Tertundanya Pahala Karena Sifat Ini

Seorang Muslim harus berusaha mendamaikan pihak-pihak yang berselisih.

Islam melarang saling bermusuhan dan mengajarkan tentang perdamaian, toleransi, dan persaudaraan antarsesama manusia. Islam mengajarkan untuk tidak berkonflik, menjauhi kebencian dan permusuhan terhadap sesama.

Islam juga mendorong untuk menciptakan hubungan yang harmonis dan saling menghormati dengan semua individu, tanpa memandang agama, suku, atau latar belakang mereka. Prinsip ini tercermin dalam banyak ayat Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW, yang menekankan pentingnya menjaga perdamaian.

Nabi Muhammad SAW berpesan untuk selalu menjaga kelembutan hati dan istiqomah dalam melaksanakan amal ibadah. Beliau SAW sungguh mengutamakan perdamaian di antara manusia dan penghapusan terhadap segala perselisihan, pertengkaran maupun bentrokan.

Nabi Muhammad SAW juga pernah berpesan, pintu surga tertutup bagi mereka yang memusuhi saudaranya. Beliau SAW bersabda:

– تُفتَحُ أبوابُ الجنَّةِ يومَ الاثنينِ و الخميسِ، فيغفرُ اللهُ عزَّ وجلَّ لِكلِّ عبدٍ لا يُشرِكُ باللهِ شيئًا، إلَّا رجلًا كانَ بينَه وبينَ أخيهِ شحناء، فيقول: أنظروا هذينِ حتَّى يصطلحا، أنظِروا هذينِ حتَّى يصطلِحا ،أنظِروا هذينِ حتَّى يصطلِحا

“Pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis dan akan diampuni semua hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, kecuali dua orang laki-laki yang memusuhi saudaranya. Maka dikatakan, ‘Tangguhkan amal kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan amal kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan amal kedua orang ini, sampai keduanya berdamai.'” (HR Muslim)

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat. (QS Al-Hujurat ayat 10)

Rasulullah SAW bersabda:

 لا تحاسَدُوا ، ولا تناجَشُوا ، ولا تباغَضُوا ولا تدابَرُوا ، ولا يبِعْ بعضُكمْ على بيعِ بعضٍ ، وكُونُوا عبادَ اللهِ إخوانًا ، المسلِمُ أخُو المسلِمِ ، لا يَظلِمُهُ ولا يَخذُلُهُ ، ولا يَحقِرُهُ ، التَّقْوى ههُنا – وأشارَ إلى صدْرِهِ – بِحسْبِ امْرِئٍ من الشَّرِّ أنْ يَحقِرَ أخاهُ المسلِمَ ، كلُّ المسلِمِ على المسلِمِ حرامٌ ، دمُهُ ، ومالُهُ ، وعِرضُهُ

“Janganlah kalian saling mendengki, jangan saling najasy, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi. Janganlah sebagian kalian membeli barang yang sedang ditawar orang lain, dan hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allâh yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka ia tidak boleh menzaliminya, menelantarkannya, dan menghinakannya. Takwa itu di sini, beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali. Cukuplah keburukan bagi seseorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim. Setiap orang Muslim, haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya atas muslim lainnya.” (HR. Muslim)

Allah SWT mengabaikan orang-orang yang berselisih terhadap sesamanya, terlebih kepada kepada sesama Muslim. Jika sikap bermusuhan ini tetap dilakukan, Allah SWT akan menunda permohonan doa orang tersebut sampai ia bertaubat dan mendamaikan apa yang ada di antaranya.

Seorang Muslim harus berusaha mendamaikan pihak-pihak yang berselisih. Karena mendamaikan dua pihak yang berselisih adalah sedekah. Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda, “Sedekah yang paling baik adalah mendamaikan perselisihan.” (HR Thabrani dan al-Bazzar)

IHRAM

Pengaruh Cinta dalam Konteks Syirik

‘Cinta bikin orang gila’, begitu kata sebagian orang. Barangkali ada benarnya. Buktinya, banyak kita saksikan para pemuda atau pemudi yang rela melanggar aturan-aturan agama demi mencari keridaan pacarnya. Alasan mereka, ‘cinta itu membutuhkan pengorbanan’. Kalau berkorban harta atau bahkan nyawa untuk membela agama Allah, tentu tidak kita ingkari. Namun, bagaimana jika yang dikorbankan adalah syariat Islam dan yang dicari bukan keridaan Ar-Rahman? Semoga tulisan yang ringkas ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita bersama, agar cinta yang mengalir di peredaran darah kita tidak berubah menjadi bencana.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن یَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادࣰا یُحِبُّونَهُمۡ كَحُبِّ ٱللَّهِۖ وَٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ أَشَدُّ حُبࣰّا لِّلَّهِۗ وَلَوۡ یَرَى ٱلَّذِینَ ظَلَمُوۤا۟ إِذۡ یَرَوۡنَ ٱلۡعَذَابَ أَنَّ ٱلۡقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِیعࣰا وَأَنَّ ٱللَّهَ شَدِیدُ ٱلۡعَذَابِ

Di antara manusia ada yang mencintai sekutu-sekutu selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Adapun orang-orang yang beiman lebih dalam cintanya kepada Allah. Seandainya orang-orang yang zalim itu menyaksikan tatkala mereka melihat azab (pada hari kiamat) bahwa sesungguhnya seluruh kekuatan adalah milik Allah dan bahwa Allah sangat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS. Al-Baqarah: 165)

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan, “Allah menceritakan bahwa mereka (orang musyrik) mencintai pujaan-pujaan mereka (sesembahan tandingan itu) sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Maka, hal itu menunjukkan bahwa mereka juga mencintai Allah dengan kecintaan yang sangat besar. Akan tetapi, hal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam Islam. Lalu, bagaimana jadinya orang yang mencintai pujaan (selain Allah) dengan rasa cinta yang lebih besar daripada kecintaan kepada Allah? Lalu, apa jadinya orang yang hanya mencintai pujaan tandingan itu dan sama sekali tidak mencintai Allah?” (sebagaimana dinukil dalam Hasyiyah Kitab Tauhid, hal. 7)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Allah Ta’ala menyebutkan tentang kondisi orang-orang musyrik ketika hidup di dunia dan ketika berada di akhirat. Mereka itu telah mengangkat sekutu-sekutu bagi Allah, yaitu (sesembahan-sesembahan) tandingan. Mereka menyembahnya di samping menyembah Allah. Dan mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Dia itu adalah Allah yang tidak ada sesembahan yang hak, kecuali Dia. Tidak ada yang sanggup menentang-Nya. Tidak ada yang bisa menandingi-Nya dan tiada sekutu bersama-Nya.

Di dalam Ash-Shahihain (Sahih Bukhari dan Muslim) dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu, dia berkata, ‘Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, dosa apakah yang terbesar?’ Beliau menjawab, ‘Yaitu engkau mengangkat selain Allah sebagai sekutu bagi-Nya, padahal Dialah yang menciptakanmu.’ Sedangkan firman Allah, ‘Adapun orang-orang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.’ Hal itu dikarenakan kecintaan mereka (orang yang beriman) ikhlas untuk Allah dan karena kesempurnaan mereka dalam mengenali-Nya, penghormatan, dan tauhid mereka kepada-Nya. Mereka tidak mempersekutukan apapun dengan-Nya. Akan tetapi, mereka hanya menyembah-Nya semata, bertawakal kepada-Nya, dan mengembalikan segala urusan kepada-Nya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1: 262)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sumber terjadinya kesyirikan terhadap Allah adalah syirik dalam perkara cinta. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن یَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادࣰا یُحِبُّونَهُمۡ كَحُبِّ ٱللَّهِۖ وَٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ أَشَدُّ حُبࣰّا لِّلَّهِۗ وَلَوۡ یَرَى ٱلَّذِینَ ظَلَمُوۤا۟ إِذۡ یَرَوۡنَ ٱلۡعَذَابَ أَنَّ ٱلۡقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِیعࣰا وَأَنَّ ٱللَّهَ شَدِیدُ ٱلۡعَذَابِ

Dan di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan. Mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Adapun orang-orang yang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.’ (QS. Al-Baqarah : 165)”

Beliau rahimahullah menegaskan, “Maksud dari pembicaraan ini adalah bahwasanya hakikat penghambaan tidak akan bisa diraih apabila diiringi dengan kesyirikan kepada Allah dalam urusan cinta. Lain halnya dengan mahabbah lillah. Karena sesungguhnya kecintaan tersebut merupakan salah satu konsekuensi dan tuntutan dari penghambaan kepada Allah. Karena sesungguhnya kecintaan kepada Rasul (bahkan harus mendahulukan kecintaan kepadanya daripada kepada diri sendiri, orang tua, dan anak-anak) merupakan perkara yang menentukan kesempurnaan iman. Sebab mencintai beliau termasuk bagian dari mencintai Allah. Demikian pula halnya pada kecintaan fillah dan lillah…” (Ad-Daa’ wad-Dawaa’, hal. 212-213)

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/79387-cinta-sumber-terjadinya-syirik.html

Inilah Sebab-Sebab Terjatuh ke Dalam Kesyirikan (Bag. 1)

Kesyirikan adalah bentuk kemunduran yang berdampak pada fitrah dan merupakan penyakit yang menyerang hati. Ia merupakan penyakit yang paling ditakuti dan dikhawatirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan menjangkiti kita, para umatnya. Beliau bersabda,

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالُوا يَا رَسُولَ الله وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ؟ قَالَ الرِّياَءُ

Sesungguhnya yang paling kutakutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Apakah syirik kecil tersebut wahai Rasulullah?”  Beliau menjawab, “Riya’.” (HR. Ahmad no. 23630 dan Al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman no. 6831)

Jika riya’ yang mana termasuk ke dalam syirik kecil dan hanya membatalkan amalan tertentu saja, beliau takutkan. Maka, bagaimana dengan syirik besar yang akan membatalkan seluruh amal??

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan bahwa kesyirikan akan kembali menyebar dan merebak di akhir zaman.

لَا تَقُوم السَّاعَة حَتَّى تَضْطَرِب أَلَيَات نِسَاء دَوْس حَوْل ذِي الْخَلَصَة ، وَكَانَتْ صَنَمًا تَعْبُدهَا دَوْس فِي الْجَاهِلِيَّة بِتَبَالَة

Kiamat tidak akan terjadi hingga wanita-wanita Daus tawaf mengelilingi Dzul Khalashah. Yaitu, berhala yang disembah oleh Daus di masa Jahiliyah di Tabalah.“ (HR. Bukhari dan Muslim)

Tidak dapat dipungkiri, kita hidup di zaman di mana kesyirikan sangat lazim kita jumpai, baik itu di dalam kehidupan nyata maupun di dunia maya. Kesyirikan (sayangnya) seringkali dijadikan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi. Saat panen hasil laut, mereka melarung sesajen ke tengah lautan. Kata mereka hal ini sebagai bentuk syukur atas hasil laut yang diperoleh selama setahun serta harapan agar memperoleh hasil yang baik tanpa halangan dan musibah.

Sungguh miris, sampai-sampai di dunia maya sekalipun kesyirikan kerap kita jumpai, baik itu iklan ramalan nasib, meyakini sesuatu sebagai sebab atas terjadinya sesuatu yang bukan pada tempatnya hingga sajian video dan konten yang menampilkan praktik perdukunan dan kesyirikan.

Saudaraku, layaknya penyakit-penyakit lainnya yang menyerang tubuh manusia, kesyirikan juga memiliki sebab-sebab yang berpotensi besar menjerumuskam manusia ke dalamnya. Sebab-sebab yang wajib kita waspadai dan kita hindari.

Berikut ini adalah sebab-sebab utama terjerumusnya manusia ke dalam kesyirikan.

Kekaguman dan pengagungan yang berlebihan terhadap sesuatu

Jiwa kita dilahirkan untuk mengagumi sesuatu yang memiliki kelebihan dan keunggulan dari yang lainnya. Namun, penyimpangan syirik ini muncul justru salah satunya karena pemuliaan dan pengagungan yang berlebihan terhadap sesuatu.

Sampai-sampai, jika seseorang telah berlebihan di dalam mengagungkan dan mengkultuskan seseorang, ia akan memalingkan sesuatu yang menjadi kekhususan Allah Ta’ala kepada yang diagungkan dan dikaguminya tersebut. Ia sucikan sosok yang dikaguminya tersebut dan ia anggap bahwa sosok tersebut tidak memiliki dosa dan kesalahan. Padahal, pengkultusan dan penyucian itu hanyalah milik Allah semata. Rasa kagum yang ia lakukan tersebut pada akhirnya membuatnya terjatuh ke dalam jurang kesyirikan.

Hal inilah yang menjadi sebab terjadinya kesyirikan pertama di muka bumi ini. Allah Ta’ala mengisahkan di dalam surah Nuh,

قَالَ نُوحٌ رَبِّ إِنَّهُمْ عَصَوْنِي وَاتَّبَعُوا مَنْ لَمْ يَزِدْهُ مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلاَّ خَسَارًا * وَمَكَرُوا مَكْرًا كُبَّارًا * وَقَالُوا لاَ تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلاَ تَذَرُنَّ وَدًّا وَلاَ سُوَاعًا وَلاَ يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

Nuh berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka durhaka kepadaku, dan mereka mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya hanya menambah kerugian baginya, dan mereka melakukan tipu daya yang sangat besar.” Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa‘, Yagus, Ya‘uq dan Nasr.” (QS. Nuh: 21-23)

Kelima orang tersebut adalah orang-orang saleh dari kaum Nuh ‘alaihis salam. Berawal dari rasa takjub dan kagum yang berlebih-lebihan terhadap kesalehan mereka, hingga kemudian saat mereka telah meninggal dunia, rasa kagum tersebut berubah menjadi pengagungan dan pembuatan patung-patung mereka. Setelah berselang beberapa waktu, akhirnya kaum Nabi Nuh ‘alaihis salam mengkultuskan dan menyembah mereka.

Sebagian manusia yang lain terjatuh ke dalam kesyirikan karena pengkultusan dan pengagungan mereka terhadap benda-benda langit tertentu. Sebagaimana kisah kaum Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang menyembah bintang, matahari, dan bulan. Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنْ اٰيٰتِهِ الَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُۗ لَا تَسْجُدُوْا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوْا لِلّٰهِ الَّذِيْ خَلَقَهُنَّ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ

Dan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan jangan (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.(QS. Fussilat: 37)

Tentu saja, hal inipun berlaku bagi kita yang hidup di zaman sekarang. Banyak sekali dari mereka yang mengaku muslim, akan tetapi beribadah kepada kuburan dan mayit yang sudah tidak bisa lagi memberi manfaat. Tidak mengherankan juga jika sebagian manusia yang lainnya ada yang mengkultuskan dan mengagungkan sapi hingga monyet. Semuanya itu tidak lain dan tidak bukan karena kekaguman dan rasa takjub mereka yang berlebih-lebihan terhadap sesuatu.

Kecondongan hanya mengimani dan mempercayai yang nampak dan berwujud saja serta luput dan lalai dari sesuatu yang tidak nampak

Fitrah dan akal sehat manusia rentan terhadap penyakit. Jika dia tidak konsisten di dalam merawat dan melindunginya dari penyakit-penyakit yang akan menjangkitinya, hingga kemudian dia kehilangan ketertarikan terhadap hal-hal yang tidak berwujud dan tidak nampak serta sedikit demi sedikit membatasi perhatiannya hanya pada lingkup yang nyata dan nampak saja, maka kelalaiannya tersebut akan meluas sampai dia benar-benar membuang panca inderanya dari hal-hal yang tidak nampak oleh dirinya.

Hal inilah yang terjadi pada Bani Israil ketika mereka mengatakan kepada Nabi Musa ‘alaihis salam,

لَنْ نُّؤْمِنَ لَكَ حَتّٰى نَرَى اللّٰهَ جَهْرَةً

Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan jelas.” (QS. Al-Baqarah: 55)

Di ayat yang lain Allah Ta’ala mengisahkan kisah mereka,

قَالُوْا يٰمُوْسَى اجْعَلْ لَّنَآ اِلٰهًا كَمَا لَهُمْ اٰلِهَةٌ ۗقَالَ اِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُوْنَ

Mereka (Bani Israil) berkata, “Wahai Musa! Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).” (Musa) menjawab, “Sungguh, kamu orang-orang yang bodoh.”(QS. Al-A’raf: 138)

Kelalaian yang ekstrim inilah yang berujung pada pengingkaran sama sekali terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, Allah Ta’ala. Kepercayaan bahwa alam semesta terjadi dengan sendirinya tanpa adanya kuasa Allah Ta’ala di dalamnya, hanya mempercayai sains dan penelitian serta beragam kepercayaan lainnya yang meniadakan kuasa dan keberadaan Allah Ta’ala inilah yang disebut dengan Atheisme, di mana mirisnya hal ini telah melanda sebagian besar masyarakat di era sekarang.

Kebodohan

Tidak dapat dipungkiri, kebodohan merupakan sebab utama ketidakpatuhan kebanyakan umat kepada Nabi mereka dan penolakan mereka dari beribadah dan menyembah Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِقَوْمِهٖٓ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تَذْبَحُوْا بَقَرَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا ۗ قَالَ اَعُوْذُ بِاللّٰهِ اَنْ اَكُوْنَ مِنَ الْجٰهِلِيْنَ

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Allah memerintahkan kamu agar menyembelih seekor sapi betina.” Mereka bertanya, “Apakah engkau akan menjadikan kami sebagai ejekan?” Dia (Musa) menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk orang-orang yang bodoh.(QS. Al-Baqarah: 67)

Nabi Musa ‘alaihis salam berlindung kepada Allah Ta’ala agar tidak menjadikannya sebagai salah satu bagian dari kaumnya yang bodoh, yang dengan kebodohannya  tersebut pada akhirnya menuduh Nabi Musa menyampaikan dan mendakwahkan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla.

Di ayat yang lain, Allah Ta’ala menceritakan bagaimana perdebatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kaumnya dalam masalah tauhid dan syirik,

قُلْ اَفَغَيْرَ اللّٰهِ تَأْمُرُوْۤنِّيْٓ اَعْبُدُ اَيُّهَا الْجٰهِلُوْنَ

Katakanlah (Muhammad), “Apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, wahai orang-orang yang bodoh?” (QS. Az-Zumar: 64)

Sekiranya mereka yang mengajak berdebat tersebut tidak bodoh dan mempunyai ilmu pengetahuan bahwasanya Allah Yang Mahasempurna dari segala sisi-Nya adalah yang berhak untuk diibadahi dan bukan yang selain-Nya yang lemah dari segala sisinya, tentu permintaan semacam ini tidak akan keluar dari lisan mereka. Karena mereka tahu bahwa menyembah selain Allah Ta’ala termasuk kesyirikan yang dapat menghapus semua amal-amal kebaikan dan tidak akan diampuni oleh Allah, kecuali jika bertobat dengan sebenar-benarnya tobat.

Sungguh kebodohan akan menutup pintu hidayah dan taufik kepada kebenaran. Menjadikan seorang manusia kolot dan keras kepala, sulit menerima kebenaran, lalu kemudiaan tidak mau mengakuinya. Naudzubillahi min dzalika kullihi.

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu, jangan sampai aku sesat atau disesatkan (setan atau orang yang berwatak seperti setan), berbuat kesalahan atau disalahi, menganiaya atau dianiaya (orang), dan berbuat bodoh atau dibodohi.”

Wallahu A’lam bisshawab.

Lanjut ke bagian 2: (Insyaallah Bersambung)

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88001-inilah-sebab-sebab-terjatuh-ke-dalam-kesyirikan-bag-1.html

Tafsir Mimpi Bertemu Kucing

Kucing adalah salah satu hewan peliharaan yang digandrungi banyak orang. Selain karena jinak, tingkahnya yang lucu, warna bulu-bulunya yang indah menawan kucing sering juga difungsikan untuk menjaga rumah dari hama tikus. Namun bagaimana jika bermimpi kucing apakah merupakan pertanda baik atau sebaliknya? Berikut penjelasan tafsir mimpi bertemu kucing.

Seorang tokoh Tabi’in ahli tafsir mimpi Muhammad Ibnu Sirin al-Bashri (wafat 110 H) dalam kitab yang dinisbatkan kepadanya yakni kitab Tafsirul Ahlam menjelaskan bahwa tafsir mimpi bertemu kucing, di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat terkait dengan tafsirnya.

Menurut ulama, ada yang berpendapat bermimpi kucing tafsirnya adalah adanya penjagaan, akan mengalami pencurian yang dilakukan oleh kerabatnya sendiri. Pendapat lain mengatakan bila mimpinya berupa kucing betina maka tafsirnya adalah perempuan yang jelek perangainya, suka menipu dan suka berterik-teriak.

Dan dihubungkan dengan orang-orang yang mengelilingi seseorang untuk menjaganya namun juga mengelapkan dan mencuri darinya atau merugikannya. Jika ia digigit kucing atau dikoyaknya maka ia akan di khianati orang yang semula meladeninya atau ia akan menderita sakit.

Ibnu Sirrin berkata: “Bermimpi kucing tafsirnya adalah sakit selama setahun, jika kucingnya liar maka sakitnya lebih parah. Jika kucingnya betina dan tenang ia akan dalam ketenangan, ketentraman dan kedamaian dalam satu tahun. Jika kucingnya betina, liar dan mempunyai banyak luka maka tafsirnya dalam satu tahunnya akan menjengkelkan, menyusahkan dan memayahkannya.” Lihat (Tafsirul Ahlam, juz I halaman 383-384)

Dalam kitab yang sama disebutkan sebuah kisah bahwa suatu saat beliau Ibnu Sirrin ditanya oleh seorang perempuan perihal mimpinya tentang kucing kemudian beliau memberikan tafsir dari mimpinya dan ternyata tepat tafsir yang beliau sampaikan berikut selengkapnya.

 (وحكي) أن امرأة أتت ابن سيرين فقالت رأيت سنوراً أدخل رأسه في بطن زوجي فأخرج منه شيئاً فأكله فقال لها لئن صدقت رؤياك ليدخلن الليلة حانوت زوجك لص زنجي وليسرقن منه ثلثمائة وستة عشر درهماً فكان الأمر على ما قال سواء وكان في جوارهم حمامي زنجي فأخذوه فطالبوه بالسرقة فاسترجعوها منه فقيل لابن سيرين كيف عرفت ذلك ومن أين استنبطه قال السنور لص والبطن الخزانة وأكل السنور منه سرقة وأما مبلغ المال فإنما استخرجته من حساب الجمل وذلك أن السين ستون والنون خمسون والواو ستة والراء مائتان فهذه مجموع السنور

Artinya, “Dikisahkan bahwa suatu ketika seorang perempuan datang menemui Ibnu Sirin ia berkata: “Aku bermimpi seekor kucing memasukkan kepalanya pada perut suamiku kemudian kucing tersebut mengeluarkan sesuatu darinya lantas memakannya.”

Ibnu Sirin berkata kepada si perempuan: “Jika mimpimu benar maka sungguh pada suatu malam akan masuk toko suamimu seorang negro, dan dia akan mencuri dari toko suamimu 316 dirham.”

Benar saja kejadiannya persis apa yang dikatakan oleh Ibnu Sirin. Hidup dilingkungan mereka penjaga pemandian Negro. Mereka mengambil tindakan dan menuntut si Negro bahwa ia telah mencuri dan memintanya untuk mengembalikan apa yang telah ia curi dari toko tersebut.Kemudian ditanyakan kepada Ibnu Sirin: “Bagaimana engkau dapat mengetahui semua itu, dan dari mana sumber ijtihadmu?”

Ibu sirin menjelaskan: “kucing tafsirnya adalah pencuri, perut tafsirnya almari tempat penyimpanan, kucing memakan darinya dengan cara mencuri. Adapun untuk mengetahui jumlah harta yang dicuri ialah dengan menguraikan dengan hisab jumal (metode penghitungan dengan abajadun/qoidah bagdadiyah) yakni sinn nilainya 60, nun 50, waw 6 dan raa nilainya 200 sehingga jumlahnya (سنور) adalah 60+50+6+200= 316.” (Tafsirul Ahlam, juz I halaman 384-385).

Demikian keterangan tentang tafsir mimpi bertemu kucing menurut Ibnu Sirrin. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bissowab.

BINCANG SYARIAH

Doa Keluar Rumah

Ketika keluar dari rumah dan hendak pergi ke suatu tempat, Rasulullah mengajarkan kita untuk membaca doa keluar rumah agar selama pergi kita terhindar dari bahaya dan kejelekan. Berikut doa tersebut;

باسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ على اللَّهِ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ باللَّهِ

Bismillahi tawakkaltu ‘alallaahi wa laa haula wa laa quwwata illaa billah(i)

Artinya: Dengan menyebut nama Allah. Aku bertawakkal kepada Allah, dan  tiada daya serta kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah.

(Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah)

BINCANG SYARIAH

10 Poin Penting Seputar Ikhlas dan Riya yang Diwanti-wanti Imam Ghazali

Ikhlas merupakan salah satu syarat mutlak amalan seorang hamba

Imam Al-Ghazali adalah seorang filsuf dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat. 

Ulama yang dijuluki Hujjatul Islam ini menjelaskan tentang hakikat ikhlas dan riya dalam kitabnya, Raudhah ath-Thalibin wa Umdah as-Salikin dalam buku “Hidup di Dunia, Apa yang Kau Cari?” yang diterbitkan Rene Turos. Berikut ini beberapa poinnya: 

1. Menurut para ulama, ikhlas ada dua macam, yaitu ikhlas dalam beramal dan ikhlas dalam mencari pahala. 

2. Ikhlas dalam beramal adalah kehendak untuk mendekat kepada Allah SWT, mengagumkan urusan-Nya dan menjawab seruan-Nya. 

Munculnya keikhlasan semacam ini didorong keyakinan yang benar kebalikan dari semuanya adalah nifaq atau kemunafikan atau mendekat kepada selain Allah SWT    

3. Adapun ikhlas dalam mencari pahala berarti kehendak untuk memperoleh keuntungan akhirat dengan melakukan kebaikan  

4. Kebalikannya adalah riya atau keinginan mendapatkan keuntungan dunia dengan amal akhirat, baik mengharap dari Allah SWT maupun dari manusia

5. Al-Ghazali menjelaskan, hal yang diperhitungkan dalam perilaku riya adalah apa yang diinginkan, bukan dari siapa  

6. Selain itu, kedua bentuk keikhlasan di atas mempunyai pengaruh yaitu bahwa keikhlasan dalam beramal menjadikan amal sebagai sarana mendekatkan diri pada Allah SWT (taqarrub), dan keikhlasan mencari pahala membuat amal diterima serta memperoleh pahala berlimpah  

7. Sebaliknya, lanjut Al-Ghazali, kemunafikan itu merusak amal dan mengeluarkannya dari posisi taqarrub. Sementara riya mengakibatkan ditolaknya amal.  

8. Menurut sebagian ulama, amal itu ada tiga macam. Pertama, amal yang mengandung kedua macam ikhlas di atas sekaligus. Kedua, ibadah lahir yang murni. Ketiga, ibadah yang tidak mengandung keikhlasan mencari pahala tetapi mengandung keikhlasan beramal, yaitu hal-hal mubah yang diambil sebagai bekal. 

“Guru kita berkata, setiap ibadah murni yang mungkin dibelokkan kepada selain Allah mengandung keikhlasan amal. Mayoritas ibadah batin mengandung keikhlasan dalam beramal,” jelas Al-Ghazali

9. Berkaitan dengan keikhlasan dalam mencari pahala, guru Al-Ghazali berkata, “Jika dengan melakukan ibadah-ibadah batin seseorang menginginkan keuntungan dunia dari Allah, hal itu termasuk riya.”

10. Maka, lanjut Al-Ghazali, tidak salah jika kebanyakan ibadah batin mengandung kedua macam ikhlas, begitu pula Ibadah sunnah. 

“Oleh karena itu, saat melaksanakan ibadah-ibadah batin dan sunnah harus disertai kedua macam keikhlasan ini sekaligus. Perbuatan-perbuatan mubah yang diambil sebagai persiapan hanya mengandung keikhlasan dalam mencari pahala tanpa keikhlasan beramal,” kata Al-Ghazali.   

KHAZANAH REPUBLIKA

Hari Kiamat Menurut Ilmu Pengetahuan

Hari kiamat memiliki makna yang sangat banyak. Berbagai disiplin ilmu dan banyak teori berusaha menjelaskannya. Berikut ini adalah tiga dari banyak asumsi dalam teori yang mengemukakan tentang hari kiamat:

Penjelasan Geologi

Hari kiamat adalah saat bumi terjadi dari gas yang berputar atau yang dinamakan chaos catastrope. Setelah diam, gas tersebut menjadi dingin. Gas yang berat tersebut mengendap ke bawah dan yang ringan berada di atas.

Melalui proses evolusi yang panjang, gas yang berada di bagian luar kemudian mengeras menjadi batu, kerikil, pasir, dan lain sebagainya. Sementara itu, gas yang berada di bagian tengah masih dalam kondisi panas.

Zat panas tersebut kemudian bercampur dengan lava, lahar, batu, dan pasir panas. Bumi yang beredar lantaran adanya daya tarik matahari terhadap bumi pun berkurang. Akibatnya, bumi akan bergeser dari matahari sehingga membuat putaran bumi semakin cepat dan akan mengalami nasib seperti meteor yang menyala atau hancur.

Teori Fisika

Kiamat menurut teori fisika adalah letak matahari kira-kira 150 juta km jauhnya dari bumi. Meski begitu, sinar matahari sampai ke bumi selama 8 menit 20 detik. Garis tengah matahari = 1,4 juta km, dan luas permukaannya 616 x 1010 km = 622160 km.

Menurut ahli fisika, energi matahari yang dipancarkan ke angkasa dan sekitarnya adalah 5,7 x 1027 kalori = 5853,9 kalori/menit dan dapat menyala selama 50 milyar tahun dengan panas sebesar 15 juta derajat celcius.

Apabila suatu saat matahari tidak muncul atau cahayanya redup sebab tenaga atau sinarnya habis, maka tidak ada angin dan awan. Angin dan awan yang tidak ada mengakibatkan hujan menjadi tidak akan turun. Karena itulah, gunung-gunung pun akan meletus, ombak bergulung-gulung, dan air laut naik sehingga menghancurkan bumi.

Bukti dalam Al-Qur’an

Imam Ath Thabari dan Ibnu Katsir menyatakan bahwa telah diperlihatkan peristiwa-peristiwa yang menakjubkan di dunia. Ada peristiwa pembunuhan yang dipermasalahkan oleh Bani Israil, akan di hidupkan kembali oleh Allah Swt. hanya dengan perantaraan daging sapi yang dipukulkan ke tubuh orang yang terbunuh.

Kisah ini tercantum dalam dua ayat AL-Qur’an sebagai berikut:

Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 72

وَإِذْ قَتَلْتُمْ نَفْسًا فَٱدَّٰرَْٰٔتُمْ فِيهَا ۖ وَٱللَّهُ مُخْرِجٌ مَّا كُنتُمْ تَكْتُمُونَ

Wa iż qataltum nafsan faddāra’tum fīhā, wallāhu mukhrijum mā kuntum taktumụn

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh menuduh tentang itu. Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kamu sembunyikan.”

Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 73

فَقُلْنَا ٱضْرِبُوهُ بِبَعْضِهَا ۚ كَذَٰلِكَ يُحْىِ ٱللَّهُ ٱلْمَوْتَىٰ وَيُرِيكُمْ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Fa qulnaḍribụhu biba’ḍihā, każālika yuḥyillāhul-mautā wa yurīkum āyātihī la’allakum ta’qilụn

Artinya: Lalu Kami berfirman: “Pukullah mayat itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu!”

Demikianlah penjelasan dalam Al-Qur’an tentang menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dam memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu mengerti. Peristiwa Nabi Ibrahim dan burung-burung yang dicincangnya kemudian diletakkan di tiap-tiap bagian di atas bukit lalu Allah Swt. berfirman:

Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 260

وَإِذْ قَالَ إِبْرَٰهِۦمُ رَبِّ أَرِنِى كَيْفَ تُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ ۖ قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِن ۖ قَالَ بَلَىٰ وَلَٰكِن لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِى ۖ قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِّنَ ٱلطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ ٱجْعَلْ عَلَىٰ كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ٱدْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا ۚ وَٱعْلَمْ أَنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Wa iż qāla ibrāhīmu rabbi arinī kaifa tuḥyil-mautā, qāla a wa lam tu`min, qāla balā wa lākil liyaṭma`inna qalbī, qāla fakhuż arba’atam minaṭ-ṭairi fa ṣur-hunna ilaika ṡummaj’al ‘alā kulli jabalim min-hunna juz`an ṡummad’uhunna ya`tīnaka sa’yā, wa’lam annallāha ‘azīzun ḥakīm

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati”. Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): “Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera”. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Dua informasi tentang bukti dalam Al-Qur’an terkait hari kiamat memang dijelaskan oleh al-Qur’an. Tapi, penjelasan tersebut bukanlah berita langsung bahwa Hari Akhir akan datang. Dua hal tersebut adalah informasi historis atau sejarah tentang peristiwa yang pernah terjadi dan menjadi bukti secara indrawi bahwa kiamat pasti akan datang.

BINCANG SYARIAH

Setengah Juta Calhaj Indonesia Berkategori Lansia

Menkes menyampaikan pihaknya sudah menyiapkan konsep baru sistem pemeriksaan kesehatan calon jamaah haji

Oleh ZAHROTUL OKTAVIANI

JAKARTA — Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas membahas skema baru penentuan istithaah kesehatan jamaah dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk penyelenggaraan musim haji 1445 H/2024. Pertemuan ini dilaksanakan guna membahas skema baru penentuan istithaah kesehatan jamaah haji 1445 H/2024 M.

Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, Pemerintah Arab Saudi telah menginformasikan besaran kuota haji pada 2024 untuk Indonesia berjumlah 221.000 jamaah. Saat ini, Indonesia disebut memiliki 500 ribu calon jamaah haji kategori jamaah lanjut usia (lansia). “Selain cuaca yang diprediksi masih ekstrem hingga lima tahun ke depan. Kita juga dihadapkan dengan berkurangnya jumlah petugas haji pada penyelengaraan haji 2024,” ujar Menag dalam keterangan yang didapat Republika, Jumat (6/10/2023).

Selain cuaca yang diprediksi masih ekstrem hingga lima tahun ke depan. Kita juga dihadapkan dengan berkurangnya jumlah petugas haji pada penyelengaraan haji 2024.

YAQUT CHOLIL QOUMAS Menteri Agama

Gus Men, panggilan akrabnya, menyebut kondisi ini menjadi tantangan baru ke depan. Adapun perihal istithaah kesehatan, ia telah melaporkan hal ini kepada Presiden Joko Widodo. Istithaah merupakan istilah dalam agama Islam, yang merujuk pada kondisi atau kemampuan seseorang untuk melaksanakan ibadah haji ke Baitullah di Makkah, Arab Saudi. “Terkait istithaah kesehatan ini, nanti akan disiapkan regulasinya oleh Kemenag dan Kemenkes untuk musim haji 1445H,” kata Gus Men.

Dalam kesempatan yang sama, Menkes menyampaikan pihaknya sudah menyiapkan konsep baru sistem pemeriksaan kesehatan calon jamaah haji, yang akan diterapkan pada 2024. Konsep baru pemeriksaan kesehatan calon jamaah haji yang telah disiapkan ini meliputi pemeriksaan medical check up, kesehatan mental, kesehatan kognitif, serta penilaian tingkat kemandirian aktivitas sehari-hari dari calon jamaah haji. “Pemeriksaan kesehatan mental ini dilakukan untuk mengidentifikasi demensia, orientasi daya ingat, dan konsentrasi,” ujar Menkes.

Sementara itu, pemeriksaan kognitif disebut diperlukan untuk mengidentifikasi kemampuan berpikir pada lansia. Ini adalah konsep baru pemeriksaan kesehatan yang akan pihaknya terapkan pada penyelengaraan haji 1445 H nanti. Ia menambahkan, dalam rentang 2018 hingga 2023, terdapat lima penyakit terbanyak yang dialami oleh jamaah haji Indonesia saat dirawat di Rumah Sakit Arab Saudi. Lima penyakit itu, yakni pneumonia, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), infark, miokard akut dan penyakit jantung koroner (PJK).

photo

Pemerintah akan mengedepankan istithaah kesehatan sebelum pelunasan untuk haji tahun depan sesuai dengan rekomendasi Rapat Kerja Nasional Evaluasi Haji 2023 beberapa waktu lalu. Kepala Pusat Kesehatan (Kapuskes) Haji Kementerian Kesehatan RI Liliek Marhaendro Susilo menyebut, persyaratan dan kriteria istithaah kesehatan yang digunakan masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Pihaknya mengikuti kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 15 Tahun 2016.

Meski demikian, ia mengaku tengah melakukan sedikit revisi terkait kriteria tingkat keparahan penyakitnya. “Saat ini Permenkes 15 sedang kami revisi. Tapi, karena bertanyanya hari ini, saya jawab dengan kriteria yang tersedia saat ini,” ujar dia kepada Republika, Rabu (13/9/2023).

Liliek menegaskan, semua calon jamaah haji estimasi berangkat tahun 2024 akan dilakukan pemeriksaan kesehatan demi mengetahui kemampuan kesehatannya. Untuk sementara, ujar dia, pihaknya akan menggunakan kriteria yang ada dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2016 tentang Istithaah Kesehatan Jamaah Haji.

Tarwiyah

Pemerintah dan ulama Indonesia sepakat ibadah Tarwiyah adalah sunah. Karena itu, pelaksanaannya adalah hak individu masing-masing jamaah. Meski tidak melarang, Kemenag, para ulama, serta praktisi haji, tetap mengimbau jamaah untuk tidak ikut-ikutan dalam pelaksanaan ibadah Tarwiyah. Pemerintah dalam hal ini tidak memfasilitasi pelaksanaannya, mengingat kemaslahatan kolektif jamaah haji secara keseluruhan.

Perihal ibadah Tarwiyah ini dibahas dalam kegiatan Bahtsul Masal Perhajian Indonesia Tahun 2023, yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU) Kemenag, Kamis (5/10/2023). Hadir dalam forum, praktisi haji sekaligus Ketua FK KBIHU Qasim Saleh. Dia mengatakan, sering ditemukan jamaah haji yang hanya ikut-ikutan menjalani ibadah Tarwiyah. Pada akhirnya, mereka tidak memahami konsekuensi dari ibadah yang mereka jalani.

Apakah memang betul-betul komitmen sendiri untuk mengikuti ideologi yang dianut, atau malah terpaksa mengikuti karena ketua rombongannya ikut Tarwiyah.

QASIM SALEH

“Dari sekian banyak jamaah yang mengikuti Tarwiyah ini, kita juga perlu melihat latar belakang mengapa mereka menjalaninya. Apakah memang betul-betul komitmen sendiri untuk mengikuti ideologi yang dianut atau malah terpaksa mengikuti karena ketua rombongannya ikut Tarwiyah. Artinya, bukan berdasarkan kesadaran ideologis jamaah itu sendiri,” ujar Qasim dalam keterangan yang didapat Republika, Jumat (6/10/2023).

Berdasarkan laporan dari PPIH Arab Saudi pada penyelenggaraan ibadah haji 1444 H/2023 M, jamaah Indonesia yang melakukan Tarwiyah mencapai 15.186 orang atau 7 persen dari keseluruhan jamaah haji Indonesia yang berangkat. Jumlah yang banyak ini, Qasim melanjutkan, cukup sulit untuk difasilitasi oleh pemerintah, dalam hal ini Kemenag. Hal ini mengingat pergerakan massa yang demikian besar dilakukan ke Mina dan Arafah dalam satu hari sekaligus.

“Butuh perhatian yang lebih dari pemerintah. Namun, sampai saat ini sulit dibayangkan memobilisasi jamaah sebegitu banyaknya ke dua tempat (Mina dan Arafah) dalam satu hari,” kata dia.

Ia juga menyinggung kemungkinan dibukanya “kran” pelaksanaan ibadah Tarwiyah dalam penyelenggaraan haji kepada seluruh jamaah. Qasim menyebut jika hal ini terjadi, perlu rancangan utama (grand design) yang matang terkait mobilisasi jamaah haji.

Menurut dia, jika Tarwiyah dibuka kerannya lebar-lebar, setiap pihak harus mempersiapkan dengan matang, termasuk dari sisi pergerakannya. Hal ini bukan hanya menjadi pertimbangan Pemerintah Indonesia, tapi juga Arab Saudi, bagaimana memobilisasi sekian ratus ribu jamaah tersebut.

Untuk diketahui, Tarwiyah sendiri memiliki arti berpikir atau merenung. Dalam konteks ibadah haji, Tarwiyah adalah suatu prosesi ibadah haji yang dilakukan oleh Nabi SAW pada 8 Dzulhijah di Mina, untuk memuaskan dahaga setelah menempuh perjalanan dari Makkah serta mengumpulkan perbekalan utamanya air.

Di Mina, jamaah dapat melaksanakan shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan shalat sunah dua rakaat, lalu bermalam dan shalat Subuh. Mengutip al-Haitami, jamaah juga dianjurkan untuk melaksanakan shalat subuh esok harinya pada batu-batu di hadapan menara, karena di situ tempat shalat Rasulullah SAW.

REPUBLIKA

Hukum Menaburkan Debu Tanah di Atas Kubur

Teks hadis dan status kesahihannya

Berkaitan dengan menaburkan debu di atas kubur, terdapat hadis-hadis berikut ini.

Dari ‘Amir bin Rabi’ah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ دُفِنَ عُثْمَانُ بْنُ مَظْعُونٍ صَلَّى عَلَيْهِ وَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعًا، وَحَثَى عَلَى قَبْرِهِ بِيَدِهِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ مِنَ التُّرَابِ وَهُوَ قَائِمٌ عِنْدَ رَأْسِهِ

Ketika Utsman bin Mazh’un dimakamkan, aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyalatkan jenazahnya, bertakbir empat kali, menaburkan debu tanah dengan tangannya di atas pusara kuburnya sebanyak tiga kali dalam keadaan berdiri di sisi kepalanya.” (HR. Ad-Daruquthni, 2: 76)

Status hadis ini dha’if jiddan, bahkan maudhu’, karena di dalam sanadnya terdapat perawi bernama Al-Qasim bin ‘Abdullah Al-‘Umari dan ‘Ashim bin ‘Ubaidillah. (Lihat Minhatul ‘Allam, 4: 347)

Selain riwayat di atas, terdapat sebuah hadis dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلَى جِنَازَةٍ، ثُمَّ أَتَى قَبْرَ الْمَيِّتِ، فَحَثَى عَلَيْهِ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ ثَلَاثًا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyalatkan suatu jenazah, kemudian mendatangi kuburannya. Beliau menaburkan debu tanah di atasnya tiga kali ke bagian atas kepala jenazah.” (HR. Ibnu Majah no. 1565)

Hadis ini diperselisihkan statusnya oleh para ulama ahli hadis. Hadis ini dinilai sahih oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i (Al-Khulashah, 2: 1019) dan Al-Bushiri (Az-Zawaaid, 1: 511). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Sanad hadis ini zahirnya sahih.” (At-Talkhis, 2: 139)

Hadis ini juga dinilai sahih oleh Al-Albani (Al-Irwa’ no. 751 dan Al-Misykat no. 1720) dan dinilai hasan oleh Syekh Abdullah Alu Bassam (Taudhihul Ahkam, 3: 247).

Akan tetapi, hadis ini dinilai batil oleh Abu Hatim. Ketika ditanya tentang hadis ini, beliau rahimahullah berkata, “Hadis ini batil.” (Al-‘Ilal, hal. 483)

Setelah membahas perselisihan status kesahihan dua hadis di atas, Syekh ‘Abdullah Al-Fauzan berkata, “Yang tampak bagiku, wallahu a’lam, bahwa berkaitan dengan masalah ini, tidak ada satu pun hadis yang secara jelas menjelaskan disyariatkannya menaburkan debu di atas kubur dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, terdapat riwayat dari sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum. Dari ‘Umair bin Sa’d, bahwa ‘Ali radhiyallahu ‘anhu menaburkan debu di atas kubur Yazid bin Al-Mukaffaf sebanyak dua atau tiga kali [1].” (Minhatul ‘Allam, 4: 349)

Kandungan hadis

Hadis ini adalah dalil disyariatkannya menaburkan debu di atas kubur, dalam rangka mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga untuk berserikat dalam mendapatkan pahala menguburkan jenazah. Hal ini lebih bisa mengingatkan kematian dan tempat kembali seseorang di akhirat bagi mereka yang masih memiliki hati yang hidup.

Banyak ulama ahli fikih menganjurkan menaburkan debu setelah liang lahad selesai ditutup, berdasarkan hadis-hadis yang menyebutkan masalah ini dan saling menguatkan satu sama lain. Demikian pula, ditambah dengan adanya atsar dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum. (Lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 3: 331)

Syekh ‘Abdullah Alu Bassam berkata, “Menaburkan debu tanah sebanyak tiga kali yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu adalah syariat untuk umatnya dan juga untuk bersama-sama (berserikat) dalam mendapatkan pahala memakamkan jenazah.” (Taudhihul Ahkam, 3: 248)

Syekh ‘Abdullah Alu Bassam juga berkata, “Siapa saja yang tidak terlibat langsung dalam menguburkan jenazah, dianjurkan untuk menaburkan debu tanah sebanyak tiga kali di atas kubur. Hal ini dalam rangka mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan dalam rangka saling membantu (berserikat) dalam menunaikan kewajiban (fardhu kifayah) untuk memakamkan (jenazah).” (Taudhihul Ahkam, 3: 248)

Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa manusia bisa saja berdesak-desakan di pemakaman ketika ingin menaburkan debu tanah di atas pusara makam ketika proses pemakaman jenazah selesai dilakukan. Dan bisa jadi mereka meninggalkan perkara sunah lainnya, yang paling penting adalah berdiri dan mendoakan jenazah untuk diberikan keteguhan dalam menjawab pertanyaan kubur.

Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [2]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/87557-hukum-menaburkan-debu-tanah-di-atas-kubur.html

Hujan Buatan Menyalahi Takdir?

Hampir di beberapa wilayah di Indonesia dilanda musim kemarau dan kekeringan ekstrem. Kemarau yang terjadi lebih awal datang dan diprediksi akan berlangsung lebih lama dari pada tahun-tahun sebelumnya. Kekeringan, kurang air dan gagal panen melanda beberapa daerah.

Salah satu upaya yang dilakukan salah satunya adalah dengan bantuan hujan buatan melalui teknologi modifikasi cuaca.  Hujan buatan manusia, yang telah banyak digunakan oleh beberapa negara untuk mengatasi kekeringan di wilayahnya, adalah sebuah teknik yang bertujuan untuk merangsang hujan.

Hujan buatan memang tidak selalu menjamin, tetapi hanya usaha yang dilakukan untuk merangsang turunnya hujan. Dalam prakteknya, hujan buatan tidak seperti hujan alami lainnya yang bisa bertahan lama dalam waktu ke waktu.

Hujan buatan melibatkan rangkaian langkah untuk mempercepat dan meningkatkan frekuensi curah hujan. Untuk mencapai tujuan ini, kondisi tertentu perlu diciptakan. Awan dengan tingkat kelembaban yang tinggi dan angin yang bergerak perlahan adalah prasyaratnya. Dalam usaha ini, partikel-partikel halus seperti garam disebarkan ke dalam awan untuk merangsang uap air, yang selanjutnya bergabung dengan tetesan air yang ada dalam awan. Akibatnya, hujan dapat terbentuk dan mencapai permukaan bumi.

Dalam konteks agama Islam, hujan buatan manusia adalah hal yang baru. Rumusan tentang boleh atau tidaknya memang tidak mendapatkan landasan yang kuat. Biasanya hal itu akan dilarikan pada persoalan apakah hal itu mendahului takdir atau melawan takdir.

Dalam teologi Islam, semua yang terjadi di dunia adalah kehendak Tuhan. Sakit, sembuh, sehat, kemarau, hujan, siang dan malam adalah bagian dari kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan ini ditanamkan dalam alam semesta yang disebut sunnatullah atau hukum alam. Bagaimana mengetahui hukum alam?

Al-Quran Surah Ali-Imran ayat 190 yang berbunyi: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” Allah dalam beberapa ayat juga seringkali menggugah manusia berpikir dan mengenali tanda-tandanya.

Hujan adalah bagian dari proses alam sebagai kehendak Tuhan. Begitu pula penyakit adalah ciptaan Tuhan. Namun, manusia juga harus berusaha untuk menghindari hal yang menyebabkan mudharat terhadap kehidupannya.

Berusaha sembuh dari penyakit bukan bagian dari menyalahi takdir Tuhan. Berusaha keluar dari kekeringan yang dapat merusak kehidupan manusia juga bukan bagian dari melawan kehendak Tuhan.

Hujan dalam Islam misalnya digambarkan dalam al-Quran : “Tidakkah engkau melihat bahwa sesungguhnya Allah mengarahkan awan secara perlahan, kemudian mengumpulkannya, lalu menjadikannya bertumpuk-tumpuk. Maka, engkau melihat hujan keluar dari celah-celahnya. Dia (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung. Maka, Dia menimpakannya (butiran-butiran es itu) kepada siapa yang Dia kehendaki dan memalingkannya dari siapa yang Dia kehendaki. Kilauan kilatnya hampir-hampir menghilangkan penglihatan.” (QS An-Nūr: 43).

Mekanisme hujan diatur oleh Tuhan melalui gerak alam. Semuanya tentu atas kehendak Tuhan. Mencoba memahami hujan buatan melalui mekanisme alam yang dipelajari dari alam tersebut bukan bagian dari menyalahi takdir Tuhan. Seperti manusia menciptakan lampu, kipas angin dan ragam teknologi lainnya untuk menghasilkan energi alam.

Pada prinsipnya, hujan buatan di tengah kekeringan bisa dilakukan dengan alasan. Pertama, Kelestarian Alam: Agama Islam mendorong umatnya untuk menghormati alam dan lingkungan. Jika teknik hujan buatan merusak ekosistem atau lingkungan alam, maka hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai pelestarian alam dalam agama ini.

Kedua, hasil yang diharapkan untuk kemashalahatan : Dalam beberapa kasus, hujan buatan digunakan untuk mengatasi kekeringan atau kekurangan air yang dapat membantu masyarakat. Dalam perspektif agama, hasil yang diharapkan dari tindakan ini mungkin dapat dianggap positif jika membantu memenuhi kebutuhan masyarakat.

Ketiga, niat dan tujuan untuk kebaikan : Agama seringkali menekankan pentingnya niat dan tujuan di balik tindakan. Jika hujan buatan digunakan untuk tujuan yang baik, seperti mendukung pertanian atau mengatasi krisis air, dengan niat yang baik, hal ini mungkin lebih dapat diterima dalam perspektif agama.

Selain itu, perlu adanya pemantauan dan pengaturan ketat dalam pelaksanaan teknik hujan buatan agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan keseimbangan alam. Keputusan terkait dengan hujan buatan sebaiknya diambil dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, serta dengan konsultasi ulama dan otoritas agama untuk memastikan bahwa tindakan ini sejalan dengan nilai-nilai dan etika Islam yang menghormati alam, memberikan manfaat bagi masyarakat, dan didasari oleh niat yang baik.

ISLAMKAFFAH