Sahkah Halal bi Halal tanpa Makan Bersama?

Baru-baru ini, tepatnya pada Jumat, 22 April 2022, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 003/2219/SJ tentang pelaksanaan Halal bi halal pada Idul Fitri Tahun 1443 H/2022. Dalam Surat Edaran tersebut terdapat point yang cukup menarik, yakni larangan makan dan minum untuk acara halal bi halal yang dihadiri lebih dari 100 orang. (Baca: Menelusuri Dalil Halal Bihalal dalam Islam)

Menarik untuk dikaji, apakah halal bi halal yang dilaksanakan tanpa makan dan minum bisa dihukumi sah? Untuk menjawabnya terlebih dahulu kita akan membahas apa itu halal bi halal dan apa yang dimaksud sebagai “sah” dalam syariat Islam.

Secara kebahasaan, halal bi halal berarti halal dengan halal atau saling menghalalkan antara satu sama lain. Halal sendiri sebagaimana kita ketahui merupakan kebalikan daripada haram, dimana dengan halal bi halal diharapkan segala keharaman yang telah kita lakukan dengan sesama saudara kita bisa menjadi halal.

Dalam sejarahnya, sebenarnya halal bi halal sebagai sebuah istilah untuk acara tertentu tidak pernah ada baik itu di zaman Nabi, para Sahabat maupun para ulama. Istilah ini digagas oleh Kiai Wahab Chasbullah. Dikisahkan bahwa pada tahun 1948, di pertengahan bulan puasa, Bung Karno meminta nasehat Kiai Wahab Chasbullah tentang bagaimana caranya mengatasi situasi politik negeri yang semakin memanas.

Kiai Wahab kemudian mengusulkan untuk mengadakan acara silaturrahim besar-besaran di hari raya Idul Fitri. Istilah silaturrahim tersebut ternyata kurang disukai oleh Bung Karno yang menginginkan istilah yang lebih intens ketimbang silaturrahim. Kiai Wahab berargumen bahwasanya alasan perpolitikan Indonesia tidak sehat adalah karena antar elit politik saling menyalahkan. Menyalahkan itu haram. Haram itu dosa. Supaya tidak dosa, maka yang haram perlu dihalalkan dengan cara saling memaaafkan. Pada akhirnya, silaturrahim tersebut kemudian diistilahkan dengan halal bi halal oleh Kiai Wahab.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa bersilaturrahim di hari raya idul fitri merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan. Dengan dalil sebuah hadis yang menyatakan bahwa pada Zaman Nabi, para Sahabat saling bertemu dan mendoakan di hari raya id.

فعن جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ : كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اِلْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك

Artinya: “Dari Jubair bin Nufair, ia berkata bahwa jika para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumpa dengan hari ‘ied (Idul Fithri atau Idul Adha, pen), satu sama lain saling mengucapkan, “Taqabbalallahu minna wa minka” (Semoga Allah menerima amalku dan amalmu).”

Selain itu, ketika melaksanakan salat id, kita disunnahkan untuk menempuh jalan yang berbeda saat pergi dan pulang menuju salat id dengan tujuan agar semakin banyak saudara yang kita temui dan sapa di hari raya id.

Selain dalil-dalil di atas, dalil yang secara spesifik mengajak kita untuk meminta “halal” kepada saudara sesama kita ialah hadis berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ رواه البخاري.

Artinya: “Dari Abu Hurairah Ra.., ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa yang mempunyai tanggungan kepada saudaranya baik berupa harta benda atau sesuatu yang lainnya, maka mintalah halal darinya hari ini juga, sebelum dinar dan dirham tidak berlaku lagi, jika tidak maka ketahuilah bahwa orang yang punya tanggungan pada orang dan belum terselesaikan di dunia, maka di hari hisab  kebaikannya diberikan pada orang yang didzalimi di dunia, jika amal baiknya habis, maka amal buruk orang yang didzaliminya dilimpahkan padanya.

Di dalam hadis tersebut, Nabi saw. sangat jelas bersabda “Falyatahallalhu” yang artinya maka mintalah halal darinya”. Beliau memerintahkan kepada kita agar segera meminta halal kepada saudara kita atas segala hak adami yang kita cederai dari saudara kita.

Tradisi di Indonesia, setiap acara halal bi halal selalu diselingi dengan acara makan dan minum bersama serta tidak jarang pula mengundang penceramah untuk memberikan tausyiah. Hal-hal tersebut tentu saja hanyalah merupakan tambahan saja dalam acara halal bi halal dan bukan merupakan substansinya.

Dari berbagai keterangan di atas tidak ada satupun yang menyebutkan bahwa silaturrahim, saling memaafkan dan halal bi halal harus disertai dengan makan dan minum bersama. Hal yang terpenting dari acara tersebut ialah kerelaan hati dan kesediaan kepala untuk menunduk saling memaafkan dan saling menghalalkan antar sesama. Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa sah hukumnya melaksanakan acara halal bi halal meskipun tanpa makan minum.

BINCANG SYARIAH

Hukum Jual Beli Petasan untuk Lebaran

Saat ini umat muslim sudah memasuki hari ke-10 terakhir bulan Ramadhan. Umumnya di masyarakat sudah mempersiapkan menabung menyisihkan uangnya untuk membeli petasan yang akan dibakar saat lebaran nanti. Lantas, bagaimana hukum jual beli petasan untuk lebaran?

Di pelosok-pelosok desa biasanya bikin sendiri. Biasanya mereka cukup bermodal kertas, kemudian digulung dengan agak tebal sampai kisaran ukuran lutut atau bahkan paha besarnya. Yang ukuran seperti paha biasanya bunyinya agak kencang. Butuh kesiapsiagaan saat hendak membakarnya, karena letusannya membuat kaget bagi sebagian orang yang mendengar letusannya. 

Selanjutnya timbul pertanyaan, Kira-kira bagaimana hukum menjual petasan dalam menyambut hari raya yang sebentar lagi sudah mau masuk Idul Fitri tersebut? Sahkah jual beli petasan untuk merayakan hari raya? 

Dalam muktamar Nahdlatul Ulama ke 2 di surabaya pada tanggal 12 Rabiuts Tsani  1346 H/9 Oktober 1927 M. memutuskan sebuah kesepakatan, bahwa membeli dan atau menjual petasan adalah sah, karena bertujuan untuk kebahagiaan.

Orang-orang yang membeli petasan lebaran tersebut pada dasarnya adalah untuk melupakan rasa kegembiraan karena selama bulan Ramadhan berhasil menjalankan ibadah puasa. Mereka melupakan rasa gembira melalui suara petasan. 

Dalam putus tersebut para ulama merujuk pada kitab i’anatut thalibin, yang menjelaskan bahwa ketika menggunakan uang yang disalurkan pada sesuatu yang mengandung tujuan baik, yakni ingin memperoleh pahala dan bersenang-senang, maka hal itu tidak termasuk berlebihan. 

اما صرفه في الصدقة وجوه الخير والمطاعم والملابس والهدايا التي لاتليق به فليس بتقدير قوله ليس بتبدير) اي على الاصح لان له في ذالك غرضا صحيحا وهو الثواب والتلذ   ومن ثم قالوا لا إصراففي الخير ولا خير في الاشراف

 Artinya: “Adapun mempergunakan atau menyalurkan pada sedekah dan berbagai jalur kebaikan, makanan, pakaian dan hadiah yang layak baginya maka tidak termasuk mubazir menurut pendapat yang lebih benar, karena dalam hal yang demikian itu, ia bertujuan baik, yakni ingin memperoleh pahala dan bersenang-senang.

Oleh karenanya, mereka mengatakan, “Tidak berlebihan dalam kebaikan dan kebaikan dalam berlebihan”.

Jual beli petasan dapat dikategorikan boleh karena petasan termasuk barang yang suci. Dalam kitab al-Bajuri dijelaskan:

بيع عين مشاهدة، اي حاضرة، فجائز، إذا وجدت الشروط من كون المبيع طاهرا منتفعا به مقدارا علي تسليمه للعاقد عليه ولاية

Artinya: “Jual-beli sesuatu yang tampak riil itu boleh, jika memang memenuhi berbagai syarat, seperti barang yang dijual itu suci, bisa dimanfaatkan, bisa diserahkan dan bagi yang bertransaksi mempunyai kuasa (terhadap barang tersebut).

Demikian keterangan dalam beberapa kitab-kitab fikih seputar hukum  jual beli petasan untuk lebaran. Selamat membaca.

BINCANG SYARIAH

Esensi Zakat Menurut Syekh Abdul Qadir Jailani

Salah satu poin penting dalam rukun Islam adalah menunaikan zakat. Mengeluarkan zakat merupakan kewajiban bagi seorang muslim. Berikut ini esensi zakat menurut Syekh Abdul Qadir Jailani.

Bulan puasa Ramadhan sudah memasuki hari yang ke 27. Itu artinya, lebaran hari raya idul fitri sudah di ujung mata. Tinggal menghitung jumlah hari saja untuk merayakannya. Bagi yang masih jomblo tentu merupakan sebuah kebahagiaan dicampur kegalauan, karena sehabis itu ia akan menjalankan tradisi uwwadh dalam keadaan seorang diri tanpa seorang pendamping hidup yang menemani. 

uwwadh adalah sebuah wahana bersilaturahmi ke antar sanak saudara sebagai ekspresi dari halal bihalal yang sudah terlembagakan, selanjutnya secara budaya kemudian menjadi semacam suatu kebiasaan (tradisi, adat atau ‘urf) yang disepakati.

 Menurut Prof. Muhammad Baharun (2012: 130), uwwadh adalah bertemu secara massal dari rumah ke rumah meskipun hanya sebentar karena jemaah yang ikut begitu banyak, sehingga secara merata rumah mereka harus dikunjungi semua. Artikel ini akan kita bahas secara khusus setelah hari raya. InsyaAllah. 

Dalam tulisan kali ini, penulis hanya ingin fokus pada fenomena zakat yang dalam hal ini menyiratkan nilai-nilai substansial yang penting–bahkan untuk tidak dikatakan wajib–diketahui oleh semua insan. Setelah ibadah ritual, lalu ibadah apa lagi yang mesti dikerjakan dan diketahui oleh setiap hamba Allah? 

Dalam waktu yang relatif singkat sepertinya bulan puasa sudah mau berakhir saja. Tidak terhitung, bahwa jumlah atau bilangan hari ibadah puasa sudah mencapai 27 hari. Itu artinya, kita sudah ada pada titik terakhir bulan Ramadhan. Ibadah puasa kita ternyata biasa-biasa saja selama ini.

 Bagi yang merasakan yang sama seperti saya semisal bersantai-santai selama ini dari kemarin, setidaknya semakin ditingkatkan di titik terakhir bulan Ramadhan tahun ini, karena kita juga tidak tahu kapan Lailatul Qadar itu akan turun (baca: Memburu Lailatul Qadar di Menit Terakhir Bulan Ramadhan, terbit kemarin Kamis, 28 April 2022). 

Terus apa yang mesti harus diperbuat untuk meraih keistimewaan di detik-detik terakhir bulan Ramadhan tersebut? Tentu saja banyak sekali amalan selain baca zikir untuk bermunajat kepada Allah SWT. Bacaan dzikir adalah perkara sunnah dalam agama Islam. Berbeda dengan zikir, zakat adalah perkara rukun. Karena itu harus dilakukan oleh setiap orang yang mampu melakukannya.

 Selanjutnya, bagaimana dengan perasaan orang-orang fakir dan miskin yang ingin sekali meraih pahala ibadah zakat sementara mereka tidak mampu mengeluarkan zakat? 

Banyak dari sekian orang yang sudah menunaikan ibadah zakat dari kemarin. Di daerah penulis, Desa Pakamban Daya Kecamatan Peragaan, Kabupaten Sumenep, Madura, telah banyak orang-orang menunaikan ibadah zakat fitrah baik diberikan kepada fakir dan miskin dan atau diberikan kepada salah satu tokoh di daerah tersebut. Namun demikian, ada pula yang biasa mengeluarkan zakat fitrah tersebut nanti di malam hari raya idul fitri.

Dalam Al-Qur’an, anjuran perintah menunaikan ibadah zakat merupakan perkara yang sangat dianjurkan, di samping hal tersebut merupakan bagian dari rukun Islam itu sendiri, lebih dari itu bahwa secuil dari kekayaan yang Allah titipkan terhadap mereka (orang yang kaya) merupakan karunia Allah. Alquran menyebutnya dengan istilah al-fadhl (karunia). Tetapi di samping itu juga sebagai ujian (fitnah). 

Harta tersebut sejatinya adalah harta kekayaan Allah (QS. Al-Baqarah, (2): 284) yang harus diberikan kepada hamba-Nya yang membutuhkan. Bila kekayaan yang dititipin Allah SWT tersebut tidak segera diberikan, maka itu akan menjadi ujian (QS. Al-Munafiqun, (63): 15) dan bencana (QS. Al-Isra, (17): 16). 

Dengan demikian, agar harta tersebut tidak membahayakan, untuk menghindari hal tersebut sekaligus agar bermanfaat, kekayaan tersebut harus digunakan dengan baik dan benar. Salah satu bentuk penggunaan yang baik dan benar adalah menyalurkannya kepada yang lebih membutuhkan: fakir dan miskin.

Bagi orang yang tergolong tidak mampu menunaikan ibadah zakat, Allah SWT ternyata juga memberikan keistimewaan tersendiri bagi para hamba-Nya. Dalam arti, bahwa Allah SWT tidak pernah membeda-bedakan hamba-Nya. Baik yang miskin maupun yang kaya, semuanya bagi Allah adalah sama. Yang membeda-bedakan adalah kualitas ketakwaannya. Bisa jadi, mereka yang miskin adalah jauh lebih baik dari yang kaya. Allahua’lam

Allah berfirman, yang artinya: “Janganlah kamu menghilangkan pahala sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima” (QS. Al-Baqarah, (2): 264). Dalam pemenuhan ibadah zakat ini adalah murni dilakukan dengan penuh ikhlas, bukan untuk mencari popularitas, sombong, dan beberapa jenis penyakit hati yang dapat mengugurkan pahala sedekah atau zakat, karena itu akan sia-sia belaka. 

Menurut Syekh Abdul Qodir Jailani, hakikat zakat adalah zakat batin, artinya ada tekad yang kuat untuk melabuhkan kebaikan dalam konteks kehidupan, dan mengajak kepada orang lain untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah, seraya meninggalkan setiap keburukannya. 

Zakat ini dinamakan dengan zakat tarekat–yaitu memberikan pahala dari ibadah akhirat (yang kita kerjakan) kepada ahli maksiat untuk mendapat ridha Allah SWT. Ibadah akhirat yang dimaksud seperti shalat, zakat, puasa, Haji, bacaan tasbih, tahlil, bacaan Alquran, kedermawanan dan amalan-amalan baik lainnya (Syekh Abdul Qodir Jailani, 2018: 210-211).

Orang yang bangkrut karena kedermawanan lebih Allah cintai daripada kaya rapi pelit, sombong, takabur dan lain sebagainya. Sabda Nabi Muhammad: “Orang yang bangkrut (karena dermawan) akan berada dalam penjagaan Allah di dunia dan di akhirat“. Karena setiap sesuatu adalah milik Allah, dan kepada Allah lah kita kembali. 

Karena itu, Rabi’ah Al ‘Adawiyah berujar, “Ya Ilahi, semua jatah duniawiku, berikan kepada orang kafir, dan semua jatah pahal aku, berikan kepada orang mukmin. Karena tidak ada yang aku inginkan dari dunia ini kecuali zikir mengingat-Mu dan yang kuinginkan di akhirat hanyalah melihat-Mu“. Karena tidak sepatutnya kita membanggakan apapun yang kita punya, sementara itu semua adalah titipan semata. 

Baik orang miskin maupun kaya adalah sama. Yang membedakan adalah ketakwaannya. Esensi zakat menurut Syekh Abdul Qadir Jailani, sejatinya adalah pembersihan diri dari serangkaian nafsu dan angkatan murka yang selama ini bersarang di dalam diri kita.

Melalui ritual puasa dan kemudian dicuci dengan zakat salah satunya adalah agar kelak bisa bertemu Ar-Rahman. Karena itu semata harapan kita bersama.

BINCANG SYARIAH

Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala Perlu Diatur

Saya telah menerbitkan edaran yang mengatur penggunaan pengeras suara di masjid dan musala. Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.

Penggunaan pengeras suara di masjid dan musala merupakan kebutuhan bagi umat Islam sebagai salah satu media syiar Islam di tengah masyarakat. Pada saat yang bersamaan, masyarakat Indonesia juga beragam, baik agama, keyakinan, latar belakang, dan lainnya. Sehingga, diperlukan upaya untuk merawat persaudaraan dan harmoni sosial.

Pedoman diterbitkan sebagai upaya meningkatkan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga masyarakat.  

Surat edaran yang terbit 18 Februari 2022 ditujukan kepada Kepala Kanwil Kemenag Provinsi, Kepala Kantor Kemenag kabupaten/kota, Kepala Kantor Urusan Agama kecamatan, Ketua Majelis Ulama Indonesia, Ketua Dewan Masjid Indonesia, Pimpinan Organisasi Kemasyarakatan Islam, dan Takmir/Pengurus Masjid dan Musala di seluruh Indonesia. Sebagai tembusan, edaran ini juga ditujukan kepada seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia.

Pedoman ini agar menjadi pedoman dalam penggunaan pengeras suara di masjid dan musala bagi pengelola (takmir) masjid dan musala dan pihak terkait lainnya.

Selengkapnya, sila klik Surat Edaran Menteri Agama tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala

KEMENAG RI

Kemenag Terbitkan KMA Kuota Haji 1443 H, Ini Sebaran dan Ketentuannya

Jakarta (Kemenag) — Kuota Haji 1443 H/2022 M sudah ditetapkan. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas telah menandatangani Keputusan Menteri Agama KMA No 405 tahun 2022 tentang Kuota Haji Indonesia tahun 1443 H/2022 M. 

Dalam KMA yang ditandatangani Menag Yaqut tertanggal 22 April 2022 ini ditetapkan bahwa kuota haji Indonesia tahun 1443 H/2022 M berjumlah 100.051, terdiri atas 92.825 kuota haji reguler dan 7.226 kuota haji khusus.

“Alhamdulillah, sebagai kelanjutan alokasi kuota haji yang diberikan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, saya telah menerbitkan KMA tentang Kuota Haji Indonesia Tahun 1443 H/2022 M. KMA ini selanjutnya akan menjadi pedoman seluruh jajaran Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah serta Penyelenggara Perjalanan Ibadah Haji Khusus dalam melakukan finalisasi penyediaan layanan jemaah haji Indonesia,” tegas Menag di Jakarta, Selasa (26/4/2022).

KMA ini, lanjut pria yang akrab disapa GusMen, menetapkan bahwa kuota haji reguler terdiri atas 92.246 kuota jemaah haji reguler tahun berjalan, 114 kuota pembimbing dari unsur Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah, dan 465 kuota petugas haji daerah. Sementara untuk kuota haji khusus, terdiri atas 6.664 kuota jemaah haji khusus tahun 1443 H/2022 M dan 562 kuota petugas haji khusus.

“Baik haji reguler maupun haji khusus, kuota 1443 H/2022 M diperuntukkan bagi jemaah yang telah melunasi biaya Perjalanan Ibadah Haji 1441 H/2020 M, dan berusia paling tinggi 65 tahun per tanggal 8 Juli 2022 sesuai dengan urutan nomor porsi,” tegas Menag.

“Jemaah haji yang telah melunasi Biaya Perjalanan Ibadah Haji tahun 1441 H/2020 M yang tidak masuk alokasi kuota dan/atau menunda keberangkatan pada tahun 1443 H/2022 M diprioritaskan menjadi jemaah haji pada penyelenggaraan ibadah haji tahun 1444 H/2023 M sepanjang kuota haji tersedia,” sambungnya.

Berikut sebaran daftar kuota haji reguler per provinsi tahun 1443 H/ 2022 M:
1. Aceh: 1.999
2. Sumatera Utara: 3.802
3. Sumatera Barat: 2.106
4. Riau: 2.304
5. Jambi: 1.328

6. Sumatera Selatan: 3.201
7. Bengkulu: 747
8. Lampung: 3.219
9. DKI Jakarta: 3.619
10. Jawa Barat: 17.679

11. Jawa Tengah: 13.868
12. DI Yogyakarta: 1.437
13. Jawa Timur: 16.048
14. Bali: 319
15. NTB: 2.054

16. NTT: 305
17. Kalimantan Barat: 1.150
18. Kalimantan Tengah: 736
19. Kalimantan Selaratan: 1.743
20. Kalimantan Timur: 1.181

21. Sulawesi Utara: 326
22. Sulawesi Tengah: 910
23. Sulawesi Selatan: 3.320
24. Sulawesi Tenggara: 922
25. Maluku: 496

26. Papua: 491
27. Bangka Belitung: 486
28. Banten: 4.319
29. Gorontalo: 447
30. Maluku Utara: 491

31. Kepulauan Riau: 589
32. Sulawesi Barat: 663
33. Papua Barat: 330
34. Kalimantan Utara: 190 

(Humas)

Download Aplikasi Android Cek Porsi Haji? Klik di sini

Saudi Tetapkan Batasan Usia Haji, Dirjen PHU: Kita Harus Ikuti

Pemerintah Arab Saudi telah mengumumkan bahwa penyelenggaraan haji 1443 H akan diikuti 1 juta jemaah dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Namun, karena masih pandemi, Saudi juga menetapkan syarat bagi jemaah yang akan berangkat haji.

Pertama, haji tahun ini terbuka untuk mereka yang berusia di bawah 65 tahun dan telah menerima vaksinasi lengkap Covid-19 yang disetujui Kementerian Kesehatan Saudi.

Kedua, jemaah yang berasal dari luar Saudi wajib menyerahkan hasil tes PCR negatif Covid-19 yang dilakukan dalam waktu 72 jam sebelum keberangkatan ke Arab Saudi.

“Keputusan pemerintah Arab Saudi ini tentunya harus diikuti. Namun, penyampaian yang efektif kepada masyarakat juga perlu dilakukan,” terang Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Hilman Latief pada Rapat Koordinasi dan Kunjungan Kerja Komisi VIII DPR RI di Asrama Haji transit Yogyakarta, Minggu (17/4/2022).

Untuk itu, Hilman mengimbau Kanwil Kemenag Provinsi untuk mensosialisasikan kebijakan Arab Saudi ini secara efektif agar bisa dipahami oleh jemaah haji. “Yogja ini memang istimewa, terkenal dengan tingkat harapan hidup yang tinggi, sehingga jumlah lansia juga tertinggi. Dengan adanya batasan usia lansia, mohon ini bisa dijadikan langkah langkah yang baik agar dapat meyakinkan masyarakat,” pesan Hilman 

Sehubungan kebijakan pembatasan lansia bagi jemaah haji tahun ini, Hilman berharap dukungan Komisi VIII DPR RI agar pada pelaksanaan haji 2023, keberangkatan jemaah lansia dapat diprioritaskan. 

Meski sudah diumumkan ada 1 juta jemaah dari berbagai negara, Hilman masih menunggu kebijakan Saudi terkait kuota jemaah haji Indonesia. Menurutnya, Kemenag terus menjalin komunikasi intensif dengan pemerintah Arab Saudi untuk bisa segera mendapat kepastian kuota haji Indonesia. 

“Informasi terkait perolehan kuota masih menunggu informasi resmi dari pemerintah Arab Saudi. Hal ini pun sama terjadi dengan negara-negara pengirim haji lainnya tidak hanya di Indonesia saja,” kata Hilman. 

“Kemenag terus melakukan persiapan pelaksanaan haji dalam negeri. Saat ini sudah dalam proses input pasport untuk e-Hajj,” imbuhnya. 

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Diah Pitaloka mengingatkan bahwa pelaksanaan haji tahun ini masih di tengah pandemi Covid-19. Karenanya, masalah kesehatan jemaah harus benar-benar dikawal dan dimonitor secara penuh. Pemerintah juga perlu menyediakan vitamin bagi jemaah agar stamina mereka tetap terjaga selama pelaksanaan ibadah haji. 

“Haji saat ini masih dalam masa pandemi. Kami meminta pemerintah mengawal dan memonitor penuh persiapan dan pelaksanaannya serta sediakan vitamin bagi jemaah agar tetap menjaga staminanya saat beribadah haji,” ucap Diah. 

Hadir dalam rakor ini,  Anggota Komisi VIII DPR RI, Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri, Kakanwil Kemenag Provinsi DIY, Kabid PHU Kanwil Kemenag Provinsi DIY, dan perwakilan Dinkes DI Yogyakarta.

KEMENAG RI