Sebab-Sebab Terbukanya Rezeki dan Terhindar dari Musibah (Bag. 2)

Namun ingat, kita tetap diperintahkan ikhlas beribadah untuk Allah semata

Allah Ta’ala berfirman dalam surah Al-Bayyinah ayat 5,

وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ

“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Larangan beribadah kepada Allah dengan niat hanya dunia

Allah berfirman dalam surah Hud ayat 15 dan 16,

مَن كَانَ يُرِيدُ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَٰلَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.” (QS. Hud: 16)

اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ لَيْسَ لَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ اِلَّا النَّارُ ۖوَحَبِطَ مَا صَنَعُوْا فِيْهَا وَبٰطِلٌ مَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

“Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat, kecuali neraka. Dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud: 16)

مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهٗ فِيْهَا مَا نَشَاۤءُ لِمَنْ نُّرِيْدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهٗ جَهَنَّمَۚ يَصْلٰىهَا مَذْمُوْمًا مَّدْحُوْرًا

Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di (dunia) ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki. Kemudian Kami sediakan baginya (di akhirat) neraka Jahanam; dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” (QS. Al-Isra’: 18)

Allah ingatkan kita agar tidak melupakan perkara yang bermanfaat untuk kehidupan dunia kita

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia.” (QS. Al-Qashash: 77)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun memerintahkan kita untuk berusaha dan bekerja untuk mendapatkan perkara yang bermanfaat bagi kita, tentunya termasuk dalam hal ini adalah berupaya untuk mendapatkan rezeki halal.

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ

“Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah.” (HR. Muslim)

Maksiat adalah penghalang rezeki yang halal

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وإن الرجل ليحرم الرزق بالذنب يصيبه

“Dan sesungguhnya seseorang benar-benar dihalangi mendapatkan rezeki karena dosa yang dilakukan olehnya.” (HR. Ibnu Majah, hasan)

Kesimpulan

Berdasarkan gabungan dalil-dalil di atas dapat disimpulkan:

Pertama: Tobat, ibadah, dzikrullah, doa, istigfar, dan dakwah adalah sebab didapatkannya rezeki dan terhindar dari musibah dan azab.

Oleh karena itu, keberadaan para da’i, ahli ibadah, dan orang-orang saleh dalam sebuah masyarakat, hakikatnya mereka ikut andil dalam berusaha terhindarnya dari musibah dan azab. Maka, hal ini menuntut kita untuk mencontoh teladan mereka dan memberi perhatian, bantuan, dan dukungan kepada mereka, menjaga dan memuliakan mereka serta berterimakasih kepada mereka.

Bukan justru menelantarkan mereka, memandang sebelah mata, apalagi menghalang-halangi dakwah mereka dan menzalimi mereka.

Kedua: Ikhlaslah dalam beribadah dan beribadahlah sesuai dengan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jangan niatkan dalam beribadah, kecuali untuk mendapatkan rida dan pahala Allah semata. Namun, tetap iringilah dengan bekerja yang halal, niscaya dunia akan mengikuti anda.

Ketiga: Jangan sampai meninggalkan ibadah atau malas beribadah, malas dzikrullah serta malas berdakwah, dengan alasan sibuk cari rezeki atau sibuk bersenang-senang menikmati dunia.

Karena beralasan sibuk mencari rezeki sehingga sampai meninggalkan atau malas beribadah, dzikrullah, serta berdakwah itu justru bisa berdampak buruk pada perolehan rezeki atau berdampak pada perolehan keberkahan kalau pun mendapatkan rezeki.

Setiap muslim dan muslimah bisa ikut andil dalam berdakwah, baik dengan ilmu syar’i, harta, kedudukan, teladan amal salehnya, atau pun segala sesuatu yang bisa digunakan untuk mengajak manusia ke jalan Allah, sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

Keempat: Tidak benar seseorang hanya beribadah, berzikir, dan berdoa saja, tanpa mau bekerja mencari rezeki yang halal.

Kelima: Beribadah kepada Allah dengan niat murni mencari dunia atau niat dunianya lebih besar daripada niat mencari rida dan pahala Allah atau sama kadar niat keduanya, maka pada semua kondisi ini pelakunya tidak mendapatkan pahala, sedangkan dunia yang ia niatkan hanya akan didapatkan jika Allah takdirkan untuknya. Adapun kadar dunia yang akan didapatkannya, tidak akan melebihi apa yang telah ditakdirkan oleh Allah untuknya.

Jadi, seandainya seseorang meniatkan ibadahnya hanya untuk dunia semata, (misal: salat hanya agar sehat badannya, berpuasa Ramadan hanya untuk menurunkan berat badan, sedekah hanya untuk sembuh sakitnya), maka jika Allah tidak takdirkan dunia untuknya, ia tidak akan mendapatkan tujuan dunia yang diharapkannya. Dan seandainya Allah takdirkan dunia untuknya pun, maka ia tidak akan mendapatkan dunia melebihi apa yang telah ditakdirkan oleh Allah untuknya. Padahal ia sudah terjatuh dalam kesyirikan karena beribadah untuk dunia semata dan sudah terluput darinya pahala dan rida Allah.

Keenam: Beribadah kepada Allah, apabila niat penggerak awalnya adalah mencari rida dan pahala Allah (lillah), dan niat lillah itu lebih besar daripada niat mencari dunia, maka ini tidak mengapa dan tidak berdosa, namun tidak afdal. Hanya saja, pelakunya tetap dikatakan ikhlas karena dalil menunjukkan bolehnya hal itu, sedangkan hukum itu berdasarkan yang paling terbanyak (mayoritas).

Ketujuh: Yang afdal (paling utama) adalah beribadah kepada Allah dengan niat hanya mencari rida Allah dan pahala-Nya. Dalam kondisi ini, pelakunya akan mendapatkan dua keistimewaan sekaligus: 1) mendapatkan rida dan pahala-Nya; dan 2) sekaligus juga mendapatkan dunia, meski pelakunya tidak meniatkan mencari dunia, karena ini jaminan bagi setiap orang yang bertakwa, terlepas meniatkan cari dunia atau tidak. Allah berfirman,

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.”

وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ

“Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupi (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)

Dari ayat di atas dan ayat-ayat sebelumnya, disimpulkan bahwa secara umum seluruh ibadah dan amal saleh itu sebab untuk didapatkannya rezeki dan keberkahan padanya. Oleh karena itu, barangsiapa  yang beribadah kepada Allah dengan niat hanya mencari rida Allah dan pahala-Nya, tidak ada niat dunia sedikit pun, maka ia mendapatkan kebaikan diniyyah ukhrawiyyah (rida dan pahala-Nya) dan kebaikan dunyawiyyah.

Jadi, betapa ruginya seseorang yang meniatkan dunia dalam beribadah, meskipun niat dunianya itu minoritas. Karena jika seorang hamba, ibadahnya hanya lillah, tanpa diniatkan mencari dunia sedikit pun, pasti dunia akan didapatkan jika memang sudah menjadi takdir untuknya, ditambah lagi ia mendapatkan keuntungan rida Allah dan pahala yang sempurna, tidak terkurangi dengan niat dunia.

Kedelapan: Maksiat adalah penghalang rezeki yang halal dan diberkahi dan dapat menyebabkan terkena musibah. Wallahu Ta’ala a’lam.

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ

[Selesai]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/81414-sebab-sebab-terbukanya-rezeki-dan-terhindar-dari-musibah-bag-2.html

Mandi Junub, Harus Gunakan Shampo atau Sabun?

APAKAH mandi junub harus menggunakan sabun atau shampo?

Kami kutip dari islamqa.ca, yang diwajibkan saat mandi untuk menghilangkan hadats besar adalah menyiramkan air merata ke seluruh tubuh. Tidak disyaratkan menggunakan sabun atau alat pembersih lainnya.

Karena siapa yang menjelaskan mandinya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak ada yang menyebutkan kalau beliau menggunakan sider (daun bidara) atau sikat atau pembersih lainnya. Yang ada adalah bahwa beliau menyiram air ke badannya secara merata.

Di antara riwayat tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiallahu anha, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

كَانَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ …. ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ (رواه البخاري، رقم 240)

“Beliau (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam) apabila mandi junub…. Kemudian beliau menuangkan air ke atas kepalanya sebanyak tidak siraman dengan kedua tangannya, kemudian meneruskan air ke seluruh tubuhnya.” (HR. Bukhari, no. 240)

Dari Ummu Salamah radhiallahu anha dia berkata, “Aku berkata, Wahai Rasulullah, aku adalah wanita yang mengepang rambu, apakah aku lepas apabila mandi junub? Beliau berkata,

لَا إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِي عَلَى رَأْسِكِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ ، ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ (رواه مسلم، رقم 497) .

“Tidak, tapi cukup menuangkan air ke kepalamu sebanyak tiga siraman, kemudian tuangkan air ke tubuhmu hingga engkau suci.” (HR. Muslim, no. 497)

Ulama Lajnah Daimah (5/315) ditanya, “Apakah mandi junub harus dengan sabun, mengapa?”

Mereka menjawab, “Wajib mandi junub dengan air, dan tidak diwajibkan menggunakan alat pembersih seperti sabun dan semacamnya. Hal ini yang ditunjukkan oleh sunah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Jika seseorang menggunakan sabun atau alat pembersih lainnya, maka tidak mengapa.”

Wallahua’lam. []

ISLAMPOS

10 Metode Parenting Ala Rasulullah

Berikut ini penjelasan 10 metode parenting ala Rasulullah. Setiap orang tua pasti memiliki cara dan gaya mendidik anaknya masing-masing. Baik cara itu didapatkan secara otodidak, melihat pengalaman orang lain, melalui membaca buku-buku parenting, atau cara-cara yang lainnya.

Salah satu cara atau gaya mendidik anak yang patut dicontoh adalah ala Nabi saw. Ali Mustafa Ya’qub dalam bukunya yang berjudul Sejarah dan Metode Dakwah Nabi telah merumuskan 10 metode parenting  ala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama.

10 Metode Parenting Ala Rasulullah
Pertama graduasi (at-tadarruj)

Metode ini sebenarnya digunakan ketika Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi saw., yakni secara bertahap. Baik ketika menghilangkan tradisi jahiliyah maupun ketika menanamkan akidah. Ketika Nabi saw. menyampaikan risalah Al-Qur’an kepada sahabat-sahabatnya pun secara bertahap.

Metode pendidikan secara graduasi/bertahap ini juga beliau ajarkan kepada sahabat-sahabatnya agar berdakwah/menyebarkan Islam dengan cara ini. Seperti ketika beliau mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman pada tahun 10 H. “Kamu akan mendatangi orang-orang Nasrani, maka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah.

Jika mereka patuh, maka sampaikanlah bahwa Allah telah mewajibkan mereka menunaikan shalat lima kali sehari. Jika mereka patuh, maka sampaikanlah bahwa Allah telah mewajibkan mereka membayar zakat yang dipungut dari orang kaya di antara mereka untuk diberikan pada orang fakir.

Jika mereka patuh, maka hindarilah harta-harta yang bagus milik mereka; dan takutlah pada doa orang yang dizalimi karena antara dia dengan Allah tidak ada penghalang sama sekali.” Begitulah pesan beliau kepada Mu’adz sebelum dia berdakwah.

Kedua, levelisasi (mura’at al-mustawayat)

Nabi saw. sangat memperhatikan level orang yang akan beliau ajari. Beliau paham, masing-masing orang yang belajar kepadanya memiliki masalah, kapasitas ilmu, dan background yang berbeda-beda. Sehingga, beliau berharap materi yang disampaikan benar-benar bisa diterima oleh mereka.

Ketika Nabi saw. berbicara dengan orang Badui, beliau berbicara sesuai dengan tingkat kecerdasan mereka. Begitu pula ketika beliau berbicara dengan orang perkotaan, orang-orang pandai, beliau berbicara sesuai dengan tingkat kecerdasan dan budaya mereka.

Terkait dengan hal ini terdapat riwayat Imam Ad-Dailami dari Ibnu Abbas, Nabi saw. bersabda, “Kami (para Nabi) diperintahkan untuk berbicara kepada manusia menurut kemampuan akal mereka.” Terkadang, Nabi saw. juga berbicara dengan mempertimbangkan emosional seseorang yang berinteraksi dengan beliau.

Misalnya dalam riwayat Imam Ahmad, ada seorang pemuda yang meminta izin kepada Nabi saw. untuk berzina. Para sahabat yang berada di sekeliling Nabi saw. tentu saja langsung hendak mengusirnya karena menganggap orang itu kurang sopan. Namun, Nabi saw. justru memanggilnya.

“Apakah kamu suka jika ibu kandungmu dizinahi orang?” “Tidak demi Allah saya tidak suka”. Begitulah, Nabi saw. terus menanyakan pemuda itu, tentang sikapnya bagaimana jika ibu, anak gadisnya, adik wanita, atau bibinya dizinahi orang.

Dan pemuda itu selalu menjawab seperti jawaban yang pertama. Kemudian, Nabi saw. mendoakannya agar disucikan hatinya dan dijaga kemaluannya.

Ketiga, variasi (at-tanwi’ wa at-taghyir)

Di antara yang Nabi saw. lakukan untuk menghindari kejenuhan jamaahnya adalah dengan membuat variasi waktu pengajaran. Dalam riwayat Imam Al-Bukhari dan Muslim, Abdullah bin Mas’ud menceritakan, suatu ketika Nabi saw. telah ditunggu banyak jamaahnya untuk belajar.

Namun, beliau tidak keluar kamarnya. Ketika keluar, beliau berkata, “Saya tidak mau keluar itu tidak lain hanya karena saya khawatir nanti kalian akan jenuh.”

Variasi pendidikan Nabi saw. seperti yang dikisahkan oleh Abdullah bin Mas’ud ini terkait dengan masalah variasi waktu belajar saja. Namun, Nabi saw. juga memberikan variasi dalam hal materi.

Sebab, materi yang beliau ajarkan adalah wahyu dari Allah yang pada saat itu sedang dalam proses diturunkan secara bertahap. Materi-materi dalam wahyu itu bervariasi, maka otomatis apa yang disampaikan Nabi saw. pasti juga bervariasi.

Keempat, keteladanan (al-uswah wa al-qudwah)

Sebelum menyuruh para sahabatnya melakukan suatu perbuatan, Rasulullah saw. senantiasa memberikan keteladanan terlebih dahulu. Metode keteladanan ini sangat efektif, karena para sahabat langsung bisa melihat sendiri bagaimana ajaran Islam dipraktekkan. Beliau memang sosok yang tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan.

Dalam masalah shalat, beliau bersabda, “Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat.” (H.R. Al-Bukhari). Dalam masalah haji, beliau bersabda, “Kerjakanlah ibadah haji kalian dengan mencontoh ibadah hajiku.” (H.R. Muslim).

Begitu pula dalam masalah-masalah lainnya. Bahkan Allah swt. telah mentitahkan kepada umat Islam agar meneladani sosok Nabi saw. “Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suatu teladan yang baik” (Q.S. Al-Ahzab: 21)

Kelima, Aplikatif (At-Tatbiqi wa al-Amali)

Pendidikan Nabi saw. tidak hanya sekedar pelajaran saja, melainkan langsung diamalkan oleh para sahabatnya. Mereka mempraktikkan dan mengaplikasikan ajaran-ajaran Nabi saw. itu dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam mengajarkan Al-Qur’an misalnya, Nabi saw. mengajarkan beberapa ayat dahulu seraya diterangkan maksudnya. Sesudah para sahabat memahami dan mengamalkan isinya, Nabi saw. baru akan menambah pelajaran dengan ayat-ayat lainnya.

Abdullah bin Mas’ud menuturkan bahwa orang-orang di antara para sahabat apabila mempelajari sepuluh ayat Al-Qur’an, mereka tidak akan pindah ke ayat-ayat lain sebelum mereka mengetahui benar apa maksud ayat-ayat itu serta mengamalkan isinya.

Keenam, Mengulang-ulang (At-Takrir wa al-Muraja’ah)

Nabi saw. dalam memberikan pelajaran kepada para sahabatnya sering menggunakan metode dengan cara mengulang-ulang. Terlebih dalam hal-hal yang dianggap sangat penting. Hal ini tidak lain adalah agar mendapatkan hasil yang maksimal.

Meskipun pada dasarnya tutur kata Nabi saw. itu sudah cukup jelas, bahkan mudah dihafal oleh para pendengarnya.

Anas bin Malik; sahabat yang menjadi pelayan Nabi saw. selama sepuluh tahun menceritakan bahwa Nabi saw. ketika berbicara selalu mengulang-ulanginya tiga kali. Sampai hal itu dipahami oleh para sahabat. Ketika Nabi saw. mengunjungi para sahabat, beliau juga memberikan salam sampai tiga kali.

Dalam riwayat Imam Al-Bukhari diriwayatkan bahwa Nabi saw. melihat sendiri ada seorang sahabat yang tidak benar dalam berwudhu. ia tidak membasuh tumitnya dengan air. Nabi saw. kemudian memberikan peringatan dua atau tiga kali dengan suara keras, “Wail li al-a’qab min al-nar (celakalah tumit yang tidak dibasuh dengan air).”

Ketujuh, Evaluasi (Al-Taqyim)

Nabi saw. juga memonitor dan mengevaluasi pelajaran yang telah diterima oleh para sahabatnya. Ketika beliau mengetahui kekeliruan yang dilakukan oleh salah seorang sahabat, maka beliau langsung mengoreksinya. Baik kekeliruan itu diketahui beliau langsung atau hasil dari laporan sahabatnya yang lain.

Contoh kekeliruan sahabat yang langsung beliau saksikan adalah contoh di atas, tentang kisah tentang sahabat yang keliru saat berwudhu. Sementara contoh tentang kekeliruan sahabat yang tidak beliau saksikan langsung adalah tentang kisah Mu’adz bin Jabal.

Mu’adz pernah menjadi imam shalat. Namun, ketika membaca surat Al-Qur’an, ia memilih surah Al-Baqarah yang panjang sekali. Sehingga, ada salah seorang makmum yang memisahkan diri dari jamaah dan tidak meneruskan shalat berjamaah bersama Mu’adz.

Ketika Nabi saw. diberi tahu kejadian itu, beliau langsung memanggil Mu’adz,

Hai Mu’adz, apakah engkau suka berbuat fitnah?” Beliau mengulanginya sampai tiga kali. “Mengapa kamu tidak membaca surah-surah pendek saja, seperti sabbihisma rabbika …., was syamsi wa dhuhaha, atau wal laili idza yaghsyaha, karena di belakang kamu ada orang yang sudah tua, orang yang lemah, dan orang yang punya keperluan lain.”

Demikianlah nasihat Nabi saw. kepada Mu’adz sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya.

Kedelapan, Dialog (Al-Hiwar)

Metode tanya jawab atau dialog ini banyak mewarnai sistem pendidikan ala Nabi saw. Beliau sebagai penanya, sedangkan para sahabat sebagai orang-orang yang diajak dialog. Melalui metode ini, Nabi saw. mengajak para sahabatnya untuk menuju posisi mengetahui dari yang asalnya tidak tahu, kemudian naik ke posisi meyakini.

Terkadang, metode dialog ini dipandu oleh malaikat Jibril yang menyamar sebagai sosok laki-laki. Sementara para sahabat bertindak sebagai pendengar aktif. Seperti hadis terkait Islam, Iman, dan Ihsan.

Adakalanya juga Nabi saw. justru sebagai pihak yang ditanya, sementara salah seorang sahabat yang mengajukan pertanyaan terkait permasalahannya. Seperti orang-orang Arab Badui yang menanyakan ajaran-ajaran Islam kepada beliau.

Kesembilan, Analogi (Al-Qiyas)

Ungkapan-ungkapan Nabi saw. dalam mengajarkan Islam kepada para sahabat banyak sekali yang menggunakan analogi, perumpamaan, atau sejenisnya.

Contohnya sabda Nabi saw., “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih sayang dan penderitaan mereka ibarat jasad manusia. Apabila ada satu bagian dari jasad itu merasa sakit, maka seluruh tubuh akan ikut merasakan sakit panas dan tidak dapat tidur.” (H.R. Bukhari)

Kesepuluh, Cerita atau Kisah (Al-Qishash)

Metode ini telah diarahkan oleh Al-Qur’an. Di mana, banyak sekali kisah-kisah tentang para nabi dan umat terdahulu yang dikisahkan Allah swt. dalam Al-Qur’an sebagai suatu pelajaran. Nabi saw. juga sering menyebutkan kisah-kisah orang-orang dahulu kepada para sahabat ketika memberikan pelajaran.

Misalnya kisah tentang tiga penghuni gua yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab shahihnya. Dikisahkan bahwa ada tiga orang yang terjebak di dalam gua. Mereka tidak dapat keluar dari gua karena mulut gua tertutup batu besar yang tidak sanggup mereka geser.

Maka, secara bergantian, mereka berdoa dan menyebutkan amal-amal shalih. Batu itu bergerak keluar setiap satu orang dari mereka menyebutkan amal shalih yang pernah mereka lakukan. Hingga mereka pun dapat keluar dari gua itu.

Demikianlah 10 metode parenting ala Rasulullah yang telah dirumuskan oleh Ali Mustafa Ya’qub dalam bukunya Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Tentunya, meskipun metode parenting ala Rasulullah  ini sudah ada tetapi hal ini tidak membatasi. Artinya masih banyak metode-metode pendidikan ala Nabi saw. yang dapat digali lagi dari riwayat-riwayat beliau.

Tulisan ini telah diterbitkan di Bincangmuslimah.com

Islam di Argentina Terbesar Di Amerika Latin

Untuk urusan sepak bola Argentina memang negara besar. Tapi tahukah Anda, ada yang besar lain di Argentina, yakni Islam. Kok bisa?

Gelaran kompetisi sepak bola internasional Piala Dunia barang tentu akan terasa hambar tanpa kehadiran timnas Argentina. Sebab tim Tango ini banyak dihuni bintang-bintang dunia yang berlaga di liga berbagai dunia, terutama Eropa.

Dulu mereka punya mega bintang Diego Maradona. Di Argentina Maradona dipuja bagai sosok Tuhan. Kini, mega bintang itu adalah Lionel Messi.

Argentina selalu menjadi favorit juara setiap gelaran Piala Dunia. Demikian pula di Piala Dunia Qatar kali ini. Saat berita ini dibuat, Argentina berhasil melaju ke babak final berhadapan dengan Prancis.

Untuk urusan sepak bola Argentina memang negara besar. Tapi tahukah Anda, ada yang besar lain di Argentina, yakni Islam. Di wilayah Amerika Latin, Islam di Argentina merupakan terbesar. Bagaimana perkembangan persisnya dan bagaimana pula hubungannya dengan pemerintah? Saksikan di sini

HIDAYATULLAH

Hukum Menerima Bantuan dari Non Muslim Saat Bencana

Bagaimana hukum menerima bantuan dari non muslim saat terjadi bencana alam? Pasalnya, beberapa waktu yang lalu, viral di media sosial video sekelompok orang yang mencabut banner yang bertuliskan logo suatu agama tertentu di tenda pengungsian. Diketahui tenda ini merupakan tempat penampungan bantuan dari non muslim.

Tindakan ini ternyata menuai kritikan, hingga petinggi daerah setempat pun menyesalkan tindakan tersebut. Ia pun menyebutkan jika bencana tidak asal pilih dan bisa datang kapan pun dan di mana pun tanpa melihat apa suku, bangsa, ras dan agama.

Bantuan yang datang pun seharusnya juga tidak pilih-pilih, karena dari mana pun asal dan agama pemberi bantuan, semuanya memiliki niatan yang sama. Yaitu membantu sesama manusia yang tengah mengalami suatu bencana.

Oleh petinggi tersebut disebut jika berdirinya spanduk atau logo dari institusi, agama atau kelompok tertentu dari bantuan yang diberikan merupakan hal wajar. Karena bisa saja, pencantuman ini merupakan salah satu bentuk pelaporan yang menjadi tanggung jawab dari donatur.

Bantuan dan tindakan kemanusiaan ini seharusnya tidak perlu dinodai dengan tindakan di atas, akibat rasa benci antar golongan tertentu. Melihat peristiwa di atas, maka perlu pengamalan sila ke-2 dari Pancasila yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Peristiwa ini mungkin saja tidak hanya terjadi sekali atau dua kali. Masih ada prasangka dan stigma yang masih bercokol di dalam pikiran masyarakat kita. Padahal,  rasanya selagi masih merupakan sesuatu yang baik dan tidak bertentangan dengan agama dan hukum, maka tidak masalah menerima bantuan dari pihak mana pun.

Lantas bagaimana Islam menanggapi isu hukum menerima bantuan dari non muslim?

Pada dasarnya Islam memperbolehkan adanya interaksi  sosial antara kaum muslimin dan non muslim. Baik itu interaksi sosial berupa jual beli, hutang piutang, sewa, hibah hingga bantuan kemanusiaan.

Hal ini pun tercantum betul di dalam Q.S Al-Mumtahanah ayat 8:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Jika merunut pada Tafsir as-Sa’di oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, dijelaskan bahwa ayat di atas berisikan bahwa Allah tidak melarang kaum muslimin untuk berbuat baik terhadap orang yang tidak memerangi diri dan agama, atau mengusir dari kampung halaman.

Selain itu tidak masalah jika menyambung tali kekerabatan, saling berbalas kebaikan antar muslim dengan non muslim.

Dari ayat di atas jelas sudah bahwa saling berbuat kebaikan satu sama lain meski berbeda agama tidaklah dilarang dalam Islam. Kecuali, interaksi sosial ini memaksakan suatu kehendak yang tidak baik, seperti ajakan yang menyangkut pada keimanan. Atau, bantuan yang diberikan memiliki unsur politik dan ini tidak diperkenankan.

Selain itu dilansir dari Bincang Syariah, ada penguat lain jika dalam agama boleh menerima bantuan dari orang non muslim.

Hal ini dilihat dari pandangan Syekh Musthofa Al-Maraghi.  Seorang ulama kontemporer yang terkenal dengan kitab tafsirnya yang juga dinamai dengan Tafsir Al-Maraghi, menjelaskan persoalan ini,

و للمسلمين أن يقبلوا من الكافر مسجدا بناه كافر او صبي ببنائه أو ترميمه اذا لم يكن ضرار دينيّ و لا سياسيّ كما لو عرض اليهودي الآن على المسلمين ان يعمروا المسجد الاقصى بترميم ما ان قد تداعى من بنائه او بذلوا لذلك مالا لم يقبل منهم لأنهم يطمعون في الاستيلاء على هذا المسجد وربما جعلوا ذريعة لادعاء حق لهم فيه

Artinya: “Orang Islam diperbolehkan menerima pemberian masjid dari orang kafir atau dari anak kecil berupa pembangunan atau perbaikan.

Hal itu jika tidak berdampak negatif pada agama dan tidak ada unsur politik semisal berupa perbaikan/perehaban masjid al-Aqsho yang butuh untuk direhab, atau memberi uang untuk perehaban, maka orang Islam tidak boleh menerima, sebab mereka mengharapkan agar bisa menguasai masjid.”

Oleh karena itu bisa disimpulkan jika tidak mengapa menerima bantuan dari non muslim. Selagi tidak bertentangan dengan keimanan, memerangi atau mengarah pada hal yang tidak baik. Saling membantu dan melakukan aktivitas kemanusiaan bahkan dianjurkan agar dapat meringankan masalah yang tengah dihadapi, sebagai manusia yang memiliki hati nurani.

Tulisan ini telah terbit di Bincangmuslimah.com

Prestasi Maroko Menginspirasi Dunia Islam

Pakar komunikasi Islam dari UIN Syarif Hidayatullah, Iding Rasyidin, mengatakan, kesuksesan timnas Maroko di Piala Dunia 2022 memberikan dampak yang cukup besar bagi dunia Islam. Dia menilai, kemenangan demi kemenangan yang diraih Maroko menjadi pembuktian bahwa siapa pun dapat berkompetisi dengan sehat di ajang olahraga terbesar di dunia.

“Kesuksesan Maroko ini membuktikan bahwa ternyata orang Asia, Afrika, dan Muslim seperti Timnas Maroko bisa mengantongi tiket ke semifinal. Dan yang paling penting, para pemain Maroko sepanjang di Piala Dunia kerap menunjukkan substansi beragama Islam yang sebenar-benarnya,” kata Iding saat dihubungi Republika, belum lama ini.

Iding menjelaskan, sikap para pemain Timnas Maroko di Piala Dunia bukanlah sikap yang sifatnya simbolis. Mereka dinilai menun jukkan karakter Islami yang sesungguhnya seperti meng hormati orang tua, bersyukur kepada Allah SWT, dan tidak berlebih-lebihan dalam melakukan selebrasi demi menghargai tim lawan yang kalah.

Pihaknya melihat bahwa apa yang ditorehkan oleh Timnas Maroko dapat menjadi pengingat bagi masyarakat dunia bahwa setiap orang bisa berprestasi dalam kancah apa pun. Di lingkup dunia Islam, kata dia, kesuksesan Maroko menjadi inspirasi dan memupuk solidaritas ukhuwah Islamiyah.

“Saking senangnya (umat Islam) terhadap kesuksesan Maroko, mereka rela jika tim ke sayangan mereka, katakanlah Argentina, dikalahkan. Ya, mudah-mudahan Maroko bisa masuk ke final dan bisa menjadi juara,” kata dia.

Di sisi lain, dia mengingatkan, kesuksesan Maroko bisa menjadi momentum kebangkitan umat Islam di kancah global secara lebih masif.Dampak kesuksesan Maroko itu pun tak luput di Tanah Air. Euforia terhadap kemenangan demi kemenangan Maroko dinilai dapat dirasakan secara jelas di Indonesia. Menurut dia, kesuksesan Maroko bagaikan callingkepada seluruh umat Islam bahwa tiada yang tidak mungkin dengan ikhtiar dan doa.

“Berprestasi tapi tetap Islami. Itulah kira- kira yang dicontohkan Maroko,” ujar dia.

IHRAM

Sebab-Sebab Terbukanya Rezeki dan Terhindar dari Musibah (Bag. 1)

Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Tobat, beribadah, zikir, doa, dan istigfar kepada Allah adalah sebab tersingkirnya musibah

Allah Ta’ala dalam surah Al-Anfal ayat 33 berfirman,

وَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَاَنْتَ فِيْهِمْۚ وَمَا كَانَ اللّٰهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ

“Tetapi Allah tidak akan mengazab mereka, selama engkau (Muhammad) berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka (masih) memohon ampunan.” (QS. Al-Anfal: 33)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

تعرَّفْ إلى اللهِ في الرخاءِ يعرفُك في الشدَّةِ

“Ingatlah Allah saat lapang (dengan taat kepada-Nya), niscaya Allah akan mengetahuimu saat susah (sehingga menolongmu).” (HR. At-Tirmdzi, sahih)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

‏من سره أن يستجيب اللهُ له عند الشَّدائدِ والكُرَبِ ، فلْيُكثِرِ الدعاء في الرخاءِ

“Barangsiapa yang suka Allah kabulkan doanya saat susah dan menderita, maka hendaklah dia perbanyak doa saat lapang.” (HR. At-Tirmdzi, sahih)

Allah Ta’ala berfirman,

فَلَوْلَآ اَنَّهٗ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِيْنَ

“Maka, seandainya dia (Nabi Yunus ‘alaihis salam) tidak termasuk orang-orang yang banyak bertasbih (mensucikan Allah),”

لَلَبِثَ فِيْ بَطْنِهٖٓ اِلٰى يَوْمِ يُبْعَثُوْنَ

“niscaya dia akan tetap tinggal di perut (ikan itu) sampai hari Kebangkitan.” (QS. Ash-Shaffat: 143-144)

Tafsir Al-Baghawi rahimahullah

Sa’id bin Jubair radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Makna tasbih, yaitu ucapan:

لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

“Tiada tuhan yang berhak disembah, kecuali Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya saya termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Anbiya’: 87)

Al-Baghawi rahimahullah menafsirkan makna “termasuk orang-orang yang banyak bertasbih” dalam ayat tersebut dengan mengatakan, “(Nabi Yunus ‘alaihis salam) termasuk orang-orang yang mengingat Allah sebelum itu, dan beliau dahulu termasuk orang yang banyak berzikir.

Tafsir Ibnu Katsir rahimahullah

Ibnu Abbas, Sa’id bin Jubair, Adh-Dhahhak, ‘Atha’ bin As-Saib, As-Suddi, Al-Hasan, dan Qatadah rahimahumullah menafsirkan makna “termasuk orang-orang yang banyak bertasbih” dalam ayat tersebut, yaitu “(Nabi Yunus ‘alaihis salam) orang-orang yang menunaikan salat.”

Tafsiran ini sesuai dengan yang disebutkan oleh Al-Alusi rahimahullah dalam kitab tafsirnya, Ruhul Ma’ani, tentang kaidah yang diutarakan oleh pakar tafsir di kalangan sahabat, Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu,

كُلُّ ما في القُرْآنِ مِنَ التَّسْبِيحِ فَهو بِمَعْنى الصَّلاةِ

Setiap tasbih dalam Al-Qur’an, maka bermakna salat.”

Tafsir Ad-Durrul Mantsur, As-Suyuthi rahimahullah

Pakar tafsir di kalangan tabiin, Mujahid rahimahullah menafsirkan makna “termasuk orang-orang yang banyak bertasbih”, yaitu: “(Nabi Yunus ‘alaihis salam) orang-orang yang rajin beribadah kepada Allah” sebelum terjadinya musibah tersebut.

Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah dari Adh-Dhahhak bin Qais, berkata,

“Ingatlah Allah (ber-dzikrullah-lah) saat lapang, niscaya Allah akan mengetahui kalian saat susah (sehingga menolong kalian). Karena sesungguhnya Nabi Yunus ‘alaihis salam dahulu adalah hamba yang saleh dan rajin dzikrullah (mengingat Allah), lalu tatkala (terkena musibah) berada di dalam perut ikan besar, Allah berfirman,

فَلَوْلَآ اَنَّهٗ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِيْنَ

“Maka, seandainya dia (Nabi Yunus ‘alaihis salam) tidak termasuk orang-orang yang banyak bertasbih (mensucikan Allah),”

لَلَبِثَ فِيْ بَطْنِهٖٓ اِلٰى يَوْمِ يُبْعَثُوْنَ

“niscaya dia akan tetap tinggal di perut (ikan itu) sampai hari kebangkitan.” (QS. Ash-Shaffaat: 143-144)

Adapun Fir’aun dahulu adalah seorang yang melampui batas lagi melupakan dzikrullah (tidak ingat Allah), lalu tatkala ia (terkena musibah) tenggelam (di laut), ia berkata,

اٰمَنْتُ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا الَّذِيْٓ اٰمَنَتْ بِهٖ بَنُوْٓا اِسْرَاۤءِيْلَ وَاَنَا۠ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

“Aku percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang Muslim (berserah diri).”

Namun, justru dikatakan kepadanya,

اٰۤلْـٰٔنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِيْنَ

“Mengapa baru sekarang (kamu beriman), padahal sesungguhnya engkau telah durhaka sejak dahulu, dan engkau termasuk orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Yunus: 90-91)”

Benarlah apa yang dinyatakan Adh-Dhahhak bin Qais rahimahullah, bahwa kesalehan dan dzikrullah adalah sebab dihilangkannya malapetaka, sedangkan sikap melampui batas dan melupakan Allah Ta’ala adalah sebab malapetaka.

Tafsir Ibnul Jauzi rahimahullah

Pakar tafsir di kalangan tabiin, Qatadah rahimahullah, berkata, “Tentulah perut ikan besar menjadi kuburan baginya sampai hari Kiamat, akan tetapi beliau dahulu banyak menunaikan salat saat lapang, lalu Allah Ta’ala selamatkan beliau dengan sebab banyak salat tersebut.”

Tafsir Al-Mawardi rahimahullah

“Pendapat keempat dari pendapat-pendapat ahli tafsir:

‘Termasuk orang-orang yang bertobat’, dan ini pendapatnya Quthrub.

Ada pula ahli tafsir yang mengatakan, “(Nabi Yunus ‘alaihis salam) tobat di waktu lapang, lalu Allah selamatkan beliau di waktu bencana.”

Benarlah tafsir ulama tersebut, karena dosa itu penyebab musibah. Allah Ta’ala berfirman dalam surah Asy-Syura ayat 30,

وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ

“Dan musibah apa pun yang menimpa kalian adalah disebabkan oleh perbuatan tangan (dosa) kalian sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (QS. Asy-Syura: 30)

Tafsir Aisarut Tafasir, Syekh Abu Bakr Al-Jazairi rahimahullah

“Tafsirnya yaitu (sampai) hari kiamat, perut ikan besar akan menjadi kuburan bagi beliau.

Maksudnya, kalaulah Nabi Yunus ‘alaihis salam bukan termasuk orang-orang yang bertasbih, yaitu termasuk orang-orang yang banyak menunaikan salat, zikir, doa, dan tasbih sebelum terkena musibah, tentulah Allah tidak mengilhamkan apa yang ia ucapkan, ‘Laa ilaaha illa anta subhaanaka innii kuntu minazh zhoolimiin.’ ”

Saat menyimpulkan faedah dari ayat yang agung ini, Syekh Abu Bakr Al-Jazairi rahimahullah mengatakan,

“(Dalam ayat ini) terdapat keutamaan salat, zikir, doa, dan tasbih, serta betapa besar manfaat semua itu (untuk menyingkirkan bencana) ketika terjadi bencana.”

Tafsir Al-Muyassar, Majma’ Al-Malik Fahd Arab Saud

“Kalaulah bukan karena banyaknya ibadah dan amal saleh yang Nabi Yunus ‘alaihis salam telah lakukan sebelum ditelan ikan besar tersebut, dan juga tasbihnya saat berada di dalam perut ikan itu dengan mengucapkan,

لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

‘Tiada tuhan yang berhak disembah, kecuali Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya saya termasuk orang-orang yang zalim.’ (QS. Anbiya’: 87)

Niscaya Nabi Yunus ‘alaihis salam tetap dalam perut ikan itu dan perut ikan tersebut akan menjadi kuburnya sampai hari kiamat.”

Ringkasan dari tafsir surah Ash-Shaffaat ayat 143-144

Penyebab Allah Ta’ala selamatkan Nabi Yunus ‘alaihis salam dari musibah ditelan ikan besar adalah karena beliau bertobat kepada Allah, bertasbih menyucikan Allah yang mengandung doa istigfar, banyak salat, banyak zikir, dan banyak ibadah kepada Allah Ta’ala semata.

Intinya, kalaulah bukan karena banyaknya ibadah, amal saleh, dan tasbih yang Nabi Yunus ‘alaihis salam lakukan, tentunya Allah tidak menghilangkan musibah yang beliau alami.

Berdakwah, mengajak manusia kepada Allah adalah sebab terhindarkan dari musibah, azab, serta kebinasaan di dunia

Allah Ta’ala berfirman,

وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لَّا تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاۤصَّةً ۚوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

“Dan peliharalah diri kalian dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kalian. Ketahuilah, bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Anfal: 25)

Ayat yang agung ini menunjukkan bahwa siksaan Allah Ta’ala tidak hanya akan menimpa orang-orang yang zalim secara khusus, namun juga selain mereka tatkala muncul kezaliman di tengah masyarakat, namun tidak ada yang mengingkarinya. Dan solusi semua itu adalah dengan bangkitnya para da’i menegakkan amar makruf nahi mungkar, berdakwah mengajak manusia kepada Allah.

Allah Ta’ala berfirman juga dalam surah Hud ayat 117,

وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرٰى بِظُلْمٍ وَّاَهْلُهَا مُصْلِحُوْنَ

“Dan Tuhanmu tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, selama penduduknya orang-orang yang melakukan perbaikan.” (QS. Hud ayat 117)

Jelaslah dalam ayat ini, Allah Ta’ala tidak akan membinasakan suatu negeri jika masih ada orang yang berdakwah memperbaiki masyarakat, melaksanakan amar makruf nahi mungkar.

Mendirikan salat dan berdakwah dengan jenis dakwah yang wajib itu adalah sebab mendapatkan rezeki

Allah Ta’ala berfirman dalam surah Thaha ayat 132,

وَأْمُرْ اَهْلَكَ بِالصَّلٰوةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَاۗ لَا نَسْـَٔلُكَ رِزْقًاۗ نَحْنُ نَرْزُقُكَۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوٰى

“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha: 132)

Tafsir Ibnu Katsir rahimahullah

“Maksudnya, jika kamu mendirikan salat, maka akan datang kepadamu rezeki dari arah yang tidak kamu sangka sebagaimana firman Allah,

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar”

وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ

“Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupi (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3

Tafsir “Li Yaddabbaruu Aayaatihi”, Syekh Prof. Dr. Umar bin Abdullah Al-Muqbil, Professor Universitas Qosim, Saudi Arabia

Pertama: Di antara pintu-pintu rezeki adalah tadabbur ‘amaliyyah (mengamalkan) ayat,

وَأْمُرْ اَهْلَكَ بِالصَّلٰوةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَاۗ لَا نَسْـَٔلُكَ رِزْقًاۗ نَحْنُ نَرْزُقُكَۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوٰى

“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa.”

Sebagian salaf saleh dahulu, jika musibah kesusahan menimpa keluarga mereka, mereka memerintahkan kepada keluarganya, “Dirikanlah salat, dengan ini Allah perintahkan kalian!”, dan beliau membacakan ayat di atas.

Kedua: Menyibukkan diri dengan berdakwah dengan jenis dakwah yang wajib akan mengundang rezeki, bukan justru memalingkan dari mendapatkan rezeki.

Firman Allah Ta’ala yang di dalamnya terdapat iming-iming dunia dalam peribadahan kepada Allah Ta’ala

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

“Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. (QS. Al-A’raf: 96)

مَنْ كَانَ يُرِيْدُ ثَوَابَ الدُّنْيَا فَعِنْدَ اللّٰهِ ثَوَابُ الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا ࣖ

“Barangsiapa menghendaki pahala di dunia, maka ketahuilah bahwa di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. An-Nisa’: 134)

فَاٰتٰىهُمُ اللّٰهُ ثَوَابَ الدُّنْيَا وَحُسْنَ ثَوَابِ الْاٰخِرَةِ ۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ

“Maka, Allah memberi mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali Imran: 148)

Dalam surah Ath-Thalaq ayat 2-3, Allah juga berfirman,

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.”

وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ

“Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupi (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/81412-sebab-sebab-terbukanya-rezeki-dan-terhindar-dari-musibah-bag-1.html

Khutbah Jumat: Istiqamah adalah Puncak Keimanan

Khubtah Jumat kali ini membahas istiqamah, anonim dari thughyan (melampaui batas), artinya berdiri tegak di suatu tempat tanpa pernah bergeser

ISTIQAMAH memang mudah diucapkan tapi pada prakteknya, menjadi seorang pribadi yang istiqamah lebih sulit dari yang dibayangkan. Perlu usaha yang keras dan hati yang lurus serta ikhlas agar bisa menjadi seseorang yang istiqomah terutama bagi muslim. Inilah materi lengkap khutbah Jumat kali ini

Khutbah Jumat Pertama

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آَيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ، وَلا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لا تُنْصَرُونَ، وَأَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفاً مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ، وَاصْبِرْ فَإِنَّ اللَّهَ لا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ،

Ma’asyiral Muslimin, Jamaah Jumat Rahimakumullah

Setiap muslim yang telah berikrar bahwa Allah Rabbnya, Islam agamanya dan Muhammad rasulnya, ia harus senantiasa memahami arti ikrar ini dan mampu merealisasikan nilai-nilainya dalam realitas kehidupannya. Setiap dimensi kehidupannya harus terwarnai dengan nilai-nilai tersebut baik dalam kondisi aman maupun terancam.

Namun dalam realitas kehidupan dan fenomena umat, kita menyadari bahwa tidak setiap orang yang memiliki pemahaman yang baik tentang Islam mampu meimplementasikan dalam seluruh kisi-kisi kehidupannya. Dan orang yang mamupu mengimplementasikannya belum tentu bisa bertahan sesuai yang diharapkan Islam, yaitu komitmen dan istiqamah dalam memegang ajarannya dalam sepanjang perjalanan hidupnya.

Jama’ah shalat Jumat yang Dimuliakan Allah….

Istiqamah adalah anonim dari thughyan (penyimpangan atau melampaui batas). Ia bisa berarti berdiri tegak di suatu tempat tanpa pernah bergeser, karena akar kata istiqomah dari kata “qaama” yang berarti berdiri.

Maka secara etimologi, istiqamah berarti tegak lurus. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, istiqamah diartikan sebagai sikap teguh pendirian dan selalu konsekuen. Secara terminologi, istiqomah bisa diartikan dengan beberpa pengertian;

  • Abu Bakar Shiddiq ra ketika ditanya tentang istiqamah ia menjawab; bahwa istiqamah adalah kemurnian tauhid (tidak boleh menyekutukan Allah dengan apa dan siapapun)
  • Umar bin Khattab r.a. berkata: “Istiqamah adalah komitment terhadap perintah dan larangan dan tidak boleh menipu sebagaimana tipu musang”
  • Hasan Bashri pernah berkata: “Istiqamah adalah melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksitan.”

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah….

Jadi muslim yang beristiqamah adalah muslim yang selalu mempertahankan keimanan dan aqidahnya dalam situasi dan kondisi apapun, baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya. Ia bak batu karang yang tegar mengahadapi gempuran ombak-ombak yang datang silih berganti.

Ia tidak mudah loyo atau mengalami futur dan degredasi dalam perjalanan hidupnya. Ia senantiasa sabar dalam memegang teguh tali keimanan.

Dari hari ke hari semakin mempesona dengan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan Islam. Ia senantiasa menebar pesona Islam baik dalam ruang kepribadiannya, kehidupan keluarga, kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Itulah cahaya yang selalu menjadi pelita kehidupan. Itulah manusia muslim yang sesungguhnya, selalu istiqomah dalam sepanjang jalan kehidupan. Allah berfirman;

اَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَاَحْيَيْنٰهُ وَجَعَلْنَا لَهٗ نُوْرًا يَّمْشِيْ بِهٖ فِى النَّاسِ كَمَنْ مَّثَلُهٗ فِى الظُّلُمٰتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِّنْهَاۗ كَذٰلِكَ زُيِّنَ لِلْكٰفِرِيْنَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

“Dan apakah orang yang sudah mati (hatinya karena kekufuran) kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” (QS: Al-An’am:122)

فَاسْتَقِمْ كَمَآ اُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْاۗ اِنَّهٗ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

“Maka tetaplah (istiqamahlah) kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS: Hud:112).

اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَۚ

اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۚ جَزَاۤءً ۢبِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialahAllah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak adakekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS: Al-Ahqaf [46]:13-14)

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah…..

5 Tips Istiqamah

Kesucian dan ketakwaan yang ada dalam jiwa harus senantiasa dipertahankan oleh setiap muslim. Hal ini disebabkan kesucian dan ketakwaan ini bisa mengalami pelarutan, atau bahkan hilang sama sekali.

Namun, ada beberapa tips yang membuat seorang muslim bisa mempertahankan nilai ketakwaan dalam jiwanya, bahkan mampu meningkatkan kualitasnya. Tips tersebut adalah sebagai berikut;

Pertama, Muraqabah

Muraqabah  adalah perasaan seorang hamba akan kontrol ilahi dan kedekatan dirinya kepada Allah. Hal ini diimplementasikan dengan mentaati seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya, serta memiliki rasa malu dan takut, apabila menjalankan hidup tidak sesuai dengan syariat-Nya.

هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۚ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِى الْاَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاۤءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيْهَاۗ وَهُوَ مَعَكُمْ اَيْنَ مَا كُنْتُمْۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌۗ

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS: Al-Hadid: 4)

Rasulullah ﷺ. bersabda-ketika ditanya tentang ihsan,

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

“Kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, dan apabila kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kamu.” (HR: Bukhari)

Kedua, Mu’ahadah

Mu’ahadah yang dimaksud di sini adalah iltizamnya seorang atas nilai-nilai kebenaran Islam. Hal ini dilakukan kerena ia telah berafiliasi dengannya dan berikrar di hadapan Allah SWT.

Ada banyak ayat yang berkaitan dengan masalah ini, di antaranya adalah sebagai berikut.

وَاَوْفُوْا بِعَهْدِ اللّٰهِ اِذَا عَاهَدْتُّمْ وَلَا تَنْقُضُوا الْاَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللّٰهَ عَلَيْكُمْ كَفِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُوْنَ

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS: An-Nahl: 91).

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَخُوْنُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ وَتَخُوْنُوْٓا اَمٰنٰتِكُمْ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS: Al-Anfal: 27)

Ketiga, Muhasabah

Muhasabah adalah usaha seorang hamba untuk melakukan perhitungan dan evaluasi atas perbuatannya, baik sebelum maupun sesudah melakukannya.

Allah berfirman;

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS: Al-Hasyr: 18)

عَنْ أبي يَعْلَى شَدَّادِ بْن أَوْسٍ عن النَّبيّ ﷺ قَالَ: الكَيِّس مَنْ دَانَ نَفْسَهُ, وَعَمِلَ لِما بَعْدَ الْموْتِ, وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَه هَواهَا, وتمَنَّى عَلَى اللَّهِ رواه التِّرْمِذيُّ وقالَ: حديثٌ حَسَنٌ, وقال الترمذي وغيره من العلماء: معني (دان نفسه): أي حاسبها

Dari Syaddad bin Aus dari Nabi ﷺ bersabda: ”Orang yang cerdas adalah orang yang menyiapkan dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian. Sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang jiwanya selalu mengikuti hawa nafsunya dan hanya berangan-angan kepada Allah.” (HR: Tirmidzi)

Umar bin Khattab ra berkata, “Hisablah dirimu sebelum dihisab, dan timbanglah amalmu sebelum ditimbang ….”

Keempat, Mu’aqabah

Mu’aqabah adalah pemberian sanksi oleh seseorang muslim terhadap dirinya sendiri atas keteledoran yang dilakukannya.

“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS: Al-Baqarah: 179)

Generasi salaf yang sholeh telah memberikan teladan yang baik kepada kita dalam masalah ketakwaan, muhasabah, mu’aqabah terhadap diri sendiri jika bersalah, serta contoh dalam bertekad untuk lebih taat jika mendapatkan dirinya lalai atas kewajiban. Sebagaimana disebutkan dalam beberapa contoh di bawah ini.

1. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Umar bin Khaththab ra pergi ke kebunnya. Ketika ia pulang, maka didapatinya orang-orang sudah selesai melaksanakan Shalat Ashar. Maka beliau berkata, “Aku pergi hanya untuk sebuah kebun, aku pulang orang-orang sudah shalat Ashar! Kini, aku menjadikan kebunku sedekah untuk orang-orang miskin.”

2. Ketika Abu Thalhah sedang shalat, di depannya lewat seekor burung, lalu beliau pun melihatnya dan lalai dari shalatnya sehingga lupa sudah berapa rakaat beliau shalat. Karena kejadian tersebut, beliau mensedekahkan kebunnya untuk kepentingan orang-orang miskin, sebagai sanksi atas kelalaian dan ketidak khusyuannya.

Kelima, Mujahadah (optimalisasi)

Mujahadah adalah optimalisasi dalam beribadah dan mengimplementasikan seluruh nilai-nilai Islam dalam kehidupan.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ارْكَعُوْا وَاسْجُدُوْا وَاعْبُدُوْا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan…” (QS: Al-Hajj: 77)

وَجَاهِدُوْا فِى اللّٰهِ حَقَّ جِهَادِهٖۗ

“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya…” (QS: Al-Hajj: 78) “

Rasulullah ﷺ melaksanakan shalat malam hingga kedua tumitnya bengkak. Aisyah ra. pun bertanya, ‘Mengapa engkau lakukan hal itu, padahal Allah telah menghapuskan segala dosamu?’ Maka, Rasulullah ﷺ menjawab, ‘Bukankah sudah sepantasnya aku menjadi seorang hamba yang bersyukur.’” (HR: Bukhari-Muslim)

Inilah lima langkah yang harus dimiliki oleh seorang muslim yang ingin mempertahankan nilai keimanan, yang ingin bertahan dan istiqamah di puncak ketakwaannya. Semoga Allah SWT menjadikan kita semua hamba-hamba-Nya yang senantiasa istiqamah, menjadi model-model muslim ideal dan akhirnya kita dijanjikan surga-Nya. amin.

Khutbah Jumat Kedua

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن. اَمَّا بَعْدُ :

فَيَا اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ تَعَالىَ وَذَرُوا الْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَ وَمَا بَطَنْ، وَحَافِظُوْاعَلىَ الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ.

وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهَ اَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَّى بِمَلاَئِكَةِ قُدْسِهِ، فَقَالَ تَعَالىَ وَلَمْ يَزَلْ قَائِلاً عَلِيْمًا: اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ يَاَ يُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمسْلِمَاتِ وَالمؤْمِنِيْنَ وَالمؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ،

اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنَ البَرَصِ وَالجُنُونِ والجُذَامِ وَسَيِّيءِ الأسْقَامِ

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا, اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى والتُّقَى والعَفَافَ والغِنَى، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ و َمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Khutbah Jumat ini ditulis hidayatullah.com, Arsip lain terkait Khutbah Jumat bisa diklik di SINI

HIDAYATULLAH

Apakah Ada Nabi yang Perempuan?

Adakah ada Nabi yang perempuan? Pertanyaan ini mungkin banyak sekali ditanyakan oleh masyarakat Indonesia. Lebih lanjut, dalam banyak literatur, seorang nabi atau rasul digambarkan sebagai sosok manusia utusan Allah Swt. yang dikirim ke bumi untuk menyebarkan risalahNya.

Mereka adalah orang-orang yang berakhlak mulia, taat beribadah, dan tidak pernah melakukan suatu perbuatan dosa (maksum). Sehingga meniru, mentaati, dan meneladani mereka adalah suatu hal yang bisa mengantarkan umat manusia menuju ketenangan, kedamaian dan ketentraman hidup.

Dewasa ini, mungkin kita bisa menyebutkan dua puluh lima nama nabi dan rasul Allah SWT. yang wajib diketahui dengan lancar, berkat nyanyian-nyanyian di waktu kecil yang diajarkan guru dan orang tua.

Sayangnya, memori nama-nama nabi dan rasul  yang semuanya laki-laki tersebut telah menempel di ingatan, seolah membangun asumsi bahwa mereka semua berasal dari kalangan laki-laki, tidak ada seorang nabi yang berasal dari kalangan perempuan.

Hal ini pun didukung dengan tradisi penyebutan nabi dan rasul selama ini yang selalu disandarkan kepada lelaki sholeh. Berbeda dengan sosok wanita sholehah, sekalipun ia telah banyak dikaruniai Allah Swt.

kelebihan-kelebihan di luar kebiasaan, seperti Maryam Ibunda Nabi Isa a.s. Padahal ulama kita masih berbeda-beda pendapat terkait hal ini.

Menyoal kemungkinan adanya seorang rasul dari kalangan perempuan, memang ulama kita telah sepakat bahwa seluruh rasul dari kaum laki-laki. Hal ini selaras dengan firman Allah Swt. yang termaktub berulang-ulang dalam Alquran. Salah satunya dalam surat Yusuf ayat 109.

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْٓ اِلَيْهِمْ

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri Wahyu.”

Akan tetapi, soal kebolehan seorang nabi dari kalangan perempuan para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama mengatakan bahwa seorang nabi mesti dari kalangan laki-laki. Menolak pendapat tersebut, beberapa ulama terkemuka mengatakan bahwa seorang Nabi tidak mesti dari kalangan laki-laki.

Mereka adalah Imam Qurthubi, Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Ibnu Hazm. Kelompok ini meyakini ada segolongan perempuan yang juga merupakan sosok Nabi. Seperti Maryam, Asiyah, Ibunda Nabi Musa a.s, Hajar, dan lain-lain.

Menyikapi kedua pendapat tersebut, ada juga segolongan ulama yang mengambil jalan tengah. Yakni tidak memihak keduanya dan menyerahkan jawaban tersebut kepada Allah Swt.

Imam Abul Hasan al-Asy’ari berpendapat bahwa setiap insan yang didatangi oleh malaikat Allah dengan membawa sebuah hukum, baik baik berupa perintah, larangan, atau pun pernyataan kenabian, maka insan tersebut merupakan seorang Nabi Allah Swt.

Merujuk pendapat ini, dalam kisah Maryam saat diberitahu akan mengandung seorang anak oleh malaikat dan dan Ibunda Nabi Musa As. saat diperintahkan untuk menghanyutkan Nabi Musa a.s. di sungai, maka keduanya masuk kriteria seorang Nabi.

Bahkan tidak hanya Maryam dan Ibunda Nabi Isa a.s, banyak sosok perempuan lain yang telah didatangi oleh malaikat dengan membawa sebuah kabar dan kisahnya termaktub dalam Alquran. Seperti kisah Asiyah istri Fir’aun, Sarah dan Hajar istri Nabi Ibrahim a.s.

Lebih dalam lagi, Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Fashl fi al-Milal wa al-Hawâ’ wa al-Nihal menjelaskan asal muasal kalimat “nabi” adalah lafaz al-inbâ’ yang artinya memberi berita.

Artinya, siapa saja yang mendapat kabar dari Allah Swt. lewat malaikat tentang sesuatu yang akan terjadi di masa mendatang, atau tentang suatu hukum (bisa berupa perintah atau larangan), maka sudah jelas orang tersebut adalah seorang nabi.

Sebagaimana maksud asal katanya. Secara tegas, Imam Ibnu Hazm mengatakan “Tidak ada suatu hal apapun yang menghalangi kebolehan kenabian seorang perempuan. Jika ayat Alquran mengatakan  وما أرسلنا من قبلك إلا رجالا نوحي إليهم  (Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri Wahyu), maka ayat ini hanya berlaku untuk rasul. Tidak dengan Nabi.”

Mayoritas ulama yang mengamini keharusan nabi dari kalangan laki-laki berasaskan ayat 109 Surat Yusuf tersebut. Bahwa Allah hanya mengutus seorang laki-laki dari hambanya untuk menjadi  rasul maupun nabi, berbeda dengan penafsiran Imam Ibnu Hazm.

Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa setiap orang yang pernah didatangi oleh malaikat tidak menjamin bahwa dia sebagai seorang nabi. Sebab ada beberapa riwayat di mana malaikat mendatangi seorang laki-laki shalih, dan dia memberi kabar bahwa Allah mencintainya.

Dalam kasus Maryam, Ibunda Nabi Isa a.s, mereka menyebutnya sebagai seorang Shiddiqah, tidak sampai derajat Nabi. Hal ini merujuk pada Alquran surat Al-Maidah ayat 75.

 وَاُمُّهٗ صِدِّيْقَةٌ

“Dan ibunya adalah perempuan yang berpegang teguh pada kebenaran.” 

Demikianlah sekilas bagaimana perbedaan pendapat ulama kita tentang pendapat ulama mengenai seorang nabi dari kalangan perempuan. Masing-masing pendapat memiliki argumentasi yang kuat, sekalipun salah satunya dibenarkan oleh banyak ulama.

Akan tetapi, juga bukan masalah yang besar jika kita mengamini pendapat minoritas. Sebab perdebatan persoalan ini tidak merusak rukun-rukun iman yang krusial. Pun pendapat-pendapat di atas masih dalam koridor Ahlussunnah wal-Jama’ah. Wallahu a’lam bi al-shawâb.

Demikian penjelasan terkait apakah ada Nabi yang perempuan? Semoga apakah ada Nabi yang perempuan?

Tulisan ini telah terbit di Bincangmuslimah.com

Akal Sebagai Sumber Ajaran Islam

Berikut ini penjelasan terkait akal sebagai sumber ajaran Islam. Pada dasarnya, dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian, bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama.

Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok dengan syariat Allah swt, dalam permasalahan apa pun. Akal adalah nikmat besar yang Allah swt titipkan dalam jasmani manusia.

Akal merupakan salah satu kekayaan yang sangat berharga bagi diri manusia. Keberadaannya membuat manusia berbeda dengan makhluk-makhluk lain ciptaan Allah. Bahkan tanpa akal manusia tidak ubahnya seperti binatang yang hidup di muka bumi ini.

Dengan bahasa yang singkat, akal menjadikan manusia sebagai makhluk yang berperadaban. Tetapi meskipun demikian, akal yang selalu diagung-agungkan oleh golongan pemikir sebut saja golongan ra’yu atau mu’tazilah juga memiliki keterbatasan dalam fungsinya .(Harun Nasution, 1986: 71).

Akal itu adalah sebuah timbangan yang cermat, yang hasilnya adalah pasti dan dapat dipercaya (Ibnu Khaldun, 1999: 457). Khaldun menjelaskan mempergunakan akal itu menimbang soal-soal yang berhubungan dengan keesaan Allah swt, atau hidup di akhirat kelak, atau hakikat kenabian (nubuwah), atau hakikat sifat-sifat ketuhanan atau halhal lain di luar kesanggupan akal, adalah sama dengan mencoba mempergunakan timbangan tukang emas untuk menimbang gunung.

Ini tidaklah berarti bahwa timbangan itu sendiri tidak boleh dipercaya. Soal yang sebenarnya ialah bahwa akal itu mempunyai batas-batas yang dengan keras membatasinya; oleh karena itu tidak bisa diharapkan bahwa akal itu dalam memahami Allah swt dan sifat-sifatnya.

Akal akan mempertimbangkan hal-hal yang dilihat atau didengar lewat indera penglihatan atau pendengaran. Ini berarti bahwa akal dapat berfungsi setelah ada informasi yang bersifat empirik dari indera yang lain.

Lalu bagaimana dengan fungsi akal untuk memikirkan hal-hal yang bersifat abstrak? hal-hal yang bersifat ghaib?  Mempertimbangkan bahwa akal dapat berfungsi ketika ada informasi yang bersifat empirik dari panca indera yang lain, ini berarti akal akan berfungsi sebagaimana mestinya untuk hal-hal yang bersifat dapat diraba dan didengar.

Adapun untuk hal-hal yang bersifat ghaib atau abstrak diperlukan petunjuk khusus, yakni wahyu (agama). Dengan begitu, meskipun di dalam Al-Qur’an sangat ditekankan pada penggunaan akal dalam setiap persoalan, namun di sisi lain akal sangat membutuhkan wahyu (agama) atau lebih tepatnya religiusitas dalam menimbang hal-hal yang bersifat abstrak (ghaib).

Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan fungsi akal secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standar seseorang diberikan beban taklif atau sebuah hukum. Jika seseorang kehilangan akal maka hukum-pun tidak berlaku baginya. Saat itu dia dianggap sebagai orang yang tidak terkena beban apapun.

Di dalam Islam, dalam menggunakan akal mestilah mengikuti kaedah-kaedah yang ditentukan oleh wahyu supaya akal tidak terbabas, supaya akal tidak digiring oleh kepentingan, sehingga tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, sehingga tidak menjadikan musuh sebagai kawan dan kawan pula sebagai musuh.

Meskipun demikian, akal bukanlah penentu segalanya. Ia tetap memiliki kemampuan dan kapasitas yang terbatas. Oleh karena itulah, Allah Swt menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar tidak tersesat.

Di dalam keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia. Sebaliknya, ketika ia melampaui batasnya dan menolak mengikuti bimbingan wahyu maka ia akan tersesat.

Syahdan, dalam Al-Qur’an tidak ditemukan kata aqala yang menunjuk potensi manusiawi itu. Yang ditemukan adalah kata kerjanya dalam bentuk ya’qilun dan ta’qilun(Quraish.2000:57). Masingmasing muncul dalam Al-Qur’an sebanyak 22 dan 24 kali. Di samping itu,ada juga kata na’qilu dan qiluha serta aqaluhu yang masing-masing disebut sekali dalam al-Qur’an.

Terulangnya kata akal dan aneka bentuknya dalam jumlah yang sedemikian banyak mengisyaratkan pentingnya peranan akal. Bahkan kedudukan itu diperkuat oleh ketetapan al-Qur‟an tentang pencabutan/pembatasan wewenang mengelola dan membelanjakan hartawalau milik seseorang bagi yang tidak memiliki akal/pengetahuan Q.S. An-Nisa (4): 5.

Bahkan pengabaian akal berpotensi mengantar seseorang tersiksa di dalam neraka, seperti Qs. Al-Mulk (67):11. Melalui akal, lahir kemampuan menjangkau pemahaman sesuatu yang pada gilirannya mengantar pada dorongan berakhlak luhur. Ini dapat dinamai al-aql al-wazi, yakni akal pendorong.

Akal juga digunakan untuk memperhatikan dan menganalisis sesuatu guna mengetahui rahasia-rahasia yang terpendam untuk memperoleh kesimpulan ilmiah dan hikmah yang dapat ditarik dari analisis tersebut.

Kerja akal di sini membuahkan ilmu pengetahuan sekaligus perolehan hikmah yang mengantar pemiliknya mengetahui dan mengamalkan apa yang diketahuinya. Ini dinamai al-aql al-mudrik, yakni akal penjangkau (pengetahuan).

Di samping kedua fungsi di atas, masih ada lagi yang melebihi keduanya, yaitu yang mencakup keduanya, tapi dalam bentuk yang sempurna dan matang sehingga tidak ada lagi kekurangan atau kekeruhan.

Memang, bisa saja ada akal yang menghasilkan pengetahuan, tetapi (masih berpotensi mengandung) kekurangan hikmah. Demikian juga bisa jadi ada hikmah yang dilahirkan oleh mereka yang tidak berpengetahuan.

Untuk meraih hal-hal di atas, maka akal harus difungsikan. Dalam konteks memfungsikannya, Al-Qur’an sekali menggunakan kata yatafakkarun. kemudian menggunakan ya’qilun. Dan menggunakan kata yatadabbarun, selanjutnya yatadzakkarun, dan lain-lain.

Semuanya mengarah pada upaya memfungsikan akal guna meraih pengetahuan atau pengetahuan dan hikmah, bahkan guna meraih rusyd yang menjadikan peraihnya dinamai Ulu al-Albab atau ar-Rasikhun fi al-Ilm (orang yang mantap dalam pengetahuannya). Al-Qur’an tidak saja menganjurkan penggunaan akal, tetapi juga mengecam yang tidak menggunakannya untuk meraih ilmu dan hikmah.

Sekian penjelasan terkait akal sebagai sumber ajaran Islam. Semoga penjelasan akal sumber ajaran Islam ini beramanfaat.

BINCANG SYARIAH