4 Hal yang Harus Diketahui Sebelum Berutang

Ada satu fenomena yang sedang marak terjadi dan amat disayangkan di zaman sekarang, yaitu bermudah-mudahannya seseorang dalam perkara utang dan mengambil pinjaman. Sebagian dari mereka mengambil utang bukan karena butuh dan tidak dalam kondisi mendesak. Mereka berutang karena ingin bergaya, mengambil pinjaman berbunga untuk membeli hape baru. Sebagiannya lagi mengambil kredit motor hanya karena gengsi.

Fenomena ini muncul bukan tanpa sebab. Maraknya pinjaman-pinjaman online yang menggunakan iklan menggiurkan, banyaknya beragam bentuk kredit ribawi yang menjanjikan benefit menguntungkan bagi nasabahnya, dan beragam produk keuangan lainnya, kesemuanya itu memiliki andil besar di dalam terjadinya fenomena ini. Kesemuanya itu pada akhirnya membuat masyarakat di zaman sekarang memiliki kebiasaan yang amat memprihatinkan, yaitu bermudah-mudahan di dalam berutang.

Saudaraku, berikut ini adalah beberapa hal yang harus kita ketahui bersama sebelum mengambil pinjaman uang atau berutang:

Pertama: Hukum asal utang adalah boleh

Utang merupakan salah satu perkara yang Allah Ta’ala perbolehkan. Hanya saja ada syarat-syarat dan adab-adab yang harus dipenuhi agar hak-hak orang yang berutang dan mengutangi terjaga. Karena utang seringkali membawa malapetaka, baik di dunia dan di akhirat.

Pentingnya perkara utang ini, sampai-sampai Allah Ta’ala turunkan satu ayat Al-Qur’an terpanjang yang membahasnya. Di antara potongan ayat tersebut Allah Ta’ala berfirman,

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِذَا تَدَايَنۡتُمۡ بِدَيۡنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكۡتُبُوۡهُ ​ؕ وَلۡيَكۡتُب بَّيۡنَكُمۡ كَاتِبٌۢ بِالۡعَدۡلِ وَلَا يَاۡبَ كَاتِبٌ اَنۡ يَّكۡتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّٰهُ​ فَلۡيَكۡتُبۡ ​ۚ وَلۡيُمۡلِلِ الَّذِىۡ عَلَيۡهِ الۡحَـقُّ وَلۡيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ وَلَا يَبۡخَسۡ مِنۡهُ شَيۡـــًٔا ​ؕ فَاِنۡ كَانَ الَّذِىۡ عَلَيۡهِ الۡحَـقُّ سَفِيۡهًا اَوۡ ضَعِيۡفًا اَوۡ لَا يَسۡتَطِيۡعُ اَنۡ يُّمِلَّ هُوَ فَلۡيُمۡلِلۡ وَلِيُّهٗ بِالۡعَدۡلِ​ؕ وَاسۡتَشۡهِدُوۡا شَهِيۡدَيۡنِ مِنۡ رِّجَالِكُمۡ​ۚ فَاِنۡ لَّمۡ يَكُوۡنَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٌ وَّامۡرَاَتٰنِ مِمَّنۡ تَرۡضَوۡنَ مِنَ الشُّهَدَآءِ اَنۡ تَضِلَّ اِحۡدٰٮهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحۡدٰٮهُمَا الۡاُخۡرٰى​ؕ

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripadanya. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa, maka yang lain mengingatkannya. (QS. Al-Baqarah: 282)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga sangat perhatian terhadap perkara utang ini. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengisahkan,

قدِم النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ وهم يُسلِفونَ في الثِّمارِ السَّنةَ والسنتين فقال: من أسلفَ في شيءٍ فليُسلِفْ في كيلٍ معلومٍ ووزنٍ معلومٍ إلى أجَلٍ معلومٍ

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, mereka (penduduk Madinah) mempraktikkan jual beli buah-buahan dengan sistem salaf, yaitu membayar di muka dan diterima barangnya setelah kurun waktu dua atau tiga tahun kemudian. Maka, beliau bersabda, ‘Siapa yang mempraktikkan salaf dalam jual beli buah-buahan hendaklah dilakukannya dengan takaran yang diketahui dan timbangan yang diketahui, serta sampai waktu yang diketahui.” (HR. Bukhari no. 2240 dan Muslim no. 1604)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setuju dengan sistem akad di dalam hadis tersebut yang sejatinya berbentuk utang. Namun, beliau memberikan batasan-batasan yang harus dipenuhi tatkala melaksanakannya. Wajib hukumnya bagi setiap muslim untuk mau belajar dan perhatian terhadap syarat-syarat utang dan adab-adabnya serta menjauhkan diri dari praktik jual beli dan muamalah yang dilarang oleh syariat.

Kedua: Jangan mudah-mudahan di dalam berutang

Kebanyakan masyarakat di zaman sekarang terlalu bermudah-mudahan di dalam berutang, menunda-nunda di dalam melunasinya, dan bahkan berutang dengan nilai yang tidak mampu mereka bayar.

Orang-orang terdahulu berutang karena keperluan atau kebutuhan yang mendesak, untuk memenuhi kebutuhan pangan anak misalnya, atau memperbaiki rumah yang rusak, lahan pertanian yang rusak, atau sekedar untuk membeli barang sebagai modal dagangannya, dan semua itu tentu sebatas kebutuhannya saja.

Zaman sekarang, orang berutang untuk flexing dan bermewah-mewahan. Membangun rumah mewah, membeli mobil mahal, atau bahkan untuk mengadakan pesta resepsi mewah yang berlebih-lebihan. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَعْظَمَ الذُّنُوبِ عِنْدَ اللَّهِ أَنْ يَلْقَاهُ بِهَا عَبْدٌ بَعْدَ الْكَبَائِرِ الَّتِي نَهَى اللَّهُ عَنْهَا أَنْ يَمُوتَ رَجُلٌ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ لَا يَدَعُ لَهُ قَضَاءً

“Sesungguhnya dosa terbesar di sisi Allah yang akan dibawa seorang hamba saat berjumpa dengan-Nya setelah dosa-dosa besar yang telah Allah larang adalah seseorang yang meninggal dalam keadaan menanggung utang yang tidak mampu ia lunasi.” (HR. Abu Dawud no. 3342)

Bukankah seharusnya seorang muslim takut mendengar ancaman ini?! Sungguh sebuah ancaman yang keras bagi siapa pun yang bermudah-mudahan di dalam berutang, lalu tidak mampu melunasinya hingga ia meninggal dunia.

Iya, berutang tidaklah terlarang dan tidak diharamkan, hanya saja Islam membolehkan hal tersebut saat terdesak dan butuh saja! Bukan untuk bergaya apalagi menuruti hawa nafsu belaka.

Ketiga: Nabi senantiasa berlindung kepada Allah Ta’ala dari utang

Utang merupakan salah satu perkara yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa berdoa kepada Allah agar terhindar darinya. Di antaranya doa beliau,

اللَّهُمَّ إنِّي أعُوذُ بكَ مِنَ الكَسَلِ والهَرَمِ، والمَأْثَمِ والمَغْرَمِ

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa malas dan kepikunan. Dan dari berbuat dosa serta sulitnya utang.” (HR. Bukhari no. 6368 dan Muslim no. 589)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga berdoa,

اللَّهُمَّ إنِّي أعُوذُ بكَ مِنَ الهَمِّ والحَزَنِ، والعَجْزِ والكَسَلِ، والبُخْلِ، والجُبْنِ، وضَلَعِ الدَّيْنِ، وغَلَبَةِ الرِّجالِ

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegundahan dan kesedihan. Dan aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan. Dan aku berlindung kepada-Mu dari sifat penakut dan bakhil dan aku berlindung kepada-Mu dari terlilit utang dan pemaksaan dari orang lain). (HR. Bukhari no. 6363)

Keempat: Memiliki utang dan tidak bisa melunasinya sampai meninggal dunia sangatlah berbahaya

Banyak sekali hadis yang menjelaskan kepada kita akan bahaya berutang dan tidak bisa melunasinya hingga meninggal dunia. Di antaranya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada awal-awal Islam, menahan diri dari mensalatkan jenazah seseorang yang mempunyai utang, lalu tidak dapat melunasinya. Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

أنَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أُتِيَ بجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا، فَقالَ: هلْ عليه مِن دَيْنٍ؟، قالوا: لَا، فَصَلَّى عليه، ثُمَّ أُتِيَ بجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقالَ: هلْ عليه مِن دَيْنٍ؟، قالوا: نَعَمْ، قالَ: صَلُّوا علَى صَاحِبِكُمْ، قالَ: أَبُو قَتَادَةَ عَلَيَّ دَيْنُهُ يا رَسولَ اللَّهِ، فَصَلَّى عليه.

“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alahi wasallam didatangkan kepadanya jenazah untuk disalatkan, maka Nabi bertanya, ‘Apakah dia memiliki utang?’ Mereka mengatakan, ‘Tidak.’ Maka, Nabi pun menyalatkannya. Lalu, didatangkan janazah yang lain, maka Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bertanya kembali, ‘Apakah ia memiliki utang?’ Mereka mengatakan, ‘Ya.’ Nabi berkata, ‘Salatkanlah saudara kalian.’ Abu Qatadah berkata, ‘Aku yang menanggung utangnya, wahai Rasulullah.’ Maka, Nabi pun menyalatkannya.” (HR. Bukhari no. 2295)

Bahaya lainnya, orang yang bermudah-mudahan dalam berutang lalu tidak dapat melunasinya hingga meninggal dunia, maka bisa jadi ia tertahan dari masuk surga selama utangnya tersebut belum dilunasi. Sebagaimana Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu mengisahkan.

كنَّا مع النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ في جِنازةٍ، فقال: أهاهُنا مِن بَني فُلانٍ أحَدٌ؟ قالها ثلاثًا، فقام رَجُلٌ، فقال له النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: ما مَنَعَكَ في المَرَّتَينِ الأُوليَينِ أنْ تَكونَ أجَبتَني؟ أمَا إنِّي لم أُنوِّهْ بك إلَّا لخيرٍ؛ إنَّ فُلانًا لِرَجُلٍ منهم مات- إنَّه مَأسورٌ بدَينِه

“Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menguburkan jenazah. Beliau bersabda, ‘Adakah seseorang dari Bani Fulan di sini?’ Beliau mengulanginya tiga kali. Lalu, berdirilah seorang laki-laki. Rasulullah bertanya kepadanya, ‘Apa yang menghalangimu untuk menjawab seruanku pada kali yang pertama dan kedua? Adapun aku tidak menyebutkan sesuatu kepadamu melainkan kebaikan. Sesungguhnya fulan (seorang laki-laki dari kalangan mereka yang sudah mati) tertawan (tertahan) karena utangnya.’” (HR. Abu Dawud no. 3341, An-Nasa’i no. 4685, dan Ahmad no. 20231)

Bahkan, apabila orang yang berutang itu meninggal dalam kondisi syahid sekalipun, maka semua dosanya akan diampuni oleh Allah Ta’ala, kecuali utangnya tersebut. Karena utang adalah hak yang berkaitan dengan manusia, maka harus ditunaikan dan diselesaikan terlebih dahulu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يُغْفَرُ لِلشَّهِيْدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْنَ

“Orang yang mati syahid diampuni seluruh dosanya, kecuali utang.” (HR. Muslim no. 1886)

Penutup

Kebiasaan utang menggunakan kredit dan cicilan berbunga atau memanfaatkan paylater adalah fenomena yang sedang merebak di tengah masyarakat kita. Fenomena yang dianggap remeh, namun ternyata dapat membawa bencana bagi pelakunya.

Berutang di dalam Islam diperbolehkan hanya ketika dibutuhkan dan kondisi darurat saja. Orang yang berutang, maka juga diwajibkan untuk melunasinya. Karena utang yang tidak dilunasi sampai seseorang itu meninggal dunia, maka akan membawa malapetaka kepada pelakunya.

Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi seorang muslim menahan dirinya dari banyak berutang. Jikapun ada kondisi yang mendesaknya sampai berutang, maka ia berutang sebatas kebutuhannya saja, sembari bertekad untuk melunasinya sesegera mungkin. Dengan cara seperti itu, Allah Ta’ala pasti akan menolongnya untuk melunasi utangnya tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَن أخَذَ أمْوالَ النَّاسِ يُرِيدُ أداءَها أدَّى اللَّهُ عنْه، ومَن أخَذَ يُرِيدُ إتْلافَها أتْلَفَهُ اللَّهُ.

Siapa saja yang mengambil harta manusia (berutang) disertai maksud akan melunasinya, maka Allah akan melunasinya untuknya. Sebaliknya, siapa saja yang mengambilnya dengan maksud merusaknya (merugikannya dan menggelapkannya serta tidak berniat untuk melunasinya), maka Allah akan merusak orang itu.” (HR. Bukhari no. 2387)

Wallahu Ta’ala a’lam bisshawab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/89848-4-hal-yang-harus-diketahui-sebelum-berutang.html

Fatwa MUI Haram Pemimpin yang Ingkar Janji

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa mengenai masalah strategis kebangsaan [masail asasiyyah wathaniyah]. Berdasarkan fatwa MUI haram pemimpin yang ingkar janji, terlebih janji yang diucapkan saat kampanye. Dalam fatwa MUI tersebut tidak boleh mentaati pemimpin yang memerintahkan sesuatu yang dilarang agama.

Nah berikut Keputusan Komisi A terkait Masalah Strategis Kebangsaan, Ijtima’ Ulama Fatwa Se-Indonesia tentang Kedudukan Pemimpin yang Tidak Menepati Janjinya.

  1. Pada dasarnya, jabatan merupakan amanah yang pasti dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Swt. Meminta dan/atau merebut jabatan merupakan hal yang tercela, apalagi bagi orang yang tidak mempunyai kapabilitas yang memadai dan/atau diketahui ada orang yang lebih kompeten. Dalam hal seseorang memiliki kompetensi, maka ia boleh mengusulkan diri dan berjuang untuk hal tersebut.
  2. Setiap calon pemimpin publik, baik legislatif, yudikatif, maupun ekskutif harus memiliki kompetensi (ahliyyah) dan kemampuan dalam menjalankan amanah tersebut.
  3. Dalam mencapai tujuannya, calon pemimpin publik tidak boleh mengumbar janji untuk melakukan perbuatan di luar kewenangannya.
  4. Calon pemimpin yang berjanji untuk melaksanakan suatu kebijakan yang tidak dilarang oleh syariah, dan terdapat kemaslahatan, maka ia wajib menunaikannya. Mengingkari janji tersebut hukumnya haram.
  5. Calon pemimpin publik dilarang berjanji untuk menetapkan kebijakan yang menyalahi ketentuan agama. Dan jika calon pemimpin tersebut berjanji yang menyalahi ketentuan agama maka haram dipilih, dan bila ternyata terpilih, maka janji tersebut untuk tidak ditunaikan.
  6. Calon pemimpin publik yang menjanjikan memberi sesuatu kepada orang lain sebagai imbalan untuk memilihnya maka hukumnya haram karena termasuk dalam ketegori risywah (suap).
  7. Pemimpin publik yang melakukan kebijakan untuk melegalkan sesuatu yang dilarang agama dan atau melarang sesuatu yang diperintahkan agama maka kebijakannya itu tidak boleh ditaati.
  8. Pemimpin publik yang melanggar sumpah dan/atau tidak melakukan tugas-tugasnya harus dimintai pertanggungjawaban melalui lembaga terkait dan diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  9. Pemimpin publik yang tidak melaksanakan janji kampanyenya adalah berdosa, dan tidak boleh dipilih kembali.
  10. MUI agar senantiasa memberikan taushiyah kepada para pemimpin yang mengingkari janji dan sumpahnya.

Fatwa MUI ini diharapkan dapat menjadi pengingat bagi para pemimpin untuk selalu menepati janjinya kepada rakyat. Janji adalah amanah yang harus ditunaikan. Apabila seorang pemimpin mengingkari janjinya, maka ia telah melanggar amanah dan berbuat dosa.

Selain itu, fatwa ini juga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran rakyat untuk menuntut pemimpin yang mengingkari janjinya. Rakyat memiliki hak untuk menuntut pemimpin yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik, termasuk mengingkari janjinya.

Demikian penjelasan terkait fatwa MUI terkait haram pemimpin yang ingkar janji. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Genosida di Gaza dan Paradoks Demokrasi Sekuler

Sementara hingga hari ini, 10 Nopember 2023, sudah lebih dari 10 ribu orang meninggal dunia di Gaza di mana hampir separuhnya adalah anak-anak, sejumlah orang masih berdebat tentang apakah Hamas adalah organisasi teroris atau bukan. Seolah lupa bahwa Hamas telah memenangkan pemilihan umum Palestina yang diselenggarakan pada 2006, negara-negara Barat yang besar seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan Jerman tetap menganggap Hamas adalah teroris yang karena itu serangan terhadap mereka di Gaza adalah sah. Apakah ini merupakan sebuah contoh bagi demokrasi sekuler?

Palestina, seperti juga entitas politik lainnya, terdiri dari berbagai kelompok yang saling bersaing. Di antara yang paling berpengaruh adalah Fatah dan Hamas. Sementara Fatah bercorak sekuler, Hamas adalah gerakan Islam politik. Fatah setuju dengan solusi “dua negara”, sedangkan Hamas tidak percaya dengan itu. Bagi mereka, keberadaan negara Israel di tanah Palestina adalah penjajahan yang harus dilawan, termasuk dengan senjata. Satu-satunya solusi adalah intifadah.

Akan tetapi, Hamas menyepakati demokrasi. Mereka ikut pemilihan umum 2006. Dibanding dengan Fatah yang nepotis dan korup, Hamas dianggap lebih memberi harapan. Akhirnya, mereka memenangkan 76 kursi dari 132 kursi parlemen Palestina, sementara Fatah hanya mendapatkan 43 kursi saja.

Negara-negara Barat tidak mengakui kemenangan Hamas itu, sehingga Presiden Mahmoud Abbas dari Fatah yang telah berkuasa sejak 2005 hingga hari ini pada dasarnya tidak mempunyai legitimasi di hadapan rakyatnya sendiri. Meski mempunyai otoritas untuk mengirim wakil-wakilnya dalam hubungan internasional, posisi Abbas di mata rakyatnya sangat lemah. Problematik ini mau diatasi dengan pemilihan umum, tetapi tidak pernah berhasil. Israel yang didukung oleh negara-negara Barat selalu mengintervensi rencana pemilihan umum dalam rangka memastikan keberlanjutan pendudukannya di Palestina. Pokoknya, bagi Israel, jangan sampai Hamas memenangan pemilihan umum.

Sementara itu, publik global terus menerus disuguhi gambaran tentang Hamas sebagai organisasi teroris. Kenyataan bahwa mereka adalah kelompok-kelompok pejuang yang mempertahankan jengkal terakhir tanah airnya tidak pernah diakui. Di bawah hegemoni jejaring media pro-Israel yang menggurita, cerita tentang Gaza sebagai “penjara terbuka terbesar di dunia” tidak pernah dijadikan berita. Persepsi ini semakin mantap dalam bayang-bayang proyek global war on terror pasca peristiwa 11 September 2001. Hamas disamakan begitu saja dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), Al-Qaida, dan Jamaah Islamiyah.

Kembali ke soal paradoks demokrasi, sejak awal negara-negara Barat memang alergi dengan Islam politik. Mereka mendorong Islam agar seperti Kristen yang mengalami sekularisasi. Pengalaman Eropa Barat yang berhasil melepaskan diri dari kungkungan agama mesti diterapkan di seluruh dunia. Oleh karena itu, mereka tidak percaya, setidaknya curiga, keikutsertaan kalangan Islam politik dalam demokrasi. Jika mereka menang, maka itu harus dibatalkan. Alasannya bisa dicari kemudian.

Persis ketika demokrasi hanya ditempatkan dalam kerangka sempit politik sekuler, paradoks dimulai. Ironisnya itu hanya diberlakukan terutama kepada Islam, sebab demokrasi Israel di bawah Netanyahu atau demokrasi India di bawah Narendra Modi yang sangat teokratik tidak dipermasalahkan, setidaknya dibiarkan. Paling jauh fenomena Israel atau India kontemporer di mana Yahudi dan Hindu mendikte demokrasi hanya dinarasikan sebagai populisme kanan.

Tentu negara-negara Barat tidak berarti anti-Islam, sebab mereka menyayangi Islam moderat. Seperti Fatah di Palestina, faksi-faksi Islam moderat di mana-mana adalah sekutu Barat yang utama. Proyek moderasi akan didukung sebagai wujud nyata keterlibatan agama-agama dalam perdamaian dunia. Pertanyaan apakah hal itu sesuai dengan norma dan prosedur demokrasi atau sebaliknya bisa dicari argumentasinya nanti.

Kenyataannya, apa yang menimpa Hamas di Palestina pada pemilihan umum 2006 bukan hal yang baru pertama kali terjadi di negara Muslim. Sebelumnya, pada tahun 1991 di Aljazair, Front Islamique du Salut (FIS) juga memenangkan pemilihan umum, tetapi lalu dibatalkan oleh kekuatan militer. Yang lebih baru adalah kemenangan Mohamed Moorsi dari Ikhwanul Muslimin di Mesir pada 2012. Setelah berapa bulan menduduki pemerintahan, dia dikudeta, bahkan lalu dipenjara hingga meninggal dunia di balik jeruji pada 2019. Seperti Hamas, FIS dan Ikhawanul Muslimin adalah organisasi Islam politik yang akan terus ditulis dalam literatur-literatur sekuler sebagai kekuatan-kekuatan yang mengancam demokrasi, meski memenangkan demokrasi.

Paradoks demokrasi sekuler, oleh karena itu, tidak akan mengakui adanya  genosida di Gaza yang hingga hari ini telah merenggut lebih dari 10 ribu jiwa. Mungkin itu dilihat sebatas statistik seperti persentase persepsi atau opini publik dalam laporan survei menjelang pemilihan umum. Mungkin tidak ada yang menggetarkan dari jerit 160 anak yang meregang nyawa setiap jam di Gaza. Semuanya hanya dipandang angka-angka belaka.

ALIF

Apakah Berwudhu harus Cebok Dulu?

Apakah berwudhu harus cebok dulu? Pertanyaan ini jamak ditanyakan oleh masyarakat. Lantas bagaimana penjelasannya menurut ulama fikih?

Ketika seseorang membuang air besar atau kecil, dia diwajibkan untuk mensucikannya dengan menggunakan air, batu, atau benda lainnya yang suci dan bersih. Dalam fiqih, menyucikan kotoran setelah buang air besar atau kecil disebut dengan istinja’.

Dalam kaitannya dengan wudhu, apakah boleh melakukan wudhu sebelum istinja’? Apakah wudhu tersebut dinilai sah?

Dalam kitab Majmu Syarhul Muhadzdzab disebutkan, ketika seseorang buang air besar atau kecil, sebaiknya istinja’ terlebih dulu kemudian melakukan wudu. Namun jika melakukan sebaliknya, yaitu wudu terlebih dulu kemudian istinja’, maka wudhunya tetap dinilai sah.

ويستنجى قبل أن يتوضأ، فإن توضأ ثم استنجى صح الوضوء

“Sebaiknya melakukan istinja’ terlebih dulu sebelum berwudu. Namun jika melakukan wudu sebelum istinja’, maka wudunya tetap dinilai sah.”

Salah satu dasar mengapa wudhu sah meski belum melakukan istinja’, adalah karena tujuan utama wudu untuk menghilangkan hadas kecil. Sedangkan hilangnya hadas kecil dengan berwudu tetap berhasil meski tanpa didahului dengan menghilangkan najis.

Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab Kasyifatus Saja berikut;

بخلافه في الوضوء لأن الوضوء لرفع الحدث وهو يحصل مع عدم ذلك

“Berbeda dalam perkara menghilangkan najis terlebih dulu dalam wudu, karena wudu adalah untuk menghilangkan hadas dan hilangnya hadas berhasil meski tanpa didahului dengan menghilangkan najis.”

Dari keterangan di atas, jawaban atas pertanyaan apakah berwudhu harus cebok dulu? Maka jawabannya adalah wudhu sebelum melakukan istinja’ hukumnya boleh dan dinilai sah. Meski demikian, alangkah sangat baik jika melakukan istinja’ terlebih dulu sebelum melakukan wudu sebagaimana anjuran dalam kitab Almajmu di atas.

BINCANG SYARIAH

Hakikat Pemberian Menurut Imam Al-Ghazali

Imam Al-Ghazali dalam karyanya Kitab Arbain Fi Ushuluddin mengulas tentang memelihara atau menjaga pemberian kepada orang lain, agar pemberian mendapatkan keutamaan dan pahala dari Allah. Baik pemberian itu berupa zakat, sedekah, atau yang lainnya.

Imam Al-Ghazali menegaskan:

فاعلم أن إنفاق المال في الخيرات أحد أركان الدين؛ وإنما سر التكليف به بعدما يرتبط به من مصالح البلاد والعباد، وسد الخلات والفاقات

Artinya: “Ketahuilah bahwasanya menginfakkan harta di jalan kebaikan merupakan salah satu dari tiang agama, dan bahwasanya hikmah dari diperintahkannya menginfakkan harta tersebut hanya setelah adanya hubungan harta tersebut dengan hal-hal yang ada kaitannya dengan kemaslahatan negara, masyarakat, pemenuhan kebutuhan dan menolong orang yang membutuhkan.

Selanjutnya Imam Al-Ghazali menuturkan, kita harus menjaga lima perkara di saat kita memberi sesuatu kepada orang lain. Adapun uraiannya sebagai berikut:

Pertama, samarkan pemberianmu. Pemberian secara samar akan memadamkan murka Allah. Orang yang memberi sesuatu kepada orang lain secara terang-terangan akan menimbulkan sifat riya’ atau ingin dipuji oleh orang lain. Jika pemberian secara terang-terangan akan menimbulkan sifat riya’ sebaiknya pemberian dilakukan secara samar. Allah berfirman:

إِن تُبْدُوا۟ ٱلصَّدَقَٰتِ فَنِعِمَّا هِىَ ۖ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا ٱلْفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ

Artinya: “Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu”.(QS. Al Baqarah: 271)

Kedua, Jangan mengungkit-ungkit pemberianmu. Hakikat mengungkit-ungkit pemberian adalah merasa berbuat baik kepada orang lain, dan mengharapkan ucapan terima kasih dari orang lain. Adapun obat mengungkit-ungkit pemberian, yaitu, harus beranggapan bahwa orang lain telah berbuat baik kepadamu, karena ia bisa menerima pemberianmu, dan menerima hak Allah lewat perantara hartamu.

Ketiga, pemberian dari barang yang  bagus. Harta yang diberikan kepada orang lain harus dari harta yang halal, bukan dari harta yang haram. Pemberian barang bagus menunjukkan derajat kecintaan kepada Allah. Jika kita cinta kepada Allah, maka akan memberikan atau mempersembahkan dengan sesuatu yang paling bagus.

Keempat, memberi dengan muka yang senang atau gembira. Ketika kamu memberi sesuatu kepada orang lain jangan sampai disertai dengan kemarahan atau merasa bersedih. Pemberian yang sedikit disertai dengan rasa riang gembira, itu lebih baik dari pada pemberian yang banyak dengan disertai kemarahan atau kesedihan.

Kelima, memilih orang yang menerima pemberian. Pemberian harus tepat sasaran, memberi kepada ahli maksiat, maka akan ia gunakan untuk bermaksiat. Oleh karena itu, pemberian lebih diutamakan kepada orang-orang yang bertakwa atau orang-orang saleh, supaya pemberian digunakan untuk menjalankan ketaatan kepada Allah. Wallahu a’lam bissawab.

ALIF

Memahami Konsep Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan

Konsep kemanusiaan sebelum keberagamaan merupakan sebuah gagasan yang menekankan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan yang universal di atas perbedaan agama. Gagasan ini berpendapat bahwa semua manusia, terlepas dari agamanya, memiliki nilai dan martabat yang sama. Nah berikut penjelasan lanjut dari konsep kemanusiaan sebelum keberagamaan.

Di tengah konflik peperangan Palestina dan Israel banyak dari kalangan umat tentu yang tentu tak hanya umat Islam menyerukan perdamaian, hal ini tidak terlepas dari hak asasi kemanusiaan atau yang dikenal dengan HAM, mengapa demikian karena apa yang terjadi di tanah Palestina khususnya Gaza mengalami krisis kemanusiaan, banyak dari penduduk palestina baik anak kecil wanita bahkan orang tua terbunuh sebab bom-bom gempuran tentara Israel.

Menjadi manusia yang memanusiakan manusia sudah memang diserukan oleh Allah Swt di dalam Al-Qur`an surat Al-Hujurat ayat 13;

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Artinya; “Wahai manusia! sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS. Al-Hujurat ayat 13).

Konsep Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan

Kemanusian sebelum keberagamaan menjadi penting dibahas agar tidak salah paham tentang slogan atau konsep tersebut. karena banyak orang yang turut bersuara tentang konsep tersebut kurang memahami kehendak dari konsep itu sendiri. sehingga mengira bahwa agama berada di klister kedua setelah manusia, padahal tidak demikian pemahamannya. 

Habib Ali Al-Jufri juga memiliki pemikiran tentang pentingnya kemanusiaan sebelum keberagamaan. Habib Ali di dalam bukunya yang berjudul Al-Insaniyyah qabla Al-Din yang kemudian diterjemahkan menjadi Kemanusiaan sebelum Keberagamaan, beliau berpendapat bahwa agama tetap nomor satu. Namun Habib Ali ingin membedakan antara agama dengan pandangan dan sikap keberagamaan yaitu Religion dan Religiolity.

Jadi pada dasarnya konsep kemanusiaan dan keberagamaan adalah berkutat di dalam cara kita bersikap, sehingga tak salah jika bersikap peduli antar manusia itu lebih di dahulukan dari pada bersikap persoalan agama, karena sudah menjadi hal yang pasti bahwa Al-Qur’an dan Hadits itu benar dan suci, sedangkan pandangan dan sikap kita soal agama belum tentu benar apalagi suci.

Contoh mudahnya adalah banyak orang yang membela dan seolah memperjuangkan agama, padahal boleh jadi yang mereka bela adalah sikap dan pandangan tentang agamanya. Pemikiran tersebut adalah buah dari kegagalan paham dari berbedanya agama dan keberagamaan. 

Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan, karena kegagalan memisahkan agama dan keberagamaan akan membuat apa yang kita pahami dari kitab suci seolah dianggap sama mutlaknya dengan kebenaran kitab suci itu sendiri. 

Sehingga hal inilah yang menjadi alasan mengapa kemanusiaan lebih didahulukan dari keberagamaan, karena sudah pasti sikap berkemanusiaan akan berpusat pada sudut pandang yang sama yaitu kesejahteraan manusia, berbeda dengan keberagamaan yang kadang lebih mengutamakan kelompok sendiri sehingga apa yang berbeda dengan kelompoknya seolah mutlak salah.

Demikian penjelasan mengenai konsep kemanusiaan sebelum keberagamaan. Semoga bermanfaat, Wallahu a`lam.

BINCANG SYARIAH

Keagungan Masjidil Aqsa: Sejarah Suci dan Simbol Spiritualitas Umat

Masjidil Aqsa, terletak di Kota Tua Al-Quds (Baitul Maqdis) atau Yerusalem, Palestina. Ia bukan sekedar sebuah bangunan suci bagi umat Islam, tetapi juga sebuah tempat yang sarat dengan sejarah dan nilai-nilai spiritual. Dalam pandangan umat Islam, masjidil Aqsa merupakan masjid kedua yang dibangun setelah masjidil haram dengan jarak 40 tahun berdasarkan hadist Nabi.

Para ulama sebagian mengatakan bahwa pembangunan Masjidil Aqsa pertama kali dilakukan oleh malaikat yang menggariskan dan menentukan lokasinya. Mayoritas ulama mengatakan orang yang pertama kali membangun masjid tersebut adalah Nabi Adam. Nabi Ibrahim kemudian merenovasi dan meninggikannya seperti yang dilakukan terhadap bangunan Kakbah.

Ada pula sejarah yang mencatat, bangunan masjid pertama kali dibangun oleh Nabi Sulaiman putra Nabi Daud dalam wilayah kerajaannya. Peristiwa ini diperkirakan pada tahun 950 tahun SM dan bertahan hingga 370 tahun sebelum bangsa Babilonia merobohkan bangunan tersebut.

Keterkaitan Sejarah Masjidil Aqsa dengan Islam

Masjidil Aqsa memiliki tempat istimewa dalam sejarah Islam. Pertama, peristiwa Isra Mi’raj, Rasulullah Muhammad (SAW) melakukan perjalanan malam dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa dan dari sana naik ke langit. Peristiwa ini menjadi salah satu momen paling luar biasa dalam kehidupan Nabi Muhammad. Dalam surat Al-Israa (17:1), Allah berfirman, “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya.”

Kedua, kiblat pertama umat Islam sebelum pindah ke masjidil haram. dalam sebuah hadist dari ibnu Umar : “Ketika Rasulullah Saw. tiba di Madinah, beliau shalat menghadap Baitul Maqdis, yaitu Masjidil Aqsa, selama enam belas atau tujuh belas bulan. Kemudian Allah menurunkan ayat yang mengubah kiblat dari Masjidil Aqsa ke Ka’bah di Makkah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketiga, pembangunan Ulang oleh Khalifah Umar bin Khattab (RA). Setelah penaklukan Baitul Maqdis oleh pasukan Islam di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab pada tahun 638 M, beliau membangun kembali Masjidil Aqsa. Pembangunan ini merupakan simbol kejayaan Islam dan keadilan di Baitul Maqdis.

Keempat, pembangunan Ulang oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan: Pada abad ke-7, Khalifah Abdul Malik bin Marwan memulai proyek pembangunan besar-besaran untuk memperindah Masjidil Aqsa. Kubah emas yang terkenal (Dome of the Rock) dibangun selama masa pemerintahannya dan menjadi salah satu lambang terkenal di Baitul Maqdis.

Pada tahun 1099 M, Perang Salib antara umat Islam dan Kriesten Eropa meletus dan merusak Masjid Al Aqsa. Wilayah tersebut dikuasai oleh tentara Salib dan kompleks masjidil aqsa berubah menjadi lapangan tentara, kandang kuda dan gudang senjata. Namun, kembali umat Islam melalui pasukan Shalahudin al-Ayyubi merebut kembali Yarussalem. Masjid Al Aqsa dan situs berharga lainnya dirawat seperti sedia kala.

Dalam kekuasaan Daulah Mamluk dan Daulah Utsmaniyah, Kawasan masjidil Aqsa terus dijaga bentuk bangunan, memberikan inovasi menara-menara adzan, dan membangun pagar-pagar besar untuk menutupi seluruh Masjid Al Aqsa.

Melindungi Masjidil Aqsa

Dalam kehidupan Umat Islam, Masjidil Aqsa dianggap sebagai salah satu tempat suci terpenting ketiga dalam Islam, setelah Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Masjid ini memiliki nilai spiritual dan sejarah yang besar bagi umat Islam. Bagi umat Islam, Masjidil Aqsa bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga lambang keagungan, kedamaian, dan spiritualitas.

Dalam konteks konflik di Palestina, terutama di sekitar Masjidil Aqsa, umat Islam merasakan penderitaan yang mendalam. Kekerasan dan konflik di daerah tersebut telah menyebabkan kerugian jiwa dan penderitaan bagi warga Palestina, khususnya mereka yang tinggal dekat dengan Masjidil Aqsa.

Solidaritas umat Islam terhadap Palestina menjadi respons yang mendalam terhadap panggilan kemanusiaan dan agama. Keberagaman, keadilan, dan kepedulian terhadap penderitaan sesama umat Islam di Palestina menjadi fokus utama bagi umat Islam di seluruh dunia. Sebagai umat Islam, tugas kita adalah memperjuangkan perdamaian, keadilan, dan perlindungan terhadap tempat-tempat suci agama, termasuk Masjidil Aqsa.

ISLAMKAFFAH

Cara Tepat Mendidik Anak di Zaman Fitnah (Khutbah Jumat)

Khotbah pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا.

مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.

أَمَّا بَعْدُ:

فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Pertama-tama, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada para jemaah sekalian, marilah senantiasa menjaga kualitas ketakwaan kita dan keluarga kita kepada Allah Ta’ala. Jagalah diri kita dan keluarga kita dari panasnya api neraka. Sebagaimana hal ini Allah Ta’ala perintahkan dalam firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)

Keluarga di dalam Islam memiliki kedudukan yang amat krusial dan penting. Darinyalah masyarakat Islam terbentuk, dan darinya pula sebuah generasi emas akan terwujud.

Islam sangat perhatian terhadap keluarga. Sebelum sebuah keluarga itu terbentuk, Islam telah memberikan bimbingan dan arahan tentang langkah yang seharusnya diambil oleh laki-laki sehingga dirinya insyaAllah sukses membangun bahtera rumah tangganya. Yaitu, dengan memilih istri yang salehah bagi dirinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فاظفَرْ بذات الدين تَرِبَتْ يداك

Maka, pilihlah (wanita) karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung. (HR. Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1466)

Bukan hanya dari sisi calon suami saja, demikian pula halnya dengan para wali calon istri. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan nasihat kepada para wali perempuan untuk menerima lamaran dari laki-laki yang saleh dan baik agamanya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إذا جاءَكم من ترضَونَ دينَهُ وخلُقَهُ فأنكِحوهُ إلَّا تفعَلوا تكُن فتنةٌ في الأرضِ وفسادٌ

“Jika seseorang datang melamar (anak perempuan dan kerabat) kalian, sedangkan kalian rida pada agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tidak kalian lakukan, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan.”

Ketika mendengar hal tersebut para sahabat pun bertanya, Wahai Rasulullah, meskipun mereka tidak kaya?

Beliau bersabda, “Jika seseorang datang melamar (anak perempuan) kalian, kalian rida pada agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia.” Beliau mengatakannya tiga kali. (HR. Tirmidzi no. 1085 dan Al-Baihaqi no. 13863)

Salah satu langkah terpenting di dalam membangun keluarga yang harmonis dan sarat akan kesalehan dan kebaikan adalah kepedulian dan pengawasan penuh dalam mendidik anak-anak kita. Sedari mereka masih kecil, para orang tua sudah dituntut untuk membimbing ibadah mereka dan budi pekerti mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مُروا أولادَكم بالصلاةِ وهم أبناءُ سبعِ سنينَ واضربوهُم عليها وهمْ أبناءُ عشرٍ وفرِّقوا بينهُم في المضاجعِ

Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan salat apabila sudah mencapai umur tujuh tahun. Dan apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun, maka pukullah dia apabila tidak melaksanakannya. Dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya.(HR. Abu Dawud no. 495)

Kepedulian terhadap pendidikan dan perkembangan anak bukan hanya pada perkara makan, pakaian, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya saja seperti yang banyak dilakukan oleh masyarakat kita di zaman sekarang. Lebih jauh dari itu, orang tua dan para wali bertanggung jawab penuh juga terhadap akhlak dan agama anak-anaknya. Dan ini bukanlah tugas ibu semata, di dalam mendidik anak-anak. Seorang ayah juga dituntut untuk ikut andil dan ambil bagian di dalamnya. Di manakah letak keteladanan jika seorang ayah tidak mampu dan tidak mau ikut andil di dalam mendidik anak-anaknya?!

Jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala,

Perkara terpenting yang harus kita ajarkan dan kita tanamkan kepada anak-anak kita adalah keyakinan perihal kebesaran Allah Ta’ala, merasa diawasi oleh-Nya, bergantung kepada-Nya dalam segala hal, dan takut kepada-Nya baik di dalam keramaian maupun saat sendirian.

Kenapa? Karena anak-anak kita hidup di zaman di mana kemaksiatan sangat mudah dijangkau, peluang untuk bermaksiat amatlah besar, pintu-pintu kemaksiatan tersebut bahkan ada dalam setiap genggaman kita. Tanpa perlu bersusah payah keluar rumah, atau bahkan keluar kamar, seorang anak sangat dimungkinkan untuk melakukan kemaksiatan dan melakukan hal-hal yang Allah haramkan. Di dalam menghadapi hal tersebut, ketakwaan dan merasa diawasi Allah Ta’ala adalah perkara terpenting yang harus dimiliki oleh setiap anak.

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, perkara kedua yang harus kita tanamkan kepada anak-anak kita adalah tentang esensi menjaga salat dan larangan dari menyia-nyiakannya. Karena kesuksesan dan keberhasilan seorang hamba baik di dunia ini maupun di akhirat nanti tidaklah terwujud, kecuali dengannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suatu ketika menyebutkan tentang perkara salat, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من حافَظَ عليها كانت لَه نورًا وبُرهانًا ونجاةً إلى يومِ القيامةِ ومن لَم يُحافِظ عليها لم يَكن لَه نورٌ ولا برهانٌ ولا نجاةٌ وَكانَ يومَ القيامةِ معَ فرعونَ وَهامانَ وأبَيِّ بنِ خلفٍ

“Siapa yang menjaga salat, maka ia akan mendapatkan cahaya, petunjuk, dan keselamatan sampai hari kiamat. Dan siapa yang tidak menjaganya, maka ia tidak mendapatkan cahaya, petunjuk, dan keselamatan. Nantinya di hari kiamat, ia akan dikumpulkan bersama Qarun, Fir’aun, Haman, dan Ubay bin Khalaf.” (HR. Ahmad no. 6576, Ibnu Hibban no. 1467, dan At-Thabrani, 14: 127 no. 14746)

Sangat disayangkan, kita hidup bersama generasi yang banyak sekali di antara mereka menyia-nyiakan perkara salat. Bahkan, tidak jarang sebagian dari mereka meninggalkan salat dalam pengawasan dan pengetahuan orang tuanya. Padahal di dalam hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan secara jelas,

العَهدُ الذي بَينَنا وبَينَهُم الصلاةُ، فمن تَرَكَها فَقَد كَفَرَ

Batas antara kita dan mereka (orang-orang kafir) adalah salat. Barangsiapa yang meninggalkannya, maka telah kafir. (HR. Tirmidzi no. 2621 dan An-Nasa’i no. 463)

Di dalam Al-Qur’an Allah Ta’ala juga sudah mengabarkan akan adanya sebagian dari generasi kaum muslimin yang menyia-nyiakan salat, dan di ayat itu juga Allah sebutkan balasan dan hukumannya bagi mereka. Ia berfirman,

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا

“Maka, datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya. Maka, mereka kelak akan menemui kesesatan dan keburukan, kecuali orang yang bertobat, beriman, dan beramal saleh.” (QS. Maryam: 59-60)

Sebagian ahli tafsir tatkala menjelaskan kata “al-ghayya” di dalam ayat tersebut menyebutkan bahwa maknanya adalah nama salah satu sungai di neraka Jahanam yang penuh keburukan dan kepedihan. Naudzubillahi min dzalik.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga diri kita dan keluarga kita dari panasnya azab neraka Jahanam.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khotbah kedua

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ.

Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala.

Di antara pendidikan yang harus kita tanamkan terutama kepada anak-anak perempuan kita adalah rasa malu. Rasa malu adalah perhiasan hakiki bagi wanita muslimah. Dengannya martabat seorang muslim terjaga, dan dengannya pula aib serta kekurangan-kekurangan yang ia miliki akan tertutup. Di dalam hadis disebutkan,

الْحَياءُ خَيْرٌ كُلُّهُ.

“Malu itu semuanya baik.” (HR. Bukhari no. 6117 dan Muslim no. 37)

Malu yang dimaksudkan di sini adalah rasa malu yang membuat diri kita terhindar dari melakukan kemaksiatan dan dosa. Rasa malu yang membuat seseorang menahan diri untuk tidak melakukan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala, baik itu di tempat keramaian maupun di tempat yang sepi.

Wahai jemaah sekalian, ada anggapan salah terkait sifat malu ini yang tersebar di masyarakat kita, yaitu anggapan bahwa sifat malu tidak pantas untuk laki-laki, sifat malu hanya khusus untuk perempuan saja.

Tentu saja anggapan ini keliru dan salah. Karena seseorang yang malu jika dilihat oleh manusia lainnya tatkala berbuat kemaksiatan, maka tentu saja seharusnya ia lebih malu kepada Rabbnya. Dan siapa saja yang malu kepada Rabbnya, maka rasa malunya tersebut akan mencegahnya dari melalaikan kewajiban ibadahnya dan dari melakukan kemaksiatan.

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala, bagi kita sebagai orang tua, ada tiga hal penting yang harus kita lakukan agar pendidikan kita kepada anak-anak kita sukses mencapai tujuannya.

Pertama: Jadilah teladan yang baik untuk anak-anak kita.

Keteladan memiliki andil besar di dalam mewujudkan keberhasilan pendidikan anak-anak kita. Saat orang tua bisa menjadi teladan dan contoh yang baik untuk anak-anaknya, maka itu memudahkan anak-anak untuk memahami pengajaran dan pendidikan yang hendak disampaikan orang tuanya. Sebaliknya, saat orang tua tidak bisa menjadi teladan yang baik untuk anak-anaknya, maka sang anak akan mencoba mencari sosok lainnya yang akan ia jadikan teladan. Tidak mengherankan bila kemudian mereka mencontoh artis-artis di TV dan selebgram-selebgram yang bertebaran di dunia maya.

Keteladanan di dalam mendidik banyak sekali Allah tekankan di dalam Al-Qur’an. Lihatlah bagaimana Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk meneladani Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan nabi-nabi lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ

Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. (QS. Al-An’am: 90)

Kedua: Selalu mengawasi anak-anak kita.

Saudaraku, jangan sampai anak-anak kita menjadi korban para pemuja syubhat dan syahwat. Kita hidup di zaman di mana pemikiran-pemikiran sesat dan menyimpang merajarela. Setiap individu bebas menyampaikan opininya. Sebuah keterbukaan yang membuat syubhat dan syahwat mengepung anak-anak kita. Pergaulan bebas yang tidak terkontrol, keberanian wanita yang mengaku muslimah untuk melepas hijabnya, berdalih dengan kebebasan individu. Podcast-podcast yang dipenuhi dengan orang-orang yang tidak beres dan bahkan tayangan-tayangan anak kecil yang terkadang diselipi oleh adegan-adegan yang tidak selayaknya dipertontonkan.

Agar terhindar dari semua hal yang kita sebutkan, hal itu membutuhkan pengawasan orang tua kepada anaknya, meskipun mereka sudah besar. Jangan sampai anak-anak perempuan kita pergi keluar sendirian untuk bekerja di tempat yang masih campur baur antara laki-laki dan perempuan. Jangan sungkan juga untuk memberikan batasan waktu bermain atau keluar rumah bagi anak laki-laki kita. Karena tanpa adanya pengawasan orang tua, maka ini akan membuka pintu-pintu setan untuk mengganggu dan menyesatkan kita dan anak-anak kita.

Ketiga: Jangan lupa untuk mendoakan kebaikan bagi anak-anak kita.

Doa orang tua adalah doa yang mustajab. Manfaatkanlah hal ini untuk mendoakan kebaikan untuk anak-anak kita. Sebaliknya, jangan sampai mendoakan keburukan untuk anak-anak kita meskipun mereka sedang nakal sekalipun. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

“Tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi, yaitu doa orang tua, doa orang yang bepergian (safar), dan doa orang yang dizalimi.” (HR. Abu Dawud no. 1536. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan)

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita, keluarga kita, dan anak-anak kita dari siksa api neraka, menjaga mereka dari bahaya fitnah syahwat dan syubhat. Ya Allah, jadikanlah kami orang tua yang baik untuk anak-anak kami. Jadikanlah kami orang tua yang bisa memberikan contoh yang baik untuk anak-anak kami. Jadikanlah kami orang tua yang senantiasa mendoakan kebaikan untuk anak-anak kami, seperti Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang mendoakan anak-anaknya,

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاَةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاء

“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan salat. Ya Tuhan Kami, perkenankanlah doaku.” (QS. Ibrahim: 40)

رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ

“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Makkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” (QS. Ibrahim: 35)

إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ انصر إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْن الْمُسْتَضْعَفِيْنَِ فِيْ فِلِسْطِيْنَ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى ، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/89782-cara-tepat-mendidik-anak-di-zaman-fitnah.html

Genealogi Bani Israil dan Negara Israel : Benarkah Zionisme Pelanjut Keturunan Nabi Ya’kub?

Menyaksikan kekejaman bangsa Israel melakukan genosida di tanah Palestina, ada pertanyaan, benarkah mereka pemilik jalur nasab keturunan Nabi Ya’kub?

Pertanyaan ini dijawab oleh hasil riset Eran Elhaik yang dimuat dalam jurnal Genome Biology and Evolutions terbitan Oxford, berjudul “The Missing Link of Jewish European Ancestry: Contrasting the Rhineland and the Khazarian Hypotheses,” 5 (1): 61–74.

Bangsa Israel modern adalah keturunan bangsa Khazar. Bangsa yang terdiri dari kumpulan beberapa suku, yakni suku Slavia, Scythian, Hunnic-Bulgaria, Irans, Alans dan Turki. Mereka memeluk Yudaisme.

Zionisme adalah gerakan nasional Yahudi yang muncul pada akhir abad ke-19 dengan tujuan mendirikan dan mempertahankan sebuah negara Yahudi di Tanah Israel atau Palestina. Pendiri gerakan ini adalah Theodor Herzl, seorang wartawan dan penulis Austria-Hongaria kelahiran Hungaria. Ia menyampaikan gagasan bahwa solusi terbaik untuk mengatasi masalah antisemitisme adalah dengan mendirikan negara Yahudi yang bebas di Tanah yang dianggap menjadi tanah warisan masa lalu dari bani Israil.

Berdasarkan hasil riset ini bisa dinyatakan, kelompok Zionis yang mendirikan negara Israel sekarang bukan keturunan Bani Israil yang disebutkan dalam al Qur’an. Mereka menjadi Yahudi karena menjadi pengikut Yudaisme.

Hasil riset di atas merupakan bantahan terhadap teori Rhineland yang mengatakan, Yahudi yang bermigrasi ke Eropa, terutama ke Polandia dan Jerman, adalah keturunan asli timur tengah. Nasab mereka bersambung kepada Kanaan.

Bani Israil yang disebutkan dalam al Qur’an adalah keturunan Nabi Ya’kub. Sedangkan Zionis yang sekarang mendirikan negara Israel sama sekali bukan keturunan dari Nabi Ya’kub sebagaimana klaim bangsa Israel modern sekarang.

Nabi Ya’kub, sebagaimana termaktub dalam Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir, adalah putra Nabi Ishak bin Nabi Ibrahim. Israil sendiri adalah nama lain dari Ya’kub. Dalam al Qur’an Ya’kub dipanggil dengan nama Israil sebanyak dua kali.

Semula, keturunan Ya’kub tinggal di Palestina bagian tengah, kemudian bermigrasi ke suatu desa di gurun Naqab selatan Palestina berdekatan dengan Semenanjung Sinai.

Anak-anak Nabi Ya’kub berjanji dihadapan beliau akan menyembah Allah, serta tunduk dan patuh kepada-Nya. (Al Baqarah: 133).

Yang penting diketahui dari Nabi Ya’kub, beliau bukan pemeluk agama Yahudi melainkan pemeluk agama hanifiyah (agama yang lurus), penganut agama tauhid. Yakni, agama Nabi Ibrahim. Hal ini karena kitab Taurat yang menjadi kitab suci agama Yahudi turun setelah masa Nabi Ya’kub. (Ali Imran: 65-67).

Bani Israil mulai keras kepala sejak dibimbing oleh Nabi Musa. Mereka banyak orang kufur keluar dari agama Nabi Ibrahim. (As Shaffat: 112-113). Kemudian sebagian dari mereka taubat dan kembali kepada agama Nabi Ibrahim (Al A’raf: 156).

Kembali pada tema di atas, apa hubungan Bangsa Israel dengan Bani Israil? Tidak ada hubungan nasab. Yahudi sekarang secara genetik bukan keturunan Nabi Ya’kub yang telah diceritakan. Yahudi sekarang di Eropa biasa dipanggil Jew atau Jewish.

Kata Jew atau Jewish berasal dari Joshua atau dalam bahasa Arab Yoshuwa yang berasal dari kata Yosha. Yosha adalan nama seseorang, yaitu Yosha bin Nun, salah seorang murid Nabi Musa.

Kesimpulannya, Kaum Yahudi yang sekarang mendirikan negara Israel bukan keturunan Bani Israil yang disebutkan dalam al Qur’an. Sehingga klaim teologis terhadap tanah Palestina sebagai tanah yang dijanjikan adalah kebohongan besar. Klaim tersebut hanya alat politik untuk merampas tanah Palestina.

ISLAMKAFFAH

Pembelaan Tokoh dan Ulama Indonesia untuk Palestina

Dalam video Reels yang diupload di Instagram @Bincangsyariah, Ustadz Hanifuddin menjelaskan dalam videonya bahwa bangsa Indonesia selalu bersama rakyat Palestina. Hal ini dibuktikan dengan pembelaan tokoh dan ulama Indonesia untuk Palestina.

Lebih jauh, menurut Ustadz Hanif, sapaan akrabnya, pembelaan tokoh dan ulama Indonesia untuk Palestina telah berlangsung sejak lama, bahkan sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Hal ini tidak mengherankan, mengingat Indonesia memiliki hubungan yang erat dengan Palestina.

Nah berikut tokoh yang berjasa dalam membela Palestina. Pertama, Presiden Soekarno. Soekarno pernah mengunjungi Palestina pada tahun 1950 dan menyampaikan pidato di hadapan Majelis Umum PBB. Dalam pidatonya, Soekarno menyerukan kepada dunia untuk mendukung kemerdekaan Palestina.

Bung Karno, dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung, 1955, mengundang Palestina. Dalam pidato pembukaannya, secara tegas, Presiden Sukarno mendukung kemerdekaan Palestina.

Kedua, pada tahun 1938, KH. Mahfudz Siddiq, Ketua Umum PBNU menginisiasi aksi solidaritas untuk Palestina. Moment peringatan Isra’ Mi’raj 27 Rajab, dijadikan sebagai momentum penggalangan dana bantuan Palestina.

Ketiga, KH. Muhammad Ilyas, mantan Menteri Agama RI, Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi. Di tahun 1969, menyerukan pembahasan khusus mengenai Palestina di Konferensi Tingkat Tinggi Islam di Rabat maroko.

Keempat, Lukman Harun, Ketua Hubungan Luar Negeri Muhammadiyah, tahun 1973, memelopori terbentuknya Panitia Pembantu Perjuangan Pembebasan Palestina.

Kelima, Gus Dur. Tahun 1984, menginisiasi Malam Solidaritas Palestina.Tahun 2003, dalam kunjungannya di Jalur Gaza, di depan para senator AS dan pemimpin agama dari berbagai dunia, Gus Dur menyerukan hak kemerdekaan dan keadilan bagi rakyat Palestina.

Sejatinya, para tokoh dan ulama Indonesia telah banyak menyerukan dukungan untuk Palestina. Mereka menyampaikan pernyataan-pernyataan yang mendukung perjuangan rakyat Palestina.

Para tokoh dan ulama ini, melakukan aksi langsung untuk membantu rakyat Palestina. Lebih lanjut, ulama Indonesia juga telah melakukan aksi langsung untuk membantu rakyat Palestina. Misalnya, mereka telah menggalang dana untuk membantu pembangunan rumah sakit dan sekolah di Palestina.Pun mengirimkan bantuan kemanusiaan, seperti makanan, obat-obatan, dan pakaian.

Demikian pembelaan tokoh dan ulama Indonesia untuk Palestina. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH