Pernahkah Anda Lihat Talang Air Ka’bah? Begini Bentuknya

Bagi Anda yang pernah melaksanakan umrah atau haji, pernahkah Anda memperhatikan bagian terkecil dari Ka’bah, yaitu talang air? Talang yang disebut dalam isitilah arab mizab ini terletak di bagian atas sisi Ka’bah sebelah pas Hijr Ismail. Talang tersebut berfungsi sebagai saluran air ketika hujan atau sewaktu pencucian Ka’bah.

Talang ini dibuat Suku Qurais 1.500 tahun lalu ketika renovasi Ka’bah. Bahkan Muhammad SAW ikut serta dalam proses renovasi pada masa itu, saat usia beliau 35 tahun, sebelum diangkat sebagai nabi dan rasul.

Talang ini terbuat dari tembaga yang dilapisi emas. Arah air dari talang ini akan mengucur tepat di atas Hijr Ismail. Renovasi sepanjang masa tak melewatkan talang air ini.

Renovasi terakhir terlaksana pada 1418 Hijriyah di masa pemerintahan Raja Fahd dengan memberikan beberapa tambahan, di antaranya deretan paku di atas talang untuk mencegah burung jatuh di atasnya.

Sedangkan yang membuat proyek pelapisan talang dengan emas adalah Walid bin Abdul Malik.

Para sejarawan Muslim sepanjang masa, memberikan catatan fantastis terkait talang dan air yang mengucur darinya.

Sebagian bahkan mengisahkan kepercayaan umat Islam pada masa-masa awal, keberkahan air yang mengalir dari talang ini.

Sejarawan al-Azraqi misalnya, mencatat bentuk talang tersebut dengan ukuran sederhana sebagaimana jamak berlaku pada masa itu yaitu talang ini panjangnya empat hasta, lebar delapan jari, dan tingginya delapan jari.

KHAZANAH REPUBLIKA

Saudaraku, Sampai Kapan Kita saling Mencela dan Mengolok-olok?

Fenomena dewasa ini yang cukup memprihatinkan kita adalah kita saksikan saudara-saudara kita sesama muslim yang saling mengejek, saling menghina, dan saling mengolok-olok di media sosial. Berbagai gelar dan julukan yang buruk pun mudah terucap, baik melalui lisan atau melalui jari-jemari komentar di media sosial. Sebutlah misalnya julukan (maaf) “cebong”, “kampret”, “IQ 200 sekolam” dan ucapan-ucapan buruk lainnya. Ucapan-ucapan yang tampak ringan di lisan dan tulisan, padahal berat timbangannya di sisi Allah Ta’ala di hari kiamat kelak.

Hukum Saling Memanggil dengan Gelar dan Julukan yang Buruk

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ

Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar (yang buruk)” (QS. Al-Hujuraat [49]: 11).

Pada asalnya, “laqab” (gelar atau julukan) itu bisa mengandung pujian dan bisa juga mengandung celaan. Jika julukan tersebut mengandung pujian, inilah yang dianjurkan. Seperti, memanggil orang lain dengan “yang mulia”, “yang ‘alim (berilmu)”, “yang terhormat” dan sebagainya.

Namun jika julukan tersebut mengandung celaan, maka inilah maksud ayat di atas, yaitu hukumnya terlarang. Misalnya, memanggil orang lain dengan “orang pelit”, “orang hina”, “orang bodoh”, dan sejenisnya. Meskipun itu adalah benar karena ada kekurangan (cacat) dalam fisiknya, tetap dilarang. Misalnya dengan memanggil orang lain dengan “si pincang”, “si mata juling”, “si buta”, dan sejenisnya. Kecuali jika julukan tersebut untuk mengidentifikasi orang lain, bukan dalam rangka merendahkan, maka diperbolehkan. Misalnya, jika di suatu kampung itu ada banyak orang yang bernama “Budi”. Jika yang kita maksud adalah “Budi yang pincang” (untuk membedakan dengan “Budi” yang lain), maka boleh menyebut “Budi yang pincang”. Karena ini dalam rangka membedakan, bukan dalam rangka merendahkan.

Sayangnya, kita jumpai saat ini orang sangat bermudah-mudah dan meremehkan larangan Allah Ta’ala dalam ayat di atas. Diberikanlah julukan bagi orang yang berbeda pandangan atau pilihan “politiknya” dengan sebutan (maaf) “cebong”, sedangkan di pihak lain diberikan julukan (maaf) “kampret” dan julukan-julukan yang buruk lainnya. Seolah-olah ucapannya itu adalah ucapan yang ringan dan tidak ada perhitungannya nanti di sisi Allah Ta’ala.

Lebih-lebih bagi mereka yang pertama kali memiliki ide julukan ini dan yang pertama kali mempopulerkannya, kemudian diikuti oleh banyak orang. Karena bisa jadi orang tersebut menanggung dosa jariyah sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Dan barangsiapa yang membuat (mempelopori) perbuatan yang buruk dalam Islam, maka baginya dosa dan (ditambah dengan) dosa orang-orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun” (HR Muslim no. 1017).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, dia mendapatkan dosa, seperti dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa orang yang mengikuti tersebut sedikit pun” (HR. Muslim no. 2674).

Jangan Saling Mengolok-olok

Allah Ta’ala juga melarang kita dari perbuatan saling mengolok-olok. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) itu lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri (maksudnya, janganlah kamu mencela orang lain, pen.). Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar (yang buruk). Seburuk-buruk panggilan ialah (penggilan) yang buruk (fasik) sesudah iman. Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim” (QS. Al-Hujuraat [49]: 11).

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala melarang perbuatan mengolok-olok orang lain. Misalnya dengan mengolok-olok saudaranya dengan mengatakan “IQ jongkok” atau “IQ 200 sekolam”, dan olok-olokan lainnya. Apalagi, dalam olok-olokan IQ tersebut jelas-jelas mengandung unsur dusta dan kebohongan atas nama orang lain. Karena tentunya, orang yang mengolok-olok itu tidak pernah mengukur IQ saudaranya sama sekali.

Selain itu, perbuatan mengolok-olok, saling memanggil dengan gelar yang buruk, dan perbuatan mencela orang lain itu Allah Ta’ala sebut dengan kefasikan. Istilah “fasik” maksudnya adalah keluar dari ketaatan kepada Allah Ta’ala, karena perbuatan semacam ini tidak pantas dinamakan dan disandingkan dengan keimanan.

Di akhir ayat di atas, Allah Ta’ala katakan bahwa barangsiapa yang tidak mau bertaubat dari perbuatan-perbuatan di atas (mengolok-olok, memberikan gelar yang buruk, mencela, merendahkan, ghibah dan adu domba), maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Mereka telah menzalimi orang lain. Dan bisa jadi Allah Ta’ala selamatkan orang yang dilecehkan dan Allah Ta’ala timpakan hukuman kepada orang yang mengolok-olok dan melecehkan tersebut dengan bentuk hukuman sebagaimana olok-olok yang dia sematkan kepada orang lain atau bahkan lebih buruk.

Mencela Orang Lain Berarti Mencela Diri Sendiri

Ada yang menarik dalam ayat di atas berkaitan dengan larangan mencela orang lain. Allah Ta’ala melarang kita mencela orang lain dengan lafadz,

وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ

Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri” (QS. Al-Hujuraat [49]: 11).

Mengapa mencela orang lain Allah Ta’ala sebut dengan mencela diri sendiri? Ada dua penjelasan mengenai hal ini. Penjelasan pertama, karena setiap mukmin itu bagaikan satu tubuh. Sehingga ketika dia mencela orang lain, pada hakikatnya dia mencela dirinya sendiri, karena orang lain itu adalah saudaranya sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ المُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

Sesungguhnya orang mukmin yang satu dengan mukmin yang lain itu bagaikan satu bangunan, yang saling menguatkan satu sama lain” (HR. Bukhari no. 481 dan Muslim no. 2585).

Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, saling mengasihi dan saling menyokong satu sama lain itu bagaikan satu tubuh. Jika satu bagian tubuh sakit, maka seluruh bagian tubuh lainnya akan merasakan sakit, dengan begadang (tidak bisa tidur) dan demam” (HR. Muslim no. 2586).

Penjelasan kedua adalah karena jika kita mencela orang lain, maka orang tersebut akan membalas dengan mencela diri kita sendiri, dan begitulah seterusnya akan saling mencela. Dan itulah fenomena yang kita saksikan saat ini.

Mencela orang lain itu termasuk perbuatan merendahkan (menghina) mereka. Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka adzab yang pedih” (QS. At-Taubah [9]: 79).

Oleh karena itu, melalui tulisan ini, kami mengajak kepada saudara-saudara kami sesama kaum muslimin untuk menghentikan kebiasaan saling mencela, saling menghina, saling mengolok-olok, dan saling memanggil dengan gelar dan julukan yang buruk. Baik itu di dunia nyata maupun di dunia maya (di media sosial seperti facebook, twitter, instagram, dan lainnya). Karena semua yang kita ucapkan dan semua yang kita tulis, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah Ta’ala.

***

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/41414-saudaraku-sampai-kapan-kita-saling-mencela-dan-mengolok-olok.html

Berkepala Botak, Bolehkah?

Kata orang, cowok dengan tampilan kepala botak itu seksi. Ini soal tren. Gaya potongan rambut botak itu juga digemari oleh sebagian perempuan. Sejumlah artis Hollywood misalnya, pernah mencukur habis rambut mereka. Entah karena tuntutan peran atau sekadar ikut mode.

Pada 2005 misalnya, Natalie Portman tampil plontos saat main di film “V for Vendetta”. Sebelumnya, Demi Moore melakukan hal yang sama ketika berperan di film “G.I Jane” yang rilis pada 1997. Britney Spears pada 2007 mencukur habis rambutnya sebagai bentuk terapi atas depresi yang menyerangnya. Bagaimana dengan Muslimah? Bolehkah mencukur botak rambut di kepalanya?

Prof Abdul Jawwad Khalaf dalam bukunya berjudul as-Syi’ru wa-Ahkamuhu fi al-Fiqh al-Islami mengatakan, para ulama sepakat bahwa seorang perempuan dilarang mencukur hingga botak rambut kepalanya. Tetapi, soal tingkat dan level pelarangannya mereka tidak berbeda pendapat.

Kelompok yang pertama berpandangan, derajat larangannya setara dengan makruh. Ini bila dilakukan tanpa sebab syar’i, seperti sakit dan hanya alasan mengikuti tren. Opsi ini merupakan pendapat yang berlaku di kalangan Mazhab Hanafi, Hambali, dan Syafi’i. Itu seperti dinukilkan dari Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni, dan Ibnu Abidin dalam kitab Radd al-Muhtar ala ad-Dur al-Mukhtar Hasyiyat Ibn Abidin.

Kubu yang kedua berpandangan, larangan botak tanpa sebab yang kuat bagi Muslimah derajatnya ada pada tingkatan haram. Ini adalah opsi yang dipakai oleh Mazhab Maliki, Zhahiri, dan Ibadhi.

Sedangkan, opsi yang ketiga ialah pendapat yang membolehkan botak bagi perempuan, dalam kondisi tertentu. Ini seperti disampaikan oleh Abu Bakar bin al-Atsram yang bermazhab Hambali.

Segenap pendapat ini menitikberatkan pada hukum perempuan botak tanpa sebab dan uzur syar’i. Jika memang kondisi menuntut seorang Muslim berbotak ria, akibat sakit contohnya, maka ia boleh menggundulkan kepalanya.

Kubu yang pertama menukil sejumlah dalil, antara lain, hadis riwayat Muslim dari Burdah bin Abu Musa. Rasulullah SAW menyatakan, terbebas dari perempuan yang mencukur habis rambutnya.

Bagi kelompok kedua, hadis riwayat sejumlah sahabat dijadikan sebagai dasar. Hadis ini dinukil dari Aisyah, Ibnu Abbas, dan Ali bin Abi Thalib. Riwayat sejumlah tabiin juga memperkuat dalil di atas. Ikrimah meriwayatkan bahwa Rasulullah melarang perempuan memggundulkan kepalanya. Hasan al-Bashri juga pernah melarang seorang perempuan yang hendak berpenampilan botak.

Ulama sepakat bahwa botak dilarang bila tanpa uzur syar’i. Tetapi, Berbeda pendapat soal tingkat larangannya:

Makruh :  Mazhab Hanafi, Hambali, dan Syafi’i

Haram : Mazhab Maliki, Zhahiri, dan Ibadhi

Belajar untuk Tidak Kecewa

“BUKAN dirimu yang mengatur jalan kehidupan. Namun, respons darimu yang dibutuhkan. Berikan respons terbaik atas segala yang terjadi dari luar dirimu. Semakin baik responsmu, semakin tinggi nilaimu.” Demikian guru saya mengajari saya agar tak larut dalam kecewa dalam kehidupan yang kisahnya tak selalu sama dengan yang diharap.

Malam ini saya menimba banyak pelajaran kehidupan. Bertemu dengan pengasuh pesantren yang sudah sepuh dengan semangat nasionalisme yang tinggi adalah anugerah. Mendapat pelayanan terbaik dari seorang doktor yang saya bimbing disertasinya adalah sebuah keharuan yang tidak bisa disembunyikan. Bertamu tanpa ketemu tuan rumah juga merupakan sesuatu yang memberikan pelajaran hidup.

Malam ini saya berbahagia bisa berbagi cerita dengan banyak orang, bisa bertukar senyuman dengan para sahabat. Malam ini saya berharap lebih, yakni bertemu dengan lebih banyak lagi sahabat namun ternyata mereka tak sempat datang karena sibuk dengan agendanya masing-masing. Sedikit kecewa, namun suara hati meredamnya dengan menundukkan ego saya. Saya pun berkata lirih: “Siapalah dirimu wahai AIM, tak semua orang butuh dan suka bertemu denganmu.” Saya pun sadar dan tersenyum kembali.

Yang membuat kecewa hati seringkali bukan faktor luar, bukan orang lain. Seringkali yang membuat kecewa adalah faktor diri kita sendiri yang memasang nilai diri terlalu tinggi. Jika ini penyebabnya, maka jalan keluarnya adalah turunkan bandrol harga diri. Biarkan diri kita cukup dengan satu merek saja sebagai hamba Allah.

Lalu bagaimanakah dengan cara kita memandang orang lain? Pandanglah mereka dengan pandangan positif sehingga menjadi alasan baik untuk memaklumkan kita akan ketaknyamanan yang kita terima. Masih terasa tidak fair? Kapan-kapan kita diskusikan.

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Teladan Persahabatan Rasulullah dan Sahabatnya

ABU Sufyan berkata: “Tak pernah kulihat seseorang mencintai orang lain melebihi cinta sahabat Nabi Muhammad kepada beliau.” Cintanya sahabat kepada beliau adalah cinta yang penuh kesiapan untuk bersama dalam suka dan duka, kesiapan untuk senantiasa bersatu dalam asa dan rasa.

Ada banyak kisah pengorbanan para sahabat kepada beliau sebagaimana kisah perhatian beliau kepada para sahabatnya. Lalu bagaimanakah dengan model persahabatan kita dan model persaudaraan kita?

Salah seorang shalih ditanya tentang bagaimana cintanya pada saudaranya. Beliau menjawab: “Cintaku kepada saudaraku adalah cinta yang menjadikanku mudah menerima permintaan maafnya semudah berbahagia dengan kebaikannya. Cintaku kepada saudaraku adalah cinta yang menyebabkan hatiku berbahagia dengan kehadirannya dan merasa rindu segera berjumpa ketika lama tiadanya. Cintaku kepada saudaraku adalah cinta yang mempertalikan hati sampai pada derajat senyumnya adalah senyumku dan deritanya adalah deritaku.”

Andaikan persahabatan dan persaudaraan antarkita adalah bagai baris-baris indah di atas, betapa hari-hari adalah saat yang damai sejahtera. Andaikan persahabatan dan persaudaraan di negeri ini adalah di atas dasar ketulusan dan kesadaran untuk hidup bersama dalam cinta, betapa negeri ini benar menjadi potongan surga di wilayah bumi bawah garis khatulistiwa. Lalu mengapa ada saling hina dan saling caci? Lalu mengapa ada yang senang menari di atas luka saudaranya sendiri?

Kepentingan dan nafsu telah disetiri syetan untuk saling mencurigai, untuk saling mengalahkan, untuk saling menyakiti, untuk saling bermusuhan. Banyaknya wajah cemberut, wajah minus senyum, adalah bukti kemenangan partai syetan dan kekalahan partai cinta dan persaudaraan. Karena berebut jabatan dan kedudukan, hilanglah senyum lenyaplah riang.

Mari kita suburkan lagi senyum, yakni senyum tulus atas dasar cinta, untuk merajut benang-benang sosial yang telah tercerai-berai karena kepentingan dan nafsu.

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Berbagi Kabar Gembira, Mengapa Sangat Dianjurkan Agama?

Ka’ab bin Malik ra, salah seorang sahabat yang dikenal piawai merangkai syair dan berdebat itu, pernah mendapat hukuman berupa pengasingan. Ia dikucilkan oleh seluruh warga Madinah selama 40 hari. Sanksi itu ia peroleh lantaran pengakuannya yang jujur kepada Rasulullah, bahwa ia tidak ikut pergi berperang saat peristiwa Tabuk terjadi.

Ketidakikutsertaannya itu bukan atas sebab yang diperbolehkan oleh syariat, selama perang berkecamuk, ia tidak melakukan aktivitas apa pun, selain berdirim diri di rumah. “Ketika aku duduk seperti yang telah disebutkan Allah, jiwaku terasa sempit dan bumi yang kupijak seakan tidak kukenali,” ucapnya dalam sebuah riwayat. Hukuman yang ia jalani, dirasakannya berat, ia pun bersungguh-sungguh menuju pertaubatan.

Di suatu fajar, betapa gembiranya sosok yang berasal dari suku Khazraj itu. Ia mendengar berita gembira, meski samar. Suara itu ia dengar dari ketinggian bukit Sala’ yang menyuruhnya bergembira, bahwa Rasulullah telah memberitahukan pertaubatannya telah diterima oleh Allah. Kurang yakin pada informasi tersebut, ia pun lantas bergegas menghadap Rasulullah dengan segala keterbatasan. Bahkan dikisahkan, ia sempat meminjam dua helai pakaian kala itu.

Sepanjang perjalanan, orang-orang menemuinya secara berkelompok. Mereka mengucapkan selamat atas diterimanya taubat. Sesampainya di Masjid Nabawi, ia mendapati Rasulullah sedang duduk dikelilingi sahabat lainnya. Thalhah bin Ubaidillah berdiri lalu menyalaminya sembari memberikan ucapan selamat. Rasulullah menyerukan ke Ka’ab agar bergembira di hari yang paling baik tersebut. “Bukan dariku, melainkan dari Allah,” titah Rasulullah dengan menampakkan wajah yang berseri-seri.

Kabar gembira serupa, meski dalam konteks dan kasus berbeda, juga diterima oleh orang-orang terdekat Rasulullah. Kabar gembira pernah diterima oleh Khadijah, berupa rumah di surga yang terbuat dari mutiara. Istri termuda Rasulullah, Aisyah, memperoleh berita gembira saat Allah SWT membebaskannya dari hadits al ifki, fitnah tentang perselingkuhan yang pernah dituduhkan  padanya, padahal tudingan itu sama sekali tidak benar. Selain mereka berdua, sahabat Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, dan Bilal bin Rabah, pernah mendapat kehormatan dengan berita-berita gembira dari Rasulullah.

Bisyarah, atau kabar gembira sesuai dengan arti harfiahnya. Dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah, Ibnu Faris menyebutkan arti kata itu bermakna terlihatnya sesuatu dengan indah. Bisa pula berarti member kabar gembira. Hal yang sama juga ditekankan oleh ar-Razi, secara umum, arti kata bisyarah digunakan untuk kabar baik. Jika kata tersebut dimaksudkan untuk keburukan dalam sebuah ayat, biasanya akan selalu disertai dengan keterangan tertentu, misal, ayat ke-21 surah Ali Imran.

Dalam Ensiklopedia Akhlak Muhammad, Mahmud al-Mishri menjelaskan, membiasakan diri untuk membawa kabar gembira untuk orang sekitar termasuk dari kesempurnaan iman. Menyebarkan berita gembira tersebut di antara amal baik yang mendatangkan kebahagiaan kepada Muslim lainnya. Dalam sebuah riwayat oleh Thabrani, dijelaskan bahwa manusia yang paling disukai allah adalah manusia yang paling bermanfaat dan amal yang paling disukai Allah adalah kamu mendatangkan kebahagiaan kepada Muslim.

Dalam Islam, anjuran menyampaikan kabar gembira tersebut sangat ditekankan. Berbagi kabar gembira kepada orang lain-sekalipun dalam praktiknya, sering kali penerimaan orang berbeda- memiliki manfaat yang banyak. Berbagi berita gembira mampu melapangkan dada dan membahagiakan hati, selain pula dapat menjadi ciri iman dan keislaman yang  baik, memperkuat tali silaturahim antara pemberi dan penerima kabar, serta dapat mendatangkan ketenangan dan meningkatkan kualitas spiritual.

Anjuran menyampaikan berita gembira tersebut tersurat dari amar-amar, atau perintah yang banyak termaktub berulang-ulang, baik dalam Alquran ataupun hadis. Banyak ayat Alquran yang berisi bisyarah yang ditujukan kepada hamba-hambanya. Salah satunya ialah ayat berikut: “Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah-nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku.” (QS. Az-Zumar [39] : 17).

Tidak hanya Alquran, hadis-hadis pun tak sedikit memuat kabar gembira untuk umat. Di antaranya, kabar gembira yang tertera dalam hadis riwayat Abu Dawud dan Turmudzi. Dalam hadis tersebut Rasulullah meminta agar memberikan kabar gembira akan cahaya yang sempurna di hari kiamat kepada orang-orang yang berjalan dalam kegelapan menuju masjid.

Akhlak para nabi

Memberi kabar gembira adalah bagian dari sifat para nabi dan rasul. Allah mengutus mereka sebagai penyampai risalah sekaligus berita gembira tentang nikmat bila mereka menjawab ajakan tersebut. Allah SWT berfirman: “Mereka Kami utus selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS an-Nisaa’ [4] : 165).

Aktivitas berbagi bisyarah juga termasuk unsur tak terpisahkan dari akhlak Rasulullah SAW. Allah mengutusnya dengan kebenaran dan ditunjuk sebagai pembawa berita gembira. “Dan, Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.”

Kisah Dua Laki-Laki yang Meninggal dalam Keadaan Sholat

Salah seorang sahabat yang dikenal banyak beribadah. Disebutkan dalam riwayat setiap malam dia keluar dan memandang langit lalu bertafakur. Setelah itu pulang ke rumah dan sujud kepada Allah subhaanahu wa ta’aala. (Hilyatu Al-Auliya, 2/29)

Diriwayatkan dari Ismail bin Ubaidullah, dia berkata, ”Ketika Abu Al Khusyani dan Ka’ab duduk di antara kami, tiba-tiba Abu Tsa’labah berkata, ’Hai Abu Ishaq, tidaklah seorang hamba menghabiskan hidupnya untuk beribadah kepada Allah, kecuali Allah akan memenuhi segala kebutuhan hidupnya’.”

Khalid Muhammad Al Kindi -ayah Ahmad bin Khalid AI Wahbi mendengar Abu Zahrah berkata: Aku mendengar Abu Zahiriyah berkata: Aku mendengar Abu Tsa’labah berkata, ’Aku pernah memohon kepada Allah agar tidak mencekikku sebagaimana aku melihat kalian tercekik’.” (Hilyatu AI-Auliya, 2/3 I )

Seorang putrinya tiba-tiba terbangun dari tidur dan merasa ayahnya sudah meninggal. ”Bunda, di mana ayah?” ibunya menjawab, ”Di mushola.” Putrinya memanggil ayahnya tapi tak ada jawaban. Ayahnya ditemukan sedang sujud dan sudah wafat.

Kisah lain, tentang Musa bin Abu Musa Al-Asy’ari. Saat Musa beserta rombongan Al-Asbahani, ayah dan ibunya termasuk dalam rombongan itu melakukan perjalanan.

Mendadak ada seorang kafir berdiri di benteng pertahanan Abdullah bin Qais. Panah itu menancap di tubuh Musa bin Abu Musa ketika ia dalam kondisi sholat. Meski tampak kesakitan, tapi Musa tetap berusaha menyempurnakan sholatnya. Sampai pada gerakan sujud, ia sujud dalam waktu yang panjang. Ternyata itulah sujud terakhirnya. Musa meninggal dalam keadaan sujud.

Orang-orang menghampirinya dan perlahan mencabut anak panah yang tertancap di tubuhnya. Usai dibersihkan, dimandikan dan disholatkan, mereka menguburkannya bersama luka dan pakaiannya. [Thabaqaat al Muhadditsiin 1/239).

BERSAMA DAKWAH

Akhlak Mulia Mengantarkan ke Surga

DIRIWAYATKAN dari Abu Hurairahradhiyallahu anhu, beliau berkata:Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang sebab paling banyak yang mengakibatkan orang masuk surga? Beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlaq mulia.” Beliau juga ditanya tentang sebab paling banyak yang mengakibatkan orang masuk neraka, maka beliau menjawab, “Mulut dan kemaluan.”.(HR. Tirmidzi, dia berkata:Hadits hasan shahih.).

Akhlak mulia adalah ibadah yang agung, yang pahalanya sangat luar biasa. Mungkin bagi banyak orang yang mengamalkan akhlaq mulia, tidak menyadari betul ia mendapatkan pahala atas amal akhlak mulianya. Seakan-akan berakhlak mulia tidak berbeda dengan jika seseorang membaca Al Quan, atau berpuasa sunnah Senin dan Kamis, dan amalan lainnya, sangat mungkin ia menyadari bahwa ia mendapatkan pahala atas amalannya.

Padahal Allah Maha Tahu dan Maha Adil. Tatkala seseorang tersenyum ramah kepada saudara muslim, atau seorang suami bertutur kata lembut kepada isterinya, atau mungkin seorang ayah yang membelai kepala anak-anaknya dengan penuh kasih sayang, itu semua adalah akhlak mulia yang mendatangkan pahala bagi pelakunya. Dan pahala, dengan rahmat Allah, akan mengantarkan pemiliknya kepada surga.

Nabi Muhammad shalallaahu alaihi wasallam sendiri diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak. Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya hanyalah aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik” (HR. Al-Bukhari, Ahmad, dan Hakim).

Innamaadalam hadits di atas bermakna membatasi, yakni dengan terjemahan hanyalah. Hal ini menunjukkan agama kita sangat menaruh perhatian terhadap akhlak. Terbukti dengan bertaburnya hadits Nabi shalallaahu alaihi wasallam yang berbicara tentang akhlak. Sebut saja hadits-hadits yang dihimpun Imam Bukhari dalam Kitab al Adabul Mufrab.

Dalam kitab Riyadlush Shalihin yang disusun oleh Imam Nawawi pun banyak bertebar hadits tentang adab. Begitu pula tentunya Kitabullah, Al Quran, banyak sekali kita temukan perintah Allah berkaitan dengan akhlak. Sebagai contoh adalah firman Allah Azza Wa Jalla, Serta ucapkanlah kata-katayang baik kepada manusia”.(al-Baqarah: 83). Dan, “Dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang lebih baik (benar)”.(al-Isra: 53)

Lebih jelas lagi Nabi shalallaahu alaihi wasallam mengatakan tentang iman yang sempurna bagi seorang mukmin. Sabda beliau shalallaahu alaihi wasallam, “Kaum Mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang akhlaknya paling baik di antara mereka, dan yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada isteri-isterinya. (HR. At-Tirmidzi (no. 1162), Ahmad (II/250, 472), Ibnu Hibban (at-Taliqaatul Hisaan alaa Shahiih Ibni Hibban).

Usia dan waktu kita di dunia ini tidak lama. Hanya dalam hitungan puluh tahun. Sangat langka manusia yang hidup dalam hitungan abad. Oleh karenanya kita harus memilah dan memilih amalan yang kita sanggup melakukannya. Sebab tak semua amalan yang ada dalam agama kita, akan dapat kita amalkan.

Tentu ada keterbatasan kemampuan dan ilmu sehingga kita tidak dapat mengamalkan satu dan banyak amalan lain. Mari tebarkan akhlak mulia kepada sekitar kita. Semoga Allah mempertemukan kita di surgaNya kelak bersama atau dekat dengan Nabi shalallaahu alaihi wasallam.

Allahu Alam.

 

INILAH MOZAIK

Bencana: Antara Fenomena Alam dan Iman

Sambungan artikel PERTAMA

Dalam hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah dan Abu Said r.a. kedua mereka berkata bahwa Rasulullah pernah bersabda : “Tiada sesuatu yang mengenai seorang mukmin berupa penderitaan atau kelelahan, atau kerisauan hati dan pikiran melainkan itu semua akan menjadi penebus dosa bagi orang tersebut.” ( Hadis riwayat Bukhari dan Muslim).

Bencana alam dan musibah itu  merupakan ujian keimanan berlandaskan pada hadis dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa pada suatu hari Rasulullah bertanya kepada para sahabat : “Apakah kamu termasuk orang yang beriman ? Sahabat yang mendengar pertanyaan itu semuanya  terdiam, dan tiba-tiba Umar bin Khattab menjawab : Ya Rasulullah, benar, kami ini orang yang beriman. Rasulullah bertanya lagi : “Apakah tanda kamu termasuk orang yang beriman ?. Sahabat segera menjawab : Tanda kami beriman ialah kami bersyukur jika mendapat nikmat, kami sabar jika mendapat musibah dan kami ridha dengan segala takdir dan ketentuan Allah.“(Hadis Riwayat Thabrani).

Oleh sebab itu,  dapat dikatakan bahwa iman itu mempunyai dua sendi, yaitu yakin dan sabar. Sebagaimana  dikatakan oleh Syahar bin Hausyab bahwa : “ Sesuatu yang paling sedikit yang diberikan kepada kamu adalah yakin dan sabar “. Artinya di dalam melihat sesuatu kejadian kita meyakini bahwa iu semua datang dari Allah dengan penuh kebaikan dan rahmatNya, oleh sebab itu kita harus menghadapinya bencana dan musibah itu dengan penuh kesabaran, sebab jika kita sabar dalam menghadapi  musibah dan bencana tersebut maka kita akan mendapatkan pahala, mendapatkan ampunan dosa, dan juga mendapatkan kenaikan pangkat dan kedudukan di depan Allah subhana wa ta’ala.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata dalam pidatonya;  “ Apa yang dianugerahkan Allah kepada seorang hamba daripada nikmat, lalu dicabutnya nikmat tersebut, dan kita menghadapinya  dengan sabar maka apa yang digantikan Allah tersebut (sabar) lebih utama daripada nikmat yang dicabutNya sebab pahala sabar itu merupakan pahala yang tidak terhingga “ kemudian dia membaca ayat : “Sesungguhnya  orang yang sabar itu akan disempurnakan Allah ganjaran pahala atas kesabaran tersebut dengan balasan  pahala yang tiada terhingga. “ (QS: az Zumar: 10).

Bencana membuat kita ingat kepada Allah atas segala dosa, kemaksiatan , kesombongan diri kita di depan Allah, dan bayangkan jika masyarakat yang berdosa tersebut dibiarkan dalam kemaksiatan maka bencana iman, bencana akidah akan lebih berbahaya bencana alam, sebab bencana alam hanya  berdampak kepada  kerugian dunia saja, sedangkan bencana iman dan agama akan memberikan kerugian di dunia dan akhirat yang merugikan kita untuk selama-lamanya. Oleh sebab itu, Khalifah Umar bin Khattab jika mendapat bencana alam, maka dia berkata : “ Tidaklah aku mendapat bencana melainkan ada padanya empat nikmat : (1) Bencana itu bukan bencana yang merusak agamaku, (2) Tiada terjadi bencana yang lebih besar daripadanya (3) Dengan bencana , aku mendapatkan sikap redha kepada takdirNya (4) Dengan bencana, aku bersabar dan mendapatkan pahala dari bencana tersebut.

Demikianlah pandangan muslim terhadap musibah dan bencana alam yang terjadi, dimana bencana alam dan musibah itu dapat menjadi sebuah peringatan Tuhan atas dosa dan kemaksiatan yang dilakukan, dan disisi lain, bencana alam juga  merupakan ujian keimanan bagi seorang hamba. Bagi mereka yang berdosa, musibah itu merupakan peringatan, sedang bagi mereka yang tidak berdosa, maka musibah itu merupakan ujian iman, dan kematian mereka merupakan kematian yang mulia, syahid dan itu lebih baik daripada hidup bergelimang dengan maksiat dan dosa.  Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari setiap musibah dan bencana yang terjadi. Fa’tabiru Ya Ulil albab.*

 

Oleh: Dr Muhammad Arifin Ismail, Penulis, Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Kuala Lumpur – Malaysia periode 2011 – 2013

HIDAYATULLAH

Bencana: Antara Fenomena Alam dan Iman

BANYAK orang berkata bahwa bencana alam itu adalah hanya sebuah bencana yang harus terjadi sebab bencana alam seperti gempa dan lain lain, itu merupakan sebuah proses dari fenomena alam itu sendiri, tanpa ada hubungan dengan perbuatan manusia atau takdir Tuhan. Ini merupakan pendapat dan pemahaman bencana alam dari pandangan sekuler atau pemahaman orang yang tidak percaya dengan kewujudan dan kekuasaan Tuhan (paham Atheis ) yang banyak diikuti oleh masyarakat pada dewasa ini.

Ada lagi yang berpendapat bahwa bencana alam itu sebagai tanda marahnya alam terhadap manusia, sehingga untuk memadamkan kemarahan alam tersebut, diperlukan sesajen (sajian khas untuk alam)  dan memberikan sesuatu sebagai persembahan kepada alam, seperti memberikan kepala sapi, kepada laut atau gunung, dan lain sebagainya. Ini adalah pandangan orang yang masih terpengaruh dengan ajaran animisme atau dinamisme dan merupakan perbuatan syirik.

Dalam pandangan hidup  Islam, setiap apapun yang terjadi di atas permukaan bumi  semuanya tidak terlepas dari takdir dan perbuatan Tuhan, sebagaimana firman Allah:

وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ

“Dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata “ Lauhul Mahfudh.“ (QS: Al An’am : 59) .

Oleh sebab itu, sebagai seorang mukmin kita harus meyakini bahwa setiap  bencana dan musibah adalah perbuatan Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Disamping itu kita juga meyakini bahwa dalam setiap bencana atau musibah dan apa saja yang  terjadi itu merupakan takdir ilahi yang mempunyai maksud dan tujuan tertentu sebab tidak ada kejadian di muka bumi ini terjadi dengan sia-sia tanpa kebaikan dan tujuan tertentu.

“Dan (ingatlah) bahwa  Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta segala yang ada di antaranya, secara main-main. (QS. Al Anbiya/21 : 16 / QS. ad Dukhan/44 : 38).

Dari ayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada sesuatu kejadian yang terjadi tanpa ada maksud dan tujuan yang dimaksudkan oleh Allah Subhana wa taala. Berarti dalam konsep Islam, tidak ada sesuatu yang terjadi karena kebetulan, tetapi semua tejadi dengan takdir Tuhan. Demikian pula dengan setiap bencana alam yang terjadi, baik itu gempa, banjir, dan lain sebagainya, semua itu terjadi dengan takdir Tuhan yang memiliki maksud dan tujuan tertentu, bukan sekedar kejadian alam semata-mata.

Setiap bencana alam merupakan takdir Ilahi, dan segala takdir yang terjadi merupakan perbuatan Tuhan yang Maha Mengetahui, dan Maha Bijaksana. Berarti dalam setiap bencana yang terjadi terdapat kebaikan dan rahmat Ilahi.

Oleh sebab itu Rasulullah ﷺ melarang umatnya untuk mencaci maki  taqdir seperti musibah atau kejadian apapun yang telah terjadi, sebagaimana dinyatakan dalam hadis : “Janganlah kamu menuduh Allah dengan suatu tuduhan yang tidak baik pada setiap kejadian yang sudah ditaqdirkanNya“. (Hadis Riwayat Imam Ahmad ).

Bencana alam atau musibah  juga dapat merupakan peringatan Allah kepada manusia agar segera kembali kepadaNya.

فَلَمَّا نَسُواْ مَا ذُكِّرُواْ بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُواْ بِمَا أُوتُواْ أَخَذْنَاهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ

Pada waktu mereka lupa atas apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami akan bukakan bagi mereka semua pintu-pintu segala sesuatu, dan apabila mereka bergembira dengan apa ( nikmat ) yang datang kepada mereka, Kami akan ambil apa yang telah Kami berikan tersebut, dan mereka akan gagal sepenuhnya. “ (QS. Al An’am : 44 ).

 

Peringatan Allah berupa bencana dan musibah itu dapat terjadi disebabkan manusia telah lupa dengan perdoman hidup sehigga manusia berbuat dosa dan kemaksiatan tanpa mengingat perintah dan laranganNya. .“Dan tidaklah suatu musibah itu terjadi, melainkan akibat perbuatan manusia itu sendiri. “ (QS. An Nisa : 79 ). Dalam ayat  lain dinyatakan, “Maka apa saja musibah dan bencana yang menimpa kamu itu semua merupakan perbuatan kamu sendiri, dan Allah telah memaafkan sebagian besar dari kesalahan kamu. “ (QS al Syura : 30 ).

Bencana dan musibah itu sebagai peringatan Tuhan kepada sekelompok manusia yang melakukan kemaksiatan, kedzaliman, dan dosa-dosa lainnya. Tetapi musibah itu terjadi bukan hanya kepada mereka yang berbuat dosa dan dzalim, tetapi juga kepada semua orang dan masyarakat, baik yang berbuat dosa atau tidak berbuat dosa.

وَاتَّقُواْ فِتْنَةً لاَّ تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمْ خَآصَّةً وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan takutlah kamu kepada bencana yang akan terkena bukan saja kepada orang yang dzalim diantara kamu, dan ketahuilah Allah itu maha keras dalam memberikan balasan. “ (QS. al Anfal : 25 ).

Oleh sebab itu, dapat kita katakan bahwa bagi orang yang berbuat dosa, maka bencana alam itu merupakan peringatan Tuhan, sedangkan bagi orang yang tidak berbuat dosa, maka bencana itu merupakan ampunan dosa  dan  peluang pahala.

Ada yang berkata bahwa jika bencana alam itu merupakan azab dan peringatan bagi orang yang bermaksiat dan berdosa, mengapa ada orang yang berdosa di tempat lain tidak mendapat bencana, malah mereka hidup terus dalam kesenangan. Bagi orang yang berbuat dosa tetapi tidak terkena bencana maka itu merupakan suatu “istidraj”, sebagaimana dinyatakan dalam al-Quran.

فَلَنَقُصَّنَّ عَلَيْهِم بِعِلْمٍ وَمَا كُنَّا غَآئِبِينَ

Dan orang yang mendustakan ayat-ayat Kami maka kami akan biarkan mereka ( istidraj ) dalam pendustaan tersebut sehingga suatu saat Kami akan beri balasan atas perbuatan mereka itu  tanpa mereka sadar atas kesalahan mereka tersebut. “ (QS. al A’raf : 7 ).

 

Mereka yang berbuat maksiat dan kedzaliman, tetapi Tuhan biarkan dan tidak diberi peringatan sampai suatu saat terakhir nanti Tuhan berikan balasan langsung. Sedang bagi orang yang melakukan kemaksiatan dan diberi peringatan dengan musibah dan bencana,  berarti Allah masih sayang kepada mereka, masih mengajak mereka agar kembali kepadaNya dengan bencana dan musibah yang ditakdirkannya.

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang yang  berkata : Sesungguhnya kami ini adalah milik Allah dan kembali kepadaNya “Inna lillahi wa inna ilahi rajiun. “ (QS. al Baqarah : 155-156).

Oleh itu dapat dikatakan bahwa musibah itu memiliki dua sisi. Pada suatu sisi, musibah itu merupakan peringatan Tuhan atas perbuatan manusia, sedangkan disisi yang lain musibah itu merupakan ujian keimanan agar kita bersabar, dan dalam kesabaran itu terdapat pahala dan kebaikan bagi manusia.

Allah telah berfirman: “

“Kami jadikan kebaikan dan keburukan itu untuk menjadi ujian bagi kamu. “ (QS. Al Anbiya : 35 ). << (Bersambung)>>

 

Oleh: Dr Muhammad Arifin Ismail

HIDAYATULLAH