Fatwa Ulama: Puasa Syawal ketika Masih Memiliki Hutang Puasa Ramadan

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

Pertanyaan:

Bagaimana pendapat Anda tentang orang yang menunaikan puasa enam hari di bulan Syawal, padahal dia masih memiliki kewajiban qadha’ (membayar hutang puasa Ramadan)?

Jawaban:

Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa berpuasa Ramadan, kemudian dilanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seolah-olah berpuasa selama setahun.” (HR. Muslim no. 1164)

Jika seseorang masih memiliki kewajiban qadha’ puasa Ramadan, kemudian dia berpuasa enam hari di bulan Syawal, apakah dia berpuasa Syawal sebelum atau sesudah puasa Ramadan?

Misalnya, seseorang berpuasa bulan Ramadan selama dua puluh empat hari, dan dia masih memiliki hutang enam hari. Jika dia berpuasa enam hari di bulan Syawal sebelum membayar hutang puasa Ramadan, maka tidak bisa dikatakan, “Sesungguhnya dia telah berpuasa di bulan Ramadan, kemudian melanjutkannya dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal.” Karena tidaklah dikatakan “berpuasa di bulan Ramadan” kecuali bagi orang yang telah menyempurnakannya (berpuasa sebulan penuh dan tidak memiliki hutang puasa, pent.). Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan ini, maka bagi orang yang berpuasa Syawal sedangkan dia masih memiliki hutang puasa Ramadan, orang tersebut tidaklah mendapatkan pahala sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas.

Masalah ini bukanlah termasuk dalam perselisihan pendapat (ikhtilaf) di antara para ulama tentang apakah diperbolehkan seseorang berpuasa sunah sedangkan dia masih memiliki kewajiban qadha’ Ramadan? Karena perselisihan pendapat ini berkaitan dengan selain puasa sunah Syawal. Adapun puasa enam hari di bulan Syawal, puasa ini mengikuti puasa Ramadan. Dan tidak mungkin mendapatkan keutamaan pahalanya kecuali bagi mereka yang telah menyempurnakan puasa Ramadan.

***

@Rumah Kasongan, 27 Ramadan 1443/ 29 April 2022

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/75036-puasa-syawal-ketika-masih-memiliki-hutang-ramadan.html

Bagaimanakah Al-Quran Turun kepada Nabi Muhammad?

Di antara hal-hal yang menunjukkan kemuliaan bulan Ramadan adalah turunnya Al-Qur’an Kalamullah di bulan tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَ بَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَ الْفُرْقَانِ

“Bulan Ramadan yang di dalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan keterangan-keterangan yang nyata yang menunjuk kepada kebenaran, yang membedakan antara yang haq dan yang batil.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Di ayat yang lain. Allah Ta’ala menyebutkan,

اِنَّاۤ اَنۡزَلۡنٰهُ فِىۡ لَيۡلَةِ الۡقَدۡر

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam qadar. (QS. Al-Qadr: 1).

Namun di banyak ayat yang lain serta melalui kisah perjalanan hidup Nabi kita, dapat diketahui bahwa Al-Quran ini tidaklah turun secara spontan pada satu waktu kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam, melainkan turun secara bertahap dan berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan dan kejadian yang terjadi saat itu. Allah Ta’ala berfirman,

وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلاً

“Dan Al-Qur’an (Kami turunkan) berangsur-angsur agar Engkau (Muhammad) membacakannya kepada manusia perlahan-lahan dan Kami menurunkannya secara bertahap.” (QS. Al-Isra’: 106)

Hal ini juga terbukti di dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan tentang bagaimana turunnya salah satu ayat yang menjelaskan keutamaan orang yang ikut di dalam peperangan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْلَى عَلَيْهِ { لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ } { وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ } فَجَاءَهُ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ وَهْوَ يُمِلُّهَا عَلَيَّ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَاللَّهِ لَوْ أَسْتَطِيعُ الْجِهَادَ لَجَاهَدْتُ وَكَانَ أَعْمَى فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفَخِذُهُ عَلَى فَخِذِي فَثَقُلَتْ عَلَيَّ حَتَّى خِفْتُ أَنْ تَرُضَّ فَخِذِي ثُمَّ سُرِّيَ عَنْهُ فَأَنْزَلَ اللَّهُ { غَيْرَ أُولِي الضَّرَرِ }

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendiktekan kepadanya ayat (yang artinya), ‘Tidaklah sama antara orang mukmin yang tidak ikut berperang’ ‘dan mereka yang berjihad fii sabilillah.’ (QS. An-Nisa: 95) Kemudian datang kepadanya Ibnu Ummi Maktum dan beliau masih mendiktekannya kepadaku. Lalu ia (Ibnu Ummi Maktum) berkata, ‘Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seandainya saya mampu untuk berjihad, niscaya saya akan berjihad’.

Dan ia adalah orang yang buta. Kemudian Allah menurunkan (wahyu kembali) kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dan pahanya berada di atas pahaku hingga terasa berat bagiku, hampir aku merasa takut pahaku patah. Kemudian terhilangkan kesusahannya, dan Allah Ta’ala menurunkan ayat (yang artinya), ‘Kecuali orang-orang yang mempunyai halangan‘. (HR. Bukhari no. 4226).

Dari pemaparan ayat-ayat dan hadis di atas, seringkali seorang muslim menjadi bingung, bagaimana menjamak dan menarik kesimpulan dari ayat-ayat yang dhahir-nya mengandung kontradiksi tersebut. Di beberapa ayat dijelaskan bahwasannya Al-Qur’an diturunkan sekaligus pada malam lailatul qadar, di ayat yang lain disebutkan bahwa ia turun secara bertahap dan berangsur-angsur. Padahal tidak akan ada kontradiksi di dalam Al-Qur’an, karena anggapan seperti ini mengharuskan salah satunya adalah dusta dan itu mustahil terjadi pada berita-berita Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا

Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah.” (QS. An-Nisa’: 87)

Al-Quran turun melalui beberapa tahapan

Semua kitab samawi yang lain turun secara spontan dan sekaligus kepada Nabi yang menerima. Sedangkan menurut pendapat kebanyakan ulama, dan ini merupakan pendapat yang kuat, Al-Quran mengalami beberapa tahapan sebelum sampai kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.

Tahap pertama, Allah Ta’ala turunkan Al-Quran dan Allah simpan di Lauhul Mahfudz secara sekaligus. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ  فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ

“Bahkan (yang didustakan mereka itu), ialah Alquran yang mulia yang (tersimpan) di Lauhul Mahfuzh.” (QS. Al-Buruj: 21-22).

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “yang (tersimpan) di Lauhul Mahfuzh.” Maksudnya (bahwa Al-Quran) di tempat tertinggi dan terjaga dari adanya penambahan, pengurangan, penyelewengan, dan penggantian.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4: 497-498)

Tetapi kapan saatnya serta bagaimana caranya tidak seorang pun mengetahui kecuali Allah Ta’ala.

Tahap kedua, Al-Quran diturunkan dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul Izzah yang ada di langit dunia. Hal ini terjadi pada malam lailatul qadar secara sekaligus dan satu waktu. Tahap inilah yang sejalan dengan firman Allah Ta’ala yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam qadar. (QS. Al-Qadr: 1).

Tahap ketiga, barulah Al-Qur’an ini turun secara bertahap selama 23 tahun kepada nabi kita melalui malaikat Jibril ‘alaihissalam. Turunnya ayat-ayat kalamullah secara bertahap ini memiliki hikmah yang sangat besar. Di antaranya sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ ٱلْقُرْءَانُ جُمْلَةً وَٰحِدَةً ۚ كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِۦ فُؤَادَكَ ۖ وَرَتَّلْنَٰهُ تَرْتِيلًا

“Berkatalah orang-orang yang kafir, “Mengapa Al-Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?” Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil.” (QS. Al-Furqan: 32).

Dengan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an ini secara berangsur-angsur, maka ia semakin mudah terjaga dan terpelihara. Dengan cara seperti itulah pemahaman terhadap setiap ayat dapat dicerna dengan baik serta mudah untuk dihafalkan.

Hikmah lainnya, Al-Quran merupakan solusi hukum. Sehingga ia turun bertahap menyesuaikan kondisi ketika itu, sebagai contoh dalam masalah penghapusan beberapa tradisi Arab seperti minum minuman keras, maka jelas itu tidak bisa dilakukan secara sekaligus, namun harus secara bertahap dan berangsur-angsur.

Proses penyampaian Al-Quran melalui malaikat Jibril

Kaum mukminin juga harus mengimani dan meyakini bahwa wahyu Al-Quran tidaklah turun kepada Nabi Muhammad secara langsung, namun harus melalui perantara malaikat Jibril alaihissalam. Dan malaikat Jibril tidaklah turun kecuali atas perintah Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

قُلۡ نَزَّلَہٗ رُوۡحُ الۡقُدُسِ مِنۡ رَّبِّکَ بِالۡحَقِّ

“Katakanlah (wahai Muhammad), Ruhulkudus (Jibril) menurunkan Al-Quran itu dari Tuhanmu dengan kebenaran.” (QS. An-Nahl: 102).

Allah Ta’ala juga berfirman,

قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِّجِبْرِيْلَ فَاِنَّهٗ نَزَّلَهٗ عَلٰى قَلْبِكَ بِاِذْنِ اللّٰهِ

“Katakanlah (Muhammad), “Barangsiapa menjadi musuh Jibril, maka (ketahuilah) bahwa dialah yang telah menurunkan (Al-Quran) ke dalam hatimu dengan izin Allah.” (QS. Al-Baqarah: 97)

Di ayat yang lain, Allah Ta’ala juga mengatakan,

وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ العَالَمِينَ * نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الأَمِينُ * عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ

“Dan sesungguhnya Al-Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruhul Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan.” (QS. Asy-Syuara’: 192-194).

Mereka yang mengaku beriman kepada Allah juga harus meyakini, bahwa Malaikat Jibril alaihissalam sebelum menyampaikan wahyu tersebut kepada Nabi Muhammad, ia telah mendengar langsung wahyu tersebut dari Allah Ta’ala, kemudian barulah ia menyampaikan wahyu tersebut kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إذا أراد الله تعالى أن يُوحي بالأمر تكلَّم بالوحي، أخذت السَّماوات منه رجفة -أو قال: رعدة- شديدة؛ خوفًا من الله ، فإذا سمع ذلك أهلُ السَّماوات صعقوا وخرُّوا لله سُجَّدًا، فيكون أول مَن يرفع رأسه جبريل، فيُكلمه الله من وحيه بما أراد، ثم يمرّ جبريل على الملائكة، كلما مرَّ بسماءٍ سأله ملائكتُها: ماذا قال ربنا يا جبريل؟ فيقول: قال الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ [سبأ:23]، فيقولون كلهم مثلما قال جبريل، فينتهي جبريلُ بالوحي إلى حيث أمره الله

Apabila Allah hendak mewahyukan perintah-Nya, maka Dia firmankan wahyu tersebut. Langit-langit bergetar dengan kerasnya karena takut kepada Allah. Dan ketika para malaikat mendengar firman tersebut, mereka pingsan dan bersujud. Di antara mereka yang pertama kali bangun adalah Jibril. Maka Allah sampaikan wahyu yang Ia kehendaki kepada Jibril. Kemudian Jibril melewati para malaikat, setiap ia melewati langit, maka para penghuninya bertanya kepadanya, “Apa yang telah Allah firmankan kepadamu?” Jibril menjawab, “Dia firmankan yang benar, dan Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” Dan seluruh malaikat yang ia lewati bertanya kepadanya seperti pertanyaan pertama. Demikianlah sehingga Jibril menyampaikan wahyu tersebut sesuai dengan yang telah diperintahkan oleh Allah kepadanya.” (Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Thabrani, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsir rahimahumullah).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di dalam Al-Fatawaa menyebutkan,

ومذهب سلف الأمة وأئمتها وخلفها أن النبي صلى الله عليه وسلم سمع القرآن من جبريل، وجبريل سمعه من الله عز وجل

“Mazhab para pendahulu umat ini beserta para imamnya dan orang-orang yang mengikuti mereka adalah meyakini bahwa Nabi Muhammad mendengarkan Al-Quran dari malaikat Jibril dan Jibril mendengarnya langsung dari Allah Ta’ala”.

Begitulah Al-Quran yang mulia ini Allah turunkan kepada hamba-Nya yang paling mulia, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Semoga kita ditulis sebagai salah satu ahlul quran, yaitu menjadi seseorang yang senantiasa membaca Al-Quran dan hidup bersamanya. Amiin Ya Rabbal Aalamiin.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/74827-bagaimanakah-al-quran-turun-kepada-nabi-muhammad.html

Puasa yang Melahirkan Uswah

PUASA melatih kita untuk selalu takut akan melakukan dosa dan kesalahan, jujur dalam setiap tindakan dan perbuatan, sebab piasa akan melahirkan uswah

PUASA Ramadhan diperintahkan kepada Nabi Muhammad dan umatnya pada bulan Syaban tahun kedua Hijriah, atau sekitar 624 Masehi. Secara khusus, perintah ini disampaikan langsung dari Allah sebagaimana dalam surat Al-Baqarah: 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS: Al-Baqarah:  183).

****

AYAT ini merupakan perintah kepada orang yang percaya kepada Allah sebagai Tuhan, yang wajib disembah, kepada orang yang mengakui bahwa Islam itu agama di sisi Allah, Muhammad itu Rasul Allah, Al-Quran itu kitab Allah, dan syariat Islam itu jalan yang benar.

Ayat itu juga mengabarkan kepada ummat Islam, bahwa kaum-kaum terdahulu telah Allah beri perintah tentang puasa. Bahwa puasa ini bukanlah syariat baru dalam agama Allah, tapi merupakan syariat dari nabi,-nabi terdahulu.

Begitu pentingnya puasa ini sebagai ibadah, maka ia menjadi ibadah yang diwajibkan kedua setelah sholat. Lalu apakah hakikat puasa bagi seorang yang percaya?

Pertama, Ibadah Puasa merupakan ibadah latihan penghambaan diri kepada Allah dengan sepenuh hati sepanjang hayat. Setiap orang yang mengatakan “tidak ada illah selain Allah” maka ia wajib menjalankan ibadah ini sebagai bentuk penghambaan diri kepada Allah.

Karena hakikat hamba adalah menjalankan perintah tuan (Tuhan), maka semua yang disyariatkan oLeh Allah harus dilaksanakan dengan sebenar-benarnya. Menjalankan semua apa yang dikehendaki Allah dan meninggalkan semua apa yang dilarangNya. Seperti Firman Allah:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“tidak Aku ciptakan Jin dan Manusia itu melaikan untuk menyembah kepadaKu” (QS: adz-Dzariyat 56)

Setiap ibadah seperti sholat, puasa, zakat, haji, merupakan ibadah wajib bagi umat Islam untuk melatih diri dalam ibadah yang lebih luas.  Karena ibadah wajib itu sebagai latihan, maka bukan berarti setelah selesai ibadah wajib itu seorang bisa melakukan apa saja setelah menunaikan yang pokok itu. Tidak!

Ibadah pokok itu adalah sebagai pondasi kehidupan, sedangkan ibadah lain seperti jihad (kerja keras), ber amar ma’ruf nahi mungkar, dan ibadah sosial lainnya merupakan lanjutan dari ibadah pokok tersebut.

Itulah penghambaan yang sebenarnya dari seorang muslim kepada Allah. Tidak ada pekerjaan, perbuatan yang boleh dikerjakan kecuali atas perintah Allah, dan tidak ada perbuatan yang tidak boleh dilakukan kecuali dilarang oleh Allah. Maka hakikat pelatihan puasa ini adalah untuk menciptakan pribadi yang pasrah hanya kepada Allah.

Kedua, puasa adalah ibadah untuk menciptakan pribadi beriman yang jujur. Kita tahu bahwa ibadah puasa adalah ibadah yang tersembunyi, karena itu ibadah ini merupakan latihan untuk menjadi pribadi yang jujur.

Kalau sholat, haji, zakat dan ibadah lainnya bisa dilihat oleh manusia dan bisa disaksikan oleh mata dunia, tapi tidak dengan puasa. Orang sholat bisa dilihat dari geraknya, berdiri, rukuk, sujud dan duduknya, orang zakat bisa diketahui oleh orang yang diberinya, ibadah haji bisa disaksikan oleh jutaan manusia yang mengerjakan haji bersamanya.

Sementara puasa, tidak. Mungkin ketika sahur makan bersama dengan orang, tapi sepanjang siang itu siapa yang tahu bahwa yang bersangkutan makan secara sembunyi-sembunyi. Ketika berbuka ia bisa saja pura-pura puasa dan buka bersama dengan orang.

Dalam hal seperti ini menghadirkan Allah sebagai Tuhan yang meliputi, baik yang ghaib maupun yang nampak merupakan bagian terpenting untuk mewujudkan pribadi yang jujur.

Maka ibadah puasa ini adalah latihan kejujuran, sekaligus latihan kekuatan iman. Seorang yang berpuasa tidak akan makan, minum, dan berhubungan seks sampai waktu berbuka.

Ia menyadari apabila ia melakukan itu tidak ada seoranpun yang melihatnya, tapi ia sadar bahwa tidak ada yang luput dari pandangan Allah.

Seorang yang berpuasa tidak akan makan sampai berbuka, meskipun kerongkongan mengering, perut keroncong, dan badan lemas. Betapa kuatnya keyakinan iman seorang yang puasa, sehingga ia harus menahan rasa haus dan lapar, dari terbit fajar hingga terbenam matahari.

Setiap hari, dalam satu bulan penuh, seorang dilatih untuk menahan semua yang dilarang oleh Allah selama puasa. Menjaga lisan dan pandangan, menjaga kehormatan dan menjaga segalannya, maka latihan sebulan itu akan menjadi kebiasaan setelah puasa selesai.

Ketiga, puasa akan melahirkan pribadi yang amanah dan bertanggungjawab. Seorang yang dilatih dengan puasa selama sebulan itu haruslah menjadi pribadi yang menjadi uswah hasanah, pribadi yang menjadi panutan bagi setiap manusia.

Selama bulan suci itu, ia dilarang melakukan apa saja yg termasuk larangan dalam bulan suci. Setiap larangan itu tidak dikerjakan oleh mereka di bulan suci, dan mereka memegang amanah itu dengan baik, sehingga setelah selesai bulan Ramadhan, pribadi ini akan terus mempraktekkan apa yang dilatih ketika puasa.

Puasa memaksa seseorang untuk mematuhi perintah syari’ah secara terus menerus, tanpa berhenti, dalam jangka waktu yang lama. Lamanya waktu untuk mengerjakan solat hanya berlangsung beberapa menit saja.

Waktu membayar zakat hanyalah sekali dalam setahun. Haji memang memerlukan waktu yang lama, tetapi hal itu hanya diwajibkan satu kali dalam seumur hidup, dan juga hanya bagi orang-orang yang kaya saja.

Tetapi puasa berbeda dengan itu semua, karena, puasa adalah suatu latihan untuk mengikuti syari’at Muhammad dalam waktu satu bulan penuh dalam setahun, siang malam. Seorang harus bangun pagi-pagi sebelum fajar untuk makan sahur, berhenti makan dan minum tepat pada waktu yang tertentu, mengerjakan dan tidak mengerjakan pekerjaan ini dan itu selama siang hari, berbuka pada petang hari tepat pada waktu yang tertentu, lalu makan dan istirahat sebentar, terus cepat-cepat bergegas untuk solat tarawih.

Dengan cara begini, setiap tahun dalam waktu satu bulan penuh, dari pagi sampai petang hari, dan dari petang hari sampai pagi, seorang Muslim diikat terus-menerus dengan peraturan-peraturan ini.

Makna yang dipetik  

Dari penjelasan singkat di atas, dapatlah dipahami, bahwa dengan ibadah puasa seorang yang beriman akan semakin terlatih dalam menjalankan amanah Allah di dunia. Mereka dilatih untuk selalu takut akan melakukan dosa dan kesalahan, jujur dalam setiap tindakan dan perbuatan, tidak mengkhianati amanah, sabar dalam segala ujian dan perintah, selalu menjalankan kebijakan sesuai dengan apa yang digariskan kepadanya.

Seorang yang menjalankan puasa dengan sungguh-sungguh, dan memaknai puasa ini dengan benar, maka akan menghasilkan karakter kekhalifahan yang kuat.

Kalau ia seorang pemimpin, ia tidak akan tunduk pada kemauan yang bathil, tidak akan tunduk pada kedzoliman. Karena pemimpin dalam Islam hanya takut pada kebenaran yang bersumber dari Tuhan Semesta Alam, tidak akan takut pada Asing dan penjajah.

Seorang pemimpin harus jujur, sabar, amanah dan bertanggungjawab atas apa yang dipimpinnya. Puasa mengajarkan itu semua, dan puasa ini juga sebagai media untuk melatih karakter itu. Maka dibulan puasa ini, adalah bulan bagi seseorang untuk mendalami karakter kepemimpinan, dan menjadi pemimpin yang menjadi contoh tauladan bagi setiap orang.

Semoga dengan bulan puasa ini Indonesia mampu melahirkan pemimpin yang amanah, tidak khianat, selalu jujur dan selalu menepati janji, serta mampu menjalankan amanah. Maka latihan yang paling baik adalah dibulan puasa ini.*/ Furqan Jurdi, Ketua Komunitas Pemuda Madani dan Aktivis IMM

HIDAYATULLAH

Idul Fitri: Antara Pesimis dan Optimis

Berikut penjelasan terkait Idul Fitri, antara pesimis dan optimis. Inilah poin penting dalam memperingati Idul Fitri.

Khauf (pesimis) dan raja’ (optimis) adalah dua kualitas penempuh laku spiritual yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Imam al-Qusyairi menukil perumpamaan yang indah nan menjelaskan perlunya menyelaraskan antara pesimis dan optimis dari Abu Ali al-Rudzbari.

الخوف والرجاء هما كجناحي الطائر إِذَا استويا استوى الطير وتم طيرانه وإذا نقص أحدهما وقع فِيهِ النقص وإذا ذهبا صار الطائر فِي حد الْمَوْت.

“Optimis dan pesimis ibarat sepasang sayap burung. apabila keduanya selaras, maka burung pun akan bertengger dan dapat terbang dengan sempurna. Tapi apabila terdapat cacat pada salah satunya, terbangnya burung pun akan menjadi cacat.

Sedangkan apabila kedua sayapnya lenyap, itu artinya burung itu telah di ambang batas kematiannya.” (al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, 1/260)

Secara pengamalan, dalam Ihya ‘Ulum al-Din, al-Ghazali menyebut kombinasi khauf dan raja sebagai salah satu syarat batin dari puasa. Al-Ghazali mengatakan,

 السادس أن يكون قلبه بعد الإفطار معلقاً مُضْطَرِبًا بَيْنَ الْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ إِذْ لَيْسَ يَدْرِي أَيُقْبَلُ صَوْمُهُ فَهُوَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ أَوْ يُرَدُّ عَلَيْهِ فَهُوَ مِنَ الْمَمْقُوتِينَ وَلْيَكُنْ كَذَلِكَ فِي آخر كل عبادة يفرغ منها

“Syarat batin dari puasa yang keenam yaitu setelah berbuka hati orang yang berpuasa terpaut dengan rasa pesimis dan optimis. Sebab belum tentu puasanya diterima sehingga ia termasuk golongan orang-orang yang didekatkan dengan Allah.

Atau justru puasanya tak diterima lantas ia termasuk kalangan yang dibenci. Hendaklah bersikap demikian setiap kali selesai melakukan.” (al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, 1/235)

Dalam menghadapi momentum Idul Fitri pun rasa pesimis dan optimis mestinya juga tidak boleh dikesampingkan. Memang tidak salah menunjukkan rasa bahagia atas hadirnya hari yang mulia ini. Bahkan memang seharusnya. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari mengungkapkan,

أَنَّ إِظْهَارَ السُّرُورِ فِي الْأَعْيَادِ مِنْ شِعَارِ الدِّينِ

“Sesungguhnya menampakkan rasa bahagia pada hari-hari Id merupakan syiar agama,” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, 2/433).

Akan tetapi tanpa dibarengi dengan khauf, bahwa belum tentu amal kita selama Ramadan diterima, bukan mustahil Idul Fitri justru menjadi momentum berfoya-foya atau bahkan melampiaskan hawa nafsu yang diredam selama sebulan penuh.

Oleh sebab itu, tak heran bilamana sebagian generasi salaf justru merasa sedih ketika memasuki Idul Fitri. Alih-alih bergembira ria, sebagian mereka justru tampak murung karena akan berpisah dengan bulan Ramadan yang penuh keberkahan. Di samping itu mereka khawatir amal ibadah yang mereka lakukan tidak diterima dan dosa-dosa mereka tidak diampuni.

Ibn Rajab al-Hanbali dalam Lathaif al-Ma’arif misalnya, menukil riwayat yang mengisahkan Umar bin Abdul Aziz. Dikisahkan bahwa sang Khalifah keluar dari istana pada hari Idul Fitri. Sang Khalifah pun berkhutbah di hadapan masyarakatnya.

“Wahai manusia! Kalian telah berpuasa karena Allah sebulan penuh. Kalian juga telah menghidupkan malam Ramadan selama tiga puluh malam. Hari ini kalian keluar seraya berharap agar Allah menerima amal ibadah kalian semua.

Ketahuilah bahwa sebagian generasi salaf justru tampak bersedih ketika hari Idul Fitri. Lantas sebagian mereka itu ditanya, ‘Bukan ini hari berbahagia dan suka cita?’ Sebagian mereka pun menjawab, ‘Kalian benar ini adalah  hari berbahagia.

Namun aku hanya seorang hamba yang oleh Tuhanku diperintahkan untuk beramal untuk-Nya. Sementara aku tak tahu apakah amal diterima’ ” (Ibnu Rajab, Lathaif al-Ma’arif, 209).

Hampir serupa dengan kisah dalam riwayat di atas, Ibnu al-Jauzi dalam al-Tabshirah menukil kisah Shalih bin Abdul Jalil. Disebutkan bahwa ketika Idul Fitri tiba, Shalih bin Abdul Jalil mengumpulkan keluarganya. Ia pun duduk di tengah mereka sembari menangis. Saudara-saudaranya pun mengeherankan mengapa ia bersedih padalah ini adalah hari bergembira.

Shalih bin Abdul Jalil menjawab, “Kalian benar ini adalah  hari bergembira. Tetapi aku hanyaseorang hamba yang oleh Tuhanku diperintahkan beramal untuk-Nya. Aku pun beramal namun aku tak tahu apakah Tuhanku menerima atau menolak amalku. Maka bersedih lebih utama bagiku,” (Ibnu al-Jauzi, al-Tabshirah, 2/110).

Demikian renungan sufistik yang berhubungan dengan hari raya Idul Fitri. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Pentingnya Menjaga Kesehatan agar Bisa Berangkat Haji

Rangkaian ibadah haji dipenuhi kegiatan fisik. Karena itu, diperlukan kesadaran untuk menjaga kesehatan jamaah.

Minat berhaji sudah tinggi sejak dulu hingga sekarang, tetapi minat tersebut tidak diikuti dengan persiapan kesehatan yang matang. Dalam pelaksanaan haji tidak hanya materi yang harus dipersiapkan, bekal kesehatan fisik dan mental juga harus demikian.

“Jika mengulik kembali peristiwa pendemi dalam sejarah haji, ditemukan fakta bahwa faktor kesehatan turut mempengaruhi terwujudnya niat berhaji seseorang,” tulis M Imran S Hamdani dalam bukunya Ibadah Haji di Tengah Pandemi Covid-19 Penyelenggaraan Berbasis Resiko.

Bahkan sebelum munculnya wabah penyakit menular dalam sejarah Haji, kesehatan menjadi paling utama wajib dipersiapkan calon jamaah haji. Karena 95 persen kegiatan manasik kesehatan haji dijalankan dengan aktivitas fisik.

Hal ini terlihat, dari kegiatan haji di zaman dahulu, ketika itu jamaah haji saat pergi ke tanah suci hanya dengan berjalan kaki, mengendarai kuda, keledai, atau kapal layar. Untuk bisa sampai ke tanah suci mereka harus memenuhi menempuh perjalanan selama berhari-hari berminggu-minggu, hingga berbulan-bulan.

“Perjalanan panjang dan batang dapat dijalankan oleh orang yang memiliki persiapan baik terutama kesehatan,” katanya.

Sejak wabah itu, wajah haji berubah, tidak lagi sama. Wabah kolera dan miningitis yang berlangsung bertahun-tahun di semenanjung Arab telah mengubah proses perjalanan ibadah haji. Semua mengetahui bahwa wabah kolera dan miningitis tidak berasal dari tanah suci. 

“Penyakit tersebut masuk ke tanah suci dari jamaah haji yang berasal dari negara terjangkit,” katanya. 

Jamaah-jamaah tersebut membawa penyakit dengan tanpa gejala dan terlihat sehat. Penyakit-penyakit pun menjadi momok dalam perjalanannya menuju Tanah Suci, selain masalah ibadah dan perampok.

Agen penyebab penyakit ini kemudian berpindah dari satu orang ke beberapa orang lainnya. Sehingga menyebabkan angka korban dan kematian di tanah suci semakin bertambah.

“Mereka yang selamat dan lolos dari tanah suci akan membawa pulang penyakit ke negerinya,”katanya. 

Seperti bola salju yang terus menggelinding semakin lama semak membesar. Oleh karena itu, negara-negara yang terjangkit perlu mengambil tindakan untuk menghentikan penularan penyakit.

Imran S Hamdani mengatakan, ketika obat penawar belum ditemukan, pencegahan menjadi satu-satunya pilihan. Namun perlu disadari bahwa meskipun obat telah ditemukan, pencegahan dan pengendalian merupakan penawar terbaik bagi penyakit menular.

IHRAM

Mengapa Istithaah Menjadi Syarat Haji?

Allah sudah menegaskan bahwa melaksanakan perjalanan ke Baitullah untuk Ibadah haji hanya bagi yang mampu. Penegasan ini Allah SWT abadikan dalam surah Ali Imran ayat 97 yang artinya:

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”

H Fakhrizal Idris, Lc dalam bukunya Haji dan Ibadah menyampaikan, Nabi SAW ketika menyebutkan rukun Islam yang lima bersabda, “Dan melaksanakan haji ke Baitullah bagi yang mampu mengadakan perjalanan tersebut.” (HR. Muslim).

Apa yang dimaksud dengan Istitha’ah (kemampuan) dan sabil, dalam ayat dan hadits di atas? Katanya, ulama kita menjelaskan bahwamampu artinya memiliki kekuatan fisik, yaitu badan yang sehat dan memiliki harta.

Kemampuan harta di sini adalah ketika seseorang memiliki sarana untuk melakukan perjalanan ke tanah suci dan bekal untuk dirinya selama proses ibadah haji, serta bekal untuk keluarga yang ditinggalkan. Harta yang ditinggalkan itu ketika sudah memiliki keluarga yang menjadi tanggungannya yang ukuran berapa banyak harta yang ditinggalkan adalah ampai dia kembali. 

“Sarana perjalanan pada zaman sekarang dapat berupa sarana darat (bus), laut (kapal laut) atau udara (pesawat terbang), dan kesemuanya tergantung kondisi dan kebutuhan seseorang,” katanya.

Demikian pula sarana penginapan dan makanan, harus disesuai dengan kondisi dan kebutuhan seseorang. Segala puji bagi Allah yang Mahakaya lagi Mahamulia yang telah mewajibkan ibadah haji bagi hamba-ambaNya, dan ibadah ini hanya diwajibkan satu kali saja seumur hidup.

“Agar pengorbanan dalam menunaikan ibadah haji tidak sia-sia, maka harta yang dibelanjakan harus didapat dengan cara yang baik dan halal, karena Allah tidak menerima kecuali yang thayyib (baik),” katanya.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah Mahabaik, dan Allah tidak menerima kecuali sesuatu yang baik.” (HR. Muslim). 

Yang dimaksud dengan harta halal di sini adalah harta yang diperoleh dengan usaha atau cara-cara yang halal, sedangkan harta yang haram adalah harta yang dihasilkan dari usaha atau cara-cara yang diharamkan dalam syariat, seperti mencuri, menipu, berdagang barang yang diharamkan syariat, transaksi berunsur riba, korupsi, dan sebagainya. 

Orang yang melaksanakan haji dengan biaya hasil mencuri atau korupsi, sama halnya dengan orang yang shalat dengan pakaian hasil curian, ia berdosa. Ia tidak mempunyai hak apa-apa atas harta hasil curiannya itu. Ia justru berkewajiban untuk bertaubat, antara lain dengan menerima hukuman Allah atas pencurian dan mengembalikan harta itu kepada pemiliknya.

Ia sama sekali tidak berhak menggunakan harta itu untuk keperluan apapun, termasuk untuk pergi beribadah haji. Adakalanya seseorang mendapat harta bukan dari hasil kerjanya secara langsung, melainkan dari hibah [pemberian] atau hadiah. 

Biaya melaksanakan haji yang didapat dari hadiah atau fasilitas, maka disyaratkan bagi pihak yang memberikan biaya itu benar-benar ikhlas dan rela, bukan karena paksaan, tekanan, manipulasi, dan sebagainya. Sehingga kemampuan [istitha’ah] yang berasal dari orang lain itu juga benar-benar halal, tidak tercampur unsur dosa dan sebagainya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Tidak diterima shalat tanpa bersuci dan [tidak diterima pula] sedekah dari [hasil] ketidakjujuran [mengambil hasil rampasan perang sebelum dibagi oleh pemimpin].” [HR. Muslim].

Imam Bukhari berkata, ”Allah Ta’ala tidak menerima sedekah dari [hasil] kecurangan dan Allah Ta’ala tidak menerima kecuali yang thayyib (baik).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:Barang siapa bersedekah sebesar kurma dari hasil kerja yang halal, sementara Allah tidak akan menerima kecuali yang baik, maka Allahakan menerimanya dengan tangan kanan, kemudianmengembangkannya untuk pemilik sedekah itu sebagaimana salah seorang dari kalian memelihara anak kudanya, hingga sedekah itumenjadi sebesar gunung.” (HR. Bukhari).

Akan tetapi harta halal yang didapat dari usaha sendiri lebih baikdari harta pemberian atau hadiah. Sebagaimana yang dilakukan sahabat yang mulia Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, ketika beliau memilihberniaga di pasar daripada menerima harta hibah (pemberian) saudaranya Sa’ad bin Ar-Rabi’ radhiyallahu ‘anhu.

IHRAM

Saat Bertamu Lebaran, Bagaimana Hukum Membatalkan Puasa Syawal?

Puasa sunah di bulan syawal merupakan puasa sunah yang senantiasa dilaksanakan oleh Rasulullah Saw. atau disebut juga sebagai sunah muakkad (yang dikukuhkan kesunahannya). Puasa ini dilaksanakan sebanyak 6 hari dan sebaiknya dilaksanakan sejak tanggal 2 hingga 7 syawal agar berjarak tidak terlalu jauh dengan puasa Ramadhan sehingga fisik kita khususnya perut bisa beradaptasi dengan baik. Bagaimana hukum membatalkan puasa syawal saat kita bertamu di awal-awal bulan Syawal yang masih momen lebaran?

Permasalahannya adalah, di awal-awal bulan syawal, biasanya banyak diagendakan acara bertamu pada keluarga, sahabat maupun kolega. Baik dalam rangka saling bermaafan ataupun demi mempererat tali silaturrahim. Bertamu atau silaturrahim ini tentu merupakan kegiatan yang sangat baik menurut pandangan syariat Islam dan bahkan bisa memberikan keberkahan bagi kedua belah pihak.

Pada momen bertamu tersebut biasanya tuan rumah akan mensuguhkan hidangan kepada kita dalam rangka ikram al-dlaif (penghormatan terhadap tamu). Disinilah terjadi dilema. Hendak dimakan maka batallah puasa, tak dimakan khawatir menyakiti hati sang tuan rumah.

Syekh Zainudin al-Malibari dalam kitab Fath al-Mu’in memberikan solusi atas permasalahan ini dengan pernyataan beliau:

يندب الأكل في صوم نفل ولو مؤكدا لإرضاء ذي الطعام بأن شق عليه إمساكه ولو آخر النهار للأمر بالفطر ويثاب على ما مضى وقضى ندبا يوما مكانه فإن لم يشق عليه إمساكه لم يندب الإفطار بل الإمساك أولى

Artinya: “Disunahkan makan (saat bertamu) ketika sedang berpuasa sunah meskipun sunah muakkad untuk menyenangkan pemilik makanan, bila mempertahankan puasa memberatkan bagi tuan rumah, meskipun sudah berada di akhir waktu siang karena adanya perintah untuk berbuka. Ia akan diberi pahala atas puasa yang telah lewat dan sunah menggantinya di hari yang lain. Namun bila mempertahankan berpuasa tidak memberatkan bagi tuan rumah maka tidak disunahkan berbuka, bahkan lebih utama mempertahankannya.”

Dari pernyataan Syekh Zainudin diatas kita bisa memahami bahwa apabila kita tidak memakan hidangan akan membuat tuan rumah bersusah hati, maka hukum membatalkan puasa syawal itu disunnahkan. Misalkan ketika tuan rumah sudah susah payah memasakkan atau membuatkan makanan untuk kita, dimana apabila kita tidak memakannya akan berpotensi membuat tuan rumah kecewa, maka dalam hal ini sebaiknya kita batalkan saja puasa kita.

Hal ini berlaku pada setiap jenis puasa sunah termasuk puasa sunah muakkad seperti puasa syawal. Tidak perlu juga khawatir bahwa pahala kita akan hilang, karena dalam lanjutan keterangannya, Syekh Zainudin berkata bahwa Allah tetap akan memberikan pahala terhadap orang tersebut. Semisal ia batal di jam 2 siang karena makan hidangan suguhan, maka Allah tetap akan memberinya pahala puasa sejak subuh hingga jam 2 tersebut.

Berikutnya, apabila kita membatalkan puasa, kita disunahkan untuk mengganti puasa tersebut di hari yang lain. Semisal di tanggal 2 kita sudah niat puasa syawal namun batal, maka kita disunahkan untuk menggantinya di tanggal 8.

Sebaliknya, apabila dirasa bahwa tuan rumah tidak akan bersusah hati jika kita tidak makan, maka sebaiknya kita tidak usah membatalkan puasa kita dan sampaikan dengan bahasa yang baik kepada tuan rumah bahwa kita sedang berpuasa.

Pernyataan serupa juga bisa kita temukan dalam kitab Mughni al-Muhtaj:

فإن كان هناك عذر كمساعدة ضيف في الأكل إذا عز عليه امتناع مضيفه منه، أو عكسه فلا يكره الخروج منه، بل يستحب..أما إذا لم يعز على أحدهما امتناع الآخر من ذلك، فالأفضل عدم خروجه منه، كما في المجموع

Artinya: Jika (dalkam membatalkan puasa tersebut) ada udzur, seperti menemani tamu makan jika ia tersinggung bila tuan rumahnya tidak makan atau sebaliknya, maka tidak makruh bahkan dianjurkan membatalkan puasa. Adapun jika tidak tersinggung bila salah satunya menolak untuk makan, maka lebih utama tidak membatalkan puasa sunnah, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Majmu’.

Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi shawab.

BINCANG SYARIAH

Mendengarkan Takbiran dari Youtube, Apakah Berpahala?

Bagaimana hukum mendengarkan takbiran dari Youtube? Sebelum menjawab itu, saya ingin menyampaikan bahwa hari raya idul fitri atau lebaran merupakan hari yang sangat dinantikan oleh umat Muslim di seluruh dunia, apalagi di Indonesia. Saat lebaran tiba, semesta kita dipenuhi oleh bacaan takbir baik dari rumah-rumah, masjid, mushola, jalan-jalan, pasar, dan lain sebagainya. Hal tersebut memang sesuai dengan semangat Alquran surat Al-Baqarah ayat 185 yang didalamnya terdapat perintah untuk memperbanyak takbir sesudah puasa Ramadhan selesai:

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

wa litukabbirullāha ‘alā mā hadākum wa la’allakum tasykurụn

Artinya: “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”

Saat sekarang ini, jika seseorang ingin melakukan takbiran bersama tidak mesti harus berjumpa secara fisik, namun bisa juga dengan menggunakan media lain semacam radio, televisi, atau yang terbaru saat ini ialah dengan menonton youtube. Kita tentu sudah sangat memahami bahwasanya melakukan takbiran bersama di malam lebaran secara fisik hukumnya adalah sunah dari sisi melafalkan takbir-nya dan dari sisi silaturrahimnya. Lantas bagaimana dengan bertakbiran atau mendengarkan takbiran lewat youtube? Apakah juga berpahala?

Dalam persoalan takbiran di hari lebaran ini, Imam Syairazi dalam kitab al-Muhadzdzab menjelaskan:

التكبير سنة في العيدين لما روى نافع عن عبد الله أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يخرج في العيدين مع الفضل بن العباس وعبد الله بن العباس وعلي وجعفر والحسن والحسين وأسامة بن زيد وزيد بن حارثة وأيمن بن أم أيمن رضي الله عنهم رافعاً صوته بالتكبير فيأخذ طريق الحدادين حتى يأتي

Artinya: “Takbir hukumnya sunnah dalam dua id sebagaimana riwayat Nafi’ dari Abdullah bahwasanya Rasulullah Saw. keluar untuk menuju salat id bersama Fadhl ibn Abbas, Abdullah ibn Abbas, Ali, Ja’far, Hasan, Husein, Usamah ibn Zaid, Zaid ibn Haritsah, dan Aiman ibn Ummu Aiman Ra. Nabi mengeraskan bacaan takbir tersebut, melewati jalan Hadadain hingga sampai di tempat pelaksanaan salat id.”

Penjelasan diatas memberikan pengertian kepada kita bahwa Nabi membaca takbir lebaran bersama-sama dengan sahabat-sahabat beliau dalam perjalanan menuju ke tempat salat id dengan mengeraskan suara. Alasan mengapa harus mengeraskan suara dijelaskan dalam lanjutan keterangan kitab Al-Muhadzdzab:

ويستحب رفع الصوت بالتكبير لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يخرج في العيدين رافعاً صوته بالتهليل والتكبير لأنه إذا رفع صوته سمع من لم يكبر فيكبر

Artinya: “Disunnahkan mengeraskan suara saat bertakbir sebagaimana riwayat bahwasanya Nabi Saw. keluar untuk menuju salat id mengeraskan suara beliau saat membaca tahlil dan takbir, karena jika bacaan takbir dikeraskan, maka orang yang tidak bertakbir akan mendengarnya sehingga ia tertarik untuk takbiran juga”.

Berarti dengan demikian, yang disunnahkan saat lebaran ialah membaca takbir, bukan hanya mendengarkannya saja. Meskipun demikian, apabila dengan mendengarkan takbiran itu akan menggerakkan kita untuk membaca takbir, maka hal tersebut dianggap sebagai media menuju kesunnahan.

Maka bagi seseorang yang mendengarkan takbiran lewat youtube, ia tetap masih mendapatkan pahala apabila dengan mendengarkan takbiran tersebut bisa menjadi media baginya untuk melafalkan takbir dengan suara yang lantang memuji kebesaran Allah.

Wallahu a’lam bi shawab.

BINCANG SYARIAH

Kisah Ahmad bin Hanbal Tidak Takbiran pada Hari Raya karena Ilmu

Hari raya Idul Fitri maupun hari Raya Idul Adha, lazimnya diisi dengan berbagai kegiatan ibadah untuk menyambutnya. Hal ini memang berdasarkan dalil yang menganjurkan bagi umat Islam adalah menghidupkan malam hari raya dengan ibadah. Terdapat sebuah hadits  yang dikutip Syekh Ibrahim al-bajuri dalam Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib:

 من أحْيَا لَيلَةَ الْعِيد، أَحْيَا اللهُ قَلْبَهُ يَوْمَ تَمُوْت القُلُوبُ

“Barang siapa yang menghidupkan malam hari raya, Allah akan menghidupkan hatinya di saat hati-hati orang sedang mengalami kematian”

Bentuk kegiatan untuk menghidupkan hari raya ini dalam prakteknya muncul bermacam-macam variasi. Menurut sebagian ulama menghidupkan hari raya paling minimal bisa dilakukan dengan menjalankan shalat isya’ berjamaah serta niat kuat ingin menjalankan shalat shubuh berjamaah. Akan tetapi amalan yang paling masyhur dalam menghidupakan hari raya adalah dengan membaca takbir. Karena amalan ini telah dilakukan secara turun temurun mulai para sahabat, tabi’in hingga saat ini. Bahkan di Indonesia sendiri takbiran ini sudah mendaging dan membudaya dalam darah masyarakat Indonesia.

Ada kisah unik mengenai takbiran ini yang dialami oleh Ishaq bin Rahawaih dan Imam Ahmad bin Hanbal. Dua ulama besar Islam pada masanya. Kisah ini diabadikan oleh Ibnu Muflih Al-Hanbali dalam al-Adab al-Syar’iyyah wa al-Minah al-Mar’iyyah vol. 2 hal. 120:

Suatu ketika Ishaq bin Rahawayh dan Imam Ahmad bin Hanbal sedang berdiskusi di kediaman Imam Abdurrazzaq bin Hammam As-Shun’ani (w. 211 H). Imam Abdurrazzaq  sendiri merupakan seorang ulama pakar hadis dari Kota Sana’a Yaman. Dan beliau tidak lain adalah guru dari Ishaq bin Rahawayh dan Ahmad bin Hanbal.

Seperti biasa beliau berdua menelaah dan menerima kajian dari sang guru setiap harinya. Apalagi di Bulan Ramadhan, intensitas pengajaran semakin padat. Pagi, siang dan malam tak henti-hentinya diisi dengan kajian keilmuan. Hingga tak terasa tibalah malam hari raya. Semua penduduk Kota Sana’a begitu antusias dalam meramaikan malam hari raya. Suara takbir menggema dari mulut ke mulut. Malam itu pun terasa begitu meriah dan khidmat.

Namun, hal berbeda justru terjadi di kediaman Imam Abdurrazzaq. Di dalam rumah tersebut malah nampak hening. Maksud hening disini adalah tidak ada keramaian dan tidak ada takbir yang menggema sebagaimana lazimnya pada malam hari raya. Ketiga ulama tersebut justru nampak serius membahas dan menelaah sebuah kitab.

Hal tersebut tampaknya, menarik perhatian masyarakat sekitar. Mereka heran dan menyimpan banyak sekali pertanyaan mengganjal dalam hatinya. Bukankah ketika malam hari raya seperti ini harus disemarakkan dengan bacaan takbir sebagaimana lazimnya. Namun mengapa mereka saat ini justru sama sekali tidak membaca takbir. Malah justru sibuk menelaah ilmu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus mengusik benak sebagian masyarakat sekitar. Tak pelak hal itu pun memunculkan beragam persepsi. Ada yang menanggapi secara positif, namun tidak sedikit juga yang berpandangan negatif.  Namun walaupun begitu mereka tidak berani mengutarakan pertanyaan-pertanyaan itu.

Hingga keesokan harinya mereka bertiga pun berangkat menunaikan shalat Idul Fitri di mushola. Ketiganya pun masih sama, sepanjang perjalananan hingga usai shalat sama sekali tidak membaca takbir.

Shalat pun usai, Imam Abdurrazzaq as-Shan’ani kemudian memanggil kedua muridnya tersebut ke rumahnya. Ternyata Imam Abdurrazzaq semalam juga sebenarnya merasa agak ganjal. Kenapa kedua muridnya tersebut tidak membaca takbir sebagaimana lazimnya. Sebenarnya ia ingin takbiran namun, melihat keseriusan kedua muridnya itu beliau mengurungkan niatnya.

“Begini, Nak,” panggil Imam Abdurrazzaq memulai percakapan.

“Tadi malam, aku melihat Imam Sufyan at-Tsauri dan Muammir meramaikan hari raya dengan membaca takbir. Aku pun hendak ikut membaca takbir, namun setelah melihat kalian berdua tidak membaca takbir sama sekali, akupun urung melakukannya. Aku pun ikut tidak membaca takbir bersama kalian”

“Namun aku hanya ingin tahu satu hal, apa yang menyebabkan kalian berdua tidak membaca takbir untuk menghidupkan hari raya?”

Imam Ishaq bin Rahawaih dan Ahmad bin Hanbal pun serempak menjawab:

نحن نرى التكبير ولكن شغلنا بأيَ شيء نبتدئ من الكتب؟

“Ya memang kami sadar dan mengetahui mengenai takbiran ini. Akan tetapi kami telah disibukkan dengan (menelaah) kitab-kitab yang telah kami mulai”

Semangat para ulama dalam menuntut ilmu memang tidak ada habisnya. Walaupun sudah masuk hari Raya. Namun mereka tetap gigih memperjuangkan dan menuntut ilmu. Adapun keputusan Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawayh untuk tidak takbiran, dan justru tetap fokus mengkaji ilmu adalah karena memang menuntut ilmu itu adalah kewajiban. Sedangkan menghidupkan hari raya dengan takbir adalah sunnah. Sehingga tentu kewajiban lah yang harus didahulukan, selain itu dengan belajar secara tidak langsung ia juga telah menghidupkan malam hari raya. Namun dengan bentuk lain yang tentunya lebih  bermanfaat. Mengenai hal ini Imam Nawawi pernah memberkan alasan mengenai hal ini:

انهم متفقون على ان الاشتغال بالعلم أفضل من الاشتغال بنوافل الصوم والصلاة والتسبيح ونحو ذلك من نوافل عبادات البدن، ومن دلائله سوى ما سبق أن نفع العلم  يعم صاحبه والمسلمين، والنوافل المذكورة مختصة به

Artinya, “Ulama salaf sepakat bahwa menuntut ilmu lebih utama ketimbang ibadah sunnah, semisal puasa, shalat, tasbih, dan ibadah sunnah lainnya. Di antara dalilnya adalah, selain yang disebutkan di atas, ilmu bermanfaat bagi banyak orang, baik pemiliknya maupun orang lain, sementara ibadah sunnah yang disebutkan (manfaatnya) khusus bagi orang yang mengerjakan saja.”

BINCANG SYARIAH

Hukum Makan Ketupat di Hari Lebaran

Di Indonesia, ketupat senantiasa identik dengan lebaran, khususnya hari raya idul fitri. Biasanya, ketupat ini disajikan bersama dengan opor ayam di pagi, siang hingga sore hari lebaran setelah sebelumnya selama sebulan umat Islam tidak diperkenankan makan dan minum sepanjang hari. Menarik untuk dikaji apakah makan ketupat di hari lebaran ini hanya sekadar tradisi saja atau merupakan bagian dari syariat? Untuk itu tulisan ini akan membahas hukum makan ketupat di hari lebaran.

Pada prinsipnya, makan, minum, menikah, dan kebutuhan hewani lainnya dihukumi mubah dalam Islam asalkan tidak berlebihan. Syariat menegaskan bahwa yang boleh kita makan hanyalah makanan yang halal dan thayyib. “Thayyib” disini bisa kita artikan sebagai enak dan menyehatkan. Hal ini dijelaskan dalam Alquran Surat Al-Baqarah: 168:

يٰۤاَ يُّهَا النَّا سُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَ رْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا  ۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ  ۗ اِنَّهٗ لَـكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

yaaa ayyuhan-naasu kuluu mimmaa fil-ardhi halaalang thoyyibaw wa laa tattabi’uu khuthuwaatisy-syaithoon, innahuu lakum ‘aduwwum mubiin.

Artinya: “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu”.

Dengan demikian, segala makanan yang halal dan thayyib semuanya dihukumi boleh atau mubah untuk dikonsumsi.

Dalam kondisi-kondisi tertentu, hukum mubah tersebut bisa menjadi haram misalkan ketika seseorang makan secara berlebihan sehingga merugikan kesehatan tubuhnya. Sebaliknya, bisa juga hukumnya berubah menjadi wajib misalkan ketika kondisi seseorang sudah sedemikian lemah dan sangat membutuhkan asupan makanan. Bisa juga dihukumi sunnah ketika misalkan tujuan kita makan adalah karena ada perintah dari Rasulullah Saw. atau mengikuti tindak-laku beliau. Contohnya sunah menyegerakan buka puasa, meneyegerakan sahur, dan sunah makan kurma karena Rasulullah menyukai kurma.

Demikian halnya dengan lebaran. Ada moment tertentu dalam lebaran dimana kita disunahkan untuk makan, yakni sebelum salat id pada idul fitri dan sunah makan kurban sesudah salat id. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Syirazi dalam kitab Al-Muhadzdzab:

والسنة أن يأكل في يوم الفطر قبل الصلاة ويمسك في يوم النحر حتى يفرغ من الصلاة

Artinya: “Sunah makan sebelum salat di hari idul fitri, dan tidak makan sebelum salat di hari idul adha”.

Untuk hari raya idul fitri, yang dimakan oleh Rasulullah sebelum melaksanakan salat id ialah kurma dalam jumlah yang ganjil seperti 3, 5, atau 7 butir. Sebagaimana dijelaskan dalam lanjutan penjelasan dalam kitab Al-Muhadzdzab:

والسنة أن يأكل التمر ويكون وتراً لما روى أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم كان لا يخرج يوم الفطر حتى يأكل تمرات ويأكلهن وتراً.

Artinya: “Sunah memakan kurma dalam julah ganjil sebagaimana diriwayatkan oleh Sahabat Anas Ra. Bahwasanya Rasulullah Saw. tidak keluar menuju salat idul fitri kecuali beliau makan kurma sejumlah ganjil”.

Dengan demikian kesimpulannya, di hari raya idul fitri, yang disunnahkan adalah makan kurma sejumlah ganjil sebelum berangkat salat id.

Lantas bagaimana dengan ketupat? (Baca: Hari Raya Ketupat; Khazanah Islam Nusantara yang Terus Dilestariskan)

Tanpa mengurangi keotentikan kecintaan Nabi pada kurma, perlu dipahami bahwa kurma di zaman Nabi merupakan makanan pokok yang dimakan untuk tujuan memperoleh energi (taqwiyyatan). Dalam hal ini ketupat juga bisa masuk kategori makanan pokok karena dengan memakan ketupat yang asalnya dari beras, kita akan memperoleh kekuatan.

Oleh karena itu dari sisi sama-sama merupakan makanan pokok, makan ketupat di hari lebaran juga dihukumi sunah sebagaimana kurma. Meskipun harus kita tegaskan bahwa bagaimanapun kurma tetap menjadi prioritas utama.

Pertimbangan berikutnya adalah ada beberapa pesan budaya yang bisa diambil hikmah dari penyajian ketupat di hari lebaran. Pertama, ketupat dalam bahasa Jawa merupakan representasi dari “kulo ngaku lepat” (indonesia: saya mengaku salah, terj.), sebuah sikap yang dikedepankan oleh masyarakat Nusantara di hari Idul Fitri dimana kita diharuskan untuk saling memaafkan antar sesama.

Di sisi lain, ketupat juga memiliki beberapa keistimewaan yakni mampu mengadaptasikan manusia untuk kembali makan di siang hari yang sebelumnya selama sebulan kita tidak melakukan hal tersebut. Hal yang sama sebagaimana jika kita makan lontong. Namun istimewanya lagi ialah ketupat lebih tahan lama dibandingkan dengan lontong.

Sebagai penutup, bisa kita nyatakan bahwa apabila dilakukan sebelum salat id dan diniati untuk mendapatkan kekuatan agar bersemangat melaksanakan salat id, maka makan ketupat di hari lebaran hukumnya sunah.

Wallahu a’lam bi shawab.

BINCANG SYARIAH