Hati-Hati, Ini 3 Sumber Penyakit Manusia, Baik Fisik Maupun Psikis

SUMBER penyakit manusia, baik fisik maupun psikis, ternyata berasal dari tiga hal ini. Apa saja?

Sahabat Mulia Islampos,

Kesehatan merupakan nikmat yang sering kita lupakan. Padahal, kesehatan adalah aspek yang sangat penting dalam kehidupan. Sejatinya, harus ada keseimbangan antara kebutuhan fisik dan psikis untuk mencapai kesehatan yang optimal.

Ibadah, pekerjaan dan segala aktivitas lainnya yang dilakukan oleh manusia sangat dipengaruhi oleh kesehatan. Selain dari berbagai makanan yang tidak sehat atau sistem imun yang lemah, ternyata ada beberapa hal dapat membawa penyakit pada tubuh.

Sahabat Mulia Islampos, berikut ini adalah tiga hal yang membawa penyakit tersebut:

1 Sumber Penyakit: Banyak Bicara

Kita pasti tahu dengan ungkapan yang mengatakan bahwa lidah lebih kejam daripada pedang, luka pedang bisa terlihat dan mudah untuk diobati dari luar. Sedangkan luka akibat lidah dan salah saat berucap tak terlihat, tersembunyi dalam hati yang menyimpan luka. Maka dari itu, banyak bicara akan rentan membuat kesalahan.

Pahala Kebaikan Terampas, Cara Meruqyah Diri Sendiri, Dosa yang Terus Mengalir, Berkhianat, Hal yang Tidak Boleh Dilakukan oleh Tangan Seorang Muslim, Nasihat Imam al-Ghazali, Sahabat, Tata Cara Tayamum, Tata Cara Tayamum, penghalang masuk surga, Sumber Penyakit Manusia
Foto: Pixabaytangan

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bernah bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhori).

2 Sumber Penyakit: Banyak Tidur

Cara ber istirahat yang baik adalah dengan tidur. Namun, terlalu banyak tidur juga sangat rentan dengan penyakit. Terlalu banyak tidur bisa membuat mudah depresi dan gangguan kesehatan pada kepala.

Oleh sebab itu, hendaklah atur pola tidur secukupnya sesuai kebutuhan tubuh.

3 Sumber Penyakit: Banyak Makan

Perbuatan Baik yang Dikecam oleh Allah, Dusta dan Khianat, Perintah Allah, Ujian, dosa, Sumber Penyakit Manusia
Foto: Freepik

Meski makan adalah kebutuhan, namun terlalu banyak makan justru akan menghambat aktivitas. Hendaknya lambung manusia dibagi menjadi tiga, 1/3 nya makanan, 1/3 nya minuman dan 1/3 lainnya adalah udara. Dengan demikian tubuh akan sehat yang akan menunjang aktivitas sehari-hari.

Apapun yang berlebihan itu tidak baik, tetaplah melakukan sesuatu sesuai dengan takarannya. Tidak kurang ataupun lebih, merasa cukup lebih baik daripada tamak. []

ISLAMPOS

Dalil Larangan KDRT dalam Islam

SAHABAT mulia Islampos, Islam melarang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Larang ini jelas tertera dalam beberapa dalil. Apa saja dalil larangan KDRT tersebut?

Seperti diketahui, kasus KDRT masih marak di masyarakat. Baru-baru ini artis yang juga anggota DPR/MPR Venna Melinda yang mengalaminya hingga harus menjalani perawatan di rumah sakit akibat KDRT yang dilakukan Ferry Irawan, suaminya. Tindakan KDRT tersebut dikecam banyak pihak.

Menurut Islam, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sangat dilarang. Dikutip dari laman resmi Majelis Ulama Indonesia (MUI), keislaman dan kekerasan adalah dua terma yang bertentangan.

Ada yang menginterpretasikan Surat An-Nisa Ayat 34 sebagai legitimasi dari perbuatan kekerasan (memukul) terhadap istri.

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوۡنَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعۡضَهُمۡ عَلٰى بَعۡضٍ وَّبِمَاۤ اَنۡفَقُوۡا مِنۡ اَمۡوَالِهِمۡ ؕ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ؕ وَالّٰتِىۡ تَخَافُوۡنَ نُشُوۡزَهُنَّ فَعِظُوۡهُنَّ وَاهۡجُرُوۡهُنَّ فِى الۡمَضَاجِعِ وَاضۡرِبُوۡهُنَّ ۚ فَاِنۡ اَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُوۡا عَلَيۡهِنَّ سَبِيۡلًا ؕاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيۡرًا‏

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.” (QS An-Nisa: 34)

Kemudian dalam kitab Shahih Muslim, berdasarkan riwayat dari sahabat Jabir, dari Nabi, bahwa Nabi pernah bersabda dalam haji wadanya:

واتَّقُوا اللهَ فِي النِّساءِ، فَإِنَّهُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ، وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَلَّا يُوطِئْنَ فُرُشكم أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ، فَإِنْ فَعَلْن فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبا غَيْرَ مُبَرِّح، وَلَهُنَّ رزْقُهنَّ وكِسْوتهن بِالْمَعْرُوفِ

“Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena sesungguhnya mereka di sisi kalian merupakan penolong, dan bagi kalian ada hak atas diri mereka, yaitu mereka tidak boleh mempersilakan seseorang yang tidak kalian sukai menginjak hamparan kalian. Dan jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukakan, dan bagi mereka ada hak mendapat rezeki (nafkah) dan pakaiannya dengan cara yang makruf.”

Sesungguhnya dalam konsep keagamaan, Islam sangat melarang kekerasan, apalagi dalam keluarga. Kerap kali KDRT terjadi karena ketidakpatuhan (durhaka) istri atau kealpaan suami dalam menjalankan kewajibannya, dalam Islam dikenal dengan nusyuz.

KDRT jelas hal yang dilarang dalam Islam. Bahkan seorang ahli hukum asal Suriah abad 19, Ibnu Abidin, mengatakan bolehnya permohonan hukuman jasmani (ta’zir, qiyas) oleh istri terhadap suami yang melakukan kekerasan terhadapnya.

Hadis lainnya menyebutkan, “Janganlah kalian memukul hamba Allah perempuan, yaitu istri-istri kalian. Lalu Umar datang kepada Nabi dan berkata ada istri yang membangkang kepada para suami. Lalu Nabi memberi keringanan memukul mereka. Namun setelah itu banyak wanita mengadu kepada keluarga Nabi karena dipukul suaminya. Nabi bersabda; Sungguh perempuan-perempuan mendatangi keluarga Muhammad yang mengadu atas perbuatan suaminya. Para suami (yang suka memukul) bukan orang-orang terbaik di antara kalian.” (HR. Abu Dawud)

Berdasarkan hadis di atas, melakukan kekerasan terhadap istri dalam bentuk fisik maupun psikis, merupakan perbuatan terlarang dalam Islam. Bahkan,dalam Alquran pun terdapat banyak ayat tentang perintah melakukan perbuatan baik dan kasih sayang terhadap istri.

Di Indonesia sendiri KDRT merupakan tindakan yang bisa dipidanakan karena melanggar hukum. Bahkan, telah ada undang-undang khusus terkait KDRT. Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) sebagai pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau subordinasi, khususnya perempuan.

UU PKDRT dianggap sebagai salah satu peraturan yang melakukan terobosan hukum karena terdapat beberapa pembaharuan hukum pidana yang belum pernah diatur oleh undang-undang sebelumnya.

Adapun bentuk-bentuk perbuatan yang termasuk dalam KDRT yang disebutkan dalam undang-undang, terdiri atas beberapa kategori yaitu: (1) Kekerasan Fisik seperti menampar, memukul, menyiksa dengan alat bantu; (2) Kekerasan Psikis seperti menghina, melecehkan dengan kata-kata yang merendahkan martabat sebagai manusia, selingkuh; (3) Kekerasan Seksual seperti pemerkosaan, pelecehan seksual secara verbal, gurauan porno, ejekan dengan gerakan tubuh jika kehendak pelaku tidak dituruti korban; (4) Penelantaran Rumah Tangga di mana akses ekonomi korban dihalang-halangi dengan cara korban tidak boleh bekerja tetapi ditelantarkan atau memanipulasi harta benda korban. []

SUMBER: OKEZONE / ISLAMPOS

3 Dosa yang Membuat Seorang Alim Murid Fudhail Bin Iyadh Justru Alami Suul Khatimah

Murid Fudhail bin Iyadh menghadapi suul khatimah akibat tiga dosa yang dilakukannya

Kisah berikut ini mengilustrasikan situasi ketika tingginya kemampuan kognitif tidak diiringi dengan ketulusan hati sebagai seorang berilmu. 

Tersebutlah pada masa lalu, seorang ulama besar menyambangi muridnya. Imam Fudhail bin Iyadh demikian nama sang alim sebelumnya mendapatkan kabar tentang kondisi seorang muridnya. 

Imam Fudhail menaruh perasaan iba dan khawatir akan sakit yang diderita sang murid. Terlebih lagi, santri itu termasuk yang paling cerdas. 

Absennya pemuda itu dalam beberapa pekan terakhir di majelis tentu menjadi perhatian tersendiri bagi sang ulama Khurasan.

Setelah menempuh perjalanan, tibalah sang imam di kediaman santrinya itu. Betapa terkejutnya. Ternyata, sang murid sudah terkapar tak berdaya di atas ranjang. 

Melihat keadaannya itu, ulama dari Bani Tamimi tersebut meyakini satu hal, usia pemuda itu tidak lama lagi menemui ajal. 

Di pengujung napas terakhirnya, murid tersebut masih mengenali wajah gurunya. Ia berupaya bangkit, tetapi tubuhnya begitu lemas. Sendi-sendi terasa berat untuk digerakkan. 

Imam Fudhail pun mengisyaratkan agar muridnya tetap berbaring. Sejurus kemudian, ulama ini mengangkat kedua tangannya dan berdoa untuk kebaikan santrinya tersebut. 

Setelah itu, ia duduk di sisi kepala pemuda itu dan membuka mushaf Alquran. Saat hendak membaca surah Yasin, tiba-tiba tangan Imam Fudhail dipegang muridnya. 

“Wahai Tuan Guru, janganlah engkau membacakan surat itu di dekatku,” katanya sambil menatap cemas. 

Imam Fudhail menuruti begitu saja permintaan anak muda ini. Ia pun menaruh kembali mushaf Alquran ke dalam tasnya. Lantas, ulama tersebut bersiap membacakan zikir. Pertama-tama, sang imam menggumamkan tahlil, Laa ilaaha illallah. 

Kalimat tauhid itu diucapkannya secara perlahan, dengan harapan bahwa muridnya itu dapat ikut mengucapkan. Ternyata, pemuda yang sedang terbujur sakit itu kembali memegang tangan gurunya. 

Imam Fudhail merasa, cengkeraman tangan muridnya itu cukup keras. Yang lebih mengejut kannya ialah, bibir remaja itu seakan-akan terkunci ketika akan melafalkan tahlil. Padahal, sebagai murid yang alim bacaan Laa ilaaha illallah tentu tidak asing di telinganya. 

“Wahai Tuan Guru, hentikanlah dzikirmu itu. Sungguh, aku tidak akan bisa membaca itu karena aku terbebas darinya,” ucap si santri dengan sisa-sisa tenaganya. Sesaat kemudian, pemuda itu mengalami sakaratul maut hingga wafat. Imam Fudhail begitu sedih. 

Sebab, pada momen terakhir hidupnya sang murid justru menghindar dari mengucapkan Laa ilaaha illallah. 

Keadaan akhir hayatnya tak ubahnya suul khatimah. Beberapa hari kemudian, Imam Fudhail bermimpi dalam tidurnya. Di mimpi itu, ia melihat muridnya yang meninggal itu diseret ke dalam api neraka. 

Maka, ulama itu bertanya kepadanya, “Wahai muridku, mengapa nasibmu sampai seperti ini? Apa sebabnya Allah mencabut keberkahan ilmu darimu, padahal engkau termasuk santriku yang paling alim?”  Sang murid menjawab, Ada beberapa dosa yang kulakukan, dan semua itu tidak pernah kuberitahukan sebelumnya kepada Tuan Guru. 

Dosa pertamanya ialah tipu muslihat. Sering kali pemuda itu semasa hidupnya memberi tahu kepada kawan-kawannya ilmu atau informasi yang berbeda dari apa-apa yang telah disampaikan Imam Fudhail dalam majelis. 

Dosa kedua adalah dengki. Hatinya mudah disulut rasa iri saat melihat teman-temannya. Karena itu, dengan kepintarannya ia selalu berupaya menjatuhkan mereka sekalipun dengan cara-cara yang licik. Dosa ketiga ialah minum khamar. 

Minuman keras yang mula-mula ditenggaknya berlabel obat. Itu bermula dari keadaan dirinya yang dilanda sakit keras. 

“Aku menanyakan perihal penyakitku kepada seorang tabib. Lalu, tabib itu menyuruhku untuk meminum arak agar penyakit itu diangkat dari tubuhku,” katanya kepada sang guru. 

Semua dosa itu dilakukan karena luputnya hati dari mengingat Allah SWT. Maka, tidaklah berguna kecerdasan apabila tidak ditopang dengan bersihnya kalbu. Seorang penipu akan menggunakan kemampuan akalnya untuk menjerumuskan orang lain. 

Seorang pendengki akan selalu memikirkan cara agar nikmat orang lain hilang dan berganti kesengsaraan. Akibat tidak sabar dalam menghadapi penyakit, seorang alim dapat gelap mata sehingga ringan saja mengonsumsi barang yang haram. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Kewajiban untuk Melunasi Utang Orang yang Sudah Meninggal Dunia

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

نَفْسُ المُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

Jiwa (ruh) orang mukmin itu tergantung oleh utangnya sampai utangnya itu dilunasi.” (HR. Ahmad no. 10599, Ibnu Majah no. 2413, dan Tirmidzi no. 1078, 1079. Hadis ini dinilai shahih oleh Syekh Al-Albani)

Faedah hadis

Hadis ini berisi tentang hukum yang berkaitan dengan orang yang sudah meninggal dunia, yaitu adanya kewajiban untuk melunasi atau membayar utangnya, jika orang yang sudah meninggal tersebut memiliki utang kepada orang lain. Dalam kondisi ini, wajib untuk bersegera melunasi utangnya semaksimal mungkin. Jika orang yang sudah meninggal tersebut memiliki harta warisan, maka bisa diambilkan dari harta warisannya. Jika tidak memiliki harta warisan, maka dianjurkan bagi sebagian kaum muslimin untuk menanggung pelunasan utangnya.

Maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ

“ … tergantung oleh hutangnya …”

adalah tergadai dengan utangnya, atau seorang mukmin tercegah dari masuk surga karena utangnya, atau tercegah dari mendapatkan ampunan, sampai utang-utangnya itu dilunasi.

Al-‘Iraqi rahimahullah berkata tentang makna hadis ini, “Maksudnya, perkaranya itu menggantung, tidak bisa dihukumi selamat, tidak bisa dihukumi celaka, sampai dilihat apakah utangnya sudah dilunasi ataukah belum?” (Tuhfatul Ahwadzi, 4: 193)

Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْنَ

Seorang yang mati syahid akan diampuni segala dosa-dosanya, kecuali utang.” (HR. Muslim no. 1886)

Masih di riwayat Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الْقَتْلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُكَفِّرُ كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا الدَّيْنَ

Syahid di jalan Allah akan melebur setiap dosa, kecuali utang.” (HR. Muslim no. 1886)

Tidaklah orang yang meninggal dunia dan memiliki utang tersebut diampuni, sampai orang yang dia utangi itu merelakan utangnya (membebaskan atau menghalalkan utangnya) atau dilunasi utang-utangnya. [1]

Dan di antara bentuk perhatian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah jika dihadapkan kepada beliau jenazah untuk disalati, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya terlebih dahulu, apakah jenazah tersebut memiliki utang ataukah tidak.

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا، فَقَالَ: «هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟» ، قَالُوا: لاَ، فَصَلَّى عَلَيْهِ، ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالَ: «هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟» ، قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: «صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ» ، قَالَ: أَبُو قَتَادَةَ عَلَيَّ دَيْنُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَصَلَّى عَلَيْهِ

Dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dihadirkan kepada beliau satu orang jenazah agar disalatkan. Maka, beliau bertanya, “Apakah orang ini punya utang?” Mereka berkata, “Tidak.” Maka, beliau pun menyolatkan jenazah tersebut. Kemudian didatangkan lagi jenazah lain kepada beliau, maka beliau bertanya kembali, “Apakah orang ini punya utang?” Mereka menjawab, “Ya.” Maka beliau bersabda, “Salatilah saudaramu ini.” Abu Qatadah berkata, “Biar nanti aku yang menanggung utangnya.” Maka, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pun menyalatkan jenazah tersebut. (HR. Bukhari no. 2295)

Dan ketika Allah Ta’ala membukakan kemenangan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan diluaskan untuk beliau rezeki, maka beliau pun menanggung utang orang-orang yang sudah meninggal dunia dan tidak memiliki harta warisan untuk melunasinya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pun menyalati jenazah tersebut. Hal ini menunjukkan betapa bahayanya berutang.

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ، فَمَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ وَلَمْ يَتْرُكْ وَفَاءً فَعَلَيْنَا قَضَاؤُهُ، وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ

Saya lebih utama menjamin orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri. Maka, barangsiapa meninggal dunia, sedangkan dia mempunyai utang dan tidak meninggalkan harta untuk melunasinya, kewajiban kamilah untuk melunasinya. Dan barangsiapa yang meninggalkan harta, maka itu bagi ahli warisnya.” (HR. Bukhari no. 6731 dan Muslim no. 1619)

Oleh karena itu, hendaknya menjadi perhatian bagi setiap muslim, jika dia memiliki kewajiban terhadap orang lain, dia harus segera menunaikannya. Sehingga, di antara faedah lain dari hadis ini adalah hendaknya seseorang itu berusaha melunasi utang-utangnya sebelum meninggal dunia.

Dzahir (makna yang lebih mendekati) dari hadis ini berlaku untuk mereka yang memiliki harta, namun tidak mau melunasi utang-utangnya. Adapun seseorang yang meninggal dunia, dan dia meninggal dunia dalam kondisi masih memiliki niat dan tekad untuk melunasi utangnya, maka terdapat hadis yang menunjukkan bahwa Allah-lah yang melunasi utangnya.

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

Siapa saja yang mengambil harta manusia (berutang) disertai maksud akan membayarnya, maka Allah akan membayarkannya untuknya. Sebaliknya, siapa saja yang mengambilnya dengan maksud merusaknya (merugikannya), maka Allah akan merusak orang itu.” (HR. Bukhari no. 2387) [2]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/81910-kewajiban-untuk-melunasi-hutang-orang-yang-sudah-meninggal-dunia.html

Kecantikan Muslimah Sejati

Seseorang muslimah yang menjaga pandangan berarti dia menjaga harga diri dan kemaluannya, ia menjaga lisan, tangan dan kakinya, itulah ciri Muslimah sejati

SETIAP muslimah senantiasa mendambakan kecantikan fisik. Tetapi ingat, kecantikan dari dalam (inner beauty) adalah hal yang lebih penting daripada kecantikan fisik belaka.

Karena, apa gunanya seorang muslimah cantik fisik tetapi tidak memiliki akhlak terpuji.Karena itu, kecantikan dari dalam memang lebih diutamakan untuk menjaga citra diri seorang muslimah.

Menjaga kecantikan dari dalam berarti menjaga etika dan budi pekerti baik, serta menggunakan anggota tubuh untuk hal-hal yang baik berdasarkan sudut pandang syariat Islam.

Sebagai contoh, bibir yang indah tak hanya indah menarik secara fisik, tapi juga meniscayakan penuturan kata-kata baik dan ucapan santun. Tutur kata santun dan ucapan yang baik memberi kesan mendalam bagi orang lain.

Allah pun dengan tegas menyatakan bahwa antara ciri hamba-Nya yang baik adalah mereka yang baik ucapannya. Mereka yang apabila dihina atau dicaci oleh orang yang jahil (tidak berilmu), mereka tidak membalasnya kecuali dengan kata-kata baik dan lemah lembut. Seperti dalam Al-Qur’an,

وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا

“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang- orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS: Al-Furqan: 63)

Dan seorang muslimah yang baik akan meninggalkan perkataan-perkataan tidak bermanfaat apalagi yang berdosa seperti menggosip (ghibah). Rasulullah ﷺ bersabda,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:«مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ». حَدِيْثٌ حَسَنٌ, رَوَاهُ التِّرْمِذِي وَغَيْرُهُ هَكَذَا.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Di antara tanda kebaikan keIslaman seseorang: jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak penting/bermanfaat baginya.” (HR At-Tirmidzi no. 2318)

Mengenai hadits ini, Imam Ibnu Rajab Al-Hambali mengatakan, “Kebanyakan pendapat yang ada tentang maksud meninggalkan apa-apa yang tidak penting adalah menjaga lisan dari ucapan yang tidak berguna.”

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menerangkan bahwa, “Menjaga lisan adalah agar jangan sampai seseorang mengucapkan kata-kata yang sia-sia. Apabila dia berkata hendaklah berkata yang diharapkan terdapat kebaikan padanya dan manfaat bagi agamanya. Apabila dia akan berbicara hendaklah dia pikirkan, apakah dalam ucapan yang akan dikeluarkan terdapat manfaat dan kebaikan atau tidak? Apabila tidak bermanfaat hendaklah dia diam, dan apabila bermanfaat hendaklah dia pikirkan lagi, adakah kata-kata lain yang lebih bermanfaat ? Agar dia tidak menyia-nyiakan waktunya dengan yang tidak bermanfaat itu.”

Termasuk dalam hal ini adalah menjauhi perbuatan ghibah yang berkaitan erat dengan lisan yang mudah bergerak dan berbicara. Maka hendaknya para muslimah memperhatikan apa-apa yang diucapkan.

Jangan sampai terjatuh dalam perbuatan ghibah yang tercela. Bila setiap wanita muslim bisa menjaga lisan dari mengganggu atau menyakiti orang lain, insya Allah mereka akan menjadi seorang muslimah sejati. Rasulullah ﷺ bersabda,

المسلم من سلم المسلم من لسانه ويده

”Seorang muslim sejati adalah bila kaum muslimin merasa selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR: Muslim).

Pun demikian dengan anggota tubuh lainnya, seperti mata. Untuk menjadikan sepasang mata yang indah dan memesona, maka pandanglah kebaikan-kebaikan dari orang-orang, jangan mencari-cari keburukan mereka.

Allah berfirman mengenai hal ini,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” (QS: Al-Hujurat: 12).

Untuk menjadikan sepasang mata yang indah dan memesona, maka pandanglah kebaikan-kebaikan dari orang-orang, jangan mencari-cari keburukan mereka.

Rasulullah ﷺ pun memberikan peringatan; “Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya yang belum sampai ke dalam hatinya, janganlah kalian mengganggu kaum muslimin, janganlah kalian menjelek-jelekkannya, janganlah kalian mencari-cari aibnya. Barang siapa yang mencari-cari aib saudaranya sesama muslim niscaya Allah akan mencari aibnya. Barang siapa yang Allah mencari aibnya niscaya Allah akan menyingkapnya walaupun di dalam rumahnya.” (HR: At Tirmidzi)

Dan terpenting lagi, mempergunakan mata untuk hal-hal yang diridhai Allah dan Rasul-Nya. Hal ini berarti tidak menggunakan mata untuk bermaksiat.

Pandangan mata adalah mata air kemuliaan, juga sekaligus duta nafsu syahwat. Betapa banyak manusia mulia yang didera nestapa dan kehinaan, hanya karena mereka tidak dapat mengendalikan mata.

Yaitu ketika matanya tidak dapat lagi menyebabkan seseorang menjadi bersyukur atas anugerah nikmat, karena dipergunakan secara zhalim. Seseorang muslimah yang menjaga pandangan berarti dia menjaga harga diri dan kemaluannya.

Barangsiapa yang mengumbar pandangannya, maka akan terjerumus ke dalam kebinasaan. Inilah mengapa Rasul ﷺ menegaskan, “Tundukkan pandangan kalian dan jagalah kemaluan kalian.”

Lalu peliharalah telinga dari mendengarkan kata-kata kotor dan keji, gosip  atau menyebutkan kesalahan-kesalahan orang. Telinga diciptakan untuk mendengarkan Kalam Allah dan instruksi-instruksi Rasulullah ﷺ.

Sepasang telinga yang indah dan baik adalah yang bisa mengambil manfaat ilmu-ilmu keislaman. Salah satu hikmah diberikannya dua telinga dan satu mulut adalah harus lebih banyak mendengar daripada berbicara.

Lalu tangan yang baik adalah tangan yang diulurkan untuk membantu dan menolong sesama muslim, serta bersedekah dan berzakat. Kita diberi dua tangan; satu untuk membantu kita dan satu lagi untuk membantu orang lain.

Islam juga  mengajarkan bahwa tangan ‘di atas’ lebih baik dari tangan ‘di bawah’. Tentang hal ini, suatu ketika, Rasul ditanya oleh para istrinya, “Siapakah di antara kami yang pertama kali akan menemui engkau kelak?” Dengan suara bergetar, Nabi menjawab, “Tangan siapa di antara kalian yang paling panjang, itulah yang lebih dahulu menemuiku.” “Tangan paling panjang” yang dimaksud Rasulullah ﷺ adalah yang gemar memberi sedekah kepada fakir miskin.

Maka jaga baik-baik kedua tangan, jangan dipergunakan untuk memukul seorang muslim, dipakai untuk mengambil barang haram ataupun mencuri, jangan dipergunakan untuk menyakiti makhluk ciptaan Allah, atau dipergunakan untuk mengkhianati titipan atau amanah. Atau untuk menulis kata-kata yang tidak diperbolehkan.

Kemudian kedua kaki yang ‘indah’ adalah yang dipergunakan untuk mendatangkan keridhaan Allah. Jagalah kedua kaki untuk tidak berjalan menuju tempat-tempat maksiat (diharamkan). Dan janganlah sekali-kali mempergunakan kaki untuk menyakiti saudara-saudari muslim, akan tetapi pergunakanlah untuk berbakti kepada Allah, misalnya dengan mendatangi masjid, tempat-tempat pengajian, berjalan untuk menuntut ilmu agama serta menyambung tali silaturahim, atau melangkahkannya untuk berjihad di jalan-Nya.

Rasulullah ࿟ bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang kedua telapak kakinya berdebu di jalan Allah, maka haram atas keduanya tersentuh api neraka.” Beliau menerangkan lagi, “Allah akan menjamin orang yang keluar (berjuang) di jalan-Nya, seraya berfirman: “Sesungguhnya orang yang berangkat keluar untuk berjihad di jalanKu, karena keimanan kepada-Ku dan membenarkan (segala ajaran) para RasulKu, maka ketahuilah bahwa Akulah yang akan menjaminnya untuk masuk ke dalam surga.”

Demikian pula dengan segenap anggota tubuh lainnya. Semuanya akan nampak indah serta memesona apabila dipergunakan untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Kecantikan fisik seorang muslimah bahkan sangat dipengaruhi kecantikan batin. Untuk mendapatkan tubuh yang ramping, maka cobalah untuk berbagi makanan dengan orang-orang fakir-miskin.

Kecantikan sejati seorang muslimah tidak terletak pada keelokan dan keindahan fisik atau keglamouran trend pakaiannya. Akan tetapi sangat dipengaruhi perilaku dan ketaatannya kepada Allah dan Rasulullah ﷺ.

Kecantikan sebenarnya direfleksikan dalam jiwa. Alangkah indahnya jika seorang muslimah yang menjadikan malu karena Allah sebagai perona pipinya.

Penghias rambutnya adalah jilbab yang terulur sampai dadanya. Dzikir yang senantiasa membasahi bibir adalah lipstiknya.

Berkacamatakan penglihatan yang terhindar dari maksiat. Air wudhu adalah bedaknya untuk cahaya di akhirat. Kaki indahnya selalu menghadiri majelis ilmu. Tangannya selalu berbuat baik kepada sesama. Berantingkan telinga yang hanya mendengarkan kebaikan. Bergelangkan tawadhu. Dan berkalungkan kesucian.*/Maleka

HIDAYATULLAH

Suhu Kota di Arab Saudi Ini Capai Nol Derajat Celsius

Pusat Meteorologi Nasional (NCM) Arab Saudi mengungkapkan bahwa kota Turaif telah mencatat suhu terendah di Arab Saudi dengan nol derajat Celsius. Sementara itu, kota Jazan adalah kota terpanas di Kerajaan pada 30 derajat Celsius.

Laporan ini dikeluarkan Pusat Meteorologi Nasional (NCM) Arab Saudi, sebagaimana dilansir Saudi Gazette pada Jumat (13/1/2023). Dilaporkan bahwa suhu maksimum yang diproyeksikan untuk kota-kota di Arab Saudi pada Kamis (12/1/2023), di antaranya kota Jazan 30 derajat, kota Jeddah dan Al Qunfuthah 28 derajat, kota Makkah 26 derajat, kota Yanbu 25 derajat, kota Bisha 24 derajat, kota Al Wajh, dan kota Shaoura 23 derajat Celsius.

Adapun suhu minimum di kota-kota Kerajaan Arab Saudi adalah di antaranya kota Turaif berada di urutan paling bawah dengan nol derajat Celsius, diikuti oleh Tabuk, Salam dan Qurayyat dengan dua derajat Celsius. Sedangkan kota Arar, Sakaka dan Rafha tercatat tiga derajat Celsius, Hafar Al-Batin empat derajat Celsius, dan Buraidah lima derajat Celsius. 

Arar, Buraidah, Salam, Al-Baha, Al-Dwadmi, Turaif, Taif, Al-Qunfuthah, Hafr Al-Batin, Bisha dan Rafaa’ mencatat kelembaban tertinggi antara 95 persen dan 100 persen.

IHRAM

Khotbah Jumat: Wasiat Nabi Perihal Tetangga

Khotbah pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ

أَشْهَدُ أَنْ لَاۧ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ .

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَحَمَّدِ نِالْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُ فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى

فَقَالَ اللهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Ma’asyiral Muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Mengawali khotbah kali ini, khatib berwasiat untuk diri khatib pribadi dan para jemaah sekalian agar senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala. Baik itu dengan menjalankan perintah-Nya ataupun dengan menjauhi larangan-larangan-Nya. Karena tidaklah kita semakin mulia, kecuali dengan bertakwa. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Di antara hak-hak yang ditekankan oleh agama Islam untuk dijaga adalah hak tetangga, bahkan hak tetangga ini harus dipenuhi dan dijaga meskipun tetangga tersebut adalah seorang nonmuslim.

Sayangnya, kondisi manusia di masa sekarang mulai dipenuhi oleh bayang-bayang kegelapan. Kehidupan yang lepas dari budi pekerti dan akhlak yang baik. Masyarakat yang akhirnya sering melupakan hak-hak orang lain yang hidup di sekitarnya.

Padahal jemaah Jumat sekalian, menjaga hak tetangga dan berbuat baik kepada mereka merupakan salah satu keunggulan dan kebaikan Islam di atas agama lainnya. Banyak sekali ayat-ayat dan hadis-hadis yang menekankan hal ini. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.”  (QS. An-Nisa’: 36)

Besarnya kedudukan tetangga dalam ajaran Islam ini hingga Allah Ta’ala gandengkan wasiat berbuat baik kepada tetangga dengan perintah yang paling agung, yaitu menauhidkan Allah Ta’ala dan menjauhkan diri dari menyekutukan-Nya. Sungguh ayat ini merupakan dalil paling jelas yang menunjukkan betapa tingginya kedudukan tetangga dan besarnya hak mereka.

Wasiat menjaga hak tetangga ini juga disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadisnya yang mulia,

مَا زَالَ يُوصِينِي جِبْرِيلُ بالجارِ، حتَّى ظَنَنْتُ أنَّه سَيُوَرِّثُهُ

“Tidak henti-hentinya Jibril memberikan wasiat kepadaku tentang tetangga sehingga aku menduga bahwa ia akan memberikan warisan kepadanya.” (HR. Bukhari no. 6014 dan Muslim no. 2624)

Jemaah yang dirahmati Allah Ta’ala. Baik dalam bertetangga merupakan salah satu perkara pertama yang didakwahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dahulu kala, ketika kaum muslimin hijrah ke negeri Etiopia, Raja Najasyi mengajak diskusi sahabat Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Dalam diskusi tersebut Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

“Wahai raja, sesungguhnya sebelum Islam datang, kami merupakan kaum jahiliyyah yang menyembah patung-patung, memakan bangkai, dan melakukan perbuatan-perbuatan keji. Memutus hubungan silaturahmi, berbuat buruk kepada tetangga, dan bahkan orang yang kuat di antara kami menindas orang yang lemah. Hingga kemudian Allah utus kepada kami seorang Rasul dari kalangan kami, seorang rasul yang kami ketahui nasabnya, kejujurannya, amanahnya, dan kesuciannya. Lalu, kemudian beliau mengajak kami untuk menauhidkan Allah Ta’ala, memerintahkan kami untuk jujur dalam berucap, amanah dalam bertindak, menyambung silaturahmi, dan berbuat baik kepada tetangga.”

Berbuat baik kepada tetangga merupakan wasiat yang diteruskan turun temurun antara satu generasi ke generasi yang berikutnya. Dari zaman Nabi, para sahabat, hingga generasi tabiin, dan tabiut tabi’in radhiyallahu ‘anhum jami’an.

Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pernah berwasiat kepada sahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu,

يَا أَبَا ذَرٍّ ، إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً ، فَأكثِرْ مَاءَهَا ، وَتَعَاهَدْ جِيْرَانَكَ

“Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak masakan berkuah, maka perbanyaklah kuahnya dan perhatikanlah (berikanlah sebagian untuk) tetanggamu.” (HR. Muslim no. 2625)

Para sahabat juga telah mengajarkan kebaikan ini, mereka penuhi hak-hak tetangga mereka meskipun mereka adalah orang-orang nonmuslim. Merekalah generasi yang paling semangat dalam memuliakan tetangga, dalam riwayat Tirmidzi dan Abu Dawud dikisahkan,

أنَّ عبدَ اللهِ بنَ عمرٍو رضِي اللهُ عنهما ذُبِحت له شاةٌ في أهلِه فلمَّا جاء قال أهدَيْتم لجارِنا اليهوديَّ أهديتم لجارِنا اليهوديَّ سمِعتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يقولُ مازال جبريلُ يُوصيني بالجارِ حتَّى ظننتُ أنَّه سيُورِّثُه

“Suatu ketika Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhuma pernah disajikan seekor kambing di tengah keluarganya. Saat beliau datang, beliau bertanya, ‘Sudahkah kalian memberikan hadiah (sajian kambing ini) untuk tetangga Yahudi kita? Sudahkah kalian memberikan hadiah (sajian kambing ini) untuk tetangga Yahudi kita? Sungguh aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tidak henti-hentinya Jibril memberikan wasiat kepadaku tentang tetangga sehingga aku menduga bahwa ia akan memberikan warisan kepadanya.”” (HR. Abu Dawud no. 5152 dan Tirmidzi no. 1943)

Para salaf saleh  pendahulu kita mengetahui dan meyakini akan betapa berharganya tetangga yang baik. Mereka tahu bahwa tetangga yang baik lebih berharga dari harta duniawi dan kenikmatan-kenikmatan lainnya yang ditawarkan oleh kehidupan dunia.

Lihatlah bagaimana kisah salah seorang dari mereka, Muhammad bin Jahm rahimahullah saat menawarkan rumahnya untuk dijual seharga seribu dirham.

Ketika orang-orang yang ingin membeli rumahnya datang, dia berkata kepada mereka, “Kita telah sepakat akan harga rumahnya. Akan tetapi, berapa harga yang kalian tawarkan untuk tinggal bertetangga dengan Said bin Al-Ash radhiyallahu ‘anhu?”

(Mereka yang ingin membeli rumah tersebut terheran-heran, lalu) dikatakan kepadanya, “Apakah tetangga itu dijual?”

Dia (Muhammad bin Jahm) berkata, “Bagaimana mungkin tidak kujual, sedang beliau adalah tetangga yang jika engkau sedang duduk bersantai, akan menanyakan kabarmu. Dan jika dia melihatmu, maka akan menyambutmu dengan hangat. Dan jika engkau sedang pergi, maka ia akan menjagamu (rumahmu). Dan jika engkau sedang terlihat, maka ia akan mendatangimu. Dan jika engkau meminta bantuan kepadanya, maka akan dia penuhi. Dan jika pun engkau tidak memintanya, maka dia yang akan berinisiatif (membantumu). Dan jika engkau sedang tertimpa sebuah kesulitan, maka ia akan membantu meringankannya.”

Kemudian berita ini terdengar oleh sahabat Said bin Al-Ash, hingga ia pun mendatanginya sambil memberikan uang seratus ribu dirham seraya berkata, “Pegang rumahmu dan jangan dijual.”

Sungguh tetangga yang baik adalah sebuah kenikmatan yang sangat besar, kenikmatan yang seharusnya senantiasa kita minta kepada Allah Ta’ala, kenikmatan yang seharusnya juga kita amalkan dan praktikkan kepada tetangga kita.

أقُولُ قَوْلي هَذَا وَأسْتغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ لي وَلَكُمْ، فَاسْتغْفِرُوهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ، وَادْعُوهُ يَسْتجِبْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ البَرُّ الكَرِيْمُ.

Khotbah kedua

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ.

Maasyiral mukminin yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Sebuah akhlak yang mulia tentu akan membuahkan kemuliaan dan keutamaan. Begitu pula dengan berbuat baik kepada tetangga, tentu saja ia memiliki beberapa keutamaan yang sangat mulia.

Ketahuilah wahai jemaah sekalian, berbuat baik kepada tetangga merupakan bagian dari kesempurnaan iman seseorang, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَاْليَومِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، ومَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ واليَومِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47)

Di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa tetangga yang baik merupakan salah satu manusia terbaik di sisi Allah Ta’ala,

خَيْرُ الْأَصْحَابِ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ وَخَيْرُ الْجِيرَانِ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ

“Sebaik-baik sahabat di sisi Allah adalah yang paling baik terhadap temannya. Dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah adalah yang paling baik terhadap tetangganya.” (HR. Tirmidzi no. 1944 dan Ahmad no. 6566)

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Sesungguhnya di antara buah kebaikan dari perbuatan baik kita kepada tetangga adalah masuknya kita ke dalam surga. Seorang laki-laki pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, “Wahai Nabiyallah, tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang apabila aku menepatinya, aku akan masuk surga.”

Maka beliau menjawab,

كُنْ مُحْسِنًا

“Jadilah kamu seorang yang baik.”

Laki-laki tersebut bertanya kembali, “Bagaimana cara mengetahui jika aku ini adalah orang yang baik?”

Nabi pun bersabda,

سَلْ جِيرَانَكَ ، فَإِنْ قَالُوا : إِنَّكَ مُحْسِنٌ فَأَنْتَ مُحْسِنٌ ، وَإِنَّ قَالُوا : إِنَّكَ مُسِيءٌ فَأَنْتَ مُسِيءٌ 

“Tanyakanlah kepada tetanggamu, jikalau mereka berkata kamu itu seorang yang baik, maka sesungguhnya kamu itu baik. Jikalau mereka berkata kamu itu seorang yang jelek, maka sesungguhnya kamu itu jelek.” (HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 8278)

Sungguh, tetangga adalah patokan untuk menilai hakikat asli diri kita, apakah kita termasuk orang-orang yang baik ataukah tidak.

Oleh karena itu, wahai jemaah sekalian.

Marilah kita jaga dan kita lestarikan wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini. Marilah kita saling berbuat baik serta tidak mengganggu tetangga kita masing-masing, menjaga hak-hak mereka, menjenguk mereka ketika ada yang sakit, berbagi makanan, ikut melayat saat ada yang meninggal, dan yang lain sebagainya.

Sehingga nantinya jemaah sekalian, saat ajal datang menjemput kita, tidak ada satu pun dari tetangga kita yang merasa terzalimi. Justru sebaliknya, mereka bersaksi akan kebaikan diri kita kepada mereka selama ini.

Jemaah yang berbahagia.

Ada keutamaan khusus yang Nabi sebutkan tatkala seorang muslim meninggal dunia sedang tetangganya rida dan bersaksi akan kebaikannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ما مِن مُسلِمٍ يَموتُ فيَشهَدُ له أربَعةٌ أهلُ أبياتٍ مِن جيرانِه الأَدْنينِ؛ أنَّهم لا يَعلَمونَ إلَّا خَيرًا؛ إلَّا قال اللهُ تَعالى: قد قَبِلتُ عِلْمَكم، وعَفَوتُ عَمَّا لا تَعلَمونَ

“Tidaklah seorang muslim meninggal dunia, lalu empat orang tetangga dekatnya bersaksi tentangnya bahwa mereka tidak mengetahui apapun perihal muslim tersebut kecuali kebaikan, kecuali Allah Ta’ala berfirman, ‘Sungguh Aku telah menerima apa yang kalian ketahui tentangnya (berupa kebaikan), dan aku mengampuni bagian yang kalian tidak mengetahuinya (keburukan-keburukannya).’” (HR. Ahmad no. 13541, Abu Ya’la no. 3481 dan Ibnu Hibban no. 3026)

Sungguh sebuah keutamaan besar yang bisa diraih oleh mereka yang bertetangga baik, tidak pernah mengganggu, dan selalu memenuhi hak-hak mereka meskipun mereka bukanlah seorang muslim. Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita sebagai pribadi berakhlak mulia, seorang muslim yang baik kepada tetangganya. Semoga Allah Ta’ala berikan kita tetangga yang baik, karena itu merupakan salah satu kenikmatan terbesar yang bisa didapatkan oleh seorang hamba. Amin ya Rabbal ‘alamin.

Wallahu A’lam bisshawab.

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،

اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/81954-khotbah-jumat-wasiat-nabi-perihal-tetangga.html

3 Keutamaan Membaca Surat Al-Insyirah dan Khasiatnya

Surat Al-Insyirah merupakan surah ke-94 dalam Al-Qur’an dan terdiri dari 8 ayat. Surat ini lebih dikenal dengan sebutan “Surah Alam Nasyrah” yang terdapat di awal surat.

Surat ini termasuk golongan surah Makkiyah dan memiliki arti kelapangan atau melapangkan. Menurut riwayat Ibnu Jarir, Asbabun Nuzul Surat Al-Insyirah berkaitan dengan perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW di Makkah yang diwarnai berbagai tekanan dan halangan dari kaum kafir Quraisy.

Akhirnya Allah menurunkan surah ini dengan tujuan menghibur dan menyemangati Nabi dalam mengemban misi dakwah. Sama halnya dengan surah lain dalam Al-Qur’an, Surat Al-Insyirah juga memiliki keutamaan dan khasiat. Syaikh Muhammad Haqqi An-Nazili dalam Kitab Khazinatul Asror menyebutkan beberapa keutamaan Surah Al-Insyirah. Berikut keutamaannnya:

1. Dimudahkan Segala Urusan dan Diberi Rezeki Tak Terduga

Disebutkan siapa yang istiqamah membaca Surar Al-Insyirah setelah sholat fardhu, dia akan dimudahkan oleh Allah segala urusan dan mendapat rezeki yang tak terduga.

ن داوم على قراءتها دبر الصلوات الخمس يسر الله أمره وفرج همه ورزقه من حيث لا يحتسب

Artinya: “Barangsiapa membaca Al-Insyirah secara rutin setiap selesai sholat wajib, maka Allah akan memudahkan urusannya, menghilangkan kesusahannya dan Allah memberinya rezeki tanpa diduga-duga.”

2. Melapangkan Dada

Seperti diketahui, Al-Insyirah memiliki arti melapangkan.

Dengan membaca surah ini, setiap mukmin akan merasakan kelapangan dada. Apabila surat dibaca setelah selesai sholat, maka dapat menghilangkan gelisah, resah, kesulitan, dan dijauhkan dari rasa malas dalam beribadah.

3. Membuat Rasulullah SAW Gembira

Dalam asal-muasalnya, Surat Al-Insyirah merupakan surat penghibur bagi Rasulullah SAW ketika mendapat kesulitan dalam berdakwah di Makkah.

Maka dari itu, membaca surah ini diumpamakan seperti mendatangi Nabi Muhammad SAW dalam keadaan susah sehingga beliau menjadi gembira.

KALAM SINDONEWS

7 Sahabat Nabi Penghafal Al-Quran

SIAPA saja sahabat Nabi penghafal Al-Quran?

Menghafal Al-Qur’an sudah berlangsung sejak masa Nabi Muhammad ﷺ hidup. Bahkan sejumlah sahabat mampu menghafal ayat al-Qur’an hanya dengan sekali mendengar. Di pundak para sahabat inilah Rasulullah ﷺ mengamanahkan teladan pelaksanaan al-Qur’an dan mewariskan petunjuk kehidupan ini bagi generasi-generasi selanjutnya.

Rasulullah ﷺ memberi petunjuk untuk mempelajari al-Qur’an dari penghafalnya. Dari begitu banyaknya sahabat, ada tujuh orang yang dikenal sebagai penghafal al-Qur’an di zaman Rasulullah ﷺ, mereka adalah:

Sahabat Nabi Penghafal Al-Quran: Utsman Bin Affan RA

Nama lengkapnya adalah Utsman bin Affan bin Abi al-Ash Abu Amr Abu Abdillah al-Quraisy al-Amawi. Ia dikenal sebagai sahabat Rasulullah ﷺ yang hatinya selalu terkait dengan al-Qur’an.

Di masa kekhalifahannya ia berhasil menghimpun al-Qur’an dalam satu mushaf dan menyebarkannya pada beberapa kota. Ali bin Abi Thalib pun memujinya “kalaulah Utsman tak melakukannya maka pasti akan kulakukan.”

Selain itu, Utsman juga mampu menyatukan al-Qur’an yang tujuh jenis huruf atau dialek sehingga terhindarlah malapetaka dan fitnah perpecahan umat. Di akhir kekhalifaannya (tahun 35 hijriah) terjadi kekacauan, Utsman di sekap di rumahnya selama empat puluh hari. Ia syahid terbunuh saat membaca al-Qur’an diusia 82 tahun.

Sahabat Nabi Penghafal Al-Quran: Ali Bin Abi Thalib RA

Ali merupakan seorang sahabat penghafal al-Qur’an yang kuat, dan termasuk di antara orang yang pertama kali mendapat hidayah islam. Ali berislam di usia belia. Beliau dikenal zuhud, wara, dan dermawan, dan menganggap rendah dunia, selalu beramal untuk keridhaan Allah swt. Ia sangat memahami ilmu al-Qur’an. Abu Abdurrahman as-Sulmi berkata “aku tidak pernah melihat seorang yang lebih pandai dalam al-Qur’an daripada Ali”.

Kehidupan Ali selalu diwarnai dengan al-Qur’an.  Ali berkata tentang dirinya dan karunia Allah kepadanya,  “Demi Allah tidak satupun ayat yang diturunkan kecuali aku telah mengetahui tentang apa dan dimana diturunkan. Sesungguhnya Allah telah memberikan kecerdasan hati dan lidah yang fasih”.

Sahabat Nabi Penghafal Al-Quran: Zaid Bin Tsabit RA

Zaid mempunyai nama lengkap Abu Said al-Khazraji al-Anshari. Ia merupakansahabat anshar yang cerdas, penulis, penghafal dan mengusai ilmu. Ia mengalahkan orang lain dalam pengusaan ilmu al-Qur’an dan faraid.

Ia juga mampu mempelajari kitab yahudi dalam waktu yang relatif singkat atas permintaan Rasulullah ﷺ. Selain itu Zaid juga dikenal sebagai sekretaris kepercayaan Rasulullah SAW dalam menerima wahyu. Apabila Rasulullah ﷺ menerima wahyu, Zaid selalu dipanggil untuk menulisnya.

Zaid sebagai penghimpun al-Qur’an dan menguasai informasi tentang al-Qur’an. Jasa Zaid dalam upaya kodifikasi al-Qur’an sangatlah mulia. Tiada yang mampu menandinginya dalam menulis kalamullah.

Zaid wafat tahun 45 hijriah. Kepergiannya ditangisi seluruh penduduk Madinah. Banyak orang yang merasa kehilangan , diantaranya Ibnu Abbas  RA yang berkata, “hari ini telah pergi seorang ulama besar dan tokoh cendekia”

Sahabat Nabi Penghafal Al-Quran: Ubai Bin Ka’ab  RA

Ia memiliki nama lengkap Ubai bin Ka’ab bin Qais Abu al-Mudzir al-Anshari al-Madani. Ubai hidup dalam naungan al-Qur’an. Ia selalu menyempatklan diri membaca al-Qur’an siang malam dan khatam dalam delapan malam. Umar bin Khattab pernah berkata “Qari paling baik diantara kami adalah Ubai”.

Umar juga pernah berkutbah di Jabiyah sembari menyatakan tentang pengetahuan Ubai terhadap al-Qur’an. Umar berkata, “barang siapa yang hendak menanyakan tentang al-Qur’an datanglah ke Ubai”. Ubai telah menjadikan al-Qur’an sebagai sumber kebaikan dalam ucapan serta perbuatannya. Ubai selalu menasehati orang-orang untuk menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman dalam setiap perbuatan.Ubai termasuk sekretaris Rasulullah ﷺ sebelum Zaid bin Tsabit.

Ia bersama Zaid adalah sahabat yang paling tekun menulis wahyu dan menulis banyak surat. Keduanya menulis wahyu dalam pengawasan Rasulullah ﷺ. Ubai wafat di madinah tahun 20 hijriah. Di hari wafatnya Umar berkata “hari ini telah meninggal seorang tokoh Islam, semoga Allah meridhainya.”

Sahabat Nabi Penghafal Al-Quran: Abu Darda RA

Abu Darda adalah seorang hafidzh yang bijaksana. Ia termasuk orang yang mengumpulkan al-Qur’an dan menjadi sumber bagi para pembaca di Damaskus pada masa khalifah Utsman bin Affan.

Ia memiliki kedudukan yang tinggi dalam hal ilmu dan amal dari para sahabat yang lainnya. Selama hidupnya ia mengajarkan kepada umat apa yang ia pelajari dari Rasulullah. Ia guru yang selalu dinani-nanti murid-muridnya.

Dalam pengakuan Suwaid bin Abdul Aziz dikatakan, jika Abu Darda shalat di masjid Damaskus , ribuan manusia mengelilinya untuk mempelajari al-Qur’an. Ia membagi-bagikan satu kelompok dengan sepuluh orang dan dipilih satu orang ketua. Ia hanya mengawasinya di mihrab. Jika ada yang salah mereka kembali kepada ketuanya.

Jika ketua yang salah maka ketua tersebut menghadap Abu Darda untuk bertanya. Jumlah penghafal al-Qur’an dalam majlis Abu Darda mencapai 1.600 orang.  Beliau wafat tahun 32 hijriah pada masa khalifah Utsman di Syam. Ia telah meriwayatkan 179 hadits.

Sahabat Nabi Penghafal Al-Quran: Abdullah Bin Mas’ud RA

Ia memiliki nama lengkap Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil Abdirrahman al-Hadzali al-Maki al-Muhajiri.  Ia merupakan seorang penghimpun al-Qur’an di masa Rasulullah ﷺ dan membacakan dihadapannya. Ia pernah berkata “Aku telah menghafal dari mulut Rasulullah ﷺ tujuh puluh surat.”

Abdullah selalu mengikuti Rasulullah ﷺ sejak usia belia. Pendengarannya selalu dihiasi dengan ayat-ayat al-Qur’an sejak turun kepada Rasulullah ﷺ. Kiprahnya dalam memelihara al-Qur’an tidak diragukan lagi. Ia hidup bersama dan untuk al-Qur’an.

Abdullah menjadi ulama yang paling tahu tentang al-Qur’an. Tak heran jika Rasulullah ﷺ memujinya dan menganjurkan para sahabat dan orang setelahnya untuk mempelajari kandungan al-Qur’an dari Abdullah bin Mas’ud. Abdullah bin Mas’ud wafat pada tahun 32 hijriyah dalam usia 65 tahun. Ia wafat di madinah dan telah meriwayatkan 840 hadits.

Sahabat Nabi Penghafal Al-Quran: Abu Musa Al-Asy’ari RA

Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Qais bin Sulaim. Ia merupakan salah seorang sahabat Rasulullah saw yang menghafal al-Qur’an. Ia mempunyai perhatian yang besar terhadap al-Quran

Abu Musa dianugrahkan oleh Allah swt berupa suara yang merdu. Suara merdunya mampu menembus tirai hati orang-orang mukmin dan melenakannya,sehingga menembus kebesaran Allah SWT

Rasulullah pun pernah memuji suaranya yang merdu itu,  “Ia ( Abu Musa ) benar-benar telah diberi seruling Nabi Daud”, begitu kata Rasulullah ﷺ. Sampai-sampai banyak para sahabat yang menanti-nanti Abu Musa untuk menjadi imam pada setiap kesempatan shalat.

Abu Musa telah mempelajari al-Qur’an langsung dari Rasulullah ﷺ, ia mengajarkan dan menyebarkannya pada umat setiap negeri yang ia kunjungi. Perjalanan hidup dan kisah mulianya banyak terekam dalam kitab-kitab tarikh. Abu Musa wafat di usia 63 tahun pada tahun 44 hijriah. Ia telah meriwayatkan 365 hadits. []

ISLAMPOS

5 Hewan yang tidak Boleh Dipelihara oleh Muslim

SAHABAT mulia Islampos, manusia hidup berdampingan dengan makhluk hidup lainnya, seperti hewan dan tumbuhan. Manusia pun dapat memelihara kedua makhluk tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Namun, ada beberapa hewan yang terlarang untuk diperlihara oleh muslim. Apa saja hewan yang tidak boleh dipelihara oleh muslim?

Pada dasarnya seorang Muslim boleh saja memelihara hewan, tetapi tentu saja yang dibolehkan berdasarkan syariat. Imam Syafi’i mengatakan, “Haram bagi mukallaf (orang yang mendapat beban syariat) untuk memelihara beberapa binatang, di antaranya anjing bagi yang tidak membutuhkannya, demikian pula lima binatang pengganggu lainnya seperti ular, elang, kala, tikus, gagak, dan ular.” (Al-Mantsur fi al-Qawaid)

Hewan yang tidak boleh dipelihara oleh muslim

Berikut ini penjelasan mengenai hewan  yang tidak boleh dipelihara oleh muslim tersebut:

1. Anjing

Dalam Islam, anjing adalah salah satu hewan yang dilarang dipelihara karena termasuk hewan yang dinajiskan air liurnya. Memelihara anjing juga bisa mengurangi pahala seseorang.

Hal itu sesuai sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam, “Barang siapa yang memelihara anjing, selain anjing ternak dan anjing untuk berburu, maka berkuranglah setiap hari dari perbuatannya dua qirath.” (HR Bukhari dan Muslim)

2. Ular

Imam Syafi’i menjelaskan bahwa memelihara reptil ular hukumnya haram. Jenis ular apa pun jika dipelihara tetap diharamkan karena ular adalah hewan melata dan berbahaya.

Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam memerintahkan umatnya untuk membunuh jika bertemu ular, bukan untuk dipelihara. Hal tersebut tercantum dalam hadits, “Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam memerintahkan untuk membunuh dua binatang hitam ketika sholat: ular dan kala.” (HR Tirmidzi)

Binatang yang dianjurkan untuk dibunuh, haram untuk dipelihara. Karena adanya perintah untuk membunuhnya, menggugurkan kemuliaannya dan dilarang memeliharanya …” (Hasyiyah al-Qalyubi wa Umairah, 16/157)

3. Cicak

Cicak adalah hewan yang sering berada dan berkeliaran di rumah. Hewan ini dilarang dipelihara. Meskipun ada di rumah, seharusnya cicak dibunuh.

Sebagaimana pendapat Ummu Syarik, Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam memerintahkan untuk membunuh cicak, sebagaimana sabda beliau, “Dahulu cicak yang meniup dan membesarkan api yang membakar Ibrahim.” (HR Muttafaq ‘alaih)

Semua hewan yang diperbolehkan dibunuh adalah hewan yang diharamkan juga untuk dipelihara apalagi dimakan dagingnya. Cicak juga termasuk hewan pengganggu dan hewan yang najis serta kotor.

4. Tikus

Tikus termasuk hewan kotor, najis, dan pembawa penyakit; oleh sebab itu Islam melarang umatnya memelihara tikus karena tidak ada manfaatnya dan lebih banyak mudharatnya.

Islam mengajarkan kebersihan, sebab kebersihan adalah sebagian dari iman. “Kebersihan sebagian dari iman.” (HR Tirmidzi)

Memelihara tikus diharamkan karena selain kotor juga menjadi bibit penyakit di mana-mana.Advertisements

5. Burung Gagak

Burung gagak yang dimaksud di sini adalah burung gagak yang putih punggung dan perutnya. Ini burung gagak yang tidak boleh dipelihara menurut Islam.

Hal itu sesuai hadits riwayat Imam Syafi’i bahwa gagak tidak boleh dipelihara dan dibolehkan dibunuh. Hikmah dari tidak memelihara gagak adalah karena gagak bukanlah hewan yang akan mendapatkan keberkahan dan kemanfaatan.

Allah Subhanahu wa ta’ala melarang suatu hal untuk dilakukan oleh umat Islam bukan tanpa alasan. Pastinya ada hal yang mendasari, terutama dilihat dari manfaat dan dampak negatif untuk kaum Muslim. []

SUMBER: OKEZONE / ISLAMPOS