Ini Tujuh Ketentuan untuk Koper Jamaah Haji

Seperti tahun lalu, musim haji tahun ini semua koper jamaah haji harus diberi tanda yang jelas. Tujuannya untuk memudahkan pihak Maktab Wukala Almuwahhad dalam mengelompokkan dan mengirimkannya ke hotel.

Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri, Sri Ilham Lubis menyampaikan, ada sejumlah ketentuan untuk koper jamaah haji. Ketentuan tersebut telah diedarkan Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah ke Kakanwil Kementerian Agama Provinsi di seluruh Indonesia.

“Ketentuan pertama, sesuai dengan aturan penerbangan, koper tidak diikat dengan tali atau jaring tapi diberi penanda berupa sabuk dengan warna yang berbeda sesuai rombongan dalam kloternya,” kata Sri melalui pesan tertulis yang diterima Republika.co.id, Ahad (26/5).

Ia menjelaskan, setiap kloter akan dibagi dalam 10 rombongan dengan penanda warna berurutan dari rombongan satu sampai sepuluh. Penanda warna tersebut di antaranya merah, kuning, biru, cokelat, hijau, putih, orange, ungu, hitam, dan merah muda.

Kedua, koper jamaah yang akan berangkat pada gelombang pertama diberi identitas warna putih yang memuat nama, nama dan nomor hotel serta nomor rombongan. Informasi untuk itu bisa diperoleh calon jamaah haji di kantor urusan agama (KUA).

Ia melanjutkan, ketentuan ketiga, koper jamaah haji yang berangkat gelombang kedua diberi identitas warna sesuai warna sektor yang memuat nama, nama dan nomor hotel, serta nomor rombongan. “Jamaah haji Indonesia terbagi dalam 11 sektor di Makkah dengan urutan warna dari satu sampai 11 sebagai berikut, hijau, abu-abu, ungu, merah muda, putih, kuning, merah, biru muda, biru tua, cokelat, dan hitam,” ujarnya.

Ketentuan keempat, jamaah haji hanya diperkenankan membawa koper, tas kabin, dan tas paspor yang diberikan pihak penerbangan. Berat maksimal 32 Kg untuk koper dan tujuh Kg untuk tas kabin. Kelima, jamaah haji tidak diperbolehkan menambah atau mengubah bentuk barang bawaan yang diberikan maskapai.

Keenam, jamaah haji tidak diperkenankan memasukkan air zamzam ke dalam koper. Jika masih ditemukan ada yang melakukannya, koper akan dibongkar pihak penerbangan. Ketujuh, barang yang dilarang dibawa selama penerbangan adalah bahan yang mengandung radioaktif, magnit, yang menyebabkan karat, mengandung racun, campuran oksid, cairan aerosol, gel, bahan kimia, dan bahan yang mengandung peledak.

“Diimbau jamaah haji meletakkan barang berharga dan obat-obatan di tas tentengan atau kabin, bukan di bagasi,” ujarnya.

Syukuri Apa Yang Ada, Pasti Ada Keajaiban Hidup

SAAT duduk di langgar tua sang kakek, cucu bertanya bagaimana cara menjadi orang yang ridla atas segala ketentuan Allah. Kakek terdiam sejenak lalu meminum kopi yang kental dengan sahar hitam setengah kasar itu. Sang kakek lalu menghela napas panjang dan berkata lirih: “Tolehkan matamu pada apa yang ada, tutuplah matamu dari yang tiada.”

Sang cucu mungkin masih terlalu muda usia untuk langsung memahami makna kata sang kakek. Kakekpun memberikan syarah atas kata-kata singkat tadi bahwa memandangnya mata akan apa yang menjadi milik orang lain seringkali menggoda rasa untuk memilikinya. Saat gagal memilikinya, biasanya akan lahir keluhan akan nasib atau celaan akan milik orang lain. Sikap seperti ini adalah wujud sikap tak ridla yang sangat tak disuka Allah. Sang cucu mengangguk dan mencatat kata-kata kakeknya dalam kepalanya, mengingat dan menghapalkannya.

Lalu sang cucu bertanya: “Tapi kakek, bukankah cita-cita itu adalah mengharapkan apa yang belum ada. Lalu apakah orang yang bercita-cita itu adalah orang yang tidak ridla?” Sungguh pertanyaan cerdas sekali, menurut saya. Entah sang kakek bisa menjawab dengan baik apa tidak. Tiba-tiba nenek keluar dari dapur menuju langgar itu membawa sepiring pisang goreng yang masih “aktual” alias hangat plus ketela pohon rebus kesukaan kakek. Kakek tersenyum sambil berkata kepada cucunya: “Ayo dimakan cucuku. Kalau ada ketela rebus begini, biasanya kecerdasan saya naik beberapa digit.”

“Jawabannya bagaimana Kek?” tanya sang cucu. Setelah habis dua potong ketela rebus si kakek menjawab: “Bercita-cita itu adalah optimis. Optimis itu memang berharap sesuatu yang belum ada, namun optimis itu didasarkan pada mensyukuri apa yang ada. Selama masih mensyukuri apa yang ada, maka itu tidak keluar dari zona ridla.”

Senangnya ya jika komunikasi kakek dan cucu berbobot seperti ini. Diskusinya penuh nilai, mencerahkan. Mari kita ikut merenungkan kalimat-kalimat kakek di atas. Salam, AIM.[*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

Waktu adalah Ibadah

Banyak di antara kita yang belum bisa memanfaatkan waktunya dengan baik.

Imam Ibnul Jauzi Rahimahullah mengungkapkan dalam sebuah risalah, yang diberi nama Laftatul Kabid Nashihatul Walad, yang berisi nasihat kepada putra beliau, sebagai hasungan agar putranya senantiasa menjaga waktu.

Beliau mengatakan, “Ketahuilah wahai anakku bahwa hari-hari itu dibentangkan menjadi kumpulan jam. Jam dibentangkan menjadi kumpulan desah-desah napas, dan setiap desah nafas ibarat lemari. Maka, waspadalah agar desah napas itu tidak berlalu, tanpa faedah dan manfaat. Karena, di hari kiamat kelak engkau akan mendapati lemari itu kosong sehingga engkau pun menyesal! Lihatlah setiap waktumu, untuk apakah engkau menggunakannya? Janganlah engkau membiarkannya berlalu, kecuali untuk urusan yang paling mulia. Janganlah engkau telantarkan jiwamu. Biasakanlah ia untuk melazimi amalan yang paling terpuji. Dan, bangkitlah untuk mempersiapkan tabunganmu di kubur nanti, agar engkau bahagia kelak ketika tiba di sana.”

Banyak di antara kita yang belum bisa memanfaatkan waktunya dengan baik, apalagi ketika datang libur panjang. Bila malam sudah larut, kerjanya mengobrol tanpa manfaat. Atau, sekadar bermain gim yang hanya mengantarkannya kepada kesia-siaan. Di waktu siang, maka kerja hanya tidur. Sore hari, mereka malah berada di pojok pasar atau pinggir sungai.

Diriwayatkan oleh Bukhari di dalam Sahihnya XI: 229, Tirmidzi dan Ibnu Majah, dari Ibnu Abbas RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalam keduanya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.”

Waktu adalah karunia yang agung dan anugerah yang begitu besar. Hanya orang-orang hebat yang mendapatkan taufik dari Allah yang mampu mengetahui, lalu memanfaatkannya seoptimal mungkin. Seperti yang diisyaratkan dalam hadis, “Banyak manusia tertipu di dalam keduanya.” Itu artinya, orang yang mampu memanfaatkan waktu amatlah sedikit. Kebanyakan manusia justru lalai dan tertipu dalam memanfaatkannya.

Jangan sampai lemari itu kosong ketika engkau membukanya di akhirat nanti. Dunia adalah ladang untuk negeri akhirat. Di dalamnya terdapat perdagangan yang akan kelihatan labanya besok di akhirat. Siapa saja yang mampu menggunakan waktu luangnya dan saat sehatnya untuk taat kepada Allah, maka dialah orang yang berbahagia. Dan, siapa saja yang menggunakannya untuk bermaksiat kepada Allah, maka dialah orang yang merugi.

Mari kita jadikan hari-hari kita sebagai ajang meningkatkan produktivitas, bukan malah merobohkan bangunan keimanan yang kita bangun bersama orang orang saleh.

Oleh: Rohmi Rohmanudin

 

KHAZANAH REPUBLIKA

Meninggal Ketika Ibadah Haji dan Umrah

Berikut beberapa fikih mengenai jamaah yang meninggal ketika sedang melakukan ibadah haji dan umrah:

1. Jika meninggal ketika ihram:

  • Dimandikan dengan air bercampur daun bidara atau hal yang membuat harum semisal sabun
  • Dikafani dengan dua potong kain diriawayat lainnya dengan kain ihramnya
  • Tidak diberi wewangian
  • Tidak ditutup kepala dan wajahnya
  • Akan dibangkitkan hari kiamat dalam keadaan bertalbiyah

Hal ini karena mereka akan dibangkitkan dihari kiamat sebagaimana keadaan orang yang berihram, yaitu tidak memakai wangi-wangian, tidak ditutup wajahnya. Adapun memandikan dengan bidara tujuannya agar jasad tetap harum ketika memandikan dan sabun semisal dengan bidara.1

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

بينما رجل واقف بعرفة، إذ وقع عن راحلته فوقصته، أو قال: فأقعصته، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: اغسلوه بماء وسدر، وكفنوه في ثوبين -وفي رواية: في ثوبيه- ولا تحنطوه -وفي رواية: ولا تطيبوه- ، ولا تخمروا رأسه ولا وجهه ، فإنه يبعث يوم القيامة ملبيا

Ketika seseorang tengah melakukan wukuf di Arafah, tiba-tiba dia terjatuh dari hewan tunggangannya lalu hewan tunggangannya menginjak lehernya sehingga meninggal. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Mandikanlah dengan air yang dicampur daun bidara lalu kafanilah dengan dua potong kain – dan dalam riwayat yang lain: “ dua potong kainnya “- dan jangan diberi wewangian. Jangan ditutupi kepala dan wajahnya. Sesungguhnya ia akan dibangkitkan pada hari kiyamat nanti dalam keadaan bertalbiyah.”2

2. Pahala haji dan umrahnya ditulis hingga hari kiamat

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

من خرج حاجا فمات كتب له أجر الحاج إلى يوم القيامة ومن خرج معتمرا فمات كتب له أجر المعتمر إلى يوم القيامة ومن خرج غازيا فمات كتب له أجر الغازي إلى يوم القيامة

Barangsiapa keluar untuk berhaji lalu meninggal dunia, maka dituliskan untuknya pahala haji hingga hari kiamat. Barangsiapa keluar untuk umrah lalu meninggal dunia, maka ditulis untuknya pahala umrah hingga hari kiamat. Dan barangsiapa keluar untuk berjihad lalu mati maka ditulis untuknya pahala jihad hingga hari kiamat.”3

3. Jika meninggal dalam perjalanan dan belum melakukan ihram, maka tidak termasuk meninggal dalam ketika beribadah haji

Misalnya pesawatnya jatuh ketika perjalanan dari negaranya ke Saudi dan belum berihram. Maka tidak termasuk dalam bab “meninggal ketika ibadah haji dan umrah”.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

إذا هلك من سافر للحج قبل أن يخرج فليس بحاج ، لكن الله عز وجل يثيبه على عمله ، أما إذا أحرم وهلك فهو …. ولم يأمرهم بقضاء حجه ، وهذا يدل على أنه يكون حاجاً ” انتهى .

“Jika kecelakaan ketika safar menuju haji sebelum ia ia keluar (berihram) maka tidak terhitung haji. Akan tetapi Allah akan membalas sesuai niatnya. Adapun jika sudah berihram, kemudian kecelakaan (misalnya mobilnya tabrakan, pent), maka termasuk dalam hadits (cara mengurus jenazahnya).”4

4. Jika meninggal ketika haji (sudah berihram), maak tidak perlu diqadhakan tahun depan oleh walinya

Karena hadits menunjukkan bahwa ia akan dibangkitkan dalam keadaan bertalbiyah hari kiamat dan ini menunjukka ia sudah mencukup hajinya.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelasakan,

ولم يأمرهم بقضاء حجه ، وهذا يدل على أنه يكون حاجاً

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk diqadhakan (untuk yang meninggal), karena statusnya ia sudah berhaji.”5

Demikian semoga bermanfaat.

***

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/26603-meninggal-ketika-ibadah-haji-dan-umrah.html

Fatwa Ulama: Bolehkah Pelemparan Jumrah Diwakilkan?

Fatwa Syaikh Abdullah bin Jibrin

Soal:

Selama melempar jumrah dalam haji dalam kondisi yang sangat padat dan adanya bau yang tidak sedap. Saya tidak sanggup tinggal di tempat tersebut. Karena saya mengidap penyakit asma dan jika kumat sangat mengganggu saya. Apakah boleh bagi saya untuk mewakilkan kepada orang lain untuk melempar jumrah atas nama saya namun haji saya tetap sah? Sedangkan saya bukan orang yang lemah dan bukan pula orang tua renta? Dan apakah boleh saya mewakili ibu saya dalam melempar jumrah yang ia memberikan wakil kepadaku untuk melakukannya. Berikan saya fatwa, karena saya pernah mengerjakan yang seperti itu. Dan adakah cara untuk mengkoreksi apa yang telah terjadi?

Jawab:

Boleh dalam hal ini mewakilkan melempar jumrah jika yang memberikan mandat badannya lemah, cacat, atau sakit seperti yang disebutkan. Dan keadaan ketika itu padat dan terdapat bau yang bisa menyebutkan sakitnya kumat.

Jika masih sanggup sampai ke jamarat (tempat melempar jumrah) maka ia wajib berangkat ke jamarat. Dan jika setelah di sana ia melihat adanya kesulitan dikarenakan kepadatan orang, maka wakilkanlah pelemparannya dan anda tetap berada di sana (jamarat). Demikian juga, jika seseorang mewakili ibunya, tidak mengapa dalam keadaan ini. Wallahu a’lam.

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/68739

***

Penerjemah: Andi Ihsan

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/26632-fatwa-ulama-bolehkah-pelemparan-jumrah-diwakilkan.html

Hadits Keutamaan Ibadah Haji dan Umrah

Artikel untuk rubrik hadits kali ini adalah syarah (penjelasan) hadits yang kami angkat dan terjemahkan secara bebas (dengan penambahan dan pengurangan kata dengan tanpa merubah isi dan maksud) dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (5/851-868), karya Syaikh Abdullah bin Shalih al-Fauzan –hafizhahullah-, cetakan Daar Ibnil Jawzi, cetakan ke-8, Rabi’ul Awwal, tahun 8421 H, Dammam, KSA.

Hadits tersebut adalah:

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: العمرةُ إلى العمرةِ كفَّارَةٌ لمَا بينَهمَا ، والحجُّ المبرورُ ليسَ لهُ جزاءٌ إلا الجنَّةُ

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Ibadah umrah ke ibadah umrah berikutnya adalah penggugur (dosa) di antara keduanya, dan haji yang mabrur tiada balasan (bagi pelakunya) melainkan surga” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Pembahasan hadits ini akan ditinjau dari beberapa sisi:

1. Takhrij hadits

Imam al-Bukhari telah mengeluarkan hadits ini (di dalam Shahih-nya) pada Abwabul Umrah (bab-bab tentang umrah), yaitu pada Babu Wujubil Umrah wa Fadhliha (bab tentang wajibnya umrah dan keutamaannya), nomor 1773. Dan dikeluarkan pula oleh Imam Muslim (di dalam Shahih-nya pula), nomor 1349; dari jalan Sumayy budak Abi Bakar bin Abdurrahman, dari Abu Shalih as-Samman, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, secara marfu’ (sampai kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam).

2. Keutamaan memperbanyak ibadah umrah

Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan keutamaan memperbanyak ibadah umrah. Hal ini disebabkan umrah memiliki keutamaan yang agung, yaitu dapat menggugurkan dan menghapuskan dosa-dosa. Hanya saja, mayoritas ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dosa-dosa di sini adalah dosa-dosa kecil, dan tidak termasuk dosa-dosa besar.

Kemudian, kebanyakan para ulama pun menyatakan bolehnya (seseorang) mempersering dan mengulang-ulang ibadah umrah ini dalam setahun sebanyak dua kali ataupun lebih. Dan hadits ini jelas menunjukkan hal tersebut, sebagaimana diterangkan pula oleh Ibnu Taimiyah. Karena memang hadits ini jelas dalam hal pembedaan antara ibadah haji dan umrah. Juga, karena jika umrah hanya boleh dilakukan sekali saja dalam setahun, niscaya (hukumnya) sama seperti ibadah haji, dan jika demikian seharusnya (dalam hadits) disebutkan, “Ibadah haji ke ibadah haji berikutnya…”. Namun, tatkala Nabi hanya mengatakan “Ibadah umrah ke ibadah umrah berikutnya…”, maka hal ini menunjukkan bahwa umrah boleh dilakukan (dalam setahun) secara berulang-ulang (beberapa kali), dan umrah tidaklah sama dengan haji.

Dan hal lain pula yang membedakan antara haji dan umrah adalah; umrah tidak memiliki batasan waktu, yang jika seseorang terlewatkan dari batasan waktu tersebut maka umrahnya dihukumi tidak sah, sebagaimana halnya ibadah haji. Jadi, dapat difahami apabila waktu umrah itu mutlak dapat dilakukan kapan saja, maka hal ini menunjukkan bahwa umrah sama sekali tidak menyerupai haji dalam hal keharusan dilakukannya sekali saja dalam setahun (lihat Majmu’ul Fatawa, 26/268-269).

Namun, Imam Malik berkata, “Makruh (hukumnya) seseorang melakukan umrah sebanyak dua kali dalam setahun” (lihat Bidayatul Mujtahid, 2/231). Dan ini juga merupakan pendapat sebagian para ulama salaf, di antara mereka; Ibrahim an-Nakha’i, al-Hasan al-Bashri, Sa’id bin Jubair dan Muhammad bin Sirin. Mereka berdalil; bahwa Nabi dan para sahabatnya tidak melakukan umrah dalam setahun melainkan hanya sekali saja.

Namun, hal ini bukanlah hujjah (dalil). Karena Nabi benar-benar menganjurkan umatnya untuk melakukan umrah, sebagaimana beliau pun menjelaskan keutamaannya. Beliau juga memerintahkan umatnya agar mereka memperbanyak melakukan umrah. Dengan demikian, tegaklah hukum sunnahnya tanpa terkait apapun. Adapun perbuatan beliau, maka hal itu tidak bertentangan dengan perkataannya. Karena ada kalanya beliau meninggalkan sesuatu, padahal sesuatu tersebut disunnahkan, hal itu disebabkan beliau khawatir memberatkan umatnya. Dan ada kemungkinan lain,seperti keadaan beliau yang tersibukkan dengan urusan kaum Muslimin yang bersifat khusus ataupun umum, yang mungkin lebih utama jika dipandang dari sisi manfaatnya yang dapat dirasakan oleh banyak orang.

Dan di antara dalil yang menunjukkan keatamaan mempersering dan memperbanyak umrah adalah hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

تَابِعُوا بين الحجِّ والعمرةِ ، فإنَّهما ينفيانِ الفقرَ والذنوبَ ، كما يَنفي الكيرُ خَبَثَ الحديدِ والذهبِ والفضةِ ، وليس للحجةِ المبرورةِ ثوابٌ إلا الجنةُ

Iringilah ibadah haji dengan (memperbanyak) ibadah umrah (berikutnya), karena sesungguhnya keduanya dapat menghilangkan kefakiran dan dosa-dosa sebagaimana alat peniup besi panas menghilangkan karat pada besi, emas dan perak. Dan tidak ada (balasan) bagi (pelaku) haji yang mabrur melainkan surga” [Hadits ini dikeluarkan oleh Imam at-Tirmidzi (810), dan an-Nasa-i (5/115), dan Ahmad (6/185); dari jalan Abu Khalid alAhmar, ia berkata: Aku mendengar ‘Amr bin Qais, dari ‘Ashim, dari Syaqiq, dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu secara marfu’. Dan at-Tirmidzi mengatakan: “Hadits hasan shahih gharib dari hadits Ibnu Mas’ud . Hadits ini pada sanadnya terdapat Abu Khalid al-Ahmar, ia bernama Sulaiman bin Hayyan. Dan terdapat pula Ashim bin Abi an-Nujud. Hadits mereka berdua dikategorikan hadits hasan. Karena Abu Khalid al-Ahmar seorang yang shoduqun yukhthi’ (perawi yang banyak benarnya dan terkadang salah dalam haditsnya), sedangkan Ashim bin Abi an-Nujud adalah seorang yang shoduqun lahu awhaam (perawi yang banyak benarnya dan memiliki beberapa kekeliruan dalam haditsnya)].

3. Keutamaan haji mabrur

Hadits ini menunjukkan keutamaan haji yang mabrur (baik), dan balasan orang yang mendapatkannya adalah surga. Haji yang mabrur, telah dijelaskan oleh Imam Ibnu Abdil Barr, “Adalah haji yang tidak tercampur dengan perrbuatan riya’ (ingin dipuji dan dilihat orang), sum’ah (ingin didengar oleh orang), rafats (berkata-kata keji dan kotor, atau kata-kata yang menimbulkan birahi), fusuq (berbuat kefasikan dan kemaksiatan), dan dilaksanakan dari harta yang halal…” (lihat at-Tamhid, 22/39).

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa haji mabrur memiliki lima sifat:

  1. Dilakukan dengan ikhlash (memurnikan niat dalam melaksanakan hajinya) hanya karena Allah Ta’ala semata, tanpa riya’ dan sum’ah.
  2. Biaya pelaksanaan haji tersebut berasal dari harta yang halal. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

    إنَّ اللهَ طيِّبٌ ولا يقبلُ إلا طيبًا

    Sesungguhnya Allah Maha Baik, dan Ia tidak menerima kecuali hal yang baik…”. (HR Muslim, 1015).

  3. Menjauhi segala dosa dan perbuatan maksiat, segala macam perbuatan bid’ah dan semua hal yang menyelisihi syariat. Karena, jika hal tersebut berdampak negatif terhadap semua amal shalih dan bahkan dapat menghalangi dari diterimanya amal tersebut, maka hal itu lebih berdampak negatif lagi terhadap ibadah haji dan keabsahannya. Hal ini berdasarkan beberapa dalil, di antaranya firman Allah Ta’ala:

    الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

    (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji…” (QS al-Baqarah: 197).

  4. Dilakukan dengan penuh akhlak yang mulia dan kelemah-lembutan, serta dengan sikap tawadhu’ (rendah hati) ketika ia berkendaraan, bersinggah sementara pada suatu tempat dan dalam bergaul bersama yang lainnya, dan bahkan dalam segala keadaannya.
  5. Dilakukan dengan penuh pengagungan terhadap sya’a-irullah (syi’ar-syi’ar Allah). Hal ini hendaknya benar-benar diperhatikan oleh setiap orang yang sedang melakukan ibadah haji. Dengan demikian, ia benar-benar dapat merasakan dan meresapi syi’ar-syi’ar Allah dalam ibadah hajinya. Sehingga, akan tumbuh dari dirinya sikap pengagungan, pemuliaan dan tunduk patuh kepada Sang Pencipta, Allah Rabbul ‘Alamin. Dan tanda seseorang benar-benar telah melaksanakan hal tersebut adalah; ia melaksanakan tahapan demi tahapan rangkaian ibadah hajinya dengan tenang dan khidmat, tanpa ketergesa-gesaan dan segala perkataan dan perbuatannya. Ia akan senantiasa waspada dari sikap tergesa-gesa dan terburu-buru, yang justru hal ini banyak dilakukan oleh banyak para jamaah haji di zaman ini. Ia pun akan senantiasa berusaha bersabar dalam ketaatannya kepada Allah Ta’ala. Karena sesungguhnya hal yang demikian ini lebih dekat untuk diterimanya ibadah hajinya di sisi Allah Ta’ala.

Dan termasuk bentuk pengagungan (seorang yang beribadah haji) terhadap sya’a-irullah (syi’ar-syi’ar Allah) adalah menyibukkan dirinya dengan banyak-banyak berdzikir, bertakbir, bertasbih, bertahmid dan istighfar. Karena ia tengah beribadah, dan ia berada di tempat yang mulia dan utama.

Dan sungguh Allah pun telah memerintahkan para hamba-Nya untuk mengagungkan, memuliakan dan menjaga kehormatan sya’a-irullah (syi’ar-syi’ar Allah). Allah berfirman:

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya…” (QS al-Hajj: 30).

Dan Allah juga berfirman:

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” (QS al Hajj: 32).

Dan yang dimaksud dengan hurumatullah (hal-hal terhormat di sisi Allah) adalah segala sesuatu yang memiliki kehormatan di sisi Allah, yang Allah memerintahkan para hamba-Nya untuk mengagungkannya, baik berupa ibadah dan yang lainnya. Dan di antaranya adalah manasik (tata cara ibadah haji) ini, tanah-tanah haram, dan ber-ihram.

Adapun sya’a-irullah (syi’ar-syi’ar Allah), maka maksudnya adalah lambang-lambang agama yang tampak jelas, yang di antaranya juga manasik (tata cara ibadah haji) ini. Sebagaimana firman-Nya:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ

Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar-syi’ar Allah…” (QS al-Baqarah: 158).

Dan sungguh Allah Ta’ala telah menjadikan pengagungan terhadap syi’ar-syi’ar-Nya sebagai salah satu rukun dari rukun-rukun ketakawaan, dan salah satu syarat pengabdian dan penghambaan kepada-Nya. Allah pun jadikan pengagungan terhadap hurumatullah (hal-hal terhormat di sisi Allah) sebagai sebuah jalan bagi hamba-Nya untuk meraih pahala dan pemberian karunia dari-Nya.

Dan orang yang memperhatikan dengan seksama dan melihat dengan cara pandang orang yang mau belajar tata cara ibadah haji Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, niscaya dia akan memahami bagaimana beliau melaksanakan ibadah hajinya dengan penuh pengagungan dalam segala perkataan dan perbuatan beliau Shallallahu’alaihi Wasallam.

Wallahu A’lam.

***

Penulis: Ust. Arief Budiman Lc.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/27810-hadits-keutamaan-ibadah-haji-dan-umrah.html

Wajib Bersegera Menunaikan Haji dan Umrah Ketika Sudah Mampu

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada para nabi dan rasul yang paling mulia,

Aku nasihatkan kepada saudaraku bagi mereka yang belum menunaikan ibadah haji, hendaknya bersegera untuk menunaikannya. Menunaikan haji hukumnya wajib bagi yang telah mampu untuk pergi ke sana (Baitullah). Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بني الإسلام على خمس : شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله ، وإقام الصلاة ، وإيتاء الزكاة ، وصوم رمضان ، وحج البيت

Islam dibangun atas lima hal: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

إن الله قد فرض عليكم الحج فحجوا

Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewajibkan atas kalian untuk berhaji, maka berhajilah kalian.” (HR. Muslim).

Wajib bagi setiap muslim dan muslimah yang mampu menunaikan ibadah haji, hendaknya ia bersegera dan jangan menundanya. Karena Allah Jalla wa ‘Alla mewajibkan untuk menyegerakannya, dan tidak boleh bagi setiap muslim yang mampu dan terkena beban ibadah haji untuk menundanya. Bahkan menyegerakannya dan mempercepatnya, akan mendapatkan kebaikan yang sangat besar, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

من حج فلم يرفث ولم يفسق رجع كيوم ولدته أمه

Barangsiapa yang menunaikan haji, dengan tidak berbicara kotor dan tidak mencaci maka diampuni dosanya seperti bayi yang baru dilahirkan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

العمرة إلى العمرة كفارة لما بينهما ، والحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة

Umrah satu ke Umrah lainnya adalah penebus dosa antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada pahala baginya selain Surga.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Ini adalah nikmat yang sangat besar, yang sepatutnya setiap muslim bersemangat untuk menunaikannya. Bersegera untuk melakukan amalan akhirat baik di dalam perjalanan maupun di Makkah. Di antara kebaikan tersebut adalah bersedekah kepada fakir dan miskin, memperbanyak membaca Al-Quran dan berdzikir mengingat Allah, memperbanyak tasbih, tahlil, tahmid dan takbir, memperbanyak shalat di Masjidil Haram dan thawaf jika mudah baginya dalam rangka mendapatkan manfaat yang besar di tempat dan waktu tersebut.

Di Masjidil Haram, shalat memiliki 100.000 kali lipat keutamaan. Ibadah wajib di sana lebih baik 100.000 kali dibanding tempat yang lain. Sedekah di sana pahalanya berlipat. Demikian juga bertasbih, tahmid, tahlil dan takbir, membaca Al-Quran, amar ma’ruf nahi munkar, berdakwah mengajak kepada Allah, mempelajari ibadah haji. Semua ini diperintahkan bagi setiap muslim. Di antara perintah syariat adalah mengajarkan tata cara ibadah haji kepada saudara-saudaranya (jika ia telah memiliki ilmu yang mapan), dengan cara yang santun, lembut dan gaya bahasa yang baik. Di samping berharap ada kesempatan hadir di Makkah untuk dapat melakukan berbagai macam amalan kebaikan, sebagaimana yang telah dijelaskan seperti shalat, thawaf, berdakwah kepada Allah, amar ma’ruf nahi munkar, dengan gaya bahasa yang baik dan kalimat yang santun.

Aku nasihatkan kepada para pemimpin kaum muslimin dimana pun mereka berada, untuk memudahkan perkara ibadah haji ini kepada rakyat mereka, dan memberikan perhatian khusus terhadap ibadah ini. Hal ini merupakan bagian dari tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. Allah Ta’ala berfirman

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى

Tolong menolonglah dalam kebaikan dan takwa.” (QS. Al-Maidah: 2)

Upaya pemerintah menolong rakyatnya dan memudahkan urusan ibadah haji ini adalah bentuk tolong menolong dalam kebaikan. Upaya saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, di dalamnya terdapat pahala yang besar, sebagaimana menasihati pemerintah agar berhukum dengan syariat Allah dalam segala aspek dan menolong agama Allah dalam setiap perkara. Kami memohon kepada Allah agar senantiasa memberikan taufik kepada para pemimpin kaum muslimin dalam setiap kebaikan, sehingga terwujud kebaikan dan diberikan hidayah.

Menolong muslim lainnya dalam setiap kebaikan, sebagaimana aku nasihatkan kepada siapa saja yang memudahkan urusan orang yang melaksanakan ibadah haji dengan takwa kepada Allah. Bersikap lembut kepada mereka dan menolong mereka dalam setiap kebaikan, kemudian berharap pahala dan ganjaran di sisi Allah. Maka mereka akan mendapatkan pahala dan keutamaan yang besar, jika mereka menolong dan memudahkan pelaksanaan ibadah haji. Kami memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar menerima seluruh amalan kami dan memberikan hidayah kepada kaum muslimin dimana pun mereka berada sehingga mendapat ridha Allah, dan diberikan pemahaman yang baik tentang agama Allah dan Allah jadikan kita dan mereka agar termasuk orang yang diberikan petunjuk. Semoga Allah menolong saudara kita dalam menunaikan ibadah haji dalam keadaan Allah ridha kepadanya. Semoga Allah juga memperbaiki keadaan kaum muslimin dimana pun mereka berada. Sungguh Allah Maha Mendengar lagi Dekat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beserta para keluarga dan seluruh shahabatnya.

***

Sumber: Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, Juz 16, hal. 347-350, http://www.alifta.net/Fatawa/FatawaChapters.aspx?languagename=ar&View=Page&PageID=105&PageNo=1&BookID=12

Penerjemah: Wiwit Hardi P.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/26233-wajib-bersegera-menunaikan-haji-dan-umrah-ketika-sudah-mampu.html

Ikhlas

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ  قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَ أَمْوَالِكُمْ وَ لَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ”Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian”.

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh:
1. Muslim dalam kitab Al Birr Wash Shilah Wal Adab, bab Tahrim Dzulmin Muslim Wa Khadzlihi Wa Ihtiqarihi Wa Damihi Wa ‘Irdhihi Wa Malihi, VIII/11, atau no. 2564 (33).
2. Ibnu Majah dalam kitab Az Zuhud, bab Al Qana’ah, no. 4143.
3. Ahmad dalam Musnad-nya II/ 539.
4. Baihaqi dalam kitab Al Asma’ Wa Shifat, II/ 233-234, bab Ma Ja’a Fin Nadhar.
5. Abu Nu’aim dalam kitab Hilyatul Auliya’, IV/103 no. 4906.

Hadits ini diriwayatkan dari beberapa jalan dari Katsir bin Hisyam, telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Barqan dari Yazid bin Al Asham dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.

Hadits ini ada mutabi’nya[1]. Imam Ahmad berkata,”Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakr Al Barani, telah menceritakan kepada kami Ja’far -yakni Ja’far bin Barqan- dengan sanad ini.” Lihat Musnad Ahmad, 2/285.

Muslim meriwayatkan dari jalan lain dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan lafazh أَجْسَادِكُمْ dan di akhirnya terdapat lafazh وَأَشَارَ بِأَصَابِعِهِ إِلَى صَدْرِهِ dan Beliau mengisyaratkan ke dadanya. Dalam riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan Baihaqi ada tambahan إِنَّمَا

Lengkapnya riwayat hadits ini dengan tambahan sebagai berikut:

إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى( أَجْسَادِكُمْ وَ لاَ إِلَى ) صُوَرِكُمْ وَ أَمْوَالِكُمْ وَ لَكِنْ (إِنَّمَا) يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ ( وَأَشَارَ بِأَصَابِعِهِ إِلَى صَدْرِهِ) وَ أَعْمَالِكُمْ

Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh kalian dan tidak juga kepada rupa dan harta kalian. Akan tetapi sesunguhnya Dia hanyalah melihat kepada hati kalian (Nabi Shalalllahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan ke dadanya) dan dia melihat pula kepada amal kalian.

SYARAH HADITS
Hadits ini dengan lafazh وَ لَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ (tetapi sesungguhnya Allah hanyalah melihat kepada hati dan amal kalian). Kata قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ sangat penting karena inilah yang akan dinilai oleh Allah nanti pada hari Kiamat. Karena itu, Imam Baihaqi (wafat tahun 458H), setelah membawakan hadits di atas, beliau berkomentar: “Hadits inilah yang shahih dan terpelihara yang dihafal oleh huffazh (ulama ahli hadits). Adapun riwayat yang biasa diucapkan oleh sebagian ahli ilmu ‘sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa dan amal kalian, tetapi melihat kepada hati kalian’, riwayat ini tidak ada satupun yang shahih yang sampai kepada kami, juga menyalahi hadits yang shahih. Riwayat yang sudah shahih itulah yang menjadi pegangan kita dan seluruh kaum muslimin. Terutama (yang harus berpegang dengan riwayat yang shahih ini) adalah ulama yang diikuti, yang menjadi panutan (bagi ummat). Wabillahit taufiq”.

Di dalam kitab Riyadhush Shalihin, no. 8 tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, dibawakan hadits ini tanpa tambahan وَ أَعْمَالِكُمْ yaitu:

إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَ أَمْوَالِكُمْ وَ لَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ

Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh kalian dan tidak juga kepada rupa kalian, tetapi Dia melihat pada hati kalian.

Kemudian Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani berkomentar: “Dalam riwayat Muslim dan lainnya ada tambahan وَ أَعْمَالِكُمْ dan tambahan ini sangat penting, karena kebanyakan kaum muslimin memahami hadits di atas tanpa ada tambahan ini dengan pemahaman yang salah. Apabila Anda menyuruh mereka dengan perintah syariat yang bijaksana, seperti diperintahkan untuk memelihara atau memanjangkan jenggot dan tidak boleh menyerupai orang kafir dan selain itu dari beban syariat, mereka akan menjawab ‘yang penting adalah hati’. Mereka berdalil dengan hadits di atas. Mereka tidak mengetahui tambahan yang shahih ini, yang menunjukkan bahwa Allah yang Maha Mulia dan Maha Tinggi melihat juga kepada amal mereka. Bila amal baik (sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka Allah akan menerimanya. Dan jika tidak baik, maka Allah akan menolaknya, sebagaimana terdapat dalam nash-nash shahih, seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ أَحْدَثَ فِي أًَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang mengada-ngada dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak[2]

Sesungguhnya tidak mungkin dapat dibayangkan baiknya hati, kecuali dengan baiknya amal dan tidak ada baiknya amal, melainkan dengan baiknya hati.

Hadits di atas dengan masalah ikhlas sangat erat kaitannya, karena berhubungan dengan masalah hati dan amal. Yaitu hati yang ikhlas dan amal yang sesuai dengan contoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, hadits ini dimasukkan oleh Imam Abdul ‘Azhim bin Abdul Qawi Al Mundziri (wafat th. 656 H) dalam kitabnya, At Targhib Wat Tarhib 1/ 29 no.19 atau dalam shahih At Targhib Wa Tarhib I/109 hadits no. 15, kitab Ikhlas, bab At Targhib Fil Ikhlash Wash Shidiq Wan Niyat Ash Shalihah. Hadits ini juga dimuat oleh Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An Nawawi Ad Dimasyqi (wafat th. 676 H) dalam kitabnya, Riyadhush Shalihin, no. 8, tahqiq Syaikh Al Albani, bab Al Ikhlas Wa Ikhdharin Niyat Fi Jami’il A’mal Wal Aqwal Wal Ahwal Barizah Wal Khafiyah.

MAKNA HADITS

لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَادِكُمْ وَ لاَ إِلَى صُوَرِكُمْ

Allah Tidak melihat pada tubuh kalian dan tidak pula pada rupa kalian.

Artinya, Allah tidak akan memberi ganjaran terhadap bentuk tubuh atau rupa manusia atau banyaknya harta, karena dzat manusia (tubuh manusia) tidak dibebani hukum. Adapun yang terbebani hukum adalah perbuatan yang berkaitan dengan diri manusia. Demikian pula sifat dan bentuk yang di luar manusia, seperti : rupa, putih, tinggi, pendek dan lainnya. Allah tidak pula melihat pada banyaknya harta atau sedikitnya, kaya atau miskin dan lainnya.

وَ لَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ

Akan tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian.

Ikhlas adalah amal hati, dan amal hati sangat penting. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Ini adalah kalimat yang ringkas tentang amal hati. Dan amal hati merupakan dasar keimanan, sebagai tonggak agama, seperti mencintai Allah dan RasulNya, tawakkal kepada Allah, mengikhlaskan ibadah karenaNya, bersyukur kepadaNya, sabar terhadap putusanNya, takut dan berharap kepadaNya. Amal ini, secara keseluruhan wajib bagi setiap makhluk menurut kesepakatan seluruh ulama (imam). [Majmu’ Fatawa, X/5-6].

Ibnul Qayyim berkata,”Amal hati adalah pokok, sedangkan amal badan sebagai penyerta dan penyempurna. Sesungguhnya niat itu laksana ruh, sedangkan amal laksana badan. Jika ruh meninggalkan badan, ia akan mati. Maka mempelajari hukum-hukum hati lebih penting dari pada mempelajari hukum perbuatan atau badan.” [Badai’ul Fawaid, hlm. 511][3]

Selanjutnya Ibnul Qayyim berkata,”Barangsiapa memperhatikan syarat dan sumbernya, ia akan tahu tentang terkaitnya amal badan terhadap amal hati. Amal badan tidak akan ada manfaatnya tanpa ada amal hati. Amal hati lebih wajib bagi setiap hamba dari pada amal badan. Bukankah perbedaan orang mukmin dan orang munafik tergantung pada hatinya? Oleh karenanya, ibadah hati lebih agung daripada ibadah badan, bahkan lebih banyak dan lebih kontinyu dan lebih wajib pada setiap waktu.[4]

Amal hati sangat penting dan sangat tinggi nilainya di sisi Allah. Dan yang terpenting dari amalan hati adalah keikhlasan karena Allah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَلاَ وَ إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَ إِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَ هِيَ الْقَلْبُ

… Ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Apabila ia baik, maka baik pula seluruh tubuhnya. Apabila ia buruk, maka buruk pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah segumpal daging itu adalah hati. [HR Bukhari no. 52, 2051 dan Muslim no. 1599 dari sahabat Nu’man bin Basyir].

Ikhlas merupakan salah satu amal hati. Bahkan ikhlas berada di awal amal-amal hati. Sebab  diterimanya seluruh amal tergantung dari niat yang ikhlas karena Allah. Dan diterimanya harus terpenuhi dua syarat. Yaitu ikhlas dan sesuai dengan contoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

PERINTAH UNTUK IKHLAS, MENJAUHI RIYA’ DAN SYIRIK
Ikhlas merupakan hakikat dien dan kunci dakwah para rasul, sebagaimana firman Allah:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus. Dan supaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat. Yang demikian itulah agama yang lurus. [Al Bayyinah/98:5].

لَن يَنَالَ اللهَ لُحُومُهَا وَلاَدِمَآؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَاهَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ

Daging unta (kurban) dan darahnya tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang akan sampai kepadaNya adalah ketaqwaan kamu. [Al Hajj/22:37].

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ للهِ وَهُوَ مُحْسِنُُ

Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan…[An Nisa/4:125].

قُلْ إِن تُخْفُوا مَافِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللهُ وَيَعْلَمُ مَافِي السَّمَاوَاتِ وَمَافِي اْلأَرْضِ وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرُُ

Katakanlah: Jika kamu menyembunyikan apa yang ada di dalam hatimu atau menampakkannya, pasti Allah mengetahui [Ali Imran/3:29].

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ ﴿٢﴾ أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (Al Qur`an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya. Ingatlah hanya milik Allah agama yang bersih (dari syirik). [Az Zumar/39:2-3].

قُلِ اللهَ أَعْبُدُ مُخْلِصًا لَّهُ دِينِي

Katakanlah, hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam menjalankan agamaku. [Az Zumar/39:14].

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Sesungguhnya amal-amal itu (harus) dengan niat, dan sesungguhnya setiap (amal) seseorang itu tergantung niatnya…”. [HSR Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907].

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ  قَالَ : قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : قَالَ اللهُ تَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِي غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَ شِرْكَهُ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah berfirman: Aku tidak butuh kepada semua sekutu. Barangsiapa beramal mempersekutukanKu dengan yang lain, maka Aku biarkan dia bersama sekutunya”. [HSR Muslim, no. 2985; Ibnu Majah, no. 4202].

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ  قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : مَنْ تَعَلَّمَ عِلْماً مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضاً مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الجَنَّةِ يَوْمَ القِيَامَةِ (يَعْنِيْ رِِيْحَهَا)

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa belajar ilmu yang seharusnya ia mengharapkan wajah Allah Azza wa Jalla, kemudian ia belajar untuk mendapatkan sesuatu dari (harta) dunia, maka ia tidak akan mencium baunya surga pada hari Kiamat. [HSR Abu Dawud, no. 3664; Ibnu Majah, no. 252 dan Ahmad, II/338][5]

Hadits-hadits yang semisal ini banyak sekali.

Yang selayaknya disebutkan juga dalam pembahasan ini ialah, manakala ikhlas telah tertanam dalam mengamalkan suatu ketaatan, sedangkan ketaatan itu murni hanya dalam rangka mencari wajah Allah saja, maka kita dapat menyaksikan, bahwa Allah pasti akan memberi balasan yang besar terhadap orang-orang yang ikhlas, meskipun ketaatannya sedikit. Sebagaimana kata Abdullah Ibnul Mubarak: “Betapa banyak amal kecil (sedikit, sederhana) menjadi besar dengan sebab niatnya (keikhlasannya). Dan betapa banyak amal yang besar (banyak) menjadi kecil nilainya dengan sebab niat (karena tidak ikhlas)[6]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Suatu bentuk amal yang dilakukan manusia dengan dasar keikhlasan dan ibadah yang sempurna kepada Allah, maka Allah akan mengampuni dengan keikhlasan itu dosa-dosa besarnya, sebagaimana dalam hadits bithaqah (kartu yang bertuliskan لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله) ditimbang dengan 99 dosa di salah satu daun timbangan. Maka yang lebih berat adalah bithaqah”[7]

Inilah keadaan orang yang mengucapkannya dengan ikhlas dan jujur sebagaimana dalam hadits tersebut. Kalau tidak ikhlas, maka berapa banyak orang yang melakukan dosa besar masuk neraka, padahal mereka mengucapkan kalimat tauhid, namun ucapan mereka tidak dapat menghapuskan dosa-dosa mereka sebagaimana ucapan pemilik bithaqah[8]

Ketaatan tanpa keikhlasan dan kejujuran karena Allah, tidak akan mendapat pahala, bahkan pelakunya akan dicampakkan ke dalam neraka, meskipun ketaatan itu berupa amal-amal besar seperti berinfaq, berjihad, mencari ilmu syariat. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa tiga golongan manusia yang pertama-tama diputuskan hukuman, yang kemudian dimasukaan ke dalam api neraka. Pertama, orang yang berjihad karena ingin mendapat julukan pemberani. Kedua, orang yang belajar dan membaca Al Qur`an, supaya dikatakan orang yang alim dan qari’. Ketiga, orang yang mengeluarkan shadaqah agar dikatakan orang bahwa ia dermawan (suka memberi shadaqah). [HSR Muslim, no. 1905, diriwayatkan juga Imam Ahmad II/322, dan Nasa-i VI/23-24, dari sahabat Abu Hurairah].

Ketiga macam orang tersebut tidak ikhlas dan melakukan amal bukan karena Allah.

Kesimpulan yang bisa kita ambil, ikhlas adalah dasar-dasar utama dari tiap-tiap amal. Amal diumpamakan jasad, sedang jiwanya adalah ikhlas.

 

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله

Read more https://almanhaj.or.id/11926-i-k-h-l-a-s-2.html

Rahasia Doa Masuk Masjid untuk Pengusaha Muslim

Masuklah Ke Masjid!!

Saya selalu berpikir tatkala menuju masjid, setelah sampai kenapa kita dianjurkan untuk berdoa:

اَللّٰهُمَّ افْتَحْ لِيْ اَبْوَابَ رَحْمَتِكَ

Allahummaf tahlii abwaaba rahmatik

Artinya, “Ya Allah, bukalah untukku pintu-pintu rahmat-Mu”

Rahmat….rahmat… kalimat ini selalu terngiang dalam telinga.

Kenapa rahmat Allah dibukakan saat orang datang ke masjid ?

Allah berfirman,

مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا ۖ وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS.Fathir:2)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ فُتِحَ لَهُ مِنْكُمْ بَابُ الدُّعَاءِ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الرَّحْمَةِ

“Barang siapa diantara kalian yang dibukakan baginya pintu doa, maka dibukakan baginya pintu rahmat.” (HR. Tirmidzi)

Karena itulah terkadang seorang mukmin berada dalam kondisi yang terjepit. Seluruh pintu tertutup baginya, namun Allah menurunkan rahmat kedalam hatinya sehingga ia merasa bahagia, tenang dan tentram walau tertawan didalam penjara.

Terkadang kondisinya terbalik. Segala pintu terbuka di hadapan seseorang, rezekinya melimpah dan segala urusannya mudah. Namun hatinya terasa sempit, ia melihat dunia yang luas ini seperti penjara yang gelap. Itu semua karena pintu rahmat belum terbuka didalam hatinya.

Kondisi ini dirasakan oleh setiap manusia. Terpenuhinya keinginan materi tidak menjamin ketenangan hati seseorang jika rahmat Allah tidak sampai kepada hatinya….

Pintu rahmat sangat banyak sekali, bisa jadi berupa ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan bisa jadi itu berupa rezeki yang barokah.

Jadi pengusaha, karyawan atau profesi apapun…rahmat itu penting sekali.

Dari pintu masjid inilah bisa jadi rejekimu akan lancar dan barokah, Aamiin

اَللّٰهُمَّ افْتَحْ لِيْ اَبْوَابَ رَحْمَتِكَ

“Ya Allah, bukalah untukku pintu-pintu rahmat-Mu”

 

Oleh: Abu Najmah Minanurrohman

Read more https://pengusahamuslim.com/6245-rahasia-doa-masuk-masjid-untuk-pengusaha-muslim.html

Ulanglah Sejarahmu Wahai Pedagang Muslim!!!

Pendahuluan:

Alhamdulilah, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Sejarah setiap umat dan bangsa adalah modal awal bagi terwujudnya pembangunan masa depan mereka yang cerah. Tatkala suatu bangsa telah melupakan sejarah masa lalu mereka, maka itu pertanda kehancuran mereka telah tiba saatnya. Ketahuilah bahwa pada sejarah setiap bangsa pasti menyimpan banyak pelajaran berharga, padahal sejarah tidak pernah lupa atau salah ingatan.

Wajar bila Allah Ta’ala memerintahkan anda untuk menimba pelajaran dari orang-orang yang telah mendahului anda. Bagaimana mereka mencapai kejayaan dan mengapa kehancuran menimpa mereka.

(قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُواْ فِي الأَرْضِ فَانْظُرُواْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذَّبِينَ)

“Sungguh telah berlalu sebelummu sunnah-sunnah (kebiasaan) Allah, maka berjalanlah engkau di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan rasul.” Ali Imran 137.

Pedagang Mengislamkan Nusantara.

Saudaraku! Sudahkan anda menggali berbagai mutiara hikmah dari sejarah nenek moyang kita? Profesi dan status yang anda sandang saat ini tidak sepantasnya menghalangi anda dari menggali mutiara hikmah dari nenek moyang anda.

Nenek moyang kita konon begitu terkesan dan terpikat oleh akhlaq mulia para pedagang yang singgah di bumi nusantara ini. Begitu kuat simpati nenek moyang kita dengan akhlaq para pedagang muslim, sampai-sampai mereka berani dan rela meninggalkan agama yang mereka anut sedari dahulu kala. Dalam waktu yang relatif singkat, bangsa kita yang sebelumnya beragama Hindu dan Buda berubah menjadi beragama Islam.

Belumkah tiba saatnya anda bertanya: begitu hebatkah karismatik para pedagang itu, sehingga mereka berhasil mengislamkan bumi Nusantara? Metode apakah yang mereka gunakan sehingga berhasil menebarkan syari’at Allah, padahal sudah barang tentu mereka juga sibuk dengan perniagan mereka?

Sejarah masuknya agama Islam ke negri kita tercinta Indonesia sungguhlah unik dan menakjubkan.

Betapa tidak, kala itu masyarakat setempat beragamakan hindu dan budha dan di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan hindu dan budha pula. Walau demikian, semua itu tidak dapat menghadang laju pergerakaan para penyebar syi’ar Islam. Dan yang menambah sejarah ini semakin unik ialah, nenek moyang kita dengan suka rela memeluk agama Islam tanpa paksaan dan iming-iming materi. Bahkan sebaliknya, dengan keputusan mereka untuk masuk Islam ini berarti mereka menyatakan siap menanggung segala resiko dan tantangan yang bakal mereka hadapi.

Anda bisa bayangkan, kira-kira bagaimana sikap para pendeta, biksu dan pemuka agama hindu dan buda tatkala mengetahui pilihan masyarakatnya? Bayangkan pula pula betapa besar kemurkaan raja-raja kala itu akibat dari sikap masyarakatnya yang berbondong-bondong masuk Islam dan meninggalkan agama rajanya.

Jadilah Pedagang Penyebar Islam.

Tindakan sering kali lebih cepat menyampaikan pesan dibanding seribu ucapan. Bahkan tindakan mampu memberikan kesan yang tidak mungkin ditumbuhkan oleh tutur kata. Ini membuktikan betapa pentingnya peranan teladan yang baik dalam kehidupan umat manusia secara umum dan umat muslim secara khusus begitu. Wajar bila Islam menekankan agar lisan anda selaras dengan tindakan anda, dan tentu tindakan anda selaras dengan iman yang tertanam kokoh dalam dada.

(يا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ {2}كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ)

“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa engkau mengatakan sesuatu yang tidak engkau kerjakan. Sangat besar kebencian Allah bila engkau mengatakan suatu ucapan yang tidak engkau kerjakan.” As Shaf 2-3

Anda mengaku beriman kepada Allah, dan hari akhir, akan tetapi sudahkah tindakan anda mencerminkan akan keimanan tersebut? Anda percaya bahwa menepati janji, amanah, dan jujur adalah suatu kepastian dalam agama anda. Namun sudahkah itu semua tercermin dalam perilaku anda selama ini ?

Wajar bila Nabi ‘alaihissalam dalam banyak kesempatan menjadikan akhlaq mulia dan santun anda sebagai bukti iman anda.

(مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ)

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia tidak mengganggu tetangganya. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia menghormati tamunya. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia bertutur kata yang baik atau bila tidak kuasa, maka hendaknya ia berdiam diri.” Muttafaqun ‘alaih

Pada hadits lain beliau bersabda:

-فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ وَيَدْخُلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِى يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ رواه مسلم

“Barang siapa mendambakan untuk dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke surga, hendaknya ia mati dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaknya ia memperlakukan orang lain sebagaimana ia suka bila mereka memperlakukannya dengan cara itu.” Riwayat Muslim

Suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melntasi para pedagang yang sedang berniaga. Tidak ingin kehilangan momentum bagus ini, maka beliau segera memanfaatkannya untuk menyampaikan etika pokok para pedagang muslim. Dengan suara yang lantang, beliau menegaskan kepada mereka:

(يا معشر التجار! فاستجابوا لرسول الله  ورفعوا أعناقهم وأبصارهم إليه، فقال: (إن التجار يبعثون يوم القيامة فجارا، إلا من اتقى الله وبر وصدق) رواه الترمذي وابن حبان والحاكم وصححه الألباني

“Wahai para pedagang! Spontan mereka menyimak apa yang akan disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengangkat leher dan pandangan mereka kepada beliau. Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya kelak pada hari qiyamat, para pedagang akan dibangkitkan sebagai orang-orang fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertaqwa kepada Allah, berbuat baik dan berlaku jujur.” Riwayat At Timizy, Ibnu Hibban, Al Hakim dan dishahihkan oleh Al Albany.

Untuk lebih menekankah pesannya ini, Nabi ‘alaihissalam mencontohkan dalam praktek nyata bagaimana seyogyanya para pedagang menjalankan perniagaannya:

عن عبد المجيد بن وهب قال: قال لي العداء بن خالد بن هوذة: ألا نقرئك كتابا كتبه لي رسول الله  ؟ قلت: بلى. فأخرج لي كتابا، فإذا فيه: (هذا ما اشترى العداء بن خالد بن هوذة من محمد رسول الله  اشترى منه عبدا أو أمة لا داء ولا غائلة ولا خبثة بيع المسلم للمسلم) رواه الترمذي وابن ماجة وحسنه الحافظ ابن حجر العسقلاني

“Abdul Majid bin Waheb, mengkisahkan, bahwa Al ‘Addaa’ bin Khalid bin Hauzah berkata kepadaku: Sudikah engkau aku bacakan kepadamu surat yang dituliskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untukku? Aku-pun menjawab: Tentu. Kemudian ia mengeluarkan secarik surat, dan ternyata isinya: “Inilah penjualan Al ‘Addaa’ bin Khalid bin Hauzah kepada Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia (Al ‘Addaa’) menjual kepadanya (Nabi ) seorang budak laki-laki atau budak perempuan. Budak yang tiada berpenyakit, berperangai buruk, tidak pula ada pengelabuhan, sebagaimana lazimnya penjualan seorang muslim kepada orang muslim lainnya.” Riwayat At Tirmizi, Ibnu Majah, dan dinyatakan hasan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalany.

Menurut hemat anda, bila para pedagang muslim mematuhi petuah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, akankah ada orang yang tidak simpatik dengannya? Mungkinkah hati nurani para pelanggan tidak terpikat dengan tutur kata anda yang lembut, senyum anda yang mencerminkan ketulusan batin dan sikap anda yang jujur?

Pada kesempatan lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi contoh lain dari, beliau bersabda:

(رَحِمَ اللَّهُ رَجُلاً سَمْحًا إِذَا بَاعَ ، وَإِذَا اشْتَرَى ، وَإِذَا اقْتَضَى( رواه البخاري

“Semoga Allah senantiasa merahmati orang yang senantiasa berbuat mudah ketika ia menjual, membeli dan ketika menagih.” Riwayat Bukhari.

Saudaraku! Sebagai pedagang, apa perasaan anda tatkala memiliki pelanggan atau relasi yang berperangai sebagaimana di paparkan di atas? Mungkinkah anda kuasa untuk menahan badai simpati yang bergemuruh dalam hati anda? Kuasakah anda untuk tidak mendengarkan tutur katanya, bila ia sedang berbicara? Dan mungkinkah anda untuk tidak mempercayainya?
Wajar bila nenek moyang kita semua terpikat dan dengan suka rela meninggalkan agama nenek moyang mereka yang telah mereka anut berabad-abad lamanya. Dengan jiwa yang besar dan hati yang tulus, nenek moyang kita menerima agama yang disyi’arkan oleh para pedagang muslim kala itu. Semua itu berkat keluhuran budi pekerti dan ketulusan hati para pedagang muslim yang singgah di negri kita kala itu.

Fakta Pedagang Muslim Di Zaman Ini.

Pedagang muslim zaman dahulu telah berhasil menebarkan syi’ar Allah dan mengislamkan penduduk Nusantara. Nah bagaimana dengan pedagang muslim zaman sekarang? Saya yakin anda mengetahui bagaimana fakta pilu yang di jalani oleh banyak dari pedagang muslim. Segala cara mereka tempuh guna mengeruk keuntungan sesaat, walau harus mengorbankan akhiratnya.

Saudaraku! Belumkah tiba saatnya bagi anda untuk kembali membuktikan bahwa upaya mendapatkan keuntungan niaga tidaklah menghalangi anda untuk bisa berdakwah dan menebarkan syi’ar Allah. Tidakkah anda terpanggil untuk meneladani nenek moyang anda terdahulu yang telah berhasil mengislamkan penduduk nusantara?

Bila pedagang terdahulu berhasil mengislamkan orang hindu dan buda dengan melalui perniagan mereka, maka tidakkah anda kuasa “mengislamkan” orang Islam dengan perniagaan anda pula? Buktikan kepada dunia luas bahwa syari’at islam anda mampu menjadikan anda mengeruk keuntungan dan menjadikan bisnis anda lancar. Anda berbahagia dengan keuntungan anda dan masyarakatpun damai sejahtera dengan perniagaan anda.

Semoga paparkan singkat ini menggugah iman dan semangat anda untuk menyingsingkan baju dan membulatkan tekad untuk berniaga dapat memancarkan iman dan amal shaleh pada perniagaan anda.

Sumber: Majalah Cetak Pengusaha Muslim Indonesia

Read more https://pengusahamuslim.com/3475-ulanglah-sejarahmu-wahai-pedagang-muslim-1851.html