Sejumlah Faktor Penyebutan Ka’bah

Ada sejumlah hal penyebutan Ka’bah.

Alquran Surat Al Maidah ayat 97 menyebutkan:

جَعَلَ ٱللَّهُ ٱلْكَعْبَةَ ٱلْبَيْتَ ٱلْحَرَامَ قِيَٰمًا لِّلنَّاسِ وَٱلشَّهْرَ ٱلْحَرَامَ وَٱلْهَدْىَ وَٱلْقَلَٰٓئِدَ ۚ ذَٰلِكَ لِتَعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ وَأَنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

Ja’alallāhul-ka’batal-baital-ḥarāma qiyāmal lin-nāsi wasy-syahral-ḥarāma wal-hadya wal-qalā`id, żālika lita’lamū annallāha ya’lamu mā fis-samāwāti wa mā fil-arḍi wa annallāha bikulli syai`in ‘alīm

Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, had-ya, qalaid. (Allah menjadikan yang) demikian itu agar kamu tahu, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

DR Muhammad Ilyas, penulis buku Sejarah Mekah, yang mengutip kitab Al-Qamus al Muhith, “Ka’aba: Al Nihayah li Ibn Al-Atsir, dinamakan dengan ‘Ka’bah’ karena beberapa sebab:

a. Bentuknya yang persegi empat, di mana pada umumnya orang Arab menyebut setiap rumah berbentuk persegi empat dengan Ka’bah.

b. Karena ketinggiannya dari tanah.

c. Karena bangunannnya yang terpisah dari bangunan lainnya.

IHRAM

Infografis Itikaf dan Amalan yang Menyertainya

Ada sejumlah amalan yang bisa dilakukan untuk itikaf.

Itikaf dan Amalan yang Menyertainya

Saat melaksanakan itikaf di 10 hari terakhir Ramadhan, ada berbagai macam amalan yang dianjurkan untuk memperbanyak pahala, seperti membaca Alquran, shalat sunnah, memperbanyak zikir, dan memperbanyak sholawat kepada nabi.

Dalam kitabnya yang bejudul Mausuu’atul Aadaab al-Islamiyah, Syekh Abdul Azis bin Fathi as-Sayyid Nada mengungkapkan beberapa amalan yang dianjurkan saat beritikaf di masjid.

 Pertama, memperbanyak ibadah dan berdoa

Kedua, merendahkan diri kepada Allah SWT

 Ketiga, memperbanyak membaca Alquran

Keempat, memohon ampun

Kelima, memperbanyak shalat

Keenam, memperbanyak Zikir

Ketujuh, bertafakur dan Bertadabur

Kedelapan, memperbanyak sholawat

Sumber: Mausuu’atul Aadaab al-Islamiyah, Syekh Abdul Azis bin Fathi as-Sayyid Nada

Pengolah: Agung/Hafil, Ilustrator:

REPUBLIKA

Mati Syahid, Apakah Dimandikan dan Disalatkan?

Berkaitan dengan jenazah orang yang mati syahid, terdapat sebuah hadis dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ مِنْ قَتْلَى أُحُدٍ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، ثُمَّ يَقُولُ: أَيُّهُمْ أَكْثَرُ أَخْذًا لِلْقُرْآنِ ، فَإِذَا أُشِيرَ لَهُ إِلَى أَحَدِهِمَا قَدَّمَهُ فِي اللَّحْدِ، وَقَالَ: أَنَا شَهِيدٌ عَلَى هَؤُلاَءِ يَوْمَ القِيَامَةِ ، وَأَمَرَ بِدَفْنِهِمْ فِي دِمَائِهِمْ، وَلَمْ يُغَسَّلُوا، وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menggabungkan dalam satu kubur dua orang laki-laki yang gugur dalam perang Uhud dan dalam satu kain, lalu bersabda, ‘Siapakah di antara mereka yang lebih banyak mempunyai hafalan Al-Qur’an?’

Ketika beliau telah diberi tahu kepada salah satu di antara keduanya, beliau pun mendahulukannya di dalam lahad, lalu bersabda, ‘Aku akan menjadi saksi atas mereka pada hari kiamat.’ Kemudian beliau memerintahkan agar menguburkan mereka dengan darah-darah mereka, tidak dimandikan dan juga tidak disalatkan.” (HR. Bukhari no. 1343)

Terdapat dua masalah yang akan kami uraikan dari hadis di atas.

Pertama, apakah jenazah mati syahid itu dimandikan?

Hadis di atas menunjukkan bahwa jenazah orang yang mati syahid di peperangan itu tidak dimandikan. Yang dimaksud dengan peperangan di sini adalah peperangan melawan musuh dari orang-orang kafir. Ini adalah mazhab jumhur (mayoritas) ulama. Hikmah mengapa jenazah orang mati syahid itu tidak dimandikan adalah sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau mengatakan tentang para sahabat yang gugur pada saat perang Uhud,

لَا تُغَسِّلُوهُمْ، فَإِنَّ كُلَّ جُرْحٍ – أَوْ كُلَّ دَمٍ – يَفُوحُ مِسْكًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Janganlah kalian mandikan, karena setiap luka atau setiap darah akan menjadi minyak misk pada hari kiamat.” (HR. Ahmad 22: 97, sanadnya sahih)

Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah mengatakan, “Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang mati syahid terbunuh di peperangan untuk meninggikan kalimat Allah, jenazah mereka itu tidak dimandikan. Akan tetapi, dibiarkan bersama dengan darah-darah mereka. Hal ini karena bekas darah tersebut adalah bekas (tanda) yang baik, sehingga tanda ketaatan tersebut dibiarkan untuk memuliakannya. Mereka akan datang pada hari kiamat dengan membawa darah tersebut sebagai tanda ketaatan. Sebagaimana yang telah disebutkan tentang kondisi orang ihram, mereka dibiarkan sebagaimana kondisi ketika ihram agar datang pada hari kiamat dalam bentuk yang mulia tersebut.” (Tashilul Ilmam, 3: 34-35)

Adapun selain mati syahid karena peperangan, seperti: 1) meninggal karena sakit perut; 2) meninggal karena wabah penyakit tha’un; 3) seorang wanita yang meninggal pada masa nifas; 4) meninggal karena tertimpa benda keras; 5) meninggal karena tenggelam; atau 6) meninggal karena terbakar, maka mereka itu tetap dimandikan sebagaimana jenazah kaum muslimin pada umumnya. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. (Lihat Al-Mughni, 3: 476)

Hal ini karena jenazah tersebut itu disebut syahid berkaitan dengan pahala yang akan mereka dapatkan di akhirat, bukan berkaitan dengan hukum dimandikan dan disalatkan ketika di dunia. Hal ini berbeda dengan hukum mati syahid karena peperangan melawan orang-orang kafir (yang tidak dimandikan dan tidak disalatkan).

Baca juga: Fikih Pengurusan Jenazah

Kedua, apakah jenazah mati syahid itu disalatkan?

Masalah kedua, apakah jenazah mati syahid itu disalatkan? Hadis ini menunjukkan bahwa jenazah mati syahid itu tidak disalatkan. Ini adalah mazhab Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad. (Lihat Bidayah Al-Mujtahid, 2: 41 dan Al-Majmu’, 5: 260)

Adapun pendapat kedua mengatakan bahwa jenazah mereka tetap disalatkan. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Hadis ini dibawa ke makna anjuran, karena perkataan Imam Ahmad mengisyaratkan hal tersebut.” (Al-Mughni, 3: 467)

Para ulama tersebut berdalil dengan hadis yang diriwayatkan dari sahabat ‘Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

خَرَجَ يَوْمًا فَصَلَّى عَلَى أَهْلِ أُحُدٍ صَلَاتَهُ عَلَى الْمَيِّتِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu hari keluar untuk menyalatkan syuhada perang Uhud sebagaimana salat untuk mayit.” (HR. Bukhari no. 1344 dan Muslim no. 2296)

Dalam riwayat Bukhari disebutkan dari sahabat ‘Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu,

قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى قَتْلَى أُحُدٍ بَعْدَ ثَمَانِي سِنِينَ كَالْمُوَدِّعِ لِلْأَحْيَاءِ وَالْأَمْوَاتِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyalati para korban Uhud setelah delapan tahun, seolah-olah seperti perpisahan antara orang yang hidup dengan orang yang telah mati.” (HR. Bukhari no. 4042)

Kesimpulan yang lebih mendekati adalah bahwa imam (pemimpin) kaum muslimin diperbolehkan untuk memilih apakah akan menyalati jenazah mati syahid ataukah tidak. Hal ini karena terdapat dalil untuk dua kondisi tersebut, yaitu ada dalil yang menunjukkan jenazah mereka tidak disalati dan ada dalil yang menunjukkan jenazah mereka disalati. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad, juga pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, sebagian ulama Syafi’iyyah dan sebagian ulama Hanabilah. (Lihat Tahdzib Mukhtashar As-Sunan, 4: 295; Al-Majmu’, 5: 260; Al-Ikhtiyarat, hal. 87; dan Al-Inshaf, 2: 500)

Zahir hadis ‘Uqbah bin Amir di atas menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu menyalati mereka sebagaimana salat jenazah pada umumnya. Akan tetapi, zahirnya menunjukkan bahwa salat itu adalah salat perpisahan, bukan salat jenazah, karena salat jenazah dilaksanakan sebelum jenazah dimakamkan. Wallahu Ta’ala a’lam.

Adapun hikmah mengapa jenazah orang yang mati syahid itu boleh untuk tidak disalatkan adalah karena Allah Ta’ala telah memuliakannya, sehingga tidak butuh untuk disalati. Allah Ta’ala telah memuliakan orang yang mati syahid di peperangan dengan persaksian-Nya,

وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ أَمْوَاتاً بَلْ أَحْيَاء عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ

Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran: 169)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَلاَ تَقُولُواْ لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبيلِ اللّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاء وَلَكِن لاَّ تَشْعُرُونَ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu ) mati. Bahkan, (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS. Al-Baqarah: 154)

Orang yang mati syahid karena peperangan itu boleh untuk tidak disalati, karena salat itu hakikatnya adalah syafaat (doa) untuk mereka. Sedangkan Allah Ta’ala telah memuliakan mereka dengan persaksian-Nya, sehingga tidak butuh disalatkan. (Lihat Tashilul Ilmam, 3: 35) Wallahu Ta’ala a’lam.

***

@Rumah Kasongan, 16 Ramadan 1444/ 7 April 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 272-274) dan Tashilul Ilmam bi Fiqhil Ahadits min Bulughil Maram (3: 34-35).

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84263-jenazah-mati-syahid.html

Cara Mendapatkan Lailatul Qadar 

Berikut ini tata cara mendapatkan Lailatul Qadar. Puasa Ramadhan, Tarawih, Idul Fitri dan Zakat Fitrah adalah paket ibadah di bulan Ramadhan yang sangat istimewa bagi semua umat Islam. Saking istimewanya, sampai-sampai orang yang shalat fardhunya bolong-bolong merasa tidak “afdhal” kalau tidak berpuasa.

Begitu pula orang yang jarang atau tidak pernah shalat Jum’at atau berjamaah di masjid dan mushalla, ikut berbondong-bondong shalat tarawih dan Idul Fitri, bahkan merebut dan menempati tempat yang paling depan.

Sekalipun demikian, akan tetapi tetap lebih baik dari orang yang tidak melakukan apa-apa sama sekali. Artinya, mending orang yang berpuasa sekalipun tidak shalat, dari pada orang yang tidak berpuasa dan tidak shalat.

Bulan Ramadhan adalah bulan dimana rahmat Allah, ampunan Allah, pahala Allah, dan segala kebaikan Allah ditumpahkan, dihambur-hamburkan dan ditawar-tawarkan kepada umatnya.

Namun sayang sekali, bulan yang paling agung itu terkadang justru di isi dengan persaingan tidak sehat, permusuhan, saling maki akibat perbedaan-perbedaan yang kerap muncul menyertai keagungan Ramadhan.

Ya begitulah manusia. Meski berada dalam bulan suci Ramadhan, tetap saja tak bisa luput dari salah dan dosa. Penulis tak akan panjang lebar membahas ini, melainkan fokus membahas malam Lailatul Qadar. Bagaimana itu?

Hakikat Lailatul Qadar

Muhammad Ibnu Rusyd mengatakan, bahwa Lailatul Qadar yang ada di dalam Al-Qur’an juga disebut dengan Lailatul Mubarakah. Adalah waktu dimana Al-Qur’an diturunkan ke langit dunia secara utuh, lalu diturunkan secara berangsur kepada Nabi Muhammad Saw. Menurutnya, pada malam Lailatul Qadar inilah Allah memerintahkan para Malaikat turun ke dunia untuk membagi-bagikan rahmatnya.

Lalu kenapa disebut Lailatul Qadar? Menurut sebagian ulama, disebut Lailatul Qadar karena pada malam-malam itu seluruh alam dipenuhi dengan Malaikat.

قال محمد بن رشد: ليلةالقدر هي الليلة المباركة التي ذكر الله انه انزل فيها الكتاب المبين، وانه يفرق فيها كل أمر حكيم وانها (خير من الف شهر) (القدر) وان الملائكة تتنزل فيها بكل أمر، وانها سلام حتى مطلع الفجر. النجم الوهاج في شرح المنهاج

Muhammad Ibnu Rusyd berkata: Lailatul Qadar adalah malam berkah yang sudah Allah firmankan dalam Al-Qur’an, pada malam tersebut Allah membagi-bagikan setiap hal yang bijaksana, “dan sesungguhnya Lailatul Qadar lebih baik di banding seribu bulan.” (al-Qadar: 3) dan para malaikat turun dengan membawa segala sesuatu (dari Allah) dan Lailatul Qadar adalah malam penuh keselamatan sampai terbit fajar.

قيل: سميت بذلك، لعظم قدرها. وقيل: لان الارض تضيق بالملائكة فيها. وهي الليلة المباركة التي فيها يفرق كل أمر حكيم. وهي خصيصة لهذه الامة لم تكن لمن قبلها، وهي باقية الى يوم القيامة، وترى ويحققها من شاء من عباده

Dikatakan, diberi nama Lailatul Qadar karena keagungan kualitasnya, dan diriwayatkan juga (penamaan tersebut) karena pada malam tersebut bumi dipenuhi dengan malaikat, Lailatul Qadar adalah malam barokah yang pada malam tersebut Allah membagi-bagikan setiap hal yang bijaksana.

Tak hanya itu, Lailatul Qadar merupakan salah satu keistemewaan yang dimiliki umat ini (umat Muhammad) dan tidak dimiliki oleh umat sebelumnya. Lailatul Qadar akan tetap ada sampai hari kiamat dan Allah akan mewujudkan Lailatul Qadar terhadap hamba yang dikehendakinya.

Waktu fadhilah Lailatul Qadar 

Keberadaan malam Lailatul Qadar sepeninggal Nabi Muhammad Saw. memang menjadi topik yang masih diperdebatkan dikalangan ulama, meskipun keutamaan malam Lailatul Qadar ini bukan hal yang tabu dikalangan umat muslim. Masalah keutamaan Lailatul Qadar pernah disabdakan langsung oleh Nabi Muhammad Saw. Namun, yang menjadi persoalan adalah kapan fadhilah Lailatul Qadar itu bisa didapat. 

Mengenai persoalan ini, para ulama pecah menjadi empat pendapat. Pendapat pertama, mengatakan bahwa Lailatul Qadar terjadi setiap hari di bulan Ramadhan. Pendapat kedua, Lailatul Qadar terjadi di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan tanpa ditentukan apakah pada hari-hari ganjil atau bukan. Pendapat ketiga, Lailatul Qadar terjadi pada hari-hari ganjil di sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Dan pendapat keempat, malam Lailatul Qadar hanya bisa diperoleh pada tujuh hari terakhir di bulan Ramadhan.

Perbedaan tersebut didasarkan pada beberapa hadist tentang waktu terjadinya Lailatul Qadar yang diriwayatkan dengan berbagai macam matan (redaksi) yang berbeda. Dari berbagai perbedaan di atas, Imam Syafi’i lebih memilih pendapat ulama yang mengatakan bahwa, Lailatul Qadar bisa didapat pada hari-hari ganjil di sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan.

Berbeda dengan Imam Qadhi Husain, beliau lebih setuju dengan ulama yang berpendapat bahwa, malam Lailatul Qadar bisa didapat pada malam-malam sepuluh terakhir bulan tanpa mengkhususkan pada malam ganjil tertentu. Sebuah hadits mengatakan:

حدثنا عفان، حدثنا وهيب، حدثنا ايوب، عن عكرمة، عن ابن عباس، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: التمسوها في العشر الأواخر من رمضان، في تاسعة تبقى، او سابعة تبقى، او خامسة تبقى 

Artinya: “menceritakan kepada kami Affan, menceritakan kepada kami Wuhaib, menceritakan kepada kami Ayyub dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dari Nabi Muhammad Saw, beliau bersabda: carilah Lailatul Qadar pada malam sepuluh terakhir dari bulan ramadhan, pada malam ke sembilan yang tersisa (21), tujuh yang tersisa (23) dan lima yang tersisa (25).”

Hadits lain mengatakan:

حدثنا محمد بن بشار، حدثنا محمد بن جعفر، حدثنا شعبة، عن عقبة بن حريث، قال: سمعت ابن عمر يقول: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: التمسوها في العشر الأواخر يعني ليلة القدر، فان ضعف احدكم، او عجز، فلا يغلبن على السبع البواقي

Artinya: “menceritakan kepadaku Muhammad bin Yasar, menceritakan kepadaku Muhammad bin Jakfar, menceritakan kepadaku Syu’bah, dari Uqbah bin Harits beliau berkata: aku mendengar Ibnu Umar berkata: Rasulullah Saw bersabda: carilah Lailatul Qadar pada malam sepuluh terakhir, yakni Lailatul Qadar, apabila dari salah satu dari kalian tidak mampu maka janganlah kalian memaksakan diri pada tujuh malam yang tersisa.”

ولفظ الشافعي: وطلبها في الوتر منه، أي: من العشر، احب إلي، ومن هذاالخبر اخذ القاضي الحسين تأكد طلبها في العشر الأخير ايضا، لان الوتر لا يدري انه اراد به الماضي او الوتر المستقبل، فيدحل فيه الكل

Pernyataan Imam Syafi’i: “Mecari Lailatul Qadar pada malam ganjil dari sepuluh terakhir bulan Ramadlan lebih aku sukai”, dari pernyataan Imam Syafi’i ini ada sebuah hadist yang dijadikan dasar dari kesunnahan mencari Lailatul Qadar pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan (tanpa menghususkan pada malam- malam ganjil), karena tidak diketahui malam terakhir yang telah lalu ataukah yang akan datang. Karena itu, masuklah semua sepuluh hari tersebut.”

Cara mendapatkan Lailatul Qadar 

Fadhilah Lailatul Qadar bisa didapat dengan beberapa cara yang pernah dicontohkan oleh Nabi. Semasa hidupnya, Kanjeng Nabi selalu berusaha mendapatkan fadhilah Lailatul Qadar dengan cara beri’tikaf di masjid pada malam hari dan siang hari. Imam Kamaluddin menambahkan bahwa, orang mukmin dianjurkan menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan cara melaksanakan shalat, membaca Al-Qur’an, dan memperbanyak doa.

Keutamaan beribadah pada malam Lailatul Qadar sebanding dengan beribadah dalam kurun waktu seribu bulan. Dan, barang siapa yang bangun malam pada Lailatul Qadar, maka dia akan diampuni dosanya yang telah lalu.

Dalam kitab Nihayah al-mathlab fi dirasah al-mazhab, dikatakan: 

صدر الشافعي كتاب الاعتكاف بالقول في ليلة القدر، فان رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يلتمسها في العشر الأواخر، ويعتكف فيها ليلا، ونهارا

Imam Syafi’i memulai bab tentang I’tikaf dengan pembahasan tentang Lailatul Qadar. Sesungguhnya Rasulullah Saw. mencari keutamaan Lailatul Qadar pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan dan beri’tikaf pada malam hari dan siang hari.

Secara tak langsung, Imam Syafi’i mengatakan, bahwa untuk memperoleh malam Lailatul Qadar maka harus mengikuti cara-cara Kanjeng Nabi seperti, memperbanyak baca Al-Qur’an, doa, karena itu adalah malam-malam yang paling utama dan lebih baik dibandingkan seribu bulan yang tidak ada Lailatul Qadarnya.

Demikian juga dalam kitab Fiqhu al-Ibadah, Syafi’i, 566: 

ويستحب ان يطلبها لما روي ابو هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من قام ليلة القدر ايمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من دنبه

Artinya: “Disunnahkan mencari Lailatul Qadar berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra. dari Nabi Muhammad Saw., beliau bersabda: barang siapa yang bangun pada malam Lailatul Qadar dalam keadaan beriman dan ikhlas karena Allah Swt., maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”

Demikian penjelasan tata cara mendapatkan Lailatul Qadar. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawaab.

BINCANG SYARIAH

Apakah Malam Lailatul Qadar Jatuh Pada Tanggal Ganjil?

Apakah malam Lailatul Qadar jatuh pada tanggal ganjil Ramadhan? Sebagaimana yang diketahui, dalam bulan suci Ramadhan Allah SWT memberikan suatu kemuliaan di salah satu malamnya yakni Lailatul Qadar. 

Malam yang lebih baik daripada 1000 bulan, pada malam ini bahkan pahala akan dilipatgandakan. Umat muslim juga meyakininya, sebagai malam di mana Al-Quran pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-Qadr ayat 1-5:

اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۗ) ٢ لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ  تَنَزَّلُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْۚ مِنْ كُلِّ اَمْرٍۛ سَلٰمٌ ۛهِيَ حَتّٰى مَطْلَعِ الْفَجْرِ)٥ 

Artinya :  “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam qadar (1) Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (2) Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan (3) Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan (4)  Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar (5)”.

Menurut sejumlah pendapat ulama pada malam Lailatul Qadar, umat muslim disunnahkan untuk memperbanyak ibadah seperti berdoa, sholat, dzikir, membaca Al-Qur’an melalui amalan itikaf.

Dalam risalah Imam al-Ghazali berjudul al-Adab fid Din dalam Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah) halaman 435, itikaf untuk mendapatkan keistimewaan malam Lailatul Qadar adalah sebagai berikut:

“Adab itikaf, yakni: terus menerus berdzikir, penuh konsentrasi, tidak bercakap-cakap, selalu berada di tempat, tidak berpindah-pindah tempat, menahan keinginan nafsu, menahan diri dari kecenderungan menuruti nafsu dan menaati Allah azza wa jalla.”  Melihat dari keistimewaan malam lailatul qadar ini, lantas seperti apakah ciri-ciri malam Lailatul Qadar?

Malam Ganjil Ramadhan

Syariat islam menjelaskan bahwa Lailatul Qadar adalah malam yang sangat dihormati dan dianggap sangat istimewa dalam agama Islam. Dalam hadis riwayat Bukhari dibenarkan bahwa malam lailatul qadar ini jatuh pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan.

Oleh karenanya umat Muslim dianjurkan untuk meningkatkan ibadah dan berdoa karena pada malam tersebut, pahala amalan akan dilipatgandakan. “Carilah Lailatul Qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan.” (HR Bukhari).

Langit Bersih dan Tidak Hujan

Ciri-ciri malam Lailatul Qadar adalah langitnya bersih dan tidak hujan. Pada malam Lailatul Qadar, umat Muslim di seluruh dunia berbondong-bondong untuk beribadah dan memperbanyak amalan baik.

“Malam Lailatul Qadar itu langit bersih, udara tidak dingin atau panas, langit tidak berawan, tidak ada hujan, bintang tidak nampak, dan pada siang harinya matahari bersinar tidak begitu panas.” (HR. Ahmad)

Siangnya Matahari Tidak Menyengat

Selain langit yang bersih dan tidak hujan, ciri-ciri selanjutnya yakni malam tersebut juga dipercaya di siang harinya matahari tidak menyengat. “Dari Ubaiy bin Ka’ab, Rasulullah bersabda:

Pagi hari dari malam Lailatul Qadar terbit matahari tidak menyengat bagaikan bejana sampai meninggi.” (HR. Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan Abu Daud). Dalam buku berjudul Jaminan Mendapatkan Lailatul Qadar oleh Dr Ahmad Sarwat, Lc, dijelaskan malam Lailatul Qadar ini yang juga diperingati sebagai malam turunnya Al-Qur’an.

Matahari Bersinar dengan Indah

Selain dipercaya di siang harinya matahari tidak menyengat, ciri-ciri malam Lailatul Qadar juga dipercaya matahari terbit dengan indah dan tidak bersinar kuat seperti bulan purnama.

“… Dan sesungguhnya, ciri-ciri malam Lailatul Qadar adalah matahari di pagi harinya terbit dengan indah, tidak bersinar kuat, seperti bulan purnama, dan tidak pula dihalalkan bagi setan untuk keluar bersama matahari pagi itu.” (HR. Ahmad)

Dalam sejumlah hadis juga menjelaskan bahwa para ulama menetapkan bila seseorang beramal salih di malam qadar itu, maka dia akan mendapat pahala seperti melakukannya dalam 1.000 bulan. 

Demikian penjelasan terkait apakah malam Lailatul Qadar jatuh pada tanggal ganjil Ramadhan? semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Ramadan Bulan Jihad Kendalikan Nafsu Amaroh dan Lawwamah

Selain sebagai bulan yang penuh ampunan, Ramadan juga menjadi bulan yang sarat dengan perjuangan umat Islam dalam menggapai kesempurnaan. Melalui ibadah puasa, bulan Ramadan seolah menjadi tonggak pergulatan diri dalam mengendalikan nafsu insani.

Perjuangan umat Islam di bulan Ramadan adalah hal yang selalu ditemukan tiap tahunnya, namun nyatanya itu bukanlah hal yang mudah. Meski demikian, tantangan mengendalikan nafsu yang banyak ragamnya merupakan kewajiban yang harus ditunaikan.

Wakil Sekretaris Komisi Pengkajian dan Penelitian Majelis Ulama Indonesia, Dr. KH. Ali M. Abdillah, MA., menjelaskan bahwa bulan Ramadan dapat dianggap sebagai bulan jihad karena dalam setiap manusia, ada nafsu yang harus dikendalikan. Nafsu sendiri terbagi menjadi dua, ada yang disebut dengan amaroh dan yang disebut dengan lawwamah. Dua hawa nafsu ini selalu mengajak insan untuk berpaling dari Allah dan membuat kerusakan di muka bumi.

“Contoh hawa nafsu lawwamah itu nafsu yang digerakkan oleh iblis. Iblis masuk ke dalam diri manusia melalui aliran darah, sebagaimana hadits assyaithon yajri majroddam. Ketika aliran darah banyak bersumber dari makanan haram, maka hal itu paling cepat memproduksi setan atau iblis dalam diri manusia. Bisa dilihat, orang yang banyak memakan barang yang haram, pasti muncul perilaku yang destruktif atau merusak. Seolah-olah dia tidak memiliki sifat kemanusiaan, seperti raja tega. Ini sesungguhnya adalah sifat hayawanat atau sifat kebinatangan,” jelas pria yang kerap disapa Kyai Ali di Jakarta, Rabu (12/4/2023).

Pengasuh Pondok Pesantren al Rabbani Islamic College Cikeas ini menjelaskan jika dalam teori tasawuf ada yang disebut dengan nafsu sabu’iyah atau nafsu binatang liar. Selayaknya binatang liar yang berkelahi, kalau lawannya tidak mati, pasti akan dihabisi sampai tinggal tulang belulang.

Inilah kekejian binatang liar. Ketika didominasi oleh nafsu amaroh dengan karakter sabuiyah yang dominan, pasti muncul sifat karakter rakus, kemudian raja tega, menghalalkan segala cara, dan juga dia akan semena-mena. Kemudian amaroh juga punya karakter bahimiyah atau binatang ternak.

Menurut Kyai Ali, manusia dengan karakter bahimiyah memiliki orientasi hidup hanya untuk mencari makan, kemudian menuruti hawa nafsu biologisnya. Ini bisa dilihat binatang ternak yang polanya seperti itu. Karakter bahimiyah orientasi hidupnya hanya bekerja dari pagi sampai malam, kemudian melupakan ibadah, lalu setelah dapat uang untuk foya-foya dan mengikuti hawa nafsu.

“Puasa harus memiliki dampak yang positif untuk menurunkan tensi penguasaan nafsu pada  diri manusia. Cara yang paling efektif untuk menundukkan nafsu amaroh baik yang sabuiyah maupun bahimiyah, yaitu dengan cara lapar. Lapar ini sebagai akar untuk bisa memutus mata rantai terjadinya dominasi nafsu amaroh,” imbuh Kyai Ali.

Ia memberikan contoh jika manusia telah dikuasai oleh nafsu sabuiyah. Ketika orang yang bodoh didoktrin oleh doktrin agama yang mengambil satu atau dua ayat terkait dengan kepentingan tertentu. Misalnya ayat tentang jihad, dijamin masuk surga dan disediakan 72 bidadari. Jika ada orang yang dangkal pemahaman beragamanya lalu mempercayai doktrin sesat tersebut, berarti telah muncul nafsu sabuiyah-nya. Layaknya binatang buas, rasa kemanusiaannya hilang karena didominasi oleh virus kekerasan yang masuk ke dalam pikirannya, ingin masuk surga secara instan tapi dia mengabaikan sisi kemanusiaan.

“Dia tidak berpikir bahwa korban yang menjadi sasaran dia itu juga manusia. Apakah keluarga yang ditinggalkan akan begitu saja mengikhlaskan ketika pelakunya telah bebas? Tidak mungkin. Segala perbuatan akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah, apalagi membunuh orang lain, keluarganya pasti tidak rida. Bagaimana mau mendapatkan 72 bidadari ketika dia sudah melakukan kesalahan fatal dengan melanggar hak manusia lain,” terang Kyai Ali.

Ketua PW Matan DKI Jakarta ini juga menjelaskan bahwa zikir dapat membersihkan diri dari nafsu yang negatif. Zikir dapat memasukkan nur ilahi kedalam hati. Kalau hatinya itu baik, maka seluruh aktivitasnya itu baik. Tapi kalau hatinya rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya.

Ketika hatinya sudah di cahayai dengan nur ilahiyah, lanjutnya, maka dampaknya akan muncul perilaku yang baik dan pribadi yang bermanfaat di tengah masyarakat. Ia akan menjadi orang yang selalu memberikan kebaikan kepada agama dan bangsa. Maka dari itu, puasa dan zikir ini merupakan teknik yang sudah teruji sistem ini dari abad ke abad untuk menggerus atau menetralisir virus-virus nafsu amaroh dan lawwamah.

Kyai Ali pun berpesan bahwa jihad di bulan Ramadhan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia bisa dilakukan dengan menjalankan ibadah puasa secara baik dan bersungguh-sungguh untuk meningkatkan kualitas iman. Dengan demikian, puasa yang dikerjakan bisa meraih derajat ketakwaan yang hakiki. Sebab target orang puasa itu harus ada peningkatan ketaatannya.

“Maka kaitannya dengan NKRI adalah harus memperbaiki kualitas lahir dan batin dalam berbangsa dan bernegara, khususnya bagi yang masih memiliki pemahaman kurang pas terkait konsep negara. Ramadan bisa menjadi waktu renungan bahwa Indonesia ini baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur, negara baik yang mendapatkan ridha dari Allah,” tuturnya.

Buktinya, imbuh Kyai Ali, banyak pihak, termasuk ulama-ulama luar negeri, yang terpesona dengan Indonesia karena terdapat beragam agama dan suku tapi masyarakat Indonesia bisa saling toleran dan berdamai. Semakin mendalam pemahaman keagamaan seseorang pasti akan memiliki pengaruh semakin luas juga rasa toleransinya kepada sesama muslim dan sesama manusia.

“Itulah yang disebut membangun ukhuwah islamiyah untuk sesama muslim dan membangun ukhuwah wathaniyah untuk sesama anak bangsa. Mudah-mudahan di puasa tahun ini kita bisa menjadi lebih baik dan senantiasa dalam ridha dan lindungan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala,” pungkas Kyai Ali.

ISLAMKAFFAH

Pendeta Hindu India Serukan Pengikutnya Rebut Kota Suci Mekah dan Kuasai Ka’bah

Pendeta Hindu yang juga tokoh anti-Islam India Yati Narsinghanand membuat pernyataan kontoversial yang bertujuan untuk menyerang umat Islam. Narsinghanand menyerukan pendukungnya untuk merebut kota suci Mekah dan menduduki kiblat umat Muslim, Ka’bah.

Pidato bernada kebencian terhadap umat Islam itu viral di media sosial. Dikutip dari media online, muslimmirror.com, Rabu (12/4/2023), Yati Narsinghanand yang dikenal sebagai pendeta kuil Hindu Dasna di Ghaziabad dan anggota sayap kanan Hindu yang terkemuka di India, sudah sejak lama dikenal karena komentar-komentar anti-Islam yang dilontarkannya.

Hindutva Watch yang memantau serangan terhadap kelompok minoritas keagamaan India, memposting video pidato Narsinghanand via akun Twitternya. Disebutkan Hindutva Watch bahwa Narsinghanand menyampaikan pidato kebencian terhadap umat Muslim saat menghadiri Hindu Jagruti Samelan.

Dalam pidatonya, Narsinghanand menyerukan umat Hindu untuk mengambil sikap terhadap umat Muslim dan melakukan upaya untuk merebut ‘Mekah, tempat yang diduga sebagai lokasi kuil Mahadev’ berada.

“Hindu Rashtra adalah sebuah impian, kita tidak hanya akan merebut tapi juga Mekah … Sungai Gangga Mahadev mengalir dalam bentuk Zam Zam di sana,” ucap Narsinghanand..

“Jika kalian tidak merebut Makkeshwar Mandir (merujuk pada Ka’bah), tidak ada kekuatan di Bumi yang bisa mengalahkan Islam,” cetus Narsinghanand kepada para pengikutnya.

ISLAMKAFFAH

11 Amalan Sunnah di Bulan Ramadhan

PENGERTIAN Sunnah dalam puasa Ramadhan adalah merupakan segala hal yang berkaitan dengan perbuatan yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad. Nah, ada beberapa amalan sunnah di bulan Ramadhan yang mulia.

Tentunya bahwasannya menjalankan sunnah puasa, bila kita kerjakan dan laksanakan dengan baik akan meningkatkan kadar kebaikan dan amalan ibadah yang kita kerjakan asalkan sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.

Nabi besar kita, Muhammad SAW telah mencontohkan kepada umat amalan sunnah-sunnah yang dapat dilakukan pada bulan suci Ramadhan.Berikut ini adalah amalan-amalan yang dianjurkan selama bulan puasa ramadhan sesuai sunnah rasul saw:

1 Amalan Sunnah di Bulan Ramadhan: Menyegerakan Berbuka Puasa

Apabila telah datang waktu berbuka puasa, hendaklah menyegerakan berbuka, karena didalamnya terdapat banyak kebaikan.

Rosulullah SAW bersabda, “Manusia akan sentiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

11 Amalan Sunnah di Bulan Ramadhan 1 Amalan Sunnah di Bulan Ramadhan
Foto: Pexels

2 Amalan Sunnah di Bulan Ramadhan: Melaksanakan Makan Sahur

Sahur sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam sabdanya, “Barang siapa hendak berpuasa, maka hendaklah ia makan sahur dengan sasuatu.” Beliau juga bersabda, “Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya pada sahur itu terdapat berkah. “Makan sahurlah karena sesungguhnya pada sahur itu terdapat berkah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3 Amalan Sunnah di Bulan Ramadhan: Membaca Al-Qur’an (Tilawah)

Ayat Al-Qur’an diturunkan pertamakali pada bulan Ramadhan. Maka tak heran jika Rasulullah SAW sering dan lebih banyak membaca Al-Qur’an di bulan Ramadhan dibandingkan di bulan-bulan lain.

11 Amalan Sunnah di Bulan Ramadhan 2 Amalan Sunnah di Bulan Ramadhan
Foto; Cordofa

Imam Az-Zuhri berkata, “Apabila datang Ramadhan, maka kegiatan utama kita selain berpuasa adalah membaca Al-Qur’an.”

Bacalah dengan tajwid yang baik dan tadabburi, pahami, dan amalkan isinya. Insya Allah, kita akan menjadi insan yang berkah. Motivasi diri anda sendiri. Jika di bulan-bulan lain kita khatam membaca Al-Qur’an dalam sebulan, maka misalnya di bulan Ramadhan kita bisa memasang target dua kali khatam. Lebih baik lagi jika ditambah dengan menghafal satu juz atau surat tertentu.

4 Amalan Sunnah di Bulan Ramadhan: Memberikan Makanan Berbuka Puasa

Amal ibadah mulia ini dapat Anda manfaatkan bersama tetangga atau anak-anak yatim yang bermukim disekitar rumah Anda. Memberikan makanan ini hanya satu contoh yang dapat kita terapkan dalam hal berbagi rezki kepada sesama umat.

11 Amalan Sunnah di Bulan Ramadhan 3 Amalan Sunnah di Bulan Ramadhan
Foto: Pixabay

Hal ini juga perlu dibiasakan, agar setelah selesai bulan Ramadhan, hal ini tidak hilang begitu saja. “Barang siapa yang memberikan makanan berbuka kepada orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang yang berpuasa itu” (Shohih Nasa’i dan Tirmidzi)

5 Amalan Sunnah di Bulan Ramadhan: Berdakwah

Sepanjang bulan Ramadhan kita punya kesempatan berdakwah karena pastinya suasana Ramadhan sudah sangat terasa dimana-mana dan tiap orang siap menerima nasihat.

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar ; merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. Al-Imran[3] : 104)

6 Amalan Sunnah di Bulan Ramadhan: Shalat Tawawih (Qiyamul Ramadhan)

Ibadah sunnah yang khas di bulan Ramadhan adalah shalat tarawih (qiyamul ramadhan). Dan yang paling penting diingat ialah shalat tarawih dapat dilakukan dirumah sekalipun.

11 Amalan Sunnah di Bulan Ramadhan 4 Amalan Sunnah di Bulan Ramadhan
Foto: Freepik

Rasulullah saw pernah merasa khawatir karena takut shalat tarawih dianggap menjadi shalat wajib karena semakin hari semakin banyak yang ikut shalat berjamaah di masjid sehingga beliau akhirnya melaksanakan shalat tarawih sendiri di rumah.

7 Amalan Sunnah di Bulan Ramadhan: I’tikaf

Inilah amaliyah ramadhan yang selalu dilakukan Rasulullah saw. I’tikaf adalah berdiam diri di masjid dengan niat beribada kepada Allah swt. Abu Sa’id Al-khudri meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah beri’tikaf pada awal Ramadhan, pertengahan Ramadhan, dan paling sering di 10 hari terakhir bulan Ramadhan, akan tetapi seringkali ibadah ini dianggap berat oleh kebanyakan orang Islam, jadi sedikit yang mengamalkannya.

Hal ini disampaikan oleh Imam Az-Zuhri, “Aneh benar keadaan orang Islam, mereka meninggalkan i’tikaf padahal Rasulullah tidak pernah meninggalkannya sejak beliau datang ke Madinah sampai beliau wafat.”

8 Amalan Sunnah di Bulan Ramadhan: Lailatul Qadar

Dalam bulan Ramadhan ada satu malam yang istimewa: lailatul qadar, malam yang penuh berkah. Malam itu nilainya sama dengan seribu bulan. Rasulullah saw. amat menjaga-jaga untuk dapat meraih lailatul qadar.

11 Amalan Sunnah di Bulan Ramadhan 5 Amalan Sunnah di Bulan Ramadhan
Foto hanya ilustrasi. Sumber: Vecteezy

Maka, Beliau menyuruh kita mencarinya di malam-malam ganjil pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan.
Kenapa? Karena, “Barangsiapa yang shalat pada malam lailatul qadar berdasarkan iman dan ihtissab, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”

Begitu kata Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Bahkan, untuk mendapatkan malam penuh berkah itu, Rasulullah saw. mengajarkan kita sebuah doa, “Allahumma innaka ‘afuwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annii.” Ya Allah, Engkaulah Pemilik Ampunan dan Engkaulah Maha Pemberi Ampun. Ampunilah aku.

9 Amalan Sunnah di Bulan Ramadhan:  Umrah

Jika Anda memiliki rezeki cukup, pergilah umrah di bulan Ramadhan. Karena, pahalanya berlipat-lipat. Rasulullah SAW. berkata kepada Ummu Sinan, seorang wanita Anshar, agar apabila datang bulan Ramadhan, hendaklah ia melakukan umrah, karena nilainya setara dengan haji bersama Rasulullah saw. (HR. Bukhari dan Muslim)

10 Amalan Sunnah di Bulan Ramadhan: Bertaubat

Selama bulan Ramadhan, Allah SWT membukakan pintu ampunan bagi seluruh hambanya. Karena itu, bulan Ramadhan adalah kesempatan emas bagi kita untuk bertaubat kembali ke fitrah kita.

11 Amalan Sunnah di Bulan Ramadhan 6 Amalan Sunnah di Bulan Ramadhan
Foto: Pinterest

11 Amalan Sunnah di Bulan Ramadhan: Zakat Fitrah

Zakat fitrah wajib dibayarkan sebelum hari Ramadhan berakhir oleh umat Islam, baik lelaki-perempuan, dewasa maupun anak-anak. Tujuannya untuk mensucikan orang yang melaksanakan puasa dan untuk membantu fakir miskin. []

ISLAMPOS

Tips Agar Tidak Salah Tafsir Ayat Al-Qur’an

 Berikut ini tips agar tidak salah tafsir ayat Al-Qur’an. Menafsirkan ayat suci Al-Qur’an bukanlah aktivitas yang bisa dilakukan secara sembarangan. Jika upaya untuk memahami kalam Ilahi ini tidak dilandasi dengan ilmu, justru berpotensi menjadi salah tafsir. Di antara beberapa penyebab kesalahan tafsir adalah asal ambil ayat dan dipahami secara harfiah atau letterlijk.

Salah Satu Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur’an, Dr. H. Muchlis Muhammad Hanafi menyoroti secara serius persoalan ini. Ia memberikan contoh jika seseorang asal memahami ayat dengan harfiah atau melalui terjemahan belaka, tanpa melihat konteks yang melingkupi turunnya ayat yang dipahami.

Misalnya dalam QS. At-Taubah [9]: 29 berikut ini:

قَاتِلُوا الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَلَا يُحَرِّمُوْنَ مَا حَرَّمَ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ وَلَا يَدِيْنُوْنَ دِيْنَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حَتّٰى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَّدٍ وَّهُمْ صٰغِرُوْنَ ࣖ

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak mengharamkan (menjauhi) apa yang telah diharamkan (oleh) Allah dan Rasul-Nya, dan tidak mengikuti agama yang hak (Islam), yaitu orang-orang yang telah diberikan Kitab (Yahudi dan Nasrani) hingga mereka membayar jizyah) dengan patuh dan mereka tunduk.” (QS. At-Taubah [9]: 29)

Ayat tersebut, jika hanya mengandalkan terjemahan dan pemahaman harfiah saja maka akan ditemukan kata perintah yang sangat ekstrem, yaitu perangilah. Bagi Muchlis Hanafi, ini jika dipahami sepotong-potong bisa betul-betul terjadi peperangan tanpa pandang bulu.

Orang yang ekstrem karena salah memahami ayat tersebut bisa saja melihat orang-orang kafir (bukan muslim) sedang jalan di pasar, di tempat wisata, dan lainnya lalu dia bunuh. Ini mungkin terjadi karena memahami ayat secara parsial (secara sepotong-sepotong).

Padahal, jika mau menilik kitab tafsir ada penjelasan terkait konteksnya. Misalnya dalam Hasyiyah Al-Shawi ala Tafsir Jalalain (penjelasan atas Kitab Tafsir Jalalain oleh Syekh Shawi Al-Maliki).

Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa konteks turunnya At-Taubah ayat 29 ini merespon adanya perang Tabuk, suatu perang yang diluncurkan oleh Kekaisaran Bizantium Romawi Timur terlebih dahulu untuk membalas dendam atas kekalahan mereka saat peperangan Mu’tah awal abad ketujuh.

Ini menunjukkan bahwa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan para pengikutnya adalah langkah defensif (pertahanan), bukan ofensif (penyerangan).

Mengingat Kejamnya Ibnu Muljam terhadap Ali bin Abi Thalib

Muchlis Hanafi kemudian berpindah kepada QS. Al-Maidah [5]: 44 berikut:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Siapa yang tidak memutuskan (suatu urusan) menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir” (QS. Al-Maidah [5]: 44).

Bagi Hanafi,  ayat ini jika tidak dipahami dengan holistik dan penuh pertimbangan dengan basis keilmuan, maka akan menganggap siapapun yang tidak menerapkan hukum Allah maka mereka adalah orang kafir, dan jika kafir maka halal darahnya. Seseorang dengan pemahaman seperti ini melihat Indonesia pasti sebagai negara thaghut, dan harus diganti dengan asas Islam/ khilafah.

Pemahaman seperti ini padahal sangat parsial, secara konteks saja ayat tersebut berbicara mengenai orang Yahudi yang kafir dan tidak berpegang pada kitab suci mereka. Hal ini terdapat dalam Tafsir Al-Thabari.

Selain itu, definisi mengenai hukum Allah ini terjadi perbedaan. Ada yang menyebut bahwa hukum Allah adalah hukum yang dinisbahkan kepada firman Allah, ada juga yang menyebut ijtihad hukum yang dipegang oleh manusia untuk kemaslahatan atau maqasid syariah. Dari ragam definisi tersebut, ada kelompok yang sejak era klasik Islam menggebu dengan pemahaman mereka sendiri, mereka adalah kelompok Khawarij.

Salah satu tokoh Khawarij adalah Ibnu Muljam, sosok yang membunuh Khalifah keempat Ali bin Abi Thalib. Ibnu Muljam dan kawannya yang lain melihat Ali bin Abi Thalib sebagai orang kafir dan halal darahnya, karena menerima arbitrase/tahkim dari Muawiyah yang ia nilai menyalahi hukum Allah.

Pemahaman yang parsial dan harfiah ini kemudian menjadikannya sosok yang penuh amarah dan kebencian. Padahal, ia dikenal sebagai orang yang hafal Al-Qur’an dan rajin beribadah. Hingga suatu saat shalat subuh pada 17 Ramadhan 40 H/661 M, Ibnu Muljam rela membunuh Ali bin Abi Thalib.

Contoh tersebut merupakan kejadian nyata yang perlu dipertimbangkan. Betapa fatalnya penafsiran seseorang atas suatu ayat yang asal ambil saja dan dipahami dengan harfiah. Semoga kita terhindar dari pemahaman yang demikian.

Demikian penjelasan terkait tips agar tidak salah tafsir ayat Al-Qur’an. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. 

BINCANG SYARIAH