Shalat Subuh dan Kesehatan Jasmani

MAHA Suci Allah yang telah mensyariatkan ibadah shalat. Dengan melaksanakan shalat, selain sebagai sarana ibadah kepada-Nya (QS Adz-Dzariyat [51]: 56), secara otomatis orang yang istiqamah menjalankan akan meraih manfaatnya. Termasuk manfaat kesehatan jasmani maupun rohani. Dan, Allah SWT lebih mencintai mukmin yang kuat (sehat) daripada mukmin yang lemah (sakit-sakitan). (HR Muslim).

Shalat sebagaimana dikemukakan oleh Adnan Tharsyah dalam bukunya ‘Keajaiban Shalat Bagi Kesehatan’ dapat memberikan manfaat kesehatan bagi tubuh manusia. Manfaat ini dapat diperoleh secara otomatis oleh orang-orang yang mampu dan mau menjaga shalatnya secara ikhlas karena Allah SWT.

Di antara manfaat shalat bagi kesehatan itu adalah: memperbaiki kerja jantung; memperluas pembuluh darah dan urat serta membangkitkan kembali sel-sel; menghilangkan susah tidur; menambah kekebalan dari berbagai penyakit dan radang persendian; memperkuat otot dan menambah elastisitas persendian; menghilangkan ketegangan pada otot dan sendi; memperkuat anggota badan dan menjauhkan kelembekan.

Memperoleh kemampuan fisik dan hati; menambah kekuatan, vitalitas, dan keaktifan; memperbaiki tubuh yang cacat dan distorsi yang terus-menerus; memperkuat naluri untuk berkonsentrasi dan daya ingat; memperoleh sifat-sifat terpuji seperti disiplin, tolong menolong, jujur, ikhlas, dan lain sebagainya; bagi olahragawan, shalat dapat memberikan kebugaran tubuh; dan shalat adalah sarana pengganti dari kekurangan dan lemahnya fisik yang ditimbulkan oleh aktifitas pekerjaan.

Demikian halnya dengan shalat Subuh. Shalat Subuh yang dikerjakan pada waktu pagi memiliki manfaat bagi kesehatan. Selain manfaat kesehatan secara umum di atas, juga manfaat karena terletak pada waktu dan gerakannya. Pada waktu pukul 06.00 pagi sampai pukul 12.00 siang, serangan jantung akan menjadi cepat pada waktu-waktu tersebut. Pada saat itu terjadi peningkatan tegangan saraf simpatis, dan penurunan tegangan saraf parasimpatis.

Pada waktu pagi dini hari sekitar pukul 03.00 pagi sampai siang hari, secara perlahan dalam tubuh manusia terjadi peningkatan adrenalin menyebabkan tekanan darah meningkat. Selanjutnya terjadi peningkatan aktifitas agregasi trombosit (sifat saling menempel pada sel trombosit yang mengakibatkan darah membeku) meskipun kita tertidur. Penyempitan pembuluh darah berefek negatif bagi tubuh karena pengaruh lancar atau tidaknya aliran darah. Tubuh memerlukan suatu zat yang ada pada sel pembuluh darah untuk melebarkan kembali pembuluh darah. Zat tersebut bernama NO (Nitrik Oksida).

Saat kita bangun di pagi hari menjalankan shalat, tubuh akan aktif menaikkan kadar zat NO dalam tubuh. Gerakan-gerakan yang dibangun pada pagi hari membuat produksi zat NO naik lebih cepat sehingga mencegah darah membeku karena efek agregasi trombosit berkurang. (http://prasdelsehati.com).

Adnan Tharsyah secara khusus menambahkan manfaat dari shalat Subuh bagi kesehatan, seperti dapat menerangi wajah, menguatkan fungsi hati, menyegarkan jiwa, menghilangkan kemalasan, memperlancar peredaran darah setelah tidur, menjaga kesehatan, mengusir kesedihan, dan mencegah penyakit-penyakit kejiwaan.

Di samping itu, ilmu pengetahuan kontemporer menemukan bahwa terdapat gas ozon (O_3) yang mengandung kadar oksigen paling tinggi pada waktu Subuh, kemudian menurun secara bertahap sampai terbitnya matahari.

Hasil praktek kedokteran di Jerman Barat menunjukkan bahwa gas ozon (O_3) bisa digunakan dalam mengobati beragam penyakit kronis yang menimpa paru-paru dan hati. Begitu pula wabah penyakit dalam hati, menguatkan pembuluh darah, meringankan penyakit-penyakit diabetes, seperti keluarnya luka dan nanah, serta melancarkan peredaran darah dalam pembuluh darah, penyakit asma dan alergi.

Selain itu, gas ozon (O_3) juga bermanfaat bagi sistem imunitas tubuh, mengobati penyakit-penyakit penuaan, penyakit dada dan hati, serta melancarkan sel-sel tubuh. Allahu Akbar.

Hal ini pun diakui oleh dokter Susi Lusiyanti, salah seorang peserta majelis taklim pekanan yang penulis sebagai pematerinya. Di sela-sela kesibukannya melayani masyarakat, ketika penulis mengkonfirmasi terkait manfaat shalat Subuh bagi kesehatan, dokter Susi menjelaskan, “Ketika tubuh bangun pagi dan melakukan shalat Subuh serta berjalan pagi menuju masjid maka secara tidak langsung tubuh melakukan olahraga yang dapat menaikkan aliran darah ke jantung, otak dan sel tubuh sehingga tubuh akan kembali segar.”

Tentu masih banyak lagi manfaat dari shalat Subuh yang tidak penulis ketahui. Maka, pantas jika Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

مَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فَهُوَ فِى ذِمَّةِ اللَّهِ فَلاَ يَطْلُبَنَّكُمُ اللَّهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَىْءٍ فَيُدْرِكَهُ فَيَكُبَّهُ فِى نَارِ جَهَنَّمَ

Barangsiapa yang shalat subuh, maka ia berada dalam jaminan Allah. Oleh karena itu, janganlah menyakiti orang yang shalat Shubuh tanpa jalan yang benar.  Jika tidak, Allah akan menyiksanya dengan menelungkupkannya di atas wajahnya dalam neraka jahannam.” (HR. Muslim no. 657)

Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ صَلَّى الْبَرْدَيْنِ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa yang mengerjakan shalat bardain (yaitu shalat shubuh dan ashar) maka dia akan masuk Surga.” (HR. Bukhari dan Muslim).

إِنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

“Sesungguhnya shalat yang paling berat dilaksanakan oleh orang-orang munafik adalah shalat Isya dan shalat Subuh. Sekiranya mereka mengetahui keutamaan keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun mereka harus merangkak.” (HR: Bukhari dan Muslim).  Subhanallah.*/ H Imam Nur Suharno, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (SETIA) Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

HIDAYATULLAH

LBM PBNU Putuskan Hewan yang Terkena PMK Tidak Sah Dijadikan Kurban

LBM PBNU Putuskan Hewan yang Terkena PMK Tidak Sah Dijadikan Kurban. Pasalnya, hewan yang terkena PMK tidak memenuhi syarat dijadikan sebagai qurban. (Baca juga: Cara Niat Qurban Menurut Para Ulama).

Penyakit mulut dan kuku (PMK) saat ini tengah mewabah di Indonesia. Penyakit ini banyak menyerang hewan ternak dari mulai sapi, kerbau hingga domba atau kambing dan tergolong penyakit akut yang penyebarannya melalui infeksi virus dan mudah menular.

Dalam hal ini, Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) menjadikannya sebagai salah satu bahasan pokok selama beberapa hari untuk menstatuskan sapi yang terkena PMK, apakah bisa dijadikan hewan kurban atau tidak.

Dalam hal ini, LBM PBNU merilis hasil kajian perihal hukum berkurban dengan ternak yang terjangkit penyakit mulut dan kuku (PMK). LBM PBNU memutuskan bahwa ternak yang terjangkit PMK tidak memenuhi syarat sebagai hewan kurban.

“Hewan yang terjangkit Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dengan menunjukkan gejala klinis–meskipun ringan–tidaklah memenuhi syarat untuk dijadikan kurban,” demikian bunyi putusan kajian LBM PBNU Tentang Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) tertanggal, Selasa, 7 Juni 2022.

Kajian LBM PBNU membedakan ibadah sedekah dan ibadah qurban. Kajian LBM PBNU menjelaskan bahwa ibadah sedekah lebih terbuka dari segi kriteria dan waktunya.

Adapun ibadah kurban merupakan ibadah istimewa yang memiliki ketentuan sebagaimana dijelaskan dalam hadits dan kitab-kitab fiqih pada umumnya. Ketentuan agama mengharuskan ibadah qurban berasal dari hewan yang cukup umur dan bebas cacat serta penyakit.

“Seseorang boleh bersedekah dengan apa saja yang ia mampu meski dengan kondisi tidak sempurna baik hewan maupun lainnya. Namun tidak demikian dengan ibadah kurban. Tidak sembarang hewan dapat dijadikan kurban. Ada kriteria tertentu bagi hewan yang bisa dijadikan kurban,” demikian salah satu bunyi putusan tersebut.

LBM PBNU menggelar kajian keagamaan terkait PMK dalam kaitannya terutama dengan hewan kurban secara daring via zoom pada Selasa malam, 31 Mei 2022. LBM PBNU menghadirkan pihak Syuriyah PBNU, LBM PWNU dan LBM PCNU se-Indonesia, dokter hewan Muhammad Taufik Fadhlullah dari Ikatan Dokter Hewan Sapi Indonesia, dan sejumlah pihak terkait.

“Saya setuju dengan putusan tersebut,” kata Wakil Rais ‘Aam PBNU KH Afifuddin Muhajir setelah membaca hasil kajian LBM PBNU terkait PMK, Kamis (9/6/2022) sore.

Adapun LBM PBNU berdasarkan keterangan ahli memutuskan bahwa gejala klinis hewan yang terjangkit PMK memiliki titik persamaan dengan beberapa contoh yang tersebut dalam hadits dan memenuhi kriteria ‘aib (cacat) sebagaimana dijelaskan di atas.

“Titik persamaan tersebut antara lain berupa penurunan berat badan pada gejala ringan, pincang, dan kematian,” demikian bunyi kajian LBM PBNU tentang PMK.

Demikian hasil keputusan Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama perihal  Hewan yang Terkena PMK Tidak Sah Dijadikan Kurban.

BINCANG SYARIAH

Hukum Shalat Ghaib untuk Jenazah yang Menghilang

Bagaimana hukum shalat ghaib untuk jenazah yang menghilang? Pasalnya, terdapat praktik di tengah masyarakat shalat ghaib, bagi jenazah yang hilang atau belum ditemukan

Jika ada orang yang meninggal, maka orang hidup yang mengetahuinya, akan terkena taklif hukum wajib kifai (kewajiban kolektif) untuk mengurus jenazahnya. Dan jenazahnya harus diurus dalam 4 aspek, yakni dimandikan, dikafani, disholati dan dikebumikan. 

Pada umumnya, sholat ghoib dilaksanakan ketika ada yang meninggal, dan kita mendapati masa hidupnya, namun ternyata sudah dikebumikan. Lalu bagaimana hukumnya, jika kita mensholati ghaib seseorang yang hilang? 

Literatur fikih, memberikan contoh yang serupa dengan kejadian tenggelamnya Eril Muntaz (putra Pak Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat). Yakni meninggal sebab tertimbun (baik longsor maupun bangunan),  jatuh di sumur dan tenggelam di laut.

Hukum Shalat Ghaib untuk Jenazah yang Menghilang

Terkait hukum shalat ghaib untuk jenazah yang menghilang, ulama Syafi’iyyah berbeda pendapat dalam hal mengurusnya.  Menurut qoul mu’tamad, jenazah tersebut tidak disholati. Sebagaimana dijelaskan oleh Minhaj al-Thalibin dalam redaksi berikut:

وَيُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ تَقَدُّمُ غُسْلِهِ، وَتُكْرَهُ قَبْلَ تَكْفِينِهِ، فَلَوْ مَاتَ بِهَدْمٍ وَنَحْوِهِ وَتَعَذَّرَ إخْرَاجُهُ وَغُسْلُهُ لَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ.

Syarat sahnya sholat jenazah adalah bahwasanya jenazah telah dimandikan, hanya saja makruh mensholatinya jika ia belum dikafani. Andai ada orang meninggal sebab tertimbun atau sebagainya, dan sulit untuk mengeluarkannya dan memandikannya, maka jenazah tersebut tidak sah untuk disholati. (Imam Al-Nawawi, Minhaj Al-Thalibin, halaman 62) 

Jadi menurut kitab tersebut, jenazah yang berkriteria demikian haram untuk disholati. Hanya saja, Seluruh syurrah atau komentator dari kitab ini, menyatakan bahwa ada pendapat yang beranggapan sebaliknya. 

(فَإِنْ مَاتَ بِهَدْمٍ وَنَحْوِهِ) كَوُقُوعِهِ فِي بِئْرٍ أَوْ بَحْرٍ عَمِيقٍ (وَتَعَذَّرَ إخْرَاجُهُ وَغُسْلُهُ أَوْ تَيَمُّمُهُ لَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ) لِانْتِفَاءِ شَرْطِهَا، وَهَذَا هُوَ الْمُعْتَمَدُ خِلَافًا لِجَمْعٍ مِنْ الْمُتَأَخِّرِينَ حَيْثُ زَعَمُوا أَنَّ الشَّرْطَ إنَّمَا يُعْتَبَرُ عِنْدَ الْقُدْرَةِ لِصِحَّةِ صَلَاةِ فَاقِدِ الطَّهُورَيْنِ بَلْ وُجُوبُهَا، إذْ يُمْكِنُ رَدُّهُ بِأَنَّ ذَاكَ إنَّمَا هُوَ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ الَّذِي حَدَّ الشَّارِعُ طَرَفَيْهِ وَلَا كَذَلِكَ هُنَا

“Jika ada seseorang meninggal sebab tertimbun atau jatuh di sumur dan laut, lalu sulit untuk mengekuarkannya dan memandikannya, maka ia tidak disholati. Sebab ketiadaannya syarat sah untuk mensholatinya (yakni memandikannya), dan inilah pendapat yang mu’tamad. 

Berbeda dengan golongan muta’akhhirin yang mana mereka menganggap bahwasanya syarat sah sholat itu diberlakukan ketika mampu saja (adapun jika tidak mampu, maka tidak apa-apa), syahdan orang yang tidak mampu bersesuci tetap wajib sholat. 

Namun pendapat ini ditentang, sebab dalam konteks tidak mampu bersesuci, sholatnya itu dalam rangka menghornati waktu yang telah ditentukan oleh Syari’. Sedang dalam konteks jenazah tadi, tidak demikian”. (Syamsuddin Al-Ramli, Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Juz 3 halaman 25) 

Dari keterangan demikian, kita bisa mengetahui bahwa Fuqaha sangat menekankan untuk dimandikan terlebih dahulu jenazahnya, jika tidak, maka ia tidak dishalati. Lalu Kenapa seorang jenazah harus dimandikan agar bisa disholati? 

(وَيُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ) عَلَى الْجِنَازَةِ زَائِدًا عَلَى مَا تَقَدَّمَ فِي فَصْلِ صَلَاتِهَا شَرْطَانِ أَشَارَ إلَى أَحَدِهِمَا بِقَوْلِهِ (تَقَدُّمُ غُسْلِهِ) أَوْ تَيَمُّمِهِ بِشَرْطِهِ؛ لِأَنَّهُ الْمَنْقُولُ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -؛ وَلِأَنَّ الصَّلَاةَ عَلَى الْمَيِّتِ كَصَلَاةِ نَفْسِهِ. 

Disyaratkan untuk sahnya sholat jenazah, yaitu ia telah dimandikan atau ditayammumi (jika tidak memungkinkan untuk dimandikan). Sebab inilah yang manqul (yang diajarkan) dari Nabi Muhammad SAW. 

Dan juga karena sholat jenazah itu seperti halnya sholatnya seorang jenazah (maka berlaku baginya hukum suci dan sebagainya)“. (Khatib al-Syirbini, Mughni Al-Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfadz Al-Minhaj Juz 2 halaman 50) 

Kita menemui 2 persilangan pendapat dari kalangan fuqaha syafiiyyah, lalu bagaimana sikap yang diajarkan oleh para ulama dalam menyikapi perbedaan pendapat ini. Dijelaskan:

 قَالَ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ: وَلَا وَجْهَ لِتَرْكِ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الْمَيْسُورَ لَا يَسْقُطُ بِالْمَعْسُورِ، لِمَا صَحَّ «وَاذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ» ؛ وَلِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْ هَذِهِ الصَّلَاةِ الدُّعَاءُ وَالشَّفَاعَةُ لِلْمَيِّتِ وَجَزَمَ الدَّارِمِيُّ وَغَيْرُهُ أَنَّ مَنْ تَعَذَّرَ غُسْلُهُ صُلِّيَ عَلَيْهِ. قَالَ الدَّارِمِيُّ: وَإِلَّا لَزِمَ أَنَّ مَنْ أُحْرِقَ فَصَارَ رَمَادًا أَوْ أَكَلَهُ سَبُعٌ لَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ وَلَا أَعْلَمُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِنَا قَالَ بِذَلِكَ، وَبَسَطَ الْأَذْرَعِيُّ الْكَلَامَ فِي الْمَسْأَلَةِ، وَالْقَلْبُ إلَى مَا قَالَهُ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ أَمْيَلُ، لَكِنَّ الَّذِي تَلَقَّيْنَاهُ عَنْ مَشَايِخِنَا مَا فِي الْمَتْنِ.

Sebagian ulama muta’akhhirin beranggapan bahwa tidak ada alasan untuk meninggalkan sholat jenazah, sebab sesuatu yang mudah itu tidak bisa ditinggal hanya karena ada sesuatu yang sulit. 

Dan juga karena Rasulullah SAW bersabda dalam hadisnya “jika aku memerintahkan kalian, maka penuhilah sebisa mungkin”, dan juga karena tujuan dari sholat jenazah itu adalah berdoa dan memintakan syafaat kepada mayyit. 

Sehingga Al-Darimi mantap menyatakan bahwa jenazah yang sulit dimandikan itu tetap harus disholati, jika tidak maka orang yang meninggal karena dibakar yang kemudian ia menjadi abu dan orang yang meninggal karena diterkam hewan buas, tidaklah disholati. 

Padahal aku tidak pernah mengetahui ada ashab kita yang berpendapat demikian, Imam al-Adzra’i telah panjang lebar membahas ini. 

Menurut opini pribadi, Saya (mushonnif) lebih condong kelada pendapat yang diusung oleh kalangan muta’akhhirin, hanya saja keterangan yang kami dapat dari penjelasan guru, pendapatnya sama seperti apa yang dinyatakan oleh kitab matan (yakni tidak disholati).

 (Khatib al-Syirbini, Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfadz al-Minhaj Juz II, halaman 50) 

Salah satu muhasyyi dari genealogi kitab ini, dengan tegas menyatakan:

 وَيَنْبَغِي تَقْلِيدُ ذَلِكَ الْجَمْعِ لَا سِيَّمَا فِي الْغَرِيقِ عَلَى مُخْتَارِ الرَّافِعِيِّ فِيهِ تَحَرُّزًا عَنْ إزْرَاءِ الْمَيِّتِ وَجَبْرًا لِخَاطِرِ أَهْلِهِ.

Seyogyanya mengikuti ulama’ muta’akhhirin, terlebih dalam konteks jenazah yang meninggal sebab tenggelam, menurut qaul mukhtarnya imam Al-Rafi’i harus disholati. Yang demikian dilakukan dalam rangka memuliakan mayyit dan juga membesarkan hati keluarganya yang ditinggal. (Al-Syarwani, Hawasyi Syarwani Ala Tuhfat Al-Muhtaj Fi Syarh Al-Minhaj juz 3 halaman 189) 

Perlu diketahui, orang yang meninggal sebab tenggelam itu distatusi sebagai syahid fi al-akhirah. Maka kita wajib mengurusnya sebagaimana jenazah pada umumya. 

Ada kisah yang unik mengenai seseorang yang tenggelam, disebutkan dalam i’anah al-thalibin:

(لطيفة) حكي أن شخصا نزل هو ومحبوبه يسبحان في البحر، فغرق محبوبه، فأشار إلى البحر وأنشد وقال:

 ياماء: لك قد أتيت بضد ما # قد قيل فيك مخبرا بعجيب؟

الله أخبر أن فيك حياتنا # فلاي شئ مات فيك حبيبي؟

 فلما قال ذلك أحياه الله تعالى، وطلع له من البحر. 

Dihikayatkan bahwa ada seorang dengan kekasihnya berenang di laut, tetiba kekasihnya ia tenggelam. Syahdan ia menunjuk ke laut seraya menyenandungkan syair yang artinya:

Wahai air, aku mendatangimu bukan untuk ini

Katanya di dalammu terdapat segenap keajaiban

Allah telah mengkabarkan bahwa di dalammu ada kehidupan kita

Lantas, mengapa kekasihku justru meninggal dalam genggamanmu

Setelah menyenandungkannya, Allah menghidupkan lagi kekasihnya, dan tetiba ia muncul dari dalam laut. (Abi Bakar Syatha’, Ianah Al-Thalibin  Juz 2 halaman 154).

Demikian hukum shalat ghaib untuk jenazah yang menghilang. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Dunia Menjadi Berkah karena Tiga Golongan Ini

Dunia menjadi berkah karena ada ulama akhirat adalah senantiasa mengamalkan dan mengajarkan  ilmunya kepada umat manusia

Oleh: Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil

Khutbah Pertama

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن

عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

Alam semesta dan semua isinya bisa menjadi tempat yang ramah tapi juga tempat yang buruk melalui tiga golongan. Jika ketiga golongan ini baik, maka alam dan seisinya akan ikut baik.

Jika ketiganya rusak, maka alam ikut menjadi rusak. Mereka adalah para ulama, pemimpin, dan orang-orang kaya.

Pertama, ulama yang menguasai syariat. Ciri khas ulama akhirat adalah senantiasa mengamalkan ilmunya, dia ajarkan ilmunya kepada umat manusia, menyeru untuk selalu mengerjakan kebaikan dan mencegah dari melakukan keburukan. Ulama seperti inilah yang disebut oleh Rasul ﷺ sebagai pewarisnya para nabi. Para makhluk yang ada di langit dan bumi bahkan ikan-ikan di lautan, memohon ampunan kepada Allah ﷻ untuk mereka.

Allah ﷻ berfirman :

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ ۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS: Ali Imran : 18).

Rasul ﷺ bersabda :

الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَاراً وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنَ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR: Tirmidzi).

Oleh karenanya, mari kita selalu mendampingi para ulama. Kita hadiri majelis-majelisnya, kita ambil ilmu-ilmu yang disampaikannya.

Menghadiri majelis ilmu yang diisi oleh para alim ini, lebih utama daripada shalat sunah 1000 rakaat, melayat 1000 jenazah, dan menjenguk 1000 orang sakit.

Kaum Muslimin yang Berbahagia

Kedua, para pemimpin yang adil. Pemimpin yang adil memiliki kedudukan yang istimewa di sisi Allahﷻ.

Mereka termasuk satu dari tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Arsy Allahﷻ. Sikap adil seorang pemimpin akan mengantarkan pada keutamaan-keutamaan yang jauh lebih banyak dari apa yang sudah dikerjakannya. Rasul ﷺ bersabda :

لَيَوْمٌ مِنْ إِمَامٍ عَادِلٍ خَيْرٌ مِنْ عِبَادَةِ الرَّجُلِ وَحْدَهُ سِتِّيْنَ عَامًا

“Sungguh satu hari yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang adil jauh lebih baik, daripada ibadah seseorang yang dilakukan sendirian, selama enam puluh tahun.” (HR: Baihaqi)

Rasul ﷺ juga bersabda :

إِنَّ المُقْسِطِيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُوْرٍ، الَّذِيْنَ يَعْدِلُوْنَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيْهِمْ وَمَا وُلُّوْا

“Sesungguhnya orang yang adil berada dekat dengan Allah di atas mimbar dari cahaya, yaitu mereka yang adil di dalam hukum mereka, adil kepada keluarga mereka serta segala yang diamanahkan kepada mereka.” (HR: Muslim)

Namun, jika seorang pemimpin dalam tingkatan apa pun, ternyata melakukan kesewenang-wenangan dan tak peduli atas keadaan rakyatnya, maka kebinasaan akan ditimpakan kepadanya. Rasul ﷺ bersabda :

ما مِن رجُلٍ يَلي أمرَ عشرةٍ فما فوقَ ذلك إلَّا أتى الّٰلهَ عزَّ وجلَّ مَغْلُوْلًا يومَ القيامةِ يَدُه إِلَى عُنُقِهِ: فَكَّهُ بِرُّهُ، أَوْ أَوْبَقَهُ إِثمُهُ: أَوَّلُها مَلاَمَةٌ، وَأَوْسَطُهَا نَدَامَةٌ، وَآخِرُهَا خِزْيٌ يَوْمَ القِيَامَةِ

“Tidaklah seseorang menjadi pemimpin 10 orang atau lebih, kecuali mereka akan datang menemui Allahﷻ dalam kondisi tangannya terbelenggu ke lehernya. Belenggu tersebut akan dilepaskan oleh kebaikannya atau bertambah kuat lantaran perbuatan dosanya. Kekuasaan itu awalnya adalah celaan, tengahnya adalah penyesalan dan akhirnya adalah kehinaan di hari kiamat.” (HR: Ahmad)

Jamaah Shalat Jumat

Golongan ketiga adalah orang kaya yang ringan tangan dalam memberi. Harta yang berkah adalah harta yang berada di tangan orang kaya yang shaleh.

Orang kaya yang shaleh akan menjadikan hartanya sebagai jembatan dalam berbuat yang terbaik. Dia membelanjakan hartanya untuk membantu orang-orang lemah, ia perbanyak infak dan sedekah serta tidak lupa berzakat. Rasul ﷺ bersabda :

مَنْ طَلَبَ الدُّنْيَا حَلَالًا تَعَفُّفًا عَنِ المَسْأَلَةِ، وَسَعْيًا عَلَى عِيَالِهِ، وَتَعَطُّفًا عَلَى جَارِهِ لَقِيَ اللّٰهَ وَوَجْهُهُ كَالقَمَرِ لَيْلَةَ البَدْرِ

“Barang siapa mencari rezeki yang halal dengan niat untuk menjaga diri supaya tidak minta-minta, dan berusaha untuk mencukupi keluarganya, serta supaya dapat ikut berbelas kasih (membantu tetangganya), maka kelak dia akan bertemu Allah (di akhirat) sedang wajahnya bagaikan bulan di malam purnama.” (HR: Thabarani).

Adapun orang-orang kaya yang kikir, enggan memberi kepada kaum papa, atau digunakan untuk hal-hal yang tidak sebagaimana mestinya, maka mereka termasuk orang-orang yang tertipu, bahkan bisa termasuk orang-orang yang celaka. Allahﷻ berfirman :

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ ۖ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ ۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang kikir dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kekikiran itu baik bagi mereka. Sebenarnya kekikiran itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka kikiri itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat.” (QS. Ali Imran : 180).

Oleh karena itu, mari kita jaga kehidupan kita di dunia ini melalui berkah ketiga golongan di atas. Kita melazimi majelis para ulama, kita kawal dan dukung para pemimpin yang adil dan memberikan nasihat jika mereka melakukan penyimpangan, serta kita motivasi diri ini untuk selalu berbuat baik khususnya bagi mereka yang Allahﷻ anugerahkan harta berlimpah, agar digunakan untuk membantu sesama.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فيِ القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنيِ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنيِّ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ َإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْليِ هذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ ليِ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah Kedua

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن. اَمَّا بَعْدُ :

فَيَا اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ تَعَالىَ وَذَرُوا الْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَ وَمَا بَطَنْ، وَحَافِظُوْاعَلىَ الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ.

وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهَ اَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَّى بِمَلاَئِكَةِ قُدْسِهِ، فَقَالَ تَعَالىَ وَلَمْ يَزَلْ قَائِلاً عَلِيْمًا: اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ يَاَ يُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمسْلِمَاتِ وَالمؤْمِنِيْنَ وَالمؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ،

اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنَ البَرَصِ وَالجُنُونِ والجُذَامِ وَسَيِّيءِ الأسْقَامِ

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا, اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى والتُّقَى والعَفَافَ والغِنَى، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ و َمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Penulis pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Malang dan pengurus DPC Rabithah Alawiyah Kota Malang

HIDAYATULLAH

Makmum Wajib Membaca Al-Fatihah?

Apakah membaca Al-Fatihah wajib bagi makmum? Kapan makmum membacanya jika imam membaca dengan jahr (keras)? Apakah disyariatkan bagi imam untuk berdiam sejenak setelah membaca Al-Fatihah agar makmum bisa membaca Al-Fatihah?

Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitab Fikih Shalat menjelaskan, yang benar adalah setiap makmum wajib membaca Al-Fatihah dalam semua hal. Baik ketika bacaan imam sirr (pelan) maupun jahr (dikeraskan). Hal ini berdasarkan hadis Nabi, “Laa shalata liman lam yaqra’ bifaatihatil-kitaabi,”. Yang artinya, “Tidak (sah) shalat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah,” (HR Muttafaqun alaih). 

Maka dengan demikian, makmum disyariatkan membaca pada saat imam terdiam sejenak (saktah). Jika hal itu tidak dilakukan imam, maka makmum harus tetap membaca meski imam sedang membaca dengan keras, setelah itu barulah dia diam mendengarkan imam. 

Membaca Al-Fatihah saat imam membaca dengan keras merupakan bentuk pengecualian dari keumuman dalil yang mewajibkan makmum untuk diam mendengarkan bacaan imam. Akan tetapi jika makmum lupa membacanya atau meninggalkannya karena tidak tahu atau dia berpendapat tidak wajib, maka tidaklah mengapa baginya dan cukup baginya bacaan imam menurut jumhur ulama. 

Begitu juga jika seandainya makmum mendapati imam dalam keadaaan rukuk, maka dia dapat langsung rukuk bersamanya dan dianggap dia mendapatkan satu rakaat serta gugur kewajibannya membaca Al-Fatihah karena tidak ada kesempatan baginya. 

IHRAM

Merasa Aman dari Makar Allah: Antara Dosa Besar dan Kekafiran (Bag. 2)

Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala rasulillah. Amma ba’du,

Status dosa merasa aman dari makar Allah Ta’ala dan putus asa dari rahmat Allah Ta’ala

Berkaitan dengan status dosa putus asa dari rahmat Allah dan merasa aman dari makar-Nya, keduanya sama-sama merupakan dosa besar. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadis dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, 

وعن ابن عباس رضي الله عنهما أن رسول الله ﷺ سئل عن الكبائر؟ فقال:

“Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang dosa besar. Lalu beliau bersabda,

الشرك بالله، واليأس من روح الله، والأمن من مكر الله

“Menyekutukan Allah (syirik), putus asa dari rahmat Allah, dan merasa aman dari makar Allah.” (HR. Ath-Thabrani rahimahullah dengan derajat hasan)

Allah Ta’ala berfirman,

اَفَاَمِنُوْا مَكْرَ اللّٰهِۚ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللّٰهِ اِلَّا الْقَوْمُ الْخٰسِرُوْنَ

“Atau apakah mereka merasa aman dari siksaan Allah (yang tidak terduga-duga)? Tidak ada yang merasa aman dari siksaan Allah selain orang-orang yang rugi.” (QS. Al-A’raf : 99)

Allah Ta’ala berfirman,

قَالَ وَمَنْ يَّقْنَطُ مِنْ رَّحْمَةِ رَبِّهٖٓ اِلَّا الضَّاۤلُّوْنَ

“Dia (Ibrahim) berkata, “Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang yang sesat.” (QS. Al-Hijr : 56)

Keburukan merasa aman dari makar Allah

Merasa aman dari makar Allah mengandung su’uzhan kepada Allah dan husnuzhan kepada diri sendiri. Hal ini dikarenakan hal berikut:

Pertama: Pelakunya menganggap bahwa murka dan siksa Allah kurang (tidak menakutkan). Sehingga ia meremehkan dosa penyebab murka dan siksa Allah. Hal itu dianggap bukan masalah besar atau bahkan bukan masalah.

Kedua: Pelakunya ujub dengan amal salehnya. Sehingga merasa seolah-olah amal salehnya pasti diterima oleh Allah, atau Allah pasti akan mengampuni maksiat yang ia lakukan karena kebaikannya lebih besar (lebih banyak) daripada dosanya.

Penyebab merasa aman dari makar Allah

Pelakunya merasa tidak mendapatkan teguran Allah saat terus-menerus bermaksiat atau merasa ujub dengan amal salehnya.

Keburukan putus asa dari rahmat Allah

Putus asa dari rahmat Allah itu mengandung su’uzhan (berprasangka buruk) kepada Allah Ta’ala dari dua sisi, yaitu:

Pertama: Berprasangka buruk terhadap kekuasaan Allah. Karena jika seseorang yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, maka ia tidak akan menganggap harapannya mustahil dipenuhi oleh Allah.

Kedua: Berprasangka buruk terhadap rahmat Allah. Karena jika seseorang yakin Allah Maha Kasih Sayang, maka ia tidak akan menganggap mustahil disayangi Allah.

Penyebab putus asa dari rahmat Allah

Tidak mengenal Allah dengan baik, khususnya tidak mengenal Kemahakuasaan-Nya dan sifat kasih sayang-Nya dengan benar.

Cara menggabungkan antara takut dan harap kepada Allah

Selayaknya seorang mukmin hidup di dunia ini dengan dua sayap, yaitu rasa takut dan harap kepada Allah Ta’ala.

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata dalam Madarijus Salikin,

القَلبُ في سَيرِهِ إلى الله عَزَّ وجَلَّ بِمَنْزِلة الطَّائر؛ فَالمَحَبّة رَأْسُهُ والخَوفُ والرَّجَاءُ جَنَاحَاه، فَمَتَى سَلِمَ الرَّأسُ والجَنَاحَانْ فَالطَّيرُ جَيد الطَّيرَانْ، ومَتَى قُطِعَ الرَّأس مَاتَ الطَّائر، ومَتَى فَقَد الجَنَاحَانْ فَهو عُرضَة لِكُلِّ صَائِد وكَاسِر

“Hati dalam perjalanannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla itu seperti burung. Rasa cinta ibarat kepala burung. Takut dan harap ibarat kedua sayapnya. Tatkala kepala dan dua sayapnya normal, maka burung tersebut akan terbang dengan baik. Namun, ketika terputus kepalanya, matilah ia. Sedangkan jika dua sayapnya tidak ada, ia terancam jadi sasaran buruan dan akan jatuh.”

Takut kepada Allah akan menahan seorang hamba dari maksiat, sedangkan harap kepada Allah akan mendorong seorang hamba untuk taat kepada Allah. Jangan sampai rasa takut kepada Allah berlebihan, melupakan dalil-dalil tentang janji Allah, sehingga menjerumuskan seseorang ke dalam putus asa dari rahmat Allah. Demikian pula, harap kepada Allah jangan sampai berlebihan, melupakan dalil-dalil tentang ancaman Allah, sehingga menjerumuskan seseorang ke dalam aman dari murka Allah.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjenguk pemuda yang sedang menghadapi kematian. Lalu beliau pun bertanya,

كيف تَجِدُكَ؟

“Bagaimana keadaanmu?”

Pemuda itu menjawab, “Demi Allah, wahai Rasulullah! Sesungguhnya saya berharap kepada Allah dan saya pun takut (kepada-Nya) karena dosa-dosaku.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا يَجْتَمِعَانِ في قَلْبِ عَبْدٍ في مِثْلِ هَذا الْمَوْطِنِ؛ إلاَّ أعْطَاهُ اللهُ ما يَرْجُو، وآمَنَهُ ممَّا يَخَافُ

Tidaklah terkumpul kedua perkara tersebut dalam hati seorang hamba di saat menjelang kematian, kecuali Allah akan anugerahkan kepadanya apa yang ia harapkan dan Allah akan mengamankannya dari apa yang ia takutkan!” (HR. At-Tirmidzi, hasan sahih, Shahih At-Targhib wat-Tarhib)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يقول الله – عزَّ وجلَّ -: وعزَّتي، لا أجمع على عبدي خوفَين، ولا أجْمع له أمنَين، إذا أمِنَني في الدُّنيا، أخفتُه يوم القيامة، وإذا خافني في الدُّنيا، أمنته يوم القيامة

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Demi keperkasaan-Ku, Aku tidak akan mengumpulkan pada hamba-Ku dua rasa takut dan tidak pula mengumpulkan untuknya dua rasa aman. Apabila ia merasa aman terhadap (siksa)-Ku di dunia, maka Aku buat ia takut di akhirat. Apabila ia takut kepada-Ku di dunia, maka Aku buat ia aman di akhirat.’” (HR. Al-Baihaqi rahimahullah, sahih dalam kitab Syu’abul Iman)

Salafussalih rahimahullah berkata,

مَنْ عبدَ الله بالحبِّ وحده، فهو زنديق، ومَن عبدَه بالخوف وحْده، فهو حروريٌّ – أي: خارجي – ومَن عبدَه بالرَّجاء وحْده، فهو مرجئ، ومن عبدَه بالخوف والحب والرَّجاء، فهو مؤمن موحِّد

“Barangsiapa yang menyembah Allah dengan cinta saja, maka ia zindiq. Barangsiapa yang menyembah-Nya dengan harap saja, maka ia murji’ah. Barangsiapa yang menyembah-Nya dengan takut saja, maka ia haruri (khawarij). Barangsiapa yang menyembah-Nya dengan cinta, takut, dan harap, maka ia seorang mukmin lagi sosok yang mentauhidkan Allah.”

Kadar rasa takut dan harap kepada Allah

Kadar takut dan harap kepada Allah ada tiga kondisi, yaitu:

Pertama: Seimbang antara takut dan harap kepada Allah

Jika dalam keadaan sehat serta lapang dan rajin beramal saleh , maka hendaknya kadar keduanya seimbang. Allah Ta’ala berfirman,

اِنَّهُمْ كَانُوْا يُسٰرِعُوْنَ فِى الْخَيْرٰتِ وَيَدْعُوْنَنَا رَغَبًا وَّرَهَبًاۗ وَكَانُوْا لَنَا خٰشِعِيْنَ

“Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 90)

Kedua: Takut lebih besar daripada harap kepada Allah

Jika dalam keadaan sehat serta lapang rezeki, namun gemar bermaksiat, atau sedang melakukan maksiat, maka hendaknya kadar takutnya lebih tinggi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنْ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ

Jika Engkau melihat Allah memberi seorang hamba dunia apa yang ia sukai, sementara dia bermaksiat kepada Allah, maka ketahuilah itu hanyalah istidraj.” (HR. Ahmad, sahih)

Jika dalam keadaan merasa aman dari makar Allah dan azab-Nya, maka hendaknya kadar takutnya lebih tinggi. Demikian pula, jika dalam keadaan sehat dan dapat nikmat, namun malas-malasan melakukan ketaatan, maka hendaknya kadar takutnya hendaklah lebih tinggi.

Ketiga: Harap lebih besar daripada takut kepada Allah

Jika dalam keadaan menghadapi kematian, maka hendaknya kadar harapannya lebih tinggi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا يَمُوتَنَّ أحدُكم إلا وهو يُحسنُ الظَّنَّ بالله عز وجل

Janganlah salah seorang di antara kalian mati, kecuali dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Muslim)

Jika dalam keadaan putus asa dari rahmat Allah karena dosa-dosa, maka kadar harapannya hendaklah lebih tinggi. Wallahu a’lam bish-shawab.

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ

[Selesai]

***

Penulis: Sa’id Abu ‘Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/75605-merasa-aman-dari-makar-allah-bag-2.html

Nabi Melarang Umatnya Mengumbar Aib dan Kemaksiatannya Sendiri

Termasuk salah satu nikmat terbesar yang dianugerahkan oleh Allah Swt adalah satru al-‘uyub, menutup aib-aib hamba-Nya. Boleh jadi seseorang dalam satu waktu tergelincir dalam perbuatan maksiat yang tidak diketahui oleh orang lain. Tidak ada yang tahu kecuali Allah Swt dan dirinya sendiri.

Ketika hal ini terjadi kepada kita, jangan lantas kita merasa aman untuk terus-menerus berbuat dosa. Insaflah bahwa dengan adanya perbuatan maksiat kita tidak atau belum diketahui oleh orang lain berarti bahwa Allah Swt sejatinya masih memberi kita kesempatan dan tenggat waktu untuk memperbaiki kesalahan kita dengan bertaubat dan menyesali perbuatan buruk yang telah kita lakukan.

Islam sangat menghargai privasi pemeluknya. Oleh karena itu Islam mencela orang-orang yang membuka aib saudaranya. Alih-alih mengumbar aib orang lain, membuka, menceritakan dan men-share aib dan dosa kita sendiri saja dilarang oleh Islam. Orang-orang yang mengumbar aib dirinya sendiri disebut mujaharah.

Dalam sebuah hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari melalui jalur Abu Hurairah, Rasulullah Saw telah bersabda:

كُلُّ أُمَّتِيْ مُعَافًى إِلَّا المُجاهِرِينَ وإِنَّ مِنَ المُجاهَرَةِ أنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللّيلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهَ عليهِ فيقولُ : يَافُلانُ عَمِلْتَ البَارِحَةَ كَذا وكَذا وقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ.

Artinya:

Setiap umatku dimaafkan, kecuali mujahirin (orang yang suka mengumbar aibnya sendiri). Sesungguhnya termasuk mujaharah adalah ketika seseorang berbuat dosa di malam hari kemudian ia masuk waktu pagi dalam keadaan Allah Swt menutupi dosa-dosanya lalu ia berkata: ‘Hai Fulan. Tadi malam aku melakukan dosa ini, dosa itu’. Padahal ia tidur di malam hari dalam keadaan Allah Swt menutup aibnya, dan di pagi hari ia menyingkap tutupan Allah Swt dari dosa-dosanya (HR Bukhari).

Nabi Muhammad Saw melarang perbuatan mujaharah, menampakkan dosa dan maksiat. Mujahirin (orang-orang yang melakukan mujaharah) adalah orang fasik yang menyiarkan kefasikannya dengan bangga dan teledor. Orang-orang yang melakukan perbuatan mujaharah berarti telah bersikap kurang ajar dan tidak tahu malu di hadapan Allah Swt. Mujahirin adalah orang-orang yang meremehkan batasan-batasan Allah Swt.

Mempertontonkan dosa dengan cara menyebut dan menceritakannya kepada orang lain merupakan salah satu faktor yang mampu menyebabkan dosa kecil menjadi dosa besar, begitu yang dikatakan oleh al-Ghazali dalam kitabnya at-Taubah ila Allah wa Mukaffirat adz-Dzunub.

Hal ini tidak mengherankan, sebab dengan menceritakan dosa-dosa yang dilakukan kepada orang lain secara tidak langsung juga sekaligus merusak tirai yang Allah Swt berikan untuk menutupi aib-aib kita. Padahal adanya tirai (satr) terhadap kemaksiatan kita merupakan sebentuk anugerah Allah Swt. Belum pula, perilaku mujaharah ini juga dapat berdampak lebih luas dan mengkhawatirkan, yakni membuat orang lain berpotensi untuk ikut-ikutan melakukan kemaksiatan. Lain itu mujaharah juga mengandung keangkuhan.

Mari kita senantiasa menjaga perilaku kita dari perbuatan-perbuatan maksiat. Kalaupun kita diberi cobaan dengan tergelincir dalam kubangan dosa, tak elok jika kita mengumbarnya begitu saja. Sebab mujaharah sangat dikecam oleh Rasulullah Saw. Semoga kita senantiasa dilindungi oleh Allah Swt. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Orang Shalih Dijaga Allah hingga Tujuh Turunannya

Begitu besar rahmat dan kasih sayang Allah pada orang shalih, hingga mendapat penjagaan anak cucunya hingga tujuh turunan

KONDISI zaman semakin lama semakin buruk menjadi momok menakutkan bagi orangtua. Berbagai maksiat yang merajalela, belum lagi pergaulan bebas membawa kerusakan generasi muda.

Berbagai upaya terus dilakukan orangtua untuk memproteksi anak-anak mereka. Namun, tentu saja perlu diingat, bahwa sebaik-baik penjaga adalah Allah Ta’ala.

Apabila Allah telah menjaga mahluknya, maka tidak akan ada yang luput. Maka menitipkan anak-anak kita kepada penjagaan Allah adalah cara terbaik kita di akhir zaman ini.

Karena tidak ada yang mampu melakukan penjagaan zahir dan batin terhadap mereka, melainkan Allah. Lantas bagaimana cara mendatangkan penjagaan dari Allah Ta’ala?

Perhatikan kisah Nabi Musa ‘alahissalam ketika ia menimba ilmu kepada hamba Allah Khidhir. Saat itu Khidhir bertemu dengan dua anak yatim dan memperbaiki dinding rumah mereka yang hampir roboh. Peristiwa itu diabadikan di dalam Al-Qur’an,

وَأَمَّا ٱلْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَٰمَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِى ٱلْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُۥ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَٰلِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَآ أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ ۚ وَمَا فَعَلْتُهُۥ عَنْ أَمْرِى ۚ ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا

“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.“ (QS. Al-Kahfi: 82).

Para mufassir mengungkapkan, ayat di atas menjadi dalil bahwa Allah Ta’ala akan memberikan penjagaan kepada orang shalih dan anak keturunannya. Al-Imam Al-Qurthubi menjelaskan ayat tersebut,

يحفظ الصالح في نفسه وفي ولده وإن بعدوا عنه. وقد روي أن الله تعالى يحفظ الصالح في سبعة من ذريته، وعلى هذا يدل قوله تعالى: إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ

Allah Ta’ala akan menjaga orang shalih, dirinya dan anak keturunannya, sekalipun jarak (waktunya) jauh. Diriwayatkan bahwa Allah Ta’ala akan menjaga orang shalih sampai tujuh keturunannya. Inilah yang ditunjukkan oleh firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 196, “Sesungguhnya pelindungku ialah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang shalih.” (Al-Jami’ 11/38-39).

Demikian pula Al-Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan,

فيه دليل على أن الرجل الصالح يحفظ في ذريته، وتشمل بركة عبادته لهم في الدنيا والآخرة، بشفاعته فيهم ورفع درجتهم إلى أعلى درجة في الجنة لتقر عينه بهم، كما جاء في القرآن ووردت السنة به. قال سعيد بن جبير عن ابن عباس: حفظا بصلاح أبيهما، ولم يذكر لهما صلاح، وتقدم أنه كان الأب السابع

Dari ayat ini terdapat dalil bahwa seorang lelaki yang shalih dapat menyebabkan keturunannya terpelihara dan berkah ibadah yang dilakukannya menaungi mereka di dunia dan akhirat. Yaitu dengan memperoleh syafaat darinya dan derajat mereka ditinggikan ke tingkat yang tertinggi di dalam surga berkat orangtua mereka, agar orangtua mereka senang dengan kebersamaan mereka di dalam surga. Hal ini telah disebutkan di dalam Al-Qur’an, juga di dalam sunnah.

Sa’id ibnu Jubair telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa kedua anak itu terpelihara berkat keshalihan kedua orangtuanya, tetapi tidak ada kisah yang menyebutkan bahwa keduanya berlaku shalih. Dalam keterangan terdahulu disebutkan bahwa orangtua tersebut adalah kakek ketujuhnya.  (dalam Tafsir Ibnu Katsir: V/187).

Dari penjelasan di atas dapat dipetik hikmah, begitu besar rahmat dan kasih sayang Allah bagi hambaNya yang shalih. Bukan hanya orang shalih yang mendapat penjagaan dari Allah, tetapi juga anak cucunya hingga tujuh turunan.

Kemudian, di antara cara menjadi pribadi yang shalih ada menunaikan hak-hak Allah dan anak Adam. Sebagaimana disampaikan Ibnu Hajar tentang definisi orang yang shalih,

الصالح أنه القائم بما يجب عليه من حقوق الله وحقوق عباده وتتفاوت درجاته

Orang shalih adalah orang yang menegakkan kewajibannya berupa hak-hak Allah dan hambaNya, sedangkan kedudukan orang shalih itu bertingkat-tingkat… (dalam Fathul Bari, II/314).

Adapun hak Allah atas hambanya bahwa ia satu-satunya Ilah yang berhak diibadahi. Maka perbanyaklah ibadah kepada Allah.

Sebab ibadah itu akan menaunginya, menjaganya di dunia dan akhirat. Hal ini sebagaimana dilakukan para salafus shalih. Sa’id bin Al-Musayyib pernah berkata pada anaknya,

لَأَزِيْدَنَّ فِيْ صَلَاتِيْ مِنْ أَجْلِكَ رَجَاءَ أَنْ أُحْفَظَ فِيْكَ

“Sungguh akan kutambahkan jumlah rakaat sholat sunnah yang kukerjakan demi dirimu agar dirimu terjaga karena sebab kebaikan yang kulakukan.” (dalam Jami’ al-Ulum wal Hikam, I/467).

Oleh sebab itu, para orangtua selain berikhtiar menjaga anak-anak mereka dengan memberikan perhatian, mendidik dengan adab/akhlak, ilmu agama dan lingkungan yang baik, maka selayaknya ia juga memperbaiki diri agar menjadi orangtua yang shalih. Sebab keshalihan orangtua bukan hanya berpengaruh pada pribadi anak-anaknya, tetapi juga menjadi sebab datangnya penjagaan dari Allah Ta’ala.*/ Widiyarto, pimpinan Unit media dan publikasi Pondok Pesantren Salman Al-Farisi

HIDAYATULLAH

Calhaj Dilarang Meroko di Areal Masjid Nabawi

jamaah diminta mematuhi aturan larangan merokok

Jamaah calon haji Indonesia diingatkan agar tidak merokok di Tanah Suci terutama areal Masjid Nabawi karena adanya larangan merokok di negara tersebut.”Merokok di Saudi dilarang. Jadi jangan merokok di pelataran masjid nanti bisa ditangkap,” kata Kepala Daerah Kerja (Daker) Madinah Amin Handoyo dikutip dari Media Center Haji di Madinah, Arab Saudi, Senin (6/6/2022).

Karena itu ia mengingatkan jamaah untuk mematuhi aturan larangan merokok tapi bagi jamaah yang ingin merokok sebaiknya memahami situasi dan mencari tempat yang aman.”Sehingga ketika merokok harus pandai-pandai mencari tempat yang sekiranya aman bagi dirinya, aman bagi orang lain dan aman dari keamanan,” kata Amin.

Selain di Masjid Nabawi, larangan merokok juga berlaku di hotel tempat penginapan jamaah yang sudah dilengkapi dengan alarm kebakaran.”Di penginapan juga ada alarm, kalau merokok kemudian bunyi alarm yang lain jadi panik,” ujarnya.

Operasional penyelenggaraan ibadah haji saat ini memasuki hari ke-3 fase pemberangkatan jamaah. Total ada 5.920 jamaah dan petugas yang sudah diberangkatkan ke Arab Saudi. Mereka tergabung dalam 15 kelompok terbang (kloter).Sementara hari ini ada 2.046 jamaah dan petugas yang akan diberangkatkan ke Madinah. Mereka tergabung dalam lima kloter dan akan berangkat dari empat embarkasi.

IHRAM

Jamaah Haji Jangan Lupa Perbanyak Doa di Raudhah Madinah, Ini Keutamaannya

Jamaah calon haji yang berada di Madinah jangan sampai tidak berdoa di Raudhah, tempat di dalam Masjid Nabawi yang sangat mustajab.

“Keistimewaan Raudhah tempat yang sangat mustajab, doa yang kita panjatkan di Raudhah selalu dikabulkan dan pasti dikabulkan Allah SWT sepanjang haji kita bersih, lurus insya Allah SWT dikabulkan,” kata Konsultan Bimbingan Ibadah Petugas Haji Kiai Wazir Ali di Madinah, Selasa seperti dikutip dari Media Center Haji.

Raudhah adalah suatu tempat di dalam Masjid Nabawi yang letaknya ditandai dengan tiang-tiang putih, berada di antara Rumah Nabi, sekarang Makam Rasulullah SAW, sampai mimbar.

Raudah merupakan sebidang tanah yang tidak luas, dari arah timur ke barat sepanjang 22 meter dan dari utara ke selatan 2 meter.

Kiai Wazir Ali mengatakan, Raudhah itu antara mimbar dengan rumah Rasulullah adalah taman surga.

“Rasulullah mengatakan seperti itu mungkin secara tasawuf, kalau ditarik garis lurus ke atas tempatnya surga,” kata Kyai.

Hal ini karena Raudhah berada di Masjid Nabawi maka kegiatan yang dilakukan adalah sholat. Namun, bagi perempuan yang sedang menstruasi maka ditunda jika ingin mencari nilai pahala umroh menunggu hingga bersih dari menstruasi.

Kecuali jika hanya ingin berziarah terkait aspek kesejarahan, perempuan yang sedang haid tetap bisa melakukannya tapi tidak masuk ke masjid.

Perempuan yang sedang haid juga tetap bisa memanjatkan doa di Raudhah tapi tidak sholat. Raudhah adalah area di sekitar mimbar yang biasa digunakan Nabi Muhammad SAW untuk berkhutbah.

Disunahkan sholat di Raudhah baik sholat fardhu ataupun shalat sunnah. Demikian juga disunnahkan itikaf atau duduk untuk berdzikir atau membaca Alquran di sana. Karena beribadah di sana terdapat pelipat-gandaan pahala.     

IHRAM