Tips Menyempurnakan Ibadah Haji

Alquran telah menjelaskan adab untuk melaksanakan ibadah haji.

Alquran telah menjelaskan adab untuk melaksanakan ibadah haji agar seluruh umat muslim dapat mempersiapkan apapun yang diperlukan agar ibadahnya dapat diterima oleh Allah SWT. Terdapat tafsir ayat yang menjelaskan tentang adab untuk menyempurnakan ibadah haji.

Hal tersebut telah dijelaskan pada surat Al Baqarah ayat 196 yang berbunyi,

وَاَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّٰهِ ۗ فَاِنْ اُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِۚ وَلَا تَحْلِقُوْا رُءُوْسَكُمْ حَتّٰى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهٗ ۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ بِهٖٓ اَذًى مِّنْ رَّأْسِهٖ فَفِدْيَةٌ مِّنْ صِيَامٍ اَوْ صَدَقَةٍ اَوْ نُسُكٍ ۚ فَاِذَآ اَمِنْتُمْ ۗ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ اِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِۚ فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ فِى الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ اِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗذٰلِكَ لِمَنْ لَّمْ يَكُنْ اَهْلُهٗ حَاضِرِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ ࣖ

Arab Latin : Wa atimmul-ḥajja wal-‘umrata lillāh(i), fa’in uḥṣirtum famastaisara minal-hady(i), wa lā taḥliqū ru’ūsakum ḥattā yablugal-hadyu maḥillah(ū), faman kāna minkum marīḍan au bihī ażam mir ra’sihī fafidyatum min ṣiyāmin au ṣadaqatin au nusuk(in), fa’iżā amintum, faman tamatta‘a bil-‘umrati ilal-ḥajji famastaisara minal-hady(i), famal lam yajid faṣiyāmu ṡalāṡati ayyāmin fil-ḥajji wa sab‘atin iżā raja‘tum, tilka ‘asyaratun kāmilah(tun), żālika limal lam yakun ahluhū ḥāḍiril-masjidil-ḥarām(i), wattaqullāha wa‘lamū annallāha syadīdul-‘iqāb(i).

Artinya : “Sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Akan tetapi, jika kamu terkepung (oleh musuh), (sembelihlah) hadyu56) yang mudah didapat dan jangan mencukur (rambut) kepalamu sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepala (lalu dia bercukur), dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah, atau berkurban.57) Apabila kamu dalam keadaan aman, siapa yang mengerjakan umrah sebelum haji (tamatu’), dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat. Akan tetapi, jika tidak mendapatkannya, dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (masa) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna. Ketentuan itu berlaku bagi orang yang keluarganya tidak menetap di sekitar Masjidilharam. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Keras hukuman-Nya.”

Menurut tafsir tahlili Kemenag, ayat ini diturunkan berhubungan dengan ibadah haji dan umrah di mana kaum Muslimin diwajibkan mengerjakan haji dan umrah. Yang dimaksud dengan perintah Allah SWT untuk menyempurnakan haji dan umrah, ialah mengerjakannya secara sempurna dan ikhlas karena Allah SWT. 

Ada kemungkinan seseorang yang sudah berniat haji dan umrah terhalang oleh bermacam halangan untuk menyempurnakannya. Dalam hal ini Allah swt memberikan ketentuan sebagai berikut: orang yang telah berihram untuk haji dan umrah lalu dihalangi oleh musuh sehingga haji dan umrahnya tidak dapat diselesaikan, maka orang itu harus menyediakan seekor unta, sapi, atau kambing untuk disembelih.

Hewan-hewan itu boleh disembelih, setelah sampai di Mekah, dan mengakhiri ihramnya dengan (mencukur atau menggunting rambut). Mengenai tempat penyembelihan itu ada perbedaan pendapat, ada yang mewajibkan di Tanah Suci Mekah, ada pula yang membolehkan di luar Tanah Suci Mekah. Jika tidak menemukan hewan yang akan disembelih, maka hewan itu dapat diganti dengan makanan seharga hewan itu dan dihadiahkan kepada fakir miskin.

Jika tidak sanggup menyedekahkan makanan, maka diganti dengan puasa, tiap-tiap mud makanan itu sama dengan satu hari puasa. Orang-orang yang telah berihram haji atau umrah, kemudian dia sakit atau pada kepalanya terdapat penyakit seperti bisul, dan ia menganggap lebih ringan penderitaannya bila dicukur kepalanya dibolehkan bercukur tetapi harus membayar fidyah dengan berpuasa 3 hari atau bersedekah makanan sebanyak 10,5 liter kepada orang miskin, atau berfidyah dengan seekor kambing. 

IHRAM

Amalan Imam Syafi’i Agar Bebas dari Hisab Hari Kiamat!

Berikut adalah amalan Imam Syafi’i agar bebas dari hisab Hari Kiamat! Seperti yang kita ketahui, bahwa fase-fase setelah kiamat semua manusia mengalami apa yang disebut dengan Yaumul Hisab, artinya hari perhitungan amal perbuatan manusia.

Terkait peristiwa tersebut Imam Syafi’i sebagai salah ulama madzab yang masyhur karena karyanya terkait aturan-aturan masalah yuridis dalam bidang hukum Islam, pernah memberikan amalan agar terbebas dari hisab di hari kiamat kepada para muridnya. 

Beliau ini juga merupakan satu-satunya Imam yang terkait dengan Nabi Muhammad (SAW) karena dia berasal dari suku Quraisy dari Bani Muthalib, yang merupakan saudara dari suku Bani Hasyim suku Nabi Muhammad (SAW). Maka sudah tidak diragukan lagi segala keilmuan darinya. Lantas bagaimanakah amalan-amalan tersebut?

Sholawat Imam Syafi’i Agar Terhindar dari Hisab di Hari Kiamat

Imam  Al-Ghazali mengutip keutamaan lafal Shalawat Nabi yang ditulis Imam As-Syafi’i pada karya ushul fiqihnya, Kitab Ar-Risalah. Al-Ghazali mengisahkan perjumpaan Abul Hasan dengan Rasulullah saw dalam mimpinya.

وروي عن أبي الحسن قال رأيت النبي صلى الله عليه و سلم في المنام فقلت يا رسول الله بم جوزي الشافعي عنك حيث يقول في كتابه الرسالة وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ كُلَّمَا ذَكَرَهُ الذَّاكِرُوْنَ وغَفَلَ عَنْ ذِكْرِهِ الغَافِلُوْنَ فقال صلى الله عليه و سلم جوزي عني أنه لا يوقف للحساب

Artinya, “Diriwayatkan dari Abul Hasan, ia bercerita, ia mimpi bertemu Rasulullah saw, ‘Wahai Rasulullah, apa hadiah besar untuk As-Syafi’i yang bershalawat dalam Kitab Ar-Risalah-nya, ‘Wa shallāllahu ‘alā Muhammadin kullamā dzakarahudz dzākirūna, wa ghafala ‘an dzikrihil ghāfilūna?’ ‘Hadiah besarku untuk As-Syafi’i bahwa ia tidak akan dihentikan untuk hisab nanti,’’ (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz I, halaman 391).

Shalawat Nabi yang ditulis oleh Imam As-Syafi’i dalam Kitab Ar-Risalah adalah sebagai berikut: 

وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ كُلَّمَا ذَكَرَهُ الذَّاكِرُوْنَ وغَفَلَ عَنْ ذِكْرِهِ الغَافِلُوْنَ

Artinya, “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya untuk Nabi Muhammad saw sebilangan orang yang mengingat-Nya dan sebilangan orang yang lalai mengingat-Nya.”

Kemudian terkait tata cara melafalkannya, sebenarnya ada banyak cara untuk membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Ada sebagian orang menggunakan lafal shalawat dan salam dengan fi’il madhi. Sebagian orang lainnya menggunakan fi’il amr. Sejauh masih menggunakan lafal shalawat dan salam, maka itu diperbolehkan untuk para nabi dan rasul.

Dengan kata lain, kita boleh membaca shalawat dan salam untuk para nabi. Kita tidak diperbolehkan untuk membaca selain shalawat dan salam.

ولا يجوز الدعاء للنبي صلى الله عليه وسلم بغير الوارد كرحمه الله بل المناسب واللائق في حق الأنبياء الدعاء بالصلاة والسلام

Artinya, “Tidak boleh mendoakan Nabi Muhammad SAW dengan lafal yang tidak warid seperti lafal ‘Rahimahullāhu’. Tetapi lafal yang sesuai dan layak untuk para nabi dan rasul adalah lafal shalawat dan salam,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Kasyifatus Saja, [Indonesia, Darul Ihya Kutubil Arabiyyah], halaman 4).

Dengan kata lain tidak ada ketentuan baku perihal shalawat dan salam untuk nabi karena pada prinsipnya shalawat dan salam adalah doa yang dimohon kepada Allah untuk Nabi Muhammad saw atau para nabi dan rasul yang lain.

Demikian amalan Imam Syafi’i agar bebas dari Hisab Hari Kiamat! Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Hukum Kawin Kontrak Berdasarkan Ijma’ 4 Madzhab

Nikah Mut’ah atau yang jamak dikenal dengan istilah kawin kontrak, merupakan salah satu contoh nikah yang diharamkan. Sebab nikah model demikian ini merugikan pihak perempuan, padahal spirit yang dibangun dalam pernikahan adalah kasih sayang dan ibadah. Nah berikut keterangan lengkap hukum kawin kontrak berdasarkan ijma’ulama 4 madzhab.

Dalam kitab Fikih ensiklopedis yang diterbitkan oleh Kementrian Agama di Kuwait, dikatakan bahwa ulama empat Mazhab telah sepakat bahwa hukum kawin kontrak dalam fikih adalah haram. Berikut keterangannya;

نِكَاحُ الْمُتْعَةِ هُوَ قَوْل الرَّجُل لِلْمَرْأَةِ: أُعْطِيكِ كَذَا عَلَى أَنْ أَتَمَتَّعَ بِكِ يَوْمًا أَوْ شَهْرًا أَوْ سَنَةً أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ سَوَاءٌ قَدَّرَ الْمُتْعَةَ بِمُدَّةٍ مَعْلُومَةٍ كَمَا هُوَ الشَّأْنُ فِي الأَْمْثِلَةِ السَّابِقَةِ، أَوْ قَدَّرَهَا بِمُدَّةٍ مَجْهُولَةٍ كَقَوْلِهِ: أُعْطِيكِ كَذَا عَلَى أَنْ أَتَمَتَّعَ بِكِ مَوْسِمَ الْحَجِّ أَوْ مَا أَقَمْتُ فِي الْبَلَدِ أَوْ حَتَّى يَقْدَمَ زَيْدٌ، فَإِذَا انْقَضَى الأَْجَل الْمُحَدَّدُ وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بِغَيْرِ طَلاَقٍ. وَنِكَاحُ الْمُتْعَةِ مِنْ أَنْكِحَةِ الْجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَتْ مُبَاحًا فِي أَوَّل الإِْسْلاَمِ ثُمَّ حُرِّمَ، لِحَدِيثِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَال: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الْمُتْعَةِ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الأَْهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ “، ثُمَّ رَخَّصَ فِيهِ عَامَ الْفَتْحِ، لِحَدِيثِ الرَّبِيعِ بْنِ سَبْرَةَ الْجُهَنِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا:” أَنَّ أَبَاهُ غَزَا مَعَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتْحَ مَكَّةَ قَال: فَأَقَمْنَا بِهَا خَمْسَ عَشْرَةَ (ثَلاَثِينَ بَيْنَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ) فَأَذِنَ لَنَا رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مُتْعَةِ النِّسَاءِ ” ثُمَّ حُرِّمَ فِيهِ، وَرُوِيَ أَنَّهُ رَخَّصَ فِيهَا فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ، ثُمَّ حُرِّمَ أَبَدًا لِحَدِيثِ سَبْرَةَ” أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَاحَ نِكَاحَ الْمُتْعَةِ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ، ثُمَّ حَرَّمَ أَبَدًا، قَال الإِْمَامُ الشَّافِعِيُّ: لاَ أَعْلَمُ شَيْئًا” حُرِّمَ ثُمَّ أُبِيحَ ثُمَّ حُرِّمَ إِلاَّ الْمُتْعَةَ.


Artinya; Nikah mut’ah atau kawin kontrak adalah seperti ucapan seorang laki-laki kepada perempuan: “aku berikan engkau uang sekian dengan imbalan aku bisa kawin denganmu selama sebulan”. Apabila sebulan telah berlalu, pernikahan itu otomatis berakhir tanpa adanya lafal talak atau perceraian dari pihak suami.

Kontrak dalam nikah mut’ah bisa terukur dengan masa seperti sebulan, seminggu dan lainnya atau tidak terukur seperti kontrak nikah mut’ah selama musim haji, selama tinggal di sini, hingga fulan datang atau urusannya rampung. Apabila yang ditunggu telah usai atau terwujud, maka secara otomatis pernikahannya berakhir.

Dalam Islam, Nikah mut’ah termasuk pernikahan Jahiliah. Pada awalnya pernikahan ini diperbolehkan oleh Islam lalu diharamkan dengan hadis: “Sesungguhnya Rasulullah Saw melarang nikah mut’ah dan daging keledai jinak pada masa perang Khaibar (7 Hijriah)”.

Kemudian Baginda Nabi membolehkan nikah mut’ah pada saat pembebasan kota Makkah dengan bukti hadis dari Rabi’ bin Sabrah di mana ayahnya turut serta dalam pembebasan kota Makkah (8 Hijriah). Saat itu Rasulullah Saw mengizinkan nikah mut’ah.

Dalam riwayat lain Baginda Nabi mengizinkan nikah mut’ah pada saat haji wadâ’ (10 Hijriah). Lalu setelah itu nikah mut’ah diharamkan selamanya. Berdasarkan latar belakang nikah mut’ah, Imam Syafii berkomentar bahwa: “Aku tidak mengetahui sesuatu yang dihalalkan lalu diharamkan, kemudian dihalalkan dan diharamkan lagi kecuali hanya nikah mut’ah”.

Hukum Kawin Kontrak

Adapun hukum nikah mut’ah atau kawin kontrak sendiri adalah haram menurut mayoritas ulama Hanafiah, Mâlikiah, Syâfiiah dan Hanâbilah. Hal ini berdasarkan hadis Muslim (No.1406) Ibnu Abbas sendiri menjelaskan bahwa nikah mut’ah memang pernah diperbolehkan pada permulaan Islam, di mana ketika seseorang bermukim di tempat yang tidak memiliki kenalan, umumnya seseorang tersebut menikah mut’ah selama bermukim guna menjaga harta bendanya dan membantu urusannya.

Namun, ketika turun ayat “kecuali atas istrinya atau budak yang dimiliki” (QS. al-Mu’minun: 6), dari sini alat kelamin hanya bisa halal dari jalur nikah normal atau budak. Artinya, nikah mut’ah kemudian diharamkan.

Konsekuensi Nikah Kontrak

Adapun dampak dari nikah mut’ah atau kawin kontrak adalah sebagai berikut;

  1. Dalam nikah mut’ah tidak berlaku talak, sumpah ila’, dzihar, waris, li’an, status muhshan bagi laki-laki atau perempuan dan halalnya istri atas suami yang telah mentalak bain, mengingat pasangan nikah mut’ah harus diceraikan.
  2. Laki-laki dalam nikah mut’ah tidak berkewajiban membayar mahar atau materi yang disebut dalam akad mut’ah dan nafkah selama belum terjadi persetubuhan. Jika sudah terjadi persetubuhan, maka pihak laki-laki harus membayar mahar mitsil menurut mazhab Syafii.

    Sedang menurut mazhab Hanafi pihak laki-laki harus membayar yang paling murah atau minimum diantara mahar mitsil dan mahar mutsamma (yang disebut dalam akad). Apabila dalam akad mut’ah tidak menyebut mahar, maka cukup membayar mahar mitsil. Menurut Mâlikiah dan Hanâbilah pihak laki-laki harus membayar mahar musamma (yang disebut dalam akad).
  3. Ulama sepakat bahwa apabila perempuan yang dinikah mut’ah melahirkan anak, maka anak tersebut dinasabkan kepada laki-laki yang menikah mut’ah (ayahnya). Baik sang laki-laki meyakini nikah tersebut sah maupun tidak. Sebab akad dalam nikah mut’ah memiliki sisi syubhat (terdapat ulama yang memperbolehkan) di mana dengan adanya akad, perempuan menjadi firâsy (istri).
  4. Nikah mut’ah berkonsekuensi berlakunya mushâharah (persemendaan) dimana orang tua dan anak dari pihak perempuan haram dinikah oleh laki-laki yang menikahinya. Sebaliknya anak dan orang tua dari pihak laki-laki haram menikahi perempuan yang telah dinikah mut’ah.

    Memandang banyaknya dampak negatif yang didapat, nikah mut’ah atau kawin kontrak ini diharamkan. Dan sudah maklum, kalau sesuati itu dilarang kemudian diperbolehkan dan dilarang lagi, maka hukumnya sudah tetap dan mengikat. Oleh karenanya haram untuk nikah mut’ah, namun ketika terjadi akan berdampak pada beberapa hal yang telah disebutkan di atas.


    Keterangan hukum kawin kontrak ini disarikan dari kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah Juz 41 Halaman 334 . Semoga bermanfaat, Wallahu A’lam bi al-Shawa

BINCANG SYARIAH

Self Healing Indah Bersama Islam

Allah Swt telah memberikan ujian kepada setiap hamba sesuai takaran dan tidaklah melampaui batas kemampuan hamba-Nya, self healing paling indah adalah Islam

DI SAAT keberagaman gejolak kehidupan peluh menyatu dengan diri, terasa kening dan sujud jauh berjarak, dada penuh dan sesak, merasa dunia selalu nampak mendung, pertanda iman mulai menurun.

Dalam situasi ini, seseorang dihadapkan berbagai godaan dan cobaan yang menguji keteguhan iman dan kesucian hati.

Tercemarnya jiwa yang diakibatkan kotornya hati dan tumpukan dosa tak luput dari manusia. Yang membuat manusia terperosok kedalam kabut hitam di tengah gelapnya hutan belantara.

Rasulullah ﷺ bersabda

” أَلا وإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وإذَا فَسَدَت فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلا وَهيَ القَلْبُ.“ رواه البخاري ومسلم.

“Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik, maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal daging itu buruk, maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia.” (HR: Bukhari dan Muslim)

Islam memberikan tuntunan self healing yang begitu indah salah satunya melalui pembersihan dan penyucian jiwa yang dikenal tazkiyatun nufus atau penyucian hati/jiwa.

Tazkiyatun nufus terdiri dari dua kata, yakni tazkiyah dan nufus. Tazkiyah berasal dari kata zakka yang artinya penyucian, pembinaan, serta penumbuhan jiwa menuju kehidupan spiritual yang lebih tinggi.

Dan kata nufus dalam Ensiklopedi Islam berasal dari kata, nafs (nafsu) dipahami sebagai organ rohani manusia yang memiliki pengaruh paling besar dengan mengeluarkan instruksi kepada anggota jasmani untuk melakukan suatu tindakan. Imam Ibnu Qoyyim al Jauziah menjelaskan Tazkiyatun Nafs sebagai terapi jiwa, yaitu proses menyembuhkan kembali jiwa yang sakit melalui proses pembersihan diri.

Untuk mensucikan diri bisa di lalui beberapa fase :

Tathahhur

Tathahhur atau self cleaning yaitu membersihkan diri dari berbagai kotoran dan penyakit hati dengan bertaubat dan beristigfar. Serta berkomitmen meninggalkan keburukan dan hal-hal tercela baik berupa pikiran ataupun perbuatan yang diiringi dengan istiqomah.

Tahaqquq

Tahaqquq adalah bagaimana cara seorang muslim mendekatkan diri kepada Allah dengan membangun kebiasaan baik dan sifat-sifat terpuji yang memfokuskan hati dan pikiran hanya untuk Allah, salah satunya dengan berdzikir

Allah SWT berfirman:

 الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS: Ali Imran ayat 191).

Menurut Said Hawwa, tauhid, taubat secara berkala, tawakal, zuhud, ikhlas,dan lain sebagainya termasuk contoh tahaqquq.

Takhalluq

Takhalluq sendiri merupakan penerapkan nama-nama Allah ke dalam akhlaq seorang muslim dalam kehidupan sehari-hari serta meneladani Rasulullah ﷺ. Sebagai contoh Allah memiliki sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahiim oleh sebab itu seorang muslim hendaknya mengasihi dan menyayangi sesama.

Dengan membiasakan akhlaq baik ke dalam kehidupan sehari hari adalah puncak perwujudan disiplin diri sehingga jiwa cenderung pada kondisi ideal, menurut gagasan Said Hawwa.

Demikianlah Allah tak pernah pergi namun kitalah yang lari menjauh.Allah SWT berfirman;

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا۟ لِى وَلْيُؤْمِنُوا۟ بِى لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS: Al-Baqarah ayat 186).

Ketika masalah menghampiri, kita dapat mengatasinya dengan mengingat kebesaran Allah serta menyucikan hati kembali. Dengan demikian, maka hati akan menjadi lebih tenang.

Semua manusia memiliki masalah ataupun ujian. Namun setiap ujian yang telah Allah beri tidaklah melampaui batas kemampuan setiap hamba-Nya. 

Sebagai seorang muslim hendaklah kita kembali dan terus mengingat-Nya, baik dalam keadaan susah maupun senang. Karena sesungguhnya Dia-lah tempat kita mengadu dan maha memberi pertolongan. wallahu a’lam.*/Mumtazatur Rofi’ah, mahasiswi ma’had hidayatullah Batu

HIDAYATULLAH

Jangan Tertipu! Hanya Visa Haji yang Bisa Digunakan Ibadah Haji 2024  

Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama (Kemenag) Hilman Latief menegaskan bahwa hanya visa haji yang bisa digunakan dalam penyelenggaraan ibadah haji 1445 Hijriah/2024 M.

Masyarakat diimbau untuk tidak sampai tergiur dan tertipu oleh tawaran berhaji dengan visa ummal (pekerja), ziarah (turis), atau lainnya. Bahkan ada yang menawarkan dengan sebutan visa petugas haji.

Penegasan ini disampaikan Hilman Latief menyusul banyaknya info yang menawarkan haji tanpa antre dengan berbagai jenis visa di media sosial seperti Facebook, Instagram, hingga pesan berantai di berbagai grup whatsapp.

Hilman sendiri saat ini sedang berada di Arab Saudi untuk memantau persiapan akhir penyiapan layanan bagi jemaah Indonesia pada operasional haji 1445 H/2024 M.

“Setelah berdialog dengan Kementerian Haji dan dan Umrah dan berbagai pihak, kami menegaskan lagi bahwa untuk keberangkatan haji harus menggunakan visa haji,” tegas Hilman  Senin (22/4/2024).

 “Saudi sudah menyampaikan kepada kami terkait potensi penyalahgunaan penggunaan visa non haji pada haji 2024, itu betul-betul akan dilaksanakan secara ketat dan akan ada pemeriksaan yang intensif dari otoritas Saudi,” sambungnya.

Visa haji diatur dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU).

Pasal 18 UU PIHU mengatur bahwa visa haji Indonesia terdiri atas visa haji kuota Indonesia, dan visa haji mujamalah undangan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.

Visa kuota haji Indonesia terbagi dua, haji reguler yang diselenggarakan pemerintah dan haji khusus yang diselenggarakan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).

Tahun ini, kuota haji Indonesia sebanyak 221.000 jemaah. Indonesia juga mendapat 20.000 tambahan kuota. Sehingga, total kuota haji Indonesia pada operasional 1445 H/2024 M adalah 241.000 jemaah.

Untuk warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, UU PIHU mengatur bahwa keberangkatannya wajib melalui PIHK.

Dan, PIHK yang memberangkatkan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari Kerajaan Arab Saudi wajib melapor kepada menteri agama.

Hilman mengakui bahwa antrean saat ini memang sangat panjang seiring tingginya antusiasme masyarakat Indonesia untuk beribadah haji.

Namun, masyarakat juga harus lebih cermat terhadap setiap informasi yang menawarkan berangkat haji tanpa antrean.

“Sudah banyak yang tertipu dengan iming-iming bisa berangkat haji tanpa antre atau haji langsung berangkat. Penawaran semacam ini makin masif diiklankan di media sosial,” ucap Hilman.

Apalagi, lanjutnya, Arab Saudi juga sudah menegaskan bahwa pihaknya akan menerapkan kebijakan-kebijakan baru yang lebih komprehensif pada haji 2024, baik dari segi kesehatan, visa, dokumen, dan lainnya.

“Akan ada banyak pemeriksaan di berbagai tempat. Diimbau kepada masyarakat untuk tidak tergiur dengan tawaran keberangkatan haji tanpa antre yang menawarkan visa selain visa haji,” pesan Hilman.

Terpisah, Direktur Layanan Haji dalam Negeri pada Ditjen PHU Kemenag Saiful Mujab menambahkan bahwa pihaknya saat ini tengah menyiapkan dokumen dan memproses visa jemaah haji regular Indonesia.

Menurutnya, setelah proses pelunasan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) selesai, tahap selanjutnya adalah penyiapan dokuman dan proses pemvisaan.

“Saat ini sedang proses visa dan dokumen lainnya seperti paspor, bio visa, dan lainnya. Sampai sekarang, sudah sekitar 23.000 jemaah yang sudah terbit visanya. Ini akan terus berproses hingga semua visa jemaah haji Indonesia terbit,” sambungnya.

Bersamaan dengan proses pemvisaan, kata Saiful Mujab, pihaknya juga melakukan proses pemaketan layanan jemaah dan penyusunan kelompok terbang (kloter).

Untuk jadwal penerbangan jemaah haji sudah ditetapkan, baik yang akan berangkat dengan Saudia Airlines maupun Garuda Indonesia.

“Kami juga sedang melakukan penyiapan akhir asrama haji, baik sebagai embarkasi, transit, maupun embarkasi antara, untuk menerima jemaah,” sebutnya.*

HIDAYATULLAH

Membantu Orang Lain adalah Obat Stres

Tidak ada agama yang seperti Islam, dia (Islam) menaruh perhatian yang besar terhadap masalah membantu orang lain dan pemenuhan kebutuhan (hajat) mereka, sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menganggap perbuatan membantu orang lain sebagai bagian dari iman.

Nabi Berwasiat Agar Ummatnya Membantu Sesama Dan Memenuhi Kebutuhan Mereka

Banyak sekali hadits yang datang dari Nabiyurrahmah (Nabi yang penuh kasih sayang)shallallahu ‘alaihi wasallam yang menegaskan pentingnya kerjasama, membantu orang lain dan mengulurkan bantuan untuk mereka. Sampai-sampai Nabi yang muliashallallahu ‘alaihi wasallam menganggap bahwa keimanan seseorang tidak akan sempurna sebelum dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri!!

Dan Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menganggap orang yang tidur (dalam keadaan kenyang) sementara dia tahu tetangganya dalam keadaan kelaparan, sebagai orang yang imannya kurang. Dan barang siapa yang kedatangan tamu namun dia tidak menghormatinya, maka dia juga imannya kurang.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ).

” Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya segala apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri berupa kebaikan”. [HR al-Bukhâri dan Muslim].

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:


الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. (رواه البخاري ومسلم)

” Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya. Janganlah menzhaliminya dan jangan membiarkannya (tidak membela dan menolongnya). Dan barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan membantunya. Dan barangsiapa yang memberikan jalan keluar untuk kesulitan saudaranya, maka Allah akan memberikan jalan keluar bagi kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan tutupi aibnya pada hari kiamat.” (HR. Bukhari Muslim)

Ini adalah hadits yang menakjubkan, darinya kita mengetahui sejauh mana perhatian Nabi terhdap masalah membantu orang lain dan mencintai kebaikan untuk mereka, sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menganggap bahwa perbuatan apapun yang Anda lakukan, baik berupa melepaskan salah satu kesulitan dari kesulitan-kesulitan duniawi seorang Muslim, atau menutupi aibnya atau memenuhi kebutuhannya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan kepada Anda balasan yang berlipat ganda dari apa yang telah Anda lakukan di dunia.

Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

” Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka janganlah ia menyakiti tetangganya, barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaknya ia memuliakan tamunya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia berkata baik atau diam.(HR. al-Bukhari)

Sesungguhnya memuliakan tamu adalah sebuah tuntunan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, dan bahwasanya Allah memberikan pahala yang besar atas amalan tersebut. Dan Islam tidak hanya memerintahkan untuk membantu orang lain, akan tetapi ia (Islam) juga memerintahkan untuk menahan diri dari mengganggu mereka dan tidak menyakiti mereka.

Sekarang, setelah kita melihat bagaimana perhatian Islam terhadap aspek sosial ini, dan bagaimana Islam memelihara keutuhan masyarakat dan integritasnya serta tersebarnya cinta, kasih sayang, dan kebaikan di antara orang-orang yang beriman. Kita bertanya:” Apakah ada keajaiban ilmiah atau faidah-faidah medis dan psikologis dari amalan ini?”

Studi Ilmiah Membuktikan Bahwa Membantu Orang Lain Mengobati Stress

Para ahli di bidang psikologi menegaskan bahwa membantu orang lain akan meringankan stress, yang mana membantu orang lain merangsang sekresi suatu hormon yang bernama “endorfin”, suatu hormon yang membantu menghasilkan perasaan nyaman dan tenang secara psikologis.

Dan mantan direktur Institut “Penyuluhan Kesehatan” di Amerika Serikat “Alan Lex” menegaskan bahwa membantu orang lain membantu mengurangi tekanan saraf, yang mana bantuan seseorang kepada orang lain mengurangi pikirannya terhadap kesedihan-kesedihan dan masalah-masalah pribadinya, dan kemudian merasa nyaman secara psikologis.

Peneliti mengisyaratkan akan perlunya terpenuhi tiga syarat mendasar ketika seseorang membantu orang lain agar bisa menikmati sisi positif (dampak positif) dari bantuannya. Syarat tersebut yaitu hendaknya bantuan tersebut harus teratur, memungkinkan hubungan pribadi antara orang yang membantu dan orang yang meminta bantuan dan hendaknya orang yang meminta bantuan adalah orang di luar lingkup orang yang dikenalnya, keluarganya atau teman-temannya.

Sang Ahli menegaskan bahwa manusia tidak dipaksa untuk membantu orang yang tidak dikenal, namun dia benar-benar bebas untuk memutuskan apakah akan mebantu orang lain atau tidak. Dan bahwasanya kebebasan itu adalah hal penting untuk mendapatkan hasil psikologis yang diinginkan dalam membantu orang lain. Dan sebaliknya, bahwasanya seseorang “dipaksa” untuk membantu teman-teman dan kerabat.

Dalam studi-studi ilmiah sebelumnya nampak jelas pentingnya toleransi, memaafkan orang lain dan tidak marah. Semua ini menyebabkan peningkatan kemampuan sistem kekebalan tubuh pada manusia, dan secara otomatis meningkatan perlindungan terhadap berbagai penyakit.

Dapat dikatakan bahwa setiap perbuatan baik yang dilakukan seseorang dapat memberikan kontribusi untuk meningkatkan kondisi mental dan meningkatkan tingkat kekuatan sistem kekebalan tubuh serta memberikan kepada tubuh Anda dosis kekebalan tambahan terhadap penyakit, terutama stres.

Sesungguhnya Islam ketika memberikan perhatian terhadap perbuatan baik, tidaklah penetapan syar’iat tersebut kecuali untuk maslahat (kebaikan) manusia dan masyarakat dan agar mereka beruntung mendapatkan balasan di dunia dan akhirat.

Oleh karena itu, kita dapatkan banyak ayat yang memotivasi seorang mukmin untuk saling tolong menolong dan memberikan pelayanan/bantuan kepada orang lain tanpa imbalan (gratis). Lihatlah bagaimana peneliti ini, setelah banyak percobaan yang dia lakukan, maka nampak jelaslah baginya bahwa sebaik-baik jenis bantuan adalah ketika Anda tidak meminta imbalan atau mengaharap terima kasih atas bantuan Anda. Dan dari sini kita mengetahui arti penting firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:


(وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا * إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا) [الإنسان: 8-9].

” Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insaan: 8-9)

Ya Allah jadikanlah seluruh amalan kami ikhlash karena ingin mendapatkan keridhaan-Mu, dan karena takut terhadap adzab-Mu serta karena kecintaan kepada penutup para Nabi-Mu (Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam).

(Sumber:الإعجاز النبوي معالجة التوتر النفسي بمساعدة الآخرين karya ‘Abdud Daim al-Kaheel. Diterjemahkan dan diposting oleh Abu Yusuf Sujono)


Sumber : alsofwah.or.id

Keutamaan Membangun Masjid

Masjid merupakan tempat seluruh umat muslim menjalani serangkaian ibadah.

Masjid merupakan tempat seluruh umat muslim menjalani serangkaian ibadah. Serta tempat untuk menuntuk ilmu dan mempelajari agama Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW. Terdapat kemuliaan bagi seseorang yang membangun masjid untuk membantu orang – orang menjalankan ibadahnya.

“Jika ada sekelompok orang berserikat dalam membangun masjid, maka kelak masing-masing dari mereka mendapatkan istana di surga sebagaimana sebuah komunitas bekerja sama memerdekakan hamba, maka masing-masing terbebas dari neraka,” dikutip dari kitab yang berjudul, Bughyah Al Mustarsyidin hamisy Hasyiyah Al Syathiri ala Al Bughyah karya Habib Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi Al Masyhur, Minggu (21/04/2024).

Pernyataan tersebut juga sesuai dengan Hadits Riwayat Ahmad yang berbunyi,

  مَنْ بَنَى لِلهِ مَسْجِدًا وَلَوْ كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ لِبَيْضِهَا، بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ   

Artinya : “Barangsiapa membangun masjid karena Allah, meski seukuran lubang tempat burung qatha bertelur, maka Allah membangun untuknya rumah di surga.”

Pahala yang begitu besar bagi orang yang membangun masjid, jika dalam hal tersebut dibangun secara bersama – sama seperti Pembangunan secara kolektif. Artinya, siapapun yang berkontribusi atas berdirinya masjid, ia juga akan mendapatkan keutamaan diberikan rumah di surga Allah SWT.

Begitu besarnya keutamaan dalam membangun masjid harus juga didasari dengan niat yang baik. Agar Allah SWT dapat memberi ridha-Nya. Seperti mensyiarkan agama Islam, menghidupi kegiatan dengan beribadah, dan sebagainya.

Amalan yang sungguh mulia tersebut dapat membawa seseorang masuk ke surganya Allah SWT dan bagi mereka yang dapat memakmurkan masjid Allah SWT akan termasuk ke dalam golongan yang akan mendapatkan petunjuk dari-Nya. Seperti yang dijelaskan pada surat At taubah ayat 18 yang berbunyi,

اِنَّمَا يَعْمُرُ مَسٰجِدَ اللّٰهِ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ وَلَمْ يَخْشَ اِلَّا اللّٰهَ ۗفَعَسٰٓى اُولٰۤىِٕكَ اَنْ يَّكُوْنُوْا مِنَ الْمُهْتَدِيْنَ

Arab Latin: Innamā ya‘muru masājidallāhi man āmana billāhi wal-yaumil-ākhiri wa aqāmaṣ-ṣalāta wa ātaz-zakāta wa lam yakhsya illallāh(a), fa ‘asā ulā’ika ay yakūnū minal-muhtadīn(a).

Artinya : “Sesungguhnya yang (pantas) memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, mendirikan salat, menunaikan zakat, serta tidak takut (kepada siapa pun) selain Allah. Mereka itulah yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.”

IHRAM

Empat Overdosis Penyebab Hati Keracunan (Bag. 1)

Bagian 1: Overdosis bicara

Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah yang karena nikmat-Nyalah sampai saat ini kita semua sudah dan masih menjadi seorang muslim yang semoga selalu diberi hidayah.

Kondisi hati

Sebuah hal yang familiar dan sering kita dapatkan dalam kajian-kajian tentang hati bahwasanya hati itu terbagi menjadi tiga berdasarkan kondisinya, yaitu:

Pertama: Hati yang sehat

Yaitu, hati yang dengannya amalan-amalan diikhlaskan hanya untuk Allah dan terlepas dari berbagai syahwat dan syubhat dunia beserta ranting dan cabang-cabangnya. Orang dengan hati inilah yang akan selamat di hari kiamat kelak.

Kedua: Hati yang mati

Kebalikan dari hati yang sehat. Hati yang mati adalah hati yang tidak mengenal Rabb-nya, dipenuhi oleh maksiat dan bekerja mengikuti syahwat serta hawa nafsu.

Ketiga: Hati yang sakit

Jenis hati yang ini berada di antara dua kondisi hati yang sehat dan hati yang mati, di mana di dalamnya terdapat ketaatan-ketaatan, akan tetapi telah terkontaminasi oleh syahwat. Sehingga hati ini terkadang mengarahkan pada kebaikan dan ketaatan dan kadang pula mendorong pada keburukan dan kemaksiatan.

Hal-hal yang menyebabkan hati menjadi sakit

Ada banyak hal yang membuat hati menjadi sehat, mati, apalagi sakit. Di antara yang menyebabkan sebuah hati kondisinya menjadi sakit adalah keracunan. Ada 4 macam racun hati yang paling luas persebarannya dan paling besar pengaruh juga efek sampingnya pada kondisi hati. Empat racun tersebut berasal dari overdosis pada konsumsi hal-hal yang tidak begitu esensial, terlalu banyak dan melebihi kadar wajar yang seharusnya, sehingga berubah menjadi racun. Yaitu, overdosis/terlalu banyak bicara, overdosis melihat, overdosis makanan, serta overdosis bergaul.

Dalam kitab “Tazkiyatun Nufus” karya Syekh Dr. Ahmad Farid, racun-racun hati yang empat tersebut dinarasikan dengan kata “فضول” (dibaca: fudhul), yang secara bahasa Arab terdapat beberapa arti, seperti “rasa ingin tahu yang berlebih” atau “keheranan akan sesuatu” atau “sesuatu yang tidak berfaedah” atau juga “suatu lebihan atau sisa yang terlampau dari seharusnya pada sesuatu”.

Kemudian dalam konteks ini, kata “فضول” dapat diartikan dengan “kelebihan atau terlalu banyak yang tidak ada gunanya”. Kemudian yang akan digunakan pada kesempatan kali ini adalah kata “overdosis” dalam rangka mempersingkat dan mempermudah tersampaikannya makna pada pembaca.

Overdosis bicara

Selanjutnya, mari kita bahas satu per satu dari racun-racun yang disebabkan oleh overdosis tersebut. Yang pertama adalah “overdosis bicara”.

Adalah suatu nikmat tiada tara, Allah yang telah menciptakan kita dan menjadikan manusia sebagai makhluk dengan rupa penciptaan yang paling bagus seperti yang difirmankan-Nya pada surah At-Tin ayat 4. Kemudian sebagai salah satu bentuk penyempurnaan pada surah Asy-Syams ayat 7 adalah sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Balad ayat 8-9,

أَلَمْ نَجْعَل لَّهُۥ عَيْنَيْنِ  وَلِسَانًۭا وَشَفَتَيْنِ 

Bukankah Kami sudah menjadikan untuknya sepasang mata, lisan (lidah), dan sepasang bibir?” (QS. Al-Balad: 8-9)

Lisan disebutkan secara eksplisit dalam firman-Nya sebagai salah satu nikmat, bentuk penyempurnaan, yang kita pahami sebagai fasilitas, tidaklah secara cuma-cuma, melainkan karena memang lisan memiliki peran sentral dalam berlangsungnya kehidupan manusia. Lisan memiliki peran baik dalam urusan duniawi maupun ukhrawi, berguna sebagai alat komunikasi antar makhluk ataupun dengan Rabb, seperti dalam berdoa.

Kita tentu dapat saling memahami satu sama lain, di antaranya adalah melalui perkataan yang disampaikan oleh lisan yang berperan sebagai translator akan maksud dan keinginan hati dan pikiran kita. Bahkan, dengan perkataan, seorang muslim dan kafir dapat dibedakan, yaitu melalui syahadatain yang diucapkan sebagai bukti keislaman seseorang.

Mirisnya, masih banyak orang yang entah belum tahu, atau tidak tahu, atau sudah tahu, namun abai, ataupun bisa jadi tidak mau tahu sama sekali akan betapa besarnya efek-efek yang dihasilkan dari hanya sekadar ucapan yang kita ucapkan melalui lisan kita.

Tidak perlu melihat terlalu jauh. Kita cukup melihat ke diri sendiri, ke sekitar kita, juga ke gadget kita. Tentu banyak sekali ucapan-ucapan dan ujaran-ujaran yang tidak layak justru dinormalisasi. Jika kita kembali ke pengertian daripada “فضول” yang telah disampaikan di atas, maka “فضول الكلام” (dibaca: fudhul kalam) sebagai racun hati yang pertama dibahas ini dapat merujuk kepada di antara tiga hal berikut:

Pertama: Terlalu banyak bicara, melebihi kadar dan porsi yang wajar.

Kedua: Bicara yang tidak bermanfaat.

Ketiga: Gabungan antara keduanya, banyak bicara yang tidak bermanfaat.

Sehingga, apa-apa yang termasuk ke dalam salah satu dari tiga kriteria di atas, maka sudah termasuk ke dalam racun hati ini dan harus kita hindari.

Bentuk-bentuk overdosis bicara

Di antara bentuk-bentuk fudhul kalam atau overdosis bicara yang marak terjadi yaitu:

Pertama: banyak bicara. Ini dapat kita pahami dengan mudah. Setiap banyak bicara pada dasarnya adalah tidak baik. Bahkan, tidak jarang seseorang yang memiliki kepiawaian, setiap kali berbicara, justru melebihi porsi yang seharusnya. Sehingga mengaburkan maksud, mempersulit pendengar memahami, juga banyak membuang waktu.

Kedua: Bicara yang tidak perlu dan dilarang secara syariat. Seperti berbohong, gosip, adu domba, juga melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangi dalam menyampaikan sesuatu, terutamanya ketika bercerita.

Ketiga: Toxic atau bicara kata-kata kasar. Termasuk pula yang tidak disebutkan secara jelas karena diplesetkan. Ketika kata tersebut masih mengandung makna dan penggunaan yang sama, maka dihukumi sama. Dalam hal ini, sudah menjadi virus terutama pada sebagian besar anak muda generasi sekarang yang seakan tidak dapat lepas dari berbagai kata-kata kasar, padahal jelas-jelas tidak boleh karena selain tidak elok, juga memiliki banyak dampak negatif.

Keempat: Termasuk pula menceritakan segala sesuatu yang dilihat ataupun didengarnya, karena sudah tidak sesuai porsi, tidak perlu, masuk kategori dusta pula, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,

كفى بالمرء كذبًا أن يحدّث بكل ما سَمِع

Cukuplah seseorang dikatakan berdusta jika ia menceritakan segala yang didengarnya.” (HR. Muslim no. 5)

Antisipasi dari racun hati ini

Lantas, sebagai seorang muslim, apa yang selayaknya kita lakukan entah itu untuk menghindari dan antisipasi dari racun hati ini atau pula untuk mengobatinya?

Ada banyak sekali dalil beserta atsar dari para ulama yang dapat kita cermati. Dan di sini, telah dirangkum ke dalam beberapa cara yang dapat dilakukan. Di antaranya:

Sadar akan muraqabah Allah

Muraqabah artinya pengawasan. Tentu saja, pertama-tama, kita haruslah sadar akan pengawasan Allah yang meliputi segala sesuatu, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, kecil-besar, semua Allah ketahui dengan benar. Bahkan, Allah lebih tahu tentang diri kita daripada kita sendiri. Tak terkecuali dalam segala yang kita ucapkan melalui lisan kita. Karena setiap yang kita ucapkan sebenarnya dicatat sebagai amal baik ataukah buruk oleh malaikat yang ditugaskan oleh Allah. Allah Ta’ala mengabarkan,

مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌۭ

Tidak ada suatu kata yang diucapkannya, melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS. Qaf: 18)

Mengetahui bahwa setiap perkataan memiliki risiko

Adalah suatu keniscayaan bahwa segala sesuatu pastilah memiliki dampak, entah baik atau buruk. Begitu pula dengan segala perkataan, tentu ada dampak, risiko, atau efek samping. Ada dampak langsung dan juga tidak langsung, dampak terhadap diri kita atau dampak terhadap orang lain, pun dengan dampak terhadap masa yang akan mendatang secara umum. Sahabat Muadz bin Jabal pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

يَا نَبِىَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ فَقَالَ « ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِى النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ قاَلَ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

“’Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa dengan sebab perkataan kita?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Semoga ibumu kehilanganmu! (Kalimat ini maksudnya adalah untuk memperhatikan ucapan selanjutnya.) Tidaklah manusia tersungkur di neraka di atas wajah atau di atas hidung mereka, melainkan dengan sebab lisan mereka.’” (HR. Tirmidzi. Ia mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.)

Hadis di atas menjelaskan betapa perkataan dan ucapan memiliki dampak yang sangat serius, terutama perkataan-perkataan buruk yang menyebabkan siksa neraka di akhirat kelak.

Sahabat Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

ما النجاة؟

Apa itu keselamatan?

Rasulullah kemudian menjawab,

أمسك عليك لسانك

Jagalah olehmu lisanmu.”

Setiap manusia sejatinya sedang menanam. Jika yang ditanam baik, maka baik pula yang akan dipanen. Jika yang ditanam buruk, maka buruk pula yang akan dipanen.

Berlepas diri

Ketika kita sudah terlanjur melakukan berbagai hal yang tidak baik yang berkaitan dengan lisan dan ucapan, kemudian kita telah mengetahui dampak buruknya, hendaknya kita melepaskan diri dari hal itu. Jika tidak bisa langsung terlepas, maka tidak mengapa apabila dengan bertahap.

Adapun berlepas diri yang dimaksud adalah dengan bertobat. Dan tobat yang paling mudah adalah dengan istigfar. Hendaknya kita memperbanyak istigfar, terkhusus setiap kita khilaf. Qatadah pernah menuturkan,

فأما داؤكم فالذنوب وأما دواؤكم باللاستغفار

Penyakit kalian adalah dosa-dosa yang kalian kerjakan. Adapun obat kalian adalah dengan beristigfar (meminta ampunan).

Diam

Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik saja atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis tersebut memberikan aturan sederhana dalam berucap dan bertutur kata, yaitu katakan yang baik-baik atau diam saja.

Sahabat Abdullah bin Mas’ud juga pernah berujar,

يا لسان قل خيرا تغنم واسكت عن شر تسلم قبل أن تندم

Wahai lisan (lidah), katakanlah yang baik (saja), niscaya kau akan mendapatkan (kebaikan). Dan diamlah dari mengatakan yang buruk, maka kau akan selamat sebelum kau akan menyesal.”

Maka, betapa kita bisa melihat bahwa diam itu jauh lebih baik daripada kita harus membuat lelah diri kita dari berbicara berlebih, terutama ketika itu bukanlah hal yang baik. Hal ini sebagaimana aturan berupa tips sederhana dari Rasulullah, yaitu berbicara yang baik saja atau diam, tidak usah berbicara sekalian.

Sehingga dengan berbagai penjabaran juga dalil dan atsar-atsar di atas, kita dapat memahami dan menerapkannya ke dalam kehidupan kita tentang peran sentral ucapan yang keluar dari lisan kita. Secukupnya saja, yang baik saja, jangan melebihi porsi bicara. Sadari juga efek samping dari ucapan yang keluar dari mulut kita. Dan jika tidak bisa bicara yang bermanfaat, lebih baik diam atau akan menjadi racun yang membuat hati kita sakit keracunan.

Semoga Allah senantiasa memberi taufik agar kita tetap berada dalam koridor pengendalian lisan yang benar.

Lanjut ke bagian 2: Bersambung

***

Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad

Sumber:

Disadur dari “Tazkiyatun Nufus” karya Syekh Dr. Ahmad Farid

Sumber: https://muslim.or.id/93240-4-overdosis-penyebab-hati-keracunan-bag-1.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

‘Urf dan Adat dalam Timbangan Syariat

Pendahuluan

Menyoal tentang ‘urf atau tradisi adalah suatu hal yang tidak bisa lepas dari perkara syariat karena ‘urf termasuk pijakan dalam penetapan hukum islam. Di dalam ilmu ushul fiqih, ‘urf termasuk dalil-dalil isti’nasiyah. Yaitu, sebagai penyempurna dalil-dalil syar’i baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Makna dari isti’nas itu sendiri adalah dalil-dalil yang diambil oleh para ulama fikih dan ushul untuk mengantarkan kepada dalil-dalil syar’i dan juga untuk men-tarjih (memilih yang paling kuat) di antara beberapa pendapat yang berbeda.

‘Urf di antara dalil isti’nasiyah

Dalil-dalil isti’nasiyah itu sendiri terbagi menjadi enam. Salah satu di antaranya adalah ‘urf atau adat. ‘Urf sendiri menurut para ulama adalah suatu hal yang telah ada dan menetap pada kebiasaan masyarakat dan dapat diterima dengan akal yang waras. Adapun adat adalah suatu hal yang berjalan terus menerus di antara masyarakat menurut persepsi mereka sehingga masyarakat terus mengulangi hal itu di kemudian hari. Dari sini, dapat kita ketahui tidak ada bedanya antara ‘urf dan adat. 

Di antara dalil adanya ‘urf adalah firman Allah Ta’ala, 

خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَـٰهِلِينَ

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf (‘urf), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al ‘Araf: 199) 

‘Urf secara perbuatan dan ucapan

‘Urf secara perbuatan seperti contohnya adalah praktik transaksi jual beli tanpa mengucapkan akad ijab kabul atau akad jual beli. Terkadang ada kalanya untuk transaksi hanya cukup dengan perbuatan seperti halnya ketika membeli garam dan gula. Pembeli mengambil barang yang diinginkan dan memberikan nominal sesuai harga barang. Penjual menyerahkan barang dan menerima sesuai nominal harga barang. 

Adapun ‘urf secara ucapan adalah seperti kebiasaan masyarakat kita yang sering menggunakan kata “daging” sebagai alias dari daging sapi. Ketika ada seseorang yang mengucapkan, “Saya ingin membeli daging.” Maka, yang dipahami adalah daging sapi. Karena ini sudah menjadi kebiasaan di masyarakat kita. 

‘Urf dilihat dari ruang lingkup terbagi menjadi dua jenis

‘Urf ‘am

Yaitu, suatu kebiasaan umum yang berlaku pada kebanyakan manusia di seluruh negara. Seperti contohnya transaksi jual beli rumah, maka sudah include (meliputi) seluruh apa saja yang ada di dalam rumah, baik pintu, keran, jendela, dan lain sebagainya. Begitu halnya transaksi jual beli mobil, tentu sudah termasuk dengan ban, perkakas, dan lain-lain. Atau contoh yang lebih dekat, ketika kita ingin menyewa atau menggunakan kamar mandi umum, tentu tidak ditakar berapa batas maksimal air yang harus digunakan dan berapa lama waktu penggunaannya. 

‘Urf khash

Yaitu, suatu kebiasaan yang bersifat khusus. Seperti halnya penggunaan lafal salat. Pada asalnya, salat secara bahasa berarti doa. Namun, kebiasaan yang ada ketika disebutkan salat, maka maksudnya adalah setiap ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan ditutup dengan salam. Yakni, ibadah salat. Hal ini dapat diterjemahkan dengan ucapan seseorang kepada anaknya, “Apakah engkau sudah salat?” Tentu ‘urf atau kebiasaan masyarakat kita akan menerjemahkan kalimat di atas dengan salat berupa ibadah yang ada padanya takbir, rukuk, iktidal, sujud, dan salam. Bukan diterjemahkan dengan arti doa.

Syarat-syarat ‘urf untuk digunakan sebagai hujah

Urf bersifat universal atau menyeluruh

Yakni, kebiasaan tersebut banyak dilakukan oleh manusia. Bukan kebiasaan yang diperuntukkan hanya untuk golongan, ormas, maupun kelompok tertentu. Seperti contohnya kebiasaan dalam menikah. Di sebagian tempat, mahar diserahkan seluruhnya kepada calon suami. Di sebagian tempat yang lain, mahar ditentukan oleh pihak wali dari calon istri. Di sebagian lagi, ada yang menjadikan tanggungan tersebut kepada calon kedua mempelai. Demikianlah ‘urf. 

Hendaknya ‘urf tersebut banyak dilakukan oleh manusia

Sebagai penekanan untuk poin pertama, ‘urf hendaknya tidak hanya dilakukan oleh person tertentu saja. Namun, dilakukan oleh masyarakat luas, setidaknya telah menjadi kebiasaan sebagian besar populasi di negara ini. Sehingga, dari sini dapat difahami, bahwasanya ‘urf tidak boleh bertentangan dengan khalayak umum. 

‘Urf tersebut harus masih berlaku

Artinya, ‘urf atau kebiasaan tersebut masih dianggap dan masih dilakukan di antara manusia. Karena ada sebagian ‘urf yang sudah kuno dan tidak terangkat dan tidak dilakukan lagi di antara masyarakat. Sehingga, di antara syaratnya, yaitu ‘urf tersebut harus masih berlaku di kalangan masyarakat saat ini. Di antara contoh ‘urf yang masih berlaku sampai pada saat ini adalah kebiasaan mudik di hari lebaran. 

Urf bersifat suatu keharusan

Di antara syaratnya, kebiasaan tersebut menjadi suatu keharusan dan kewajiban dalam pandangan masyarakat untuk dilakukan. Seperti halnya seorang suami yang menikah, maka ia harus menyiapkan tempat tinggal untuk istrinya. Hal ini kiranya tidak harus tertulis pada syarat sebelum menikah. Namun, masyarakat kita memandang menjadi suatu keharusan seorang suami memberikan tempat tinggal yang layak untuk istrinya. 

Adapun seorang istri, hendaknya ia membantu suaminya dalam menyiapkan tempat tinggal untuknya. Jika istri tidak bisa, maka bukan menjadi suatu permasalahan. Karena ini merupakan kewajiban seorang suami. Demikianlah kebiasaan yang ada pada masyarakat kita. 

Urf tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar’i

Inilah di antara syarat yang sangat penting. Yaitu, ‘urf tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang ada baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Jika bertentangan, maka tidak bisa dilakukan. Di antara kebiasaan yang bertentangan adalah:

Menukar uang baru di hari raya dengan adanya tambahan

Tentu tambahan yang ada merupakan riba. Dan riba telah Allah dan Rasul-Nya larang. Allah berfirman, 

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡڪُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَـٰفً۬ا مُّضَـٰعَفَةً۬‌ۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran : 130

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, 

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, tidak mengapa jika dengan takaran yang sama, dan sama berat, serta tunai. Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka hatimu asalkan dengan tunai dan langsung serah terimanya.” (Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim no.2970.)

Adapun uang yang sekarang itu sama halnya dengan emas di zaman dahulu. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan emas sebagai alat tukar di zaman tersebut. Maka, tidak boleh untuk kita menukar uang baru dengan adanya tambahan. Jika ada tambahan, maka termasuk riba. Dan penukaran harus dalam bentuk tunai tidak boleh ada tenggang waktu ataupun utang dari salah satu pihak. 

Bersalaman dan cipika-cipiki dengan yang bukan mahram

Ini masih sangat banyak terjadi di masyarakat kita. Kebiasaan ini seolah menjadi hal yang lumrah. Seorang bersalaman dengan wanita yang bukan mahram, bahkan wal’iyadzu billah sampai cipika-cipiki dengan wanita yang bukan mahram. Ketahuilah! Bahwa ditusuknya seseorang dengan besi yang panas, itu lebih baik daripada seseorang bersentuhan dengan yang bukan mahram!

لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ

Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak besi, itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (Hadis diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani) 

Pada hadis di atas, disebutkan hanya sebatas menyentuh, lalu bagaimana jika sengaja bersalaman, cipika-cipiki, bahkan lebih dari itu? Tentu lebih diharamkan lagi. 

Inilah di antara contoh-contoh dari sekian banyak contoh ‘urf ataupun kebiasaan yang bertentangan dengan syariat. Tentunya hal ini sudah semestinya kita hindari. 

Ringkasnya, pada pembahasan kali ini, ‘urf merupakan di antara dalil-dalil penopang dalil-dalil syar’i. Urf bisa diamalkan tentunya setelah terpenuhinya syarat-syarat di atas. Dipersilakan untuk mengamalkan kebiasaan yang ada di tengah masyarakat kita, tentunya dengan memperhatikan syarat-syarat yang telah disebutkan. 

Semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala ’alam.

***

Depok, 28 Ramadan 1445 H / 8 April 2024 

Penulis: Zia Abdurrofi

Artikel: Muslim.or.id

Referensi :

Diringkas dari pelajaran Syarah Al-Bidayah fi Ushul Fiqh oleh Syekh Dr. Ayman Musa hafidzahullah dengan sedikit tambahan.

Sumber: https://muslim.or.id/93086-urf-dan-adat-dalam-timbangan-syariat.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Jamaah Haji Indonesia Terima Uang Saku Rp 3.120.000 per Orang

Badan Pengelola keuangan Haji (BPKH) menggandeng Bank Rakyat Indonesia (BRI) telah menyiapkan uang saku (living cost) untuk calon jamaah haji dengan total sebesar SAR (Saudi Arabian Riyal) 159.990.000 atau sekitar Rp 665 miliar.

“Kami berharap hal ini dapat bermanfaat untuk jamaah demi kenyamanan dan keamanan serta kelancaran proses ibadah haji seluruh jamaah asal Indonesia,” ujar anggota Badan Pelaksana BPKH Sulistyowati dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (20/4/2024).

Sulistyowati mengatakan BPKH memiliki kewajiban melakukan pengelolaan dan penyediaan keuangan haji yang setara dengan kebutuhan dua kali biaya penyelenggaraan ibadah haji. Dalam komponen Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1445 H/2024 M, Pemerintah dan DPR telah menetapkan di dalamnya termasuk komponen living cost bagi calon jamaah haji.

BPKH diamanahkan untuk melakukan penyediaan banknotes SAR tersebut. Dalam keputusan antara pemerintah dan DPR telah disepakati living cost dikembalikan kepada jamaah calon haji, PHD (Petugas Haji Daerah), dan KBIHU (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah) dalam mata uang SAR.

“Biaya hidup tersebut akan didistribusikan kepada jamaah mengikuti jadwal yang ditetapkan Kemenag sebelum pemberangkatan kloter pertama tanggal 12 Mei 2024,” kata dia.

Ia menjelaskan nominal atau besaran living cost yang dikembalikan adalah sebesar SAR 750 atau Rp 3.120.000 untuk 213.320 peserta haji reguler. Sehingga total banknotes SAR yang perlu disediakan adalah SAR 159.990.000 atau Rp 665 miliar.

Living cost didistribusikan hanya untuk jamaah reguler di embarkasi dan embarkasi antara mengikuti jumlah jamaah yang ditetapkan Kemenag,” kata dia.

Direktur Pengelolaan Dana Haji dan Sistem Informasi Haji Terpadu Kemenag Ramadhan Harisman menyatakan kesiapan pemerintah memberangkatkan jamaah.

“Kebutuhan akan bank notes merupakan sebuah keniscayaan, living cost ini merupakan uang yang dibayar jamaah pada saat pelunasan kemudian di kembalikan saat di embarkasi. Tujuannya agar tercipta rasa aman dan nyaman karena mereka memegang uang tunai,” kata dia.

IHRAM