Hati-Hati Teriak Halal Darahnya, Ingat Allah Menjaga Darah Manusia!

Pengeroyokan terhadap Ade Armando dalam aksi demontrasi kemaren 11 April 2022 menjadi perbincangan publik. Lebih-lebih ada teriakan halal darahnya. Tak ayal, banyak tokoh agama terkemuka ikut turun gunung mengomentari peristiwa tersebut.

“Halal darahnya” makna dari ungkapan tersebut adalah orang tersebut boleh dibunuh. Seharusnya ungkapan tersebut harus dijaga agar tidak memprovokasi seseorang bertindak anarkis. Lebih-lebih masalah pembunuhan.

Dalam Islam, nyawa seseorang sangat dijaga dan dilindungi. Allah swt berfirman:

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ

Artinya: “Janganlah kalian membunuh jiwa seseorang yang Allah haramkan, kecuali karena ada haq” (QS. Al An’am: 151 dan Al Isro’: 33)

Ayat ini salah satu ayat yang melarang membunuh orang lain sekalipun itu non muslim kecuali ada hak. Makna dari adanya hak yaitu seseorang melanggar aturan yang memang sampai pada taraf dibunuh, maka bagi penegak hukum berhak membunuh orang tersebut, seperti qishas dan rajam.

Di dalam agama Islam, ada beberapa kategori orang yang boleh dibunuh, yaitu sebagaimana sabda Nabi saw:

لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِ وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ

Artinya: “Tidak halal darah seorang muslim yang telah bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah, kecual sebab salah satu tiga perkara: Tsayyib (orang yang berkeluarga) yang melakukan zina, orang yang membunuh jiwa seseorang, dan orang yang meninggalkan agamanya yaitu orang yang meninggalkan golongannya” (HR. Muslim)

Siapapun yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, maka haram darahnya, sekalipun ia telah melakukan dosa besar, kecuali telah melakukan tiga hal: Pertama, orang yang sudah memiliki istri atau suami, tetapi ia melakukan zina. Kedua, seseorang yang telah membunuh orang lain tanpa ada hak. Ketiga, orang yang meninggalkan agama Islam, dan memisah dari kelompoknya. Menurut Ibn Rajab Al Hanbali, yang dimaksud orang yang meninggalkan Islam adalah orang murtad yang kembali kepada agama sebelumnya menjadi kafir[1].

Namun kebolehan membunuh orang dengan salah satu tiga kategori di atas, tidak dilakukan dengan sembarangan, namun ada tahap-tahap tertentu. Semisal ada bukti kuat bahwa orang tersebut telah melakukan salah satu tiga perkara di atas. Sebab itu, darah seseorang tidak boleh sampai menetes jika hanya dengan bukti syubhat atau masih terdapat perbedaan pendapat. Imam Al Qurtubi berkata:

وَدِمَاءُ الْمُسْلِمِيْنَ مَحْظُوْرَةٌ لَا تُسْتَبَاحُ إِلَّا بِيَقِيْنٍ وَلَا يَقِيْنَ مَعَ الْاِخْتِلَافِ

Artinya: “Darahnya orang muslim hukumnya haram, artinya tidak diperbolehkan kecuali sebab yang diyakini. Dan tidak ada keyakinan yang bersama adanya perbedaan”[2]

Selain harus ada bukti jelas, pembunuhan tidak boleh dilakukan dengan main hakim sendiri, harus melalui penegak hukum. Ini yang dimaksud dalam ayat di atas dengan “bil haq”. Selain hakim dalam hal ini sama sekali tidak berhak melakukan pembunuhan kepada siapapun.

Sebab itu, perlu hati-hati dalam mengungkapkan lisan terhadap seseorang yang dibenci, jangan sampai memprovokasi orang lain untuk bertindak kepada perbuatan yang dibenci oleh Allah swt. Bukankah dalam Kaidah Fiqh telah dijelask:

مَا حَرُمَ فِعْلُهُ حَرُمَ طَلَبُهُ

Artinya: “Apa-apa yang haram dilakukan maka haram juga mengajak orang lain melakukannya”

[1] Ibn Rajab Al Hanbali, Jami’ul Ulum Wal Hikam, Juz 1, Hal 327

[2] Al Qurtubi, Tafsir Al Qurtubi, Juz 2, Hal 48

ISLAM KAFFAH

Heboh NII Sumbar ingin Gulingkan Rezim, Inilah Hukum Makar dalam Islam

Bukan cerita baru, kehadiran Negara Islam Indonesia (NII) di berbagai daerah termasuk di Sumatera Barat (Sumbar) sejak awal memang antitesa NKRI. NII lahir sebagai bentuk ketidaksetujuan dengan republik Indonesia. Berbagai gerakan makar dilakukan oleh NII di berbagai daerah hingga berujung eksekusi pendirinya, Kartosuwiryo. Lalu, apakah NII mati?

Tidak, NII terus berkembang dalam bentuk ideologi lama tetapi dengan metode baru. Cita-cita ingin menegakkan negara Islam dan berlakunya syariat Islam masih sama. Mengganti ideologi negara adalah doktrin tidak pernah mati. Gerakan dilakukan secara rahasia dengan melakukan perekrutan. Jika sudah merasa kuat, bukan tidak mungkin makar, kudeta dan kekerasan pun akan terjadi.

NII Sumbar hanya bagian dari riak yang ada dari gerakan ini yang terungkap lebih awal. Pertanyaannya, kenapa negara Islam harus melakukan makar? Bagaimana hukum makar dalam Islam ?

Makar dalam term Islam disebut dengan bughat sebagai bentuk jamak dari baghyun yang berarti kerusakan atau tindakan yang melampaui batas. Secara umum makar merupakan perbuatan yang membelot dari ketaatan kepada pemimpin yang sah. Pembangkangan dilakukan karena mereka berpendapat bahwa pemimpin atau sistem yang ada tidak sesuai dengan pandangan mereka dan wajib dilawan dan digulingkan.

Gerakan Makar Menurut Islam

Secara umum makar atau bughat adalah pembangkangan, ketidakpercayaan dan berbagai upaya yang ingin melakukan delegitimasi pemerintahan yang sah. Dari kalangan Syafi’iyah, yakni Imam Zakariya al-Anshari mendefinisikan pemberontak sebagai sekelompok orang yang menentang imam dengan pandangan yang batil sebagai bentuk pra sangka dan keraguan. Mereka yang melakukan gerakan, menghasut dan memprovokasi masyarakat menurut hukum Islam wajib diperangi.

Dalam Islam persoalan ketaatan terhadap pemimpin menjadi salah satu hal yang sangat pokok. Urusan keumatan tidak akan terselenggara apabila tidak ada pemimpin, sehingga kedudukan pemimpin sangat dibutuhkan dalam Islam. Bahkan lebih baik mempunyai pemimpin yang zalim daripada masyarakat kacau tanpa pemimpin.  Nabi bersabda: barangsiapa yang tidak mau taat (kepada imam/pemimpin) dan memisahkan diri dari jamaah kemudia dia maya, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah. (HR Muslim).

Menaati pada pemimpin mutlak dilakukan walaupun ia zalim. Bukan berarti Islam lebih memilih dan mendiamkan pemimpin zalim, tetapi pada konteks pentingnya ada pemimpin di tengah umat. Pentingnya pemimpin ini sejalan pula dengan ketidakbolehan membangkang dari pemimpin kecuali telah nampak kekufuran yang nyata. Nyata dalam pengertian ini bukan hanya sekedar sangkaan dan multi interpretasi. Zalim yang nyata dirasakan secara obyektif, bukan subyektif penuh kepentingan politik atau kepentingan kelompok.

Meskipun pemerintah telah jelas melakukan kezaliman pembangkangan dan pemberontakan dalam Islam sangat tidak diperbolehkan. Cara-cara damai konstitusional dan demokratis adalah cara yang lebih baik untuk dilakukan. Inilah yang dikatakan Nabi : Sesungguhnya jihad yang paling utama adalah berkata yang benar di hadapan pemimpin zalim. Tetapi membangkang dan memerangi pemimpin sekalipun zalim itu sangat tegas dilarang oleh Nabi.

Pembangkangan atau makar bukan jihad. Jihad adalah upaya sungguh-sungguh untuk menciptakan perdamaian dan melindungan keamanan umat, bukan justru menghantarkan keterpecahan umat. Jika NII sejak awal ingin melakukan jihad, berjihadlah untuk memjaga bangsa ini bukan memprovakasi umat untuk tidak taat kepada pemimpin. Sebuah dosa besar bagi para pembangkang dalam Islam yang wajib diperangi. Dan Nabi mengatakan mereka yang keluar dari ketaatan terhadap pemimpin, maka matinya dalam keadaan jahiliyah.

ISLAM KAFFAH

Salah Kaprah Memaknai Silaturahim

Menyambung silaturahmi adalah salah satu amalan yang mulia dan kewajiban dalam agama. Banyak ayat Al Qur’an dan hadits yang menghasung kita untuk menyambung tali silaturahim serta menjelaskan berbagai keutamaannya. Namun, sebagian orang salah paham dalam memaknai silaturahim, yang kesalah-pahaman tersebut terjatuh pada kesalahan dalam beragama. Semoga Allah memberi hidayah.

Perintah dan keutamaan

Allah Ta’ala memerintahkan untuk menyambung tali silaturahim, dalam firman-Nya:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS. An Nisa: 36).

Allah juga berfirman:

وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros” (QS. Al Isra: 26).

Ia juga berfirman:

فَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ ذَلِكَ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung” (QS. Ar Rum: 38).

Demikian juga Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau memerintahkan umatnya untuk menyambung silaturahim, dalam sabda beliau:

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليصل رحمه، ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيراً أو ليصمت

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka sambunglah tali silaturahim. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka katakanlah yang baik atau diam” (HR. Bukhari).

Bahkan terdapat ancaman serius bagi orang yang memutus silaturahim, beliau bersabda:

لا يدخلُ الجنةَ قاطعُ رحمٍ

Tidak masuk surga orang yang memutus silaturahmi” (HR. Bukhari – Muslim).

Dan diantara keutamaan menyambung silaturahim adalah diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من أحب أن يبسط له في رزقه، وينسأ له في أثره فليصل رحمه

Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka sambunglah tali silaturahmi” (HR. Bukhari – Muslim).

Dan ia juga merupakan salah satu sebab masuknya seseorang ke dalam surga. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أيها الناس، أفشوا السلام، وأطعموا الطعام، وصلوا الأرحام، وصلُّوا بالليل والناس نيام, تدخلوا الجنة بسلام

Wahai manusia, tebarkanlah salam, berikanlah makan, sambunglah silaturahim, shalatlah pada malam hari ketika orang-orang sedang tidur, kalian akan masuk surga dengan selamat” (HR. Ibnu Majah, At Tirmidzi, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Makna silaturahim

Silaturahim (صلة الرحم) terdiri dari dua kata: shilah (صلة) dan ar rahim (الرحم). Shilah artinya menyambung. Dalam Mu’jam Lughatil Fuqaha disebutkan:

وهو مصدر وصل الشيء بالشيء: ضمّه إليه وجمعه معه

shilah adalah isim mashdar. washala asy syai’u bisy syai’i artinya: menggabungkan ini dengan itu dan mengumpulkannya bersama” (dinukil dari Shilatul Arham, 5).

Sedangkan ar rahim yang dimaksud di sini adalah rahim wanita, yang merupakan konotasi untuk menyebutkan karib-kerabat. Ar Raghib Al Asfahani mengatakan:

الرحم رحم المرأة أي بيت منبت ولدها ووعاؤه ومنه استعير الرحم للقرابة لكونهم خارجين من رحم واحدة

“ar rahim yang dimaksud adalah rahim wanita, yaitu tempat dimana janin berkembang dan terlindungi (dalam perut wanita). Dan istilah ar rahim digunakan untuk menyebutkan karib-kerabat, karena mereka berasal dari satu rahim” (dinukil dari Ruhul Ma’ani, 9/142).

Dengan demikian yang dimaksud dengan silaturahim adalah menyambung hubungan dengan para karib-kerabat. An Nawawi rahimahullah menjelaskan:

وَأَمَّا صِلَةُ الرَّحِمِ فَهِيَ الْإِحْسَانُ إِلَى الْأَقَارِبِ عَلَى حَسَبِ حَالِ الْوَاصِلِ وَالْمَوْصُولِ فَتَارَةً تَكُونُ بِالْمَالِ وَتَارَةً بِالْخِدْمَةِ وَتَارَةً بِالزِّيَارَةِ وَالسَّلَامِ وَغَيْرِ ذَلِكَ

“adapun silaturahim, ia adalah berbuat baik kepada karib-kerabat sesuai dengan keadaan orang yang hendak menghubungkan dan keadaan orang yang hendak dihubungkan. Terkadang berupa kebaikan dalam hal harta, terkadang dengan memberi bantuan tenaga, terkadang dengan mengunjunginya, dengan memberi salam, dan cara lainnya” (Syarh Shahih Muslim, 2/201).

Ibnu Atsir menjelaskan:

تكرر في الحديث ذكر صلة الرحم: وهي كناية عن الإحسان إلى الأقربين من ذوي النسب، والأصهار، والتعطف عليهم، والرفق بهم، والرعاية لأحوالهم، وكذلك إن بَعُدُوا أو أساءوا, وقطعُ الرحم ضِدُّ ذلك كله

“Banyak hadits yang menyebutkan tentang silaturahim. Silaturahim adalah istilah untuk perbuatan baik kepada karib-kerabat yang memiliki hubungan nasab, atau kerabat karena hubungan pernikahan, serta berlemah-lembut, kasih sayang kepada mereka, memperhatikan keadaan mereka. Demikian juga andai mereka menjauhkan diri atau suka mengganggu. Dan memutus silaturahim adalah kebalikan dari hal itu semua” (An Nihayah fi Gharibil Hadits, 5/191-192, dinukil dari Shilatul Arham, 5).

Dengan demikian, perbuatan baik dan menyambung hubungan terhadap orang yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dan nasab tidaklah termasuk silaturahim, dan tidak termasuk dalam ayat-ayat dan hadits-hadits mengenai perintah serta keutamaan silaturahim.

Salah kaprah memaknai silaturahim

Sebagian orang salah paham dalam memaknai silaturahim, dengan menganggap semua perbuatan menyambung hubungan dengan orang lain sebagai silaturahim. Jelas ini tidak tepat secara bahasa ataupun secara istilah syar’i. Dari kesalahan-pahaman ini muncul berbagai macam kesalahan lain yang sangat patut untuk kita koreksi. Diantaranya:

1. Menggunakan dalil-dalil tentang silaturahim pada perbuatan yang bukan silaturahim

Misalnya menggunakan dalil-dalil tentang silaturahim untuk mengajak orang mendatangi acara reuni sekolah, acara kumpul-kumpul rekan kerja, dan semisalnya. Lalu meyakini bahwa acara-acara ini memiliki keutamaan memanjangkan usia, meluaskan rezeki, menjadi sebab masuk surga, yang merupakan keutamaan-keutamaan silaturahim. Tentu ini tidak tepat.

2. Menggunakan dalih silaturahim untuk perbuatan yang dilarang agama

Misalnya menggunakan dalih silaturahmi untuk mengajak orang mendatangi acara karokean, merayakan ulang tahun seseorang, acara kumpul-kumpul bersama teman yang campur-baur antara lelaki dan wanita, dan sebagainya. Sehingga perbuatan-perbuatan yang dilarang agama tersebut disamarkan dengan nama silaturahmi yang merupakan kebaikan.

3. Menggunakan dalih silaturahim sehingga enggan meninggalkan keburukan

Misalnya enggan meninggalkan teman-teman yang buruk yang sering mengajak kepada maksiat dan hal-hal tidak bermanfaat dengan dalil tidak mau memutus tali silaturahim. Enggan berhenti berpacaran dengan dalil bahwa “putus” dengan pacar itu berarti memutus tali silaturahim. Enggan menolak ajakan teman untuk nongkrong tanpa manfaat dan berfoya-foya karena dalih takut memutus tali silaturahim.

Semua ini adalah kesalah-pahaman dalam memaknai dan mempraktekkan silaturahmi. Mereka mengira sedang ber-silaturahmi padahal bukan. Sehingga tidak berlaku perintah dan keutamaan-keutamaan silaturahim di dalamnya.

Selain itu, tidak dibenarkan mencampur-adukkan dan menyamarkan hal-hal yang batil dalih bahwa itu adalah perbuatan baik. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ

dan janganlah kalian mencampur-adukkan kebenaran dengan kebatilan…” (QS. Al Baqarah: 42).

Silaturahim dalam bahasa Indonesia

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, silaturahim atau silaturahmi dimaknai:

silaturahmi/si·la·tu·rah·mi/ n tali persahabatan (persaudaraan)

Maka dari sini kita ketahui terdapat perbedaan makna antara silaturahim dalam bahasa Arab atau dalam istilah syariat dengan silaturahmi dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia, silaturahmi dimaknai lebih luas kepada semua orang, tidak hanya kepada orang yang memiliki hubungan kekebaratan saja.

Tentu saja tidak terlarang menggunakan kata silaturahmi dalam konteks makna silaturahmi dalam bahasa Indonesia, yaitu bermakna: persahabatan dan persaudaraan. Namun hendaknya tidak mengaitkannya dengan perintah dan keutamaan silaturahmi dalam istilah syariat. Karena keduanya adalah hal yang berbeda.

Wallahu ta’ala a’lam.

***

Referensi utama: Shilatul Arham, Syaikh Dr. Sa’id bin Wahf Al Qahthani

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/28640-salah-kaprah-memaknai-silaturahim.html

Tentukan Jumlah Kuota Haji Reguler dan Khusus, Saudi Gunakan Sistem e-Haj

Indonesia tahun ini mendapat kuota haji sebesar 100.051 jamaah. Pemberian kuota haji ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya dimana kali ini Arab Saudi menerapkan sistem e-Hajj menentukan jumlah kuota haji khusus dan reguler ke setiap negara.

Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag Hilman Latief menegaskan bahwa besaran kuota haji reguler dan khusus sudah ditentukan sejak awal oleh Pemerintah Arab Saudi.

“Pemberian kuota haji tahun 1443 H/2022 M tidak dilaksanakan seperti tahun-tahun sebelumnya, yaitu melalui penandatangan MoU antardua negara yang diwakilkan oleh Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi dan Menteri Agama RI. Namun, kuota diberikan secara langsung oleh Pemerintah Arab Saudi melalui e-Haj,” jelas Hilman di Jakarta, Rabu (4/5/2022).

Menurutnya, penentuan kuota pada penyelenggaraan ibadah haji 1443 H/2022 M ini bersifat mandatori atau given dari Pemerintah Arab Saudi, dalam hal ini Kementerian Haji Arab Saudi. Sehingga, tidak ada ruang negosiasi dalam penentuan kuota karena tidak ada juga pembahasan MoU antarmenteri sebagaimana penyelenggaraan tahun-tahun sebelumnya.

\”Pembagian kuota haji reguler dan khusus dilakukan mengikuti alokasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Arab Saudi. Secara sistem, melalui e-Haj, Pemerintah Arab Saudi membagi sebanyak 92.825 untuk jemaah haji reguler dan 7.226 untuk jemaah haji khusus,\” tegas Hilman.

Dalam suasana pandemi, penetapan kuota haji oleh Kerajaan Arab Saudi, baru diterbitkan pada pertengahan April. Secara waktu, lanjut Hilman, informasi kepastian kuota haji tahun ini sudah sangat mepet, karena biasanya pembahasan MoU sudah dilakukan sejak bulan Desember tahun sebelumnya.

Hilman menilai, Saudi mendasarkan penetapannya pada data prosentase jemaah Indonesia tahun sebelumnya yang memang tidak persis 8 persen.

Kuota jamaah yang ditetapkan Saudi tahun ini juga lebih sedikit dari asumsi kuota yang dibahas bersama Kemenag dan DPR saat melakukan pembahasan BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji) pertengahan April lalu.

“Namun kami tetap syukuri, tahun ini ada jemaah haji Indonesia yang bisa diberangkatkan ke tanah suci untuk ibadah haji,” tutur Hilman.

Seiring waktu yang semakin mepet, Kemenag saat ini fokus kepada persiapan layanan untuk jemaah haji Indonesia di dalam dan luar negeri. “Komunikasi dan koordinasi dengan mitra kita di luar negeri terus berlanjut, baik dengan muassasah, syarikah maupun pemerintah di Saudi, sembari kita mematangkan persiapan layanan jemaah Indonesia,” tegasnya.

“Semoga kondisi segera normal sehingga tahun depan kuota haji juga kembali normal, baik reguler maupun haji khusus,” terangnya.

IHRAM

Aplikasi Cek Porsi Haji (Android), download di sini!

Penjelasan Nama Allah “Ar-Rabb” (Bag. 1)

Penjelasan Nama Allah “الربّ”

Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Makna “الربّ”

Makna bahasa “الربّ”

Kata الربّdalam bahasa Arab merupakan sifat musyabbahah [1] dengan wazan فَعْلٌ , atau mashdar, sedangkan kata kerjanya adalah

ربَّ يربُّ ربوبية atau ربَّى  يربِّي تربية

Jika dibawakan pada ربَّ يربُّ ربوبية , maka maknanya ada dua, yaitu “memiliki” (ملك) atau “men-tarbiyyah” (ربَّى). Dan yang paling kuat adalah makna men-tarbiyyah/memelihara (ربَّى). Dengan demikian, رَبٌّ  maknanya adalah مُرَبٍّ. Karena maksud “Ar-Rabb” sebagai nama Allah adalah Yang mengatur makhluk dan mengurus urusannya serta menyampaikannya kepada kesempurnaannya. [2]

Ar-Raghib rahimahullah berkata dalam Al-Mufradat (hal. 184),

الربُّ في الأصلِ التربيةُ، وهو إنشاءُ الشَّيءِ حالًا فحالًا إلى حدِّ التَّمامِ

“Ar-Rabb aslinya adalah (dari mashdar) at-tarbiyyah, yaitu menyusun sesuatu dari satu keadaan kepada keadaan yang lainnya sampai sempurna.”

Ahli tafsir lainnya menjelaskan bahwa tarbiyyah adalah,

التَّرْبِيَةُ تَبْلِيغُ الشَّيْءِ إلى كَمالِهِ تَدْرِيجًا

“Menyampaikan sesuatu kepada kesempurnaan secara bertahap.” [3]

Dengan demikian, “Rabb” secara bahasa adalah yang men-tarbiyyah (memelihara) sesuatu dari satu keadaan kepada keadaan lainnya sampai sempurna.

Makna “الربّ” sebagai nama Allah Ta’ala

Dalam mendefinisikan “الربّ” sebagai nama Allah, di antara ulama ada yang mendefinisikan dengan tiga atau empat makna, sedangkan makna-makna yang lainnya kembali kepadanya.

Misalnya, Ibnul Anbari, Az-Zujjaaji, Al-Khaththabi, Al-Qurthubi, dan Abu Ja’far Ath-Thabari rahimahumullah termasuk para ulama yang mencukupkan definisinya dengan tiga makna. Sedangkan sebagian ulama lainnya, seperti Ibnul Atsir rahimahullah mencukupkan definisinya dengan empat makna.

Syekh Abdur Razzaq hafizhahullah berkata,

الرب: ذو الربوبية على خلقه اجمعين خلقا وملكا وتصرفا وتدبيرا

“Ar-Rabb adalah Yang memiliki rububiyyah atas seluruh makhluk-Nya, dengan menciptakannya, memilikinya, berbuat atasnya (sesuai kehendak-Nya) serta mengaturnya.” [4]

Syekh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah berkata,

الرب، هو المربي جميع العالمين -وهم من سوى الله- بخلقه إياهم، وإعداده لهم الآلات، وإنعامه عليهم بالنعم العظيمة، التي لو فقدوها، لم يمكن لهم البقاء

“Ar-Rabb adalah Yang mentarbiyyah (memelihara) seluruh alam semesta (makhluk) dengan menciptakan mereka, mempersiapkan berbagai sarana untuk mereka, memberi nikmat kepada mereka dengan nikmat yang besar, yang seandainya mereka tidak mendapatkannya, maka mereka tidak mungkin bisa hidup.” [5]

Syekh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahumullah berkata,

الرب هو من اجتمع فيه ثلاثة أوصاف: الخلق، والملك، والتدبير؛ فهو الخالق، المالك لكل شيء، المدبر لجميع الأمور

“Ar-Rabb adalah Yang terkumpul tiga sifat padanya: penciptaan, kepemilikan, dan pengaturan. Jadi, Ar-Rabb adalah Yang Mahamenciptakan, Yang Mahamemiliki segala sesuatu, dan Yang Mengatur segala urusan.” [6]

Semua definisi ini tidaklah saling bertentangan, karena “الربّ” adalah nama Allah yang menunjukkan kepada sejumlah makna, bukan hanya satu makna. Bahkan jika disebutkan nama “الربّ” sendirian, hal itu menunjukkan kepada seluruh nama Allah dan sifat-Nya yang lainnya, seperti yang akan datang penjelasannya, insyaAllah.

Sifat Allah yang terkandung dalam nama “الربّ”

Dalam nama الربّterkandung sifat rububiyyah. Apakah sifat rububiyyah ini termasuk sifat dzatiyyah (sifat yang senantiasa Allah bersifat dengannya) atau sifat fi’liyyah (sifat yang terkait dengan kehendak Allah) ?

Jawabannya adalah karena nama الربّ menunjukkan kepada seluruh nama Allah dan sifat-Nya yang lainnya, maka sifat rububiyyah, ditinjau dari sisi mengandung makna tarbiyyah (yaitu penciptaan, pengaturan, pemberian nikmat, dan semisalnya), maka sifat rububiyyah merupakan sifat fi’liyyah.

Sedangkan jika ditinjau dari sisi bahwa sifat rububiyyah mengandung makna memiliki, menguasai, lagi ditaati (kandungan makna sayyid ), dan semisalnya, maka sifat rububiyyah merupakan sifat dzatiyyah. [7]

Nama “الربّ” dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah

Nama الربّsangat banyak terdapat dalam Al-Qur’an Al-Karim, baik disebutkan sendirian maupun disandarkan kepada selain-Nya. Yang disebutkan sendirian sejumlah 151 kali, sedangkan yang disebutkan dengan disandarkan sejumlah lebih dari 130 kali. Di antaranya firman Allah Ta’ala,

لَقَدْ كَانَ لِسَبَاٍ فِيْ مَسْكَنِهِمْ اٰيَةٌ ۚجَنَّتٰنِ عَنْ يَّمِيْنٍ وَّشِمَالٍ ەۗ كُلُوْا مِنْ رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوْا لَهٗ ۗبَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَّرَبٌّ غَفُوْرٌ

Sungguh, bagi kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri, (kepada mereka dikatakan), ‘Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.’” (QS. Saba’: 15)

سَلٰمٌۗ قَوْلًا مِّنْ رَّبٍّ رَّحِيْمٍ

“(Kepada mereka dikatakan), ‘Salam’; sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang.” (QS. Yasin: 58)

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ

“Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. Al-Fatihah: 2)

اِذْ قَالَ لَهٗ رَبُّهٗٓ اَسْلِمْۙ قَالَ اَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعٰلَمِيْنَ

“(Ingatlah) ketika Tuhan berfirman kepadanya (Ibrahim), ‘Berserahdirilah!’ Dia menjawab, ‘Aku berserah diri kepada Tuhan seluruh alam.’” (QS. Al-Baqarah: 131)

قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ

“Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.’” (QS. Al-An’am: 162)

قُلْ اَغَيْرَ اللّٰهِ اَبْغِيْ رَبًّا وَّهُوَ رَبُّ كُلِّ شَيْءٍۗ وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ اِلَّا عَلَيْهَاۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۚ ثُمَّ اِلٰى رَبِّكُمْ مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَ

“Katakanlah (Muhammad), ‘Apakah (patut) aku mencari tuhan selain Allah, padahal Dialah Tuhan bagi segala sesuatu. Setiap perbuatan dosa seseorang, dirinya sendiri yang bertanggung jawab. Dan seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali. Dan akan diberitahukan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan.’” (QS. Al-An’am: 164)

اِنَّ رَبَّكُمُ اللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۗ يُغْشِى الَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهٗ حَثِيْثًاۙ وَّالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُوْمَ مُسَخَّرٰتٍۢ بِاَمْرِهٖٓ ۙاَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْاَمْرُۗ تَبٰرَكَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ

“Sungguh, Tuhanmu (adalah) Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat. (Dia ciptakan) matahari, bulan, dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya. Mahasuci Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. Al-A’raf: 54)

لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ يُحْيٖ وَيُمِيْتُ ۗرَبُّكُمْ وَرَبُّ اٰبَاۤىِٕكُمُ الْاَوَّلِيْنَ

“Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Dia yang menghidupkan dan mematikan. (Dialah) Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu dahulu.” (QS. Ad-Dukhan: 8)

رَبُّ الْمَشْرِقَيْنِ وَرَبُّ الْمَغْرِبَيْنِ

“Tuhan (yang memelihara) dua timur dan Tuhan (yang memelihara) dua barat.” (QS. Ar-Rahman: 17)

وَمَا تَشَاۤءُوْنَ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam. (QS. At-Takwir: 29)

Dari hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فأمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فيه الرَّبَّ عزَّ وجلَّ

“Adapun pada saat ruku’, maka agungkanlah Ar-Rabb ‘Azza wa Jalla.” (HR. Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أقربُ ما يكونُ الربُّ من العبدِ في جوفِ الليلِ الآخرِ فإِنِ استطعْتَ أن تكونَ ممن يذكرُ اللهَ في تلْكَ الساعَةِ فكُنْ

“Paling dekatnya Ar-Rabb dengan hamba adalah pada tengah malam terakhir. Jika Engkau mampu menjadi orang yang berzikir kepada Allah di saat itu, maka jadilah orang tersebut!” (HR. At-Tirmidzi, sahih)

Kekhususan nama “الربّ”

Di antara kekhususan nama “الربّ” adalah:

Ketika nama “الربّ” disebutkan sendirian, hal itu menunjukkan seluruh nama Allah Ta’ala yang lainnya

“الربّ” adalah nama Allah yang menunjukkan kepada sejumlah makna, bukan hanya satu makna. Bahkan jika disebutkan nama “الربّ” sendirian, maka menunjukkan kepada seluruh nama Allah dan sifat-Nya yang lainnya.

Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan tentang hal ini [8]:

إن الرب هو القادر ، الخالق ، البارئ ، المصور ، الحي القيوم ، العليم ، السميع البصير ، المحسن ، المنعم الجواد ، المعطي المانع ، الضار النافع ، المقدم المؤخر الذي يضل من يشاء ويهدي من يشاء ، ويسعد من يشاء ويشقي من يشاء ، ويعز من يشاء ويذل من يشاء
~ إلى غير ذلك من معاني ربوبيته ، التي له منها ما يستحقه من الأسماء الحسنى

“Sesungguhnya Ar-Rabb adalah Al-Qodiir (Yang Mahakuasa), Al-Khaliq (Yang Mahamenciptakan), Al-Bari’ (Yang Mahamengadakan), Al-Mushawwir (Yang Membentuk rupa), Al-Hayyu (Yang Mahahidup), Al-Qoyyuum (Yang Mahamandiri dan mengurus segala sesuatu), Al-‘Aliim (Yang Mahamengetahui), As-Samii’ (Yang Mahamendengar), Al-Bashiir (Yang Mahamelihat), Al-Muhsin (Yang Mahaberbuat Baik), Al-Mun’im (Yang Mahamemberi nikmat), Al-Jawwaad (Yang Mahadermawan), Al-Mu’thi (Yang Mahamemberi), Al-Maani’ (Yang Mahamencegah), Adh-Dhaar (Yang Mahamenimpakan mudharat), An-Nafi’ (Yang Memberi manfaat), Al-Muqoddim (Yang Mahamendahulukan) lagi Al-Muakhkhir (Yang Mahamengakhirkan), Yang menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya, memberi petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya, membahagiakan siapa yang dikehendaki-Nya, menyengsarakan siapa yang dikehendaki-Nya, memuliakan siapa yang dikehendaki-Nya, menghinakan siapa yang dikehendaki-Nya, dan selainnya dari makna-makna rububiyyah-Nya, yang hanya milik Ar-Rabblah dari seluruh nama-nama terindah yang berhak dimiliki-Nya.”

Jika nama “الربّ” disebutkan tanpa disandarkan kepada kata yang lainnya, maka hanya untuk Allah semata

Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya berkata,

ولا يُستعملُ الربُّ لغيرِ اللهِ، بل بالإضافةِ، تقولُ: رَبُّ الدارِ، رَبُّ كذا، وأما الربُّ فلا يُقال إلا للهِ عز وجل

Kata “الربّ” tidaklah digunakan untuk selain Allah. Namun (jika harus digunakan untuk selain Allah), maka dengan disandarkan kepada kata lainnya. Contoh: rabbud daar (pemilik  rumah), rabbu kadza (pemilik sesuatu). Adapun jika disebut “الربّ” saja, maka tidak disebutkan, kecuali untuk Allah “Azza wa Jalla semata.”

Ibnul Atsiir rahimahullah berkata,

ولا يُطلقُ غيرَ مضافٍ إلا على اللهِ تعالى، وإذا أُطْلِقَ على غيرِهِ أُضيفَ، فيقال: رَبُّ كذا

“Tidaklah (الربّ) disebutkan tanpa disandarkan ke kata lain, kecuali untuk Allah Ta’ala. Dan jika disebutkan untuk selain-Nya, maka harus disandarkan, sehingga disebut: rabbu kadza (pemilik sesuatu).” (An-Nihayah, 1: 179) [9]

Al-Baghawi rahimahullah berkata,

وَلَا يُقَالُ لِلْمَخْلُوقِ هُوَ الرَّبُّ مُعَرَّفًا إِنَّمَا يُقَالُ رَبُّ كَذَا مُضَافًا، لِأَنَّ الْأَلِفَ وَاللَّامَ لِلتَّعْمِيمِ وَهُوَ لَا يَمْلِكُ الْكُلَّ

Kata “الربّ” tidaklah digunakan untuk makhluk, yaitu kata “الربّ” yang beralif lam ta’rif. Hanya saja, jika penyebutan untuk makhluk, maka disebutkan rabbu kadza (pemilik sesuatu), dengan disandarkan kepada kata lainnya. Karena alif lam itu menunjukkan makna umum, sedangkan makhluk tidaklah memiliki semua makna “الربّ”.

Sebagai kesimpulan, tidaklah disebut “الربّ” dengan beralif lam (tidak disandarkan kepada kata lain), kecuali untuk Allah Ta’ala saja.

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/74830-penjelasan-nama-allah-ar-rabb-bag-1.html

Hukum Puasa Syawal pada Hari Jum’at

Saat bulan Syawal, disunnahkan melaksanakan puasa 6 Syawal. Lantas bagaimana hukum puasa Syawal pada hari Jum’at, bolehkah?

Setelah bulan Ramadhan, kembali umat Islam berlomba-lomba melakukan ibadah puasa pada bulan Syawal. Namun bolehkah berpuasa pada hari Jum’at, bukankah Rasulullah memakruhakan untuk melakukan puasa sunnah di hari Jumat?

Setelah puasa Ramadhan sebulan penuh, umat Islam dianjurkan melanjutkan dengan puasa enam hari pada bulan Syawal. Diperbolehkan puasa enam hari pada hari apapun di bulan tersebut kecuali pada tanggal 1 Syawal sebab itu adalah hari raya umat Islam.

Tentang keutamaan puasa syawal sendiri, Rasul menegaskan dalam sabdanya bahwa puasa enam hari di bulan syawal seperti puasa setahun penuh. Sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Barangsiapa yang berpuasa Ramadan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.”

Namun beberapa ulama mempermasalahkan menyendirikan puasa Syawal pada hari Jumat. Sebab sebetulnya para ulama masih berbeda pendapat tentang kemakruhan puasa pada hari Jumat kecuali jika puasa wajib, ini merujuk pada hadits riwayat Abu Hurairah, Rasulullah SAW berkata:

عن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ” لا تختصوا ليلة الجمعة بقيام من بين الليالي ، ولا تخصوا يوم الجمعة بصيام من بين الأيام ، إلا أن يكون في صوم يصومه أحدكم” رواه مسلم

Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi Saw bersabda, “Jangan kalian mengkhususkan malam Jumat dari malam-malam lainnya untuk melaksanakan shalat malam dan jangan pula kalian khususkan hari Jumat dari hari-hari lainnya untuk berpuasa, kescuali salah seorang dari kalian sedang melaksanakan puasa yang biasa dia lakukan.” (HR. Muslim)

Berdasarkan sabda tersebut, Imam Suyuthi dalam Nurul Lum’ah fi Khashaishil Jum’ah memaparkan bahwa kemakruhan puasa pada hari Jumat adalah makruh menyendirikan berpuasa pada hari tersebut. Ini sebagaimana merujuk pada sabda Rasulullah Saw lainnya; لا يصومن أحدكم يوم الجمعة إلا أن يصوم قبله أو بعده

Artinya, “Janganlah kalian puasa hari Jumat melainkan puasa sebelum atau sesudahnya,” (HR Al-Bukhari).

Sejalan dengan hadis di atas, maka Imam Suyuthi mengatakan dalam kitabnya الصحيح من مذهبنا وبه قطع الجمهور كراهة صوم الجمعة منفردا، وفي وجه أنه لا يكره إلا لمن لو صامه منعه من العبادة وأضعفه

“Pendapat yang paling shahih menurut madzhab kami dan ini termasuk pendapat jumhur ulama bahwa puasa hari Jumat makruh kalau tidak puasa sebelum dan sesudahnya. Sebagian pendapat mengatakan tidak makruh kecuali bagi orang yang terhalang ibadahnya lantaran puasa dan tubuhnya lemah.”

Karenanya, maka boleh puasa Syawal pada hari Jumat asalkan dilaksanakan bersama hari sebelum sesudahnya. Namun jika menyendirikan puasa syawal hanya pada hari Jumat maka makruh.

Demikian penjelasan hukum puasa Syawal pada hari Jum’at. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Hukum Meminjam Uang di Pinjaman Online (Pinjol)

Pertanyaan:

Bagaimana hukum meminjam uang melalui aplikasi-aplikasi secara online? Apakah termasuk riba?

Jawaban:

Alhamdulillah, as shalatu was salamu ‘ala Rasulillah,

Memang di masa-masa belakangan ini semakin merebak adanya layanan pinjaman online (pinjol) di negeri kita. Mereka menawarkan pinjaman dengan proses yang cepat hanya bermodalkan handphone dan foto KTP, uang ratusan dan jutaan rupiah pun sudah di tangan. 

Namun yang jelas, dalam pinjaman online dipastikan ada bunganya. Walaupun bunganya variatif, ada yang kecil dan ada yang besar. Andaikan bunga pinjaman tersebut kecil pun, tetap termasuk riba yang diharamkan dalam agama, apalagi jika bunganya besar. Kaidah yang disepakati para ulama dalam masalah hutang-piutang:

كل قرض جَرَّ نفعاً فهو ربا

“Setiap hutang-piutang yang mendatangkan tambahan maka itu adalah riba“.

Dan para ulama sepakat tidak ada khilafiyah di antara mereka bahwa bunga dalam hutang-piutang adalah riba. Ibnu Munzir rahimahullah mengatakan: 

أَجْمَعَ كُلُّ مِنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى إبْطَالِ الْقِرَاضِ إذَا شَرَطَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا لِنَفْسِهِ دَرَاهِمَ مَعْلُومَةً

“Para ulama yang pendapatnya dianggap telah bersepakat tentang batilnya akad hutang jika dipersyaratkan salah satu atau kedua pelakunya untuk menambahkan sejumlah dirham tertentu” (Al Mughni, 5/28).

Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ Saudi Arabia menegaskan: 

الفائدة التي تأخذها البنوك من المقترضين، والفوائد التي تدفعها للمودعين عندها، هذه الفوائد من الربا الذي ثبت تحريمه بالكتاب والسنة والإجماع

“Bunga yang diambil bank dari para penghutang, dan bunga yang diberikan kepada para nasabah wadi’ah (tabungan) di bank, maka semua bunga ini termasuk riba yang telah valid keharamannya berdasarkan Al-Qur’an As-Sunnah dan ijma” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta, juz 13, no. 3197, hal. 349).

Sehingga jelaslah bahwa umumnya pinjaman online yang ada adalah termasuk riba yang diharamkan. Orang yang melakukannya hendaknya bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha.

Karena melakukan riba adalah perbuatan dosa besar dalam agama. Pelaku riba telah berbuat dosa, diancamkan akan dihancurkan oleh Allah, dianggap mengajak perang Allah dan Rasul-Nya, dan dilaknat oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.

Allah ta’ala berfirman, 

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275). 

Allah ta’ala juga berfirman, 

يَمْحَقُ اللّٰهُ الرِّبٰوا وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِ

“Allah akan menghancurkan riba dan menumbuhkan keberkahan pada sedekah” (QS. Al-Baqarah: 276).  

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ . فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ

Allah ta’ala juga berfirman, 

Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (QS. Al Baqarah: 278-279)

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu, ia berkata: 

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ  آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan harta riba, orang yang memberi riba, juru tulisnya, dan saksi-saksinya. Beliau berkata, “Mereka semua sama” (HR. Muslim no. 2995). 

Semoga Allah ta’ala memberi taufiq.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

Referensi: https://konsultasisyariah.com/38455-hukum-meminjam-uang-di-pinjaman-online-pinjol.html

Apakah Orang Tua Boleh Mengambil THR Anak?

Di negeri kita, ada tradisi berbagi uang lebaran kepada anak-anak di hari lebaran. Seorang anak biasanya mendapatkan uang hadiah dari orang tuanya, kakek-neneknya, para kerabat dan para tetangga. Yang menjadi masalah, apakah uang THR yang dimiliki anak-anak ini boleh digunakan oleh orang tuanya?

Haramnya Harta Seorang Muslim

Dalam Islam, harta seorang Muslim terjaga dan tidak boleh diambil tanpa hak. Hukumnya haram mengambil harta milik orang lain tanpa hak. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ

Janganlah kalian makan harta sesama kalian secara batil” (QS. Al Baqarah: 188).

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda:

فَإِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا ، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا

Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas sesama kalian darah kalian (untuk ditumpakan) dan harta kalian (untuk dirampas) dan kehormatan (untuk dirusak). Sebagaimana haramnya hari ini, haramnya bulan ini dan haramnya negeri ini” (HR. Bukhari no. 1742).

Boleh mengambil harta orang lain jika melalui muamalah yang benar dan sah seperti: jual beli, hadiah, hibah, waris, wasiat, sedekah, nafkah dan akad-akad yang lainnya. Allah ta’ala juga berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ

Wahai orang-orang berfirman janganlah kalian makan harta sesama kalian secara batil, kecuali dengan jual-beli yang disertai keridaan dari kalian” (QS. An Nisa: 29).

Apakah harta anak adalah harta orang tua?

Jawabnya, harta anak adalah hak anak dan milik anak, bukan milik orang tua sama sekali. Sebagaimana hukum asal harta seorang Muslim.

Buktinya, jika seorang anak meninggal, maka ayah dan ibunya mendapatkan harta waris dari anaknya sebesar 1/3 atau 1/6. Ayah dan ibunya tidak mendapatkan seluruh hartanya. Allah ta’ala berfirman:

وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ

Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam” (QS. An Nisa: 11).

Ini menunjukkan bahwa harta anak tidak otomatis menjadi harta orang tua. Sehingga uang THR anak atau uang lebaran mereka adalah milik mereka, tidak boleh diambil oleh orang tua dengan cara batil.

Anak kecil itu mahjur

Harta anak kecil yang belum baligh itu statusnya mahjur. Yaitu harta tersebut harus ditahan oleh walinya, dan tidak boleh dibiarkan untuk dibelanjakan oleh mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلاَتُؤْتُوا السُّفَهَآءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلاً مَّعْرُوفًا

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik” (QS. An Nisaa’: 5)

Ath Thabari dalam Tafsir-nya menjelaskan:

عن الحسن في قوله: ” ولا تؤتوا السفهاء أموالكم “، قال: لا تعطوا الصغار والنساء

Dari Al Hasan, ketika menafsirkan [Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta mereka], beliau mengatakan: maksudnya jangan berikan harta anak-anak kecil dan wanita (yang tidak bisa mengatur harta) kepada mereka”.

Ini juga tafsiran dari As Suddi, Adh Dhahhak, Mujahid, dan lainnya.

Harta anak kecil yang belum baligh mahjur (ditahan) karena dikhawatirkan akan dihabiskan dan disia-siakan jika diberikan kepadanya. Sebab akalnya belum sempurna, dan belum tahu bagaimana membelanjakan harta dengan benar. Ibnu Balban rahimahullah dalam Al Akhshar Al Mukhtasharat mengatakan:

فصل ويحجر على الصَّغِير وَالْمَجْنُون وَالسَّفِيه لحظهم

Pasal: wajib ditahannya harta anak kecil, orang gila, orang dungu karena ketidak-sempurnaan akal mereka”.

Batasan menahan harta mereka adalah sampai mereka baligh atau sampai mereka dianggap mampu untuk mengatur harta dengan baik. Barulah ketika itu boleh diserahkan harta mereka kepada mereka. Ibnu Balban rahimahullah dalam Al Akhshar Al Mukhtasharat mengatakan

وَمن بلغ رشيدا اَوْ مَجْنُونا ثمَّ عقل ورشد انْفَكَّ الْحجر عَنهُ

Anak yang sudah baligh dan matang akalnya, atau orang gila yang sudah waras dan sehat akalnya, maka ketika itu dihentikan penahanan hartanya”.

Dengan demikian uang THR atau uang lebaran anak-anak yang masih kecil, semestinya disimpan oleh orang tuanya, tidak boleh diberikan kepada mereka kecuali jika mereka sudah baligh atau bisa mengatur hartanya dengan baik.

Dan firman Allah Ta’ala:

وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ

berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu)” 

Menunjukkan bolehnya menggunakan harta anak-anak untuk kepentingan anak-anak. Seperti membeli pakaian untuk mereka, membeli mainan, keperluan sekolah dan semisalnya.

Hadits “kamu dan hartamu milik ayahmu”

Apa yang kami jelaskan di atas, ada pengecualiannya. Terdapat hadits dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أن رجلًا أتَى النبيَّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ فقال إن لي مالًا وإن والدِي يحتاجُ مالي فقال أنت ومالُك لوالدِك إن أولادَكم من أطيبِ كسبِكم كلوا من كسبِ أولادِكم

Ada seorang yang datang kepada Rasulullah, ia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki harta dan anak. Namun orang tuaku membutuhkan hartaku. Rasulullah kemudian menjawab, “Kamu dan hartamu milik ayahmu. Sesungguhnya anak-anakmu adalah sebaik-baik hasil usahamu. Makanlah dari hasil usaha anak-anakmu.” (HR. Abu Daud, no. 3530; Ahmad, 2: 214).

Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Abu Daud, Syaikh Ahmad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad, Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ

Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan oleh seorang lelaki adalah dari hasil usahanya. Anak itu adalah hasil usaha dari ayahnya” (HR. Abu Daud, no. 3528; An-Nasai dalam Al-Kubra, 4/4. Ibnu Hibban no.4261).

Hadits ini juga dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Abu Daud, dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad.

Hadits ini menunjukkan seorang ayah boleh mengambil harta anaknya walaupun tanpa izin. Asy Syaukani menjelaskan: “Hadits ini menunjukkan bahwa seorang ayah bersekutu dengan anaknya dalam kepemilikan harta anaknya. Sehingga sang ayah boleh memakan harta anaknya, baik diizinkan atau tidak” (Dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi, 4/593).

Al Khathabi rahimahullah memberikan syarat bolehnya seorang ayah mengambil harta anaknya:

1. Hanya jika ada kebutuhan, bukan untuk dalam rangka menguasai harta anak.

2. Tidak membahayakan si anak, dengan mengambil harta yang dibutuhkan oleh anak.

(Ma’alimus Sunan, 3/801).

Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan: “Seorang ayah boleh mengambil harta anaknya semaunya, selama tidak membahayakan anaknya, dan tidak untuk diberikan kepada anak yang lain, dan bukan diambil ketika salah satunya menjelang wafat, berdasarkan hadits: “engkau dan hartamu adalah milik ayahmu”” (Manhajus Salikin, hal. 176).

Oleh karena itu, ayah boleh saja mengambil THR atau uang lebaran anaknya semaunya dengan memperhatikan syarat-syarat di atas. Namun ini tidak berlaku untuk ibu.

Wallahu a’lam.

Penulis: Yulian Purnama

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/14403-apakah-orang-tua-boleh-mengambil-thr-anak.html

Dapat Kuota Haji 100.051, Kemenag Diminta Prioritaskan Jamaah

Jumlah kuota haji internasional yang diberikan ke Indonesia adalah 100.051 jamaah.

Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (PP IPHI) Ismed Hasan Putro meminta kepada Kementerian Agama (Kemenag) untuk memprioritaskan calon jamaah lanjut usia (Lansia). Karena, menurut dia, pada tahun ini Indonesia hanya mendapatkan kuota haji 100.051 jamaah. 

“Saya cenderung untuk pemerintah memprioritaskan orang-orang yang ada di antara umur 62 sampai 65 tahun itulah yang diprioritaskan untuk diberangkatkan semuanya,” ujat Ismed saat dihhbungi Republika.co.id, Rabu (4/5).

Seperti diketahui, Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi menetapkan kuota haji sebanyak 1 juta jemaah untuk tahun 2022. Jumlah kuota haji internasional yang diberikan ke Indonesia adalah 100.051 jamaah, paling besar dibanding negara-negara asal jamaah internasional lainnya.

Namun, menurut Ismed, terbatasnya kuota jamaah tahun ini menimbulkan masalah baru bagi Kemenag untuk menetapkan siapa yang jamaah yang akan diperangkatkan lebih dulu. 

“Tentu saja ini persoalan yang cukup serius karena kuota kita kan tidak sepunuhnya, walaupun kita harus bersyukur karena kan kita diberikan kuota terbesar di antara negara-negara lain. Tetapi, tetap saja ini menimbulkan masalah baru bagi Kemenag,” ucap dia.

Ismed menjelaskan, bagi jamaah haji yang berusia  65 tahun ke atas mungkin lebih mudah bagi Kemenag untuk menverifikasi mereka. “Tapi untuk yang di bawah umur 65 tahun, bagaimana pemerintah untuk menentukannya? Apa pra syarat yang akan diberikan kepada para calon jamaah haji di antara 100 ribu orang untuk diberangkatkan dan tidak diberangkatkan, apa kriterianya?,” kata Ismed. 

“Nah di sini menurut hemat saya harus ada transparansi dari pemerintah,” imbuh dia. 

Dia pun mengusulkan kepada pemerintah untuk memprioritaskan para jamaah yang sudah lunas. Kedua, kata dia, pemerintah harus memilih orang-orang yang usianya sudah di atas 63 tahun. 

“Mengapa? karena jangan sampai tahun depan mereka tidak bisa berangkat karena menunggu. Sementara, umur mereka sudah 65 tahun, akhirnya dia tidak berangkat lagi,” jelas Ismed. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Cek No Porsi haji Anda di aplikasi Android ini!

Keutamaan Silaturahim di Hari Raya

Terdapat keutamaan mengunjungi sesama muslim di Hari Raya Idul Fitri. Hal ini memang sudah menjadi kebiasaan kaum muslim di tanah air.

Dikutip dari buku Fikih Lebaran oleh Muhammad Abduh Tuasikal, Beberapa hadits telah menerangkan tentang keutamaan saling mengunjungi sesama muslim. Dalam hadits Abu Hurairah disebutkan,

أنَّ رَجُلًا زارَ أخًا له في قَرْيَةٍ أُخْرَى، فأرْصَدَ اللَّهُ له علَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا، فَلَمَّا أتَى عليه، قالَ: أيْنَ تُرِيدُ؟ قالَ: أُرِيدُ أخًا لي في هذِه القَرْيَةِ، قالَ: هلْ لكَ عليه مِن نِعْمَةٍ تَرُبُّها؟ قالَ: لا، غيرَ أنِّي أحْبَبْتُهُ في اللهِ عزَّ وجلَّ، قالَ: فإنِّي رَسولُ اللهِ إلَيْكَ بأنَّ اللَّهَ قدْ أحَبَّكَ كما أحْبَبْتَهُ فِيهِ

“Sesungguhnya seseorang ada yang ingin mengunjungi saudaranya di kota lain. Allah lalu mengutus malaikat untuknya di jalan yang akan ia lalui. Malaikat itu pun berjumpa dengannya seraya bertanya, ‘Ke mana engkau akan pergi? Ia menjawab, ‘Aku ingin mengunjungi

Saudaraku di kota ini.’ Malaikat itu bertanya kembali, ‘Apakah ada suatu nikmat yang terkumpul untukmu karena sebab dia?’ Ia menjawab, ‘Tidak. Aku hanya mencintai dia karena Allah ‘Azza wa Jalla.’ Malaikat itu berkata, ‘Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untukmu. Allah sungguh mencintaimu karena kecintaanmu padanya’.” (HR. Muslim, no. 2567).

Hadits ini disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Shahih Muslimdengan judul bab “Keutamaan saling cinta karena Allah”. Dalil ini dijadikan oleh para ulama sebagai dalil keutamaan saling mengunjungi sesama muslim dan mengunjungi orang saleh yang dilandasi ikhlas dan saling mencintai karena Allah. Jadi, dasarnya adalah karena Allah yaitu karena iman yang dimiliki saudaranya.

Dalam hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit disebutkan mengenai hadits qudsi,

“Sungguh Aku mencintai orang yang saling mencintai karena-Ku. Sungguh Aku pun mencintai orang yang saling berkunjung karena-Ku. Sunguh Aku mencintai orang yang saling berderma karena-Ku. Sungguh aku mencintai orang yang saling bersedekah karena-Ku.

Begitu pula dengan orang yang saling menyambung (hubungan kekerabatan) karena-Ku.” (HR. Ahmad, 5:229. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

“Jika ada yang mengunjungi kalian, muliakanlah.” (Diriwayatkan dalam Musnad Asy-Syihab). Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 24:81-82.

IHRAM