Kecil-kecil Jadi “Abdurrahman bin Auf”

PAGI yang tampak tenang dipecahkan oleh keriuhan di dekat jalan raya. Sejumlah pria dewasa pun mencoba menenangkan situasi.

Keriuhan di Gunung Tembak itu tidak mengkhawatirkan sebenarnya. Karena yang terjadi bukan jual beli pukulan maupun tembakan, melainkan jual beli yang sebenarnya.

Hari itu, Sabtu, 14 Sya’ban 1445 H (24/2/2024), sedang berlangsung Market Day Santri Madrasah Ibtidaiyah Raadhiyatan Mardhiyyah (MI RM) Putra.

Ini adalah kegiatan jual beli laksana pasar. Saban pekan, para santri difasilitasi untuk berjualan makanan dan minuman. Mereka digilir per kelas per pekan, setiap Sabtu pagi.

Hari itu, sekitar pukul 09.00 WITA, usai pembelajaran di ruang-ruang kelas, para santri mulai meramaikan halaman madrasah. Saatnya bermain.

Sementara santri yang kena giliran berjualan, mulai menyiapkan stan masing-masing. Stannya berupa meja-meja belajar yang dikeluarkan dari ruang kelas. Sejumlah guru pun turut membantu penyiapan barisan “tenant” jualan.

Deretan pedagang cilik kini sudah bersiap. Para santri lainnya sudah duduk manis di depan mereka. Pada sesi pertama, santri berbelanja secara bergiliran per kelas.

Singkat kemudian, seorang guru memberikan aba-aba.

“Kelas 1 (maju terlebih dahulu),” ujar salah seorang ustadz bernama Perdamaian, melalui pengeras suara.

Santri-santri kelas 1 pun berdiri dan maju untuk mulai berbelanja. Secara tertib mereka memilih satu per satu jualan yang dijajakan sesuai selera masing-masing.

“Ini berapa harganya?” “Beli 1!”
“Ada uang kembaliannya kah?”
“Bla! Bla! Bla!”

Transaksi demi transaksi pun berlangsung dengan uang tunai Rupiah.

Sabtu pagi itu giliran kelas 3 yang berjualan. Ibrahim, misalnya, menjual es kelapa seharga Rp 5.000 per bungkus. Ia menjajakan setermos besar yang dibawakan bapaknya jelang dibukanya lapak tersebut.

Temannya, Fawwaz, menjual sate mi telor herbal, seharga Rp 2.000 per item dan minuman manis yang dibekukan seharga sama.

Ada beragam jenis jajajan makanan dan minuman lainnya. Mulai dari nasi kuning, kue basah, roti, hingga buah elai. Semua itu dibawa oleh setiap pedagang dari rumah masing-masing. Ada yang memproduksi di rumah sendiri oleh orang tuanya, ada pula yang membelinya di tempat lain lalu dijual kembali.

Usai kelas 1, giliran kelas 2 yang maju. Begitu seterusnya. Setelah kelas 6 mendapatkan giliran, saatnya sesi belanja bebas. Pada sesi ini, semua santri dipersilakan berbelanja, tanpa peduli kelas berapa.

Tak pelak, mereka berbondong-bondong memborong makanan dan minuman kesukaan masing-masing.

Tetap tertib, pesan para guru.

Bukan cuma para murid yang boleh berbelanja. Guru-guru juga tak ketinggalan. Sebagian guru pun ikut mempromosikan jualan murid-muridnya. Ada juga yang membantu menghitungkan uang jualan santri.

“Berapa harganya ini?” tanya ustadz lainnya, Salman Alfarisi, kepada salah seorang santri pedagang cilik. Lalu sang guru berteriak-teriak layaknya pedagang di pasar betulan.

Brownies, brownies!”

Saat itu hadir juga beberapa wali murid, tampaknya penasaran dengan suasana market day yang diprakarsai oleh MI RM Putra itu.

Seorang wali murid pun tak ketinggalan membeli sejumlah makanan dan minuman.

Abdullah, santri kelas 3, terlihat riang gembira setelah jualannya, nasi goreng, ludes diborong pembeli.

Kepala MI RM Putra, Arifuddin Syafar, ikut serta meramaikan suasana.

Market day di MI RM Putra sudah dimulai sejak semester 1 tahun 2023,” ujar Arifuddin kepada hidayatullah.com yang menyaksikan bazar mini di dekat Jl Mulawarman, Gunung Tembak, Kelurahan Teritip, Kota Balikpapan itu.

Benih yang Tumbuh

Detik-detik jelang berakhirnya market day, sempat terjadi kehebohan. Yang bikin heboh ketika seorang santri “memborong” sebagian kue yang masih tersisa, lalu membagikan ke teman-temannya. Sontak saja, santri lainnya mengerumuni santri senior yang baik hati berbagi kue tersebut. Santri itu diketahui merupakan putra dari salah seorang pengusaha muda setempat.

Pemandangan ini mengingatkan kita sosok Abdurrahman bin Auf, Sahabat Rasulullah yang kaya raya sekaligus dermawan.

Rupanya masih ada beberapa kue yang belum terbeli. Kali ini Perdamaian turun tangan lagi.

“Yang mau risol gratis, merapat! Ayo merapat! Merapat!” ujarnya dengan suara agak lantang. Kue salah satu santrinya ia bayarin.

Santri-santri pun kembali berkerumun, ditraktir gitu loh….

“Makan minum sambil duduk yah!” Terdengar suara guru mengingatkan peserta didiknya agar terus menjaga adab makan dan minum.

Sekitar sejam berlangsung, market day berangsur selesai. Meja-meja yang telah usai dipakai, segera dibersihkan dan dikembalikan ke tempat semula. Sampah-sampah sejak tadi dikumpulkan di tempat yang telah ditentukan.

Sementara santri, guru, dan wali murid mulai pulang. Begitu pula Kepala MI tersebut. Ia patut berbahagia atas berjalan lancarnya market day itu, dengan harapan tujuannya bisa tercapai. Mencetak kader-kader pengusaha.

“Salah satu tujuannya adalah untuk menanamkan jiwa entrepreneurship kepada siswa sejak dini, membangun pengalaman siswa yang positif, melatih keberanian, komunikasi, kejujuran, dan mengenalkan nilai mata uang kepada peserta didik,” urai Arifuddin kepada hidayatullah.com usai kegiatan itu.

Benih harapan yang dipupuk itu perlahan mulai tumbuh. Seperti yang dirasakan Farida, ibunya Fawwaz. Ia gembira menyaksikan market day tersebut meskipun lebih banyak memantau dari jarak agak jauh. Kegembiraannya bertambah setelah mengetahui putranya, kelas 3 A MI RM Putra, sukses berbisnis hari itu. Semua jualan Fawwaz ludes tak tersisa.

“Ini keuntungannya, ditabung yah!” ujar Farida setelah menghitung laba yang diperoleh anak sulungnya itu. Beberapa lembar uang Rp 2.000-an ia sisihkan.

“Ini modalnya disimpan, diputar lagi, nanti dipakai modalnya (oleh) Musyawir,” tambah sang ibu laksana seorang manajer, menyisihkan uang lainnya. Nama terakhir yang disebut adalah adiknya Fawwaz.

Sabtu pekan depan, katanya, giliran Musyawir dan teman-temannya santri kelas 2 MI RM Putra, untuk berjualan di arena market day yang sama. Musyawir sudah bersiap-siap jadi pengusaha cilik berikutnya.

Mau jualan apa?

“Sama kayak Abang (Fawwaz)”, katanya sambil bermain, Sabtu siang.

Laksana Abdurrahman bin Auf, semoga kelak para santri kita itu menjadi pengusaha-pengusaha Muslim yang sukses dunia akhirat. Aamiin!*

HIDAYATULLAH

Nabi Muhammad adalah Pemberi Pencerahan dan Simbol Perdamaian

Begitu banyak uraian menyangkut Nabi Muhammad Saw. oleh para ulama dulu hingga sekarang dan tidak pernah habis. Bahkan, walau habis umur seseorang untuk menguraikan Nabi Muhammad pasti ada yang terlewat tentang beliau. Nabi Muhammad diberikan tugas Allah Swt. untuk menjadi penerang bagi umat Islam dan mengajarkan kedamaian, yang semuanya dipraktikkan beliau langsung dalam kehidupannya.

Kata Quraish Shihab, berbicara menyangkut Rasul Saw. itu adalah suatu kehormatan yang tidak lagi menyentuh Rasul Saw., tetapi justru menyentuh pembicara dan para pendengarnya. Di sisi lain, berbicara menyangkut Rasul Saw. itu tidak mungkin mampu seseorang untuk menguraikannya, karena betapapun pandai dan luasnya uraian menyangkut Rasul Saw., tetap saja walau sepanjang usia kita gunakan untuk membicarakannya, pasti ada yang tidak dapat terjangkau.

Pengetahuan kita tentang Rasul Saw., lanjut Quraish Shihab, hanya sampai untuk berkata bahwa dia adalah manusia yang teragung di permukaan bumi ini, bahkan di alam raya ini. Rasulullah Saw. memberikan contoh yang sangat simpel, tetapi sungguh amat berharga. Ketika putra beliau wafat, orang-orang berkata bahwa matahari gerhana karena kematian putranya.

Dalam keadaan sedih dan keadaan bercucuran air mata beliau memberi pencerahan. Kata Nabi, “matahari dan bulan adalah ayat-ayat Tuhan dan tanda-tanda kuasa Tuhan. Dia tidak gerhana karena kematian atau kehidupan seseorang. Kalau kalian menemukan itu, maka bersegeralah mengingat Allah Swt., dan bersegeralah shalat.”

Al-Mughirah ibn Syu’bah RA pernah berkata:

الْكَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ مَاتَ إِبْرَاهِيمُ فَقَالَ النَّاسُ : اِنْكَسَفَتِ الشَّمْسُ لِمَوْتِ إِبْرَاهِيْمَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوْا حَتَّى تَنْكَشِفَ

Artinya: “Pada zaman Rasulullah Saw. Pernah terjadi gerhana matahari, yaitu pada hari wafatnya Ibrahim. Lalu orang-orang berseru, Terjadi gerhana matahari karena wafatnya Ibrahim. Maka Rasulullah Saw. Bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian dan kehidupan seseorang. Jika kalian melihat keduanya (mengalami gerhana), berdoalah kepada Allah dan shalatlah hingga kembali seperti semula.” (HR Al- Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Sampai terang kembali.”).

Allah Swt. berfirman dalam surat Yunus:

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَآءً وَّالْقَمَرَ نُوْرًا وَّقَدَّرَهٗ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَ ۗ مَا خَلَقَ اللّٰهُ ذٰلِكَ اِلَّا بِالْحَـقِّ ۚ يُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ

Artinya: “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. Yunus [10]: 5).

Sebenarnya, bisa saja Rasul Saw. tidak memberikan pencerahan, apalagi ketika itu situasi psikologis kondisi kejiwaan beliau cukup sedih. Tetapi, karena tugas beliau adalah memberi pencerahan, maka beliau memberikan pencerahan yang amat berharga. Karena itu, Allah Swt. melukiskan Rasulullah Saw. dengan firman-Nya:

يٰۤـاَيُّهَا النَّبِيُّ اِنَّاۤ اَرْسَلْنٰكَ شَاهِدًا وَّمُبَشِّرًا وَّنَذِيْرًا وَّدَاعِيًا اِلَى اللّٰهِ بِاِذْنِهٖ وَسِرَاجًا مُّنِيْرًا

Artinya: “Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira, dan pemberi peringatan. Dan untuk menjadi penyeru kepada (agama) Allah dengan izin-Nya dan sebagai cahaya yang menerangi.” (QS. Al-Ahzab [33]: 45-46).

Menarik sekali. Rasul Saw. dilukiskan oleh ayat ini dengan matahari dan bulan. Matahari memiliki cahayanya atas anugerah Allah Swt., dan tidak bersumber dari siapapun atau apapun kecuali dari Allah Swt. Sedangkan, bulan merupakan pantulan dari cahaya matahari. Itu berarti, dalam sosok Rasulullah Saw. ada penerangan, disamping juga karena manusia sendiri membutuhkan matahari untuk kelangsungan hidupnya. Maka, kehadiran Rasulullah Saw. sepanjang masa kita butuhkan (dan membutuhkan).

Bagaimana dengan persoalan perdamaian?

Tentang bagaimana sikap Rasulullah Saw. menyangkut perdamaian, kata Quraish Shihab, kita cukup melihat sikap dan waktu shulh al-hudaibiyyah. Beliau Nabi bersedia menghapus tujuh kata “Bismillahirrahmanirrahim” dan “Muhammad Rasulullah”.

Sayyidina Ali yang menulis itu, menurut satu riwayat, enggan dan tidak mau untuk menghapusnya. Begitupun juga dengan Sayyidina Umar Ibn al-Khattab ketika membaca atau mengetahui butir-butir dari shulh hudaibiyyah itu juga berkata “Kenapa kita harus menerima sesuatu yang melecehkan kita?” Rasulullah Saw. menjawab “Saya Rasulullah.”

Beliau menghapusnya bahkan lebih dari itu. Beliau membatalkan kunjungan umrah yang bersifat sunnah itu demi mencapai dan menandatangani perjanjian itu. Karena itu, tidak ada alasan untuk berkata bahwa, agama Islam tidak menghendaki perdamaian. Damai ada dua macam; pertama, ada damai yang melahirkan kedamaian masyarakat seluruhnya.

Seorang ulama besar di Mesir mengutip riwayat yang menyatakan bahwa, suatu ketika seorang bernama Unwan datang kepada Imam Ja’far Shadiq untuk meminta nasehat. Beliau memberinya 9 nasehat. Salah satunya adalah nasehat “Hai Unwan, kalau ada yang berucap kepadamu 10 makian, jangan jawab. Katakan kepadanya: “jika engkau berucap 10, engkau tidak akan mendengar dariku satu.” Mengapa demikian? Karena al-Qur’an memerintahkan;

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجٰهِلِيْنَ

Artinya: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf [7]: 199).

وَعِبَادُ الرَّحْمٰنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى الْاَرْضِ هَوْنًا وَّاِذَا خَاطَبَهُمُ الْجٰهِلُوْنَ قَالُوْا سَلٰمًا

Artinya: “Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, “salam,”. (QS. Al-Furqan [25]: 63).

Kemudian, termasuk juga nasehat Imam Ja’far Shadiq:

من شتمك فقل له إن كانت شتيمتك حق فأرجو الله ان يغفر لي، وان كانت غير ذلك فأرجو الله ان يغفر لك 

Artinya: “Jika ada yang memaki mu, katakan padanya: kalau makian mu benar, maka aku bermohon semoga Tuhan mengampuniku. Dan kalau makianmu tidak demikian, maka aku bermohon semoga Tuhan mengampunimu.”

Pertanyaannya sekarang adalah adakah kedamaian lebih dari ini? Apakah kedamaian-kedamaian seperti ini masih ada sekarang? Tetapi, itulah contoh-contoh yang diberikan oleh Rasulullah Saw. dan keluarga beliau dalam konteks memantapkan perdamaian.
Wallahu a’lam bishawab.

BINCANG SYARIAH

Fatwa MUI: Membakar, Menggunduli Hutan dan Merusak Alam Hukumnya Haram  

Segala bentuk tindakan yang menyebabkan terjadinya kerusakan alam, deforestasi (penggundulan hutan), dan pembakaran hutan dan lahan yang berdampak pada krisis iklim adalah haram.

Demikian salah satu keputusan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwa Nomor 86 Tahun 2023 tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global.

“Fatwa ini juga mewajibkan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, mengurangi jejak karbon yang bukan merupakan kebutuhan pokok serta melakukan upaya transisi energi yang berkeadilan,” kata Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI, Hayu Prabowo dalam keterangan tertulis, Jumat (23/2/2024).

Peluncuran fatwa tersebut bersama Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI, Manka, ECONUSA, Ummah For EartH dan Komisi Fatwa MUI.

Hayu Prabowo menjelaskan, penyebab perubahan iklok dan pemanasan global terdiri dari berbagai faktor yang menjadikan cuaca ekstrim dengan terjadinya musim kemarau berkepanjangan dan curah hujan serta kenaikan permukaan air laut.

Dia menambahkan, kenaikan permukaan air laut tersebut bisa mengakibatkan bencana hidrometeorologi, kegagalan pertanian, dan bidang perikanan.

“Untuk mengendalikan perubahan iklim tersebut diperlukan usaha kolaboratif dari berbagai pihak baik dari pemerintah dan masyarakat secara umum,” sambungnya.

Dari pandangan itu, muncul berbagai pertanyaan dari masyarakat dan pemerhati lingkungan hidup terkait pentingnya mengurangi emisi gas rumah kaca melalui pengurangan penggunaan energi fosil, pengelolaan hutan tropis dan pengurangan limbah.

“Penggunaan energi terbarukan, serta mendukung upaya pemerintah dalam pelaksanaan energi transisi yang berkeadilan,” ungkapnya.

Atas dasar itu, masyarakat dan pemerhati lingkungan menanyakan kepada MUI. Hal itu salah satu yang melatarbelakangi MUI mengeluarkan fatwa tersebut.

“Dalam proses penyusunan fatwa ini, komisi fatwa bersama lembaga pengusul melakukan kunjungan lapangan untuk pengumpulan bukti empiris mengenai penyebab dan dampak perubahan iklim di lapangan,” terangnya.

Kunjungan komisi fatwa itu bersama Manka dan Borneo Nature Foundation dengan mengunjungi gambut bekas terbakar di Kalimantan Tengah.

Selain itu, bersama Manka dan Perkumpulan Elang berkunjung ke Riau untuk berdiskusi dengan para pihak dan masyarakat mengenai tata kelola hutan dan lahan.

“Selain itu dalam proses pembahan fatwa, sudah dilakukan focus group discussion dengan berbagai pemangku kepentingan baik pemerintah, akademisi, dunia usaha dan masyarakat yang secara aktif memberikan masukan dan rujukan ilmiah,” jelasnya.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama di Aula Buya Hamka, Kantor MUI, Jakarta Pusat, Direktur Perkumpulan Manka mengatakan, perubahan iklim merupakan isu yang sangat besar dan kompleks.

Sehingga, ujarnya, membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak agar kesadaran dan pengetahuan mengenai isu perubahan iklim semakin mengingkat di masyarakat.

Selain itu, menurutnya, peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat juga agar upaya mitigasi yang selama ini sudah berjalan semakin berdampak.

“Harapan kami, semoga fatwa Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global yang didukung dengan modalitas lembaga keagamaan dalam bidang pendiidkan dan dakwah dapat menjangkau dan menggalang dukungan khalayak luas untuk mengarusutamkan isu perubahan iklim dalam kehidupan masyarakat Indonesia,” pungkasnya.*

HIDAYATULLAH

6 Buah yang Disebut dalam Al-Quran dan Hadist, Nomor 3 Buah Favorit Rasulullah saw

Al-Quran merupakan kitab suci bagi umat Islam. Tidak hanya sebagai pedoman, di dalam Al-Quran terdapat banyak sekali pelajaran dan kisah yang ditulis, bahkan beberapa buah yang mengandung khasiat juga turut disebut dalam Al-Quran.

Disebutnya buah-buahan di dalam Al-Quran bukan hanya menunjukkan kuasa Allah SWT saja, namun sebagai bahan renungan dan pelajaran bagi umat muslim. Buah kesukaan Rasulullah saw pun juga tertulis dalam Al-Quran dan hadist. Lantas buah apa saja yang tertulis dalam Al-Quran? Berikut ini 6 buah yang disebut di dalam Al-Quran, nomor 3 buah favorit Rasulullah saw.

  1. Zaitun

Pertama adalah buah zaitun, buah ini merupakan salah satu tumbuhan yang paling banyak disebut dalam Al-Quran. Yakni diantaranya pada QS. Al-An’am ayat 141.

“Dan Dialah yang menjadikan tanaman-tanaman yang merambat dan yang tidak merambat, pohon kurma, tanaman yang beraneka ragam rasanya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak serupa (rasanya). Makanlah buahnya apa-bila ia berbuah dan berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya, tapi janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan,” (QS. Al-An’am ayat 141).

Buah yang kaya akan Vitamin E dan antioksidan ini juga terdapat dalam surat Al-Quran yang lain yakni QS. An-Nur, Al-An’am, dan An-Nahl.

Zaitun sendiri merupakan buah yang banyak sekali manfaatnya di antaranya mampu menurunkan tekanan darah tinggi, bagus untuk kesehatan jantung, mencegah kerusakan hati, serta mampu mengatur kadar lemak dalam darah.

Buah zaitun juga tertuang dalam HR Ahmad dan Tirmidzi, Rasulullah saw memerintahkan untuk mengkonsumsi buah zaitun, “Makanlah zaitun dan gunakanlah ia sebagai minyak karena ia tumbuh dari pohon yang diberkati,”.

  1. Anggur

Siapa yang tidak suka anggur? Tidak banyak yang tahu jika buah berbentuk bulat ini disebutkan 14 kali dalam Al-Quran salah satunya di surat Ar-Rad.

“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir,” (QS. Ar-Rad ayat 4).

Seperti yang sudah diketahui anggur kaya akan khasiat di antaranya mencegah penyakit jantung serta menurunkan kadar kolesterol jahat, dan kanker. Anggur juga dipercaya mampu mencegah penyakit mata.

  1. Kurma

Buah yang disebut dalam Al-Quran selanjutnya adalah kurma. Buah kesukaan Rasulullah saw ini juga paling banyak disebut dalam Al-Quran di antaranya pada QS. Yasin ayat 34.

“Dan Kami jadikan padanya di bumi itu kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air,” (QS. Yasin ayat 34)

Selain surat di atas, beberapa surat dalam Al-Quran lain yang menyebutkan kurma adalah surat Maryam, Al-Hasyr, Al-Baqarah dan Surat Qaf.

Buah yang kaya akan serat dan antioksidan di dalamnya mampu menurunkan risiko diabetes, alzaimer, dan beberapa jenis kanker. Selain itu kurma juga bagus untuk kesehatan jantung, kecantikan, hingga penglihatan.

Rasulullah saw sendiri menyarankan saat mengkonsumsi kurma, konsumsilah dengan jumlah yang ganjil, seperti 1, 3, atau 7.

Rasulullah saw bersabda dalam HR. Al-Bukhari dan Muslim, “Barang siapa mengkonsumsi tujuh butir kurma ajwa pada pagi hari maka pada hari itu ia tidaknakan terkena racun atau sihir,”.

  1. Pisang

Siapa sangka buah yang tumbuh subur di Indonesia ternyata turut disebut dalam Al-Quran, iya buah itu adalah pisang. Buah pisang disebut dalam firman Allah SWT yakni di surat Al-Waqiah.

“dan pohon pisang yang bersusun-susun (buahnya),” (QS. Al-Waqiah ayat 29).

Buah yang dikenal sebagai sumber kalium ini sangat baik untuk dikonsumsi. Meskipun kandungan gulanya tinggi, namun pisang juga mengandung serat yang menyeimbangkan kadar gula di dalam darah dan memperlancar pencernaan. Sedangkan kandungan kalium dan magnesium dalam pisang sangat baik untuk jantung.

  1. Delima

Meski delima tergolong jarang dikonsumsi karena cairan dan buahnya sedikit, siapa sangka jika buah ini banyak disebut dalam Al-Quran, salah satunya pada QS. Al-An’am ayat 99.

“Dan Dialah yang menurunkan air dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma, mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya pada waktu berbuah, dan menjadi masak. Sungguh, pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-An’am ayat 99).

Delima sendiri mengandung nutrisi yang sangat bagus untuk tubuh. Buah ini bisa mencegah penyakit jantung, kanker, diabetes tipe 2, obesitas, bahkan alzaimer.

  1. Buah Tin

Buah terakhir yang disebut dalam Al-Quran adalah buah tin. Buah ini hanya disebut satu kali dalam Al-Quran yakni pada QS. At-Tin.

“Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun,” (QS. At-Tin ayat 1).

Beberapa ahli berpendapat jika tin yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah buah tin karena dalam satu kalimat dengan buah zaitun. Namun ada juga menafsirkan jika tin adalah bukit tin dan zaitun yakni tempat di mana nabi Ibrahim as dan Isa asa menerima wahyu.

Namun terlepas dari penafsiran tersebut, buah yang kaya akan gizi dan khasiat itu disebut oleh Rasulullah saw sebagai buah yang diturunkan dari surga.

Rasulullah saw bersabda dalam HR Abu Darda, “Makanlah! Jika engkau berkata ada buah yang diturunkan dari surga, maka aku bisa katakan, inilah buahnya, karena sesungguhnya buah surga tanpa biji. Oleh karena itu, makanlah karena buah tin ini dapat menyembuhkan wasir dan encok,”.

Itulah 6 buah yang disebut di dalam Al-Quran, nomor 3 buah favorit Rasulullah saw. Wallahu a’lam bhissawab.

ISLAMKAFFAH

Hadits Nabi Muhammad tentang Makanan Pokok

Nabi Muhammad SAW telah memberikan isyarat tentang apa fadhilah makanan pokok.

Nabi Muhammad SAW telah memberikan isyarat tentang apa fadhilah makanan pokok. Beliau SAW juga telah menunjukkan apa sebenarnya hikmah mengonsumsi makanan pokok, hingga makanan pokok ini pun termuat dalam doa Nabi SAW.

عن أبي هريرة؛ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم “اللهم! اجعل رزق آل محمد قوتا “

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda (berdoa), “Ya Allah, berikanlah rezeki keluarga Muhammad dalam wujud makanan pokok.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Tuntunan Nabi Muhammad SAW tentang makanan pokok adalah tuntunan terbaik, karena beliau SAW menunjukkan bagaimana semestinya seseorang tidak berlebih-lebihan dalam mengonsumsi makanan, namun tetap boleh memvariasikannya dengan makanan yang lain.

Adapun ‘qut’ dalam hadits di atas, merujuk pada makanan pokok yang berperan memperbaiki dan mencukupi kebutuhan seseorang serta tidak bersikap berlebihan karena sikap yang berlebihan dapat membuat seseorang jatuh ke dalam fitnah maupun keburukan yang lain.

Ibnu Al Qayyim juga telah menggambarkan tuntunan Nabi Muhammad SAW tentang makanan. Dia mengatakan, sikap Nabi SAW terhadap makanan adalah tidak mengingkari apa yang ada, tidak berpura-pura kehilangan atas makanan. Dengan sikap ini, tidak ada kebaikan makanan yang dibawa kepadanya kecuali beliau SAW memakannya, mengambil manfaat darinya dan meninggalkannya tanpa mengharamkannya.

Nabi SAW tidak pernah merendahkan makanan. Jika beliau menginginkannya maka beliau memakannya. Kalau tidak ingin, maka beliau meninggalkannya, seperti ketika beliau berhenti memakan daging hewan ‘dhabb’ karena tidak biasa memakannya. Saat itu Nabi SAW tidak melarang yang lain memakannya, dan beliau tetap di tempatnya.

“Tuntunan Nabi SAW adalah makan apapun yang mudah bagi beliau,” demikian perkataan Ibnu Al Qayyim, dinukil dari Mukhtashar Zaad Al Ma’aad.

Itulah mengapa dalam membayar zakat fitrah dianjurkan dengan makanan pokok. Hal ini karena makanan pokok adalah pangan andalan dan mudah dikonsumsi bagi masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya. Misalnya beras, gandum dan sebagainya. Makanan pokok yang dimaksud dalam zakat fitrah bukanlah gula, minyak maupun mentega dan sejenisnya.

Imam An Nawawi, ulama dari Mazhab Syafii, dalam Al Majmu menjelaskan, membayar zakat fitrah wajibnya adalah dengan sebagian besar makanan pokok di suatu negara. Allah SWT berfirman:

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. At Taubah ayat 103)

IHRAM

Nikmat Lapangnya Hati

Lapangnya hati, terbebasnya hati kita dari kegalauan dan kegundahan adalah sebuah nikmat yang sangat besar dari Allah Ta’ala. Lapangnya hati dapat dirasakan dengan ketenangan, kedamaian, dan terjaganya hati dari berbagai kotoran. Hati pun akan merasa bahagia dalam menjalani kehidupan ini.

Dengan sebab hati yang lapang, yang dihindarkan dari galau, resah, dan gelisah, seseorang dapat meraih maslahat agama dan dunia. Dia menjadi mudah melakukan berbagai macam ibadah dan amal kebajikan. Berbeda dengan seseorang yang hatinya sempit, ia selalu gelisah dan sedih. Akibatnya, banyak urusan dunia dan akhiratnya menjadi terbengkalai. Dia tidak mampu dan tidak bersemangat beramal kebaikan, karena hidupnya hanya berpindah dari satu kesedihan menuju kesedihan berikutnya, atau dari satu kegelisahan menuju kegelisahan selanjutnya. Oleh karena itu, sempitnya hati adalah musibah yang paling besar dialami oleh seorang hamba.

Lapangnya hati adalah kekuatan dalam hidup kita. Perhatikanlah doa Nabi Musa ‘alaihi as-salam di saat beliau diperintah oleh Allah Ta’ala untuk mendakwahi Fir’aun,

قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي

  ‎وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي  

“Musa mengucapkan doa, Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku.” (QS. Thaha: 25-26)

Allah juga menjelaskan dan menyebutkan suatu nikmat yang amat besar yang telah didapatkan Nabi kita Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam,

أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ

“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?” (QS. As-Syarh: 1)

Lapangnya hati adalah sebab yang terbesar seseorang dapat mendapatkan hidayah. Dan sebaliknya, sempitnya hati adalah sebab tersesatnya seorang manusia. (Lihat Syifa’ Al-‘Alil, 1: 351; karya Ibnul Qayyim)

Namun, perlu diperhatikan bahwa satu-satunya cara untuk dapat memperoleh nikmat kelapangan hati ini adalah dengan mengamalkan ajaran Islam. Kadar kelapangan hati yang diperoleh oleh seseorang itu selaras dan sebanding dengan kadar keistikamahannya di dalam menjalankan agama ini. Lapangnya hati seorang hamba itu akan bisa diperoleh dengan dua sebab berikut ini:

Pertama, taufik dari Allah dan pertolongan-Nya untuk mendapatkan kelapangan hati.

Kedua, nikmat hati yang lapang tidak akan mungkin didapat kecuali dengan menjadi hamba Allah yang taat dan istikamah mengamalkan ajaran Islam.

Mengapa demikian? Karena hati kita berada di tangan Allah, Allah mampu membolak-balik hati kapan pun sesuai dengan yang Allah Ta’ala kehendaki. Segala hal yang Allah kehendaki, pasti akan terjadi. Sebaliknya, yang tidak Allah kehendaki, pasti tidak akan terjadi. Allah Ta’ala berfirman,

فَمَن يُرِدِ اللَّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ ۚ كَذَٰلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ

“Siapa saja yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al-An’am: 125)

Allah Ta’ala juga berfirman,

أَفَمَن شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِّن رَّبِّهِ ۚ فَوَيْلٌ لِّلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam, lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Az-Zumar: 22)

Dua ayat tersebut menunjukkan bahwa kelapangan hati hanya akan didapatkan karena taufik Allah semata. Oleh karena itu, dalam upaya menggapai kelapangan hati, hendaknya dipastikan bahwa kelapangan hati tersebut diusahakan dengan mengamalkan syariat-Nya, berdoa, dan bersandar kepada Allah Ta’ala.

Ada beberapa tanda bagi seseorang yang hatinya lapang. Tanda-tanda ini sangat tampak pada diri seorang mukmin, yaitu:

Pertama, adanya kesadaran dan selalu ingat kehidupan yang lebih abadi, yaitu akhirat.

Kedua, adanya kesadaran untuk menjauh dari kehidupan yang fana dan semu, yaitu dunia.

Ketiga, senantiasa mempersiapkan diri untuk bertemu dengan kematian dan kehidupan sesudahnya.

Apabila tiga tanda di atas ada pada diri seseorang, maka itu pertanda dia sedang mendapatkan kelapangan serta ketenangan hati. (Lihat Miftaah Daaris Sa’adah, 1: 421; karya Ibnul Qayyim)

Adapun seseorang yang tertimpa kegelisahan, kesempitan, dan kesedihan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan doa yang hendaknya setiap kita bisa mengamalkannya. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا  أَصَابَ أَحَدًا قَطٌّ هَمٌّ وَلاَ حَزَنٌ فَقَالَ: اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ،أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ إِلاَّ أَذْهَبَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَمَّهُ، وَأَبْدَلَهُ مَكَانَ حُزْنِهِ فَرَحاً قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، يَنْبَغِي لَنَا أَنْ نَتَعَلَّمَ هَؤُلاَءِ الْكَلِمَاتِ قَالَ:بَلَى، يَنْبَغِي لِمَنْ سَمِعَهَا أَنْ يَتَعَلَّمَهَا

“Jika seorang hamba yang tertimpa kegelisahan dan kesedihan berdoa, ‘Ya Allah, sungguh aku adalah hamba-Mu, anak hamba laki-laki-Mu, anak hamba (perempuan)-Mu, ubun-ubunku di tangan-Mu, ketetapan-Mu berlaku pada diriku, takdir-Mu merupakan keadilan bagiku. Saya memohon kepada-Mu dengan semua nama yang Engkau miliki, yang Engkau namakan sendiri untuk diri-Mu, yang Engkau ajarkan kepada seorang hamba-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau khususkan dalam ilmu gaib di sisi-Mu; agar Engkau menjadikan Al-Quran sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, pelenyap kesedihanku, dan penghilang kegelisahanku’; niscaya Allah Ta’ala akan menghilangkan kegelisahannya dan mengganti kesedihannya dengan kegembiraan. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah sebaiknya kami mempelajari doa tersebut?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Bahkan setiap muslim yang mendengarnya patut mempelajarinya.’” (HR. Ahmad no. 3712, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 199)

***

@Kantor Pogung, 12 Sya’ban 1445/ 22 Februari 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 61; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr.

Sumber: https://muslim.or.id/92008-nikmat-lapangnya-hati.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

MaasyaaAllah… Cantiknya Diriku!

Adakalanya kita melihat ke cermin akan indahnya wajah kita, mata, hidung, bibir, dan kulit yang mulus, dan membuat diri terkagum dengan keindahan tersebut. Ketahuilah wahai Saudari Muslimah, bahwa itu semua adalah anugerah dari Allah ta’ala. Sempurnanya penciptaan diri kita sebagai manusia adalah di antara tanda-tanda kebesaran Allah ta’ala.

Tanda-Tanda Kebesaran Allah

Syaikhul Islam At-Tamimi rahimahullah menjelaskan di dalam kitabnya Al-Ushuluts Tsalaatsah, tentang bagaimana kita bisa mengenal Rabb kita adalah dengan ayat-ayatNya dan ciptaan-ciptaanNya. Allah ta’alaberfirman:

وَمِنْ اٰيٰتِهِ الَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُۗ لَا تَسْجُدُوْا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوْا لِلّٰهِ الَّذِيْ خَلَقَهُنَّ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ

Artinya:

“Sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlahbersujud pada matahari dan jangan (pula) pada bulan. Bersujudlah kepada Allah yangmenciptakannya jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.(Q.S Fushshilat: 37)

Besarnya penciptaan matahari dan bulan, dan indahnya malam dan siang itu merupakan tanda-tanda kebesaran Allah ta’ala yang menciptakannya. Apalagi jika hanya wajah yang cantik nan rupawan, hidung, mata, dan bibir yang sempurna penciptaannya, maka hal ini sangatlah mudah di sisi Allah.  Maka dari itu, perlu kita renungi bahwa indahnya penciptaan manusia adalah bukti kebesaran Allah dan syukur kita pada kenikmatan ini haruslah kita sandarkan kepada Allah saja.

Dalam banyaknya harta yang mungkin disebabkan oleh usaha manusia, maka kita harus untuk menisbatkan hal itu semua kepada Allah. Di dalam surat Al-Kahfi ayat 39, Allah menceritakan tentang orang yang mempunyai kebun yang indah,

وَلَوْلَآ اِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاۤءَ اللّٰهُ ۙ لَا قُوَّةَ اِلَّا بِاللّٰهِ ۚاِنْ تَرَنِ اَنَا۠ اَقَلَّ مِنْكَ مَالًا وَّوَلَدًا

Artinya:

 “Mengapa ketika engkau memasuki kebunmu tidak mengucapkan, “Mā syā’allāh, lā quwwata illā billāh” (sungguh, ini semua kehendak Allah. Tidak ada kekuatan apa pun kecuali dengan [pertolongan] Allah).(Q.S Al-Kahfi: 39)

As-Sa’di rahimahullah di dalam tafsirnya mengatakan, “Sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah itu lebih baik dan lebih kekal, dan segala sesuatu yang diharapkan dari kebaikan akhirat itu lebih utama daripada apa yang ada di dunia yang orang-orang berlomba-lomba untuk mendapatkannya.”

Bersyukur Atas Nikmat Allah

Maka dari itu, jangan lupa menyandarkan segala nikmat kepada Allah dengan syukur. Syukur tidaklah hanya pada hati, tapi harus juga diucapkan di lisan dan ditampakkan dengan perbuatan, yaitu dengan cara memanfaatkan nikmat tersebut untuk beribadah kepada Allah ta’ala. Dalam hal ini, kecantikan tidaklah datang kecuali dari Allah dan di antara bentuk syukur adalah dengan merawatnya dan menjaganya dari pandangan-pandangan laki-laki yang bukan mahramnya karena ini adalah salah satu dari bentuk ibadah kepada Allah ta’ala.

Milikilah Rasa Malu

Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul ‘Ulum (199) mengatakan. “Ketahuilah, bahwa rasa malu itu ada 2 macam:

Pertama: Rasa malu yang itu sudah menjadi tabi’at dan watak, tidak perlu diusahakan. Ini adalah anugerah dari Allah kepada hambaNya. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الحياء لا يأتي إلا بخير

Artinya:

“Rasa malu itu tidaklah memberikan sesuatu kecuali kebaikan.” (H.R Bukhori, No. 6117)

Karena rasa malu akan menahan pelakunya dari perbuatan yang buruk dan akan mendorong seseorang untuk mempunyai akhlak yang baik dan akan menghasilkan iman

Kedua: Rasa malu yang diusahakan. Rasa malu bisa diusahakan dari mengenal Allah ta’ala, keagunganNya, mendekat padaNya, mengetahui bahwa Allah itu dekat, dan ilmuNya meliputi para hambaNya. Allah-lah yang tahu tentang mata yang khianat dan apa yang ada di dalam dada. Inilah yang disebut dengan muroqobatullah. Ini adalah tujuan iman yang tertinggi, bahkan derajat ihsan yang tertinggi.”

Takjub akan Kecantikan Diri Sendiri

Adakalanya seorang wanita muslimah bercermin, maka dia takjub akan kecantikan dirinya, maka yang yang dilakukan adalah:

  1. Bersyukur, bahwa itu adalah nikmat dan anugerah dari Allah.
  2. Hiasi kecantikan tersebut dengan rasa malu dan menjaga kecantikan tersebut dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya.
  3. Menjaga kecantikan tersebut dengan merawatnya dan mempersembahkan kecantikan tersebut hanya pada yang berhak semisal kepada suaminya.
  4. Tidak lupa untuk mendoakan keberkahan pada dirinya.

Karena bisa jadi penyakit ‘ain menimpa dirinya sendiri. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:

وقد يعين الرجل نفسه

Artinya: “Terkadang seseorang bisa menimpakan ‘ain pada dirinya sendiri”

Maka, untuk mencegah hal tersebut, hendaknya seseorang itu memperbanyak doa keberkahan dan senantiasa bersyukur dan menyadari bahwa kecantikan itu murni anugerah dari Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إذا رأى أحدكم من نفسه أو ماله أو من أخيه ما يعجبه فليدع له بالبركة فإن العين حق

Artinya:

“Jika salah seorang kalian melihat sesuatu di dalam dirinya, atau hartanya, atau yang ada pada saudaranya yang membuatmu takjub, maka doakanlah ia dengan keberkahan. Karena sesungguhnya ‘ain itu nyata.” (HR. Al Hakim di dalam Al-Mustadrok No. 7706, sanadnya shahih)

Jika penyakit ‘ain sudah terlanjur menimpanya, maka hendaklah dia meruqyah dirinya sendiri dan berdoa kepada Allah untuk kesembuhannya dan hilangnya dampak ‘ain pada dirinya.

Di dalam shahihain, hadits dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau berkata, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan aku untuk melakukan ruqyah karena ‘ain.”

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa:

أللهم حسنت خلقي فحسن خلقي

Artinya:

“Ya Allah, sebagaimana Engkau memperbagus rupa diriku, maka perbaguslah akhlakku.” (H.R Ibnu Hibban dalam Bulughul Maram No. 451)

Indahnya akhlak adalah sesuatu yang lebih penting untuk kita minta daripada indahnya jasad. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita untuk meminta keindahan akhlak di atas keindahan jasad di dalam doa kita.

Penulis: Triani Pradinaputri

Referensi:

  1. Tafsir As-Sa’diy dalam http://quranapp.com/18/39-39
  2. Al-Ushuluts Tsalatsah, Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab At-Tamimiy
  3. Nashihatiy Lin Nisaa, Ummu Abdillah Al-Wadi’iyyah
  4. Fiqih Hasad, Syaikh Musthofa bin Al-’Adawiy
  5. https://dorar.net/h/cKaWCpqI
  6. https://dorar.net/h/SYHIojUa

Sumber: https://muslimah.or.id/17538-maasyaaallah-cantiknya-diriku.html
Copyright © 2024 muslimah.or.id

Menerima Takdir dengan Rasa Yakin dan Tawakal

Kehidupan dunia berisi kejadian yang tidak terduga dan tidak pasti. Kita sudah berencana dan berusaha tetapi seringkali kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Semakin besar harapan, maka akan semakin besar rasa kecewa yang akan dirasakan. Rencana kita sebagai manusia yang lemah dan banyak kekurangan tentu tidak sebanding dengan besarnya ilmu dan kuasa Allah ta’ala. Oleh karena itu, kita perlu mengiringi usaha dengan rasa iman dan tawakal kepada Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman,

وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الْأَحْزَابَ قَالُوا هَٰذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ ۚ وَمَا زَادَهُمْ إِلَّا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا

Artinya: “Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu mereka berkata, ‘Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.’ Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (QS. Al-Ahzab: 22)

Ayat di atas berisi tentang perbandingan orang-orang beriman dengan orang-orang munafik. Apabila orang-orang beriman dihadapkan dalam kondisi genting maka semakin bertambah iman dan tawakal kepada Allah ta’ala. Orang-orang beriman percaya terhadap janji Allah ta’ala, yaitu sebuah cobaan tentu sepaket dengan pertolongan Allah ta’ala. Oleh karena itu, semakin mereka terdesak maka semakin bertambah pula iman dan rasa tawakalnya kepada Allah ta’ala. Sedangkan orang-orang munafik justru akan semakin ketakutan dalam kondisi genting di hidupnya.

Allah ta’ala berfirman,

الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ. فَانقَلَبُوا بِنِعْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ لَّمْ يَمْسَسْهُمْ سُوءٌ وَاتَّبَعُوا رِضْوَانَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَظِيمٍ

Artinya: “(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka.’ Maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.’ Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Ali-Imran: 173-174)

Kita dapat mengambil pelajaran dari ayat di atas, bahwasanya orang-orang beriman percaya bahwa cukuplah Allah menjadi penolong mereka dan Allah adalah sebaik-baik pelindung. Sehingga mereka kembali dengan nikmat dan karunia dari Allah yaitu keselamatan dan keuntungan tanpa mendapatkan bencana dan mereka mencari keridhaan Allah yaitu mentaati Allah dan rasul-Nya. Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan keutamaan tawakal kepada Allah ta’ala. Salah satu keutamaan bertawakal kepada Allah ta’ala, Allah ta’ala berfirman,

وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

Artinya: “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)

Apabila kita dalam suatu urusan, sebagaimana kita berikhtiar dengan sungguh-sungguh dan berdoa, maka kita perlu bersungguh-sungguh juga memasrahkan akhir urusan tersebut dengan rasa yakin dan tawakal kepada Allah ta’ala sebab janji Allah ta’ala yang akan mencukupkan keperluan hamba-Nya. Kita juga dapat mengambil pelajaran kisah Nabi Ibrahim yang bertawakal kepada Allah ta’ala ketika beliau akan dilemparkan ke dalam api.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu,

كان آخر قول إبراهيم عَلَیهِ‌ السَّلام حين أُلقي في النار: حسبنا الله ونعم الوكيل

Artinya: “Ucapan Nabi Ibrahim yang terakhir kali ketika beliau dilemparkan ke dalam api adalah: Hasbunallaah wa ni’mal wakiil.” (HR. Al-Bukhari no 4564)

لَوْ أَنَّكمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَماَ ترْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِماَصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

Artinya: “Seandainya kalian benar-benar bertawakal pada Allah, tentu kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki. Ia pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali di sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi no. 2344. Abu ‘Isa Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).

Berdasarkan hadis di atas menunjukkan bahwa arti tawakal adalah melakukan usaha, bukan hanya sekedar menyandarkan hati kepada Allah ta’ala. Jadi, kita bukan hanya menyandarkan hati kepada Allah ta’ala melainkan juga berusaha dengan sungguh-sungguh.

Serangkaian takdir yang terjadi di kehidupan kita sepantasnya kita sikapi dengan dewasa dan bijaksana serta diiringi rasa yakin dan tawakal. Kita perlu mengembalikan segala urusan dalam hidup kepada Allah ta’ala, Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. Semoga Allah memudahkan kita untuk menerima takdir dengan hati yang lapang. Aamiin.

Allahu a’lam.

Penulis: Retno Utami

Referensi :

Sumber: https://muslimah.or.id/17535-menerima-takdir-dengan-rasa-yakin-dan-tawakal.html
Copyright © 2024 muslimah.or.id

Islam, Tata Kelola Sampah dan Lingkungan

HIDUP di lingkungan yang bersih dan sehat adalah harapan semua orang. Namun saat ini Impian untuk menciptakan lingkungan bersih tidaklah mudah.

Sebagian orang seringkali kurang peduli dengan kondisi lingkungan. Tumpukan sampah yang menggunung, polusi udara dan polusi tanah tidak terelakkan. sampah menjadi salah satu permasalahan yang tak kunjung terselesaikan.

Belum lama ini, Dirjen PSLB3 KLHK Rosa Vivien Ratnawati (Biro Humas KLHK) mengatakan, Indonesia menghasilkan 12,87 juta ton sampah plastik pada 2023. Rosa mengatakan sampah plastik masih menjadi isu serius yang dihadapi Indonesia.

Kondisi tersebut menyebabkan penanganan sampah plastik menjadi fokus dalam Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2024 yang diperingati 21 Februari.

Belum lagi adanya penyelenggaraan Ptahun ini juga cukup berkontribusi dalam menyumbang sampah. Seperti yang disampaikan sebelumnya oleh Dirjen Vivien bahwa terkait dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak di tahun 2024 ini, KLHK mengajak seluruh pihak untuk ikut menangani sampah yang berasal dari bekas alat peraga kampanye, seperti poster, baliho, spanduk, bendera, tiang-tiang bambu dan lain sebagianya.

***

Kondisi sampah yang memprihatinkan ini tentu tidak diinginkan oleh masyarakat dan ingin segera terselesaikan. Selain bau busuk yang menyengat, tumpukan yang mengganggu pemandangan, juga rawan menjadi sarang penyakit yang berbahaya.

Solusi yang dicanangkan oleh pemerintah hari ini adalah program mengelola sampah secara mandiri dengan program TPS 3R; Reduce (kurangi), Reuse (memanfaatkan), Recycle (mendaur ulang) atau mengadakan bank sampah.

Apabila program ini berjalan diharapkan penumpukan sampah disekitar masyarakat akan hilang.

Sayangnya, program inipun ternyata kurang mensolusikan permasalahan sampah di Indonesia, karena program pencegahan ini ada setelah problem sampah sudah terlanjur menyebar dan kurang pengawalan dalam memastikan berjalannya program.

Namun apabila kita kulik lebih dalam asal muasal dari permasalahan ini, akan kita temukan bahwa ternyata manajemen pengelolaan sampah tidak sekedar masalah teknis belaka.

Namun hal ini sangat berhubungan dengan pandangan hidup atau ideologi suatu negara. Penggunaan plastik yang amat dekat dengan masyarakat karena biayanya lebih murah, ini tentu berkaitan dengan banyaknya beban hidup yang mahal sehingga ketika membeli kebutuhan, masyarakat akan mengutamakan yang praktis dan murah saja tanpa memikirkan efek kedepannya.

Sehingga rasanya kurang tepat bila kita menyalahkan individu saja terkait permasalahan sampah ini, sebab permasalahan sampah harusnya bukan sekedar tanggung jawab individu.

Mesti ditelusuri apakah hal ini terjadi karena semata-mata ketidakdisiplinan masyarakat, atau memang negara yang belum optimal dalam memberikan edukasi, memfasilitasi produk ramah lingkungan serta menyediakan tempat pengolahan sampah.

Islam dan Menjaga Lingkungan

Islam mengajarkan sikap disiplin menjaga lingkungan akan muncul secara intrinsik setelah masyarakat dibina oleh negara, mereka merasa selalu diawasi oleh Allah SWT terhadap segala perbuatan mereka.

Syariat Islam mengajarkan batasan syariat apa yang boleh dan apa yang tidak boleh membuat kerusakan di bumi, serta ajaran memanfaatkan alam secukupnya.

Seperti firman Allah SWT yang artinya, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya…” (TQS. Al-Araf: 56).

Untuk itu selain mengedukasi rakyatnya akan bahaya limbah sampah plastik,  syariat mengajarkan manusia berfikir (mengembangkan riset terpadu). Saat ini kita mengenalistilah teknologi baru yang ramah lingkungan, mulai dari kemasan alternatif hingga teknologi pengolahan sampah yang efisien.

Dalam pemerintahan Islam, negara juga harus memberikan bantuan khusus untuk inovasi penyediaan alternatif plastik yang didanai oleh negara sebagai bentuk periayahan negara untuk rakyat.

Ini sesuai dengan seruan hadist Rasulullah ﷺ, yang artinya; “Imam adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari).

Upaya ini memang membutuhkan biaya besar, namun bagi pemerintah hal ini bukan masalah besar karena imam dan kepimpinan Islam akan menggunakan sumber dana dari Baitul Maal.

Dana ini akan dialokasikan untuk membantu pendanaan inovasi penyediaan bahan alternatif pengganti plastik, dengan begitu rakyat tetap dapat menikmati kemudahan teknologi plastik yang ramah lingkungan. Sehingga impian kehidupan bersih, asri dan nyaman dapat terwujud. Wallahu a’lam.*

Aktivis Mahasiswa Muslimah

HIDAYATULLAH

Kronologi Penciptaan Alam Semesta Menurut Alquran 

Alam diciptakan Allah SWT tidak secara bersamaan.

Alam diciptakan Allah SWT tidak secara bersamaan. Dalam penciptaan, terjadi proses yang menunjukkan bahwa ada yang lebih dahulu diciptakan dan ada yang belakangan diciptakan. Semua itu menunjukkan adanya kronologi dari penciptaan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ءَاَنْتُمْ اَشَدُّ خَلْقًا اَمِ السَّمَاۤءُ ۚ بَنٰىهَاۗ

رَفَعَ سَمْكَهَا فَسَوّٰىهَاۙ

وَاَغْطَشَ لَيْلَهَا وَاَخْرَجَ ضُحٰىهَاۖ

وَالْاَرْضَ بَعْدَ ذٰلِكَ دَحٰىهَاۗ

اَخْرَجَ مِنْهَا مَاۤءَهَا وَمَرْعٰىهَاۖ

وَالْجِبَالَ اَرْسٰىهَاۙ

مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِاَنْعَامِكُمْۗ

Apakah penciptaan kamu yang lebih hebat ataukah langit yang telah dibangun-Nya? Dia telah meninggikan bangunannya, lalu menyempurnakannya. Dia menjadikan malamnya (gelap gulita) dan menjadikan siangnya (terang benderang). Setelah itu, bumi Dia hamparkan (untuk dihuni). Darinya (bumi) Dia mengeluarkan air dan (menyediakan) tempat penggembalaan. Gunung-gunung Dia pancangkan dengan kukuh. (Semua itu disediakan) untuk kesenanganmu dan hewan ternakmu (QS An-Nazi‘at ayat 27-33).

Di awal rangkaian ayat-ayat ini, Allah SWT menghimbau manusia, khususnya mereka yang mengingkari kekuasaan-Nya, untuk menggunakan akalnya dalam rangka membandingkan antara penciptaan diri mereka yang kecil dan lemah dibanding dengan penciptaan alam semesta yang demikian luas dan kokoh. Hal ini dengan jelas menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah Pencipta Alam Semesta dan isinya.

Kronologi penciptaan alam semesta ini diawali dengan diwujudkannya langit dalam dua masa dan bumi dalam dua masa juga. Selanjutnya, Allah SWT meninggikan bangunan atau langit yang telah diciptakan dan melengkapinya dengan beragam benda-benda angkasa, seperti planet-planet, bintang-bintang, dan lain-lainnya. 

Kemudian Allah menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur benda-benda angkasa itu. Sehingga tetap di tempatnya dan tidak berjatuhan, walau semuanya selalu bergerak pada poros dan garis edarnya.

Sesudah penciptaan benda-benda langit, termasuk matahari, Allah menciptakan malam yang gelap gulita, siang yang terang benderang, pergantian keduanya secara berkelanjutan, pergantian musim, dan lainnya sebagai akibat dari peredaran benda-benda angkasa itu. Mengatur dan memelihara peredaran planet-planet ini merupakan pekerjaan yang sangat luar biasa. Allah yang telah menetapkan dan mengatur ini semua. Sungguh luar biasa, Maha Pemelihara, Maha Perkasa, Maha Mengatur segala hal yang ada di alam raya. 

Kemudian Allah menghamparkan bumi agar terasa nyaman sebagai tempat tinggal segala makhluk yang telah diciptakan.

Ayat di bawah ini menunjukkan kronologi penciptaan alam semesta. Pada awalnya Allah menciptakan bumi dalam keadaan yang sangat kasar, kemudian Dia menciptakan langit yang disempurnakan menjadi tujuh. Setelah itu, Allah melengkapi bumi dengan segala unsur yang diperlukan bagi kehidupan. 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

۞ قُلْ اَىِٕنَّكُمْ لَتَكْفُرُوْنَ بِالَّذِيْ خَلَقَ الْاَرْضَ فِيْ يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُوْنَ لَهٗٓ اَنْدَادًا ۗذٰلِكَ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ ۚ 

وَجَعَلَ فِيْهَا رَوَاسِيَ مِنْ فَوْقِهَا وَبٰرَكَ فِيْهَا وَقَدَّرَ فِيْهَآ اَقْوَاتَهَا فِيْٓ اَرْبَعَةِ اَيَّامٍۗ سَوَاۤءً لِّلسَّاۤىِٕلِيْنَ

Katakanlah, “Pantaskah kamu mengingkari Tuhan yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan pula sekutu-sekutu bagi-Nya? Itulah Tuhan semesta alam.” Dia ciptakan pada (bumi) itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya, lalu Dia memberkahi dan menentukan makanan-makanan (bagi penghuni)-nya dalam empat masa yang cukup untuk (kebutuhan) mereka yang memerlukannya. (QS Fussilat Ayat 9 dan 10)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ثُمَّ اسْتَوٰىٓ اِلَى السَّمَاۤءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْاَرْضِ ائْتِيَا طَوْعًا اَوْ كَرْهًاۗ قَالَتَآ اَتَيْنَا طَاۤىِٕعِيْنَ

فَقَضٰىهُنَّ سَبْعَ سَمٰوَاتٍ فِيْ يَوْمَيْنِ وَاَوْحٰى فِيْ كُلِّ سَمَاۤءٍ اَمْرَهَا ۗوَزَيَّنَّا السَّمَاۤءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيْحَۖ وَحِفْظًا ۗذٰلِكَ تَقْدِيْرُ الْعَزِيْزِ الْعَلِيْمِ

Dia kemudian menuju ke langit dan (langit) itu masih berupa asap. Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, “Tunduklah kepada-Ku dengan patuh atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami tunduk dengan patuh.” Lalu, Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan pada setiap langit Dia mewahyukan urusan masing-masing. Kemudian langit yang paling dekat (dengan bumi), Kami hiasi dengan bintang-bintang sebagai penjagaan (dari setan). Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (QS Fussilat Ayat 11 dan 12)

Pada ayat-ayat ini diterangkan bagaimana penciptaan alam semesta berproses. Dalam penjelasannya, tampak ada perbedaan dalam urutan penciptaan ayat lain. Yaitu pada awalnya yang diciptakan adalah bumi dalam dua masa. Kemudian diciptakan sesudahnya kelengkapan bumi dalam dua masa juga. Bumi memang perlu disempurnakan dengan gunung-gunung untuk mengokohkan keberadaan bumi, juga tanaman, air, dan lainnya, yang semua itu digunakan sebagai makanan dan minuman bagi makhluk yang hidup di atasnya. Penyempurnaan ini, penciptaan bumi dan isinya, memerlukan waktu selama empat masa.

Setelah selesai dengan penciptaan bumi dan isinya, Allah SWT menciptakan langit yang kemudian disempurnakan menjadi tujuh langit. Masing-masing langit telah ditetapkan keadaan dan fungsinya. Selain itu, Allah juga tidak berhenti dengan penciptaan ini saja, tetapi juga menghiasi langit dengan benda-benda angkasa, seperti bintang, planet, galaksi, meteor, dan lain sebagainya.

Proses penciptaan tujuh langit dan apa yang ada di antaranya memerlukan waktu selama dua masa. Dengan demikian, penciptaan seluruh alam raya ini sesuai dengan ungkapan awal, yaitu dalam enam masa. Dilansir dari buku Penciptaan Manusia dalam Perspektif Alquran dan Sains yang disusun atas kerja sama Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 2010.

Pada ayat di bawah ini ditegaskan bahwa awal penciptaan adalah bumi, walaupun dalam sejumlah redaksi ayat dikemukakan bahwa yang diciptakan lebih dahulu adalah langit (lihat penjelasan tentang penciptaan langit dan bumi dalam enam masa). Namun demikian, ada pula redaksi ayat yang menyatakan bahwa awal penciptaan itu adalah bumi. Ayat yang menegaskan demikian antara lain terdapat pada Surat Taha Ayat 4.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

تَنْزِيْلًا مِّمَّنْ خَلَقَ الْاَرْضَ وَالسَّمٰوٰتِ الْعُلٰى ۗ

(Alquran) diturunkan dari (Allah) yang telah menciptakan bumi dan langit yang tinggi. (QS Ṭaha Ayat 4)

Mengenai perbedaan tentang awal penciptaan ini, ada sebagian mufasir yang mengkompromikan kedua informasi Alquran ini. Menurut mereka, dalam perencanaan, Allah lebih dahulu mendesain bumi dan segala isinya. Hal itu karena bumi merupakan planet utama yang akan menjadi tempat tinggal sebagian makhluk-Nya. 

Akan tetapi, dalam pelaksanaan penciptaan, Allah lebih dahulu menciptakan langit (seperti yang banyak ditemukan dalam ayat-ayat Alquran) dengan segala isinya, baru kemudian diciptakan bumi dengan segala kelengkapannya.

Terlepas dari data di atas, persoalan utama yang layak mendapat perhatian adalah bahwa penciptaan alam raya atau aam semesta ini terus berkelanjutan dengan kronologi yang telah diuraikan. Proses penciptaan dengan urut-urutan seperti ini memang perlu dikemukakan, karena hal itu juga menyangkut rasionalitas dalam analisis keberadaan masing-masing benda atau fenomena yang ada. 

Seperti adanya malam dan siang, baru dapat dimengerti bila pada saat itu telah ada matahari yang menjadi sebab terjadinya kegelapan dan terangnya alam dan bumi. Karena itu, pergantian malam dan siang selalu diletakkan setelah penciptaan langit dan bumi. Hal ini dapat dilihat pada ayat di bawah ini.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (QS Ali ‘Imran Ayat 190)

IQRA