci. Hal ini karena beliau sejak muda ahli membuat kunci.  (Sair A’lam an-Nubala).

Zakariya Al-Anshari, seorang ahli fikih yang karyanya menjadi rujukan banyak ulama ternyata baru belajar fikih saat menginjak usia 26 tahun.  Imam Kisai, seorang ulama besar ahli nahwu dan qiro’ah baru belajar di usia 40 tahun bahkan mampu menghapal lima permasalahan tiap hari.

Imam Abu Fattah al-Muni’i. Kisah dan riwayat ulama yang satu ini begitu menginspirasi, selain sebagai ulama yang sangat luas pengetahuannya, ia juga memiliki riwayat belajar di usianya yang sudah mendekati senja.

Imam Izzuddin bin Abdissalam yang  dijuluki sulthanul ulama’ (rajanya ulama) belajar ilmu fikih di usia sudah dewasa.  Karena kesulitan ekonomi, Izzudin memilih menimba ilmu daripada bekerja.

Beliau akhirnya tinggal di tempat pengajian dan ditugasi menata serta mempersiapkan majelis ilmu. Dengan kebiasaan itulah, beliau akhirnya  terbiasa mengikuti pengajian dan belajar secara sungguh-sungguh. (At-Thabaqat as-Syafi’iyyah).

Imam Hammad bin Sulaiman, salah satu sosok berpengaruh di balik kealiman Imam Abu Hanifah an-Nukman, yang kemudian menjadi pelopor keberadaan Mazhab Hanafiyah ini juga dikenal sebagai tabi’in, orang-orang yang masih menjumpai sebagian dari para sahabat nabi.

Meski berlatarbelakang seorang budak,  beliau akhirnya dikenal sebagai salah satu pembesar para ulama (kibaru al-ulama) di kota Naisabur. Imam Hammad bin Sulaiman adalah salah satu ulama yang masuk dalam daftar telat belajar dan akhirnya berhasil menguasai cabang-cabang ilmu.

Syeikh Taqiyuddin al-Ghazzi, mengatakan: “Imam Hammad bertemu dengan kumpulan manusia, kemudian ia belajar fikih di usia tua.” (Thabaqatu as-Sunniyah fi Tarajimi al-Hanafiyah, Maktabah asy-Syamilah Aliya, halaman 265).

Begitulah ciri seorang mukmin sejati, tiada lelah mencari belajar dan tetap mencari ilmu sepanjang hayat, meski nyawa di ujung badan.*

HIDAYATULLAH

MUI Terbitkan Panduan Ibadah Ramadan 2022: Boleh Berjama’ah dengan Skala Besar

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menerbitkan panduan pelaksanaan ibadah selama bulan Ramadan dan Idulfitri 1443 Hijriah/2022 Masehi. Di antaranya, adalah mengizinkan pelaksanaan ibadah berjama’ah skala besar dengan tetap dianjurkan mengenakan masker.

Dalam edaran yang diterima oleh Hidayatullah.com, Kamis (31/3/2022), MUI mengizinkan salat berjamaah tanpa jaga jarak alias merapatkan barisan meski tetap dianjurkan memakai masker.
Dengan demikian, pelaksanaan ibadah menurut MUI boleh dilakukan dalam skala besar atau berjamaah, seperti salat Tarawih, salat Jumat, salat lima waktu, hingga salat Idulfitri.

MUI bahkan telah mewajibkan umat Islam kembali melaksanakan salat Jum’at di masjid.

Sebelumnya, MUI diketahui sempat melarang pelaksanaan ibadah salat Jumat menyusul tingginya angka kasus Covid-19. Salat Jumat sempat diizinkan namun dengan pembatasan kapasitas dan jaga jarak.

MUI juga membolehkan umat Islam selama menjalankan ibadah puasa melakukan swab atau tes Covid-19 hingga mengikuti vaksinasi. Menurut MUI, aktivitas itu tak membatalkan puasa.

“Tes swab, baik lewat hidung maupun mulut untuk deteksi Covid-19 saat berpuasa tidak membatalkan puasa, karenanya umat Islam yang sedang berpuasa boleh melakukan tes swab,” demikian bunyi panduan tersebut.

Meski begitu, MUI tetap menganjurkan umat Islam menggunakan masker selama pelaksanaan ibadah yang melibatkan orang banyak.

MUI juga mengimbau umat Islam mengisi Ramadan dengan ibadah salat Tarawih, tadarus Alquran, pengajian, iktikaf, dan qiyamu al-lail. Tak lupa untuk memperbanyak ibadah, zikir, selawat, dan berdoa kepada Allah SWT.

Berikut panduan lengkap ibadah Ramadan 2022 menurut edaran MUI.

  1. Dalam mengawali ibadah puasa Ramadan dan Idul Fitri 1443 H umat Islam mengikuti hasil keputusan pemerintah melalui sidang isbat yang didahului konsultasi dengan MUI dan mendengar pandangan ormas-ormas Islam dan instansi terkait berdasarkan Fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah.
  2. Mengacu pada Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 dan melihat kondisi wabah Covid-19 yang sudah terkendali, maka semua hukum penyelenggaraan ibadah yang selama pandemi Covid-19 ada kemudahan (rukhsah) kembali kepada hukum asal (‘azimah), antara lain:

A. Kewajiban menyelenggarakan salat Jumat;

B. Merapatkan kembali saf saat salat berjamaah;

C. Menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak, seperti jamaah salat lima waktu dan salat Tarawih.

  1. Umat Islam diimbau untuk mensyiarkan bulan Ramadan dengan berbagai ibadah seperti salat Tarawih, tadarus Al-Qur’an, mengikuti pengajian, iktikaf, dan qiyamulail, serta memperbanyak ibadah, istighfar, zikir, salawat, dan senantiasa berdoa kepada Allah SWT agar diberikan perlindungan dan keselamatan dari musibah dan marabahaya (daf’u al-bala’), khususnya dari wabah Covid-19.
  2. Untuk meningkatkan kepedulian sosial umat Islam diimbau untuk memperbanyak infak, sedekah, dan berbagi untuk berbuka puasa.
  3. Untuk kepentingan pewujudan kekebalan kelompok (herd immunity), umat Islam yang sedang berpuasa boleh melakukan vaksinasi dengan vaksin yang halal.
  4. Tes swab, baik lewat hidung maupun mulut untuk deteksi Covid-19 saat berpuasa tidak membatalkan puasa, karenanya umat Islam yang sedang berpuasa boleh melakukan tes swab, demikian juga rapid test dengan pengambilan sampel darah dan penggunaan Genose dengan sampel hembusan nafas.
  5. Menggunakan masker saat salat berjamaah untuk menjaga diri agar tidak tertular suatu penyakit, seperti Covid-19 hukumnya boleh dan tidak makruh.
  6. Agar zakat fitrah dan zakat mal dapat dimanfaatkan lebih optimal, setiap muslim yang terkena kewajiban zakat, boleh menunaikan zakat fitrah dan menyalurkannya sejak awal Ramadan tanpa harus menunggu malam Idul Fitri dan zakat mal boleh ditunaikan dan disalurkan lebih cepat (ta’jil al-zakah) tanpa harus menunggu satu tahun penuh (Hawalan al-haul), apabila telah mencapai nisab.
  7. Umat Islam diimbau untuk mensyiarkan malam Idul Fitri dengan takbir, tahmid, tahlil menyeru keagungan Allah SWT, mulai dari tenggelamnya matahari di akhir Ramadan hingga menjelang dilaksanakannya salat Idulfitri.

HIDAYATULLAH