Baca Alquran dengan Sepenuh Hati

Hamba Allah SWT wajib membaca dengan sebenar-benarnya.

Dalam ajaran agama Islam, menuntut ilmu termasuk kewajiban untuk seluruh umat muslim. Salah satu penunjang untuk bisa mendapatkan ilmu adalah dengan membaca. Fungsi bagi seseorang yang membaca akan mendapatkan ilmu yang mungkin belum didapat sebelumnya. Terdapat tafsir ayat yang menjelaskan pentingnya membaca dengan tekun dan memahaminya sepenuh hati.

Sebagaimana yang tertulis di Alquran dalam surat Al Baqarah ayat 121, Allah SWT berfirman,

اَلَّذِيْنَ اٰتَيْنٰهُمُ الْكِتٰبَ يَتْلُوْنَهٗ حَقَّ تِلَاوَتِهٖۗ اُولٰۤىِٕكَ يُؤْمِنُوْنَ بِهٖ ۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ ࣖ

Arab Latin : Allażīna ātaināhumul-kitāba yatlūnahū ḥaqqa tilāwatih(ī), ulā’ika yu’minūna bih(ī), wa may yakfur bihī fa ulā’ika humul-khāsirūn(a).

Artinya : “Orang-orang yang telah Kami beri kitab suci, mereka membacanya sebagaimana mestinya, itulah orang-orang yang beriman padanya. Siapa yang ingkar padanya, merekalah orang-orang yang rugi.”

Menurut tafsir tahlili Kemenag, dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa di antara Ahli Kitab ada orang Yahudi yang mengikuti Taurat, orang Nasrani mengikuti Injil. Mereka benar-benar membaca kitab yang diturunkan kepada mereka dengan bacaan yang benar tidak diikuti oleh keinginan dan hawa nafsu mereka.

Mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya dengan memahaminya sepenuh hati, tidak mentakwilkan atau menafsirkannya menurut keinginan sendiri, tidak menambah, mengurangi atau mengubahnya.

Menurut Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas, membaca dengan bacaan yang sebenarnya ialah menghalalkan yang dihalalkanya, mengharamkan yang diharamkannya, membacanya seperti yang diturunkan Allah SWT, tidak mengubah-ubah atau memalingkan perkataan dari tempat yang semestinya dan tidak menakwilkan sesuatu dari kitab itu dengan takwil yang bukan semestinya.

Semua kitab (wahyu) Allah SWT yang diturunkan kepada hamba-hamba-Nya merupakan pelajaran bagi mereka yang bertujuan untuk mengarahkan dan memberi petunjuk ke jalan yang lurus. Karena itu, para hamba Allah SWT wajib membaca dengan sebenar-benarnya, berulang-ulang, dan berusaha memahami petunjuk Allah yang terdapat di dalamnya.

Ketika seseorang membaca Alquran dengan tidak memperhatikan maksud dan maknanya, menafsirkannya dengan sekehendak hati adalah sama dengan membaca Kitab oleh Yahudi dan Nasrani. Membaca kitab-kitab Allah SWT dengan bacaan yang sebenarnya wajib dilakukan oleh manusia. Membaca Kitab tidak dengan bacaan yang sebenarnya tidak mengamalkan apa yang dibaca, itu berarti memperolok-olokkan kitab-kitab Allah SWT dan menantang Allah SWT. 

IHRAM

Memperbaiki Hati dan Mengokohkan Iman dengan Al-Quran

Di antara cara dan metode untuk memperbaiki kondisi hati kita, juga untuk menambah, mempertebal, dan mengokohkan iman adalah dengan membaca Al-Quran dan merenungi makna ayat-ayatnya. Karena Al-Quran diturunkan oleh Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya sebagai rahmat, petunjuk, kabar gembira, serta pengingat bagi orang-orang yang mau mengingat Allah. Allah Ta’ala juga berfirman,

وَهَٰذَا كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ مُبَارَك فَٱتَّبِعُوهُ وَٱتَّقُواْ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ

“Dan Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (QS. Al-An’am: 155)

Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala juga berfirman,

وَلَقَدۡ جِئۡنَٰهُم بِكِتَٰب فَصَّلۡنَٰهُ عَلَىٰ عِلۡمٍ هُدى وَرَحۡمَة لِّقَوۡم يُؤۡمِنُونَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al-Quran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A’raf: 52)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنا لِّكُلِّ شَيۡء وَهُدى وَرَحۡمَة وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِينَ

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang mau berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89)

Allah Ta’ala pun berfirman,

إِنَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ يَهۡدِي لِلَّتِي هِيَ أَقۡوَمُ وَيُبَشِّرُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمۡ أَجۡرا كَبِيرا

“Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Al-Isra’: 9)

Al-Quran diturunkan dengan penuh keberkahan. Allah Ta’ala juga berfirman,

كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَك لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai fikiran bisa mendapatkan pelajaran.” (QS. Sad: 29)

Al-Quran diturunkan sebagai obat (penawar), baik untuk penyakit badan dan juga penyakit hati. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآء وَرَحۡمَة لِّلۡمُؤۡمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارا

“Dan Kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Isra’: 82)

Demikian pula, Al-Quran diturunkan sebagai peringatan bagi orang-orang yang mau merenunginya. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكۡرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلۡبٌ أَوۡ أَلۡقَى ٱلسَّمۡعَ وَهُوَ شَهِيد

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaf: 37)

Pada ayat-ayat Al-Quran tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan keutamaan yang dimiliki oleh Al-Quranul Karim. Allah Ta’ala telah menjadikan Al-Quran penuh berkah dan petunjuk bagi semesta alam. Allah Ta’ala menjadikan di dalam Al-Quran penyembuh atas berbagai penyakit, lebih-lebih penyakit syubhat dan syahwat yang terdapat di dalam hati. Allah Ta’ala pun menjadikan Al-Quran sebagai kabar gembira dan kasih sayang bagi semesta alam, juga menjadi pengingat bagi orang-orang yang mau ingat dan menjadikan di dalamnya terdapat ayat-ayat peringatan. Semua itu agar manusia mau bertakwa dan bisa menjadi pengingat bagi mereka.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila orang yang menekuni Al-Quran adalah di antara wali (kekasih) Allah. Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنْ النَّاسِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ

“Sesungguhnya Allah mempunyai banyak ahli (wali) dari kalangan manusia.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah mereka itu?” Beliau menjawab, “Mereka adalah ahlul Quran, mereka adalah para ahli dan orang khusus Allah.” (HR. Ahmad no. 12293, An-Nasa’i dalam Al-Kabir no. 7977, dan Ibnu Majah no. 215, dinilai sahih oleh Al-Albani)

Demikian pula, hamba Allah yang terbaik adalah mereka yang senantiasa tekun belajar Al-Quran dan kemudian mengajarkan Al-Quran. Dari sahabat Utsman radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

“Orang yang paling baik di antara kalian adalah seorang yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 5027)

Sampai-sampai, kita boleh hasad kepada orang yang telah diberi nikmat berupa ilmu tentang Al-Quran. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ فَقَالَ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِي الْحَقِّ فَقَالَ رَجُلٌ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ

“Tidak diperbolehkan hasad kecuali pada dua perkara, yaitu kepada seseorang yang telah diajari Al-Quran oleh Allah, sehingga ia membacanya di pertengahan malam dan siang. Sampai tetangga yang mendengarnya berkata, ‘Duh.., sekiranya aku diberikan sebagaimana apa yang diberikan kepada si Fulan, niscaya aku akan melakukan apa yang dia lakukan.’ Kemudian seseorang diberi karunia harta oleh Allah, sehingga ia dapat membelanjakannya pada kebenaran. Lalu orang pun berkata, ‘Seandainya aku diberi karunia sebagaimana si Fulan, niscaya aku akan melakukan sebagaimana yang dilakukannya.’” (HR. Bukhari no. 5026)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah membuat perumpamaan bagi seorang mukmin yang gemar membaca Al-Quran. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam umpamakan seperti buah utrujah (semacam buah apel), buah yang baunya harum dan ketika dimakan, rasanya pun enak. Dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْأُتْرُجَّةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ لَا رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ لَيْسَ لَهَا رِيحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ

“Perumpamaan seorang mukmin yang suka membaca Al-Quran seperti buah utrujah, baunya harum dan rasanya enak. Perumpamaan seorang mukmin yang tidak suka membaca Al-Quran seperti buah kurma, tidak berbau harum, namun rasanya manis. Perumpamaan seorang munafik yang suka membaca Al-Quran seperti buah raihanah, baunya harum tapi rasanya pahit. Dan perumpamaan seorang munafik yang tidak suka membaca Al-Quran seperti buah hanzhalah, baunya tidak enak dan rasanya pahit.” (HR. Bukhari no. 5427 dan Muslim no. 797)

Ketika kita membaca Al-Quran, kita akan dapati bahwa di dalamnya terdapat berbagai ilmu dan pengetahuan yang bisa memperbaiki dan mengobati hatinya; serta bisa menguatkan serta mengokohkan imannya. Seseorang akan mengetahui bahwa isinya adalah tentang Allah Ta’ala, kesempurnaan nama dan sifat Allah Ta’ala. Dengan membaca Al-Quran dan merenungi maknanya, seseorang akan semakin mengenal Allah Ta’ala. Seseorang mengenal Allah sebagai pemilik langit dan bumi, yang memberikan rizki untuk hamba-hamba-Nya, dan yang mengatur semua urusan di alam semesta. Allah pun mengingatkan hamba-hamba-Nya atas kebutuhan mereka terhadap-Nya, dan besarnya hajat mereka kepada-Nya dari segala sisi.

Di dalam Al-Quran, Allah menyebutkan hal-hal yang bisa membahagiakan mereka dan mengantarkan mereka kepada keberuntungan, berupa ibadah, ketaatan, dan amal saleh. Allah memotivasi mereka atas hal tersebut. Sebaliknya, Allah Ta’ala pun peringatkan mereka atas apa yang bisa mencelakakan mereka, berupa perbuatan dosa, maksiat, dan keburukan. Allah peringatkan mereka dari kemurkaan-Nya.

Allah ingatkan mereka tentang apa yang telah disiapkannya berupa kemuliaan bagi mereka jika menaati-Nya, apa yang telah disiapkannya berupa hukuman bagi mereka jika mereka tidak menaati dan mendurhakai-Nya. Allah Ta’ala memuji para kekasih-Nya dengan sebab amal saleh dan sifat mereka yang mulia, lalu mencela musuh-musuh-Nya dengan sebab keburukan amal dan jeleknya sifat-sifat mereka. Allah Ta’ala juga mengabarkan bagaimana Allah telah membalas para kekasih-Nya berupa kebaikan dan pahala; dan apa yang telah Allah Ta’ala balas kepada musuh-musuh-Nya berupa azab dan hukuman. Allah Ta’ala pun kabarkan tentang kesudahan kedua kelompok tersebut. Allah mengajak kepada negeri keselamatan (surga), menyebutkan sifat-sifat, keindahan, serta kenikmatannya. Juga memberi peringatan tentang negeri kebinasaan (neraka), mengingatkan adzab serta kepedihan di dalamnya.

Allah telah mengabarkan bahwa Al-Quran bisa menambahkan keimanan bagi orang-orang yang beriman jika mereka membaca dan mentadaburi ayat-ayatnya. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُهُمۡ وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka. Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya). Dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal.” (QS. Al-Anfal: 2)

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk ke dalam golongan ahlul Qur’an.

***

“Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.”

@BA, 11 Dzulqa’dah 1445/ 20 Mei 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/95175-memperbaiki-hati-dan-mengokohkan-iman-dengan-al-quran.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

5 Perkara Ini Dilarang di Masjidil Haram, Tapi Banyak Dilanggar Jamaah Haji Indonesia

Arab Saudi berlakukan aturan ketat di  Masjidil Haram

Oleh Muhyiddin Yamin, jurnalis Republika.co.id, langsung dari Makkah, Arab Saudi

Sejak Senin (20/5/2024) kemarin, ribuan calon jamaah haji Indonesia sudah tiba di Makkah Al Mukarramah untuk melaksanakan ibafah umrah wajib di Masjidil Haram. Saat berada di masjid ini, jamaah haji pun tidak boleh berbuat sesukanya, karena pemerintah Arab Saudi menerapkan aturan cukup ketat. 

Bisa aja jamaah haji Indonesia menganggap apa yang dilakukan di Masjidil Haram lumrah dilakukan di masjid-masjid Indonesia. Namun, pada kenyataannya hal itu sangat dilarang untuk dilakukan di

 Masjidil Haram.

Berikut lima hal yang lumrah dilakukan jamaah haji tapi tidak boleh dilakukan ketika berada di Masjidik Haram:

1. Membentangkan spanduk atau bendera

Saat berada di Indonesia, mungkin jamaah haji Indonesia lumrah membetangkan spanduk atau bendera ketika berada di kawasan masjid. Namun, ketika berada di kawasan

 Masjidil Haram, Anda jangan coba-coba. Karena, askar atau polisi yang bertugas di Masjidil Haram akan segera mengambil tindakan tegas. 

2. Mengambil barang temuan

Ketika menemukan barang, orang Indonesia biasanya tergerak mengambilnya untuk kemudian mengembalikan ke pemiliknya. Namun, tindakan ini dilarang dilakukan di Masjidil Haram.Karena, otoritas Arab Saudi bisa menganggapnya sebagai tindakan pencurian. 

Karena itu, jika menemukan barang berharga yang tercecer atau tergeletak, jamaah sebaiknya segera menghubungi pihak berwenang. 

3. Berkerumun dalam waktu lama

Berkumpul atau berkerumun merupakan hal yang lumrah dilakukan orang-orang Indonesia ketika berada di kawasan masjid Indonesia. Namun, jika Anda berkerumun di kawasan

 Masjidil Haram, Anda akan segera dibubarkan oleh askar. 

Pada Rabu (21/5/2024) dini hari, Republika.co.id sempat melakukan mapping ke kawasan

 Masjidil Haram. Dan benar adanya, ketika ada rombongan jamaah yang berhenti dalam waktu yang lama, pihak askar langsung menyuruh mereka melanjutkan perjalannya. Karena, hal itu dapat menganggu jamaah lainnya yang akan lewat.

4. Merekam video terlalu lama

Merekam video di dalam masjid mungkin lumrah dilakukan di Indonesia untuk kemudian diunggah ke media sosial. Namun, jika hal itu dilakukan di kawasan Masjdil Haram, akan beda ceritanya. Jika jamaah merekam video di masjid ini terlalu lama dan tidak bergerak, maka askar akan datang untuk mengamankannya. 

Karena itu, ketika ingin mengambil video di

 Masjidil Haram, jamaah hendaknya terus berjalan, serta tidak membawa peralatan lengkap, seperti tripod, lampu, mikropon khusus, kabel audio-video, dan lain sebagainya. 

5. Merokok

Untuk yang satu ini, calon jamaah haji Indonesia juga tidak boleh melakukannya di kawasan

 Masjidil Haram. Karena, jika hal ini dilakukan, jamaah haji Indonesia bisa mendapatkan hukuman yang cukup berat, yakni dikenakan denda 200 riyal oleh pihak berwenang atau sekitar Rp 800 ribu. 

“Jamaah dilarang merokok di kawasan masjid dan tempat tertentu yang ditetapkan otoritas setempat, karena merokok di area terlarang bisa menjadi masalah serius bagi jamaah, di antaranya akan dikenakan denda yang cukup besar oleh pihak berwenang,” ujar anggota Tim Media Center Kemenag, Widi Dwinanda. 

IHRAM

Kerasukan Roh Orang Meninggal, Bisakah?

Film horor berjudul “VINA sebelum 7 Hari” yang sedang tren menggambarkan konsep arwah korban penasaran, benarkah roh orang meninggal merasuki orang hidup?

Hidayatullah.com | HARI-HARI ini sedang populer di jagad maya film berjudul “VINA sebelum 7 Hari” yang di dalamnya di antaranya menggambarkan konsep arwah penasaran, di mana arwah Vina merasuki tubuh sahabatnya, Linda, untuk mengungkap kebenaran di balik kematiannya.

Konsep seperti ini sering ditemui dalam berbagai karya fiksi dan budaya populer, termasuk film dan literatur horor.

Lalu, bagaimana dalam tinjauan Islam terkait konsep arwah penasaran? Dalam kepercayaan Islam, roh atau arwah orang yang telah meninggal dunia akan berada pada suatu tempat sesuai dengan derajat dan amal orang tersebut.

Misalnya, arwah para Nabi bertempat di surga dengan menikmati segala kenikmatannya, sementara arwah orang kafir yang mengingkari Tuhannya berada pada perut burung berwarna hitam di tempat bernama Sijjin yang berada di lapisan bumi ketujuh dengan mengalami siksaan yang pedih.

Terkait hal ini, Ibnu Qayyim dalam Kitab “Ar-Ruh” menjelaskan:

الأَرْوَاحُ مُتَفَاوِتَةٌ فِي مُسْتَقَرِّهَا فِي الْبَرْزَخِ أَعْظَمُ تَفَاوُتٍ فَمِنْهَا أَرْوَاحٌ فِي أَعْلَى عِلِّيِّينَ فِي الْمَلَإِ الأَعْلَى وَهِيَ أَرْوَاحُ الأَنْبِيَاءِ صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِمْ وَهُمْ مُتَفَاوِتُونَ فِي مَنَازِلِهِمْ كَمَا رَآهُمُ النَّبِيُّ لَيْلَةَ الإِسْرَاءِ.

“Arwah itu berbeda-beda dalam tempat tinggalnya di alam barzakh, perbedaan yang paling besar. Di antaranya ada arwah yang berada di tempat tertinggi di surga, yaitu arwah para nabi, semoga Allah memberikan salawat dan salam kepada mereka. Mereka berbeda-beda dalam tingkatannya, sebagaimana yang dilihat oleh Nabi pada malam Isra.”

Demikian juga “Syarh ath-Thahaway fi al-‘Aqidag as-Salafiyyah” Ibnu Abil Izzi menandaskan: “Arwah di alam barzakh sangat berbeda-beda. Di antaranya ada arwah yang berada di tempat tertinggi di surga, yaitu arwah para nabi, semoga Allah memberikan salawat dan salam kepada mereka. Mereka berbeda-beda dalam tingkatannya.”

Sedangkan arwah para syuhada, dijelaskan dalam hadits nabi:

إِنَّ أَرْوَاحَ الشُّهَدَاءِ فِي طَيْرٍ خُضْرٍ تَعْلُقُ مِنْ ثَمَرِ الجَنَّةِ أَوْ شَجَرِ الجَنَّةِ

“Sesungguhnya ruh para syuhada berada bersama burung-burung hijau yang menempel pada buah-buahan surga.” atau beliau mengatakan: “Pepohonan surga.”  (HR. Tirmidzi)

Lebih rinci misalnya keterangan arwah menurut kitab “I’ānah ath-Thālibīn” (1997: II, 123) karya Abu Bakar ad-Dimyathi  yang menggambarkan bahwa arwah dibagi menjadi lima kategori;

Pertama, arwah Para Nabi: Arwah ini meninggalkan tubuh mereka dan berubah menjadi seperti wujud mereka, mirip dengan aroma musk dan kafoor. Mereka berada di surga, makan, menikmati, dan beristirahat di malam hari di bawah singgasana yang digantungkan lampu.

Kedua, arwah para syuhada: Ketika arwah ini meninggalkan tubuh mereka, Allah menjadikannya berada di dalam tubuh burung hijau yang berputar di sungai-sungai surga. Mereka makan dari buah-buahan surga, minum dari airnya, dan beristirahat di bawah singgasana dengan lampu emas yang digantung. Ini adalah perkataan Rasulullah ﷺ – semoga Allah memberkati dan memberi kesejahteraan kepadanya.

Ketiga, arwah orang-orang taat dari kaum Mukminin: Arwah ini berada di taman-taman surga. Mereka tidak makan atau menikmati apa pun, tetapi hanya melihat surga.

Keempat, arwah orang-orang berdosa dari kaum Mukminin: Arwah ini berada di antara langit dan bumi, di udara.

Kelima, arwah orang-orang kafir: Arwah ini berada di dalam tubuh burung hitam di penjara, dan penjara itu berada di bawah tanah ketujuh. Mereka tetap terhubung dengan tubuh mereka, sehingga ketika arwah mereka disiksa, tubuh mereka merasakan rasa sakit tersebut.  Ini menunjukkan arwah sudah memiliki tempatnya dan kedudukannya masing-masing.

Hanya saja, masih banyak yang beranggapan bahwa jika orang mati tidak wajar, seperti karena gantung diri, dianiaya, atau tabrakan, maka arwahnya akan gentayangan selama 40 hari.

Bahkan, ada yang meminta sesuatu agar arwahnya bisa tenang, dan jika tidak dipenuhi, dia mengancam akan muncul lagi dan mengganggu keluarganya.

Anggapan seperti ini, ditinjau dari pandangan Islam, jauh dari kebenaran. Sebab, berdasarkan hadits Nabi Muhammad ﷺ, fenomena arwah orang mati gentayangan tidak terjadi.

Di dalam hadits Muslim misalnya nabi bersabda:

لَا عَدْوَى وَلَا هَامَةَ وَلَا نَوْءَ وَلَا صَفَرَ

“Tidak ada penyakit yang menular secara sendirian tanpa izin Allah, tidak ada mayat yang bergentayangan, tidak ada bintang tertentu (penyebab turunnya hujan) dan tidak ada kematian di karenakan penyakit cacing perut.”

Dalam keterangan Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, di antara makna “Haamah” adalah:

رُوحُهُ تَنْقَلِبُ هَامَةً تَطِيرُ

“(Mayat) yang ruhnya terbang gentayangan.” Kepercayaan seperti ini tidak dibenarkan dalam ajaran Islam.

Masih dalam riwayat Muslim yang lain juga dikatakan, “Tidak ada penyakit yang menular secara sendirian tanpa izin Allah, tidak ada hantu bergentayangan dan tidak ada shafar (penyakit perut) yang terjadi dengan sendirinya.” Maka, pandangan yang mengatakan adanya arwah atau hantu gentayangan, perlu diluruskan.

Hal ini juga sesuai dengan ayat dalam Al-Quran yang menyatakan bahwa Allah memegang jiwa orang ketika matinya dan memegang jiwa orang yang belum mati di waktu tidurnya:

اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا ۖ فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَىٰ عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَىٰ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.” (QS. Az-Zumar [39]: 42)

Oleh karena itu, sangat mustahil arwah orang mati yang berada dalam genggaman Allah dan menjalani ketentuannya masing-masing akan gentayangan dalam wujud arwah atau hantu sebagaimana kepercayaan sebagian orang.

Tipuan Jin Qorin

Dari keterangan tempat arwah setelah berpisah dari jasad dan dalil nash yang berkaitan dengannya, klaim yang paling logis perihal fenomena di atas adalah bahwa hantu atau arwah gentayangan ini merupakan penjelmaan jin, khususnya Jin Qorin.

Jin Qorin adalah jin yang selalu dekat menyertai orang sejak lahir hingga kematian. Qorin inilah yang paham betul dengan tipikal, kebiasaan, dan kepribadian orang yang disertainya sehingga tidak aneh jika Qorin sanggup menjawab hal-hal yang bersifat intim dan privasi serta bisa meniru gaya, perilaku, bahkan menyamar menjadi orang yang disertainya ketika hidup.

Dalam suatu riwayat diterangkan:

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ، إِلَّا وَقَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِينُهُ مِنَ الْجِنِّ» قَالُوا: وَإِيَّاكَ؟ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: «وَإِيَّايَ، إِلَّا أَنَّ اللهَ أَعَانَنِي عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ، فَلَا يَأْمُرُنِي إِلَّا بِخَيْرٍ

“Tidaklah seorang pun dari kalian melainkan dikuasai pendamping dari kalangan jin.” Mereka bertanya: “Engkau juga wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Aku juga, hanya saja Allah membantuku mengalahkannya lalu ia masuk Islam, ia hanya memerintahkan kebaikan padaku.” (HR. Muslim)

Demikian juga dalam riwayat lain: Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada seorang pun dari kalian kecuali ia ditemani oleh qarin (pendamping) dari bangsa jin dan qarin dari bangsa malaikat.” Mereka bertanya; Juga denganmu? Beliau menjawab: “Ya, begitu juga denganku, tapi Allah membantuku untuk mengalahkannya, sehingga ia masuk Islam.” (HR. Darimi)

Hadits lain yang juga menyiratkan kemungkinan yang menjelma menjadi arwah gentayangan adalah Jin Qarin adalah hadits Rasulullah ﷺ berikut:

الْجِنُّ عَلَى ثَلَاثَةِ أَصْنَافٍ: صِنْفٌ كِلَابٌ وَحَيَّاتٌ، وَصِنْفٌ يَطِيرُونَ فِي الْهَوَاءِ، وَصِنْفٌ يَحُلُّونَ وَيَظْعَنُونَ

“Jin itu ada tiga wujud: yang satu wujud seperti anjing dan ular, yang satu wujud terbang di udara, dan yang satu wujud datang dan pergi.” (HR. Ibnu Hibban).

Dalam riwayat Thabrani disebutkan: “Jin ada tiga kelompok, ada yang mempunyai sayap dan bisa terbang, ada yang menyerupai ular, dan ada yang bisa berjalan dan bergerak (seperti manusia).”

Jadi, di antara jin itu ada yang datang dan pergi laiknya manusia berjalan sehingga dimungkinkan kuat merekalah yang punya kemampuan untuk menyerupai si mayit menjadi arwah gentayangan.

Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa fenomena hantu atau arwah gentayangan lebih berkaitan dengan tipuan dan penjelmaan Jin Qarin daripada arwah orang yang telah meninggal dunia. Ini adalah sebuah pemahaman yang penting untuk mengetahui dan memahami dunia gaib dalam perspektif Islam.*/ Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH

Menjawab Pertanyaan Anak; Mengapa Tuhan Menciptakan Kulit Hitam?

Pertanyaan anak tentang “mengapa Tuhan menciptakan kulit hitam?” adalah hal yang wajar terjadi, terutama di masa kanak-kanak saat mereka mulai memahami perbedaan fisik dan mencaritahu makna di baliknya. Orang tua perlu menanggapi pertanyaan ini dengan bijak dan penuh kasih sayang, agar anak tidak terpapar prasangka atau stereotip negatif.

Tuhan menciptakan manusia dengan berbagai warna kulit, seperti halnya Dia menciptakan bunga dengan berbagai warna. Sama seperti bunga yang indah dengan warna-warnanya yang berbeda, manusia pun indah dengan warna kulitnya yang beragam. Warna kulit yang hitam itu indah dan istimewa, seperti bunga mawar yang berwarna merah atau bunga melati yang berwarna putih.

Sudah mafhum, bahwa salah satu kemerosotan akhlak dan moral umat Islam dapat dilihat dari sikap umat Islam yang tidak lagi saling menghargai dan menghormati sesama. Berbagai aksi yang terjadi, yang pada prinsipnya aksi tersebut sangat bertentangan dengan norma-norma kehidupan beragama yang telah diatur oleh Allah Swt.

Tuhan menciptakan ciptaan dengan keberagaman dan perbedaan untuk menunjukkan kebesaran dan kekuasaan-Nya. Tuhan Yang Maha Kuasa telah menegaskan bahwa tolok ukur pembeda manusia adalah ketakwaan dan amal shaleh, bukan citra dan penampilan manusia. Bukankah dalam al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13 sudah jelas, Allah Swt. berfirman:

يٰۤاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوْا ۗ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰٮكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).

Tuhan Yang Maha Kuasa tidak akan meminta pertanggungjawaban Anda atas sesuatu yang Anda tidak punya pilihan, seperti warna kulit Anda (sebab sudah ketentuan Tuhan). Warna hitam bukanlah suatu cacat, bukan pula hal yang buruk, dan bukan pula bahan cemoohan. Berapa banyak orang-orang kulit hitam yang telah memberi manfaat bagi dunia dengan pengetahuan dan usahanya?

Dalam hal ini, seseorang dibedakan berdasarkan kinerja, pemikiran, dan usahanya, bukan berdasarkan warna kulit atau garis keturunannya. Antarah bin Shaddad (seorang ksatria dan penyair yang cukup masyhur pada zaman jahilliyah) berkulit hitam. Suatu waktu Antarah pernah dicaci maki karena warna kulitnya yang hitam. Ia kemudian bersyair:

لَئِن أَكُ أَسوَداً فَالمِسكُ لَوني # وَما لِسَوادِ جِلدي مِن دَواءِ

وَلَكِن تَبعُدُ الفَحشاءُ عَنّي # كَبُعدِ الأَرضِ عَن جَوِّ السَماءِ

Artinya: “Jika Anda berkulit hitam, maka musk adalah warna saya. Tidak ada obat untuk kulit saya yang hitam, tetapi jauhkanlah perbuatan amoral dariku sejauh bumi dari atmosfer langit.”

Antarah tidak sedih atau patah hati karena ada yang menghina warna kulitnya yang hitam. Di sini kami, kata Antarah, hanya memperingatkan setiap orang yang mengolok-olok siapapun. Karena, dengan berbuat demikian ia melanggar perintah Tuhan Yang Maha Esa dan berhak untuk mendapatkan dosa. Allah Swt. berfirman:

يٰۤاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰۤى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ مِّنْ نِّسَآءٍ عَسٰۤى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۚ وَلَا تَلْمِزُوْۤا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِ ۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِ ۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰٓئِكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok).

Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujurat [49]: 11).

Sama sekali tidak boleh (haram) menghina atau melecehkan (bullying) orang lain karena kemiskinannya, keturunan agama tertentu seperti Yahudi, atau karena keluarganya memiliki cela. Merusak kehormatan orang lain, memiliki perasaan sombong lebih baik dari orang lain, jelas tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Nabi Saw. bersabda: 

يا رسول الله ، أنا من أهل البادية ، وفي جفاؤهم ، فأوصني . فقال : ” لا تحقرن من المعروف شيئا ، ولو أن تلقى أخاك ووجهك منبسط ، ولو أن تفرغ من دلوك في إناء المستقي ، وإن امرؤ شتمك بما يعلم فيك فلا تشتمه بما تعلم فيه ، فإنه يكون لك أجره وعليه وزره . وإياك وإسبال الإزار ، فإن إسبال الإزار من المخيلة ، وإن الله لا يحب المخيلة ، ولا تسبن أحدا ” . قال : فما سببت بعده أحدا ، ولا شاة ولا بعيرا

Artinya: “Wahai Rasulullah Saw. Aku berasal dari pedesaan, beri aku wasiat.” Beliau bersabda: “Jangan meremehkan kebaikan sedikitpun walaupun dengan tersenyum di wajah saudaramu, walaupun dengan menuangkan air ke bejana orang yang meminta air. Jika ada yang mencacimu dengan aib yang ia ketahui ada pada dirimu, janganlah membalas mencacinya dengan aib yang kamu tahu ada pada dirinya, karena pahalanya untukmu dan dosanya untuk dia.

Jangan memakai kain melebihi mata kaki karena itu termasuk kesombongan dan Allah tidak menyukai kesombongan, dan jangan memaki siapapun.” Jabir berkata, “Semenjak itu aku tidak pernah memaki siapapun walaupun kepada kambing dan unta.” (HR Abu Dawud dan An-Nasai).

Anakku, lanjut sang ibu, bersabarlah dan mintalah pertolongan sama Allah Swt. terus-menerus untuk melepaskan diri dari dampak perilaku buruk orang lain. Jangan biarkan setan dengan cara apapun mendatangkan kesedihan dan kesakitan pada kamu. Jangan terfodengan bisikan setan.

Wahai anakku! Ingatkanlah mereka-mereka yang mencaci-maki itu dengan ayat-ayat Allah Swt. Siapa tahu dengan cara itu mereka sadar bahwa kulit hitam juga ciptaan Allah Swt., dan dilarang untuk memakinya, apalagi sampai meneteskan darahnya.

Dalam al-Qur’an Allah Swt. berfirman:

وَلَا تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَ لَا السَّيِّئَةُ ۗ اِدْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ فَاِذَا الَّذِيْ بَيْنَكَ وَبَيْنَهٗ عَدَاوَةٌ كَاَنَّهٗ وَلِيٌّ حَمِيْمٌ. وَمَا يُلَقّٰٮهَاۤ اِلَّا الَّذِيْنَ صَبَرُوْا ۚ وَمَا يُلَقّٰٮهَاۤ اِلَّا ذُوْ حَظٍّ عَظِيْمٍ

Artinya: “Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia. Dan (sifat-sifat yang baik itu) tidak akan dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS. Fussilat [41]: 34-35).

Sebagai penutup, nilai pendidikan tertinggi adalah menjunjung tinggi kehormatan kaum Muslimin, yaitu mendidik manusia untuk selalu menghargai dan menjaga kehormatan sesama mereka. Tentunya dengan cara tidak mengolok-olok, mengejek, apalagi sampai memanggil orang lain dengan panggilan yang buruk.

Selain itu, Tuhan juga menciptakan kulit hitam untuk membantu manusia beradaptasi dengan lingkungannya. Di negara-negara yang panas dan banyak sinar matahari, orang dengan kulit hitam memiliki melanin lebih banyak, yang membantu melindungi kulit mereka dari kerusakan akibat sinar matahari. Ini adalah contoh bagaimana Tuhan dengan bijaksana merancang manusia agar dapat hidup dengan baik di berbagai tempat di dunia.

Jika pendidikan seperti ini ditanamkan kepada anak-anak kecil, maka besar kelak selain akan terwujud kehidupan masyarakat yang harmonis dan penuh dengan kedamaian, juga akan terwujud pemuda-pemudi yang berakhlak karimah.

Demikian keterangan dan jawaban atas pertanyaan anak tentang mengapa Tuhan menciptakan kulit hitam. Penting untuk diingat bahwa setiap anak itu berbeda. Beberapa anak mungkin membutuhkan lebih banyak penjelasan daripada yang lain. Bersabarlah dan dengarkan dengan penuh perhatian saat anak mengajukan pertanyaan.

Yang terpenting adalah menciptakan ruang yang aman bagi anak Anda untuk menjelajahi rasa ingin tahu mereka dan belajar tentang dunia di sekitar mereka.Wallahu a’lam bisshawaab.

BINCANG SYARIAH

4 Ulama yang Belum Pernah Haji

Meskipun haji merupakan salah satu rukun  Islam dan menjadi kemuliaan bagi umat Muslim yang mampu melaksanakannya, dalam sejarah, terdapat beberapa ulama besar yang justru tidak pernah naik haji seumur hidup mereka. Hal ini dikarenakan berbagai faktor.

Haji itu rukun Islam. Haji itu kemuliaan. Haji itu sejarah agung umat Islam. Betul semua. Semua itu tak terbantahkan. Tapi kita harus akui juga, haji itu bukan segala-galanya. Dari sisi mana kita menilai haji bukan segala-galanya?

Salah satunya dari sisi bahwa banyak ulama, tokoh penting dalam sejarah Islam, tidak sempat, atau tidak ditakdirkan naik haji. Siapa ulama yang belum pernah haji?

Pertama, Imam Syirazi. Beliau bernama lengkap Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Ali al-Syirazi dan lahir di Kota Fairuzabad pada awal abad 10 Masehi. Beliau adalah pengarang al-Muhadzdzab, sebuah matan ensiklopedik tentang fikih Mazhab Syafi’i.

Kenapa Imam Syirazzi tidak haji? Kekurangan materi menjadi penyebab beliau tidak mampu pergi berhaji.Dalam Siyar A’lam al-Nubala’, al-Dzahabi menceritakan bahwa makanan sehari-hari beliau adalah bubur tsarid yang dicampur dengan kuah sayuran. Namun beliau tetap sabar menerima keadaannya.

Meski tidak pernah pergi berhaji, dalam kitab fikihnya terutama al-Muhadzdzab beliau sanggup menjelaskan detil-detil ibadah haji, bahkan hingga tata letak Kakbah dan tempat-tempat sekitarnya beliau mampu menjelaskannya. Di kalangan pesantren (namun penulis tidak pernah menemukan referensinya) jamak dikisahkan bahwa beliau pergi berhaji secara kasyaf.

Kedua, tokoh selanjutnya adalah ‘Ali bin Ahmad Ibnu Hazm. Seorang penghafal puluhan ribu hadis dari Andalus. Beliau lahir di Kordoba pada November 994 Masehi dari ayah seorang pejabat ternama di Dinasti Umayyah kedua yang berkuasa di Andalus.

Beliau dikenal karena ketajaman pikiran beliau, keteguhan dalam mempertahankan pandangan, serta pelestari mazhab Zhahiriyyah yang saat itu hampir punah di Timur Tengah. Al-Muhalla Bil Atsar adalah masterpiece beliau dalam menuangkan pandangan-pandangan beliau.

Abu Zahrah ketika menjelaskan biografi Ibnu Hazm mengatakan bahwa meski beliau terlahir dari keluarga berkecukupan pada awalnya, namun ketika ayah beliau meninggal beliau tinggal di sebuah perkebunan dan membuat gubuk sederhana untuk mengajar murid-murid beliau. Hal ini dikarenakan sebuah konflik yang menimpa beliau. Hal ini juga tak terlepas dari pribadi beliau yang teguh dalam memegang pendapat—namun diiringi pula oleh keilmuan yang mumpuni.

Kondisi geografis yang jauh membuat beliau tidak mampu pergi berhaji. Maklum saja, jika kita melihat catatan harian Ibn Jubair dari Granada dalam Rihlat ibnu Jubair membutuhkan waktu tujuh bulan perjalanan menunaikan ibadah haji.

Tidak sedikit pula para ulama yang berkata bahwa orang Maghrib (nama bagi daerah Islam yang paling barat mencakup Maroko, Spanyol, Portugal, dan lain-lain) sudah tidak berwajib melaksanakan haji di masa itu. Meskipun fatwa ini berlebihan, namun kondisi yang ada memang tidak memungkinkan untuk melaksanakan haji.

Menariknya, dalam Zadul Ma’ad, Ibnu Jauzi menukil bahwa Ibnu Hazm pernah berkata bahwa Sa’i antara Shafa dan Marwah dilakukan sebanyak empat belas kali. Hal ini bisa dimaklumi karena Ibnu Hazm belum pernah berhaji.

Meskipun demikian, nukilan Ibnu Jauzi ini tidak penulis temukan di al-Muhalla, karya fikih Ibnu Hazm yang terbesar. Dalam forum-forum internet ramai dibincangkan bahwa Abu Turab al-Zhahiri (seorang alim dari India, peneliti Ibnu Hazm, dan pengajar di Al-Azhar) yang meninggal pada tahun 2002, pernah melakukan badal haji untuk Ibnu Hazm.

Ketiga, lama berikutnya adalah Qadhi ‘Iyadh, seorang hakim agung dari tanah Maroko yang meninggal tragis (anggota tubuhnya dipotong-potong) karena dituduh Yahudi hanya karena beliau tidak pernah keluar ketika hari Sabtu. Padahal beliau mengkhususkan hari itu untuk mengarang kitab. Versi lain mengatakan bahwa beliau dibunuh karena tidak mau mengakui Ibnu Tumart sebagai Imam Mahdi, versi ini lebih masyhur.

Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar al-Asqalani mencatat bahwa Qadhi ‘Iyadh mengatakan tawaf wada’ harus dilakukan dua kali karena dalam beberapa riwayat dikatakan bahwa setelah tawaf wada’ Nabi saw pergi ke Abthah yang ada di utara Makkah dan beliau mengulangi tawafnya ketika beliau hendak pulang ke Madinah.

Mengomentari ini Ibnu Hajar berkata, “Hal ini bisa dimaklumi karena Qadhi ‘Iyadh belum pernah menyaksikan Makkah secara langsung.”

Keempat, Ibnu Sidah seorang ahli bahasa dan penghafal hadis dari Andalus pernah mengatakan bahwa lempar jumrah dilakukan di ‘Arafah. Kenapa? Karena belum haji.

Demikianlah, banyak tokoh-tokoh lain yang belum sempat melaksanakan haji karena beberapa uzur seperti Sultan Salahuddin al-Ayyubi (baca: Siyar A’lam Nubala’), Imam al-Baghawi, atau pun raja-raja Kesultanan Utsmani di dekade-dekade akhir yang dikatakan tidak sempat menunaikan ibadah haji. Semoga kelumit ini membuat kita yang mampu dan tidak punya uzur untuk segera menunaikan ibadah haji.

Tulisan ini dipublikasikan sebelumnya di Alif.id

BINCANG SYARIAH

Sejarah Perintah Haji (1)

Sudah mafhum bahwa, ibadah haji merupakan bentuk rukun Islam yang ke lima. Ibadah haji adalah perjalanan mendatangi Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan serangkaian ibadah pada bulan Dzulhijjah, dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan. Nah berikut tentang sejarah perintah haji. 

Kewajiban dalam melaksanakan ibadah haji, disandarkan kepada kaum muslimin yang mampu. Dalam hal ini, melaksanakan ibadah haji wajib hukumnya bagi umat Islam yang mampu dan minimal seumur hidup sekali. Allah Swt. berfirman:

فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ

Artinya: “Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barang siapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (QS. Ali Imran [3]: 97).

Yang jelas, kata mampu di sini mempunyai arti yang cukup luas, yaitu mampu secara jasmani maupun secara rohani. Selain itu, mampu di sini juga berarti mampu secara finansial yakni bermakna memiliki dana yang cukup untuk menjalankan ibadah haji.

Kesuksesan dalam ibadah haji bukan hanya didasarkan pada unsur ritualnya itu sendiri, melainkan melibatkan unsur-unsur di luar aspek ritual (agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik), sehingga pulang membawa predikat haji yang mabrur.

Oleh sebab itu, ibadah haji juga disebut sebagai ibadah yang unique (unik). Dalam hal ini, pelaksanaan ibadah haji tidak semata-mata didasarkan pada unsur ritualnya saja, melainkan pelaksanaan ibadah haji melibatkan unsur-unsur lain di luar aspek ritualnya.

Sejarah Perintah Haji

Secara bahasa, haji berasal dari kata “Al-Hajju” yang memiliki arti “menyengaja”, “menuju” atau “mengunjungi”, adapun secara istilah mempunyai arti “berkunjung ke Baitullah” dan “tempat-tempat tertentu” untuk melaksanakan serangkaian ibadah yang telah ditentukan waktunya, dilaksanakan dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan, untuk memenuhi perintah Allah Swt. dan mengharapkan ridha-Nya.

Berbeda dengan Haji dalam istilah fikih yang memiliki makna “perjalanan umat Islam menuju Ka’bah guna menjalankan ritus keagamaan dengan cara dan waktu yang telah ditetapkan”. Jadi bisa disimpulkan haji merupakan sebuah perjalanan ke Baitullah atau Ka’bah untuk melaksanakan amalan-amalan tertentu: ihram, tawaf, sa’i, wukuf di Padang Arafah, mabit di Muzdalifah dan Mina, melontar jumrah, tahallul dan dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah dengan syarat dan rukun-rukun yang telah ditetapkan.

Syahdan. Perintah untuk melaksanakan ibadah haji tidak hanya berlaku pada umat Nabi Muhammad Saw. Jauh sebelum itu, ibadah haji telah diperintahkan kepada Nabi dan Rasul-Rasul terdahulu. Sebagian riwayat menyatakan bahwa orang yang pertama kali melaksanakan ibadah haji adalah Nabi Adam As.

Beberapa riwayat menyebutkan, Ka’bah pertama kali dibangun oleh Malaikat, yang kemudian dilanjutkan oleh Nabi Adam As. Beberapa sumber menunjukkan bahwa, Nabi Adam As. Sudah melaksanakan ibadah haji dengan cara tawaf sebanyak 7 putaran setelah membangun Ka’bah.

Nabi Ibrahim As. diperintahkan Allah Swt. Untuk membangun kembali Ka’bah yang runtuh. Setelah pembangunan Ka’bah selesai, Ibrahim As. Diperintahkan oleh Allah Swt. Untuk menyeru umat manusia agar melaksanakan haji ke Baitullah. Ibrahim As. beserta puteranya terlebih dahulu melaksanakan haji.

Mereka berdua memulai ibadah haji dengan melakukan tawaf sebanyak 7 kali yang pada setiap putarannya mengusap rukn atau sudut Ka’bah. Sehabis tawaf, mereka melaksanakan shalat, kemudian dilanjutkan dengan melakukan sa’i atau berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah, dan melempar jumrah.

Orang Arab masa jahiliah, masa sebelum Nabi Muhammad juga memelihara tradisi Nabi Ibrahim melaksanakan ibadah haji, meski dengan cara yang berbeda. Pada masa Rasulullah Saw., ibadah haji baru disyariatkan atau diwajibkan pada tahun ke-6 Hijriah, atau kurang lebih enam tahun sejak nabi Muhammad Saw. Hijrah dari Makkah ke Madinah.

Nabi Muhammad Saw. baru melaksanakan ibadah haji pada tahun ke-9 Hijriah, atau sekitar 3 bulan sebelum wafatnya. Masa Rasulullah inilah, pelaksanaan ibadah haji dilakukan secara lengkap dengan syarat, rukun dan wajib haji, seperti tawaf, sa’i, wukuf, melontar jumrah, tahallul, dan ihram. Wallahu a’lam bisshawaab.

BINCANG SYARIAH

Makna Kemerdekaan bagi Seorang Muslim

Tanggal 17 Agustus adalah hari kemerdekaan Negara Indonesia, negara kita. Hari bersejarah yang selalu dikenang dan diingat oleh rakyat Indonesia. Dengan merdekanya Indonesia dari tangan penjajah, maka kita menjadi rakyat independen yang dapat bergerak bebas dan tidak terikat secara pemerintahan dengan negara lainnya.

Dalam Islam, makna kemerdekaan lebih jauh dari sekedar kemerdekaan sebuah negara dan bangsa. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang hamba bebas melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala tanpa adanya suatu penghalang apa pun. Dalam Islam, kemerdekaan adalah tatkala seorang muslim tidak memiliki penghalang antara dirinya dan surga Allah Ta’ala.

Kemerdekaan terbesar adalah berlepas diri dari kesyirikan

Dalam beribadah dan melakukan ketaatan kepada Allah, seseorang muslim tidak akan dikatakan merdeka, kecuali apabila hanya beribadah kepada Allah Ta’ala dan menjauhkan diri dari kesyirikan kepada-Nya. Karena di dalam penyelewengan dan pemberian ibadah kepada selain Allah Ta’ala sejatinya merupakan bentuk perbudakan kepada makhluk selain Allah Ta’ala. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan mengenai hal ini. Beliau rahimahullah berkata,

العبودية لله هي حقيقة الحرية، فمن لم يتعبد له، كان عابدا لغيره

“Menjadi hamba Allah adalah kemerdekaan yang hakiki. Barangsiapa yang tidak menghamba kepada Allah, dia akan menjadi hamba kepada selain-Nya.” (Al-Majmu’ Al-Fatawa, 8: 306)

Saat seseorang berbuat kesyirikan, maka sejatinya ia bergantung dan merasa butuh kepada selain Allah Ta’ala. Ketika akan melakukan sesuatu, seringkali ia akan meminta persetujuan terlebih dahulu dari objek atau mahkluk yang ia sembah tersebut. Tidaklah ia memulai sebuah kegiatan, kecuali terlebih dahulu memberikan persembahan kepada sesembahannya tersebut.

Bahkan, tidak jarang kita temukan, sebagian dari mereka yang mengaku muslim dan beriman kepada Allah Ta’ala justru datang dan meminta kesembuhan, kesuksesan, dan kekayaan kepada makhluk-makhluk selain Allah, yang lemah lagi tak memiliki kuasa. Sungguh, ini menujukkan betapa kebebasan dan kemerdekaan diri orang tersebut tersandera oleh kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Jiwanya tidak bebas dalam beribadah dan bermunajat kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan ketidakmampuan makhluk-makhluk tersebut di dalam mengabulkan doa dan keinginan para penyembah dan pemujanya,

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ* وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ

“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat), niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (QS. Al-Ahqaf 5-6)

Ketahuilah wahai saudaraku, jiwa yang merdeka adalah jiwa yang bertauhid dan tunduk hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bebas dari kesyirikan dan peribadatan kepada selain Allah.

Merdeka dari hawa nafsu

Di antara bentuk kemerdekaan yang dituntut dan diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kemerdekaan dari belenggu hawa nafsu. Karena muaranya hawa nafsu akan menjerumuskan seorang kepada kesesatan dan kebatilan.

Lihatlah bagaimana Allah Ta’ala berbicara dan mewanti-wanti Nabi Daud ‘alaihis salam yang notabene-nya adalah seorang penguasa, seorang penguasa yang merdeka, dan tentu saja jauh dari ketundukan dan kehinaan. Allah peringatkan beliau agar jangan sampai dirinya tunduk dan menjadi sandera atas hawa nafsunya sendiri. Allah Ta’ala berfirman,

يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ 

“Wahai Daud! Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allâh.” (QS. Shad: 26)

Di antara cara yang paling ampuh untuk menundukkan hawa nafsu dan menang darinya adalah dengan merasa takut kepada Allah Ta’ala, merasa takut juga akan azab-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ * فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40-41)

Mereka yang takut akan kebesaran Allah Ta’ala dan hukuman-Nya, maka akan mudah di dalam menundukkan hawa nafsunya. Sebaliknya, mereka yang tidak takut kepada Allah Ta’ala, merasa aman tatkala bermaksiat dan melakukan perbuatan dosa, maka bisa dipastikan ia akan kalah dan tunduk kepada hawa nafsunya.

Merdeka dari fitnah dunia

Di antara ujian yang Allah berikan kepada kita adalah fitnah kehidupan dunia. Setiap dari kita pastilah diuji dengannya, entah itu berupa kekayaan harta yang melimpah ataupun ketidakcukupan dalam memenuhi kebutuhan. Allah Ta’ala berfirman menjelaskan kepada kita hakikat kehidupan dunia ini,

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan, suatu yang melalaikan, perhiasan, bermegah-megahan di antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak. Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering, dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadîd: 20)

Seorang muslim yang merdeka adalah mereka yang terbebas dari fitnah dan ujian tersebut. Ia bersabar tatkala diuji dengan kesempitan dan bersyukur tatkala diuji dengan kelapangan. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang sahih,

عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له.

“Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin. Jika dia mendapatkan kesenangan, dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya. Dan jika dia ditimpa kesusahan, dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HR. Muslim no. 2999)

Jiwanya bebas dan merdeka, tidak mengutuk Allah dan menyalahkan keadaan tatkala sedang dalam keadaan sempit serta terbebas dan tidak diperbudak oleh hartanya tatkala Allah berikan kelapangan.

Kesimpulan

Momentum hari kemerdekaan Indonesia, selain tentunya mengajak kita untuk kembali bersyukur kepada Allah Ta’ala atas limpahan nikmat rasa aman dan kebebasan, hendaknya juga kita manfaatkan untuk memaknai kembali kemerdekaan diri kita sendiri. Di mana di dalam ajaran Islam, tidaklah seseorang dikatakan merdeka dan bebas, kecuali setidaknya terbebas dari tiga hal berikut:

Pertama: Terbebas dari kesyirikan dan hal-hal yang mengantarkan kepadanya. Sehingga jiwanya bebas di dalam beribadah kepada Allah dan tidak menjadi sandera sesembahan-sesembahan selain-Nya.

Kedua: Terbebas dari belenggu hawa nafsu. Dalam kesehariannya, perbuatan yang dilakukannya jauh dari ketundukan kepada hawa nafsu, aktifitas kesehariannya jauh dari berbagai macam bentuk godaan nafsu syahwat dan nafsu syubhat. Karena rasa takutnya yang besar kepada Allah Ta’ala.

Ketiga: Bebas dari jerat-jerat fitnah dunia. Tidaklah dirinya diuji dengan rasa susah, kecuali ia bersabar, dan tidaklah ia diuji dengan rasa lapang, kecuali ia bersyukur kepada Allah Ta’ala.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga keamanan dan kedamaian di negeri kita, memberikan hidayah kepada para pemimpin kita, dan senantiasa memberikan kemerdekaan dan kebebasan kepada diri kita untuk beribadah kepada-Nya,

اللَّهُمَّ إنِّي أسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي ، اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِي وَآمِنْ رَوْعَاتِي ، اللَّهُمَّ احْفَظْنِي مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ وَمِنْ خَلْفِي ، وَعَن يَمِينِي وَعَن شِمَالِي وَمِنْ فَوْقِي ، وَأَعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِي

“Ya Allâh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allâh, sungguh aku mohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan untuk agamaku, duniaku, keluargaku dan hartaku. Ya Allâh, tutuplah auratku (aib celaku), berilah keamanan dari rasa takutku. Ya Allâh, perliharalah aku dari arah depan, belakang, kanan, kiri, dan dari arah atasku. Aku berlindung dengan keagungan-Mu, agar aku terhindar kebinasaan dari bawahku (dibenamkan  ke dalam bumi).”

Wallahu A’lam bisshawab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/95100-makna-kemerdekaan-bagi-seorang-muslim.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Jamaah Haji Lansia Kerap Alami Demensia, Apa Itu dan Bagaimana Gejalanya?

Demensia yang dialami jamaah lansia dipicu beragam penyebab.

Sejumlah calon jamaah haji Indonesia, utamanya mereka yang lanjut usia (di atas 65 tahun), disinyalir mengalami gejala demensia ketika berada di Tanah Suci  dengan gejala penurunan kemampuan berpikir dan ingatan seseorang.

Hingga hari ke-10 proses kedatangan jamaah gelombang pertama ke  Madinah, petugas haji kerap menemukan jamaah lansia yang lupa arah jalan pulang, bahkan lupa nama keluarga atau di mana dia berasal. Kondisi ini sangat dimungkinkan mengingat jamaah lansia pada musim haji tahun ini cukup banyak, mencapai sekitar 45 ribu orang.

Kepala Seksi Layanan Lansia, Disabilitas, dan PKP3JH (Penanganan Krisis dan Pertolongan Pertama pada Jamaah Haji) Dokter Leksmana Arry Chandra mengatakan ada peserta lansia yang mengalami demensia saat sedang menunaikan ibadah haji, baik lupa nama, keluarga, atau merasa dirinya masih berada di kampung halaman.

“Gangguan ini secara umum dipicu oleh dua hal, baik karena faktor sosial atau psikososial, maupun faktor pribadi atau psikologis. Selain itu juga dipicu oleh faktor biologis,” kata dokter yang sehari-hari bertugas di Daerah Kerja (Daerah Kerja)  Madinah, Selasa (21/5/2024).

Gangguan ini, kata Leksmana, biasanya dipicu faktor genetik. Mereka sudah memiliki potensi gangguan kejiwaan, kemudian kambuh lagi setibanya di Arab Saudi.

Demensia biasanya diikuti dengan gangguan cara berpikir, seperti disorientasi tempat, waktu, dan orang-orang di sekitarnya. Gejala yang bisa terlihat di awal biasanya seperti mudah lupa, terutama untuk kejadian-kejadian yang baru saja dialami.

Kemudian, sulit mempelajari hal baru, sulit konsentrasi, termasuk sulit mengingat waktu dan tempat, terutama setelah mereka berpindah dari kampungnya.

Bahkan tim Media Center Haji (MCH) sering menemukan jamaah yang menunggu di pinggir jalan sendirian. Ketika dievakuasi mereka beranggapan masih berada di kampung halaman. Bahkan ada peserta lansia beranggapan tengah menanti angkutan kota (angkot) untuk pulang ke rumah ketika ditanya tim MCH.

“Jamaah yang mengalami demensia perlu diberikan stimulasi kognitif. Misalnya dengan mengajak pasien ngobrol dan bersosialisasi atau melakukan pendampingan terhadap pasien untuk mencegah terjadinya demensia,” katanya.

Setelah pasien pulih, tetap perlu pendampingan. Sebab, demensia sewaktu-waktu bisa muncul terutama disebabkan kelelahan dan dehidrasi. Bagi jamaah lansia sangat disarankan beristirahat yang cukup dan tidak memaksakan diri beraktivitas di luar kegiatan ibadah haji.

Senada dengan Leks, Kepala Seksi Kesehatan Haji Indonesia Daker  Madinah Karmijono mengatakan demensia yang dialami jamaah lansia dipicu beragam penyebab, antara lain kekurangsiapan jamaah lansia untuk perjalanan jauh, terutama yang berangkat tanpa pendamping, stres karena pertama kali naik pesawat, duduk dalam waktu lama bukan dengan keluarga, menahan haus, lapar, dan buang air kecil.

“Pemicunya banyak. Lansia mungkin mengalami ketakutan di pesawat, tapi mereka tidak mengungkapkan perasaannya sehingga membuat lansia stres dan memicu munculnya demensia,” katanya.

Kemampuan berpikir dan adaptasi lansia yang cenderung menurun, kata dia, berpengaruh terhadap daya adaptasi dan fleksibilitas terhadap lingkungan baru.

“Mereka sulit mengatasi masalah. Untuk penyebab pasti tergantung jenis demensia, karena ini sindroma otak progresif. Terlihat dengan gejala memori, perubahan perilaku, dan lain-lain. Tapi sebenarnya bergantung juga pada kepribadian masing-masing lansia,” tuturnya.

Lansia yang memiliki penyakit organik sebelumnya seperti gula atau hipertensi, juga berisiko untuk alami demensia, terutama bila tidak rutin minum obat.

Karmijono menekankan masyarakat yang memiliki keluarga lansia yang akan berangkat berhaji untuk mempersiapkan mental orang tua jauh-jauh hari. Mereka diajak bersosialisasi dengan rekan-rekan satu rombongannya agar sudah mengenal sejak di Tanah Air.

“Pada saat manasik dan bimbingan seharusnya lansia sudah disiapkan mentalnya. Diberitahu bahwa akan melakukan perjalanan jauh. Diakrabkan dengan rekan satu rombongannya. Jika sudah ada kenalan sebelum perjalanan, mereka kemungkinan tidak akan stres karena ada teman bicara,” kata Karmijono.

Dia juga mengingatkan jamaah lansia tidak langsung melaksanakan ibadah saat tibanya di Tanah Suci. Jamaah sebaiknya beristirahat terlebih dulu dan makan makanan yang bergizi.

Keluarga pendamping atau rekan sekamar juga diminta untuk sering-sering menyapa dan mengajak berbincang.

“Mereka sensitif. Ketua rombongan sebaiknya menciptakan suasana kelompok yang saling mendukung sehingga lansia tidak merasa sendiri,” katanya.

IHRAM

Tatacara Bersuci untuk Salat Ketika di Pesawat

Allah Ta’ala mewajibkan orang-orang beriman untuk berwudu ketika hendak mendirikan salat.

Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا ‌قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ وَإِن كُنتُمۡ جُنُبا فَٱطَّهَّرُواْۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَد مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدا طَيِّبا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡكُم مِّنۡ حَرَجٖ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menjadikan kamu kesulitan, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.[1]

Ayat ini menunjukkan bahwa pada dasarnya bersuci adalah dengan berwudu. Jika ada uzur (alasan yang dibenarkan), maka bisa beralih ke tayamum sebagai penggantinya.

Alasan-alasan yang membolehkan tayamum

Secara ringkas, alasan yang membolehkan tayamum adalah ketidakmampuan menggunakan air.

Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah,

الْمُبِيحُ لِلتَّيَمُّمِ فِي الْحَقِيقَةِ شَيْءٌ وَاحِدٌ. وَهُوَ الْعَجْزُ عَنِ اسْتِعْمَال الْمَاءِ، وَالْعَجْزُ، إِمَّا لِفَقْدِ الْمَاءِ وَإِمَّا لِعَدَمِ الْقُدْرَةِ عَلَى اسْتِعْمَالِهِ مَعَ وُجُودِهِ.

Pada hakikatnya, hanya ada satu hal yang membolehkan tayamum, yaitu ketidakmampuan menggunakan air. Ketidakmampuan ini bisa disebabkan oleh tidak adanya air atau tidak mampu menggunakannya meskipun ada.” [2]

Apakah sah salat seseorang yang bertayamum di pesawat, meskipun ada air?

Jika ia mampu menggunakan air dengan cara apa pun yang memungkinkan, maka salatnya tidak sah dan wajib diqada, karena wudu adalah syarat sahnya salat sehingga salat tidak sah tanpanya, kecuali jika tidak ada air atau tidak mampu menggunakannya, maka dapat digantikan dengan tayamum. [3]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ

Allah tidak akan menerima salat seseorang di antara kalian apabila berhadas sampai ia berwudu.[4]

Jika airnya sedikit dan tidak cukup untuk membasuh seluruh anggota wudu

Jika airnya sedikit dan tidak cukup untuk membasuh seluruh anggota wudu, maka wajib menggunakannya karena itulah yang ia mampu lakukan. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وإذا أمرتكم بأمرٍ فأتوا منه ما استطعتم

Jika aku memerintahkan kalian suatu perkara, maka lakukanlah semampu kalian.” (Muttafaqun ‘alaih)

Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar [5], “Engkau dapat berdalil dengan hadis ini untuk tidak mewajibkan segala sesuatu yang di luar kemampuan, dan wajib melakukan apa yang mampu dilakukan dari yang diperintahkan, dan tidak hanya karena sebagiannya di luar kemampuan lantas menggugurkan semuanya.” [6]

Syekh Abdullah Ath-Thayyar hafidzahullah mengatakan,

إذا لم يجد من أراد الصلاة إلا ماء قليلًا أو لم يستطع أن يستعمل الماء إلا في بعض أعضائه أو قدر على الوضوء في الجنابة ولم يقدر على الغسل، فهنا يفعل ما يستطيعه بطهارة الماء ثم يتيمم عن الباقي، وهذا هو المذهب عند الحنابلة؛ لعموم قوله تعالى: {فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ}

“Jika seseorang yang hendak salat hanya menemukan sedikit air atau tidak mampu menggunakan air, kecuali pada sebagian anggota tubuhnya; atau mampu berwudu dari junub, tetapi tidak mampu mandi, maka ia melakukan apa yang ia mampu dengan bersuci menggunakan air, kemudian bertayamum untuk sisanya. Ini adalah pendapat mazhab Hambali, berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka, bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16) [7]

Air yang mencukupi untuk wudu tidak ditentukan dengan ukuran tertentu

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudu dengan satu mud. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

كانَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَغْسِلُ، أوْ كانَ يَغْتَسِلُ، بالصَّاعِ إلى خَمْسَةِ أمْدَادٍ، ويَتَوَضَّأُ بالمُدِّ.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mandi dengan satu sha’ sampai lima mud dan berwudu dengan satu mud.” [8]

Bahkan, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mampu berwudu dengan dua pertiga mud, yaitu 458.67 mililiter.

Ummu ‘Ammarah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ توضَّأَ فأُتِيَ بإناءٍ فيهِ ماءٌ قدرُ ثلُثيِ المدِّ.

Bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudu dan diberi bejana berisi air sebanyak dua pertiga mud.[9]

Para ulama sepakat bahwa air yang mencukupi untuk wudu dan mandi tidak ditentukan dengan ukuran tertentu. Ibnu Abidin meriwayatkan ijma‘ (kesepakatan ulama) tentang hal itu dan berkata, “Sesungguhnya apa yang disebutkan dalam hadis bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu dengan satu mud dan mandi dengan satu sha’ bukanlah ukuran yang wajib, melainkan penjelasan tentang kadar minimal yang disunahkan. Sehingga, jika seseorang membasuh dengan lebih dari itu, maka sah baginya. Dan jika tidak mencukupi, maka ia menambahkannya, karena tabiat dan kondisi manusia berbeda-beda.” [10]

Cara berwudu dengan air yang sedikit

Setelah kita mengetahui bahwasanya air yang sedikit (459 mililiter, atau seukuran satu botol air mineral ukuran sedang) bisa digunakan untuk wudu dengan sempurna, dan tidak ada batasan untuk kecukupan air dalam wudu, maka berikut ini tata cara berwudu sehingga kita bisa menggunakan air seminimal mungkin, namun tetap mengedepankan keabsahan wudu:

Pertama: Membasuh anggota tubuh yang wajib saja.

Maka, untuk anggota tubuh yang sunah, misalkan mencuci tangan di awal wudu, bisa ditinggalkan.

Kedua: Membasuh satu kali saja.

Membasuh tiga kali untuk anggota-anggota wudu, hukumnya sunah. Maka, untuk maslahat meminimalisasi penggunaan air, sunah ini bisa ditinggalkan.

Ketiga: Mengusap sepatu/ kaos kaki, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama dalam pembahasan mengusap khuf. Wallaahu a’lam

Jika memang tidak bisa menggunakan air di pesawat, bagaimana cara bersucinya?

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya,

“Jika tidak ada air atau membeku, atau dilarang menggunakannya karena khawatir akan tumpah dan menyebabkan kerusakan di pesawat atau tidak mencukupi, bagaimana cara berwudu jika tidak ada debu?”

Beliau menjawab,

“Dalam kasus yang Anda sebutkan, wudu tidak mungkin atau sulit dilakukan, dan Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Allah tidak menjadikan bagi kamu dalam agama suatu kesempitan.’

Maka, penumpang dapat bertayamum di atas tempat tidurnya jika ada debu. Jika tidak ada debu, maka ia salat meskipun tidak bersuci karena tidak mampu melakukannya, dan Allah Ta’ala berfirman,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka, bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.’

Akan tetapi, jika memungkinkan untuk turun di bandara di akhir waktu salat kedua yang dapat digabungkan dengan salat sebelumnya, seperti Asar digabungkan dengan Zuhur dan Isya digabungkan dengan Magrib, maka hendaklah ia mengakhirkannya, yaitu menjamak ta’khir dan salat dua rakaat setelah turun di bandara. Sunah bagi orang yang menjamak salat adalah mengumandangkan azan satu kali untuk keduanya dan melakukan iqamah secara terpisah untuk setiap salat, meneladani Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menjamak Zuhur dan Asar pada hari Arafah. Adapun jika tidak memungkinkan, seperti jika ini adalah waktu kedua dalam dua kelompok salat atau salat yang tidak dapat digabungkan dengan salat setelahnya, seperti Asar dengan Magrib dan Isya dengan Subuh dengan Zuhur, maka ia salat sesuai keadaannya.” [11]

Demikian penjelasan ringkas, dan insyaAllah menyeluruh, tentang tata cara bersuci untuk salat ketika di pesawat. Semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau.

***

3 Zulkaidah 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen.

Penulis: Prasetyo, S.Kom.

Sumber: https://muslim.or.id/95041-tatacara-bersuci-untuk-salat-ketika-di-pesawat.html
Copyright © 2024 muslim.or.id