Amalan Bulan Rajab dari Imam Ghazali 

Tak terasa, kini sudah memasuki bulan Rajab lagi. Tentunya kita harus berupaya untuk meningkatkan porsi ibadah kita, agar supaya nanti di bulan Ramadan aktivitas kita rutin diisi dengan ibadah. Imam Al Ghazali dalam salah satu kitabnya menjelaskan amalan bulan Rajab, yang mana faedahnya itu sangat besar, yaitu kelak di kuburan ia akan mendapatkan teman.

Dalam Kitab Mukasyafat Al-Qulub halaman 255, karya Imam Ghazali:

وَحُكِيَ أَنَّ امْرَأَةً فِيْ بَيْتِ الْمَقْدِسِ كَانَتْ تَقْرَأُ كُلَّ يَوْمٍ مِنْ رَجَبٍ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ اِثْنَتَيْ عَشْرَةَ أَلْفَ مَرَّةٍ وَكَانَتْ تَلْبَسُ الصُّوْفَ فِيْ شَهْرِ رَجَبٍ فَمَرِضَتْ وَأَوْصَتْ اِبْنَهَا أَنْ يَدْفِنَ مَعَهَا صُوْفَهَا فَلَمَّا مَاتَتْ كَفَّنَهَا فِيْ ثِيَابٍ مُرْتَفِعَةٍ فَرَآهَا فِيْ مَنَامِهِ تَقُوْلُ لَهُ أَنَا عَنْكَ غَيْرُ رَاضِيَةٍ لِأَنَّكَ لَمْ تَعْمَلْ بِوَصِيَّتِيْ فَانْتَبَهَ فَزِعًا وَأَخَذَ صُوْفَهَا لِيَدْفِنَهُ مَعَهَا فَنَبَشَ قَبْرَهَا فَلَمْ يَجِدْهَا فِيْهِ فَتَحَيَّرَ فَسَمِعَ نِدَاءً أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ مَنْ أَطَاعَنَا فِيْ رَجَبٍ لَا نَتْرُكُهُ فَرْدًا وَحِيْدًا

Diceritakan, bahwa ada seorang wanita di Baitul Maqdis. Dia membaca surat Qul Huwallahu Ahad setiap hari 12000 kali di bulan Rajab,  Dan di bulan Rajab tersebut ia mengenakan pakaian kasar yang terbuat dari bulu kambing.

Pada suatu ketika dia jatuh sakit dan berwasiat pada anak laki-lakinya, apabila dia meninggal supaya dikubur bersama pakaian tersebut. Namun ketika ibunya meninggal, si anak mengkafani jenazah ibunya dengan pakaian yang mahal.

Syahdan, si anak bermimpi melihat ibunya berkata padanya: “Wahai anakku, aku tidak ridha kepadamu, karena kamu tidak melaksanakan wasiat ku”

Maka si anakpun kaget dan terbangun dari tidurnya. Ia cepat-cepat mengambil pakaian ibunya untuk ia kubur bersama ibunya.

Lalu ia pun menggali kembali kuburan ibunya, namun dia tidak mendapati ibunya di dalam kuburnya. Dia pun bingung sekali, tiba-tiba mendengar suara: “Tidaklah engkau tahu, bahwa barang siapapun yg taat kepada kami di bulan Rajab maka tidak akan kami tinggalkan sendirian di dalam kuburnya”.

Silahkan diamalkan, mari kita isi bulan Rajab ini dengan beribadah. Semoga Allah swt menyempatkan kita untuk menemui bulan Ramadhan, dan amal ibadah kita diterima oleh-Nya. Amin ya robb

Keterangan ini disyarikan dari kitabnya Imam Ghazali yang berjudul Mukasyafat Al Qulub  halaman  255. Demikian amalan bulan rajab dari Imam Ghazali. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Serial Fikih Muamalah (Bag. 15): Mengenal Khiyar Majelis dan Pengaruhnya terhadap Akad Jual Beli

Di antara aturan dasar Islam mengenai jual beli yang harus diperhatikan baik oleh penjual maupun oleh pembeli adalah hak khiyar. Dalam bisnis, khiyar menjadi panduan agar kedua belah pihak tidak mengalami kerugian atau penyesalan setelah berlangsungnya sebuah akad transaksi, misalnya kerugian yang berkaitan dengan barang ataupun harga yang telah disepakati.

Lalu, apa itu khiyar?

Merujuk ke dalam bahasa Arab, kata ‘khiyar’ merupakan bentuk masdar dari kata kerja ‘Al-Ikhtiyar’ yang artinya dalam bahasa kita, memilih dan menyaring.” [1]

Sedangkan menurut istilah ahli fikih, khiyar maknanya adalah “hak orang yang melangsungkan sebuah akad untuk memilih dan menentukan bagi dirinya sesuatu yang terbaik antara dua hal: meneruskan akad perjanjian atau membatalkannya.”

Dalam fikih Islam, hak khiyar memiliki beragam rupa dan bentuk. Di antaranya ada yang disepakati akan keabsahannya dan kebolehannya dan di antaranya juga ada yang masih diperselisihkan hukumnya.

Doktor Abdul Sattar Abu Ghadah telah mengumpulkan pembahasan mengenai khiyar ini dalam salah satu jurnal ilmiah karyanya. Jurnal inilah yang menjadi acuan kita di dalam mengenal dan mempelajari beragam macam khiyar pada pembahasan fikih muamalah kita ke depannya.

Pembahasan khiyar kita, hanya kita cukupkan pada empat macam khiyar yang paling penting dan berpeluang besar terjadi pada sebagian besar bentuk akad yang ada. Dan itu karena melihat besarnya kebutuhan manusia akan keempat macam hak khiyar ini. Keempatnya adalah: khiyar majelis, khiyar syarat, khiyar penglihatan, dan khiyar cacat/aib.

Hak khiyar pertama: khiyar majelis

Apa itu khiyar majelis?

Khiyar majelis merupakan khiyar yang ditetapkan dan diakui oleh syariat Islam, meskipun salah satu dari pihak yang melangsungkan akad tidak menyaratkannya. Tujuannya adalah menegakkan keadilan di antara manusia dan menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara mereka serta mencegah terjadinya kerugian dan bahaya bagi seseorang.

Pengertian khiyar majelis adalah: “Tetapnya dan adanya hak memilih bagi kedua pihak yang melangsungkan akad untuk meneruskan perjanjian akad atau membatalkannya, (hal ini berlangsung) selama keduanya masih berada di dalam majelis (tempat) yang sama dan belum berpisah badan.

Saat seorang penjual dan pembeli bersepakat untuk melangsungkan sebuah akad jual beli dalam sebuah tempat, akad tersebut belumlah menjadi lazim selama keduanya masih berada di dalam satu tempat (majelis) yang sama. Boleh bagi salah satu dari keduanya untuk menarik kata-katanya dan membatalkan akad. Adapun jika majelis akad tersebut telah selesai dengan berpisahnya kedua belah pihak, maka sudah tidak ada lagi hak membatalkan akad (khiyar) bagi kedua orang yang melangsungkan akad tersebut dan akadnya pun menjadi akad lazim [2].

Khiyar hanya berlaku pada akad-akad yang berhubungan dengan tukar-menukar harta, baik itu akad jual beli maupun akad sewa menyewa. Khiyar ini tidak berlaku pada akad-akad selainnya.

Akad nikah misalnya, maka tidak ada khiyar di dalamnya menurut kesepakatan ulama. Sehingga, mereka yang melangsungkan akad nikah, maka tidak memiliki hak untuk membatalkan akad tersebut meskipun masih di dalam majelis akad yang sama.

Mazhab ahli fikih dalam menetapkan khiyar majelis

Para ulama berbeda pendapat mengenai penetapan adanya khiyar majelis menjadi dua pendapat:

Pendapat pertama: ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat akan adanya khiyar majelis bagi pihak penjual maupun pembeli selama keduanya masih berapa dalam majelis (tempat) akad yang sama. Mereka berdalil dengan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

الْبَيِّعانِ بالخِيارِ ما لَمْ يَتَفَرَّقا، فإنْ صَدَقا وبَيَّنا بُورِكَ لهما في بَيْعِهِما، وإنْ كَذَبا وكَتَما مُحِقَ بَرَكَةُ بَيْعِهِما.

“Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyar (pilihan untuk melangsungkan atau membatalkan jual beli) selama keduanya belum berpisah. Apabila keduanya jujur dan menampakkan dagangannya, maka keduanya diberkahi dalam jual belinya. Namun, apabila keduanya menyembunyikan dan berdusta, maka akan dihapus keberkahan jual beli keduanya.” (HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532)

Khiyar yang dimaksudkan di dalam hadis adalah khiyar majelis, dan perpisahan yang dimaksudkan di dalam hadis adalah berpisahnya badan keduanya sebagaimana hal ini dikemukakan juga oleh sabahat Ibnu Umar dan Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhuma. Hal ini juga dikuatkan dengan hadis,

ما لم يتفرَّقا وكان جميعًا

“Selama keduanya belum berpisah dan mereka masih bersama-sama (satu majelis).” (HR. Bukhari no. 2112 dan Muslim no. 1531)

Pendapat kedua: para ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa khiyar majelis tidaklah ada, baik itu bagi penjual maupun pembeli. Sebuah akad menjadi lazim hanya dengan munculnya ucapan akad (ijab dan kabul) dari kedua pihak dan selesainya mereka dari akad mereka. Dalil mereka adalah,

Pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِۗ 

“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji.” (QS. Al-Ma’idah: 1)

Mereka yang tidak jadi melangsungkan sebuah akad, meskipun itu dilakukan sebelum bepisahnya badannya dengan orang yang ia ajak bertransaksi, maka ia terhitung tidak memenuhi janji.

Kedua: Dalil hadis yang digunakan oleh pendapat pertama,

الْبَيِّعانِ بالخِيارِ ما لَمْ يَتَفَرَّقا…

“Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyar (pilihan untuk melangsungkan atau membatalkan jual beli) selama keduanya belum berpisah…” (HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532)

Oleh Hanafiyah mereka maknai dengan khiyar qabul dan buka khiyar majelis. Bagaimana penjelasannya?

Ketika salah satu pihak mewajibkan sesuatu pada sebuah akad, pihak lainnya memiliki hak khiyar qabul. Jika ia berkehendak, maka ia boleh menerima apa yang ditawarkan oleh pihak pertama tersebut. Jika pun ia berkehendak untuk menolaknya, maka itu juga diperbolehkan. Jual beli tersebut tidaklah terwujud dan menjadi sah, kecuali pihak kedua menerima kewajiban ataupun tawaran yang diberikan oleh pihak pertama.

Mereka juga memaknai ‘perpisahan’ di dalam hadis dengan ‘selesainya ucapan’, yaitu apabila pihak pertama mewajibkan atau menawarkan sesuatu, lalu kemudian pihak kedua menolaknya, ataupun ketika pihak pertama menarik tawaran (kewajiban) yang yang ia tawarkan tersebut sebelum pihak kedua menyatakan persetujuannya.

Adapun Malikiyyah, maka mereka memaknai khiyar pada hadis tersebut dengan khiyar syarat (bukan khiyar majelis).

Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat pertama karena pendapat ini menetapkan adanya khiyar majelis berdasarkan hadis yang telah kita sebutkan.

Hukum hadis ini tidaklah terangkat ataupun terhapus (sebagaimana yang diyakini pendapat kedua) karena menghukumi sesuatu itu terhapus atau terangkat tidak bisa hanya dengan sebuah praduga, sedangkan masih sangat dimungkinkan untuk menggabungkan hadis khiyar majelis dengan dalil-dalil lainnya tanpa adanya rasa susah dan berat.

Pengaruh khiyar majelis terhadap sebuah akad

Khiyar majelis mempengaruhi jenis akad yang dilakukan oleh seseorang. Sebelum saling berpisahnya badan kedua orang yang melangsungkan sebuah akad, maka akadnya masih berupa akad jaiz [3] dan bukan akad lazim. Artinya, masih dimungkinkan bagi keduanya untuk membatalkan akad yang telah mereka sepakati tersebut.

Sedangkan dengan adanya hak khiyar (yang berlangsung dari awal terjadinya akad sampai saling berpisahnya badan kedua orang yang melangsungkan akad), maka ketika keduanya telah benar-benar berpisah, akadnya otomatis berubah menjadi akad lazim. Tidak diperkenankan untuk membatalkan akad tersebut, kecuali dengan adanya persetujuan dan kesepakatan kedua belah pihak.

Kapan berakhirnya khiyar majelis?

Pada asalnya, khiyar majelis berlangsung sampai saling berpisahnya kedua orang yang melaksanakan akad. Akan tetapi, bisa jadi sebuah khiyar majelis berakhir sebelum kedua orang tersebut saling berpisah, hal itu terjadi karena beberapa sebab berikut:

Pertama: Memilih untuk menyetujui sebuah akad atau meneken kontrak dengan kesepakatan akan tidak adanya hak khiyar. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

المُتَبايِعانِ كُلُّ واحِدٍ منهما بالخِيارِ علَى صاحِبِهِ ما لَمْ يَتَفَرَّقا، إلَّا بَيْعَ الخِيارِ

“Setiap dua orang yang melakukan transaksi jual beli, maka tidak ada transaksi (yang melazimkan) di antara keduanya sampai keduanya berpisah, kecuali jual beli dengan khiyar (penentuan pilihan dari awal).” (HR. Bukhari no. 2111 dan Muslim no. 1531)

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

“Jika dua orang telah melakukan transaksi jual beli, maka salah satu dari keduanya boleh melakukan khiyar selagi belum berpisah, atau keduanya boleh melakukan khiyar (dari awal). Jika keduanya telah menyepakati khiyar tersebut, maka jual beli telah sah. Ibnu Abu Umar menambahkan dalam riwayatnya, Nafi’ mengatakan, ‘Apabila Ibnu Umar bertransaksi dengan seseorang, kemudian dia tidak mau membatalkan transaksinya, maka berdiri dan berjalan pelan-pelan, lalu kembali kepadanya.’” (HR. Muslim no. 1531)

Contohnya bagaimana?

Misalnya salah satu pihak yang melangsungkan akad mengatakan, “Aku rida dengan akad transaksi ini dan aku membatalkan atau tidak memerlukan hak khiyar-ku.” Lalu, pihak kedua menjawab, “Aku pun demikian.”

Bisa juga hal ini terjadi karena adanya persyaratan yang memang sudah maklum terjadi di sebuah masyarakat, di mana mereka memang mempraktikkannya dalam kehidupan jual beli sehari-hari mereka. Karena ada kaidah yang berbunyi,

“Sesuatu yang sudah menjadi urf (kebiasaan) (sebuah masyarakat), maka itu layaknya persyaratan yang diakui.”  

Kedua: Menggunakan dan memanfaatkan nilai tukar barang dengan bentuk pemanfaatan khusus yang menunjukkan kepemilikan, seperti membeli sesuatu dengannya atau memberikannya. Jika seorang penjual sudah terlanjur memanfaatkan dan menggunakan uang tukar hasil jual beli yang ia lakukan, maka jual belinya tersebut menjadi lazim, tidak ada lagi hak khiyar baginya.

Ketiga: Meninggalnya salah satu dari kedua pihak yang melangsungkan akad menjadikan hak khiyar berakhir menurut mazhab Hanabilah. Hak khiyar ini tidak dapat berpindah kepada ahli waris, karena kematian merupakan bentuk berpisah yang paling nyata (antara penjual dan pembeli). Oleh karena itu, jika salah satu dari keduanya meninggal dunia, akad yang mereka lakukan menjadi lazim.

Wallahu a’lam bisshawab

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/82420-serial-fikih-muamalah-bag-15.html

Saat Futur Melanda

Bertambah dan berkurangnya iman adalah bagian dari sunatullah atas makhluk-Nya, yaitu manusia. Nikmat nafsu dan akal yang menjadi pembeda antara manusia dan makhluk lainnya menunjukkan kesempurnaan ciptaan Allah.

Iman yang berkurang, populer dengan sebutan futur. Futur dipahami dengan arti kemalasan, suka menunda, tidak bergairah, dan bersemangat untuk melakukan berbagai kebaikan, khususnya ibadah-ibadah sunah yang disyariatkan.

Futur merupakan hal biasa dialami oleh siapa pun. Tetapi, bayangkan jika kita terus menerus dalam keadaan futur. Adakah jaminan, jika tanpa segera memperbaharui iman (dengan meningkatkan ketaatan kepada Allah), kita kemudian tidak terjerumus dalam level futur paling rendah, bahkan jatuh kepada kekufuran? Wal’iyadzubillah

Tantangan futur

Mari kita renungkan sejenak. Ketika futur melanda, rasanya memang untuk melaksanakan kewajiban saja cukup berat. Konon lagi hal-hal yang sunah. Contoh, melakukan salat sunah rawatib terasa berat, puasa Senin-Kamis seperti sulit sekali, bahkan untuk berzikir yang hanya dengan gerakan mulut pun kita seakan tak sanggup melakukannya.

Oleh karenanya, sebagai seorang mukmin kita tidak boleh membiarkan hal ini terus terjadi. Saat-saat seperti inilah, godaan setan yang mengancam keutuhan iman kita bisa datang dari berbagai arah.

Jangan hanya menunggu hidayah itu datang, tetapi jemputlah hidayah itu. Allah Ta’ala berfirman dalam sebuah hadis qudsi,

يا عبادي كلُّكم ضالٌّ إلَّا من هديتُه ، فاستهدوني أهدِكُ

“Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua adalah tersesat, kecuali yang Aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku akan memberimu petunjuk.”

(HR. Muslim, No 2577. Dari Abi Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu)

Pelajaran dari orang-orang terdahulu

Belajar dari orang-orang terdahulu, sebagian besar dari mereka ketika tidak ada niat, tekad, dan ikhtiar untuk menggapainya, maka hidayah itu pun tak kunjung datang hingga ajal menjemput.

Meskipun orang-orang di sekitarnya berupaya semaksimal mungkin mengarahkan mereka kepada keimanan yang kokoh dan mengajak mereka dengan susah payah untuk bangkit dari kefuturan. Namun, ketika individu tersebut pada dasarnya tidak memiliki niat, tekad, dan ikhtiar untuk kembali meniti jalan ilahi, tentu hidayah itu akan semakin sulit didapat.

Saudaraku, lihatlah! Betapa dekatnya hubungan antara anak dan ayah, seperti Habil bin Adam ‘alaihissalam, Kan’an bin Nuh ‘alaihissalam, dan Ibrahim ‘alaihissalam bin Azar. Atau antara suami dan istri, seperti halnya Walilah istri Nabi Luth ‘alaihissalam. Serta, kedekatan antara seorang keponakan dan paman, seperti antara Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sang paman Abu Talib.

Begitu dekatnya mereka dengan para Rasul shalawatullah ‘alaihim. Tetapi, hidayah tak kunjung mereka dapatkan. Bahkan, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pun tidak punya kuasa untuk memberikan hidayah kepada paman yang dicintainya.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّكَ لَا تَهۡدِی مَنۡ أَحۡبَبۡتَ وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ یَهۡدِی مَن یَشَاۤءُۚ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِینَ

“Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.(QS. Al-Qasas: 56)

Di zaman ini, tak jarang pula kita jumpai orang-orang yang dulunya dikenal dengan kesalehannya dan ketaatannya, tapi tak disangka ia pun berubah dan justru kini menjadi terbiasa melakukan kemaksiatan dan kemungkaran. Wal’iyadzubillah.

Kekufuran bermula dari kefuturan

Saudaraku, sungguh kita tidak tahu takdir yang telah ditetapkan Allah Ta’ala atas kita dalam lauh mahfudz-Nya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فوالَّذي لا إلَهَ غيرُهُ إنَّ أحدَكُم ليعملُ بعملِ أَهْلِ الجنَّةِ حتَّى ما يَكونُ بينَهُ وبينَها إلَّا ذراعٌ ثمَّ يسبِقُ علَيهِ الكتابُ فيُختَمُ لَهُ بعملِ أَهْلِ النَّارِ فيدخلُها ، وإنَّ أحدَكُم ليعملُ بعملِ أَهْلِ النَّارِ حتَّى ما يَكونَ بينَهُ وبينَها إلَّا ذراعٌ ثمَّ يسبِقُ علَيهِ الكتابُ فيُختَمُ لَهُ بعملِ أَهْلِ الجنَّةِ فيَدخلُها

“Demi Allah, Zat yang tidak ada sesembahan yang hak, selain Dia. Sesungguhnya salah seorang dari kalian, benar-benar beramal dengan amalan penduduk jannah (surga) sehingga jarak antara dia dengan jannah itu tinggal sehasta. Namun, dia didahului oleh al-kitab (catatan takdirnya) sehingga dia beramal dengan amalan penduduk neraka, maka dia pun masuk ke dalamnya. Dan sungguh, salah seorang dari kalian beramal dengan amalan penduduk neraka hingga jarak antara dia dengan neraka tinggal satu hasta. Namun, dia didahului oleh catatan takdir, sehingga dia beramal dengan amalan penduduk jannah, maka dia masuk ke dalamnya.” (HR. Tirmidzi, No. 2137, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)

Hadis di atas semakin meyakinkan kita bahwa tiada seorang hamba pun yang tahu dan bisa menjamin akhir amalannya dan tempatnya di akhirat.

Maka, renungkanlah! Orang yang mulanya terbiasa beramal saleh saja bisa jadi di akhir hidupnya justru ia kembali melakukan kemaksiatan yang mengantarkannya ke neraka, konon lagi orang yang terbiasa dengan pelanggaran syariat Allah.

Dan yang pasti, kembalinya seseorang kepada kemaksiatan dari ketaatan bermula dari kefuturan yang diremehkan yang lama kelamaan menjadi kekufuran. Wal’iyadzubillah.

Oleh karenanya, yang harus kita yakini bahwa seseorang akan dimudahkan dengan amalannya. Maka, biasakanlah diri untuk melakukan amalan saleh. Tatkala futur melanda, mohonlah pertolongan kepada Allah Ta’ala dan berikhtiarlah semaksimal mungkin untuk mempertahankan ketaatan dan menghindari kemaksiatan.

Teruslah beramal

Perhatikanlah hadis dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Suraqah bin Malik bin Ju’syum datang dan berkata,

“Wahai Rasulullah, berikanlah penjelasan kepada kami tentang agama kami, seakan-akan kami baru diciptakan sekarang. Untuk apakah kita beramal hari ini? Apakah itu terjadi pada hal-hal yang pena telah kering dan takdir yang berjalan, ataukah untuk yang akan datang?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ: لَا، بَلْ فِيمَا جَفَّتْ بِهِ الْأَقْلَامُ وَجَرَتْ بِهِ الْمَقَادِيرُ

“Bahkan, pada hal-hal yang dengannya pena telah kering dan takdir yang berjalan.”

Ia bertanya, “Lalu apa gunanya beramal?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اعْمَلُوا، فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ

“Beramallah kalian, karena masing-masing dimudahkan (untuk melakukan sesuatu yang telah ditakdirkan untuknya).” (HR. Muslim, No. 2648)

Ikhtiar bangkit dari futur

Pertama: Memohon pertolongan dan petunjuk dari Allah

Maka dari itu, kita mesti menyadari bahwa hal yang pertama dan utama sekali kita lakukan tatkala futur melanda adalah berdoa memohon pertolongan kepada Allah agar diberikan hidayah. Inilah makna bahwa hidayah memang harus dijemput dengan doa.

Karena semestinya segala urusan yang kita ikhtiarkan sepatutnya kita gantungkan pada pertolongan dari Allah Ta’ala sebagaimana doa zikir pagi yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Fatimah radhiyallahu ‘anha berikut,

يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًا

“Wahai Rabb Yang Mahahidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri (tidak butuh segala sesuatu), dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekali pun sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dari-Mu).” (HR. Ibnu As-Sunni, No. 46)

Sungguh paripurna syariat yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam ini. Kita pun diajarkan bagaimana berdoa memohon pertolongan kepada Allah agar diberikan petunjuk dan hidayah sebagaimana doa yang tersurat dalam Al-Qur’an. Allah berfirman,

رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

“Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu, dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami.” (QS. Al Kahfi: 10)

Kedua: Berupaya semaksimal mungkin istikamah dalam kebaikan

Setelah berdoa dan memantapkan niat, kita pun berikhtiar untuk selalu istikamah dalam mempertahankan keimanan dan ketakwaan kita. Meski futur melanda, setidaknya untuk amalan/ ibadah wajib, kita tidak tinggalkan seberat apapun itu. Begitu pula terhadap kemaksiatan, kita tidak lakukan semenarik apapun itu.

Sungguh berarti nasihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

اتَّقِ اللَّهَ حيثُ ما كنتَ ، وأتبعِ السَّيِّئةَ الحسنةَ تمحُها ، وخالقِ النَّاسَ بخلقٍ حسنٍ

”Bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di mana pun engkau berada. Iringilah kejelekan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapusnya (kejelekan). Dan pergaulilah manusia dengan pergaulan yang baik.” (HR. Tirmidzi, No. 1987 dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu)

Ketiga: Melazimkan zikrullah di setiap waktu

Melakukan amalan ringan, tetapi timbangannya berat, yaitu zikrullah. Saat futur melanda, amalan sunah yang paling mudah dilakukan adalah zikrullah. Karena berzikir tidak membutuhkan energi fisik, kecuali gerakan mulut yang melantunkan kalimat-kalimat Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

فَٱذْكُرُونِىٓ أَذْكُرْكُمْ وَٱشْكُرُوا۟ لِى وَلَا تَكْفُرُونِ

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku”. (QS. Al-Baqarah: 152)

Saudaraku, saat futur melanda, tidak ada yang kita butuhkan selain Allah Ta’ala. Oleh karena itu, yang kita butuhkan adalah bagaimana agar Allah Ta’ala ingat dengan kita lagi. Tidak ada cara lain agar mendapatkan perhatian Allah selain zikrullah.

Maka, biasakanlah untuk berzikir sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Berzikir dalam setiap aktivitas, mulai dari bangun pagi dengan membaca zikir/ doa, salat fajr dengan rawatib-nya, zikir pagi, dan berbagai amalan zikir sesuai sunah dalam setiap kegiatan yang kita lakukan.

Di antara kalimat zikir yang ringan diucapkan, tetapi berat dalam timbangan dan dicintai oleh Allah adalah sebagaimana hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ، ثَقِيلَتَانِ فِى الْمِيزَانِ ، حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ

“Dua kalimat yang ringan di lisan, namun berat dalam timbangan (amalan) dan dicintai oleh Ar-Rahman, yaitu subhanallahi wa bihamdih, subhanallahil ‘azhim (Mahasuci Allah, segala pujian untuk-Nya. Mahasuci Allah Yang Mahamulia).” (HR. Bukhari, No. 6682 dan Muslim, No. 2694)

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Fauzan Hidayat

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/82485-saat-futur-melanda.html

3 Fakta Hijrah Nabi dari Mekkah ke Madinah

ADA beberapa fakta hijrah Nabi yang sangat menarik untuk dibahas.

Saat ini, sebagian umat Islam, ketika mendengar kata hijrah atau peristiwa hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mekah ke Madinah, menganggapnya sebagai suatu perpindahan biasa, layaknya migrasi penduduk dengan segala kerepotannya. Padahal tidaklah semudah itu. Ini adalah perjuangan yang besar.

Bentuk perlawanan terhadap kaum musyrikin Mekah bahkan Jazirah Arab secara umum. Kehilangan nyawa sebuah resiko yang begitu terpapar di depan mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamdan para sahabatnya.

Hijrah bukanlah melarikan diri. Hijrah adalah persiapan membekali diri untuk kehidupan akhirat. Karena itulah, Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ ثُمَّ قُتِلُوا أَوْ مَاتُوا لَيَرْزُقَنَّهُمُ اللهُ رِزْقًا حَسَنًا وَإِنَّ اللهَ لَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ * لَيُدْخِلَنَّهُمْ مُدْخَلاً يَرْضَوْنَهُ وَإِنَّ اللهَ لَعَلِيمٌ حَلِيمٌ

“Dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, kemudian mereka di bunuh atau mati, benar-benar Allah akan memberikan kepada mereka rezeki yang baik (surga). Dan sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki. Sesungguhnya Allah akan memasukkan mereka ke dalam suatu tempat (surga) yang mereka menyukainya. Dan sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Hajj: 58-59).

BACA JUGA: Perlindungan Allah bagi Rasulullah dan Abu Bakar ketika Hijrah

Ditambah lagi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam barulah berhijrah tatkala sebagian sahabatnya telah berangkat menuju Madinah. Hal ini semakin menguatkan bahwa hijrah bukanlah bentuk melarikan diri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh lebih mementingkan keselamatan dan keamanan umatnya dibanding keselamatan dirinya.

Inilah jiwa seorang pemimpin. Seorang nahkoda bukanlah orang yang pertama meninggalkan kapal saat ia akan karam. Ia akan menjadi yang terakhir keluar setelah memastikan awak dan penumpangnya selamat terlebih dahulu. Tidaklah tersisa di Mekah kecuali Rasulullah, Abu Bakar, dan Ali bin Abi Thalib sebagai orang-orang yang paling akhir menempuh perjalanan.

Ada beberapa hal yang bisa dicermati dari peristiwa hijrah:

Fakta Hijrah Nabi yang Pertama, hijrahnya umat Islam secara menyeluruh terjadi setelah pintu dakwah sudah tertutup di Mekah.

Hijrah ke Madinah bukanlah hijrah yang pertama dialami umat Islam. Sebelumnya sebagian sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempuh dua kali hijrah ke negeri Habasyah. Kesempatan untuk berdakwah di Mekah begitu kecil atau bahkan tertutup. Mengapa tertutup? Karena orang-orang kafir Quraisy berencana untuk membunuh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah wafatnya paman beliau, Abu Thalib, tiga tahun sebelum hijrah. Saat itulah, strategi hijrah mulai disusun oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sejak mula, dakwah di Mekah memang sudah sulit. Namun Allah Ta’ala tidak memerintahkan Rasul-Nya untuk berhijrah. Hingga akhirnya pintu tersebut mulai dirasa begitu rapat, barulah Allah perintahkan Rasul-Nya dan umat Islam untuk berhijrah. Dari sini kita bisa mengambil pelajaran yang begitu mendalam, ketika pintu dakwah masih terbuka walaupun dirasa sulit, maka kita hendaknya berusaha mengajak orang-orang kepada kebenaran.

Fakta Hijrah Nabi yang Kedua, saat seluruh umat Islam melakukan hijrah, maka Madinah yang dipilih menjadi tujuan, bukan Habasyah.

Kota tujuan hijrah bisa saja bukan Kota Madinah jika Bani Syaiban atau Bani Hanifah atau Bani Amir beriman. Namun Allah Ta’ala menginginkan Madinah seabgai tempat hijrah Nabi-Nya. Kultur masyarakat Madinah yang merupakan bangsa Arab, tidak jauh berbeda dengan masyarakat Mekah sehingga para sahabat tidak begitu kesulitan untuk beradaptasi.

Jaminan keamanan di Madinah pun lebih besar dibandingkan di Habasyah. Di Habasyah, hanya An-Najasyi yang beriman, jika ia wafat, maka keselamatan kaum muslimin kembali terancam. Selain itu, terbentuknya negara Islam lebih besar peluangnya di Madinah dibanding Habasyah.

Fakta Hijrah Nabi yang Ketiga, umat Islam diperintahkan menuju tempat yang sama untuk berhijrah.

Dalam syariat hijrah kali ini. Komunitas umat Islam Mekah diperintahkan menuju daerah yang satu bukan dibebaskan menuju daerah manapun yang mereka inginkan. Banyak sekali faidah dari hal ini.

Di antaranya kebersamaan dan kekeluargaan tetap terjaga. Keselataman lebih terpelihara dibandikan satu orang menuju satu negeri lainnya. Lebih mudah beradaptasi. Keimanan juga terjaga dengan berkumpulnya mereka dengan orang-orang beriman lainnya. []

Sumber: Kisah 25 Nabi dan Rasul dilengkapi Kisah Sahabat, Tabiin, Hikmah Islam, Rasulullah, wanita shalihah/ kajian Islam 2

ISLAMPOS

Penipuan Umroh Kembali Mencuat, Ini Beberapa Kiat Aman Pilih Travel Menurut Ketum Sapuhi

Kasus penipuan jamaah umroh kembali terjadi di Indonesia. Untuk menghindari hal ini, Ketua Umum Syarikat Penyelenggara Umroh dan Haji (Sapuhi) Syam Resfiadi mengimbau agar jamaah umroh lebih berhati-hati dalam memilih pihak travel atau agen perjalanan.

Dia pun membagikan sejumlah cara agar calon jamaah umroh tidak tertipu pihak travel. Salah satunya, jangan terlalu percaya pada pribadi seseorang. 

“Pertama, jangan terlalu percaya pada pribadi orang. Maksudnya, pastikan orang tersebut betul pemilik travel atau cabang resmi dari travel umroh PPIU,” ujar dia saat dihubungi Republika.co.id, Sabtu (4/2/2023).

Kedua, harus dicek dan dicari informasi apakah travel tersebut memiliki izin menyelenggarakan umroh atau tidak. 

Lalu, cari rekomendasi dari kerabat dan saudara, yang bisa memberikan testimoni tentang travel yang akan dipilih. 

Tujuan dari meminta rekomendasi ini adalah untuk mengecek rekam jejak dari sebuah Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umroh (PPIU). Apakah sudah pernah melakukan perjalanan umroh atau belum. 

Berkaitan dengan hal tersebut, Syam mengimbau agar calon jamaah lebih berhati-hati jika menemukan PPIU baru. “Ini tanpa bermaksud memihak. Pilihlah travel yang sudah exist, bukan yang baru-baru,” lanjutnya. 

Baca juga: Mualaf Prancis William Pouille, Kecintaannya kepada Arab Saudi Mengantarkannya ke Islam

Terakhir, calon jamaah umroh diminta untuk mendatangi langsung kantor PPIU, sebelum meneruskan pemesanan atau melakukan pembayaran. 

Cara ini dinilai sebagai langkah untuk lebih memastikan nformasi yang didapat sebelumnya. Termasuk juga melihat jelas dokumen-dokumen atau izin yang dimiliki pihak travel tersebut. 

Tidak hanya itu, Syam juga mengingatkan calon jamaah untuk tidak menyerahkan dokumen pribadi sebelum benar-benar pasti mendaftar. Hal ini juga berlaku untuk proses pembayarannya. 

“Nah langkah terakhir, datangi kantornya. Sebelum benar-benar mendaftar, jangan serahkan dokumen dan pembayaran kepada selain pihak travelnya,” katanya.   

IHRAM

Lima Amalan dengan Pahala Setara Ibadah Haji

Calon jamaah haji senantiasa diberi ujian kesabaran oleh Allah SWT. Setelah di 2020 dan 2021 keberangkatan haji dari Indonesia harus ditunda, begitupun tahun 2022 harus dibatasi 50 persen sekaligus dengan pembatasan usia maksimal 65 tahun.

Kembali lagi di 2023 jamaah haji diperkirakan harus kembali bersabar dikarenakan adanya kenaikan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Pembimbing Ibadah Haji Taqwa Tours Ustadz Rafiq Jauhary mengingatkan agar jangan terlalu larut dalam kesedihan, jika memang bekal untuk berangkat di 2023 belum terpenuhi sehingga harus kembali menunda keberangkatan.

1. Menjalankan umrah di bulan Ramadhan

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda kepada seorang perempuan dari kaum Anshar,

مَا مَنَعَكِ أَنْ تَحُجِّي مَعَنَا ؟ قَالَتْ : لَمْ يَكُنْ لَنَا إِلَّا نَاضِحَانِ [بعيران] ، فَحَجَّ أَبُو وَلَدِهَا وَابْنُهَا عَلَى نَاضِحٍ ، وَتَرَكَ لَنَا نَاضِحًا نَنْضِحُ عَلَيْهِ [نسقي عليه] الأرض ، قَالَ : فَإِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فَاعْتَمِرِي ، فَإِنَّ عُمْرَةً فِيهِ تَعْدِلُ حَجَّةً

“Apa yang menghalangimu berhaji bersama kami umat Islam?” ia menjawab, “Kami tidak memiliki kendaraan kecuali hanya dua ekor unta. Satu  ekor telah digunakan oleh putra dan bapaknya berhaji, dan satu lagi harus digunakan untuk mengairi tanaman.” Rasulullah memberikan solusi, “Jika Ramadhan tiba, hendaknya kamu melakukan umrah, karena umrah di bulan Ramadhan berpahala setara haji.” (HR Bukhari dan Muslim)

2. Membiayai haji untuk orang lain (badal haji)

Terkhusus untuk seorang muslim yang telah menjalankan haji dan hendak melakukan haji lagi, atau ia hendak berhaji namun terhalang karena faktor kesehatan maka ia masih dapat memiliki kesempatan berhaji dengan cara membiayai haji untuk orang lain.

Dalam sebuah kisah ketika seseorang hendak menunaikan wasiat orangtuanya untuk membebaskan budak, maka Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّهُ لَوْ كَانَ مُسْلِمًا فَأَعْتَقْتُمْ عَنْهُ أَوْ تَصَدَّقْتُمْ عَنْهُ أَوْ حَجَجْتُمْ عَنْهُ بَلَغَهُ ذَلِكَ

“Sesungguhnya apabila ia adalah seorang muslim kemudian kalian membebaskan budak untuknya atau bersedekah untuknya atau berhaji untuknya, maka hal tersebut sampai kepadanya.” (HR. Abu Daud: 2497)

3. Menjaga shalat isyraq

Dari Anas bin Malik dia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ

“Barangsiapa yang shalat Subuh berjamaah kemudian duduk berdzikir sampai matahari terbit yang dilanjutkan dengan shalat dua rakaat, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala haji dan umrah.” Dia (Anas ra) berkata, Rasulullah bersabda: “Sempurna, sempurna, sempurna.” (HR. at-Tirmidzi: 535)

4. Mengikuti taklim

Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لَا يُرِيدُ إِلَّا أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يَعْلَمَهُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ تَامًّا حِجَّتُهُ

“Barangsiapa berangkat ke masjid, tidak ada yang ia inginkan kecuali untuk mempelajari satu kebaikan atau mengetahui ilmunya, maka ia akan mendapatkan pahala haji yang sempurna.”

[HR. Ath-Thobarani dalam Al-Kabir dan Al-Hakim dari Abu Umamah radhiyallahu’anhu, Shahihut Targhib: 86]

5. Menjaga shalat berjamaah di masjid

Dari Yahya bin Al-Harits dari Al-Qasim, Abu Abdurrahman dari Abu Umamah bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda: 

مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ مُتَطَهِّرًا إِلَى صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْحَاجِّ الْمُحْرِمِ، وَمَنْ خَرَجَ إِلَى تَسْبِيحِ الضُّحَى لَا يَنْصِبُهُ إِلَّا إِيَّاهُ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْمُعْتَمِرِ، وَصَلَاةٌ عَلَى أَثَرِ صَلَاةٍ لَا لَغْوَ بَيْنَهُمَا كِتَابٌ فِي عِلِّيِّينَ

“Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dalam keadaan suci untuk melaksanakan shalat wajib, maka pahalanya seperti pahala orang yang haji yang sedang ihram, dan barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melaksanakan shalat Dhuha, dia tidak mempunyai niat kecuali itu, maka pahalanya seperti orang yang sedang umrah. Dan menunggu shalat hingga datang waktu shalat yang lain yang tidak ada main-main di antara keduanya, maka pahalanya ditulis di ‘Iliyyin.”(HR. Abu Daud: 471).

IHRAM

Bagaimana Seorang Muslimah Bergaul Dengan Rekan-Rekan Yang Tidak Berjilbab?

Soal:

Saya memiliki beberapa rekan wanita yang saya kenal baik. Saya dekat dengan mereka, sebagai sahabat dan teman biasa. Mereka tidak berjilbab. Mereka seringkali mencoba untuk mempengaruhi diri saya dengan obrolan mereka yang simpang siur dan tidak punya arah. Kebiasaan mereka adalah berjalan-jalan ke night club atau pantai. Hanya sedikit sekali waktu yang mereka sisakan untuk Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku mengajak mereka berbicara dengan menyebut firman Allah atau sabda Nabi, mereka justru menggelari saya sebagai “Sang Guru yang mulia”. Itu yang membuat diri saya tidak mau berbicara dengan mereka. Apakah sikap saya itu keliru? Bagaimana caranya saya dapat membimbing mereka ke jalan yang benar? Perlu dimaklumi, bahwa saya tidak dapat meninggalkan mereka.

Jawab:

Beliau –hafizhahullāh– menjawab: “Kalau kondisi Anda dengan rekan-rekan Anda sebagaimana yang Anda ceritakan, berpegang-teguhlah pada ajaran Allah dan petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Berupayalah menasihati mereka dan menyeru mereka melakukan kebajikan dan mencegah mereka melakukan kemungkaran. Serta bersabar terhadap gangguan mereka yang menimpa diri Anda. Jangan sampai gangguan mereka itu menyebabkan Anda meninggalkan kewajiban Anda untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar. Karena yang demikian itu adalah sunnatullah terhadap para da’i dan objek dakwah mereka, sebagaimana yang Allah ceritakan tentang ucapan Lukman kepada anaknya:

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَةَ وَأْمُرْ بِالمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ المُنْكَرِ وَاصْبِرْ  عَلَى مَآ أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأُمُوْرِ

Wahai anakku, dirikanlah shalat, menyerulah kepada kebajikan dan cegahlah kemungkaran, seta bersabarlah terhadap gangguan yang menimpamu; sesungguhnya itu adalah perkara yang meneguhkan..” (Q.S Lukman: 17)

Kalau yang demikian sudah Anda coba berulang-ulang, ternyata tidak juga dapat mempengaruhi mereka, atau malah menyebabkan mereka semakin tenggelam dalam dosa, maka hindarilah mereka, untuk menghindari petaka yang lain, yakni melemahnya iman Anda sendiri dan berkurangnya akhlak Anda. Atau dikhawatirkan mereka akan bersikap jelek kepada Anda, sehingga terjadi hal yang tidak diinginkan.

Bersikap jujurlah di hadapan Allah, niscaya itu cukup bagi Anda. Jangan merasa gundah karena berpisah dengan mereka. Karena kesendirian itu lebih baik daripada berteman dengan orang-orang yang jahat.

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

… Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, akan Allah berikan kepadanya jalan keluar. Dan akan berikan kepadanya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, itu cukup baginya. Sesungguhnya Allah telah mengetahui urusannya. Sesungguhnya segala sesuatu itu telah Allah tetapkan ukurannya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)

(Dari Fatwa Lajnah Da-imah XII: 365-366)

***

Diketik ulang dari buku “Fatwa-fatwa Kontemporer” yang disusun oleh Syaikh Shalih Al Munajjid, hal 108-110.

© 2023 muslimah.or.id
Sumber: https://muslimah.or.id/8516-bagaimana-seorang-muslimah-bergaul-dengan-rekan-rekan-yang-tidak-berjilbab.html

Mengenal Beberapa Ulama Hadis Mutaqaddimin (Bag. 2)

Thalq bin Habib Al-Anazi

Thalq bin Habib Al-Anazi (wafat sebelum 100H) adalah seorang tokoh dari kalangan tabiin yang berasal dari Bashrah. Beliau dikenal sebagai perawi hadis, ahli zuhud, dan juga ahli ibadah. Perkataan emas yang dikenal dari beliau sampai sekarang adalah definisi beliau tentang takwa. Beliau juga dikenal sebagai orang yang utama dalam birrul walidain (berbakti kepada orang tua).

Tidak hanya itu, Thawus bin Kaisan mengatakan tentangnya, “Belum pernah aku melihat orang yang suaranya lebih bagus dari Thalq bin Habib dalam membaca Al-Qur’an, yang lebih mencerminkan rasa takut kepada Allah.”

Beliau meriwayatkan hadis dari Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, Abdullah bin Zubair, dan para sahabat, serta ulama tabiin lainnya. Di antara muridnya adalah Manshur bin Mu’tamar, Sulaiman bin Mihran, Ayyub As Sikhtiyani, dan nama-nama besar lainnya. Ia perawi hadis yang tsiqah, namun juga dikenal memiliki pemahaman irja’ (murji’ah). Thalq bin Habib wafat di Makkah karena sakit. Namun, sebagian ahli sejarah mengatakan ia dibunuh. Semoga Allah Ta’ala merahmati beliau dan mengampuni dosa-dosanya.

Salim bin Abdillah

Salim bin Abdullah bin Umar bin Khathab Al-Quraisy Al-Aday Al-Madani (wafat 106 H) adalah seorang ulama tabiin yang merupakan cucu dari khalifah Umar bin Khathab dan anak dari Abdullah bin Umar radhi’allahu ‘anhuma. Beliau lahir di Madinah. Beliau dibesarkan di bawah asuhan ayahnya yang alim, zuhud, ahli ibadah, paling semangat mengikuti sunnah, serta mewarisi tabiat dan akhlak Umar bin Khathab. Selain dari ayahnya, Salim juga belajar dari para ulama di kalangan sahabat Nabi seperti Ayyub Al-Anshari, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Abu Lubadah, Abu Rafi’ radhiallahu’anhum. Wajar bila dalam waktu yang tidak terlalu lama, beliau dikukuhkan sebagai seorang alim, tokoh di kalangan tabiin, dan salah satu ahli fikih yang menjadi tempat bertanya bagi kaum muslimin di Madinah tentang agama dan tentang persoalan dunia. Lebih dari itu, kerap kali para pejabat meminta saran dan pendapat beliau ketika menghadapi masalah. Muhammad Sa’id berkata, “Salim adalah seorang ulama yang banyak hadis, seorang yang tinggi ilmunya, dan seorang yang wara‘.”

Abdullah bin Dzakwan Al-Qurasyi

Abu Abdirrahman Abdullah bin Dzakwan Al-Qurasyi Al-Madani (wafat 130H) adalah seorang tabiin dari Madinah. Beliau belajar dari Aban bin Utsman, Sa’id bin Al-Musayyab, dan Asy Sya’bi. Di antara murid beliau adalah Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Uyainah, dan Al-A’masy. Beliau adalah salah satu perawi hadis Al-Bukhari dan Muslim. Beliau dikenal sebagai seorang imam dan seorang faqih, banyak meriwayatkan hadis, ahli bahasa Arab, dan sangat fasih bahasanya. Termasuk ahli ijtihad. Beliau juga dikenal sebagai orang yang cerdas dalam berlogika.

Zaidah bin Qudamah Ats-Tsaqafi

Zaidah bin Qudamah Ats-Tsaqafi (wafat 161H), disebut juga Abu Shalt Al-Kufi. Salah satu ulama kibar dari kalangan tabi’ut tabi’in yang berasal dari Kufah. Beliau adalah seorang imam ahlussunnah, al-hafizh dalam hadis, dan seorang mujahid. Di antara guru beliau adalah Ziyad bin ‘Ilaqah, Abu Ishaq As-Sabi’i, Simak bin Harb, Sulaiman At-Taimi, dan banyak lagi dari kalangan tabiin. Beliau dikenal kekokohannya dalam berpegang pada sunnah, hampir semua ulama menyebutnya “Shahibus Sunnah”. Sampai-sampai ia tidak meriwayatkan hadis dari ahlul bid’ah sama sekali. Bahkan, Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Mutatsabbitun (ulama yang sangat kokoh manhajnya) ada empat: Sufyan, Syu’bah, Zuhair, dan Zaidah.” Beliau banyak menulis hadis, juga menulis tentang ilmu qiraah, tafsir, dan juga ilmu zuhud (akhlak). Beliau wafat pada peperangan di Rum. Semoga Allah Ta’ala merahmati beliau.

Laits bin Sa’ad Al-Qalqasyandi

Laits bin Sa’ad bin Abdirrahman Al-Fahmi Al-Qalqasyandi (wafat 175H) adalah seorang ulama ahli hadis dan ahli fikih dari Mesir. Ia lahir di Qalqasyandah, suatu daerah di Mesir. Beliau adalah seorang ulama mujtahid di masanya, dan digelari Syaikhul Islam. Karena keluasan ilmunya, ia memiliki banyak murid dan pengikut sehingga terbentuklah mazhab Laitsi. Namun, kitab-kitab dari Laits dan juga murid-muridnya tidak populer dan tidak menyebar luas, kecuali fatwa-fatwa dari Laits. Sehingga mazhab Laits tidak sepopuler empat mazhab fikih.

Di antara guru beliau adalah Nafi’,  Yazid bin Abi Habib, Yahya bin Said Al-Anshari, Abu Rabbah bin Said, Hisyam bin Urwah, dan Atha’ bin Abi Rabah.

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah mengatakan, “Laits bin Sa’ad memiliki ilmu yang banyak dan hadis-hadis yang sahih.” Yahya bin Bukair mengatakan, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih sempurna dari Laits bin Sa’ad.” Ia juga mengatakan, “Laits adalah seorang ahli fikih, bahasanya fasih, menguasai Al-Qur’an, nahwu, dan menghafal syair-syair, hadis, dan baik dalam mengulang-ulang ilmu.”

Laits juga dikenal dengan keteguhannya mengikuti sunnah, dan jauh dari taqlid kepada pendapat individu. Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Al-Laits bin Sa’ad lebih teguh dalam mengikuti atsar dari pada Malik bin Anas.”

Dari Sa’id bin Maryam, dia berkata, “Aku mendengar Al-Laits bin Sa’ad berkata, ‘Aku telah meriwayatkan selama delapan puluh tahun. Meskipun demikian, aku tidak pernah tergoda untuk condong kepada orang-orang yang mengikuti hawa nafsu (berbuat bid’ah).”

Al-Humaidi

Abdullah bin Zubair bin Isa Al-Humaidi (wafat 219H). Beliau adalah ulama syafi’iyyah yang merupakan murid langsung dari Imam Asy-Syafi’i. Beliaulah yang membawa dan mengembangkan mazhab Syafi’i ketika di Makkah, sehingga beliau diangkat menjadi mufti Makkah. Beliau juga salah seorang guru yang paling masyhur dari Imam Al-Bukhari. Imam Al Bukhari sendiri mengatakan, “Al-Humaidi adalah imam dalam hadis.”

Qalun

Isa bin Mina bin Wirdan (wafat 220H), lebih dikenal sebagai Qalun. Seorang ulama di bidang Qira’at Al-Qur’an dan salah satu rawi dari qira’at sab’ah. Ia mendapatkan gelar Qalun yang dalam bahasa Romawi berarti baik karena ia sangat baik dalam membaca qira’at Al-Qur’an. Qira’at Qalun dari Nafi’ adalah salah satu riwayat qira’ah yang mutawatir. Qalun selain mengambil qira’at dari Nafi’ Al-Madani, beliau juga berguru kepada gurunya Nafi’ yaitu Abu Ja’far Al-Madany. Qalun mempelajari ilmu qira’at tidak kurang selama 20 tahun. Di antara murid-murid Qalun adalah: Ibrahim bin Qalun, Ahmad bin Qalun, Ibrahim bin Husain Al-Kisa’i.

Sahnun

Abu Sa’id Abdussalam Sahnun bin Sa’id bin Habib At-Tanukhi (wafat 240H), dikenal dengan sebutan Imam Sahnun. Lahir di Qairuwan, menjadi salah satu ulama besar Mazhab Maliki yang berasal dari Maghrib (Afrika). Kitab yang merupakan karya beliau yang fenomenal adalah Al-Mudawwanah Al-Kubra, salah satu kitab fikih rujukan mazhab Maliki.

Ya’qub bin Ishaq Al-Isfarayini

Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim bin Yazid Al-Isfarayini (wafat 316H), dikenal dengan Abu ‘Awwaanah Al-Isfarayini, nisbat kepada tempat lahirnya di Isfarayin di Naisabur. Beliau penulis kitab Mustakhraj Abu Awwanah atau dikenal juga dengan Shahih Abu Awwanah. Abu ‘Awwanah telah melakukan perjalanan panjang untuk mempelajari hadis Nabi. Ia belajar hadis dari para ulama di Khurasan, Iraq, Hijaz, Tihamah, Yaman, Syam, Persia, Asfahan, dan Mesir. Maka, tidak heran juga guru-guru beliau adalah ulama besar kenamaan seperti: Imam Muslim bin Hajjaj, Ad-Darimi, Abu Zur’ah Ar-Razi, Abdullah bin Ahmad bin Hambal, Ali Ath-Tha’i, Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli, dll. Beliau bermazhab Syafi’i dan dikenal sebagai yang pertama kali mengajarkan mazhab Syafi’i di Isfarayin.

Al-Ajurri

Abu Bakr Muhammad bin Al-Husein bin Abdillah Al-Baghdadi Al-Ajurri (wafat 320H), dikenal dengan sebutan Al-Ajurri. Beliau berasal dari sebuah desa di bagian barat kota Baghdad yang bernama Darbal Ajur. Beliau lahir dan tumbuh di sana. Sebagian ulama menyatakan beliau bermazhab Syafi’i, namun sebagian lagi menyatakan Hambali.

Beliau penulis kitab Asy-Syari’ah yang masyhur. Al-Ajurri juga merupakan guru dari Abu Nu’aim Al-Ashbahani. Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala’ berkata tentang Imam Al-Ajurri, “Dia seorang imam, muhadits (ahli hadis), panutan, syaikh di Al-Haram, shaduq, ‘abid (ahli ibadah), shahibus sunan (penulis kitab sunan), dan ahli ittiba’ (pengikut sunnah Rasul).” Ibnul Jauzi dalam kitab As-Shafwatus Shafwah mengatakan, “Dia tsiqah, taat beragama, alim, dan banyak menulis karya.”

Wallahu a’lam.

[Bersambung]

***

Penulis: Yulian Purnama, S.Kom.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/82407-mengenal-beberapa-ulama-hadits-mutaqaddimin-bag-2.html

Mengenal Beberapa Ulama Hadis Mutaqaddimin (Bag. 1)

Al-Imam Adz-Dzahabi dalam kitab Mizanul I’tidal (1: 4), menjelaskan bahwa ulama yang hidup di masa sebelum tahun 300-an Hijriah sampai awal-awal 300 Hijriah, disebut sebagai ulama mutaqaddimin. Adapun para ulama yang hidup setelahnya, disebutkan sebagai ulama muta’akhirin.

Para ulama mutaqaddimin memiliki keutamaan dan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh para ulama setelahnya. Masa hidup mereka tentunya lebih dekat dengan masa kenabian, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ’alaihi wasallam,

خير الناس قرني ، ثم الذين يلونهم ، ثم الذين يلونه

“Sebaik-baik manusia adalah yang ada pada zamanku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka.” (HR. Bukhari no. 3651 dan Muslim no. 2533)

Pada artikel ini, kita akan mengenal secara ringkas, biografi beberapa nama ulama mutaqaddimin dan biografi ringkas mereka.

Al-Khathib Al-Baghdadi

Ahmad bin Ali bin Tsabit Al-Baghdadi (wafat 100H), terkenal dengan Al-Khatib Al-Baghdadi. Beliau adalah penduduk kota Darzijan sebelah barat daya Baghdad. Sejak sebelas tahun, beliau sudah memulai perjalanan menuntut ilmu. Baghdad, Bashrah, Syam, Isfahan, dan Naisabur pernah ia singgahi dalam rangka menuntut ilmu. Beliau sangat menonjol dalam bidang hadis, ilmu rijal (perawi hadis), dan tarikh (sejarah). Karya tulis beliau sangat benyak, mencapai 500 lebih. Kitab tarikh yang masyhur karya beliau adalah kitab Tarikh Baghdad. Tulisan beliau dalam bidang hadis juga banyak, di antaranya yang masyhur adalah Al-Kifayah Fii ‘Ilmil Riwayah.

Amir bin Syurahil

Amir bin Syurahil bin ‘Abdi Dzi Kibar Asy-Sya’bi (wafat 104H), masyhur dengan sebutan Asy-Sya’bi. Beliau seorang ulama tabiin yang terkemuka, seorang imam, penghafal hadis, dan ahli dalam bidang fikih. Beliau lahir pada pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Beliau meriwayatkan hadis dari Ali bin Abu Thalib, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Aisyah, Ibnu Umar, dan lain-lainnya. Beliau mengendalikan pengadilan Kufah beberapa lama masanya. Fatwa-fatwanya telah berkembang di masa sahabat sendiri. Hal ini menunjukan bahwasanya beliau mempunyai ilmu yang luas dalam bidang hadis dan fikih. Ibnu Sirin pernah berkata kepada seseorang, ”Tetaplah engkau bersama Asy-Sya’bi, aku melihat bahwa beliau telah berfatwa di kala para sahabat Nabi masih banyak jumlahnya.”

Thawus bin Kaisan

Thawus bin Kaisan Al-Yamani (wafat 106H), seorang tabiin dari negeri Yaman. Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa nama aslinya adalah Dzakwan, sedangkan Thawus adalah laqob (julukan). Sangat dikenal keberanian dan ketegasannya dalam memberi nasihat dan meluruskan kesalahan. Sehingga beliau banyak disegani oleh kaum muslimin termasuk para raja dan khalifah. Beliau berjumpa dengan banyak sahabat Nabi shallallahu ‘alahi wasallam, bahkan banyak mengambil ilmu dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Kefakihannya tidak perlu dipertanyakan. Telah lahir banyak nama besar dari didikannya, sebut saja Atha bin Abi Rabah, Amr bin Dinar, Mujahid bin Jabr, dan Wahb bin Munabbih.

Nafi’ bin Hurmuz

Nafi’ bin Hurmuz (wafat 117 H), dikenal dengan Abu Abdillah Al-Madini. Sebagian ulama berpendapat bahwa Nafi’ berasal dari Naisabur, sedangkan ulama lain mengatakan ia dari Kabul. Nafi’ adalah pembantu dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang sangat senang dengan ilmu dan hadis. Nafi’ meriwayatkan hadis dari Abu Sa’id Al-Khudri, ‘Aisyah, dan Hafshah radhiyallahu ‘anhum. Imam Malik bin Anas rahimahullah termasuk murid Nafi’ bahkan muridnya yang paling lama. Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah mengirimnya ke Mesir dengan tugas mengajarkan hadis dan pengetahuan agama kepada penduduk negeri itu.

Utsman bin ‘Ashim

Utsman bin ‘Ashim bin Hushain Al-Kufi (wafat 127H), dikenal dengan Abu Hushain, seorang tabiin dari Kufah. Beliau meriwayatkan hadis dari Ibnu ‘Abbas, Abu Sa’id Al-Khudri, Ibnu Zubair, dan Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhum. Beliau seorang imam dan Al-Hafidz. Kealimannya disegani para ulama tabiin. Pernah Asy-Sya’bi, seorang ulama besar di kalangan tabiin, ketika masuk ke masjid di Kufah, ia bertanya dahulu, “Adakah Abu Hushain di dalam? Kalau ada mari kita duduk di majelis beliau.” Beliau juga dikenal dengan sikap wara‘-nya. Pernah sebagian pejabat menghadiahi beliau 2000 dirham ketika beliau sedang mencari nafkah, namun hadiah tersebut ditolak. Ketika muridnya bertanya alasannya, beliau menjawab, “Karena malu dan menjaga kemuliaan.” Walau beliau seorang alim yang disegani, kadang jika beliau ditanya suatu masalah agama, beliau menjawab, “Saya tidak tahu, wallahu’alam.”

Sa’id bin Abi ‘Arubah

Sa’id bin Abi ‘Arubah (wafat 156H), dari kota Bashrah (sekarang bagian dari Irak). Seorang imam, Al-Hafidz, dan ulama besar di masanya. Beliau adalah murid dari Ibnu Sirin dan Qatadah. Di antara yang mengambil ilmu darinya adalah Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah, dan Yahya bin Sa’id Al-Qathan. Sebagian ahli sejarah mengatakan beliaulah yang pertama kali menghimpun hadis dalam bentuk kitab sunan. Yang menakjubkan dari beliau adalah hafalannya, sampai-sampai Abu Awwanah mengatakan, “Di antara kami tidak ada yang lebih kuat hafalannya dari beliau di kala itu.”

Waki’ bin Al-Jarrah

Waki’ bin Al-Jarrah bin Malih bin ‘Adi Al-Kufi (wafat 197H), ulama besar dari Kufah. Beliau mendengarkan hadis dari Hisyam bin ‘Urwah, Sulaiman Al-A’masy, Al-Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri, dan Ibnu ‘Uyainah. Di antara murid beliau adalah Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad. Imam Ahmad memuji beliau, ”Belum pernah aku melihat seorang ulama yang dalam hal ilmu dan hafalan sanad sehebat Waki’. Dia menghafal hadis, mendalami fikih dan ijtihad. Dia tidak pernah mencela seseorang.”

Oleh karena itu, Imam Asy-Syafi’i pun ketika merasa hafalannya kurang baik, beliau meminta nasihat kepada Waki’ dengan perkataannya yang masyhur, “Aku mengadukan buruknya hafalanku kepada Waki’, lalu ia membimbing aku untuk meninggalkan maksiat. Dan ia memberitahu aku bahwa ilmu itu cahaya dan cahaya Allah itu tidak menerangi pelaku maksiat.”

Abu Daud Ath-Thayalisi

Sulaiman bin Daud Al-Farisi (wafat 204H), dikenal dengan nama Abu Daud Ath-Thayalisi. Disebut demikian karena beliau sering memakai thayalisah (sejenis jubah yang di pakai di pundak). Beliau ulama pakar hadis yang telah pergi ke berbagai negeri untuk menulis hadis. Ia pernah berkata, “Aku telah mencatat hadis dari seribu syekh.” Beliau adalah penyusun kitab Musnad yang dikenal dengan Musnad Ath-Thayalisi.

Ibnu Qutaibah

Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Ad-Dainury (wafat 236H), dikenal dengan nama Ibnu Qutaibah. Ia  adalah seorang ahli lughah (bahasa Arab) yang terkenal. Beliau belajar hadis dari Ishaq bin Rahawaih, Abu Ishaq Ibrahim Az-Ziyadi, dan Abu Hatim As-Sijistany. Ia banyak mengarang kitab yang bermanfaat di antaranya adalah kitab Gharibul Quran, Gharibul Hadits, Uyunul Akhbar, Musykilul Quran, Musykilul Hadits, kitab I’rabil Qur’anal Ma’arif, dan Adabul Katab. Di antara murid-muridnya adalah anaknya, Ja’far Ahmad Al-Faqih, dan Ibnu Dusturaih Al -Farisy.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, ”Ibnu Qutaibah seorang ulama yang cenderung kepada mazhab Ahmad bin Ishaq, ia seorang juru bicara ahli hadis.” Adz-Dzahabi rahimahullah berkata, ”Ibnu Qutaibah seorang yang banyak kitabnya, seorang yang diterima riwayatnya, tetapi sedikit dalam meriwayatkan hadis.”

Baca Juga: Fatwa Ulama: Bolehkah Memberikan Zakat kepada Kerabat?

Baqi bin Makhlad

Abu Abdirrahman Baqi bin Makhlad Al-Andalusi (wafat 276H) adalah seorang ulama dari negeri Andalus (sekarang bagian dari Spanyol). Beliau dikenal dengan kegigihannya dalam menuntut ilmu agama. Beliau berjalan kaki menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, menemui Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah. Namun, ketika itu musibah besar menimpa Imam Ahmad, sehingga beliau dilarang untuk mengajar oleh penguasa. Namun, Baqi bin Makhlad punya cara lain, setiap hari beliau berpakaian mirip pengemis mendatangi rumah Imam Ahmad sehingga Imam Ahmad bisa menyampaikan hadis kepada beliau. Terus demikian hingga akhirnya Imam Ahmad boleh mengajar lagi. Ia pun di depan murid-muridnya berkata tentang Baqi bin Makhlad, “Orang ini berhak menyandang predikat sebagai pencari ilmu.”

Wallahu a’lam, semoga bermanfaat.

[Bersambung]

    ***

    Penulis: Yulian Purnama

    © 2023 muslim.or.id
    Sumber: https://muslim.or.id/81065-mengenal-beberapa-ulama-hadits-mutaqaddimin-bag-1.html

    10 Keutamaan Menikah

    MENIKAH atau pernikahan adalah sebuah fitrah manusia, dimana Allah SWT sangat menyukai ibadah ini disamping ibadah-ibadah dan amalan-amalan shalih yang telah dikerjakan. Hal ini menunjukan jika ada keutamaan pernikahan yang sangat besar.

    Berikut ini ada beberapa keutamaan menikah dalam islam yang dapat Anda ketahui:

    1. Keutamaan Menikah: Menyempurnakan Separuh dari Ibadah

    Manfaat menikah dalam islam begitu luar biasa, sampai-sampai islam begitu memuliakan sebuah pernikahan yang dibangun atas dasar ibadah kepada Allah SWT.

    Hingga ibadah ini dianggap sebagian dari kesempurnaan ibadah dari seorang muslim. Hal ini juga telah dikatakan oleh Rasulullah ﷺ yang menyebutkan: “Barangsiapa menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh dari ibadahnya (agamanya). Dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah SWT dalam memelihara yang sebagian lagi.” (HR. Thabrani dan Hakim).

    2. Keutamaan Menikah: Meningkatkan Ibadah Kepada Allah SWT

    Dalam ajaran islam seorang muslim hidup untuk beribadah dan bertakwa kepada Allah SWT dengan menjalani perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Hal ini juga berlaku dalam pernikahan yang mana merupakan suatu ibadah yang sangat dicintai oleh Allah SWT disamping ibadah dan amalan shaleh lainnya.

    3. Keutamaan Menikah: Menjalani Sunnah Rasul

    Pernah suatu ketika ada tiga orang sahabat Nabi yang datang menemui istri Rasulullah ﷺ tentang amalan beliau. Dari tiga sahabat tersebut, salah satu berkata: “Adapun aku akan berpuasa sepanjang masa tanpa ada putusnya”. Dan yang satu lagi berkata: “Aku akan menjahui seorang wanita dan tidak akan menikahinya selamanya.”

    cilok, Keutamaan Menikah
    Foto: MuslimVillage.com

    Ketika Rasulullah mendengar perkataan pemuda tersebut, Beliau keluar dan berkata: “Benarkan kalian akan berkata tentang ini dan itu? Sesungguhnya demi Allah, Akulah yang paling takut dan takwa kepada-Nya. Akan tetap Aku berpuasa dan Aku pun berbuka, Aku sholat dan Aku pun juga tidur, dan Aku pun juga menikahi seorang wanita. Maka barangsiapa yang tidak menyukai akan sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

    4. Keutamaan Menikah: Menjaga Kesucian Diri

    Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai pemuda, siapa saja diantara kalian yang sudah mampu untuk menikah, maka menikahlah. Karena menikah itu lebih menundukan pandangan dan membentengi kemaluan. dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia melakukannya dengan jalan berpuasa. Karena puasa itu dapat membentengi serta menjauhkan dirinya dari perbuatan keji dan munkar.” (HR. Sahih Ahmad, Muslim, Bukhari, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Jarud, Baihaqi, Darimi).

    5. Keutamaan Menikah: Menjauhkan dari Perbuatan Zina

    Hal ini berdasarkan firman Allah SWT yang berbunyi: “Janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang sangat dibenci Allah.”

    6. Keutamaan Menikah: Memperoleh Keturunan yang Shalih dan Shalihah

    Manfaat dan keutamaan menikah dalam islam selanjutnya adalah untuk memperoleh keturunan yang shalih dan shalihah.

    Hal ini berdasarkan firman Allah SWT yang berbunyi: “Allah telah menjadikan dari para Ibu-ibu kamu itu pasangan suami-istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberikannya rezki yang baik-baik. Maka mengapa mereka beriman kepaha hal bathil dan mengingkari nikmat Allah SWT?”

    (QS. An-Nahl: 72).

    7. Keutamaan Menikah: Membuka Pintu Rizeki

    Allah telah memerintahkan seseorang untuk menikah. Ketika seorang dalam keadaan fakir (tidak mampu) dan ia telah menjalankan apa yang diperintahkan oleh-Nya, maka Allah SWT senantiasa akan mencukupkan rizkinya, istri, dan anak-anaknya.

    Dan Allah SWT telah berjanji dalam firman-Nya: “Dan menikahlah orang-orang yang sendirian diantara kamu semua dan hamba-hamba sahayamu yang laki-laku dan perempuan. Jika mereka dalam keadaan fakir dan miskin, Allah SWT akan mencukupkan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) dan lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 32).

    Malam pertama tampaknya menjadi sangat ditunggu oleh pengantin baru., Keutamaan Menikah
    Foto: About Islam

    8. Keutamaan Menikah: Menghindarkan Diri dari Fitnah

    Apabila seorang laki-laki dan perempuan sudah saling menyukai satu sama lain, tentu islam sangat menganjurkan untuk menyegerakan pernikahan di antara keduanya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari dirinya dari segala bentuk fitnah dalam islam.

    9. Keutamaan Menikah: Meneruskan Garis Keturunan

    Sahabat Rasul pernah bertanya: “Sesungguhnya saya senang kepada seorang wanita, dia memiliki kecantikan dan harta yang melimpah. Sayangnya ia tidak bisa melahirkan, apakah saya layak untuk menikahi wanita tersebut?”

    Rasulullah ﷺ pun menjawab: “Tidak” dan Beliau menjawab: “Nikahilah seorang wanita yang engkau sayangi dan mampu memberikanmu anak, karena sesungguhnya Aku adalah orang yang memperbanyak umat untuk kehidupan kalian semua.”

    10. Keutamaan Menikah: Membangun Kehidupan yang Lebih Baik

    Keutamaan menikah dalam islam adalah membangun kehidupan yang lebih baik lagi. Hal ini sudah dapat dibuktikan jika kehidupan setelah menikah akan membawa seseorang untuk menjalankan kehidupannya lebih baik dan berfaedah bagi kehidupannya di masa mendatang. []

    REDAKTUR : LARAS SETIANI

    ISLAMPOS