Amalan Sunnah Bulan Rajab

Berikut ini adalah amalan sunnah bulan Rajab. Saat ini umat Islam Indonesia tengah berada bulan Rajab. Dalam Islam, Rajab termasuk bulan yang sangat mulia. Dalam bulan ini terdapat kemuliaan. Menurut ulama, kemuliaan bulan Rajab ialah dikabulkan oleh Allah segala doa hamba-Nya.

ان رجب شهرفضيل، والعبادة فيه لها اجر جليل، خصوصا الصوم فيه والاستغفار، والتوبه

Sesungguhnya Rajab adalah bulan yang agung, dan ibadah di dalamnya mendapatkan pahala yang besar, terutama puasa, dan istighfar serta taubat.

Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad bersabda bahwa Rajab juga disebut bulan Allah;

 ان رجب شهرالله وشعبان شهرى ورمضان شهرامتى

“Sesungguhnya Rajab adalah Bulannya Allah, Sya’ban adalah Bulanku dan Ramadhan adalah bulan Umatku”.

3 Amalan Sunnah Bulan Rajab

Pertama, salah satu amalan yang sunnah dilakukan dalam bulan Rajab ialah berdoa. Sebab dalam bulan ini, doa seorang muslim akan diijabah oleh Allah.  Memperbanyak doa dianjurkan terlebih pada malam pertama bulan Rajab, sebagaimana berikut :

قال صلى الله عليه وسلم: خمس ليال لاترد فيه الدعاء: اول ليلة من رحب، وليلة النصف من شعبان، وليلة الجمعة، وليلة الفطر وليلة النحر.   (اخرجه السيوطى رحمه الله تعالى فى الجامع)

“Ada 5 malam dimana tidak ditolak di dalamnya Do’a: awal malam Rajab, malam Nisfu Sya’ban, malam Jum’at, malam Idul Fitri dan malam Idul Adha.”

Adapun doa yang bisa dibaca di dalam bulan Rajab ialah doa yang bersumber dari Rasulullah berikut;

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَـعْبَانَ وَبَلِّـغْنَا رَمَضَانَ

Allahumma bārik lanā fī Rajab wa Sya’ba wa ballignā Ramadhāna

Artinya: Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, serta sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan.

Kedua, dalam bulan Rajab dianjurkan untuk istigfar pada Allah. Seyigianya pada bulan ini seorang muslim membaca istigfar pagi dan sore hari. Berikut lafadz istighfar yang bisa dibaca dalam Rajab:

رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِي وَتُبْ عَلَيَّ

Wahai Tuhanku, Ampunilah aku, rahmatilah aku dan terimalah taubatku

Di sisi lain, ada istigfar yang bisa dibaca dalam bulan Rajab ialah membaca Sayyidul Istighfar. Beerikut bacaannya;

اَللَّهُم َّ أَنْتَ رَبِّيْ لآ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَااسْـتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّه لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنت

Allahumma anta rabbī laa ilāha illā anta khalaqtanī wa anna ‘abduka wa anā ‘alā ‘ahdika wa wa’dika. Mastatha’tu a’ūdzu bika min syarri māshana’tu abū u laka bini’ matika ‘alayya wa abū’u bidzanbī faghfir lī fa innahu laa yagfirudz dzunūba illā anta.

Hai Tuhanku, Engkau Tuhanku. Tiada tuhan yang disembah selain Engkau. Engkau yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku berada dalam perintah iman sesuai perjanjian-Mu sebatas kemampuanku.

Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang kuperbuat. Kepada-Mu, aku mengakui segala nikmat-Mu padaku. Aku mengakui dosaku. Maka itu ampunilah dosaku. Sungguh tiada yang mengampuni dosa selain Engkau.

Ketiga, dalam bulan Rajab ini juga dianjurkan untuk berpuasa sunnah Rajab. Penjelasan ini dapat dijumpai dalam kitab Fathu Mu’in, karya dari ulama besar, Zainuddin Al Malibari, yang menyebutkan bulan Rajab termasuk dalam kategori puasa yang sunnah dikerjakan. Ia berkata;

أفضل الشهور للصوم بعد رمضان الأشهر الحرم. وأفضلها المحرم، ثم رجب، ثم الحجة، ثم القعدة، ثم شهر شعبان.

“Bulan paling utama untuk melakukan puasa setelah bulan Ramadhan adalah bulan-bulan yang dimuliakan. Paling utamanya bula-bulan haram untuk melakukan puasa adalah bulan Muharram, kemudian Rajab, Zulhijjah, Zulqa‘dah,  dan terakhir bulan Sya’ban

Adapun Lafadz niat Puasa Sunnah Rajab ialah sebagai berikut:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ فِى شَهْرِ رَجَبِ سُنَّةً ِللهِ تَعَالَى

“Saya niat Puasa esok hari di bulan Rajab Sunnah karena Allah Ta’ala”.

Demikian penjelasan terkait amalan sunnah bulan Rajab. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Fraksi PAN Sebut Usulan Kenaikan Biaya Haji 2023 Tidak Bijak

Fraksi PAN mendesak Kementerian Agama untuk mempertimbangkan kembali usulan kenaikan BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji) tahun 2023. Pasalnya, usulan kenaikan tersebut diperkirakan akan memberatkan para jamaah. Apalagi besaran kenaikan mencapai hampir 30 juta rupiah per jamaah.

“Usulan kenaikan itu terlalu tinggi. Pasti memberatkan. Dengan jumlah jamaah haji terbesar di dunia, BPIH Indonesia mestinya tidak perlu naik. Kemenag harus menghitung lagi secara rinci  structure cost BPIH. Penghematan bisa dilakukan di setiap rincian stucture cost tersebut,” kata Saleh Partaonan Daulay, Ketua Fraksi PAN DPR RI, Selasa (23/1/2023).

“Jamaah reguler kita berjumlah 203.320 orang. Kalau ada kenaikan 30 juta seperti usulan kemenag, maka uang jamaah yang akan dikumpulkan adalah sebesar 14,06 Triliun lebih.  Ditambah lagi dari manfaat dana haji yang dikelola BPKH sebesar 5,9 Triliun. Total dana yang dipakai dari uang jamaah adalah 20 Triliun lebih per tahun. Sementara itu, ada lagi biaya penyelenggaraan haji dari APBN Kemenag sebesar 1,27 Triliun dan Kemenkes sebesar 283 M,” kata Saleh.

Berdasarkan pemetaan penggunaan anggaran dan juga situasi terkini masyarakat, usulan kenaikan BPIH 2023 dinilai sangat tidak bijak. Ada beberapa alasan yang dapat disampaikan. Pertama, pandemi Covid-19 di Indonesia baru landai dan mereda. Masyarakat masih berupaya menggerakkan kembali roda perekonomian mereka. Karena itu, jika dibebankan tambahan biaya untuk pelunasan BPIH yang cukup tinggi, tentulah itu sangat memberatkan.

Kedua, saat ini sudah ada BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) yang mengelola keuangan haji. Kehadiran badan ini semestinya dapat meningkatkan nilai manfaat dana simpanan jamaah. Semakin tinggi nilai manfaat yang diperoleh, tentu akan semakin meringankan beban jamaah untuk menutupi ongkos haji.

“BPKH ini kelihatannya belum menunjukkan prestasi memadai. Pengelolaan simpanan jamaah, tidak jauh beda dengan sebelum badan ini ada. Wajar saja kalau ada yang mempertanyakan pengelolaan keuangan haji yang diamanahkan pada badan ini,” ujar Saleh.

Ketiga, kalau tetap dinaikkan, dikhawatirkan akan ada asumsi di masyarakat bahwa dana haji dipergunakan untuk pembangunan infrasturuktur. Tentu asumsi ini kurang baik didengar. Sebab, pengelolaan keuangan haji semestinya sudah semakin terbuka dan profesional.

“Kalau di medsos, sudah banyak yang bicara begitu. Katanya, ongkos haji dipakai untuk infrastruktur. Semestinya, BPKH dan kemenag menjawab dan memberikan klarifikasi. Biar jelas dan semakin transparan,” katanya.

Keempat, tentu tidak bijak jika kenaikan ongkos haji dilakukan di saat masa akhir pemerintahan Jokowi. Apalagi diketahui bahwa selama periode pertama dan kedua ini, Jokowi selalu berorientasi pada upaya meringankan beban masyarakat. Tentu mestinya tidak terkecuali dalam hal BPIH ini. 

“Saya yakin Jokowi juga ingin agar masyarakat dimudahkan. BPIH tidak membebani,” kata Saleh.

IHRAM

Perbedaan Pamer, Riya, Ujub, dan Sombong

Pertanyaan:

Apa perbedaan antara pamer, riya’, ujub dan sombong?

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash shalatu was salamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi was shahbihi ajma’in, amma ba’du.

Ini adalah pertanyaan yang bagus, karena banyak sekali orang yang salah kaprah dalam memahami istilah-istilah di atas dan salah dalam menggunakannya.

  1. Pamer

Pamer dalam istilah syar’i disebut dengan al fakhr. Dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith, al fakhr didefinisikan:

تباهى بمالَهُ وْما لقومه من محاسنَ

“Berbangga dengan hartanya dan kelebihan yang dimiliki kaumnya”.

Pamer atau al fakhr itu biasanya dalam perkara duniawi. Seperti memamerkan harta, rumah yang bagus, pakaian yang bagus, mobil yang mewah, pamer makan di restoran mewah, dan semisalnya dalam rangka untuk berbangga. 

Sifat suka pamer adalah akhlak yang tercela. Allah ta’ala berfirman:

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ، حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ، كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur, Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu)” (QS. At Takatsur 1-3).

Allah ta’ala juga berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ 

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap hamba yang sombong lagi fakhur (suka berbangga)” (QS. Luqman: 18).

Sifat suka pamer juga bertentangan dengan sifat tawadhu’ (rendah hati). Padahal kita diperintahkan untuk tawadhu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ

“Sedekah tidak akan mengurangi harta seseorang. Allah akan menambahkan kewibawaan seseorang hamba yang pemaaf. Tidaklah seorang hamba itu bersikap tawadhu’ kecuali Allah akan tinggikan ia” (HR. Muslim, no.2588).

Dari ‘Iyadh bin Himar radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

“Sungguh Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling tawadhu’ (rendah hati) agar tidak ada seorang pun yang saling fakhr (berbangga diri) pada yang lain dan agar tidak seorang pun berlaku zhalim pada yang lain” (HR. Muslim no. 2865).

  1. Riya’

Adapun riya’, adalah melakukan ibadah atau amalan shalih dengan maksud untuk mendapatkan pujian dari manusia. Para ulama mendefinisikan riya’,

أن يُظهِرَ الإنسانُ العَمَلَ الصَّالحَ للآخَرِينَ، أو يُحَسِّنَه عِندَهم؛ لِيَمدَحوه، ويَعظُمَ في أنفُسِهم

Riya’ adalah menampakkan amalan shalih kepada orang lain atau memperbagusnya di hadapan orang lain, agar mendapatkan pujian atau agar dianggap agung oleh orang lain” (Lihat Al Muwafaqat karya Asy Syatibi [2/353], Ar Ri’ayah karya Ibnu Abil Izz [hal. 55]).

Perbedaan riya’ dengan al fakhr (pamer) adalah riya‘ terjadi pada amalan shalih atau ibadah, sedangkan al fakhr (pamer) terjadi pada amalan duniawi. 

Orang yang pamer harta, pakaian bagus, makanan enak dan semisalnya tidak disebut melakukan riya’. Namun orang yang menampakkan sedekahnya agar dipuji, menampakkan shalat malamnya agar dipuji, memperbagus shalatnya agar dianggap ahli ibadah, inilah contoh-contoh orang yang melakukan riya’.

Riya’ dapat membatalkan pahala amalan shalih. Allah ta’ala berfirman:

قالَ اللهُ تعالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (QS. Al Baqarah: 264).

Allah dan Rasul-Nya mencela pelaku riya’ dan mengabarkan bahwa riya’ termasuk kesyirikan. Karena orang yang melakukan riya’ membuat tandingan bagi Allah ta’ala dalam niat ibadah. Allah ta’ala berfirman:

اِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (QS. An Nisa: 142).

Dari Mahmud bin Labid Al Anshari radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ أخوَفَ ما أخافُ عليكُمُ الشِّركُ الأصغرُ: الرِّياءُ، يقولُ اللهُ يومَ القيامةِ إذا جَزَى النَّاسَ بأعمالِهم: اذهَبوا إلى الذينَ كنتم تُراؤونَ في الدُّنيا، فانظُروا هل تَجِدونَ عِندَهم جزاءٍ.

“Yang paling aku takutkan dari kalian adalah syirik ashghar, yaitu riya’. Allah akan berkata di hari Kiamat ketika memberikan balasan kepada manusia atas amalan mereka: “Pergilah kalian kepada pihak-pihak yang kalian jadikan tujuan riya’ di dunia. Lihatlah apakah mereka bisa memberikan ganjaran kepada kalian hari ini?”” (HR. Ahmad, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Targhib no. 32).

  1.  Merasa Senang Setelah Beribadah 

Yang sering disalah-pahami dengan riya’ adalah jika seseorang merasa senang ketika dapat melaksanakan suatu ibadah. Jika seseorang berkata dalam hatinya, “Alhamdulillah saya bisa melaksanakan shalat tahajud”, “Alhamdulillah Allah beri saya taufik untuk sedekah”, “Alhamdulillah bisa hadir di majelis ilmu” dan semacamnya, tanpa bermaksud mencari pujian dari orang lain, maka ini perbuatan yang terpuji. Riya’ adalah jika ia menampakkan hal itu kepada orang-orang dan berharap mendapatkan pujian dari orang-orang.

Adapun merasa senang dengan ibadah, ini adalah hal yang dipuji oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ (58)

“Katakanlah (wahai Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan” (QS. Yunus: 58).

Dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

مَن سرَّتهُ حسنتُهُ وساءتْهُ سَيِّئتُهُ فذلِكم المؤمنُ

“Siapa yang merasa senang dengan kebaikan yang dilakukannya dan merasa gelisah dengan keburukan yang dilakukannya, maka itu tanda ia seorang Mukmin” (HR. At-Tirmidzi no. 2156, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

  1. Ujub 

Berbeda lagi dengan ujub. Ujub adalah merasa tinggi dan agung atas kelebihan yang dimiliki, dan menisbatkan itu semua kepada dirinya sendiri bukan kepada Allah. Al Ghazali rahimahullah mendefinisikan ujub:

العُجْب: هو استعظام النعمة، والركون إليها، مع نسيان إضافتها إلى المنعم

“Ujub adalah merasa agung ketika memiliki suatu nikmat dan bersandar kepadanya, namun lupa menisbatkannya kepada pemberinya (yaitu Allah)” (Ihya’ Ulumiddin, 3/371).

Orang yang ujub merasa bahwa nikmat dan kelebihan yang ia miliki itu karena dirinya sendiri dan atas usahanya. Ia lupa bahwa ia mendapatkan itu semua semata-mata karena kemurahan Allah ta’ala kepadanya. Maka ujub adalah akhlak yang tercela. Allah ta’ala sebutkan bahwa salah satu sebab kalahnya kaum Mukminin adalah karena ujub:

لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُم مُّدْبِرِينَ 

“Sungguh, Allah telah menolong kamu (mukminin) di banyak medan perang, dan (ingatlah) Perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang-langgang” (QS. At-Taubah: 25).

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengabarkan bahwa sifat ujub akan mendatangkan azab Allah dan juga besar dosanya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

وبينا رجلٌ يَمشي في حُلَّةٍ قد أعجبَتْه نفسُه خسَف اللهُ به فهو يتجَلجَلُ فيها إلى يومِ القيامةِ

“Di antara kita ada lelaki yang berjalan menggunakan pakaian yang bagus, yang membuat ia ujub kepada dirinya. Lalu Allah tenggelamkan ia ke dalam bumi dan ia tergoncang-goncang di dalamnya sampai hari kiamat” (HR. Bukhari no.5789, Muslim no.2088).

Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

لو لم تُذنِبوا لخشيتُ عليكم ما هو أكبرُ منه العُجبَ

“Andaikan kalian tidak berbuat dosa, aku khawatir kalian terjerumus dalam perkara yang lebih besar dari dosa yaitu ujub” (HR. Al Bazzar no.6936, dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami no.2921).

Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu juga mengatakan:

قال عمر رضي الله عنه: (أخوف ما أخاف عليكم أن تهلكوا فيه ثلاث خلال: شحٌّ مطاع، وهوى متبع، وإعجاب المرء بنفسه)

“Yang paling aku takutkan dari perkara yang bisa membinasakan kalian adalah tiga perkara: sifat pelit yang diikuti, hawa nafsu yang dituruti dan ujub kepada diri sendiri” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, 1/568).

Perbedaan ujub dengan merasa senang dengan ibadah adalah, orang yang ujub menisbatkan kenikmatan dan kelebihan yang ia miliki kepada dirinya. Ini adalah akhlak yang tercela. Adapun orang yang merasa senang ketika bisa menyelesaikan ibadah, ia menisbatkan keutamaan tersebut kepada Allah. Ia meyakini bahwa karena taufik dari Allah lah, ia bisa menyelesaikan ibadah. Sehingga ini adalah akhlak terpuji sebagaimana telah dijelaskan.

  1. Sombong

Adapun sombong, telah didefinisikan maknanya oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sendiri. Dalam hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

لا يَدْخُلُ الجَنَّةَ مَن كانَ في قَلْبِهِ مِثْقالُ ذَرَّةٍ مِن كِبْرٍ قالَ رَجُلٌ: إنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أنْ يَكونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا ونَعْلُهُ حَسَنَةً، قالَ: إنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الجَمالَ، الكِبْرُ بَطَرُ الحَقِّ، وغَمْطُ النَّاسِ

“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun sebesar biji sawi”. Ada orang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, jika seseorang menyukai untuk menggunakan pakaian yang bagus dan sandal yang bagus, apakah itu kesombongan?”. Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan Allah ta’ala mencintai keindahan. Kesombongan itu menolak kebenaran dan merendahkan orang lain (HR. Muslim no.91).

Kesombongan adalah akhlak tercela. Allah ta’ala kabarkan bahwa kesombongan adalah perilaku iblis. Allah ta’ala berfirman:

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُواْ لآدَمَ فَسَجَدُواْ إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ 

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir” (QS. Al Baqarah: 34).

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga menyebutkan bahwa orang yang sombong diancam tidak akan masuk Surga. Dalam hadits yang lain, dari Haritsah bin Wahb Al Khuza’i radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

((ألا أخبركم بأهل الجنَّة؟ كل ضعيف متضاعف؛ لو أقسم على الله لأبرَّه، ألا أخبركم بأهل النَّار؟ كل عتلٍّ، جواظٍ مستكبرٍ)) 

“Maukah aku kabarkan kepada kalian siapa penghuni surga? Yaitu orang-orang yang lemah dan dianggap lemah. Namun jika mereka meminta kepada Allah dengan bersumpah, Allah akan mengabulkannya. Maukah aku kabarkan kepada kalian siapa penghuni neraka? Yaitu orang-orang yang keras, kasar dan sombong” (HR. Bukhari no.4918, Muslim no.2853).

Maka kesombongan adalah akhlak yang tercela yang harus disingkirkan dari diri-diri kita. Wajib bagi kita untuk menerima kebenaran dan tidak menolaknya, serta wajib untuk tidak merendahkan orang lain. 

Namun apa bedanya ujub dengan sombong? Disebutkan oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala (15/395) :

قال أبو وهب المروزي: سألت ابن المبارك: ما الكبر؟ قال: «أنْ تزدري الناس». فسألته عن العجب؟ قال: «أنْ ترى أنَّ عندك شيئًا ليس عند غيرك، لا أعلم في المصلين شيئًا شرًا من العجب»

“Abu Wahab Al Marwazi bertanya kepada Ibnul Mubarak, “Apa itu sombong?” Ibnul Mubarak menjawab, “Sombong adalah merendahkan orang lain.”.

Al Marwazi berkata, “Lalu aku bertanya kepadanya tentang ujub.” Ibnul Mubarak menjawab, “Ujub adalah engkau merasa bahwa engkau memiliki suatu kelebihan yang tidak dimiliki orang lain. Dan aku tidak mengetahui ada keburukan yang terjadi pada orang yang shalat, yang lebih bahaya dari ujub“.

Sebagian ulama mengatakan, ujub itu rukunnya dua: dirinya dan sesuatu yang dibanggakannya. Sedangkan sombong itu rukunnya tiga: dirinya, yang dibanggakannya, orang lain yang menjadi objek sombongnya. 

Maka seseorang bisa terjerumus dalam ujub dalam kesendirian, tidak harus ada orang lain. Sedangkan ketika seseorang ujub dan menampakkan kepada orang lain, itulah kesombongan.

Wallahu a’lamWalhamdulillahi rabbil ‘alamin, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

Referensi: https://konsultasisyariah.com/41003-perbedaan-pamer-riya-ujub-dan-sombong.html

Salah Paham, Makna Sebaik-Baik Bekal Adalah Takwa

Sudah sering kita mendengar tentang sebaik-baik bekal adalah takwa di setiap pengajian yang kita datangi. Orang tua pun akan mengajarkan kepada setiap anaknya tentang sebuah bekal adalah ketakwaan. Namun, apakah memang takwa adalah bekal yang sebenarnya yang harus kita miliki? Kutipan mengenai takwa disampaikan oleh Allah Swt ketika dulu orang-orang Yahudi melaksanakan ibadah haji ke Baitullah di Makkah tanpa membawa bekal apapun. Mereka, berpegang teguh akan keyakinanya kepada Allah Swt, bahwa apabila mereka dalam kesusahan Allah Swt akan menolong. Karena, mereka berprinsip bahwa ibadah haji adalah ibadah untuk Allah Swt. Oleh demikian, mereka merasa cukup dengan tawakkal. Tidak membawa bekal untuk kebutuhan hidup selama perjalanan, pelaksanaan haji, dan perjalanan pulang. Hal tersebut, dijelaskan dalam Qs. Al-Baqarah ayat 197.

اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُ ۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ

Artinya: “(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan,  Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!”

Pemahaman tentang tawakal yang keliru, membuat mereka menjadi peminta-minta kepada para musafir untuk bertahan hidup.  Padahal Allah sangatlah melarang hamba-hambanya untuk menjadi seorang peminta-minta yang tersampaikan dalam Qs. al-Baqarah ayat 273.

لِلْفُقَرَاۤءِ الَّذِيْنَ اُحْصِرُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ ضَرْبًا فِى الْاَرْضِۖ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ اَغْنِيَاۤءَ مِنَ التَّعَفُّفِۚ تَعْرِفُهُمْ بِسِيْمٰهُمْۚ لَا يَسْـَٔلُوْنَ النَّاسَ اِلْحَافًا ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ ࣖ

Artinya: “(Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah, sehingga dia yang tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui.”

Turunya ayat ini, sebagai salah satu balasan dan pemberitahuan kepada orang-orang Yahudi yang melaksanakan Haji dan bertahan hidup dengan cara meminta-minta. Sudah sangat jelas bahwa terdapat kekeliruan terhadap makna sebaik-baik bekal adalah takwa. Memang ketakwaan sangatlah penting, tetapi makna bekal bukan hanya ketakwaan kepada Allah Swt. Tetapi sebaik-baik bekal yang dibawa untuk bertahan hidup itulah disebut ketakwaan. Bahkan, sikap yang tidak membawa bekal dikritik oleh al-Qur’an, kemudian al-Qur’an menegaskan bahwa membawa bekal itu sangat penting. Jadi, yang dimaksud dengan takwa di sini adalah menjaga diri dari hal meminta-minta.

Demikianlah, dalam al-Qur’an Allah Swt menyatakan bahwa sebaik-baik bekal adalah takwa. Maksudnya adalah sesuatu yang dapat membantu orang yang sedang berhaji terjaga dari tindakan meminta-minta. Karena, sesungguhnya meminta-minta adalah tindakan yang merendahkan martabat diri sendiri. Bertakwa merupakan tindakan yang harus dilakukan oleh semua umat manusia kepada Allah Swt, yaitu dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Akan tetapi, pemaknaan tersebut terdapat dalam penjelasan ayat lain, antara lain Qs. al-Imran ayat 102.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah Sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.”

Makna yang sama juga terdapat dalam Qs. at-Taubah ayat 119.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّٰدِقِيْنَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tetaplah bersama orang-orang yang benar!.”

Marilah kita bertawakkal kepada Allah Swt dan menjadi hamba yang dijauhi akan tindakan yang tidak disukai oleh-Nya. Oleh karena itu, makna bekal yang sesungguhnya adalah membawa sesuatu yang tidak membawa kita kepada perilaku meminta-minta. Dengan membawa bekal yang dibutuhkan, itu sudah termasuk perilaku takwa.

ISLAMKAFFAH

Biaya Haji Harus Pertimbangkan Nilai Manfaat Bagi Seluruh Jamaah

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily menyatakan usulan kenaikan biaya haji tahun 2023 agar sesuai dengan prinsip istitha’ah (kemampuan) berhaji, utamanya dalam konteks pembiayaan. Sehingga kemampuan tersebut harus terukur demi keberlangsungan dana haji ke depan. 

“Prinsipnya, kami ingin biaya haji ini dapat terjangkau masyarakat sesuai dengan prinsip istitho’ah atau kemampuan, namun tetap mempertimbangkan sustainibilitas keuangan haji dan keadilan nilai manfaat bagi seluruh jamaah haji,” kata Ace melalui keterangan tertulisnya, Senin (23/1/2023).  

Terkait penggunaan nilai manfaat yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), kata dia, juga perlu diatur agar dapat berkeadilan. Karenanya, nilai manfaat adalah hak seluruh jamaah haji Indonesia, termasuk lebih dari 5 juta jamaah yang masih menunggu antrean berangkat. 

“Kami tidak ingin nilai pokok keuangan dan nilai manfaat jamaah haji tahun depan dan seterusnya terpakai untuk jamaah haji tahun ini. Ini yang kami sedang hitung bersama dengan BPKH,” ujarnya. 

Oleh karena itu, dia meminta BPKH untuk memastikan ketersediaan dana haji yang diperuntukkan sebagai nilai manfaat untuk haji tahun ini. “Pihak BPKH RI sangat penting dalam memastikan biaya haji tahun ini. Besaran nilai manfaat yang diusulkan 30 persen apakah masih mungkin mengalami perubahan komposisi menjadi lebih besar atau tidak,” katanya. 

Lebih lanjut, Ace mengaku komisi VIII masih akan membahas dengan pihak-pihak terkait dalam pembiayaan Haji tahun 2023 pada pekan ini. “Dalam minggu ini, kami akan rapat dengan Dirjen Haji & Umroh, Kementerian Kesehatan RI, pihak maskapai penerbangan, dan PT Angkasa Pura, serta pihak-pihak lain yang terkait dengan layanan haji baik di dalam negeri maupun di Arab Saudi terutama tentu dengan pihak Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) RI,” tutur dia. 

BPIH 2023 ditargetkan rampung pada 13 Februari 2023. Ia berharap BPIH 2023 sudah dapat diputuskan bersama dan telah resmi ditetapkan. “Kami memilki target 13 Februari 2023 ini Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tahun ini bisa diputuskan bersama dan sudah fixed,” tutupnya.

Sebelumnya, Kementerian Agama (Kemenag) mengusulkan rerata biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) tahun 1444 Hijriah/2023 Masehi menjadi Rp 98,89 juta per jamaah, naik Rp 514,88 ribu dibanding tahun lalu. Dari jumlah tersebut, biaya yang perlu ditanggung jamaah mencapai 70 persen atau Rp 69,19 juta per orang. Sementara 30 persen atau Rp 29,7 juta sisanya dibayarkan dari nilai manfaat pengelolaan dana haji.

“Usulan ini atas pertimbangan untuk memenuhi prinsip keadilan dan keberlangsungan dana haji. Formulasi ini juga telah melalui proses kajian,” ujar Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Kamis (19/1/2023).

IHRAM

Teladan, Inilah Kisah Para Ulama Menuntut Ilmu

SAHABAT mulia Islampos, muslim dituntut untuk senantiasa menimba ilmu, sebagaimana ulama-ulama terdahulu. Mereka gigih menuntut ilmu. Siapa dan bagaimana para ulama tersebut menuntut ilmu? Lantas, apa keutamaan menuntut ilmu hingga kedudukannya begitu penting dalam Islam?

Para ulama enggan menyia-nyiakan waktu hidupnya sedikitpun. Mereka gigih dalam menuntut ilmu kendatipun harus menempuh perjalanan yang jauh. Berikut beberapa ulama tersebut:

1. Jabir bin Abdullah

Jabir bin Abdullah sangat tertarik dengan sebuah hadis yang menggambarkan suasana Padang Mahsyar. Ahli hadis terkemuka pada abad ke-1 H itu pun mencoba menelusuri kebenaran sabda Nabi SAW itu. Sayangnya, orang yang meriwayatkan hadis itu telah hijrah dan menetap di Syam (kini Suriah). Padahal, Jabir menetap di Hijaz, sekarang masuk wilayah Arab Saudi.

Periwayat 1.540 hadis itu tak patah semangat. Jarak antara Hijaz dan Syam yang begitu jauh, tak menciutkan tekadnya untuk menelisik kebenaran hadis itu. Jabir lalu membeli sebuah unta. Ia pun mengarungi ganasnya padang pasir demi mencapai Syam. Perjalanan menuju kota itu tak cukup sepekan. Ia menghabiskan waktu selama satu bulan untuk bertemu sahabat Nabi SAW yang meriwayatkan hadis yang ingin diketahuinya.

2. Syekh Ibrahim Al Misr

Syekh Ibrahim Al Misr  tetap menuntut ilmu kendatipun harus menempuh perjalanan dari Mesir ke Madinah untuk mengaji kepada Imam Malik hingga 18 tahun.

3. Imam As Sarkhawi

Imam As Sarkhawi selalu mengikuti kemanapun gurunya yakni Ibnu Hajar al Asqalani. Dia tak mau terlewatkan satu pun fadilah ilmu yang disampaikan gurunya itu.

4. Ali bin al-Hasan bin Syaqiq

Ali sering kali tak tidur di malam hari. Pernah suatu ketika, gurunya, Abdullah bin al-Mubarok,  mengajaknya ber- muzakarahketika malam di pintu masjid. Padahal, saat itu cuacanya sangat tidak bersahabat. Udara dingin menusuk tulang. Ia bersama sang guru berdiskusi sampai waktu fajar tiba, tepat saat muazin mengumandangkan azan.

5. Abdurahman bin Qasim al-Utaqa al-Mishr, sahabat Malik dan Laits

Demi menemukan persoalan dan hendak mencari jawabannya dari Malik bin Anas, Abdurahman bin Qasim kerap mendatangi Malik tiap waktu sahur tiba agar tak kecolongan, Ibnu al-Qasim tiba sebelum waktu sahur. Tak jarang Ibnu al-Qasim membawa bantal dan tidur di depan rumah Malik.

Masih banyak lagi contoh kesungguhan para ulama dalam menuntut ilmu. Lebih lanjut, dalam riwayat lain Rasulullah SAW mengatakan, umat akan terus tegak dalam menjalankan perintah Allah SWT.  Tidak akan ada yang bisa memberikan kemudaratan pada mereka sampai hari kiamat. Ada beragam penjelasan ulama dalam memaknai umat.

Sebagian ulama ada yang menyebut adalah mereka yang berpegang teguh kepada sunnah ajaran Nabi Muhammad SAW.

Sementara itu, Imam Bukhari berpendapat yang dimaksud adalah ahli ilmu. Sedangkan menurut Imam Ahmad kata umat dalam hadits tersebut adalah ahli hadits.

Namun, kebanyakan ulama sependapat dengan Imam Nawawi yang mengatakan bahwa yang dimaksud umat disitu adalah orang-orang mukmin baik itu ahli hadits, ahli fiqih, ahli jihad, ahli zuhud, dan dalam bidang lainnya yang menyebar keberadaannya di tengah orang-orang mukmin lainnya.

Menurut habib Abubakar, orang-orang yang duduk di majelis ilmu telah mendapatkan taufik dari Allah SWT. Artinya Allah SWT menghendaki kebaikan pada orang-orang yang duduk di majelis ilmu sehingga mudah masuk ke dalam surga.

Sementara itu Habib Abubakar mengatakan dalam riwayat lain terdapat hadits yang menerangkan bahwa barangsiapa yang Allah SWT kehendaki mendapatkan kebaikan maka orang itu akan mendapatkan diberikan pemahaman oleh Allah SWT untuk mengerti tentang ilmu agama.

Habib Abubakar mengatakan kebaikan yang dikehendaki Allah SWT pada orang-orang yang mau menuntut ilmu adalah segala macam kebaikan baik itu kebaikan dunia dan akhirat. Maka orang yang memahami ilmu agama tanda dikehendaki Allah  SWT untuk mencapai husnul khatimah. Oleh karena itu dalam riwayat tersebut ditegaskan juga bahwa ilmu itu diperoleh dengan proses belajar atau upaya terus menerus dalam thalabul ilmi.

“Tidak bisa orang dapat ilmu dengan duduk saja, tirakat saja, kemudian nunggu ilmu laduni. Untuk dapat ilmu laduni itu harus belajar dulu. Giat belajar, ngaji nanti diberkan futuh, dibukakan Allah SWT baru diberikan ilmu laduni,” jelas Habib Abubakar Assegaf dalam pengajian rutin di Masjid Agung Al Anwar Kota Pasuruan yang juga disiarkan Sunsal TV media resmi Pondok Pesantren Sunniyah Salafiyah yang dipimpin Habib Taufiq bin Abdul Qodir Assegaf.

Dalam riwayat lainnya, Habib Abubakar menjelaskan bahwa duduknya seorang hamba di majelis ilmu lebih baik dibanding melaksanakan ibadah sunnah selama enam puluh tahun.

Ini menunjukan besarnya keutamaan menuntut ilmu hingga bobot pahalanya lebih besar dari menjalankan ibadah sunah berpuluh-puluh tahun.   []

SUMBER: REPUBLIKA

Jangan Lewatkan Puasa Rajab, Ini Keutamaannya

Amalan utama di bulan Rajab adalah berpuasa sunnah.

Bulan Rajab termasuk bulan yang mulia sebagaimana bulan Dzulka’dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Kemuliaan bulan Rajab juga dipertegas dalam hadits Nabi SAW, “Sesungguhnya zaman berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam setahun terdapat dua belas bulan yang di antaranya terdapat empat bulan yang dihormati, tiga bulan diantaranya berturut-turut Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab Mudhar, yang terdapat di antara bulan Jumadil Tsani dan Sya’ban. (HR. Bukhari dan Muslim).

Muhammad Khatib dalam bukunya Khutbah Jumat Sepanjang Tahun mengatakan Rajab memang bulan mulia, tetapi kemuliaannya tidak berarti apa-apa jika di bulan tersebut tidak diisi dengan amal ibadah. Dalam hal ini, banyak hadits yang menerangkan amalan utama di bulan Rajab adalah berpuasa sunnah.

Orang yang puasa pada hari pertama bulan rajab, maka dihapuslah dosanya setahun yang lalu, berpuasa pada hari kedua akan dihapus dosanya sebulan yang lalu, dan berpuasa pada hari ketiga akan dihapus dosanya seminggu yang lalu.

Diriwayatkan: Apabila Rasulullah SAW memasuki bulan Rajab, maka beliau berdo’a: “Ya, Allah berkahilah kami di bulan Rajab (ini) dan (juga) Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.” (HR. Imam Ahmad, dari Anas bin Malik).

Imam Thabrani meriwayatkan dari Said bin Rasyid, “Barangsiapa berpuasa sehari di bulan Rajab, maka ia laksana berpuasa setahun, bila puasa 7 hari, maka ditutuplah untuknya pintu-pintu neraka jahanam, bila puasa 8 hari, maka dibukakan untuknya 8 pintu surga, dan bila puasa 10 hari, maka Allah akan mengabulkan semua permintaannya.

Abul Fath meriwayatkan secara mursal dari al-Ilasan. Nabi Muhammad saw. bersabda: “Rajab itu bulannya Allah, Sya’ban bulanku, dan Ramadhan bulannya umatku,”

Rasulullah juga bersabda: “Pada malam mi’raj, aku melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis dari madu, lebih sejuk dari air batu dan lebih harum dari minyak wangi, lalu saya bertanya pada Jibril as.: “Wahai Jibril untuk siapakan sungai ini? “Jibril berkata: “Ya Muhammad sungai ini adalah untuk orang yang membaca shalawat untuk engkau di bulan Rajab ini,”

Rajab bulannya Allah…

Itulah keistimewaan bulan Rajab. Jika bulan ini bulannya Allah, maka sudah seharus kita sebagai hamba-Nya turut serta memuliakan Rajab dengan amalan puasa dan amalan-amalan lainnya. Selain itu, Rajab juga bisa disebut bulan persiapan menyambut datangnya bulan Ramadhan.

“Dengan menjalankan amal kebaikan di bulan ini, kita berharap saat Ramadhan tiba, hati dan jiwa kita benar-benar bersih. Sehingga kita bisa khusyu’ dalam menjalankan ibadah,” kata Muhammad Khatib.

Rajab juga bulan yang dekat dengan bulan Ramadhan. Antara Rajab dan Ramadhan hanya dipisahkan dengan Sya’ban. Di antara kebiasaan para ulama dahulu, mereka menyiapkan diri menyambut bulan Ramadhan sejak Rajab.

Bulan Rajab adalah bulan mulia karena di dalamnya terjadi peristiwa agung yaitu Isra’ Mi’raj. Kebanyakan para ulama memperkirakan peristiwa itu terjadi pada 27 Rajab.

Isra’ Mi’raj adalah perjalanan luar biasa. Melalui peristiwa itu Rasulullah mendapatkan perintah sholat lima waktu. Jika perintah yang lain diturunkan kepada Rasulullah melalui malaikat Jibril, Khusus perintah sholat lima waktu ini, Rasulullah dipanggil langsung oleh Allah.

“Maka sepatunya, di bulan Rajab ini kita memperbaiki kualitas sholat kita. Marilah kita jadikan sholat sebagai ibadah utama, karena ibadah ini merupakan ibadah sentral, dan menjadi kunci diterimanya ibadah-ibadah lainnya,” kata Muhammad Khatib.

KHAZANAH REPUBLIKA

Arti dan Keutamaan Bulan Rajab dalam Islam

Umat Islam diminta menjauhi kemaksiatan di bulan Rajab.

Hari ini, Senin (23/1/2023) bertepatan dengan 1 Rajab 1444 Hijriyah dalam penanggalan atau kalender Hijriyah. Rajab merupakan bulan ketujuh, yaitu sebelum masuk bulan Sya’ban dan setelah bulan Jumada at-Tsaniyah.

Dilansir dari Elbalad, dinamakan bulan Rajab karena bangsa Arab pada masa lalu, ‘yarjibuuna’ atau melepaskan mata pisau dari tombaknya, sebuah tindakan yang menjadi simbol pengharaman perang. Umat Islam juga meyakini Rajab adalah salah satu bulan yang istimewa sehingga sangat dianjurkan untuk memuliakan bulan ini dengan berbagai amalan baik.

Bulan ini juga diyakini sebagai salah satu bulan yang disebutkan dalam Alquran.

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ

Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.” (QS. At Taubah:36).

Rajab dalam tradisi Arab bahkan disebut juga dengan berbagai nama yang sebutannya hingga 14, yaitu Syahrullah (bulan Allah), Rajab, Rajab Mudar, Mansal Al-Asna’, Al-Asam, Al-Asab, Manfas, Muthahhar, Ma’ali, Muqeem, Hurum, Maqqash, Mubari’, Fard, dan lainnya.

Namun dalam pandangan Muslim, Rajab adalah bulan istimewa, yaitu satu dari empat bulan suci Allah SWT yang oleh Allah dan Rasul-Nya dilarang hal-hal seperti berburu dan hal-hal lain yang telah diatur dalam Alquran. Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk tidak menghinakan dan menzalimi diri mereka sendiri di empat bulan haram (suci) yang salah satunya adalah Rajab.

Anggota Dewan Tertinggi untuk Urusan Islam Mesir Syekh Khaled Al-Jundi juga mengimbau umat untuk menjauhi kemaksiatan, terutama pada bulan ini. Hal ini karena perbuatan dosa hukumannya dilipatgandakan.

“Manfaatkan bulan Rajab, itu adalah salah satu bulan suci pertama, yaitu dosa digandakan dan hukumannya ditambahkan, Alquran mengatakan, ‘Janganlah kamu menganiaya dirimu di dalamnya’,” katanya.

Lembaga Fatwa Mesir Dar Iftaa juga menegaskan bulan Rajab adalah salah satu bulan istimewa dalam Islam. Terlepas dari diskusi tentang berbagai hadist dengan kategori atau derajat mulai dari sahih, dhaif hingga maudhu’. Hal ini dikuatkan dengan firman Allah SWT di surat at Taubah ayat 36 dan hadist sahih Nabi SAW pada momen Haji Wada.

KHAZANAH REPUBLIKA

Doa dan Amalan agar Anak Dijauhkan dari Perbuatan Zina

Kasus pencabulan dan pemerkosaan hampir tiap hari terjadi. Tak hanya dialami perempuan dewasa, tidak sedikit juga yang menimpa anak-anak.

Kejadian itu tentu sangat mengkhawatirkan para orang tua. Mereka kini dituntut untuk lebih peduli dan memperhatikan perkembangan serta pergaulan anak-anaknya.

Terlebih di era digital seperti saat ini yang semuanya bisa diakses dengan mudah dan cepat dalam satu sentuhan.

Karena itu, diperlukan usaha keras dari orang tua untuk mendidik dan memerhatikan anak-anaknya agar terhindar dan tidak terjerumus dalam perbuatan zina.

Selain dengan berusaha, orang tua juga perlu berdoa memohon perlindungan-Nya. Berikut bacaan doa agar anak terhindar dari perbutan zina yang dikutip iNews.id dari berbagai sumber:

Allahumma inni a’uzu bika min syarri sam’i wa min syarri bashori wa min syarri lisani wa min syarri qolbi wa min syarri maniyyi.

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari buruknya pendengaranku, buruknya penglihatanku, buruknya lidahku, dan dari buruknya hatiku serta buruknya air maniku.”

Doa lain yang perlu dipanjatkan agar anaknya terhindar dari maksiat dan zina adalah sebagai berikut.

“Allahummaghfir zanbahu, wa tohhir qalbahu, wa hassin farjahu (Ya Allah ampunkanlah dosanya, bersihkanlah/ sucikanlah hatinya –dari memikirkan sesuatu maksiat— dan jagalah kemaluannya dari melakukan zina,” (HR. Ahmad).

Selain doa tersebut, ada amalan lain agar anak terhindar dari perbuatan zina.

Dikutip dari Syaikh Ad Dairobiy bahwa sunah untuk dibacakan pada telinga anak, surat Inna Anzalnahu (QS. Al Qadr).

Sebab orang yang melakukan ini, Allah tidak akan menakdirkan dia zina sepanjang hidupnya.

Bagi anak yang baru lahir dari rahim ibunya, selain dibacakan azan pada telinga kanan dan iqamah di telinga kiri juga perlu dibacakan surat al-Qadr pada telinga bagian kanan.

Wallahu a’lam

INEWS

Lemahnya Agama, Penyebab Munculnya Pergaulan Bebas

Lemahnya agama menjadi salah satu penyebab pergaulan bebas, cara menghindarinya yaitu mendekatkan diri dengan agama, menjaga aurat, dan menjaga batasan laki-laki dan perempuan

ZAMAN sekarang kata pergaulan bebas tidak asing lagi dalam masyarakat. Namun, tidak sedikit masyarakat yang mengeluhkan masalah ini.

Pergaulan bebas adalah sesuatu yang menyimpang dari norma agama dan keluar dari aturan-aturan agama. Contohnya seperti seks bebas, meminum-minuman beralkhohol, tawuran, merokok, dan  mengonsumsi obat-obatan terlarang.

Dalam hukum Islam itu sendiri, pergaulan bebas adalah salah satu hal yang dilarang oleh agama. Hal ini karena memiliki dampak yang sangat besar terhadap diri dan suatu masyarakat.

Tentu saja Allah tidak akan melarang sesuatu yang tidak memiliki dampak terhadap manusia. Apalagi jika dampak tersebut buruk atau menyesatkan, tentu sudah pasti diharamkan dan sangat dilarang.

Bahkan melakukannya berarti keji karena sudah diberi akal namun tidak digunakan untuk memahaminya.

Rasulullah ﷺ bersabda:

لِأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمَخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لَا تَحِلُّ لَهُ

“Sesungguhnya andai kepala seseorang ditusuk dengan jarum yang terbuat dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal atau bukan mahram.” (HR: Ath-Tabrani)

Dalam hadis di atas sangat jelas larang bersentuhan antara pria dan wanita yang bukan mahram, bahkan di analogikan lebih baik kepala ini di tusuk jarum yang panas daripada bersentuhan dengan wanita yang bukan mahram.

Sekarang kita lihat, bagaimana perilaku pemuda kita yang melakukan pergaulan bebas, mereka sudah tidak segan segan untuk berpegangan bahkan melakukan hal hal yang di luar batas

Remaja-remaja di era milenial ini juga tidak sedikit yang terjerat dari pergaulan bebas. Bahkan, tidak hanya remaja saja yang masuk kedalam pergaulan bebas, orang-orang yang sudah dewasa pun banyak dimasuk kedalam pergaulan bebas.

Pergaulan bebas sendiri bisa jadi, menjadi hal yang menyenangkan dan membahagiakan bagi sebagian orang atau masyarakat. Ia tidak dipenuhi dan direpotkan oleh berbagai aturan yang mengekang dan juga harus diterapkan oleh dirinya.

Faktor penyebab yang mempengaruhi pergaulan bebas ini ada banyak. Seperti lemahnya iman, masalah dalam rumah yang membuat seseorang itu biasanya menjadi stres dan mencari pelampiasan di luar, kurangnya nilai-nilai agama, kurang tegasnya orang tua dalam menasehati, rendahnya kesadaran diri dari seseorang, atau biasanya juga karena anak tersebut broken home, terkadang orang tua mereka sudah tidak memperdulikan mereka lagi.

Terkadang faktor pertemanan juga bisa menjerumuskan kita ke dalam pergaulan bebas. Bagi mereka yang terjerumus dalam pergaulan bebas tersebut kadang mereka puas akan hal itu, karena mereka merasa dengan hal ini lah mereka bisa tenang walaupun mereka tau akan resiko yang sangat besar jika masuk ke dalamnya.

Pergaulan bebas ini juga mempunyai dampak yang menimbulkan kerugian untuk orang-orang yang melakukannya. Munculnya perzinahan akibat sekss bebas, biasanya seseorang akan menyesal ketika sudah mendapatkan dampak dari apa yang telah mereka lakukan.

Rusaknya moralitas, aturan-aturan kebenaran universal dan Islam tetapkan tidak akan dilakukan oleh orang-orang yang bergaul secara bebas.

Pergaulan bebas akan mengedepankan kepada hawa nafsu dan kesenangan pribadi. Pergaulan bebas yang tidak mengenal batas tersebut akan membuat manusia menjadi hilang kendali dan tidak dilingkupi oleh nilai-nilai islam yang membawa pada fitrah.

Cara menghindari pergaulan bebas ini sendiri bisa dengan menjaga aurat, menjaga batasan antara laki-laki dan perempuan. Boleh saja jika laki-laki dan perempuan berinteraksi, tetapi sewajarnya saja tetap ada batasan-batasannya.

Lalu bisa juga dengan memperbanyak ibadah, mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bergaul dengan orang-orang yang positif.

Intinya kita harus bisa menahan hawa nafsu yang nantinya akan menjerumuskan kita kedalam hal yang negatif, kita juga harus memperkuat iman kita lagi agar tidak mudah goyah. Selalu bersholawat, dzikir, dan selalu mengingat Allah dimanapun kita berada.

Oleh karna itu, marilah kita selalu mendekatkan diri kepada Allah, perbaiki ibadah kita, rajinlah bersedekah, memilih pertemanan yang sehat, dan jangan lupa senantiasa membaca Al-Qur’an.

InsyaAllah, hati akan bersih dan kita akan terhindar dari bisikan syaithon-syaithon yang pada akhirnya akan menjerumuskan ke dalam dosa besar.*

Sapna Adzhani | Mahasiswi dari Universitas Muhammadiyah Pro.Dr.HAMKA

HIDAYATULLAH