Palestina, Negeri Syam yang Diberkahi dan Urusan Umat Islam 

Palestina bukanlah masalah lokal, bukanlah urusan tanah atau urusan orang Arab,  tapi masalah Islam dan umat Islam seluruhnya, di sana asa Baitul Maqdis dan Bumi Syam

HARI HARI ini semua tertuju ke Palestina, salah satu wilayah Negeri Syam yang diberkahi. Tidak ada yang menyangsikan, Negeri Syam adalah negeri keberkahan yang ada di muka bumi.

Kebaikan negeri ini menjadi simbol kebaikan penduduk bumi, demikian pun keburukan negeri ini menjadi simbol keburukan penduduk bumi pula.

Namun yang kita saksikan hari ini, perampasan hak asasi dan kejahatan kemanusiaan selalu menghiasi ruang-ruang pemberitaan internasional yang mendapatkan pembenaran negara-negara haus kuasa.

Negeri Syam –yang meliputi Palestina, Suriah, Libanon dan Yordania— ini dikenal sebagai bumi para nabi [diyaarun nabiyyiin], tempat berkumpulnya orang-orang mulia dan ahli ilmu [markazul fudhalaa was shaalihiin], tempat berkumpulnya manusia di bumi [maudhi’ul hasyr], negeri pertahanan [bilaadur ribaath] dan qiblat pertama kaum Muslimin [maudhi’ul qiblat], demikian ulama kelahiran Palestina-SaudiSyaikh Muhammad Shalih al-Munajjid dalam kutaibatnya Thuubaa Lis Syaam (Riyadh: Maktabah al-‘Ubaiykan, 2013).

Bumi Syam telah disinggung dalam Al-Quran Surat Al-Isra’: 1;

سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ1

“Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS: Al-Isra’: 1)

Menurut para ahli tafsir, inilah makna “Alladzii baaraknaa haulahu” (Kami berkahi sekelilingnya) adalah negeri-negeri seputar Baitul Maqdis yang diberkati. (QS: Al-Isra’ [17]: 1).

Di dalamnya terdapat Masjid Al-Aqsha yang merupakan tempat batas Isra’ dan titik tolaknya Mi’raj Nabi akhir zaman ke Sidratul Muntahaa di langit dunia, baik secara ruhia dan badania dengan berkendaraan Buraq.

Beberapa riwayat tentang hal ini bisa dilihat dalam kitab Al-Israa’ wal Mi’raaj karya Imam As-Suyuthy dan Ibnu Rajab al-Hanbaly.

Diriwayatkan dari sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « طُوبَى لِلشَّامِ طُوبَى لِلشَّامِ. قُلْتُ: مَا بَالُ الشَّامِ. قَالَ: الْمَلَائِكَةُ بَاسِطُو أَجْنِحَتِهَا عَلَى الشَّامِ » [أخرجه أحمد]

Berbahagialah bagi (penduduk) Syam, beruntunglah bagi (penduduk) Syam”. Aku bertanya apa alasannya? Beliau menjawab, “(Karena) para malaikat mengepakan sayap (menaungi) Negeri Syam.” (HR: at-Tirmidzi dan Ahmad).

Sejarah membuktikan, Baitul Maqdis sebagai kota yang diberkati; melalui Khalifah ‘Umar bin Khaththab radhiyallaahu ‘anh dengan Panglimanya Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah radhiyallaahu ‘anh, negeri berhasil dibebaskan dari cengkeraman kekuasaan Romawi.

Di zaman Sulthan ‘Imaduddin Zanki dan puteranya Sulthan Nuruddin Mahmud Zanki, negeri ini berhasil lepas dari penjajahan Eropa, dan puncaknya pada masa Sulthan Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mengalahkan Pasukan Salib setelah rancangan setengah abad lamanya semenjak zaman Abu Hamid al-Ghazali menuliskan kitab Ihyaa ‘Uluumiddin.

Zionis ‘Israel’ dengan tokohnya Theodore Herzel  (1897) menyelenggarakan Kongres Zionis Internasional pertama dan mengajukan keinginannya kepada Sulthan Abdul Hamid II  (Khilafah Turki Utsmani) untuk “membeli” tanah Palestina, namun ditolak Sultan Hamid.

Namun dengan dukungan negara Eropa dan seluruh Yahudi dunia, mereka mulai menancapkan kuku kotornya di bumi suci Palestina. Maka “diaspora” bangsa Yahudi pun berbondong-bondong masuk Palestina.

Gerakan perlawanan pun nampak menggeliat; mulai dari Intifaadhah, munculnya Hamas, serta kelompok-kelompok gerakan perlawanan lainnya. Sejak itu tampillah putra-putri terbaik bangsa ini, menggalang kekuatan untuk merebut kembali tanahnya yang dijajah.

Mulai dari perlawanan ‘Izzuddin al-Qassam, Syaikh Ahmad Yasin, Yahya Ayyasy, Khalid Misy’al, Abdul ‘Aziz ar-Rantisi, Ismail Haniya, Razan an-Nazzar dan tokoh-tokoh baru bermunculan.

Semua menunjukkan bukti kecintaan kaum Muslimin sebagai ikhtiar perjuangannya guna mempertahankan pusaka dan wakaf umat yang wajib dijaga, yakni bumi Palestina, yang di dalamnya terdapat Baitul Maqdis sebagai jantungnya Negeri Syam yang diklaim secara ideologis oleh Yahudi sebagai “Tanah Kan’an yang dijanjikan Tuhan”  dengan dalih mengambil haknya atas kepemilikan Solomon Temple (Kuil Sulaiman).

Seolah tidak mau ketinggalan, kaum sekular, pluralis, dan liberal (SePILIS) hari ini menjajakannya dengan jargon “Satu Kota Suci Tiga Agama” atas nama kerukunan agama dan perdamaian dunia.

Ma’rakah Falasthiin, kini telah mengukir sejarah dengan tinta emas para tokoh dan ulamanya, kucuran darah pada syuhada dengan air mata dan do’a penduduknya. Semuanya menunjukkan betapa Negeri Syam benar-benar menjadi pertaruhan negeri akhir zaman di mana Dzat yang Maha gagah dan perkasa akan memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya, setelah mengujinya dengan bentangan perjalanan sejarah dengan waktu yang sangat panjang.

Kalaulah kita tidak mampu berjuang di medan laga, seidaknya rasa simpatik dan dukungan terhadap segala usaha perjuangan pembebasannya yang diiringi untaian do’a-do’a terbaik, sudah tentu bisa menjadi amunisi yang tidak kecil nilainya.

Seagaimana dituturkan (Alm) Dr. Mohammad Natsir dalam bukunya Pesan Perjuangan Seorang Bapak; Percakapan antar Generasi [1988], yang mengisahkan bahwa Rabithah al-‘Aalam al-Islamy telah berkali-kali mencoba mendamaikan Negara Arab.

Sayangnya, masing-masing negara Arab merasa lebih puas untuk “berjuang” sendiri-sendiri melawan ‘Israel’ sementara penjajah ‘Israel’ dan negara-negara Barat pendukungnya terus berusaha memecah-belah dan mengadu domba mereka.

Dalam buku itu Natsir mengatakan, jika ‘Israel’ membongkar Masjidil Aqsha dan menggantinya dengan Kuil Yahudi, negara-negara Arab akan menghadapi dua pilihan terakhir, yaitu hancur sama sekali atau berjihad habis-habisan.

Natsir berpandangan, menghadapi ‘Israel’ bukan soal sepotong tanah bernama Palestina. Tetapi soal kita menghadapi suatu gerakan akidah, gerakan kepercayaan yang beraksi dengan teratur dan tertib.

Artinya kita berhadapan dengan satu gerakan agama yang beraksi politik internasional, sebuah gerakan yang saling bekerjasama antara Zionisme, Nashrani dan Komunisme.

Dalam hal ini, Natsir menegaskan bahwa kita akan mampu menghadapi ‘Israel’ dan sekutunya hanya dengan akidah Islamiyah. Tetapi menurutnya, bukan akidah Islamiyah yang dibawah bibir belaka, yang kosong daripada amal.

Akidah Islamiyah yang dimaksud adalah akidah yang beramal, yang inter-Islamic sekurang-kurangnya, kalau tidak internasional. “Kita harus melihat bahwa masalah Palestina bukanlah masalah lokal, bukanlah masalah orang Arab, bukanlah semata-mata masalah teritorial, tapi adalah masalah Islam dan umat Islam seluruhnya,” demikian tulis Natsir.

Wahai Al-Aqsha, engkau adalah kita, Wahai Palestina, do’a-do’a kami senantiasa menyertaimu
Allahumma a’izzal Islam wal muslimin fi falasthin wa biladis syam wa fi buldanil Muslimina
Allaahumma anjil mustadh’afiina minal Mu’minina fi Falasthina wa fi kulli makanin  Wasydud wath’ataka ‘alal qauwmiz dzholimiin… Aamiin yaa Rabbal ‘Aalamin.

Oleh: Teten Romly Qomaruddien

Penulis anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Ketua Komisi ‘Aqidah), Anggota Komisi Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan (KP3) MUI Pusat & Wakil Ketua Lembaga Dakwah Khusus (LDK) MUI Pusat

HIDAYATULLAH

Nikmat Waktu dalam Pandangan Seorang Muslim

Jika orang-orang barat mengatakan bahwa ‘Time is Money’ atau ‘Waktu adalah Uang’, maka bagi seorang muslim, waktu lebih mulia dan lebih berharga dari itu. Bagi seorang muslim “waktu adalah pahala”, waktu adalah rezeki yang Allah limpahkan kepada kita, waktu adalah kesempatan yang Allah berikan kepada seorang hamba untuk membekali dirinya dengan ketaatan. Dan seorang hamba tidak akan menyadari betapa berharganya waktu yang ia miliki dan betapa agungnya nikmat waktu tersebut, kecuali jika ia telah benar-benar mengetahui terlebih dahulu hakikat waktu dan kedudukannya di dalam kehidupan ini.

Dalam artikel kali ini, mari lebih mengenal hakikat waktu yang telah Allah berikan kepada kita ini, sehingga kita semua semakin bersemangat di dalam memanfaatkannya dan memaksimalkannya.

Hakikat waktu bagi seorang muslim

Berbicara tentang hakikat “waktu”, maka sejatinya ia adalah umur manusia dan masa hidupnya. Tahun demi tahun, bulan demi bulan, hari demi hari, semuanya merupakan modal investasi yang Allah Ta’ala berikan kepada hamba-Nya di kehidupan dunia ini. Mengapa demikian? Karena tidaklah satu hari berlalu dari kehidupan kita, kecuali umur kita pun ikut berkurang.

Ibnul Qayyim rahimahullah pernah mengatakan tentang hakikat waktu ini,

“Waktu seseorang hakikatnya adalah umur kehidupannya. Dan itu akan menjadi modal serta kesempatan untuk meraih kehidupan abadinya dalam kebahagiaan abadi, atau menjadi sebab keberadaannya yang menyedihkan dalam siksa yang pedih.

Dan waktu berlalu seperti awan. Jika waktunya tersebut dia habiskan untuk Allah dan di sisi Allah, maka itulah (hakikat) kehidupan yang sebenarnya. Dan jika untuk selain itu, maka tidak dihitung sebagai bagian dari hidupnya, sekalipun dia menjalani kehidupannya seperti hewan ternak (hanya makan, minum, dan tidur saja).

Dan jika dia habiskan waktunya untuk melakukan sesuatu yang sia-sia dan melalaikan serta dipenuhi dengan harapan-harapan palsu, dan cara terbaik yang bisa dia lakukan untuk melewatinya hanyalah dengan tidur dan bermalas-malasan saja, maka matinya orang tersebut lebih baik dari pada hidupnya.” (Al-Jawab Al-Kafi)

Ketahuilah, bahwa waktu kosong dan senggang yang sering kita rasakan, pada kenyataannya adalah kesempatan yang bisa saja diisi dengan kebaikan ataupun keburukan. Disadari ataupun tidak, tidak ada satu momen pun yang berlalu dalam hidup kita, kecuali pasti ada aktifitas dan kesibukan yang kita kerjakan. Maka dari itu, berusahalah untuk menjadikan waktu yang kita miliki sebagai tabungan dan investasi amal kebaikan yang akan menjadi bekal kita ketika bertemu dengan Allah Ta’ala.

Waktu: Nikmat yang harus dipertanggungjawabkan

Umur yang Allah Ta’ala berikan kepada kita, siang dan malam yang silih berganti datang kepada kita, nyawa yang terkandung dalam badan kita, semua itu sejatinya adalah salah satu nikmat terbesar yang Allah berikan kepada kita. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ * وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لا تُحْصُوهَا

Dan Dia telah menundukkan matahari dan bulan bagimu yang terus-menerus beredar (dalam orbitnya), dan telah menundukkan malam dan siang bagimu. Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. (QS. Ibrahim: 33-34)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ خِلْفَةً لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَذَّكَّرَ أَوْ أَرَادَ شُكُورًا

Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau yang ingin bersyukur.(QS. Al-Furqan: 62)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

نِعْمَتانِ مَغْبُونٌ فِيهِما كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ والفَراغُ

“Dua kenikmatan yang kebanyakan manusia tertipu pada keduanya: kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari no. 6412)

Layaknya kenikmatan lainnya yang wajib disyukuri dan dipertanggungjawabkan oleh seorang hamba, nikmat waktu dan umur juga harus disyukuri dan akan Allah mintai pertanggungjawabannya di akhirat nanti. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

لا تَزولُ قَدَمَا عبدٍ حتى يُسأَلَ عن عُمُرِه فيمَ أفناهُ؟ وعن عِلمِه فيمَ فَعَلَ فيه؟ وعن مالِهِ من أين اكتسَبَهُ؟ وفيم أنفَقَهُ؟ وعن جِسمِه فيمَ أبلاهُ

“Dua kaki seorang hamba tidak akan bergerak (pada hari kiamat) sehingga dia ditanya tentang umurnya, kemana dihabiskan; tentang ilmunya, apakah yang telah dilakukan dengannya; tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan; dan tentang badannya, untuk apa digunakan.” (HR. Tirmidzi no. 2417, Ad-Darimi no. 537, dan Abu Ya’la no. 7434)

Waktu adalah pahala bagi seorang muslim

Dalam agama Islam, waktu memiliki kedudukan yang sangat penting dan tidak dibiarkan berlalu begitu saja. Tidaklah seorang hamba melewati sebuah hari, jam demi jam, menit demi menit, kecuali di dalamnya terdapat peluang untuk mendapatkan pahala dari Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala telah mengatur waktu seorang muslim dengan sedemikian rupa. Dari ia bangun tidur di pagi hari hingga ia tidur kembali, ada ibadah dan amal saleh yang bisa diamalkan dan dipraktikkan setiap detiknya. Saat seorang hamba bangun tidur, lalu mengambil air wudu dan melaksanakan salat dua rakaat, maka ia mendapatkan pahala yang lebih baik dari dunia dan seisinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

“Dua rakaat fajar (salat sunah qabliyah subuh) lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Muslim no. 725)

Jika keutamaan salat sunah fajar saja demikian besarnya, lalu bagaimana dengan keutamaan salat Subuh itu sendiri?!

Saat matahari telah beranjak naik, seorang ayah keluar untuk mencari nafkah bagi keluarganya, maka ini juga bernilai pahala baginya apabila diniatkan ikhlas mengharap rida Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ

“Satu dinar yang engkau keluarkan di jalan Allah, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk memerdekakan seorang budak, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk satu orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu, maka pahalanya lebih besar (dari amalan kebaikan yang disebutkan tadi).(HR. Muslim no. 995)

Di siang hari saat ia makan siang, lalu bersyukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat yang telah diberikan kepadanya, maka ini juga bernilai pahala baginya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

الطاعمُ الشَّاكرُ بمنزلةِ الصائمِ الصابرِ

“Orang makan yang bersyukur, kedudukannya seperti halnya orang berpuasa yang bersabar.” (HR. At-Tirmidzi no. 2486, Ibnu Majah no. 1764, dan Ahmad no. 7793)

Belum lagi salat lima waktu yang dikerjakannya, zikir-zikir yang dilantunkannya, perbuatan baik dan budi pekerti mulia yang menghiasi dirinya, semua itu jika dijalankan dengan niat menaati Allah dan Rasulnya, maka juga dinilai sebagai ibadah oleh Allah Taala.

Jangan menunda-nunda dalam beramal!

Seorang mukmin harus memanfaatkan seluruh waktu dan umur yang dimilikinya untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Tidak menunggu esok hari untuk melakukan sebuah ketaatan dan amal saleh. Allah Ta’ala juga memerintahkan kita untuk memaksimalkan waktu yang kita miliki dan tidak menunda-nunda dalam berbuat baik. Allah Ta’ala berfirman,

فَإِذَا فَرَغْتَ فَٱنصَبْ

“Maka, apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.”  (QS. Al-Insyirah: 7)

Lihatlah juga bagaimana para pendahulu kita di dalam mengatur dan memaksimalkan waktu yang mereka miliki. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengatakan,

مَا نَدِمْتُ عَلَى شَيْئٍ نَدْمِي عَلَى يَوْمٍ غَرَبَتْ شَمْسُهُ نَقَصَ فِيْهِ أَجَلِيْ وَلَمْ يَزِدْ فِيْهِ عَمَلِيْ

“Aku tidak pernah memiliki penyesalan yang demikian mendalam dibandingkan dengan penyesalanku akan berlalunya satu hari yang amalku tidak bertambah pada hari itu, padahal ajalku semakin berkurang.” (Qimah Az-Zaman ‘Inda Al-Ulama, hal. 47)

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya “Madariju As-Salikin” menyebutkan perkataan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah,

صحبتُ الصُّوفيّة، فما انتفعتُ منهم إلّا بكلمتين. سمعتهم يقولون:‌‌ الوقت سَيفٌ، فإن قطعتَه وإلّا قطَعَك. ونفسك إن لم تَشْغَلْها بالحقِّ شَغَلَتْك بالباطل

“Aku berteman dengan kaum sufi. Namun, aku tidak mendapatkan manfaat darinya, kecuali dua kata yang aku dengar darinya. Mereka mengatakan, ‘Waktu adalah pedang. Oleh karena itu, kamu harus menggunakannya dan memanfaatkannya. Jika tidak, maka ia yang justru akan memotong kamu dan dirimu. Dan jiwamu, jika kamu tidak sibukkan untuk kebaikan, maka ia justru yang akan disibukkan untuk kebatilan.” (Madariju As-Salikin, 3:546)

Wallahu A’lam bis-shawab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88853-nikmat-waktu-dalam-pandangan-seorang-muslim.html

Batas Kekuasaan

‘Conditioned Power’ dan ‘Condign Power’ yang terjadi saat seorang ayah memegang kekuasaan sebagai presiden dan melonggarkan peraturan bagi anaknya, jelas melanggar batas kekuasaan

“Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian bahwa kekuasaan seorang Presiden pun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.” 

(Ir. Soekarno, 1967)

BUNG KARNO berjalan memasuki ruang makan Istana Negara. Guruh, 14 tahun, sedang serius membaca. “Mana kakak-kakakmu?” tanya Sang Proklamator kepada putra bungsunya. Guruh menatap ayahnya, “Sudah pergi ke rumah Ibu.” Yang dimaksud adalah rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru.

Bung Karno menghela napas gulana. “Mas Guruh, Bapak sudah tidak diperbolehkan tinggal di istana ini lagi. Kamu siapkan barang-barangmu. Kamu jangan ambil lukisan atau barang lainnya karena semua itu punya negara,” ujar Putra Sang Fajar dengan suara bergetar baru mendapat surat perintah untuk mengosongkan Istana Negara dalam 2×24 jam.

Surat pemerintah ini menyusul TAP MPRS XXXIII Tahun 1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Sukarno karena teridentifikasi melakukan kejahatan atau pengkhianatan negara.

Bung Karno keluar dari ruang makan menuju ruang tamu Istana Negara. Sejumlah ajudannya berkumpul.

Dia menatap mereka satu persatu. Suaranya yang biasa menggelegar terdengar sayu. “Aku sudah tidak boleh tinggal di Istana ini lagi,” ujarnya dilanjutkan dengan menyampaikan pesan yang sama seperti diberikannya kepada Guruh. “Kalian jangan mengambil apapun. Lukisan-lukisan, suvenir, macam-macam barang. Itu semua milik negara.”

Para ajudan terdiam. Sebagian ada yang mulai menitikkan air mata.

Lalu terdengar suara seorang ajudan yang murung dan ragu. “Kenapa Bapak tidak melawan?” Sukarno menatap sang penanya.

“Kalau saya melawan nanti bisa terjadi perang saudara. Perang saudara itu sulit. Jikalau perang dengan Belanda itu jelas hidungnya beda dengan hidung kita. Perang dengan bangsa sendiri tidak. Wajahnya sama dengan wajahmu, keluarganya juga sama denganmu. Lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara.”

Peristiwa  di atas ditulis sejarawan Peter Kasenda dalam Hari-Hari Terakhir Sukarno (2012). Setelah Bung Karno keluar dari Istana Negara, pada salah satu waktu di tahun 1967, beliau mengucapkan kata-kata yang menjadi pembuka tulisan ini.

“Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian bahwa kekuasaan seorang Presiden pun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.”

Sebuah kesaksian pedih, ringkih, dan sudah amat terlambat. Seorang presiden dari negara dengan penduduk terbanyak di Asia Tenggara yang memulai pemerintahan dengan modal kepercayaan rakyat sangat besar, baru menyadari dengan rendah hati bahwa ‘kekuasaan seorang Presiden pun ada batasnya’ di tubir masa jabatan tergelincir dari genggaman tangan.

Sekiranya Bung Karno memiliki kearifan ‘kekuasaan presiden ada batasnya’ sejak tahun-tahun awal 1950-an, boleh jadi akhir hidupnya tidak setragis pengetahuan umum sekarang.

Proklamator lainnya, Bung Hatta, sudah empat dasawarsa lebih dulu menyadari jebakan kekuasaan. Dalam tulisan-tulisannya di majalah Daulat Ra’jat pada paruh pertama tahun 1930-an –dibukukan dalam buku berjudul Kumpulan Karangan— Bung Hatta secara konsisten mengkritik kesewenang-wenangan Pemerintah Hindia Belanda di satu pihak dan hipokritas para pemimpin pergerakan kebangsaan di lain pihak.

“Kata rakyat sering lekat di bibir para pemimpin, utamanya dari kalangan partai politik,” ungkap Bung Hatta. “Akan tetapi dalam praktiknya tidak kelihatan. Rakyat itu disangka seperti tikar tempat kaki sapu saja; disangka sebagai jenis yang hanya perlu buat disuruh bertepuk tangan saja, kalau mendengar seorang pemimpin yang berpidato.”

Pada 1930-an Indonesia belum merdeka, belum ada presiden. Sehingga kritik Bung Hatta bukan ditujukan untuk Bung Karno pribadi, melainkan bagi para pemimpin secara umum. Siapa pun yang candu mengucapkan kata “rakyat” dalam setiap kesempatan.

Baru pada  1 Mei 1960 muncul tulisan di Panji Masyarakat  berjudul “Demokrasi Kita” tulisan Bung Hatta atas permintaan Buya Hamka, pemimpin redaksi majalah itu.

Bung Hatta sudah empat tahun meninggalkan jabatan Wakil Presiden yang dijalaninya selama 11 tahun (1945 – 1956), sampai tiba pada momen ‘ enough is enough’ ketika beliau sudah tak bisa seia sekata, sejiwa sepemikiran, dengan Bung Karno sahabatnya sejak era pergerakan. 

Dalam Demokrasi Kita, Hatta menulis, antara lain, “Apa yang terjadi sekarang adalah krisis demokrasi. Atau demokrasi di dalam krisis. Demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaannya, lupa syarat-syarat hidupnya, dan melulu menjadi anarki, lambat laun akan digantikan oleh diktator. Ini adalah hukum besi sejarah dunia! Tindakan Soekarno yang begitu jauh menyimpang dari dasar-dasar konstitusi adalah akibat dari krisis demokrasi. Demokrasi dapat berjalan baik apabila ada rasa tanggung  jawab dan toleransi dari pemimpin-pemimpin politik. Inilah yang kurang dari pemimpin-pemimpin partai seperti telah berkali-kali saya peringatkan.”

Pada bagian lain Hatta mengungkap, “korupsi dan demoralisasi merajalela”, “demokrasi topeng belaka”, dan berbagai kritik lainnya sebelum menyimpulkan dengan tetap menjaga optimisme di dadanya bahwa “ demokrasi yang tertidur sementara akan terbangun kembali. “ (Basral, 2022, hal. 149 – 150).

Tulisan itu membuat Panji Masyarakat ludes di pasaran. Rakyat gembira karena salah seorang proklamator berani melakukan kontrol kekuasaan terhadap proklamator lain, demi kemaslahatan bangsa dan negara. 

“Demokrasi Kita” diterbitkan ulang oleh Buya Hamka sebagai brosur sendiri, dan diterbitkan juga oleh media cetak lainnya.  Tetapi “Demokrasi Kita” membuat Bung Karno sangat murka.

Pada Hari Kemerdekaan Indonesia ke-15 tanggal 17 Agustus 1960, Sang Pemimpin Besar Revolusi dengan lantang mengecam Panji Masyarakat dan dua media lain yang memuat tulisan Bung Hatta, yakni Pedoman (dikelola Rosihan Anwar) dan Indonesia Raya (dinakhodai Mochtar Lubis). Ketiga media diberangus Orde Lama, dilarang terbit.

Batas kekuasaan bagi presiden tak sama dari pemerintahan ke pemerintahan. Apa yang terjadi pada Orde Lama bisa berbeda peristiwa dengan yang terjadi pada Orde Baru. Yang belakangan ini runtuh akibat begitu parahnya korupsi, kolusi dan nepotisme yang memberi banyak keuntungan kepada keluarga dan kolega Presiden Soeharto, seperti ditulis Jakob Oetama dalam  Warisan (Daripada) Soeharto (2008).

Transparency International melalui “Global Corruption Report 2004” menyebutkan korupsi di masa pemerintahan Soeharto mencapai $15 – 35 miliar yang merupakan angka korupsi tertinggi di dunia. Jauh di atas korupsi Presiden Ferdinand Marcos dari Filipina ($5 – 10 miliar) di peringkat kedua.  

Di peringkat ke-3 sampai ke- 10 adalah: Mobutu Sese Seko (Zaire, $5 miliar), Sani Abacha (Nigeria, $2 – 5 miliar), Slobodan Milosevic (Yugoslavia, $1 miliar), Jean-Claude Duvalier (Haiti, $300 – 800 juta), Alberto Fujimori (Peru, $600 juta), Pavlo Lazarenko (Ukraina, $114 – 200 juta), Arnoldo Aleman (Nikaragua, $100 juta), dan Joseph Estrada (Filipina, $78 – 80 juta).

Mengingat daftar ini dirilis pada 2004, maka para presiden di seluruh dunia yang baru menjabat tahun 2004 dan seterusnya, tentu tidak ada nama mereka pada laporan itu. Bukan berarti mereka tidak melakukan mega korupsi.

Jika laporan itu diterbitkan lagi menjadi “Global Corruption Report 2024” sekaligus sebagai edisi revisi 20 tahun, boleh jadi akan ada nama-nama baru yang muncul pada daftar.

Kembali ke Orde Baru, pertumbuhan ekonomi cukup mengesankan dengan rata-rata GDP per tahun 7,1% seperti dicatat pakar sejarah ekonomi Profesor Pierre van der Eng dalam Growth and Inequality: The Case of Indonesia, 1960 – 1997 (Universitas Muenchen, 2009).

Sayangnya, prestasi itu dibajak dan disandera oleh nepotisme tak terkendali yang dilakukan anak-anak dan menantu Presiden Soeharto, serta kolusi yang melibatkan lingkar dekat para sahabat dan kolega mereka.

Batas kekuasaan presiden runtuh bukan oleh musuh politik Pak Harto (yang sudah muncul sejak awal pemerintahannya di paruh terakhir tahun 1960-an dan selalu bisa diatasinya dengan berbagai cara represif), namun tersebab oleh ketidakmampuan sang presiden mengontrol tindak-tanduk anak-anaknya, sehingga krisis ekonomi 1997 – 1998 menjadi gong terakhir yang meluluhlantakkan kamuflase kemajuan ekonomi yang hanya bagus di atas kertas namun terjadi sebaliknya di masyarakat luas.

Seberapa jauh batas kekuasaan seorang presiden diperkenankan? Secara teoritis:  berdasarkan  amanat konstitusi dan perkembangan sosial politik di masyarakat.

Profesor Brian Lowery, Guru Besar Stanford GSB (Graduate School of Business) memberikan penjelasan metaforis tentang kekuasaan. “Anda bayangkan kekuasaan sebagai api. Bisa berguna, bisa juga sangat berbahaya.”

Dalam bahasa sehari-hari, majas Lowery bisa diparafrase begini. “Anda bayangkan kekuasaan sebagai api. Bisa dipakai untuk kegiatan bermanfaat seperti memasak, bisa juga membuat rumah Anda dan rumah tetangga terbakar habis.”

Ekonom-diplomat sohor John Kenneth Galbraith—pernah menjadi Dubes AS di India (1961 – 1963) selain penulis produktif–dalam The Anatomy of Power (1983) membagi jenis kekuasaan ke dalam ‘Tiga C’, yaitu kekuasaan yang diberikan berdasarkan paksaan (Condign); kekuasaan yang diberikan sebagai ganjaran prestasi (Compensatory); dan kekuasaan yang diberikan berdasarkan lobi dan persuasi (Conditioned).

Sebagai ilustrasi George Herbert Walker Bush (Presiden AS ke-41, masa jabatan 1989 – 1993) dan anaknya George Walker Bush (Presiden AS ke-43, masa jabatan 2001 – 2009) yang lebih dulu menjadi Gubernur Texas (1995 – 2000) setelah ayahnya George H.W. Bush lengser sebagai presiden. Tidak sedang berkuasa di Gedung Putih.

Sang ayah sudah meninggalkan jabatan presiden dua tahun sebelum sang anak menjadi gubernur. Apalagi saat George W. Bush menjadi presiden di awal abad 21, ayahnya sudah satu windu (delapan tahun) tak menjadi POTUS (President of The United States).

Pola hubungan ayah-anak sebagai sesama Presiden AS yang terjadi pada Keluarga Bush ini merupakan peristiwa kedua dalam sejarah domestik AS. Peristiwa pertama terjadi pada Keluarga Adams.

Salah seorang Bapak Bangsa AS, John Adams, menjadi Presiden ke-2 AS (masa jabatan 1797 –1801) dan anaknya John Quincy Adams menjadi Presiden ke-6 (masa jabatan 1825 – 1829) atau berselang 24 tahun setelah John Adams turun dari tampuk pemerintahan di Gedung Putih.

John Quincy Adams sang anak, sebelum menjadi Presiden AS lebih dulu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri era Presiden James Monroe selama dua periode pemerintahan  (1817 – 1825).

Itu artinya, baik kekuasaan yang didapatkan kedua anak (George W. Bush dan John Quincy Adams) merupakan tipe ‘ Compensatory Power’ atas prestasi dan meritokrasi mereka sendiri karena didapatkan saat ayah mereka (George H.W. Bush dan John Adams) sudah tidak lagi menjadi Presiden AS. Tidak menjadi Panglima Militer Tertinggi.

Fakta historis yang sangat penting ini terlewatkan (atau memang sengaja dilupakan?) oleh para pendukung keberlangsungan jabatan kekuasaan ayah-anak, ketika sang ayah masih memegang tampuk kepemimpinan dengan kontrol terhadap organ-organ pemerintahan yang entah sungkan atau takut, kemudian memberikan kesempatan berkuasa kepada sang anak.

Jika karena sungkan, maka kekuasaan sang anak menjadi ‘Conditioned Power’, sementara jika karena takut, maka kekuasaan sang anak menjadi ‘Condign Power’.

Dari perspektif yang diperkenalkan Galbraith berdasarkan pengalamannya selama lebih dari 50 tahun itu (dia wafat dalam usia 98 tahun pada 2006), bisa disimpulkan bahwa ‘Compensatory Power‘ tidak melanggar batas kekuasaan presiden, sedangkan ‘Conditioned Power’ dan ‘Condign Power) yang terjadi saat seorang ayah memegang kekuasaan sebagai presiden dan melonggarkan peraturan bagi anaknya, jelas melanggar batas kekuasaan.

Sulit membayangkan seorang anak yang mendapatkan jabatan tinggi ketika sang ayah sedang menjadi presiden, semata-mata dengan pendalilan yang terkesan demokratis padahal sesungguhnya naif seperti ‘anak seorang presiden pun harus punya kesempatan sama di depan hukum untuk jabatan-jabatan publik’.

Ini sebuah ilusi sekaligus fallacy yang dipaksakan hanya sebagai justifikasi jangka pendek. Bukan dalam perspektif merawat pilar demokrasi jangka panjang bagi sebuah bangsa.

Para psikolog memperkenalkan konsep ‘Kondisi Bertentangan Kekuasaan (The Paradox of Power), yakni kondisi ketika sifat-sifat seorang pemimpin yang sangat membantunya mengumpulkan kendali kekuasaan dan karisma di awal kemudian, sebelum hilang perlahan begitu naik ke tampuk kekuasaan. 

Alih-alih bersikap sopan, jujur, dan mudah bergaul, mereka justru menjadi impulsif, ceroboh, dan kasar. Ini merupakan kesimpulan eksperimen dan pengamatan Psikolog Adam Galinsky dari Northwestern University, AS

Lebih lanjut Galinsky menjelaskan bahwa masalah utama dengan pemimpin yang menjadi otoritas baru adalah mereka menjadi kurang bersimpati terhadap kesulitan, emosi, dan penderitaan orang lain.

Hasil penelitian juga menunjukkan mereka yang memiliki otoritas lebih tinggi lagi cenderung akan mengandalkan stereotip dan generalisasi ketika menilai orang lain, termasuk terhadap orang-orang yang pernah mendukung mereka naik ke tampuk jabatan.

Sisi lain yang lebih substantif dari Paradoks Kekuasaan disampaikan Michel Foucault bahwa kekuasaan bisa sangat memengaruhi cara seseorang berpikir.

“Ketika kita menaiki tangga status (kekuasaan), argumen batin kita menjadi melenceng dan simpati alami kita terhadap orang lain hilang. Sehingga daripada memikirkan dan mengkhawatirkan dampak tindakan kita, kita terus saja bertindak sesuai keinginan. Kita merasa berhak mendapatkan apa pun yang kita inginkan sebagai penguasa,” ungkap Foucault. “Dan betapa beraninya mereka menolak. Apakah mereka tidak tahu siapa kita?”

Dengan kata lain, dalam pandangan seorang pemimpin, kekuasaan bisa menjadi tak ada batasnya. Terutama jika hal itu menganggu keinginannya.

Pada titik ini perkataan Bung Karno menjadi sangat penting diresapi oleh siapa pun pemegang kekuasaan.  “Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian bahwa kekuasaan seorang Presiden pun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.”

Jika diabaikan dan sejarah berulang (l’histoire se répète), jangan kelak berdalih belum pernah ada yang mengingatkan. Sebab, Bung Karno sudah menyampaikan 56 tahun silam, dan membuktikan dengan akhir hidupnya sendiri yang menyayat hati.*/Cibubur, 22 Oktober 2023

Penulis adalah sosiolog dan penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 bidang Sastrawan/Budayawan Nasional, serta National Writer’s Award 2021 dari Perkumpulan Penulis Nasional SATUPENA

Oleh: Akmal Nasery Basra

HIDAYATULLAH

Quraish Shihab: Nabi Muhammad Sebagai Nabi dan Manusia

Berikut ini penjelasan Profesor Quraish Shihab tentang Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Manusia biasa. Pasalnya,kita tahu, selain sebagai Nabi Allah, Nabi Muhammad Saw. juga manusia biasa yang mempunyai sifat dan kebiasaan manusia pada umumnya seperti lapar, sakit, atau masuk pasar. 

Namun, kenabian yang membuatnya menjadi manusia pilihan (al-mushthafa), dan pembeda dengan makhluk lain. Karena itu, ada sekian banyak riwayat yang perlu diperhatikan, bahkan diluruskan.

Syahdan, dalam mendengar dan membaca uraian-uraian menyangkut Nabi Saw., kita harus punya prinsip-prinsip dasar. Pertama bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah manusia. Allah Swt. berfirman:

قُلْ اِنَّمَاۤ اَنَاۡ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰۤى اِلَيَّ اَنَّمَاۤ اِلٰهُكُمْ اِلٰـهٌ وَّاحِدٌ ۚ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَآءَ رَبِّهٖ فَلْيَـعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًـاوَّلَايُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖۤ اَحَدًا

Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.” Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia menyekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahf [18]: 110).

قُلْ اِنَّمَاۤ اَنَاۡ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰۤى اِلَيَّ اَنَّمَاۤ اِلٰهُكُمْ اِلٰـهٌ وَّاحِدٌ فَاسْتَقِيْمُوْۤا اِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ ۗ وَوَيْلٌ لِّلْمُشْرِكِيْنَ 

Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu tetaplah kamu (beribadah) kepada-Nya dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Dan celakalah bagi orang-orang yang menyekutukan-(Nya).” (QS. Fussilat [41]: 6).

Itu artinya, kata Quraish Shihab, jangan menambah-nambahi hal yang mengarah kepada membedakan sosok kemanusiaannya dengan yang lain. Jelasnya, beliau juga merasakan susah-senang, kenyang-lapar dan sakit. Berbeda dengan orang musyrik masa dulu yang beranggapan bahwa Nabi itu tidak boleh manusia. Katanya:

مال هذا الرسول يأكل الطعام ويمشي فى الاسواق

Artinya: “Kenapa ini yang katanya Rasul kok makan dan masuk pasar?”

Beginilah cara kita membaca sejarah, kata Quraish Shihab. Dan, ini (perkataan orang musyrik) riwayat yang sangat bertentangan dengan kemanusiaan secara umum. Maka ragukanlah dia. Walaupun pada saat yang sama kita berkata (ini biasanya orientalis yang lupa) bahwa dia (Nabi Muhammad) adalah manusia biasa, akan tetapi dia juga Nabi. Sehingga dalam sosok kenabiannya dia bisa didukung oleh hal-hal yang berada diluar kemampuan manusia.

Kalau dia manusia, maka apa yang dianggap baik oleh manusia itu ada pada Nabi. Dan apa yang dianggap buruk oleh manusia itu tidak mungkin ada pada Nabi. Pasti bersih. Bahkan, saking bersihnya Nabi suka pakai baju putih-putih.

Penting dicatat, bahwa kata Quraish Shihab, ada dua hikmah memakai baju putih. Pertama, kalau kotor pasti ketahuan. Itu sebabnya, jika anda kotor, maka jangan coba-coba memakai baju putih. Kedua, sekiranya anda mempunyai dua baju putih, maka orang tidak akan tahu berapa baju anda.

Iya, begitulah salah satu keistimewaan baju putih sehingga Nabi senang memakainya dalam keadaan bersih, rapi dan harum semerbak wangi. Alhasil, semua sifat-sifat yang terpuji ada pada diri Nabi Muhammad Saw. Kisah teladan mengenai Nabi Muhammad Saw. pasti sudah banyak sekali yang mengetahuinya. Pasalnya, Nabi Muhammad Saw. sejak kecil sudah dikenal sebagai pribadi yang baik. Allah Swt. berfirman dalam al-Qur’an surah Al-Qalam ayat 4:

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

Artinya: “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam [68]: 4). 

Dengan demikian, sebagai seorang nabi, Nabi Muhammad memiliki tugas untuk menerima wahyu dari Allah SWT dan menyampaikannya kepada umatnya. Sebagai seorang manusia, Nabi Muhammad juga memiliki sifat-sifat kemanusiaan, seperti makan, minum, tidur, kawin, tertawa, menangis, susah, dan senang. Wallahu a’lam bisshawab.

BINCANG SYARIAH

Doa Agar Dijauhkan dari Judi Online

Judi online merupakan salah satu bentuk maksiat yang dilarang dalam Islam. Judi online dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, baik bagi diri sendiri, keluarga, maupun masyarakat.  Oleh karena itu, penting bagi kita untuk berdoa agar dijauhkan dari judi online. Berikut adalah beberapa doa agar dijauhkan dari judi online;

Bagi umat Muslim, judi online adalah perbuatan yang dilarang oleh agama. Judi online termasuk dalam kategori maysir, yaitu perbuatan mempertaruhkan sesuatu yang berharga dengan harapan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Maysir merupakan salah satu dosa besar yang dapat menghapus pahala ibadah.

Oleh karena itu, umat Muslim yang ingin menjauhi judi online perlu berdoa kepada Allah SWT agar diberikan perlindungan dari perbuatan maksiat ini. Berikut adalah beberapa doa yang dapat dibaca untuk menjauhkan diri dari judi online.

Doa Agar Dijauhkan dari Judi Online

Pertama, doa memohon perlindungan dari Allah SWT agar terlindung dari perilaku maksiat, terutama judi.

اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْئَلُكَ التَوْبَةَ وَدَوَامَهَا وَنَعُوْذُ بِكَ مِنَ المَعْصِيَةِ وَأَسْبَابِهَا وَذَكِّرْنَا بِالخَوْفِ مِنْكَ قَبْلَ هُجُومِ خَطَرَاتِهَا، وَاحْمِلْهُ عَلَى النَّجَاةِ مِنْهَا وَمِنْ التَّفَكُّرِ فِي طَرَائِقِهَا وَامْحُ مِنْ قُلُوبِنَا حَلَاوَةَ مَا اجْتَبَيْنَاهُ مِنْهَا، وَاسْتَبْدِلْهَا بِالكَرَاهَةِ لَهَا وَالطَّمَعِ لِمَا هُوَ بِضِدِّهَا

Allāhumma innā nas’alukat taubata wa dawāmahā, wa na‘ūdzu bika minal ma‘shiyati wa asbābihā, wa dzakkirnā bil khaufi mina qabla hujūmi khatharātihā, wahmilhu alān najāti minhā wa minat tafakkuri fī tharā’iqihā, wamhu min qulūinā halāwata majtabaināhu minhā, wastabdilhā bil karāhati lahā wat thama‘i li mā huwa bi dhiddihā.

Artinya: Ya Allah, kepada-Mu kami meminta pertobatan dan kelanggengannya. Kepada-Mu, kami berlindung dari maksiat dan sebab-sebabnya. Ingatkan kami agar takut kepada-Mu sebelum datang bahaya maksiat. Bawakan ketakutan itu untuk menyelamatkan kami dari maksiat dan dari pikiran di jalanan maksiat. Hapuskan kelezatan maksiat yang kami pilih dari hati kami. Gantikan kenikmatan itu dengan rasa tidak suka dan keinginan terhadap lawanan maksiat.

Kedua, doa terhindar dari perbuatan maksiat kepada Allah. Ini doanya;

يَا حَــيُّ يَا قَيُّـوْمُ بِرَحْمَتِكَ اَسْتَغِيْثُ ، وَمِنْ عَذَابِكَ اَسْتَجِيْرُ ، اَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ ،وَلَا تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ وَلَا إلِىَ أَحَدٍ مِنْ خَلْقِكَ طَرْفَةَ عَيْنٍ

Ya Hayyu Ya Qoyyum bi rahmatika astaghitsu wa min ‘azibika astajiru, ashlihli sya’ni kullahu wala takilni ila nafsi wala ila ahadin min kholqika thorfata ‘ainin.

Artinya; “Ya Allah, Yang Maha Hidup, Yang Maha Berdiri Sendiri, aku memohon pertolongan dengan kasih sayang-Mu, dan aku memohon perlindungan dari siksaMu, berikanlah kepadaku kebaikan dalam semua permasalahanku, janganlah Engkau menyerahkan urusanku kepada diriku sendiri dan juga salah seorang dari makhlukMu, meskipun hanya sekerlip mata sekalipun.”

Ketiga,  doa memohon perlindungan dari dosa;

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمُجُورَةِ

Allāhumma innī a’ūdzu bika minal ma’shāmi wal mujūrāti

Artinya; Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan dosa dan perbuatan keji.

Keempat, doa memohon rezeki yang halal. Ini dimaksudkan agar terhindar dari makanan yang diharamkan oleh Allah.

رَبَّنَا أَعْطِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

Rabbanā a’inā min ladunka ramah wa hayyi’ lanā min amrinā rashada

Artinya; Ya Tuhan kami, berilah kami rahmat dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami.

Demikian doa agar dijauhkan dari judi online. Semoga ini bermanfaat bagi kita semua, dan terhindar dari judi yang diharamkan syariat.

BINCANG SYARIAH

Pandangan Tokoh Muhammadiyah dan NU Soal Ketatnya Syarat Istitha’ah Kesehatan Haji

Pengetatan istithaah kesehatan juga dimaksudkan untuk menekan angka kematian.

Saat seorang Muslim ingin melaksanakan ibadah haji, hal pertama yang disyaratkan adalah kemampuan atau istitha’ah. Tidak hanya mampu secara finansial, hal ini juga mengacu pada kesehatan yang bersangkutan.

Untuk alasan tersebut, Kementerian Agama (Kemenag) memutuskan akan memperketat pemeriksaan kesehatan calon jamaah (calhaj) sebelum melakukan pelunasan. Upaya ini juga dimaksudkan untuk menekan angka kematian.

Perihal istitha’ah ini juga menjadi fokus utama dalam kegiatan Mudzakarah Perhajian Indonesia 2023. Sejumlah tokoh ikut bersuara dan memberikan pendapat terkait hal tersebut.

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Agus Taufiqurrahman menyampaikan, jika seorang calhaj tidak memenuhi batasan minimal pemeriksaan aktivitas rutin kesehariannya (activity daily living) atau diketahui memiliki gangguan demensia berat, maka ia tidak harus melakukan pelunasan biaya haji.

“Jika keberangkatan haji memberikan pengaruh memburuknya kesehatan seseorang, maka tidak perlu bagi calon jamaah itu untuk melunasi biaya haji. Kalau tetap berangkat menjalankan ibadah haji, akan lebih membahayakan kondisinya,” ujar dia dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Selasa (24/10/2023).

Menurut dia, kelompok-kelompok ini sejak awal seharusnya tidak diberi kesempatan untuk membayar biaya haji. Mereka diminta lebih fokus terhadap perawatan diri dan pengobatan.

Dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu juga menyebut calhaj yang demikian ini tergolong dalam kelompok yang memang tidak masuk kriteria istitha’ah haji. Di antaranya adalah mereka yang memiliki kondisi penyakit yang kronis, seperti kanker stadium akhir, TBC resisten seluruh obat, HIV/AIDS, strok dengan pendarahan yang luas, hingga gangguan skizofrenia berat.

Selain kelompok tersebut, Agus juga menyampaikan ada tiga kategori lain terkait istitha’ah seorang jamaah. Mereka adalah calhaj yang memang memenuhi istitha’ah menjadi jamaah haji, calhaj yang istitha’ah tetapi harus dengan pendampingan, serta calhaj tidak istitha’ah untuk sementara waktu.

Kedua kategori terakhir itu, menurutnya, bisa diberangkatkan ketika sudah terpenuhi. Jamaah yang demikian diberi kesempatan melakukan pembayaran biaya ibadah haji.

“Tentu masyarakat harus mengetahui ini sehingga mempersiapkan fisik dengan baik, mempersiapkan mental dengan baik, di samping mempersiapkan biaya haji yang menjadi bagian kriteria istitha’ah,” kata dokter spesialis saraf tersebut.

Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga tokoh NU KH Abdul Moqsith Ghazali menyampaikan istitha’ah merupakan syarat dalam ibadah haji. Bahkan, tidak ada aktivitas ibadah di dalam Islam yang mempersyaratkan istitha’ah di dalam pelaksanaannya, selain ibadah haji.

“Karena itu, seluruh calon jamaah haji yang mau berangkat haji harus memiliki persyaratan mampu untuk melaksanakan ibadah haji,” ujar dia.

Senada dengan pernyataan tersebut, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar Abdul Rauf Muhammad Amin juga menegaskan istitha’ah harus sempurna. Karenanya, ia menegaskan pengetatan dalam hal ini bukanlah sebuah masalah.

“Masalah administrasi mensyaratkan harus kesehatan sempurna itu tidak apa-apa,” ujar Abdul Rauf.

IHRAM

Benarkah Al-Qur’an Tidak Bisa Dipahami oleh Orang Awam?

Pertanyaan:

Benarkah bahwa kita sebagai orang awam tidak boleh mencoba memahami Al Qur’an dan As Sunnah? Karena orang awam tidak akan bisa memahami Al Qur’an dan As Sunnah, dan yang bisa memahaminya hanya ulama mujtahid? Mohon penjelasannya.

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash shalatu was salamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi was shahbihi ajma’in, amma ba’du.

Menyatakan bahwa al-Qur’an dan Sunnah itu tidak bisa dipahami kecuali oleh sedikit orang saja, ini adalah bentuk syubhat untuk menjauhkan manusia dari al-Qur’an dan Sunnah. 

Allah ta’ala sudah membantah syubhat ini dalam banyak ayat. Allah ta’ala berfirman: 

لَقَدْ حَقَّ الْقَوْلُ عَلَى أَكْثَرِهِمْ فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

“Telah pasti ketetapan bagi kebanyakan mereka bahwa mereka tidak beriman.” (QS. Yasin: 7)

Ayat ini menunjukkan bahwa umat para Nabi telah memahami wahyu dan keterangan yang disampaikan para Nabinya, tanpa kesamaran dan kebingungan. Baik orang awamnya dan ulamanya. Namun mereka menolak kebenaran karena kesombongan dan hawa nafsu mereka. Sehingga Allah tambahkan kesesatan dalam diri mereka sebagaimana dalam kelanjutan ayat:

إِنَّا جَعَلْنَا فِي أَعْنَاقِهِمْ أَغْلَالًا فَهِيَ إِلَى الْأَذْقَانِ فَهُمْ مُقْمَحُونَ.  وَجَعَلْنَا مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدًّا وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ لَا يُبْصِرُونَ. وَسَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

“Sesungguhnya Kami menjadikan pada leher mereka belenggu sehingga terkumpul kedua tangan pada dagu dalam keadaan mereka mendongak ke atas (8) dan Kami jadikan penghalang di depan dan di belakang mereka, Kami tutup mereka sehingga tidak bisa melihat (9) Sama saja apakah kalian memberi peringatan ataukah tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak (akan) beriman (10).” (QS. Yasin: 8-10)

Bahkan di ayat ini, Allah ta’ala katakan bahwa orang-orang yang selamat adalah orang-orang yang mengikuti adz-Dzikru, yaitu al-Qur’an. 

إِنَّمَا تُنْذِرُ مَنِ اتَّبَعَ الذِّكْرَ وَخَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ فَبَشِّرْهُ بِمَغْفِرَةٍ وَأَجْرٍ كَرِيمٍ 

“Hanyalah yang bisa engkau beri peringatan adalah yang mengikuti adz-Dzikr (al-Quran) dan takut kepada ar-Rahman (Allah) dalam kesendirian. Berikan kabar gembira kepada mereka akan ampunan (Allah) dan pahala (balasan) yang mulya.” (QS. Yasin: 11)

Menunjukkan bahwa al-Qur’an bisa dipahami. Karena bagaimana mungkin al-Qur’an bisa diikuti jika tidak bisa dipahami?

Al-Qur’an itu Mudah Dipahami

Syubhat ini sungguh jauh panggang dari apinya. Bagaimana mungkin al-Qur’an dikatakan sulit dipahami padahal Allah ta’ala banyak menjelaskan bahwa al-Qur’an itu jelas dan mudah dipahami. Allah ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk dipelajari.” (QS. al-Qamar: 32)

Allah ta’ala berfirman,

وَإِنَّهُ لَتَنزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ  نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ عَلَىٰ قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنذِرِينَ  بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُّبِينٍ

“Dan sesungguhnya al-Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa arab yang jelas.” (QS. asy-Syu’ara: 192-195)

Al-Qurthubi rahimahullah menafsirkan ayat ini:

أي لئلا يقولوا لسنا نفهم ما تقول

“Maksudnya, agar mereka (orang Musyrikin) tidak mengatakan: “Kami tidak paham apa yang engkau ucapkan (wahai Muhammad)”.” (Tafsir al-Qurthubi)

Allah ta’ala juga berfirman:

إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ. وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَدَيْنَا لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ

“Sesungguhnya Kami menjadikan al-Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). Dan sesungguhnya al-Quran itu dalam induk al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah.” (QS. az-Zukhruf: 3-4)

Allah ta’ala juga berfirman:

إِنَّمَا يَسَّرْنَاهُ بِلِسَانِكَ لِتُبَشِّرَ بِهِ الْمُتَّقِينَ وَتُنْذِرَ بِهِ قَوْمًا لُدًّا

“Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Quran itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan al-Quran itu kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang.” (QS. Maryam: 97)

Dan lisan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga merupakan lisan Arab yang jelas dan mudah dipahami. Allah ta’ala berfirman:

لِسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ

“Padahal orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya ia berbahasa ‘Ajam, sedang al-Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang.” (QS. an-Nahl: 103)

Maka jelaslah bagi kita bahwa al-Qur’an dan Sunnah itu jelas dan mudah dipahami, maka tidak benar perkataan orang yang menyatakan bahwa al-Qur’an dan Sunnah tidak bisa dipahami kecuali oleh sedikit orang saja.

Allah ta’ala Memerintahkan Kita untuk Tadabbur

Al-Qur’an adalah obat dan penyejuk jiwa. Allah ta’ala memerintahkan kita untuk senantiasa mentadabburinya. Allah ta’ala berfirman:

أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

“Maka apakah mereka tidak men-tadabburi al-Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24)

Tadabbur artinya merenungkan ayat al-Qur’an untuk menggali petunjuk dari ayat tersebut untuk diterapkan dalam ilmu dan amal. Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan:

والتدبير : أن يدبر الإنسان أمره كأنه ينظر إلى ما تصير إليه عاقبته

Tadabbur adalah seseorang merenungkan keadaan dirinya, seakan-akan ia melihat akibat apa yang akan menimpanya kelak.” (Fathul Qadir, 2/180.)

Sedangkan tafsir adalah mendefinisikan makna ayat dan menjelaskannya. Tadabbur lebih luas dari tafsir. Tafsir adalah wasilah untuk tadabbur. Tadabbur adalah tujuan utama, tafsir adalah wasilahnya.

Maka bagaimana mungkin Allah ta’ala memerintahkan kita untuk mentadabburi al-Qur’an jika al-Qur’an sulit dipahami dan hanya bisa dipahami oleh sedikit orang saja? Apakah ayat di atas hanya berlaku untuk sebagian kecil orang saja?

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan menjelaskan, “Ayat ini sifatnya umum berlaku untuk seluruh kaum Muslimin. Setiap orang dapat memahami al-Qur’an sesuai dengan hidayah yang Allah berikan kepadanya. Orang awam dapat memahami al-Qur’an sesuai kemampuannya. Para penuntut ilmu dapat memahami al-Qur’an sesuai kemampuannya. Orang yang kokoh ilmunya (yaitu ulama) juga dapat memahami al-Qur’an sesuai kemampuannya. Allah ta’ala berfirman:

أَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا

“Allah menurunkan hujan dari langit. Kemudian air tersebut mengalir ke lembah-lembah sesuai dengan kadarnya masing-masing.” (QS. ar-Ra’du: 17)

Setiap lembah mengambil jatah air hujan sesuai dengan kadarnya masing-masing. Demikian juga ilmu yang Allah turunkan kepada manusia, setiap hati manusia dapat mengambil ilmu sesuai kadarnya masing-masing. Orang awam, penuntut ilmu, ulama, setiap mereka dapat mengambil ilmu sesuai kadarnya masing-masing. Yaitu kadar kepahaman yang diberikan kepada mereka. Adapun meyakini bahwa tidak ada yang bisa memahami al-Qur’an kecuali hanya mujtahid mutlak, ini perkataan yang tidak benar.” (Syarah al-Ushul as-Sittah, dinukil dari Silsilah Syarhir Rasail, hal. 42-43)

Jenis-jenis Ayat Al Qur’an

Memang benar, ada sebagian ayat-ayat al-Qur’an yang hanya dipahami oleh ulama dan ada yang hanya diketahui oleh Allah ta’ala. Namun tidak semua demikian. Berdasarkan perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma:

تفسير القرآن على أربعة وجوه : تفسير يعلمه العلماء . وتفسير لا يعذر الناس بجهالته من حلال أو حرام . وتفسير تعرفه العرب بلغتها . وتفسير لا يعلمه إلا الله، فمن ادعى علمه فهو كاذب

“Tafsir al-Qur’an ada empat macam: [1] Tafsir yang hanya diketahui para ulama, [2] Tafsir yang semua orang tidak diberi udzur untuk mengaku tidak paham, berupa hukum halal dan haram, [3] Tafsir yang bisa diketahui oleh orang Arab dengan bahasanya, [4] Tafsir yang hanya diketahui oleh Allah, sehingga barang siapa ada yang mengaku mengetahuinya maka ia seorang pendusta.” (Tafsir ath-Thabari 1/73)

  • Tafsir yang diketahui orang-orang Arab semisal definisi kata-kata dan arti-arti kalimat yang biasa mereka gunakan.
  • Tafsir yang semua orang tidak diberi udzur untuk mengaku tidak paham, semisal ayat-ayat tentang wajibnya tauhid, haramnya syirik, wajibnya shalat, wajibnya puasa, wajibnya amar ma’ruf nahi mungkar, dan semisalnya. Semua ini sangat jelas dipahami semua orang secara gamblang.
  • Tafsir yang hanya dipahami ulama semisal tafsiran Nabi shallallahu’alaihi wa sallam terhadap ayat, tafsiran sahabat Nabi terhadap ayat, makna lafazh ‘am, makna lafazh khas, nasikh, mansukh, makna lafadzh muthlaq, makna muqayyad, dan lainnya yang dipelajari dalam ilmu hadits, ilmu ushul fiqih dan ushul tafsir. 
  • Tafsiran yang hanya diketahui Allah semisal huruf-huruf muqatha’ah seperti Alim Laam Miim, Thahaa, YaaSiin, Alim Laam Raa, dan lainnya.

Kembali kepada Qur’an dan Sunnah

Syubhat di atas, pada hakekatnya adalah upaya untuk memalingkan orang dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka menyerukan kepada masyarakat untuk perlu berusaha memahami al-Qur’an dan as-Sunnah, tidak boleh berdalil dengan keduanya, dan mengajak masyarakat untuk taklid buta kepada pendapat ulama. 

Terlalu banyak firman Allah dan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang memerintahkan kita untuk kembali kepada Qur’an dan Sunnah ketika terjadi perselisihan dalam semua masalah. Allah ta’ala berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. an-Nisa: 59)

Allah ta’ala juga berfirman:

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

“Tentang sesuatu yang kalian perselisihkan maka kembalikan putusannya kepada Allah.” (QS. asy-Syura: 10)

Dari al-Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Sesungguhnya sepeninggalku akan terjadi banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah khulafa ar-rasyidin. Peganglah ia erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Dawud 4607, Ibnu Majah 42, dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

Adapun pendapat para ulama, itu bukanlah dalil. Para ulama mujtahid mutlak pun melarang untuk taklid buta kepada mereka. Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata:

لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا؛ ما لم يعلم من أين أخذناه

“Tidak halal bagi siapapun mengambil pendapat kami, selama ia tidak tahu dari mana kami mengambilnya (dalilnya)” (Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Intiqa 145, Hasyiah Ibnu ‘Abidin 6/293. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 24)

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata:

لا تقلدني، ولا تقلد مالكاً، ولا الشافعي، ولا الأوزاعي، ولا الثوري، وخذ من حيث أخذوا

“Jangan taqlid kepada pendapatku, juga pendapat Malik, asy-Syafi’i, al-Auza’i maupun ats-Tsauri. Ambilah dari mana mereka mengambil (dalil).” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-I’lam 2/302. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 32)

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

أجمع الناس على أن من استبانت له سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يكن له أن يدعها لقول أحد من الناس

“Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan padanya sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak boleh ia meninggalkan sunnah demi membela pendapat siapa pun.” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-I’lam 2/361. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 28 )

Para ulama bukan manusia maksum yang selalu benar dan tidak pernah terjatuh dalam kesalahan. Terkadang masing-masing dari mereka berpendapat dengan pendapat yang salah karena bertentangan dengan dalil. Mereka kadang tergelincir dalam kesalahan. Imam Malik rahimahullah berkata:

إنما أنا بشر أخطئ وأصيب، فانظروا في رأيي؛ فكل ما وافق الكتاب والسنة؛ فخذوه، وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة؛ فاتركوه

“Saya ini hanya seorang manusia, kadang salah dan kadang benar. Cermatilah pendapatku, tiap yang sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, ambillah. Dan tiap yang tidak sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah..” (Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jami 2/32, Ibnu Hazm dalam Ushul al-Ahkam 6/149. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 27)

Maka pendapat ulama kita lihat dalil dan sisi pendalilannya. Pendapat ulama yang bertentangan dengan dalil atau lemah sisi pendalilannya maka tidak kita ikuti, dan kita mengikuti pendapat ulama yang lebih kuat pendalilannya. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan menjelaskan, “Jika kita berselisih pendapat dalam suatu perkara, maka kita kembalikan kepada dalil. Pendapat yang dikuatkan oleh dalil, itulah yang kita ikuti. Pendapat yang bertentangan dengan dalil, ini keliru dan kita tidak mengikuti kekeliruan.” (Syarah al-Ushul as-Sittah, dinukil dari Silsilah Syarhir Rasail hal. 22)

Kesimpulannya, wajib bagi kita untuk mengembalikan semua permasalahan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.

Wallahu a’lam. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

KONSULTASI SYARIAH

Bimbingan dari Ulama: Antara Umrah dan Sedekah untuk Fakir

Pertimbangan Fatwa Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid

Ketika kita mencapai momen penting dalam hidup, seperti memilih antara melaksanakan ibadah umrah atau memberikan sedekah kepada orang fakir dan membutuhkan, seringkali kita merasa bingung. Apalagi jika situasi keuangan kita tidak memungkinkan untuk melakukan keduanya secara bersamaan. Dalam situasi semacam ini, kita memerlukan bimbingan dan nasihat yang benar. Fatwa dari ulama seperti Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid memberikan pandangan yang berharga.

Pentingnya Ibadah Umrah dan Sedekah

Umrah dan sedekah keduanya adalah bentuk ibadah yang memiliki nilai dan kedudukan penting dalam Islam. Umrah, seperti halnya haji, adalah pelaksanaan ritus yang melibatkan komitmen finansial dan fisik. Umrah mencakup tindakan seperti tawaf, sa’i, dzikir, salat, dan talbiyah. Dalam konteks ini, jika sedekah yang dimaksud adalah sedekah wajib, maka sedekah jelas lebih utama dibandingkan umrah.

Perbedaan Antara Sedekah Wajib dan Sedekah Sunah

Namun, jika yang dimaksud dengan sedekah adalah sedekah sunah, maka pada prinsipnya, haji dan umrah lebih utama dibandingkan sedekah. Hal ini disebabkan oleh aspek ibadah badan dan harta yang terlibat dalam pelaksanaan haji dan umrah.

Pertimbangan Khusus dalam Memilih

Ketika kita berada dalam situasi di mana ada sekelompok orang yang membutuhkan bantuan atau ada kerabat yang mengharapkan dukungan finansial, dan ada uzur (halangan yang sah) yang memungkinkan kita untuk menggabungkan infak dengan haji dan umrah, maka dalam konteks ini, memberikan sedekah menjadi lebih utama.

Pendapat Para Imam Besar dan Ulama

Sejarah fatwa dalam Islam menunjukkan bahwa ada perbedaan pendapat di antara para ulama besar tentang prioritas antara umrah dan sedekah.

  • Imam Abu Hanifah, misalnya, berpendapat bahwa umrah lebih utama dibandingkan sedekah.
  • Imam Malik, dalam satu konteks, menyatakan lebih suka haji dibandingkan sedekah, kecuali dalam kondisi sulit seperti masa kelaparan.
  • Syekh Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa jika ada kerabat dalam kondisi sulit atau sekelompok orang yang membutuhkan bantuan, sedekah kepada mereka lebih utama. Namun, dalam situasi lain, haji dan umrah lebih utama karena melibatkan ibadah badan dan harta.
  • Syaukani juga memandang bahwa umrah lebih utama berdasarkan penjelasan hadis yang merujuk pada keutamaan iman, jihad, haji, dan sebagainya.

Pentingnya Konteks dan Kepedulian Sosial

Dalam konteks sosial yang saat ini sering kali dipenuhi oleh berbagai kebutuhan dan kesulitan yang dihadapi oleh sesama Muslim, memberikan sedekah kepada mereka mungkin akan menjadi pilihan yang lebih baik. Situasi lapar, kekurangan pangan, dan ketersediaan tempat tinggal bagi saudara-saudara kita di Timur dan Barat adalah permasalahan yang harus kita hadapi. Dalam keadaan ini, memberikan sedekah kepada mereka adalah tindakan yang lebih utama daripada infak harta untuk haji dan umrah.

Kesimpulan

Mengingat konteks dan situasi yang berubah, kita harus mempertimbangkan keutamaan sosial dan kebutuhan saudara-saudara kita yang membutuhkan. Keputusan antara umrah dan sedekah harus didasarkan pada situasi pribadi dan pertimbangan hati nurani kita. Kami berharap bahwa panduan ini akan membantu Anda dalam mengambil keputusan yang bijaksana dan bermanfaat, sesuai dengan ajaran Islam dan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi.

Sumber:https://www.islamweb.net/ar/fatwa/39969/أيهما-أفضل-الصدقة-أم-العمرة

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88761-umroh-atau-sedekah-untuk-fakir.html

Perjalanan Jihad Imam Syafi’i Mencari Ilmu

Imam Syafi’i bernama asli Abu Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, lahir di tahun 150 Hijriyah. Nasab beliau bertemu dengan Rasulullah saw. di Abdi Manaf, sehingga beliau sering disebut “anak paman Rasulullah saw.” Tulisan ini akan menceritakan perjalanan jihad Imam Syafi’i dalam mencari ilmu.

Imam Syafi’i merupakan pemimpin di Mazhab Fikih yang ketiga setelah Imam Malik dan Imam Hanafi. Beliau dikenal sebagai sosok yang sangat cakap dalam persoalan agama. Bukan hanya dalam persoalan fikih, beliau juga mahir dalam ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu akidah, dan lain sebagainya. Sebab kealimannya itu,  beliau disebut-sebut sebagai pembaharu muslim abad kedua hijriah.

Di umur yang masih tujuh tahun, Imam Syafi’i telah berhasil menghafalkan Alquran 30 juz. Dan di umur sepuluh tahun beliau telah menghafal banyak sekali hadis-hadis Nabi. Melihat semangat belajar Imam Syafi’ yang begitu besar, Sang Ibu lantas mengirim Imam Syafi’i ke Kabilah Hudzail untuk memperdalam ilmu-ilmu agama kepada para pakar di sana. 

Setelah tujuh tahun lamanya, barulah beliau kembali ke Mekkah, tanah kelahirannya, dengan sudah menguasai berbagai keilmuan Islam. Bahkan beliau telah diberi legalitas fatwa oleh gurunya, padahal beliau masih remaja berusia 20 tahun.

Tidak cukup sampai di situ, Imam Syafi’i berangkat lagi ke Madinah untuk jihad mencari ilmu. Di sana beliau berguru kepada Imam Malik bin Anas. Imam Syafi’i sangat bersungguh-sungguh untuk mengejar dan  menggali  ilmu sang guru, terutama ilmu fikih Mazhab Imam Malik. Beliau menetap di Madinah sampai akhir hayat sang guru. 

Imam Syafi’i lantas melanjutkan perjalanan mencari ilmunya ke negeri Yaman, dan setelahnya beliau berpindah ke Baghdad pada tahun 184 Hijriyah. Di Baghdad beliau bertemu dengan Qadhi Muhammad bin Hasan al-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah. Dengan semangatnya yang menggebu-gebu, Imam Syafi’i berusaha mendalami madzhab Imam Hanafi secara menyeluruh.

Walhasil, dari perjalanannya yang begitu panjang Imam Syafi’i telah menguasai dua mazhab fikih utama, yakni Madzhab Maliki dan Hanafi. Di mana saat itu kedua madzhab tersebut seringkali bersinggungan dalam menghasilkan hukum-hukum fikih. Di antara sebabnya adalah, madzhab Maliki cenderung mengunggulkan hadis Nabi ketimbang penemuan-penemuan akal. Akibatnya, hadis-hadis yang lemah pada akhirnya dijadikan dasar hukum sekalipun ia bertentangan dengan hukum akal.

Sedangkan Madzhab Hanafi sebaliknya. Sangat mengunggulkan penemuan-penemuan akal ketimbang hadis-hadis Nabi. Akibatnya, banyak ditemukan hasil ijtihadnya yang kurang selaras dengan hadis shahih sekalipun.

Jeniusnya, Imam Syafi’i beliau mampu mendamaikan dua metode pengambilan hukum Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Oleh karena kontroversi dua mazhab tersebut lah, Imam Syaf’i lantas menyusun kitab Al-Risalah yang berisikan metode-metode pengambilan hukum fikih menurut pandangan beliau. Atau dalam istilah keilmuan kita biasa menyebutnya sebagai ilmu ushul fikih, ilmu yang mempelajari tata cara penarikan hukum-hukum fikih dari sumber-sumber agama Islam.

Seusai menimba ilmu di Baghdad, Imam Syafi’i melanjutkan perjalanan ke Iraq. Lalu beliau kembali ke Mekkah dan menulis banyak kitab terkait madzhabnya yang berupaya menengahi madzhab Maliki dan Hanafi. Baghdad menjadi tujuan beliau lagi seusai menyelesaikan pencariannya di Mekkah.

Mesir menjadi tanah terakhir yang menjadi saksi jihad mencari ilmu seorang Imam Syafi’i. Ketika di Mesir beliau banyak mengeluarkan pendapat-pendapat yang berbeda dari sebelumnya, Kondisi Mesir tentu berbeda dengan tanah-tanah lain, Sehingga produk hukumnya pun bisa berbeda. Pendapat-pendapat baru Imam Syafi’i selama di Mesir biasa disebut al-Qaul al-Jadid. 

Hingga menutup usia, beliau telah melahirkan banyak sekali kitab fenomenal. Dari murid-murid yang belajar kepadanya ketika di Mesir, beliau telah mencetak ulama-ulama penerus Mazhab Syafi’i dari berbagai belahan dunia.

Pantas, hingga kini makam beliau di Mesir tidak pernah sepi dari peziarah. Semoga kita dapat meneladani kesungguhan Imam Syafi’i dalam mencari ilmu. Beliau yang tak pernah puas akan apa yang sudah dipelajari. Lebih-lebih semoga kita bisa turut mewariskan ilmu para ulama kepada generasi setelah kita sebagaimana beliau contohkan.

Demikian ringkasan kisah perjalanan jihad Imam Syafi’i dalam mencari ilmu. Semoga bermanfaat.

BINCANG MUSLIMAH