Teladan Imam Ahmad bin Hanbal; Menasehati dengan Bijak, Bukan Menginjak

Sumpah, “demi masa”, manusia berada dalam kerugian. Begitulah Allah mengingatkan dalam al Qur’an. Kecuali mereka yang beriman dan saling menasehati untuk kebaikan dan supaya bersabar. Peringatan itu disampaikan Allah dalam kitab suci. (al ‘Ashr: 1-3).

Anjuran untuk saling mengingatkan merupakan tuntutan syariat Islam terhadap sesama muslim supaya tidak tergelincir dalam kubangan kesalahan dan dosa. Namun begitu, ajaran Islam juga mengingatkan tentang etika memberi nasihat tersebut. Ada akhlak budi pekerti yang harus diperhatikan ketika akan mengingatkan seseorang yang melakukan kesalahan.

Para ulama seringkali mencontohkan adab menasehati orang lain yang telah melakukan kesalahan. Salah satunya diteladankan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, ulama pendiri salah satu madhab fikih yang populer dengan madhab Hanbali.

Teladan Imam Ahmad bin Hanbal ketika menasehati seseorang dicatat dalam kitab Al Jami’ li Akhlaq al Raqi karya Syaikh Khatib al Baghdadi. Adalah Harun bin Abdillah, murid Imam Ahmad bin Hanbal yang menceritakan teladan tersebut.

Kisahnya, suatu waktu, pada tengah malam, seseorang mengetuk pintu rumah Harun. Ia bertanya, “siapa yang malam-malam bertamu”? Dari luar terdengar suara menjawab, “Ahmad”. Masih penasaran, Harun kembali bertanya, “Ahmad yang mana”?. Harun terkejut ketika tamu itu berkata, “Ahmad bin Hanbal”. Ya, yang datang adalah gurunya. Tak biasanya gurunya tersebut berkunjung di malam buta seperti itu. Dalam hati Harun bertanya, ada apakah gerangan gurunya berkunjung tengah malam begini.

Tanpa basa-basi lagi Harun segera membuka pintu. Setelah menjawab salam gurunya, ia mempersilahkan masuk. Tak lama setelah itu, Harun bertanya kepada gurunya prihal apakah gerangan sehingga beliau datang di tengah malam buta.

Sebelum menyampaikan maksud kedatangannya, terlebih dahulu Imam Ahmad meminta maaf kepada muridnya tersebut karena telah datang tengah malam. Itupun, karena beliau paham kebiasaan muridnya yang terbiasa tidak tidur awal sehingga yakin kalau saat itu Harun pasti belum tidur.

Lalu, beliau berkata; “Saya datang kesini, karena tadi siang ada sikapmu yang mengusik hati”. Harun terdiam, dalam hati ia mencoba mengingat apa kiranya kesalahan yang ia lakukan tadi siang, namun tidak menemukannya. Harun pun meminta gurunya untuk menceritakan kesalahannya tanpa merasa sungkan.

Imam Ahmad dengan sangat hati-hati mengatakan bahwa dirinya tadi siang melewati halaqah tempat Harun mengajar murid-muridnya. Kata Imam Ahmad: “Saya melihat kamu saat mengajar hadis tadi berada di bawah bayang-bayang pohon sehingga kamu terhindar dari terik sinar matahari, sementara murid-muridmu kepanasan terkena sinar matahari, padahal mereka saat itu sedang menulis hadis yang engkau ajarkan. Saya berharap kejadian seperti itu tidak terulang lagi. Harun, jika engkau sedang mengajar, maka duduklah dalam keadaan sebagaimana murid-muridmu duduk”.

Harun tersentak, dirinya telah melakukan kesalahan yang tidak ia sadari. Beruntung ada gurunya yang masih mengingatkannya. Imam Ahmad menyampaikan nasehat tersebut dengan suara yang sangat pelan. Cukup terdengar oleh Harun. Kemudian beliau pamit pulang, dan menutup pintu rumah Harun dengan sangat pelan dan hati-hati supaya tidak terdengar oleh orang lain.

Harun merasa telah diselamatkan oleh gurunya. Kesalahan ketika mengajar itu benar-benar tidak ia sadari. Dirinya telah angkuh menempatkan pribadinya sebagai guru di atas murid-muridnya.

Satu hal lagi yang membuat Harun begitu terkesima. Yakni, sikap gurunya yang berhias akhlak budi pekerti saat menasehati dirinya. Tidak menasehatinya pada waktu ia sedang mengajar di depan murid-muridnya, tapi menunggu sampai tengah malam supaya tidak ada seorangpun yang tahu kalau dirinya telah menasehati Harun.

Teladan Imam Ahmad ini sungguh telah sirna, saat ini menjadi barang langka. Terutama di media massa, ketika melihat orang lain melakukan kesalahan langsung dinasehati di depan publik ramai. Tidak peduli hal itu menyakitkan atau tidak. Bahkan, bukan nasehat lagi, tapi tuduhan dan umpatan yang dilontarkan.

Maka, teladan Imam Ahmad mestinya melekat dalam diri umat Islam. Bahwa ketika akan menasehati orang lain ada etika dan adab yang harus diperhatikan. Krisis meneladani akhlak para ulama mestinya segera dihilangkan. Supaya apa yang dicita-citakan oleh Baginda Nabi untuk menyempurnakan akhlak mulia terwujud.

ISLAMKAFFAH

Minta Izin Ketika Bertamu dan Adabnya

Para pembaca yang budiman, rahimakumullah. Islam mengajarkan adab dalam setiap aspek kehidupan manusia, termasuk adab dalam bertamu. Di antara adab dalam bertamu adalah meminta izin terlebih dahulu untuk bertemu dengan pemilik rumah.

Para ulama mengatakan, “Wajib hukumnya untuk meminta izin ketika masuk ke rumah orang lain.” Sebagaimana dalam firman Allah ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا على أهلها

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS. An-Nur: 27)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini, “Ini adalah adab yang syar’i. Allah Ta’ala mengajarkan adab ini kepada orang-orang yang beriman. Yaitu minta izin sebelum masuk ke rumah orang lain. Allah Ta’ala memerintahkan orang-orang beriman agar tidak masuk ke rumah orang lain hingga mereka meminta izin terlebih dahulu. Yaitu, meminta izin sebelum masuk, kemudian setelah itu mengucapkan salam. Dan hendaknya meminta izin itu sebanyak tiga kali. Jika diizinkan untuk masuk, maka silakan masuk. Jika tidak diizinkan, maka hendaknya kembali pulang. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang sahih, bahwa Abu Musa ketika meminta izin kepada Umar bin Khathab sebanyak tiga kali, Umar tidak mengizinkannya. Lalu Abu Musa pulang.” (Tafsir Al-Qur’anil Azhim, 10: 204)

Yang dimaksud oleh Ibnu Katsir adalah hadis berikut ini. Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الاستئذانُ ثَلاثٌ ، فإن أذنَ لَكَ وإلَّا فارجِعْ

“Meminta izin (untuk masuk rumah) itu tiga kali. Jika diizinkan, maka itu yang diinginkan. Jika tidak diizinkan, maka pulanglah.” (HR. Muslim no. 2153)

Kemudian dalam riwayat lain disebutkan bahwa di antara adab meminta izin masuk ke rumah orang lain adalah maksimal melakukannya sebanyak tiga kali, tidak lebih dari itu. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أنَّ أَبَا مُوسَى، أَتَى بَابَ عُمَرَ، فَاسْتَأْذَنَ، فَقالَ عُمَرُ وَاحِدَةٌ، ثُمَّ اسْتَأْذَنَ الثَّانِيَةَ، فَقالَ عُمَرُ: ثِنْتَانِ، ثُمَّ اسْتَأْذَنَ الثَّالِثَةَ، فَقالَ عُمَرُ: ثَلَاثٌ، ثُمَّ انْصَرَفَ فأتْبَعَهُ فَرَدَّهُ، فَقالَ: إنْ كانَ هذا شيئًا حَفِظْتَهُ مِن رَسولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ فَهَا، وإلَّا، فَلأَجْعَلَنَّكَ عِظَةً، قالَ أَبُو سَعِيدٍ: فأتَانَا فَقالَ: أَلَمْ تَعْلَمُوا أنَّ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ قالَ: الاسْتِئْذَانُ ثَلَاثٌ؟ قالَ: فَجَعَلُوا يَضْحَكُونَ، قالَ: فَقُلتُ: أَتَاكُمْ أَخُوكُمُ المُسْلِمُ قدْ أُفْزِعَ، تَضْحَكُونَ؟ انْطَلِقْ فأنَا شَرِيكُكَ في هذِه العُقُوبَةِ، فأتَاهُ فَقالَ: هذا أَبُو سَعِيدٍ

“Suatu hari Abu Musa datang ke rumah Umar (bin Khathab). Lalu, dia meminta izin untuk masuk. Umar lalu berkata, “Satu kali.” Abu Musa meminta izin lagi, lalu Umar berkata, “Dua kali.” Abu Musa meminta izin lagi, lalu Umar berkata, “Tiga kali.” Akhirnya Abu Musa pulang, karena tidak ada jawaban dari Umar. Lalu, Umar memanggilnya dan berkata, “Jika engkau melakukan demikian karena hadis yang engkau hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, maka itulah yang kita harapkan. Namun, jika tidak, maka aku akan memberikan pelajaran kepadamu!”

Abu Sa’id berkata,

“Kemudian Abu Musa menemui kami (para sahabat) seraya berkata, “Bukankah kalian juga sudah pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda, ‘Meminta izin itu hanya tiga kali.’?” Lalu, para sahabat pun tertawa. Abu Musa lalu berkata, “Telah datang saudara kalian sesama muslim yang sedang susah, lalu kalian tertawa?” Lalu, Abu Sa’id berkata, “Ayo kita berangkat bersama wahai Abu Musa, aku akan bersamamu jika Umar menghukummu!” Kemudian Abu Sa’id berkata (kepada Umar), “Ini Abu Sa’id sebagai saksi (bahwa perkataan Abu Musa benar).” (HR. Muslim no. 2153)

Dan cara minta izin untuk masuk ke rumah orang lain adalah dengan mengucapkan salam terlebih dahulu, baru mengucapkan permintaan izin untuk masuk. Sebagaimana dalam hadis Rib’a bin Harrasy radhiyallahu’ anhu,

أنه استأذن على النبيِّ صلى الله عليه وسلم وهو في بيتٍ فقال ألِجُ فقال النبيُّ صلى الله عليه وسلم لخادمِه: اخرُجْ إلى هذا فعلِّمْه الاستئذانَ ، فقل له: قلْ: السلامُ عليكم أأدخُلُ ؟ فسَمِعَه الرجلُ, فقال: السلامُ عليكم ، أأدخُلُ ؟ فأذن له النبيُّ صلى الله عليه وسلم ، فدخل

“Bahwasanya Rib’a bin Harrasy pernah minta izin untuk masuk ke rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Rib’a mengatakan, “Aku pun langsung masuk ke rumah beliau.” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda kepada pembantunya, “Keluarlah dan ajarkan orang ini bagaimana meminta izin untuk masuk ke rumah orang lain.” Nabi mengatakan, “Hendaknya ia mengucapkan ‘Assalamu’alaikum, bolehkah saya masuk?” Maka, Rib’a bin Harrasy mendengarkan hal itu, lalu mengucapkan “Assalamu’alaikum, bolehkah saya masuk?” Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendengarkan dan mempersilakan ia masuk.” (HR. Abu Daud no. 5177, disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud)

Sehingga urutan yang dilakukan ketika datang ke rumah orang lain adalah sebagai berikut:

Pertama: Mengucapkan salam.

Kedua: Meminta izin untuk masuk.

Ketiga: Jika diizinkan, maka masuk. Jika tidak ada jawaban, maka mengulang sampai maksimal 3 kali.

Keempat: Jika tidak diizinkan atau tidak ada jawaban setelah minta izin 3 kali, maka kembali pulang.

Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang merupakan sunah Nabi, bagi orang yang minta izin untuk masuk rumah orang lain hendaknya ia mengucapkan salam, kemudian baru minta izin setelah itu. Yaitu dengan berdiri di depan pintu di posisi yang tidak terlihat oleh orang yang ada di dalam rumah. Kemudian mengucapkan ‘Assalamu’alaikum, bolehkah saya masuk?’, atau ucapan semisalnya. Jika tidak ada yang menjawab, maka diulang kedua kali dan ketiga kali. Jika masih tidak ada yang menjawab, maka hendaknya pulang.” (Al-Majmu’, 4: 618-619)

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan, “Orang yang ada di dalam rumah terkadang dalam kondisi sibuk. Maka, jika seseorang hendak bertamu sudah minta izin sebanyak tiga kali, kemudian masih tidak ada jawaban, hendaknya ia pulang. Sehingga ia tidak membuat dirinya terlantar, dan juga tidak mengganggu orang yang ada di dalam rumah. Hendaknya ia mengucapkan ‘Assalamu’alaikum’, kemudian ia ulang kedua kalinya. Jika tidak ada jawaban, maka ia ulang ketiga kalinya. Jika masih tidak ada jawaban, maka hendaknya ia pergi (pulang). Karena bisa jadi (jika terus meminta izin), hal ini akan membuat mereka terbebani atau terganggu. Karena terkadang mereka dalam keadaan sibuk. Hadis di atas itu sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan di dalamnya terdapat adab yang bermanfaat bagi kaum muslimin. Dan manfaatnya sangat besar sekali. Karena jika seseorang terus-terusan memaksa untuk diizinkan masuk, ini akan mengganggu penghuni rumah.” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi rekaman no. 568)

Wallahu a’lam, semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

***

Penulis: Yulian Purnama

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/80065-minta-izin-ketika-bertamu-dan-adabnya.html

Apa Saja Syarat Sholat Tahajud?

Pernahkah Anda mendengar bahwa syarat Sholat Tahajud wajib tidur dulu? Pada artikel ini, kita akan menjawabnya dengan ulasan yang bersumber dari beberapa referensi buku agama Islam. Sholat tahajud itu sendiri merupakan salah satu sholat sunnah yang dilakukan di waktu malam, saat suasana sunyi sepi sehingga manusia dapat melaksanakannya dengan tenang dan khusyuk (Al ‘aydarus, 2011: 52).

Sholat Tahajud merupakan sholat sunnah yang lebih utama setelah sholat fardhu. Jadi, dapat dikatakan bahwa sholat sunnah ini adalah sholat yang istimewa. Hal tersebut dikarenakan, bagun di waktu malam sangatlah sulit. Terlebih lagi jika tubuh sedang lelah atau sedang tertidur nyeyak.

Syarat Sholat Tahajud

Secara bahasa, makna tahajud adalah bangun tidur dengan berat atau terpaksa. Namun, secara istilah, tahajud artinya sembahyang yang dilakukan setelah shalat isya, dan sesudah tidur. Maka syarat utama ketika ingin melakukan Sholat Tahajud adalah sudah tidur terlebih dahulu. Sedangkan waktu Sholat Tahajud itu sendiri adalah setelah Sholat Isya hingga terbit fajar, tapi yang utama adalah sepertiga malam sekitar pukul 2 dan 3 pagi.Setelah bangun di waktu malam terutama di sepertiga malam, setiap umat Islam berhak untuk memenuhi Sholat Tahajud. Kemudian, dilanjutkan dengan bersuci dari najis bisa mandi besar terlebih dahulu, wudhu, lalu membaca niat, dan melaksanakan rukun sholat. Adapun bacaan niat Sholat Tahajud, yaitu:

Ushalli sunnatat tahajjudi rak’ataini lillahi ta’ala.Artinya: “Aku niat sholat sunnah tahajud dua rakaat karena Allah Ta’ala”.Setelah membaca Surat Al Fatihah ada anjuran untuk membaca Surat Al Baqarah ayat 284 – 286 di rakaat pertama. Kemudian, dilanjutkan dengan Surat Ali ‘Imran ayat 18 dan 26 -27 pada rakaat kedua. Jika tidak hafal ayat-ayat tersebut maka diperbolehkan membaca Surat Al Kafirun di rakaat pertama dan Surat Al Ikhlas pada rakaat kedua.Semoga Anda menjadi hamba-hamba pilihan Allah untuk senantiasa terbangun di sepertiga malam dan diberkahi segala urusannya, aamiin. Selamat menunaikan ibadah Sholat Tahajud, ya! (AA)

KUMPARAN

Hukum Mengedit Foto Orang Lain Untuk Dijadikan Meme, Apakah Boleh?

Saat ini banyak dijumpai di media sosial seseorang dengan mudah mengedit foto orang lain untuk dijadikan meme. Tujuannya macam-macam, sebagian untuk dijadikan bahan lelucon dan mencela, dan sebagian lagi untuk tujuan baik. Sebenarnya, bagaimana hukum mengedit foto orang lain untuk dijadikan meme ini, apakah boleh?

Mengedit foto orang lain untuk dijadikan meme, stiker dan lainnya, jika tanpa izin dari orangnya dan mengandung unsur pelecehan, hinaan, menyebarkan aib orang tersebut, atau membuat fitnah, maka hukumnya tidak boleh. Membuat meme atau stiker dari foto orang lain dengan tujuan lelucon dan lainnya hukumnya adalah haram.

Dalam Islam, kehormatan orang lain termasuk perkara yang sangat dilindungi. Kita tidak boleh melecehkan dan membuat lelucon tentang orang lain, baik yang berkaitan dengan fisiknya, tingkah lakunya, fotonya, dan lainnya.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Ithaf Sadatil Muttaqin berikut;

وَاِنَّمَا المُحَرَّمُ اسْتِصْغَارٌ يَتَأَذَّي بِهِ المُسْتَهْزَأَ بِهِ لِمَا فِيْهِ مِنَ التَحْقِيرِ وِالتَهَاوُنِ وَذلك تَارّةً علي كَلَامِهِ إِذَا تَخَبَّطَ فِيْهِ وَلَمْ يَنْتَظِمْ أَوْ عَلَي أَفْعَالِهِ إِذَا كُنْتَ مُشَوَّشَةً كَالضَحَكِ علي خَطِّهِ اَوْ عَلي صَنْعَتِهِ اَو عَلَي صُوْرَتِهِ وَخُلقَتِهِ اِذَا كَانَ قَصِيْرًا اَوْ نَاقِصًا لِعَيْبٍ مِنَ العُيُوْبِ فَالضَحَكُ مِن جَمِيعِ ذَلِك دَاخِلًا في السَخْرِيَّةِ

Yang diharamkan adalah melecehkan berupa meremehkan dan merendahkan obyek, hingga berujung pada sakit hati kepada yang dilecehkan. Terkadang pelecehan atas ucapannya, menertawakan gerak-geriknya, tulisannya, hasil karyanya, foto (gambarnya), dan kepribadian yang menjadi aibnya. Tertawa terhadap hal tersebut termasuk ke dalam pelecehan.

Namun jika yang bersangkutan mengizinkan fotonya untuk dijadikan bahan lelucon, atau dia diketahui rela fotonya dijadikan bahan candaan dalam bentuk meme atau stiker, maka hukumnya boleh.

Selama pemilik foto mengizinkan untuk dijadikan bahan candaan dalam bentuk meme atau stiker dan tidak mengandung unsur fitnah, maka tidak masalah.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Ithaf Sadatil Muttaqin berikut;

فَاَمَّا مَنْ جَعَلَهُ مُسَخَّرةً وَرُبَمَا فَرَحَ مِنْ اَنْ يُسَخَّرَ بِهِ كَانَتْ السَخْرِيَّةُ فِي حَقِّهِ مِنْ جُمْلَةِ المَزَاحِ

Ketika seseorang menjadikan dirinya sebagai bahan ejekan, dan ia senang atas ejekan tersebut, maka hal itu sebenarnya adalah bagian dari lelucon.

Demikian penjelasan terkait hukum mengedit foto orang lain untuk dijadikan meme. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Kisah Lucu Charles, Mualaf yang Sembunyikan Keislamannya dari Istri

Seorang pria tua bernama Charles baru saja mengucapkan dua kalimat syahadat. Namun, raut wajahnya tampak bingung. Saat ditanya apa yang membuatnya bingung, dia menjawab dia bingung bagaimana memberitahukan berita ini istrinya.

Dia juga khawatir dengan respon sang istri, yang dikenal memiliki pandangan negatif tentang Islam. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk sementara merahasiakan keislamannya dari sang istri.

Suatu ketika, iERA (Islamic Education and Research Academy), organisasi Islam yang membimbing Charles menjadi mualaf, berencana mengadakan sesi dakwah di desanya.

iERA meminta umat Islam di desa itu untuk mengajak dan mengundang keluarga serta teman-teman mereka untuk hadir.

Mendengar hal itu, Charles senang sekali. Dia berharap ini akan menjadi kesempatan yang baik bagi istrinya untuk belajar tentang Islam dan Muslim.

“Mari kita pergi dan mendengar apa yang ingin disampaikan oleh para Muslim ini kepada penduduk desa,” ajak Charles dengan sopan kepada istrinya. Sang istri setuju.

Tim iERA, organisasi kemanusiaan dan dakwah Islam asal Inggris, menyampaikan presentasi dakwah dengan mengunakan metodologi GORAP. Mereka menjelaskan kepada penduduk desa tentang keberadaan Tuhan (G), Keesaan-Nya (O), Wahyu Akhir (R) dan Kenabian (P).

Penduduk desa yang hadir tampak menikmati presentasi tersebut.

Tibalah waktunya di sesi tanya jawab. Istri Charles menjadi orang pertama yang mengangkat tangannya. Dia mengatakan dia telah menerima apa yang baru saja dia dengar.

Tetapi dia ragu-ragu untuk masuk Islam karena dia tidak tahu dan khawatir bagaimana reaksi suaminya.

Istri Charles terkejut ketika pertanyannya ini dijawab dengan gemuruh tawa para penduduk desa. Seorang wanita yang duduk di sebelahnya memberitahu istri Charles bahwa suaminya sudah lebih dulu menjadi seorang Muslim.

Kegelisahan Charles (dan istrinya) akhirnya dijawab oleh Allah SWT dengan masuk Islamnya sang istri. Masya Allah!

Disadur dari iEra.org

HIDAYATULLAH

Dirbina Haji: Bimbingan dan Penyuluhan Hak Jamaah

Bimbingan dan penyuluhan merupakan hak jamaah haji.

Bimbingan dan penyuluhan merupakan hak jamaah haji yang telah mendapatkan mendaftarkan haji. Hal ini disampaikan Direktur Bina Haji Kementerian Agama (Kemenag) Arsad Hidayat, saat mengisi kegiatan Jagong Masalah Haji dan Umrah (Jamarah) di Asrama Haji Tuminting Manado beberapa waktu lalu.

“Sesuai regulasi sudah pantas dinamakan jamaah haji dan pemerintah berhak memberikan haknya, yaitu berupa bimbingan, pelayanan informasi dan penyuluhan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan ibadah haji,” kata Arsad dalam keterangan yang didapat Republika, Senin (7/11/2022).

Lewat manasik haji, jamaah disebut dapat memahami semua perkembangan yang terus dilakukan oleh pemerintah, dalam upaya menyajikan pelayanan terbaik bagi jamaah.

Harapannya, dengan kualitas manasik haji yang baik, hal ini akan membantu kesiapan jamaah Indonesia dalam proses persiapan sampai pemberangkatan ibadah haji.

Menurut dia, persepsi yang sama harus dibangun, sebab banyak sekali hoaks yang beredar tentang pemberangkatan haji yang tertunda. Oleh sebagian orang, dianggap anggarannya sudah tidak da.

Padahal, Arsad menyebut tertundanya pemberangkatan haji tidak lain karena pandemi Covid-19. Sehingga, Pemerintah Arab Saudi mengambil kebijakan menutup sementara untuk jamaah haji, bukan hanya Indonesia bahkan seluruh dunia.

“Ini adalah tugas kita bersama untuk meluruskan, jangan sampai gagal paham,” lanjut dia.

Dalam kesempatan yang sama, Kakanwil Kemenag Sulut Sarbin Sehe mengatakan, pandemi yang belum lama dirasakan merupakan pelajaran besar. Hal ini membawa dampak pada pemberangkatan haji yang ditunda.

Di sisi lain terjadi pembatasan usia, karena kuota yang ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama. “Kita berdoa agar kedepan kuota akan normal kembali agar tidak ada lagi penundaan,” ucap Sarbin.

Hadir 60 orang menjadi peserta dalam kegiatan ini. Mereka terdiri dari Kakan Kemenag Kab/Kota, Kasi PHU Kab/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi Sulut, Kantor Emigrasi kelas I TPI Manado, PPIU dan KBIH, serta Bank Penerima Setoran (BPS)

KHAZANAH REPUBLIKA

Antrian Haji Indonesia Rata-Rata 41 Tahun

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyebut rata-rata antrean jamaah haji Indonesia mencapai 41 tahun, sehingga Kementerian Agama akan mencari formulasi agar masa tunggu bisa dipangkas.

“Rata-rata (antrean) 41 tahun secara nasional. Kita sudah membuat beberapa simulasi terkait penyiasatan agar antrean itu tidak terlalu panjang. Jadi, kita akan membuat kuota yang berkeadilan,” ujar Menag saat rapat bersama Komisi VIII DPR di Jakarta, Senin (7/11/2022).

Menag mengatakan soal antrean dan kuota haji menjadi salah satu pembahasan ketika Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi Tawfiq F. Rabiah berkunjung ke Indonesia beberapa pekan lalu.

Ia berharap Pemerintah Arab Saudi dapat mengembalikan kuota seperti sebelum pandemi COVID-19 serta memberikan kuota tambahan agar masa antrean jamaah haji Indonesia tidak terlalu panjang.

“Dengan antrean sepanjang yang dimiliki Indonesia, berat jika kuota tidak ditambahkan,” kata dia.

Soal kuota haji ini, kata Menag, akan dibahas dalam forum Muktamar Perhajian yang rencananya digelar pada awal tahun depan. Muktamar perhajian ini akan membahas sejumlah catatan penting selama pelaksanaan ibadah haji 1443 Hijriah.

Selain kuota, Kemenag juga akan membawa sejumlah catatan ke forum tersebut, seperti batasan usia jamaah, terbatasnya mobilitas fasilitas dan tenaga kesehatan, hingga kenaikan biaya masyair yang belum sebanding dengan fasilitas layanan yang diberikan.

“Kita akan cari solusi bersama di Muktamar perhajian ini. Harapan tahun depan kuota bisa ditambah, bukan hanya 48 persen atau 52 persen sisanya, tapi bisa ditambahkan lebih banyak, karena ini akan sangat bermakna bagi calon jamaah yang mengantre,” kata dia.

IHRAM

Terjadi Gerhana pada 08 November 2022, Ini Amalan Sunnah Saat Hendak Laksanakan Shalat Gerhana Bulan

Ketika terjadi gerhana bulan, termasuk gerhana bulan total, kita dianjurkan untuk melaksanakan shalat gerhana bulan atau khusuful qomar. Dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah disebutkan bahwa terdapat amalan-amalan sunnah yang dianjurkan untuk dikerjakan pada saat kita hendak melaksanakan shalat gerhana, termasuk gerhana bulan total.

Amalan-amalan sunnah yang dimaksud adalah sebagai berikut;

Pertama, mandi sebelum melaksanakan shalat gerhana bulan. Ini karena shalat gerhana bulan dianjurkan untuk dilaksanakan secara berjemaah.

Kedua, shalat gerhana bulan dianjurkan untuk dilaksanakan di tempat pelaksanaan shalat Jumat, yaitu masjid. Ini karena Rasulullah Saw melaksanakan shalat gerhana di dalam masjid. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Bukhari dari Abu Bakrah, dia berkata;

خَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ حَتَّى انْتَهَى إِلَى المَسْجِدِ وَثَابَ النَّاسُ إِلَيْهِ فَصَلَّى بِهِمْ رَكْتَيْنِ

Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Saw, kemudian beliau keluar dari rumahnya seraya menyeret selendangnya sampai akhirnya tiba di masjid. Orang-orang pun ikut melakukan apa yang dilakukannya, kemudian beliau shalat bersama mereka dua rakaat.

Ketiga, sebelum melaksanakan shalat gerhana bulan, dianjurkan mengumandangkan kalimat ‘innash sholaata jaami’ah.’ Ini berdasarkan hadis riwayat Imam Al-Bukhari dari Abdullah bin Amr, dia berkata;

لَمَّاكَسَفَتِ الشَّمْسُ غَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُوْدِيَ :إِنَّ الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ

Ketika terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah, maka diserukan dengan kalimat ‘innash sholaata jaami’ah.’

Keempat, memperbanyak zikir kepada Allah, doa, istighfar, dan takbir. Ini berdasarkan hadis riwayat Imam Al-Bukhari, dari Sayidah Aisyah, Nabi Saw bersabda;

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ عَزَّ وَجَل، لاَ يُخْسَفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

Sesungguhnya matahari dan bulan adalah ayat (tanda kebesaran Allah) dari sekian ayat-ayat Allah. Keduanya tidak akan gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Apabila kalian menyaksikannya, maka hendaknya kalian berdoa kepada Allah, mengumandangkan takbir, melakukan shalat dan bersedekah.

Kelima, shalat gerhana bulan dilaksanakan secara berjemaah.

BINCANG SYARIAH

Waktu Shalat Fajar

KITA sering sekali mendengar tentang keutamaan shalat Fajar. Dan ingin sekali melakukakannya sebagai bentuk meningkatkan kualitas iman. Timbul pertanyaan kapan waktu shalat Fajar itu?

Terlepas dari itu, mari kita bahas keutamaan shalat fajar terlebih dahulu, agar kita semakin semangat mengerjakannya.

Terdapat banyak hadis yang menunjukkan keutamaan shalat sunah fajar. Diantaranya,

Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

”Dua rakaat fajar, lebih baik dari pada dunia seisinya.” (HR. Muslim 725, Nasai 1759, Turmudzi 416, dan yang lainnya).

Kemudian, juga hadis dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan,

لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيِ الفَجْرِ

Tidak ada shalat sunah yang lebih diperhatikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pada dua rakaat fajar. (HR. Bukhari 1169).

Jadi, kapan waktu shalat fajar?

Sebagian orang kebingungan antara shalat fajar dengan shalat qabliyah shubuh. Sehingga ada yang melaksanakan dua kali. Shalat fajar dilakukan sebelum adzan subuh, kemudian shalat qabliyah subuh dilakukan setelah adzan subuh.

Dan jelas, ini adalah pemahaman yang tidak benar. Karena shalat fajar adalah shalat qabliyah subuh.

A’isyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَدَعُ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الصُّبْحِ

”Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat rakaat sebelum dzuhur dan dua rakaat sebelum subuh.” (HR.Bukhari 1182, Nasai 1758, dan yang lainnya).

Cerita A’isyah ini menunjukkan bahwa shalat sunah yang dimotivasi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau rutinkan adalah shalat sunah qabliyah subuh.

Shalat ini dinamakan shalat fajar, karena shalat ini dilaksanakan tepat setelah terbit fajar, sebelum pelaksanaan shalat subuh.

Yuk, mulai istiqomahkan sholat Fajar… []

SUMBER: KONSULTASI SYARIAH

Setelah Wudhu, Menginjak Tanah, Apakah Batal?

Pertanyaan:

Apakah benar bahwa orang yang sudah wudhu lalu kakinya kotor lagi karena menginjak tanah maka wudhunya batal dan harus diulang? Karena teman saya ada yang mengatakan demikian. Mohon penjelasannya.

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash shalatu was salamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi was shahbihi ajma’in. Amma ba’du,

Menyentuh atau menginjak tanah setelah berwudhu, sama sekali tidak membatalkan wudhu. Karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa menginjak atau menyentuh tanah adalah pembatal wudhu. Padahal kaidah fiqhiyyah yang disebutkan para ulama:

الأصل بقاء ماكان على ماكان

“Pada asalnya, hukum yang sudah ditetapkan itu tetap berlaku”.

Maka jika seseorang sudah berwudhu, ia dihukumi suci dan tidak batal wudhu. Kecuali terdapat dalil yang menunjukkan batalnya wudhu. Sedangkan tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa menyentuh tanah adalah pembatal wudhu. Pembatal-pembatal wudhu ditentukan berdasarkan dalil syar’i bukan akal atau perasaan. 

Sehingga, menyentuh atau menginjak tanah setelah berwudhu tidaklah membatalkan wudhu. Dewan Fatwa Islamweb mengatakan:

أما إذا كان الشخص متوضئا, ثم لصق تراب على قدمه بعد الوضوء, فهذا لا يؤثر على وضوئه

“Adapun jika seseorang sudah berwudhu, lalu setelah itu tanah menempel di kakinya, ini tidak mempengaruhi keabsahan wudhu sama sekali.” (Fatwa Dewan Islamweb no.267847)

Dalam Mausu’ah Fiqhiyyah al-Muyassarah (1/117-126), Syaikh Husain al-Awaisyah hafizhahullah menyebutkan bahwa pembatal wudhu ada lima:

  • Al-kharij min sabilain (keluar sesuatu dari qubul dan dubur), baik berupa air seni, air besar (feses), mani, madzi, darah istihadhah, atau kentut.
  • Hilangnya akal.
  • Menyentuh farji (kemaluan) dengan syahwat.
  • Makan daging unta.
  • Tidur nyenyak.

Pembatal wudhu berbeda dengan qadzarah. Qadzarah artinya kotoran, yaitu semua yang dianggap kotor atau tidak bersih oleh manusia; lawan kata dari bersih. Tidak semua yang dianggap kotor oleh manusia itu adalah najis, hadats, dan membatalkan wudhu.

Dewan Fatwa Islamweb.net menyatakan:

فالقذر اسم لما تعافه النفس وتكرهه نجساً كان أو غير نجس، فالقذر إذن أعم من النجس مطلقاً.

Al-Qadzar adalah istilah untuk semua yang tidak disukai oleh jiwa, baik itu berupa najis ataupun bukan najis. Maka qadzar itu lebih umum dari najis.” (Fatwa Dewan Islamweb no. 132530)

Najis, hadats, dan pembatal wudhu ditentukan berdasarkan dalil-dalil. Adapun kotoran secara umum, statusnya kembali kepada hukum asal segala sesuatu adalah suci dalam pandangan syariat. Kaidah fiqih mengatakan:

والأصل في أشيائنا الطهارة *** والأرض والثياب والحجارة

“Hukum asal segala benda yang ada di (bumi) kita adalah suci, demikian juga tanah, pakaian, dan batu.” (Manzhumah Qawaid Fiqhiyyah as-Sa’diyah)

Maka kotoran dibagi menjadi dua:

  1. Kotoran yang bukan najis, semisal tanah, debu, noda makanan, noda cat, dan semisalnya. Statusnya asalnya suci dalam pandangan syariat, kecuali sudah tercampur dan didominasi oleh zat lain yang termasuk najis. Demikian juga terkena benda-benda tersebut bukan pembatal wudhu karena tidak terdapat dalil bahwa mereka dapat membatalkan wudhu. Maka tidak benar sikap sebagian orang yang merasa wudhunya batal karena ia menginjak tanah.
  2. Kotoran yang merupakan najis, yaitu kotoran yang ditetapkan syariat sebagai najis, seperti kotoran manusia (feses), air seni, madzi, bangkai, air liur anjing, babi, dll.

Meski demikian, kotoran yang statusnya suci bukan najis dalam syariat, bukan berarti seorang muslim bermudah-mudahan terhadapnya. Di antara adab yang baik bagi seorang muslim adalah senantiasa menjaga kebersihan dan berpenampilan yang bagus. Bukan adab yang baik jika seorang muslim berpenampilan kumal, kotor, pakaiannya penuh noda, rumahnya pun kotor, sampah berceceran, walaupun tidak terdapat najis. Ini bukan adab yang baik. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ اللهَ جميلٌ يحبُّ الجمالَ

“Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan.” (HR. Muslim no.91)

Maka orang yang sudah berwudhu untuk shalat, lalu badannya terkena tanah, hendaknya tetap dibersihkan sebagai bentuk menjaga kebersihan dan berpenampilan yang bagus. Adapun wudhunya tetap sah. Wallahu a’lam.

Was shalatu was salamu ‘ala Muhammadin, walhamdulillahi rabbil ‘alamin.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

Referensi: https://konsultasisyariah.com/40553-setelah-wudhu-menginjak-tanah-apakah-batal.html