Belajar dari Sistem Ramadhan

Melalui sistem Ramadhan harusnya menjadikan menjaga ‘output’ takwa dan terus meningkatkan dalam 11 (sebelas) bulan berikutnya

KATA “sistem” banyak sekali digunakan dalam percakapan sehari-hari, baik oleh orang awam, dalam forum diskusi maupun di dalam dokumen ilmiah. Kata ini digunakan untuk banyak hal, dan pada banyak bidang pula, sehingga maknanya menjadi beragam.Dalam pengertian yang paling umum, sebuah sistem adalah sekumpulan benda dan fungsi yang memiliki hubungan di antara mereka untuk  mencapai tujuan tertentu. Sehingga, secara garis besar sistem memiliki unsur-unsur yang mewakili suatu sistem secara umum adalah memasukan (input),pengolahan (processing), dan keluaran (output).

Selanjutnya untuk memastikan bahwa sebuah sistem bekerja dengan baik maka diperlukan umpan balik (feedback). Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa masukan (input) sistem adalah segala sesuatu yang masuk ke dalam sistem dan selanjutnya menjadi bahan yang diproses.

Masukan dapat berupa hal-hal yang berwujud (tampak secara fisik) maupun yang tidak tampak. Pengolahan (processing) merupakan bagian yang melakukan perubahan atau transformasi dari masukan menjadi keluaran yang berguna dan lebih bernilai, misalnya berupa informasi dan produk, tetapi juga bisa berupa hal-hal yang tidak berguna, misalnya saja sisa pembuangan atau limbah.

Keluaran (output) merupakan hasil dari pemrosesan. Pada banyak hal, keluaran itu tidak mesti berupa material (fisik) yang sifatnya kuantutatif, akan tetapi juga berupa hal yang nonfisik yang bersifat kualitatif. Umpan balik (feedback) sebuah mekanisme yang digunakan untuk mengendalikan baik masukan maupun proses. Tujuannya adalah untuk mengatur agar sistem berjalan sesuai dengan tujuan. Selanjutnya memberikan informasi terkait perbaikan sistem dikemudian hari jika terjadi masalah.

Keterkaitan antar komponen tersebut selanjutnya membuat sebuah tata aturan yang disebut dengan siklus sistem itu sendiri. Dimana mereka akan terus melakukan looping, pada setiap komponen, elemen dan tahapan, yang sebenarnya tidak ada akhirnya. Sebab ketika satu tujuan telah dipenuhi, maka input akan berubah, sehingga memicu perubahan dalam proses, demikian juga merubah keluarannya. Selanjutnya umpan balik akan memberikan informasi terhadap perubahan masing-masing itu, dan begitu seterusnya.

Siklus Ramadhan

Firman Allah swt, tidak akan pernah bisa ditandingi oleh pemikiran manusia sepanjang masa. Ia akan selalu unggul, dimanapun dan kapanpun. Sehebat apapun manusia berteori dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, maka mustahil menyamai apalagi mengungguli ketentuan Allah swt itu sendiri. Manusia, seringkali hanya bisa membenarkan dan kemudian menjelaskan apa yang terjadi dengan teori, kemudian dikaitkan dalam persepektif al-Qur’an sebagai kalam ilahi tersebut. Karena sunnatullahnya memang begitu. Hal ini juga bisa kita lakukan dalam menjelaskan QS Al-Baqarah : 183

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (Surat Al-Baqarah Ayat 183).

Jika kita uraikan dengan pendekatan sistem di atas, maka akan kita dapati bahwa dalam surat al-Baqarah 183 ini, inputannya adalah orang-orang beriman. Prosesnya adalah menjalankan shiyam (puasa). Sedangkan outputnya adalah predikat takwa.

Durasi prosesnya adalah 1 bulan, selama ramadhan. Selanjutnya untuk feedback (umpan balik) nya, dilakukan 11 (sebelas) bulan berikutnya, dan selanjutnya akan menjadi input yang akan diproses pada ramadhan tahun berikutnya, begitulah seterusnya. Dalam konteks individu sampai maut memanggil.

Selanjutnya jika kita uraikan lebih detail akan didapati bahwa orang-orang yang beriman adalah menjadi prsyarat dalam sistem ini. Sehingga tidak berlaku bagi orang tidak beriman.

Sedangkan definisi iman sendiri jumhur ulama adalah : pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan. Sedangkan secara lebih terperinci dapat dijelaskan bahwa iman itu berupa pembenaran hati’ artinya hati menerima semua ajaran yang dibawa oleh Rasul ﷺ.

‘Pengakuan dengan lisan’ artinya mengucapkan dua kalimat syahadat ‘asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah’. Sedangkan ‘perbuatan dengan anggota badan’ artinya amal hati yang berupa keyakinan-keyakinan dan beramal dengan anggota badan yang lainnya dengan melakukan ibadah-ibadah sesuai dengan kemampuannya. (Kitab At Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali). Inilah yang menjadi input untuk shiyam ramadhan.

Sedanglan dalam prosesnya adalah shiyam (puasa). Secara bahasa, baik kata shiyam maupun shaum berasal dari صام – يصوم, artinya imsak (menahan), shamt (diam tidak berbicara), rukud (diam tidak bergerak), dan wuquf (berhenti) sebagaimana disampaikan Khalil bin Ahmad al-Farahidi dalam Kamus al-‘Ain. Jadi, kedua istilah tersebut secara literal bermakna meninggalkan makan dan minum, tidak berbicara dan tidak mengerjakan apapun.

Secara syar’i, Prof. Dr. Wahbah az Zuhaili, menjelaskan arti puasa secara istilah syariat adalah menahan diri pada siang hari dari hal-hal yang membatalkan puasa disertai niat, sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Artinya, puasa adalah penahanan diri dari syahwat perut dan kemaluan serta dari segala benda konkret yang memasuki rongga tubuh (seperti obat dan lainnya) dalam rentang waktu tertentu oleh orang tertentu yang memenuhi syarat, disertai niat (Fiqih Islam wa Adillatuhu).

Selanjutnya ibadah lain yang dilaksanakan selama shiyam Ramadhan adalah menegakkan shalat fardu di awal waktu, qiyamul lail, melaksanakan tarawih, serta sholat sunah lainnya, memperbanyak interaksi dengan al-Qur’an baik kualitas maupun kuantitas, memperbanyak bersedekah, serta i’tikaf di 10 hari ramadhan dan lain sebagainya. Sehingga dalam proses ini, harus dilaksanakan secara maksimal dan sebaik-baiknya agar menghasilkan output yang optimal pula.

Dari sisi output adalah takwa. Secara bahasa takwa (taqwa) berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayah yang artinya memelihara, yakni menjaga diri agar selamat dunia dan akhirat.

Kata waqa juga bermakna melindungi sesuatu, yakni melindunginya dari berbagai hal yang membahayakan dan merugikan. Sedangkan Imam Ar-Raghib Al-Asfahani dalam Al-Mufradat Fi Gharibil Qur’an mendenifisikan : “Takwa yaitu menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya berdosa, dan itu dengan meninggalkan apa yang dilarang, dan menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan”.

Output takwa inilah yang kemudian dijaga dan terus ditingkatkan dalam 11 (sebelas) bulan berikutnya. Oleh karenanya maka harus ada feedback (umpan balik) agar dapat melakukan improvement pada bulan-bulan berikutnya, hingga ketemu ramadhan mendatang.

Caranya bagaimana? Yaitu dengan menjalankan amalan yaumiyah (amal harian) sebagaimanya yang telah disyariatkan, baik yang sifatnya mahdhoh maupun yang ghairu mahdhoh. Supaya lebih terukur, bisa menggunakan tools mutaba’ah yaumiyah (evaluasi amal harian). Yang berisi check list aktifitas dan ibadah apa saja yang kita lakukan setiap hari.

Dan saat ini, mutaba’ah yaumiyah ini, tidak harus berupa buku, sudah banyak apps yang tersedia. Bisa didapatkan dan diunduh secara online. Selanjutnya bisa dioperasikan dan dilihat melalui gadget kita.

Melalui pendekatan sistem sebagaimana diterangkan di atas, maka kita dapat mengambil ibrah yang luar biasa dari sistem ramadhan ini. Sehingga diharapkan akan memberikan kemudahan bagi siapa saja dalam memahami dan sekaligus mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dan hal ini, sesungguhnya membuktikan bahwa ajaran Islam itu tidak akan pernah berselisih dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, asalkan semua dilakukan dalam kerangka bismirabbik. Dengan demikian maka seharusnya seluruh IPTEK yang bersandar dan bersumber dari ajaran Islam. Wallahu a’lam.

Oleh: Asih Subagyo

Penulis dosen STIE Hidayatullah Depok

HIDAYATULLAH

Hukum Membagikan Berita Hoax di Media Sosial Saat Puasa

Di era media sosial ini banyak sekali hoax yang bertebaran. Terlebih terkait politik, akibat ketidaksukaan pada orang tertentu, sehingga menyebarkan hoax. Padahal bencana hoax bisa menimbulkan segregasi dan konflik di tengah masyarakat. 

Dalam konteks Ramadhan, bagaimana apa hukum membagikan berita hoax di media sosial saat puasa? Apakah berpengaruh terhadap keabsahan dan pahala?

Lantas apakah like dan share hoax mengurangi pahala puasa Ramadhan?  Syekh Muhammad bin Qosim al-Ghozy dalam kitab Fathul Qorib, menjelaskan bahwa ada 10 hal yang membatalkan puasa, antara lain makan dan minum—memasukkan sesuatu ke lubang yang terbuka menuju perut secara sengaja. Berjimak, keluar mani, melakukan hubungan badan,muntah dengan sengaja, haid, nifas,murtad, dan gila. 

Lantas bagaimana dengan membagikan berita hoax di media sosial? Menyebarkan berita hoax di media sosial, tidak termasuk dalam hal yang membatalkan puasa. Kendati demikian, membagikan berita bohong di medsos, dapat mengurangi pahala puasa.  

Hal ini sebagaimana  dijelaskan oleh Habib Zain bin Smith dalam kitab al-Fawaidul Mukhtarah li Saliki Thariqil Akhirah, dengan mengutip sebuah hadis riwayat Ad Dailami, bahwa yang membatalkan pahala puasa antara lain adalah sikap tidak terpuji; bohong, adu domba, syahwat yang berlebihan, dan sumpah palsu. Nabi bersabda:

 خمسٌ يُفطِرن الصّائِم: الغِيبةُ، والنّمِيمةُ، والكذِبُ، والنّظرُ بِالشّهوةِ، واليمِينُ الكاذِبةُ

Artinya; Ada lima hal yang bisa membatalkan pahala puasa: ghibah, adu domba, berbohong, melihat dengan syahwat, dan sumpah palsu. 

Yang penting diingat, bahwa menyebarkan berita hoax dan mengamininya, merupakan tindakan yang tak terpuji. Lebih jauh lagi, melakukan kebohongan dan menyebarkan berita hoax termasuk pertanda orang munafik. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis Riwayat Abu Hurairah;

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: آيَةُ المُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda, tanda-tanda orang Munafik ada tiga, jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari janjinya, dan jika diberi amanah (diberi kepercayaan) dia berkhianat.

Pada sisi lain, Ibnu Hajar Al Asqallani menjelaskan dalam kitab kitab Fathul Bari, bahwa  Allah tidak akan akan menerima puasa orang yang melakukan Tindakan zur. Apakah Zur yang dimaksud dengan Ibnu Hajar tersebut? Jawabannya adalah;  al kidzbu—berkata bohong dan dusta.

Ibnu Hajar menjelaskan pendapat di atas ketika mensyarah hadits shahih Riwayat Imam Bukhari, yang menjelaskan bahwa  Allah tidak akan melirik ibadah puasa orang yang tidak meninggalkan perkataan zur. Nabi bersabda;

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَل َبِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan sia-sia, maka Allah tidak berkepentingan sedikitpun terhadap puasanya.” (HR. Bukhari). 

Untuk itu, sudah seyogianya seseorang yang berpuasa menahan diri dari hal yang membatalkan puasa, dan mengurangi pahala puasa. Yang dalam hal ini adalah membagikan atau share berita bohong di medsos. Rasulullah dalam sebuah hadis memberikan arahan pada orang yang berpuasa untuk mampu menahan dan mengendalikan diri agar tidak marah. Nabi bersabda;

الصوم جنّة، فلا يرفث ولا يجهل، وان امرؤ قاتله أو شاتمه، فليقل: إنّي صائم مرتين

Puasa adalah benteng. Maka hendaknya tidak berkata kotor dan bodoh. Jika ada orang yang mengajaknya bertengkar atau mencacinya, maka hendaknya ia katakan “Sesungguhnya aku sedang berpuasa, sebanyak dua kali.

Sudah jelaslah bahwa membagikan berita hoax di media sosial saat puasa bisa menggugurkan pahala puasa. Maka dari itu, lakukanlah kebaikan-kebaikan saja dan jaga diri dari keinginan melakukan perbuatan sia-sia dan tercela. 

BINCANG MUSLIMAH

Doa Zakat Fitrah untuk Diri Sendiri, Anak, Suami, dan Istri

Doa zakat fitrah dapat diamalkan dengan membaca niatnya. Niat untuk mengeluarkan zakat fitrah sendiri merupakan bagian dari syarat terlaksananya zakat fitrah menurut Imam al-Ghazali dan Abdul Rosyad Siddiq dalam Ringkasan Ihya Ulumuddin.

“Syarat (zakat fitrah) yang pertama adalah niat dalam hati untuk mengeluarkan zakat fitrah. Niat atas orang yang hilang ingatan maupun anak kecil bisa diwakili oleh walinya,” bunyi keterangan dalam buku tersebut.


Niat zakat fitrah dibaca dalam hati didasarkan pada keterangan Imam Ibnu Taimiyyah dalam Kitab Majmu’ Al Fatawa. Ia berkata:

“Seandainya melafazkan niat adalah hal yang dianjurkan maka tentunya sudah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan pasti itu diketahui oleh umat Islam,”

Adapun bacaan niat juga boleh dilafalkan dalam hati dengan bahasa Indonesia. Namun, alangkah baiknya bila membaca niat sesuai dengan yang ditentukan seperti dikutip dari buku Modul Fikih Ibadah oleh Rosidin.

Orang tua boleh meniatkan zakat fitrah untuk anaknya yang masih kecil atau belum baligh. Sebaliknya, anak yang sudah dewasa atau baligh sudah sepatutnya membaca niat zakat fitrah untuk diri sendiri karena dianggap sudah mukallaf. Berikut bacaannya.


A. Doa zakat fitrah untuk diri sendiri dan keluarga

Menurut mazhab Syafi’i, urutan mengeluarkan zakat fitrah dimulai dari diri sendiri, lalu istri, anak yang belum baligh, ayah, ibu, kemudian anaknya yang sudah baligh. Bila masih memiliki kelebihan rezeki, disunahkan mengeluarkan zakat fitrah untuk para pembantu, pegawai, atau keluarga besarnya.


1. Doa zakat fitrah untuk diri sendiri

ﻧَﻮَﻳْﺖُ أَﻥْ أُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻋَﻦْ ﻧَﻔْسيْ ﻓَﺮْﺿًﺎ ﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

Bacaan latin: Nawaitu an ukhrija zakaata al-fitri ‘an nafsi fardhan lillahi ta’ala

Artinya: “Saya niat mengeluarkan zakat fitrah dari diri saya, fardhu karena Allah Ta’ala.”


2. Doa zakat fitrah untuk anak perempuan

ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺃَﻥْ ﺃُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِﻋَﻦْ ﺑِﻨْﺘِﻲْ … ﻓَﺮْﺿًﺎ ﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

Bacaan latin : Nawaitu an ukhrija zakaatal fitri ‘an bintii [ … ] fardhan lillahi ta’aala

Artinya: “Saya niat mengeluarkan zakat fitrah untuk anak perempuanku [sebutkan nama], fardu karena Allah Ta’ala.”


3. Doa zakat fitrah untuk anak laki-laki

ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺃَﻥْ ﺃُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻋَﻦْ ﻭَﻟَﺪِﻱْ … ﻓَﺮْﺿًﺎ ﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

Bacaan latin: Nawaitu an ukhrija zakaatal fitri ‘an waladii [ … ] fardhan lillahi ta’aala

Artinya: “Saya niat mengeluarkan zakat fitrah untuk anak laki-lakiku [sebutkan nama], fardu karena Allah Ta’ala.”


4. Doa zakat fitrah untuk suami atau istri

ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺃَﻥْ ﺃُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِﻋَﻦْ ﺯَﻭْﺟَﺘِﻲْ ﻓَﺮْﺿًﺎ ِﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

Bacaan latin: Nawaitu an ukhrija zakaatal fitri ‘an zaujatii/zaujii fardhan lillahi ta’aala

Artinya: “Saya niat mengeluarkan zakat fitrah untuk suami atau istri saya, fardhu karena Allah Ta’ala.”


B. Doa menerima zakat fitrah

Tidak hanya doa zakat fitrah bagi pemberinya, para golongan penerima zakat fitrah juga disunnahkan untuk membaca doa saat menerimanya. Rasulullah SAW sendiri dalam haditsnya menganjurkan untuk mendoakan seseorang yang telah memberi zakat fitrah sebagai ucapan terima kasih.


1. Doa menerima zakat fitrah versi pertama

جَزَا ك الله خَيْرًاكَثِيْرًا

Bacaan latin: Jazakallahu khairan katsiran

Artinya: “Semoga Allah memberimu balasan kebaikan yang banyak.”
2. Doa menerima zakat fitrah versi kedua

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِمْ

Bacaan latin: Allaahumma shaalli ‘alaihim

Artinya: “Ya Allah, berilah rahmat atau berkah atas mereka,” (HR Bukhari)


3. Doa menerima zakat fitrah versi ketiga

آجَرَكَ اللَّهُ فِيما أعْطَيْتَ وَجَعَلَهُ لَكَ طَهُوراً وَبَارَكَ لَكَ فِيما أَبْقَيْتَ

Bacaan latin: Ajarakallahu fiimaa a’thaita wa ja’alahuu laka thahuuraa wa baaraka laka fiimaa abqaita

Artinya: “Semoga Allah memberikan ganjaran pahala terhadap harta yang telah engkau berikan dan menjadikannya penyuci bagimu, serta semoga Allah memberikan keberkahan hartamu yang masih tersisa padamu,”


Zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan bagi setiap muslim pada bulan Ramadan, khususnya menjelang Idul Fitri. Besaran zakat fitrah setiap orang adalah satu sha’ atau sekitar 2,5 kilogram makanan pokok.

عَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: – فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى اَلْعَبْدِ وَالْحُرِّ, وَالذَّكَرِ, وَالْأُنْثَى, وَالصَّغِيرِ, وَالْكَبِيرِ, مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ اَلنَّاسِ إِلَى اَلصَّلَاةِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Artinya: “Dari Ibnu Umar RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum bagi setiap budak, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak-anak, dewasa dari kalangan muslimin. Rasulullah SAW memerintahkan pembayarannya sebelum orang-orang keluar rumah untuk salat Id,” (HR Bukhari dan Muslim).

Sebagai bentuk menunaikan kewajiban, sudah sepatutnya dilakukan dengan cara yang tepat termasuk seperti, membaca doa zakat fitrah saat berniat menyerahkannya. Berlaku juga bagi yang menerima zakat fitrahnya.

DETIK

Ramadhan Bulan Turunnya Alquran, ini Penjelasannya

Pakar Tafsir Alquran yang juga kepala Pentashihan Mushaf Alquran Kementerian Agama RI, KH Mukhlis Muhammad Hanafie mengatakan Allah SWT memperkenalkan Ramadhan sebagai bulan turunnya Alquran. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah:

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil) ….. (Alquran surat Al Baqarah ayat 185).

Bahkan menurut Kiai Mukhlis seluruh kitab suci yang Allah turunkan kepada nabi dan rasul diturunkan pada bulan Ramadhan. Turunnya Alquran di bulan Ramadhan membuat bulan tersebut mempunyai kemuliaan dan keagungan dibanding bulan-bulan lainnya,

Lebih lanjut kiai Mukhlis menjelaskan saat Ramadhan Rasulullah ﷺ setiap malam di bulan Ramadhan dijumpai malaikat Jibril. Rasul bertadarus Alquran dengan malaikat Jibril. Menurut kiai Mukhlis, tadarus yang dimaksud bukan sekedar membaca atau tilawah tetapi ada proses interaksi antara rasul dengan malaikat Jibril. Para ulama terdahulu dan para wali Allah juga memiliki kebiasaan dekat dengan Alquran di bulan Ramadhan. 

Kiai Mukhlis menjelaskan kendati para ulama sepakat bahwa Alquran turun di bulan Ramadhan, tetapi terdapat perbedaan pendapat prihal cara dan waktu turunnya Alquran. Sebagian ulama berpendapat bahwa Alquran diturunkan dalam dua tahap, yakni tahap turunnya Alquran dari Lauhul Mahfuz ke Baitul Izzah atau langit dunia dirurunkan sekaligus, dan tahal Alquran diturunkan dari Baitul Izzah ke Rasulullah secara bertahap atau berangsur-angsur selama 23 tahun. 

Ulama yang berpendapat demikian membedakan penggunaan kata anzala, unzila dan anzalna dengan kata nazala. Mereka berpendapat anzala, unzila dan anzalna bermakna sesuatu yang turun sekaligus, sedang nazzalna bermakna sesuatu yang turun berangsur-angsur.  Sementara sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa Alquran itu turunnya berangsur-angsur dari Lauhil Mahfudz ke Nabi Muhammad ﷺ tanpa terlebih dulu ke Baitul Izzah. Namun terlepas dari cara dan waktu turunnya Alquran, menurut kiai Mukhlis turunnya Alquran telah membuka mata dunia tentang pentingnya ilmu pengetahuan. 

“Lima ayat yang pertama turun di gua hira itu menunjukan apresiasi Alquran yang luar biasa terhadap ilmu pengetahuan. 

Maka sejatinya umat islam, umat alquran, itu adalah umat yang maju dibidang ilmu pengetahuan,” kata kiai Mukhlis dalam pengajian tematik tafsir Alquran Masjid Istiqlal Jakarta pada Jumat (15/4). 

Kiai Mukhlis mengatakan pada lima ayat yang diturunkan pertama kali pada nabi Muhammad SAW terdapat kata iqra yang terulang dua kali, kemudian ada juga kata al’ilm dengan berbagai perubahannya yang terulang tiga kali, dan terdapat juga kata alqolam. Apresiasi Alquran pada ilmu pengetahuan tidak hanya tergambar pada lima ayat di awal surat Al Alaq, tetapi juga ayat lainnya dalam Alquran berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Misalnya saja kata ‘ilmu dengan berbagai perubahannya yang terulang dalam Alquran tak kurang dari delapan ratus kali. Dalam Alquran juga tak kurang terdapat 750 ayat yang mengandung isyarat ilmiah. Seperti terkait dengan astronomi, biologi dan lainnya.

Menurut kiai Mukhlis kata iqra mengandung makna menghimpun, mencermati, menganalisis. Para ulama tafsir berpendapat bahwa objek dari iqra bersifat umum. Artinya setiap manusia diperintahkan untuk membaca seluruh ilmu.  

“Dengan menyebutkan bismirabbika, itu artinya kita diperintahkan untuk membaca apa saja tanda-tanda alam semesta ini yang diharapkan dapat menjaga kelangsungan hidup kita. Jadi ilmu yang diperintahkan untuk dicari itu tidak terbatas pada ilmu ilmu keagamaan. Tetapi ilmu-ilmu yang bisa menjaga kelangsungan hidup kita, memelihara keutuhan kita, kejiwaan kita, maka disini ilmu sosiologi, astronomi itu juga diperintahkan untuk dipelajari,” katanya. 

IHRAM

Pembatal Puasa

Soal:

Apa saja pembatal-pembatal puasa?

Jawab:

Hal-hal yang dapat membatalkan puasa adalah sebagai berikut.

  1. Jima’ (bersetubuh) di siang hari
  2. Makan
  3. Minum

Dalil bahwa makan, minum, dan jima’ termasuk pembatal puasa adalah firman Allah Ta’ala,

فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَٱشْرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلأسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ

Maka sekarang campurilah mereka (istri) dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian, dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa hingga datang malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)

  1. Mengeluarkan mani dengan syahwat

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala di dalam hadits qudsi tentang puasa,

يَدَعُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى

Ia tinggalkan makan, minum, dan syahwatnya karena-Ku.” (HR. Muslim no. 1151)

Mengeluarkan mani termasuk syahwat sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berkumpulnya kalian dengan istri kalian adalah shadaqah.” Lantas para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kami ketika mendatangi syahwatnya lalu ia mendapat pahala?” Nabi menjawab, “Bagaimana pendapat kalian jika ia menempatkan syahwatnya pada tempat yang haram, bukankah ia mendapat dosa? Maka demikianlah, apabila ia menempatkan syahwatnya pada tempat yang halal maka ia mendapat pahala karenanya.” (HR. Muslim no. 1006). Sesuatu yang ditempatkan yakni maksudnya adalah mani yang memancar. Oleh karena itu, pendapat yang lebih kuat bahwa madzi tidak membatalkan puasa meskipun keluar dengan syahwat dan cumbuan tanpa terjadi hubungan badan.

  1. Hal-hal yang serupa dengan makan dan minum

Yaitu injeksi (infus) asupan  yang membuat seseorang tidak membutuhkan makan dan minum. Hal ini meskipun bukan makanan dan minuman tetapi semakna dengan makan dan minum yang mana ia tidak lagi memerlukan makan dan minum disebabkan injeksi tersebut. Sesuatu yang serupa dengan suatu hal, maka ia dihukumi sebagaimana hal tersebut. Oleh karena itu, tubuh tetap mendapatkan asupan dengan injeksi tersebut meskipun tubuh tidak memperoleh asupan dari sumber yang lain. Adapun injeksi yang tidak memberikan asupan dan tidak menggantikan posisi makan dan minum, maka ini tidak membatalkan puasa baik seseorang memasukkannya ke dalam pembuluh darah, otot, maupun tempat yang lain dari badannya.

  1. Muntah dengan sengaja

Yaitu seseorang memuntahkan isi perutnya sehingga keluar dari mulutnya. Hal ini sebagaimana hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَن اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِ وَمَنْ ذَرَعَهُ القَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ

Barangsiapa yang muntah dengan sengaja, maka wajib mengqadha. Dan barangsiapa yang muntah tanpa sengaja maka tidak ada qadha baginya.” (HR. Abu Dawud no. 2380 dan Tirmidzi no. 720)

Hikmahnya, apabila seseorang muntah dengan sengaja, maka perutnya akan kosong dari makanan sehingga badan membutuhkan makanan yang akan mengisi perutnya yang ksosong. Oleh karena itu kami katakan: apabila puasanya adalah puasa wajib, maka tidak boleh bagi seseorang untuk muntah dengan sengaja karena jika ia melakukannya, maka puasa wajibnya akan batal.

  1. Keluarnya darah dengan bekam

Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَفْطَرَ الحَاجِمُ وَالمَحْجُومُ

Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya.” (HR. Bukhari no. 1937 dan Tirmidzi no. 774)

  1. Keluarnya darah haidh dan nifas

Ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wanita,

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ

Bukankah jika seorang wanita haidh maka ia tidak shalat dan tidak puasa.” (HR. Bukhari no. 304 dan Muslim no. 79)

Para ulama rahimahumullah bersepakat bahwa puasanya wanita yang haidh maupun nifas tidak sah.

Pembatal-pembatal puasa tidaklah merusak puasa kecuali dengan 3 syarat.

  1. Ilmu

Yakni mengetahui hukum syar’i dan mengetahui kondisi yaitu waktu. Apabila ia tidak mengetahui hukum syar’i atau waktu maka puasanya sah. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Ya Rabb kami, janganlah engkau menyiksa kami jika kami lupa atau keliru.” Lantas Allah Ta’ala menjawab, “Telah aku lakukan.” Demikian pula firman Allah Ta’ala,

وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَٰكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ

 “Tidak ada dosa atas kalian terhadap apa yang kalian keliru padanya, tetapi yang ada dosanya adalah apa yang disengaja oleh hatimu.” (QS. Al-Ahzab: 5).

Kedua ayat ini merupakan dalil yang umum.

Demikian pula dalil dari hadits yang merupakan dalil khusus mengenai puasa. Di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berpuasa dan meletakkan dua ‘iqal –tali yang dipakai untuk mengikat kaki depan unta ketika menderum- di bawah bantal. Salah satu tali berwarna hitam dan satunya putih. Ia mulai makan dan minum hingga nampak jelas tali warna putih dari tali warna hitam kemudian dia menahan diri dari makan dan minum. Ketika pagi hari, ia menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyampaikan apa yang ia lakukan. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tali putih dan hitam di dalam ayat adalah tanda yang telah dikenal. Maksud dari tali putih adalah terangnya siang sedangkan tali hitam adalah gelapnya malam. Meskipun demikian Nabi tidak menyuruhnya mengqadha puasa (HR. Bukhari no. 1916 dan Muslim 1090) karena ia tidak tau hukum dan mengira itulah makna ayat yang mulia.

Adapun ketidaktahuan dengan waktu, terdapat dalil di dalam Shahih Bukhari dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kami tidak puasa di hari yang mendung lalu terbitlah matahari”  (HR. Bukhari no. 1959). Meskipun demikian, Nabi tidak menyuruh mereka untuk mengqadha. Seandainya qadha hukumnya wajib, tentu Nabi akan memerintah mereka dan seandainya Nabi menyuruh mereka, tentu hal itu akan disampaikan kepada umat sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9).

Ketika hal tersebut tidak disampaikan padahal telah terpenuhi faktor-faktor pendorong untuk menyampaikannya, maka diketahui bahwa Nabi tidak memerintahkan qadha. Apabila Nabi tidak menyuruhnya, diketahui bahwa qadha tidaklah wajib. Contoh yang lain, apabila seseorang bangun tidur dan ia mengira bahwa masih malam lantas ia makan dan minum kemudian nampaklah bahwa ia makan dan minum setelah terbit fajar, maka ia tidak terkena kewajiban qadha karena ia tidak tahu.

  1. Ingat

Yakni lawan dari lupa. Seandainya seseorang makan dan minum karena lupa maka puasanya sah dan tidak ada kewajiban qadha sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Ya Rabb kami, janganlah engkau menyiksa kami jika kami lupa atau keliru.” Lantas Allah Ta’ala menjawab, “Telah aku lakukan.” Demikian pula hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang lupa bahwa ia puasa lantas ia makan atau minum maka sempurnakanlah puasanya karena Allah telah memberinya makan dan minum.” (HR. Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155)

  1. Sengaja

Yakni seseorang mempunyai pilihan untuk melakukan pembatal puasa. Apabila ia tidak punya pilihan maka puasanya sah baik itu dipaksa atau tidak. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala tentang orang yang dipaksa untuk kafir,

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Barangsiapa kafir kepada Allah setelah ia beriman kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tetap tenang dalam keimanan. Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka atasnya murka Allah dan baginya adzab yang besar.” (QS. An-Nahl: 106).

Apabila hukum kekafiran diampuni karena dipaksa, maka hukum-hukum di bawah kekafiran lebih layak untuk diberi ampunan. Demikian pula hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku sesuatu yang dilakukan karena salah, lupa dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah no. 2045)

Dengan demikian, seandainya ada debu yang terbang dan masuk ke hidung dan terasa di kerongkonan lalu turun ke lambung maka puasanya tidak batal karena tidak sengaja. Demikian juga seandainya seseorang dipaksa untuk membatalkan puasa lantas ia berbuka dalam rangka mencegah paksaan maka puasanya sah karena ia tak punya pilihan. Demikian pula seandainya seseorang bermimpi lalu keluar mani ketika tidur maka puasanya sah karena orang yang tidur tidak melakukannya dengan sengaja. Demikian pula seandainya seorang suami memaksa istrinya padahal istrinya puasa lantas berhubungan intim dengannya maka puasa sang istri tidak batal karena ia tidak punya pilihan.

Terdapat masalah yang wajib untuk dipahami yakni seorang laki-laki apabila batal puasanya karena jima’ di siang hari Ramadhan dan ia wajib puasa, maka dampak dari jima’nya ada 5 hal.

  1. Berdosa
  2. Wajib menahan diri dari makan dan minum di sisa hari.
  3. Batal puasanya
  4. Wajib qadha
  5. Wajib membayar kafarah.

Tidak ada beda apakah laki-laki tersebut mengetahui konsekuensi dari jima’ ataukah tidak yakni apabila seorang laki-laki bersetubuh di siang Ramadhan dan ia wajib puasa, tetapi ia tidak tahu bahwa ia wajib membayar kafarah. Maka, ia tetap dikenai hukum-hukum yang telah disebutkan di atas karena ia menyengaja untuk merusak puasanya dan kesengajaan untuk membatalkan puasa mewajibkan ia terkena hukuman jima’. Bahkan di dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa datang seorang laki-laki menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, celakalah aku.” Lantas Nabi bertanya, “Apa yang menyebabkanmu celaka?” Ia menjawab, “Aku berhubungan intim dengan istriku di siang Ramadhan padahal aku puasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahnya untuk membayar kafarah (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111). Padahal laki-laki tersebut tidak mengetahui apakah ia wajib membayar kafarah atau tidak ketika melakukan jima’. Pada perkataan kami “Ia wajib puasa” mengecualikan kondisi semisal seorang laki-laki yang berpuasa Ramadhan lantas ia jima’ dalam keadaan ia sedang safar maka ia tidak wajib membayar kafarah. Contohnya ada laki-laki yang bepergian bersama istrinya di bulan Ramadhan dan keduanya berpuasa. Kemudian, laki-laki tersebut berkumpul dengan istrinya maka ia tidak dikenai kewajiban kafarah. Hal tersebut karena musafir jika berpuasa, ia tidak wajib menyempurnakannya. Jika ia ingin berpuasa, maka ia sempurnakan. Jika tidak, ia berbuka dan wajib qadha.

Diterjemahkan dari Fatawa Arkanil Islam, karya Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cetakan Muassasah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Al-Khairiyyah, Saudi, hal. 563-570.

Penulis: Deni Putri Kusumawati

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/10241-pembatal-puasa.html

Hukum Melakukan Hubungan Badan di Siang Ramadhan dalam Keadaan Lupa

Jika suami istri melakukan hubungan intim pada siang Ramadhan, maka dikenakan bayar kafarat. Namun bagaimana jika melakukan hubungan intim tersebut dalam keadaan lupa? Nah berikut adalah perbedaan ulama madzhab 4 mengenai, hukum melakukan hubungan badan di siang Ramadhan dalam keadaan lupa. 

Menurut Madzhab Syafi’i dan Abu Hanifah, pasutri yang melakukan hubungan badan di bulan puasa dalam keadaan lupa itu tidak wajib qada dan membayar kafarah. Versi Imam Malik, dia hanya wajib qada, tanpa harus membayar kafarah.

Lain halnya dengan Imam Ahmad dan Ahlul Dzahir yang berpendapat bahwasanya ia wajib qada dan membayar kafarat, meskipun ia dalam keadaan lupa.

Ibnu Rusyd membeberkan, mengapa bisa terjadi Perbedaan ini. Beliau mengatakan:

وَسَبَبُ اخْتِلَافِهِمْ فِي قَضَاءِ النَّاسِي مُعَارَضَةُ ظَاهِرِ الْأَثَرِ فِي ذَلِكَ لِلْقِيَاسِ.

“Perbedaan ini dilatar belakangi oleh kontradiktifnya dzahir al-atsar (leksikal hadis) dan qiyas (analogi) terhadap qada’ nya orang yang lupa tadi”. 

Jika menggunakan metode istinbat yang berupa Qiyas, yakni Madzhab Maliki, maka orang yang lupa dalam berhubungan badan tadi (yakni lupa kalau ia sedang puasa) dianalogikan dengan orang yang lupa saat sholat. Jika demikian, niscaya wajib qada, seperti halnya kewajiban qadha bagi orang yang lupa saat sholat. 

Adapun Atsar yang bertentangan dengan qiyas di atas adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, yang Mana Abu Hurairah menceritakan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ. وَهَذَا الْأَثَرُ يَشْهَدُ لَهُ عُمُومُ قَوْلِهِ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ -: رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ.

Sesiapa yang sedang berpuasa, lalu ia makan atau minum, maka hendaknya ia menyempurnakan puasanya, sebab yang demikian adalah pemberian dari Allah Swt. Dan atsar ini juga masuk pada keumuman sabda Rasulullah saw lainnya yang berbunyi “kelupaan dan kesalahan yang ada pada umatku, niscaya ia tidak akan ditulis dalam catatan amal”.

Atsar ini dijadikan istidlal oleh Madzhab Syafii dan Abu Hanifah, jadi keduanya meninggalkan metode istinbat qiyas. Adapun pendapat yang menyatakan wajibnya qadha dan kafarat, yakni Madzhab Hambali dan Al-Dzahiri, pendapat ini dinilai daif oleh Ibnu Rusyd. Wallahu A’lam bi Al-shawab. 

Keterangan ini disarikan dari karya Ibnu Rusyd Al-Hafid yang berjudul Bidayat Al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid. Demikian penjelasan terkait hukum melakukan hubungan badan di siang Ramadhan dalam keadaan lupa.

BINCANG SYARIAH

Hukum Makan Berlebihan Ketika Sahur

Ketika kita makan sahur, terkadang kita makan sahur terlalu banyak dan berlebihan hingga kekenyangan dengan tujuan agar saat menjalani puasa tidak terlalu lapar. Sebenarnya, bagaimana hukum makan berlebihan ketika makan sahur?

Makan terlalu banyak dan berlebihan ketika makan sahur hingga menyebabkan kekenyangan hukumnya adalah makruh. Meski tujuannya agar supaya tidak terlalu lapar saat menjalani puasa, namun makan sahur berlebihan tetap termasuk perbuatan yang tidak terpuji dalam Islam.

Ketika kita makan sahur, kita dianjurkan untuk makan dan minum secukupnya saja tanpa berlebihan. Makan sahur terlalu banyak sehingga sampai jatuh pada sikap tabdzir dan israf sangat tidak dianjurkan. Allah tidak suka kepada orang-orang yang bersikap israf atau berlebihan ketika makan, termasuk ketika makan sahur. Ini sebagaimana firman Allah dalam surah Al-A’raf ayat 31 berikut;

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Makan dan minumlah kalian dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

Selain itu, makan terlalu banyak ketika makan sahur bertentangan dengan tujuan puasa itu sendiri. Karena salah satu tujuan puasa adalah agar kita dapat mengurangi makan. Ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin berikut;

فإن الطعام الحلال إنما يضر بكثرته لا بنوعه فالصوم لتقليله

Makanan halal itu bisa berbahaya (bagi tubuh) hanya karena banyaknya, bukan disebabkan jenis makanan halal itu sendiri. Maka puasa untuk mengurangi makan.

Dalam kitab Al-Shiyam, Syaikh Abdullah Sirajuddin Al-Husaini mengingatkan agar kita tidak makan terlalu kenyang dan israf saat berbuka dan makan sahur. Beliau berkata sebagai berikut;

وينبغي للصائم ان لا يفرط في ماكله ولا يخلط بين انواع من المطعومات حين الفطر وحين يتسحر بل ينبغي التوسط في امره كله قال صلى الله عليه وسلم: بحَسْب ابن ادم لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ غَلَبَتْ الْآدَمِيَّ نَفْسُهُ، فَثُلُثٌ لِلطَّعَامِ، وَثُلُثٌ لِلشَّرَابِ، وَثُلُثٌ لِلنَّفَسِ

Selayakanya bagi orang yang berpuasa untuk tidak makan berlebihan dan mencampur (mengonsumsi) berbagai makanan ketika berbuka dan ketika makan sahur. Sebaliknya, dia selayaknya sedang-sedang saja dalam segala urusannya.

Nabi Saw bersabda; Cukuplah makanan seseorang itu beberapa suap saja untuk menegakkan tulang sulbinya (sekadar untuk bertahan hidup). Jika memang nafsu makan untuk mendorongnya lebih, maka cukuplah sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiganya lagi untuk udara dalam perut.

Demikian penjelasan hukum makan berlebihan ketika sahur. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Tiga Waktu Terkabulnya Doa di Bulan Ramadhan

Ada tiga waktu terkabulnya doa di bulan Ramadhan. Raihlah keutamaan tersebut dengan terus memperbanyak doa.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 186)

Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa masalah ini disebutkan di sela-sela penyebutan hukum puasa. Ini menunjukkan mengenai anjuran memperbanyak do’a ketika bulan itu sempurna, bahkan diperintahkan memperbanyak do’a tersebut di setiap kali berbuka puasa. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2: 66).

Pernyataan yang dikatakan oleh Ibnu Katsir menunjukkan bahwa bulan Ramadhan adalah salah waktu terkabulnya do’a. Namun do’a itu mudah dikabulkan jika seseorang punya keimanan yang benar.

Ibnu Taimiyah berkata, “Terkabulnya do’a itu dikarenakan benarnya i’tiqod, kesempurnaan ketaatan karena di akhir ayat disebutkan, ‘dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran’.” (Majmu’ah Al Fatawa, 14: 33-34).

Perihal Ramadhan adalah bulan do’a dikuatkan lagi dengan hadits dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِلّهِ فِى كُلِّ يَوْمٍ عِتْقَاءَ مِنَ النَّارِ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ ,وَإِنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ دَعْوَةً يَدْعُوْ بِهَا فَيَسْتَجِيْبُ لَهُ

Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari api neraka pada setiap hari di bulan Ramadhan, dan setiap muslim apabila dia memanjatkan do’a, akan dikabulkan.” (HR. Al Bazaar. Al Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 10: 14 mengatakan bahwa perowinya tsiqoh -terpercaya-. Lihat Jami’ul Ahadits, 9: 224)

Ada tiga waktu utama terkabulnya do’a di bulan Ramadhan:

1- Waktu sahur

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

Rabb kita tabaraka wa ta’ala turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Lantas Allah berfirman, “Siapa saja yang berdo’a kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku beri. Siapa yang meminta ampunan kepada-Ku, maka akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari, no. 1145 dan Muslim, no. 758). Ibnu Hajar juga menjelaskan hadits di atas dengan berkata, “Do’a dan istighfar di waktu sahur mudah dikabulkan.” (Fath Al-Bari, 3: 32).

2- Saat berpuasa

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

Tiga orang yang do’anya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan do’a orang yang dizalimi.” (HR. Ahmad 2: 305. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih dengan berbagai jalan dan penguatnya)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Disunnahkan orang yang berpuasa untuk memperbanyak do’a demi urusan akhirat dan dunianya, juga ia boleh berdo’a untuk hajat yang ia inginkan, begitu pula jangan lupakan do’a kebaikan untuk kaum muslimin secara umum.” (Al-Majmu’, 6: 273)

3- Ketika berbuka puasa

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

Ada tiga orang yang do’anya tidak ditolak : (1) Pemimpin yang adil, (2) Orang yang berpuasa ketika dia berbuka, (3) Do’a orang yang terzalimi.” (HR. Tirmidzi no. 2526, 3598 dan Ibnu Majah no. 1752. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan). Dalam Tuhfah Al-Ahwadzi (7: 278) disebutkan bahwa kenapa do’a mudah dikabulkan ketika berbuka puasa yaitu karena saat itu, orang yang berpuasa telah menyelesaikan ibadahnya dalam keadaan tunduk dan merendahkan diri.

Moga Allah memperkenankan setiap do’a kita di bulan Ramadhan.

@ Amaris Hotel Tebet, 20 Sya’ban 1436 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/11185-tiga-waktu-terkabulnya-doa-di-bulan-ramadhan.html

Keistimewaan Malam Lailatul Qadar

Pada bulan Ramadhan terdapat malam yang sangat istimewah, yakni malam Lailatul Qadar. Di malam ini, Allah akan membuka pintu-pintu ampunannya kepada umat Islam yang memohon ampunan. Maka tak heran bila banyak umat muslim akan berlomba-lomba berjumpa dengan Lailatul Qadar.

Dalam bukunya Jaminan Mendapat Lailatul Qadr, Ahmad Sarwat menyebutkan ada lima keutamaan pada malam Lailatul Qadr. 

1. Malam Turunnya Alqur’an

Malam Lailatul Qadar adalah malam diturunkannya Alqur’an kepada Nabi Muhammad SAW. Hal ini disebutkan dalam firman Allah SWT di dalam surat Al Qadr.

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ، وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ, لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ، سَلَامٌ هِيَحَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alqur’an) pada malam qadar. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar.” (QS. Al-Qadar : 1-5)

Alqur’an adalah kitab suci yang paling mulia, yang merupakan mukjizat utama Rasulullah SAW. Kitab suci yang abadi dan keabadiannya dijamin Allah SWT sampai nanti terjadi hari kiamat.

2. Lebih Baik dari Seribu Bulan

Lailatul Qadr adalah satu malam penting yang terjadi pada bulan Ramadhan, yang dalam Alqur’an digambarkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Keistimewaan malam ini dapat dijumpai pada Surat Al Qadr.

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alqur’an) pada malam Qadar. Dan tahukah kamu apakah malam Qadar itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadar : 1-3)

Para ulama menetapkan bahwa bila seseorang beramal shalih di malam Qadar itu, maka dia akan mendapat pahala seperti ia melakukannya dalam 1000 bulan. 

3. Turunnya Para Malaikat

Terusan ayat di atas adalah penegasan dari Allah SWT bahwa di malam itu turunlah para malaikat ke atas muka bumi.

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ

“Para malaikat dan ruh turun di malam itu dengan izin dari Tuhan mereka dengan segala urusan,” (QS. Al-Qadar : 4)

Al-Imam Al-Qurthubi menyebutkan bahwa dari setiap lapis langit dan juga dari Sidratil Muntaha, para malaikat turun ke bumi, untuk mengamini doa umat Islam yang dipanjatkan di sepanjang malam itu hingga terbitnya fajar, atau masuknya waktu shubuh. Selain itu disebutkan bahwa para malaikat turun untuk membawa ketetapan taqdir untuk setahun ke depan.

4. Keselamatan

Malam Qadar juga disebutkan dalam lanjutan ayat di atas sebagai malam yang ada di dalamnya keselamatan hingga terbitnya fajar.

Adh-Dhahhak berkata bahwa maksudnya pada malam itu Allah SWT tidak menetapkan sesuatu kecuali keselamatan hingga datangnya fajar.

Sedangkan di malam lain, selain keselamatan juga Allah SWT menetapkan bala’. Mujahid berkata bahwa maksudnya malam itu malam yang di mana setan tidak bisa melakukan perbuatan jahat dan keburukan.

5. Eksklusif Milik umat Muhammad SAW

Jumhur ulama sepakat bahwa keistimewaan malam Qadar ini hanya berlaku untuk umat Muhammad SAW saja. Sedangkan umat-umat terdahulu tidak mendapatkan keistimewaan ini.

Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Malik dalam Al-Muwaththa’

“Rasulullah diperlihatkan umur-umur manusia sebelumnya -yang relatif panjang- sesuai dengan kehendak Allah, sampai (akhirnya) usia-usia umatnya semakin pendek (sehingga) mereka tidak bisa beramal lebih lama sebagaimana umat-umat sebelum mereka beramal karena panjangnya usia mereka. Maka Allah memberikan Rasulullah Lailatul Qadr yang lebih baik dari seribu bulan. (HR. Malik) 

Hadits ini menjelaskan bahwa ditetapkannya malam Qadar setara dengan seribu bulan adalah sebagai fasilitas bagi umat Nabi Muhammad SAW bila ingin mendapatkan banyak pahala. Karena bila dibandingkan usia umat-umat terdahulu, usia umat Nabi SAW, jauh lebih singkat.

IHRAM

Fatwa Ulama: Hukum Meninggalkan Puasa karena Kerja Berat

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

Seseorang meninggalkan puasa bulan Ramadan karena mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan anak keturunan (keluarga) yang menjadi tanggungannya. Bagaimanakah hukum hal tersebut?

Jawaban:

Orang tersebut meninggalkan puasa pada bulan Ramadan dengan alasan bahwa dia bekerja mencari nafkah untuk dirinya dan untuk keluarganya (misalnya dengan kerja berat, pent.). Jika dia melakukan hal itu karena salah paham terhadap dalil dengan memalingkan maknanya (baca: takwil, pent.), yaitu dia menyangka bahwa boleh tidak berpuasa sebagaimana orang sakit boleh untuk tidak berpuasa, maka diperbolehkan bagi yang tidak mampu mencari nafkah, kecuali dengan tidak berpuasa untuk tidak berpuasa. Orang ini statusnya adalah muta’awwil (salah paham terhadap dalil dengan memalingkan maknanya, pent.) dan dia wajib meng-qadha’ puasa tersebut di hari lain jika dia masih hidup atau digantikan hutang puasanya tersebut oleh orang lain jika sudah meninggal dunia. Jika tidak diganti puasanya oleh orang lain, maka wajib memberi makan kepada satu orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.

Adapun jika dia dia meninggalkan puasa bukan karena takwil (salah paham terhadap dalil dengan memalingkan maknanya), maka menurut pendapat terkuat dari perkataan para ulama rahimahumullah bahwa semua ibadah yang sudah ditentukan waktu pelaksanaannya, jika seseorang sengaja tidak melaksanakannya di waktu yang sudah ditentukan tersebut tanpa ada uzur (alasan) yang bisa dibenarkan, maka ibadah tersebut (ketika dia lakukan di luar waktunya, pent.) menjadi tidak diterima.

Cukuplah baginya (untuk bertobat) dengan memperbanyak amal saleh, memperbanyak amal ibadah sunah, dan istigfar. Dalil masalah ini adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadis yang sahih,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amal tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Sebagaimana ibadah yang sudah ditentukan waktunya itu tidak boleh dikerjakan sebelum waktunya, maka demikian pula ibadah tersebut juga tidak boleh dikerjakan setelah waktunya. Adapun jika terdapat uzur seperti bodoh (jahil) atau lupa, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda berkaitan dengan lupa,

مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا، لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ

Siapa saja yang lupa mengerjakan salat, hendaklah dia mengerjakannya ketika ingat. Tidak ada denda (kaffarah) untuknya, kecuali itu saja.” (HR. Muslim no. 314)

Adapun tidak tahu (bodoh) ini membutuhkan perincian, namun tidak di sini aku merinci hal tersebut.

***

@Rumah Kasongan, 13 Ramadan 1443/ 15 April 2022

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Artikel: www.muslim.or.id

Catatan kaki:

Diterjemahkan dari kitab Fataawa Arkaanil Islaam, hal. 546-547, pertanyaan no. 397.

Sumber: https://muslim.or.id/74599-hukum-meninggalkan-puasa-karena-kerja-berat.html