Minta Dido’akan Orang Lain

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin –rahimahullah– pernah ditanya: Wahai Syaikh, apakah permintaan seseorang pada saudaranya yang dinilai sholeh untuk mendoakan dirinya dan saudaranya ini mendoakan dirinya dalam keadaan dia (yang meminta) tidak mengetahuinya, apakah ini termasuk mengurangi tawakkal orang yang meminta didoakan?

Jika memang demikian, bagaimana penilaian engkau terhadap kisah Umar bin Al Khathab yang meminta pada Uwais Al Qorni agar mendoakan dirinya, padahal Umar lebih utama dari Uwais?

Syaikh rahimahullah menjawab :

Permintaan seseorang kepada saudaranya agar mendoakan dirinya, -perlu diketahui- bahwa di dalamnya sebenarnya terdapat bentuk meminta-minta pada manusia. Kalau kita melihat pada sejarah yaitu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dibaiat oleh para sahabatnya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka, “Janganlah kalian meminta pada orang lain sedikit pun juga (syai’an).” Syai’an (sedikit pun) di sini adalah kata dalam bentuk nakiroh . Dalam kalimat tadi, kata nakiroh tersebut terletak dalam konteks nafi (peniadaan). Sehingga yang dimaksud sedikit pun di situ adalah umum (mencakup segala sesuatu). Inilah kaedah ushuliyah (dalam ilmu ushul).

Dalam mempraktekkan maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, di antara sahabat sampai-sampai ada tongkatnya terjatuh sedangkan dia berada di atas kendaraanya. Dia langsung turun dan mengambil tongkatnya tersebut, dia tidak mengatakan pada saudaranya yang lain, “Tolong ambilkan tongkatku.” (Mereka tidak mau meminta tolong) karena mereka telah berbaiat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak meminta pada orang lain sedikit pun juga.

Seandainya jika di dalam hal ini cuma sekedar meminta maka tidak mengapa. Akan tetapi dalam kondisi meminta-minta seperti terkadang dalam hati seseorang terdapat sikap memandang rendah diri sendiri dan berburuk sangka pada dirinya sehingga dia meminta pada orang lain. Lalu dia mengatakan, “Ya akhi (saudaraku) …!”

Seharusnya kita berbaik sangka kepada Allah ‘azza wa jalla. Jika memang engkau bukan orang yang maqbul doanya (terkabul doanya), maka tentu juga doa saudaramu tidak bermanfaat bagimu. Oleh karena itu, wajib bagimu berbaik sangka pada Allah. Janganlah engkau menjadikan antara dirimu dan Allah perantara agar orang lain berdoa pada Allah untukmu. Lebih baik jika engkau ingin berdoa, langsung mintalah pada Allah.

Ingatlah, Allah Ta’ala berfirman,

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً

Berdo’alah kepada Rabbmu dengan merendahkan diri, dengan suara yang lembut.” (QS. Al A’rof [7] : 55)

Doamu sendiri kepada Allah adalah suatu ibadah. Bagaimana engkau membuat dirimu luput dari ibadah yang mulia ini?

Demikian pula, sebagian orang jika meminta kepada saudaranya yang terlihat sholeh untuk mendoakan dirinya, maka orang ini terkadang menyandarkan diri pada do’a orang sholeh tadi. Bahkan sampai-sampai dia tidak pernah mendoakan dirinya sendiri (karena keseringannya meminta pada orang lain).

Kemudian muncul pula masalah ketiga. Boleh jadi orang yang dimintakan do’a tadi menjadi terperdaya dengan dirinya sendiri. Orang sholeh ini bisa menganggap bahwa dirinya-lah yang pantas untuk dimintakan doa. (Inilah bahaya yang ditimbulkan dari meminta doa pada orang lain)

Namun, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memiliki pendapat yang cukup bagus. Beliau rahimahullah mengatakan :

Apabila engkau meminta pada saudaramu untuk mendoakan dirimu yaitu engkau ingin saudaramu juga mendapatkan kebaikan dengan berbuat baik padamu atau engkau ingin agar dia juga mendapatkan manfaat karena telah mendoakanmu dalam keadaan dirimu tidak mengetahuinya -doa seperti ini akan diaminkan oleh malaikat dan malaikat pun berkata : engkau pun akan mendapatkan yang semisalnya-, maka seperti ini tidak mengapa (diperbolehkan) .

Namun, apabila yang engkau inginkan adalah semata-mata kemanfaatan pada dirimu saja, maka inilah yang tercela.

Adapun mengenai kisah Umar (bin Al Khathab) –radhiyallahu ‘anhu- yang meminta pada Uwais (Al Qorni) untuk mendoakan dirinya, maka ini adalah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini adalah khusus untuk Uwais saja (bukan yang lainnya). Oleh karena itu, tidak pernah diketahui bahwa sahabat lain meminta pada Umar untuk mendoakan dirinya atau meminta pada Abu Bakar, “Wahai Abu Bakar, berdoalah pada Allah untuk kami.” Padahal Abu Bakar lebih utama daripada Umar dan lebih utama daripada Uwais, bahkan lebih utama dari sahabat lainnya. Jadi permintaan Umar pada Uwais ini hanyalah khusus untuk Uwais. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memotivasi para sahabat, siapa saja yang bertemu Uwais, maka katakanlah padanya, “Wahai Uwais, berdoalah pada Allah untukku.” Kisah Uwais ini hanyalah khusus untuk Uwais saja, tidak boleh digeneralkan pada yang lainnya.

******

Kesimpulan:

Akhirnya, kami menemukan jawaban yang kami cari sejak dulu yaitu bagaimana meminta pada orang lain untuk mendoakan kita. Penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin ini sudah sangat gamblang. Jadi yang tercela adalah jika kita meminta saudara kita mendoakan kita namun kita ingin agar doa tersebut hanya bermanfaat pada diri kita. Jika maksud kita dengan permintaan tersebut adalah agar saudara kita juga mendapatkan manfaat sebagaimana yang kita peroleh, maka ini tidak mengapa. Perhatikanlah salah satu keutamaan orang yang mendoakan saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Do’a seorang muslim kepada saudaranya ketika saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisinya ada malaikat (yang memiliki tugas mengaminkan do’anya kepada saudarany, pen). Ketika dia berdo’a kebaikan kepada saudaranya, malaikat tersebut berkata : Amin, engkau akan mendapatkan yang sama dengannya.” (HR. Muslim no. 2733).

Jika manfaat seperti dalam hadits ini yang diinginkan pada saudara kita –yaitu saudara kita akan mendapatkan timbal balik dari doanya pada kita-, maka seperti ini tidaklah mengapa.

Jika saudara kita mendoakan kita, maka dia juga akan mendapatkan yang semisalnya. Kita meminta padanya agar mendoakan kita tetap istiqomah dalam agama ini, maka dia juga akan diberi taufik oleh Allah untuk istiqomah. Jika memang kemanfaatan seperti ini yang kita ingin agar saudara kita juga mendapatkannya, maka bentuk permintaan doa seperti ini tidaklah mengapa. Jadi, bedakanlah dua kondisi ini.

Oleh karena itu, sebaiknya jika kita ingin meminta doa pada saudara kita maka kita juga menginginkan dia mendapatkan kemanfaatan sebagaimana yang nanti kita peroleh. Kita minta padanya agar mendoakan kita lulus ujian. Maka seharusnya kita juga berharap dia mendapatkan manfaat ini yaitu lulus ujian. Kita minta padanya agar mendoakan tetap isiqomah ngaji. Maka seharusnya kita juga berharap dia mendapatkan manfaat ini yaitu tetap istiqomah ngaji. Jadi, sebaiknya yang kita katakan padanya adalah : Wahai akhi, doakan ya agar aku dan kamu bisa lulus ujian. Atau : Wahai akhi, doakan ya agar aku dan kamu bisa tetap istiqomah ngaji. Itulah yang lebih baik. Atau juga bisa kita niatkan bahwa semoga do’a dia pada kita juga bermanfaat bagi dirinya.

Semoga kita diberi keistiqomahan dalam agama ini. Semoga kita selalu mendapat ilmu yang bermanfaat, dimudahkan dalam amal sholeh dan selalu diberi rizki yang thoyib.

 

 

Diselesaikan di Panggang-Gunung Kidul, menjelang waktu Ashar, 3 Dzulqo’dah 1429 H

Sumber : https://rumaysho.com/1630-minta-didoakan-orang-lain.html

Sudah Menikah tapi Tak Bisa Lupakan Mantan?

SESEORANG bertanya bagaimana hukumnya bila orang yang sudah menikah namun tidak bisa melepas atau melupakan mantan pacarnya karena pernikahannya merupakan hasil perjodohan. Menurut jawaban yang diberikan oleh Ustaz Wido Supraha:

Genggamlah tangan pasanganmu, bersama membuat komitmen untuk meraih rida ilahi bersama ilmu. Membayang-bayangkan wajah istri di rumah menghadirkan pahala besar, sementara membayang-bayangkan wajah wanita lain merupakan kesia-siaan yang akan membuka pintu keburukan.

Perjodohan bukanlah alasan yang tepat untuk tidak mencintai karena definisi cinta adalah memberikan sepenuh hati kepada yang sang kekasih tanpa henti. Kehidupan terus berjalan dan hayatilah bahwa batas umur semakin menipis, maka nikmatilah kehidupan dengan memperbanyak zikir dan beribadah bersama anugerah Allah Ta’ala berupa pasangan hidup di sisi, siapapun dia.

Allah Ta’ala telah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 216: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Pengetahuan kita akan cinta dan kebaikan sungguh sangat terbatas, maka senantiasalah berbahagia dengan apa yang kita miliki, dan jadikanlah seluruh yang kita miliki sebagai sarana yang memudahkan kita masuk ke Jannah-Nya. Wallahu a’lam. []

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2360307/sudah-menikah-tapi-tak-bisa-lupakan-mantan#sthash.05KsmmUA.dpuf

Kuota Haji 221 Ribu Sesuai Komitmen Saudi

IHRAM.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Agama menetapkan total kuota haji 1438 H/2017 M sebanyak 221 ribu jamaah. Kuota ini sesuai komitmen Arab Saudi yang mengembalikan kuota normal, plus kuota tambahan 10 ribu jamaah.

Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Abdul Djamil mengatakan, tambahan kuota 10 ribu itu adalah komitmen Kerajaan Saudi. Saudi berbeda dengan Indonesia, sehingga jangan mengukur Saudi dengan ukuran Indonesia.

“Tambahan kuota 10 ribu itu komitmen sungguh-sungguh dan disampaikan dalam forum terbuka. Tambahan kuota 10 ribu itu pun berawal dari kunjungan Presiden Joko Widodo ke Saudi. ”Jadi jangan diabaikan, berprasangka baik. Kalau jadi lalu diabaikan, sayang sekali,” kata Djamil, Rabu (22/2).

Komitmen itu disampaikan pejabat setingkat menteri. Menteri Haji Saudi juga sudah setuju dan sudah dikonfirmasi berkali-kali. Kalau sampai saat belum ada surat, kata Djamil, itu hal di internal Saudi yang tidak Kemenag tahu.

Kementerian Agama menetapkan bahwa kuota haji 1438H/2017M sebesar 221 ribu. Ketetapan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 75 Tahun 2017 tentang Penetapan Kuota Haji Tahun 1438H/2017M.

KMA 75/2017 ini juga mengatur bahwa kuota haji reguler terdiri atas kuota jemaah haji reguler sebanyak 202.518 orang dan kuota petugas haji daerah (TPHD) sebanyak 1.482 orang. Sedangkan kuota haji khusus terdiri atas kuota jamaah sebanyak 15.663 orang dan kuota petugas sebanyak 1.337 orang.

Pembagian kuota bervariasi dari satu provinsi ke provinsi lain. Dari 33 provinsi, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur mendapat kouta haji reguler terbanyak di atas 30 ribu. Sementara Nusa Tenggara Timur mendapat kuota paling paling sedikit yakni 670 yang terdiri atas 665 untuk jamaah reguler dan lima orang untuk petugas. Kuota Jawa Barat merupakan yang terbanyak yakni 38.852 orang yang terdiri atas kuota TPHD 259 orang dan jamaah haji reguler 38.593 ribu.

 

IhramCoID

Alhamdulillah…

Puasa Sunah? Istri Wajib Minta Restu Suami Jika…

DARI Abu Hurairah radhiallahu’anha: Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallaam bersabda, “Istri tidak boleh berpuasa, sementara suaminya sedang ada di rumah, kecuali setelah memperoleh izin darinya; tidak boleh mengizinkan orang lain masuk rumah, kecuali atas izinnya; dan apa pun yang disedekahkannya tanpa perintah suami, suami memperoleh separuh pahalnya.” (HR Al-Bukhari)

Hadits ini menunjukkan bahwa pelayanan istri kepada suami yang sedang ada di rumah adalah dalam rangka memenuhi hak-haknya. Karena itu, ketika istri akan berpuasa sunnah, ia semestinya meminta izin terlebih dahulu kepada suami. Ia juga tidak boleh mengizinkan siapa pun untuk masuk rumah suaminya tanpa izin suaminya, serta tidak menafkahkan harta suaminya untuk kebaikan, kecuali atas pengetahuan suami.

Al-Hafizh dalam Al-Fath berkata, “Dalam hadits ini ditegaskan bahwa memenuhi hak suami harus lebih didahulukan oleh istri daripada melakukan kebaikan yang lain. Sebab, memenuhi haknya adalah kewajiban, dan menjalankan kewajiban harus didahulukan daripada menjalankan ibadah sunnah.”

Imam Al-Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan itu. Ia berkata, “Suami mempunyai hak untuk bersenang-senang dengan istrinya setiap saat. Haknya ini wajib untuk segera dipenuhi, tidak boleh tertunda dengan ibadah sunnah, bahkan dengan ibadah wajib yang masih bisa ditunda.

Karena itu, istri tidak boleh berpuasa tanpa izin suaminya. Apabila suami ingin bersenang-senang dengan istrinya yang sedang berpuasa, ia boleh menyuruh istrinya untuk membatalkan puasa. Sebab, biasanya seorang Muslim tidak berani menyuruh orang lain agar membatalkan puasanya.

Dari hadits ini dipahami bahwa izin suami untuk melakukan ibadah sunnah diperlukan bila suami ada di rumah. Sementara itu, jika suaminya tidak ada di rumah, ia boleh melakukan ibadah sunnah tanpa izinnya.

Namun, jika suami sedang berpergian dan pulang ke rumah ketika istrinya sedang berpuasa, ia boleh menyuruh istrinya membatalkan puasanya, dan hal itu bukan tindakan makruh. Termasuk makna ketiadaan suami adalah bila ia sedang sakit sehingga tidak bisa melakukan senggama.”

Berkenaan dengan keharusan meminta izin suami ketika mengundang orang lain ke rumah. Al-Hafizh dalam Al-Fath berkata, “Sabda Rasulullah, ‘Istri tidak boleh mengizinkan siapa pun masuk ke rumah suami tanpa izinnya,’ merupakan syarat yang sulit dipahami. Ketiadaan suami di rumah tidak berarti istri boleh mengizinkan orang lain masuk rumah. Justru, ketika itulah larangan tersebut lebih ditekankan berdasarkan beberapa hadits yang menegaskan larangan bagi istri untuk mengizinkan orang lain masuk ke rumah pada saat suaminya tidak ada. Barangkali, inilah maksud hadits tersebut. Sebab, ketika suami ada di rumah, istri lebih mudah meminta izin padanya.”

Imam Al-Nawawi berkata, “Dalam hadits ini ada isyarat bahwa kewajiban meminta izin kepada suami harus dilakukan ketika istri belum yakin suaminya merestuinya. Sekiranya istri mengetahui bahwa suaminya merestui, tidak meminta izin kepadanya adalah kebolehan. Misalnya, istri mempersilakan para tamu masuk rumah di tempat yang dikhususkan bagi mereka (ruang tamu), baik ada suami ketika itu maupun tidak ada. Dalam hal ini, mempersilakan mereka masuk tidak perlu izin khusus dari suami.” [Badwi Mahmud Al-Syaikh]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2361373/puasa-sunah-istri-wajib-minta-restu-suami-jika#sthash.8UiEzV42.dpuf

Memenuhi Janji dengan Sepotong Kayu

Pada zaman dahulu, sebelum era keislaman, hidup seorang pemuda dari kalangan Bani Israil yang memiliki pribadi luhur. Ia sangat jujur dan tak pernah ingkar janji. Suatu hari si pemuda sangat membutuhkan uang untuk keperluannya.

Ia pun meminjam sejumlah uang kepada seseorang yang ia kenal. Namun, saat itu tak ada saksi dalam interaksi utang piutang tersebut. “Datangkan ke sini para saksi yang akan mempersaksikan,” ujar si peminjam uang.

“Cukuplah Allah sebagai saksi,” kata si pemuda.

“Kalau begitu, datangkan kepadaku seorang penjamin,” pinta si peminjam lagi.

Namun, si pemuda tak memiliki seseorang untuk menjadi saksi apalagi penjamin. Ia hanya bisa berucap, “Cukuplah Allah sebagai penjamin,” kata si pemuda. Akan tetapi, baginya menyebut asma Allah dalam ikatan perjanjian maka menjadikannya sangat kuat. Jika dilanggar, ia amat takut Allah murka.

Tekad si pemuda pun dipercaya si peminjam. “Kau benar,” katanya. Ia pun kemudian memberi pinjaman seribu dinar kepada sang pemuda. Keduanya pun menyepakati masa jatuh tempo pengembalian uang tersebut.

Pergilah si pemuda mengarungi samudera untuk memenuhi kebutuhannya dengan uang pinjaman tersebut. Saat jatuh masa tempo pengembalian, ia pun bermaksud kembali ke pulau si peminjam tinggal. Namun apa daya, tak ada layanan perahu menuju tempat si peminjam.

Padahal, di hari biasa perahu selalu tersedia. Namun, entah mengapa hari itu si pemuda tak mendapati satu pun perahu meski telah mencarinya dengan keras. Cemaslah hati pemuda itu. Ia tak mau melanggar kesepakatan dan janji utangnya.

Si pemuda tak mau berputus asa segera. Ia telah berjanji akan mengganti uang seribu dinar tersebut pada hari itu juga. Maka ia pun berpikir, bagaimana cara untuk memenuhi janjinya. Ia pun mengambil sepotong kayu, kemudian melubanginya. Uang seribu dinar itu kemudian ia masukkan pada lubang kayu tersebut. Tak lupa sepucuk surat kepada sang piutang juga diikutsertakan pada lubang kayu tersebut.

Ia menutup lubang kemudian melarungnya ke laut seraya berdoa, “Ya Allah, sungguh Engkau tahu bahwa aku meminjam uang sebesar seribu dinar. Lalu ia (si peminjam) memintaku seorang penjamin, namun kukatakan padanya, ‘Allah cukup sebagai penjamin’. Ia pun rida dengan-Mu. Ia juga meminta saksi kepadaku, aku pun mengatakan ‘Cukup Allah sebagai saksi’. Ia pun rida kepada-Mu. Sungguh aku telah berusaha keras untuk mendapatkan perahu untuk mengembalikan uangnya yang kupinjam, namun aku tak mendapatinya. Aku tak mampu mengembalikan uang pinjaman ini, sungguh aku menitipkannya kepada-Mu,” ujar si pemuda bertawakal.

Sepotong kayu itu pun kemudian hanyut mengikuti arus laut. Namun, meski telah memasrahkan uang dalam kayu tersebut, bukan berarti si pemuda berhenti berusaha. Ia terus mencari perahu untuk menghantarnya ke negeri seberang, tempat si peminjam tinggal.

Sementara itu, di negeri seberang, si piutang terus menengok dermaga menunggu perahu si pemuda. Namun, lama nian tak ada satu perahu pun yang mengantarkan uangnya kembali. Ia pun menunggu di tepi laut berharap si pemuda menepati janjinya. Cukup lama menunggu, ia pun bosan. Namun, tiba-tiba ia melihat sebongkah kayu yang hanyut. Bermaksud digunakan sebagai kayu bakar di rumahnya, ia pun memungutnya dan membawanya pulang. Terkejut, saat membelah kayu tersebut, ia mendapati uang seribu dinar dan sepucuk surat. Membaca surat tersebut, ia pun tersenyum riang.

Keesokan harinya, si pemuda muncul dengan wajah penuh cemas dan rasa bersalah. Turun dari perahu, ia bergegas menuju rumah si peminjam utang. “Demi Allah, aku terus berusaha mencari perahu untuk menemuimu dan mengembalikan uangmu. Tapi, aku tak memperoleh perahu hingga perahu sekarang ini aku datang dengannya,” ujar si pemuda menjelaskan uzurnya.

Si peminjam uang pun tersenyum melihat kegigihan pemuda menepati janjinya. Ia pun berkata, “Apakah kau mengirim sesuatu kepadaku?” tanyanya. Namun, si pemuda tak sedikit pun menyangka bahwa kayu kirimannya sampai tujuan meski tanpa alamat, apalagi jasa kurir. “Aku katakan kepadamu, aku tak mendapatkan perahu sebelum apa yang kubawa sekarang ini,” ujar si pemuda sembari menunjukkan seribu dinar untuk diberikan kepada si peminjam utang.

Wajah sang piutang pun merekah gembira. Ia senang mendapati pemuda yang begitu jujur dan menepati janji. Ia pun harus berkata jujur bahwa utangnya si pemuda telah lunas melalui kayu yang dikirimkannya sesuai tenggat waktu peminjaman. “Sungguh Allah telah menyampaikan uang yang kau kirim di dalam kayu. Maka, pergilah dan bawalah kembali seribu dinar yang kau bawa ini,” ujar si  pemberi utang.

Kisah pemuda dan sepotong kayu tersebut dikabarkan oleh Rasulullah dalam hadis riwayat Al-Bukhari dan Nasa’i. Tak dikabarkan jelas siapa nama pemuda tersebut dan latar lokasi tempat tinggal si pemuda dan si piutang. Namun, kisah ini dipastikan kebenarannya, mengingat kedudukan hadis yang menyebutkan kisah itu memiliki derajat shahih.

Dari kisah tersebut, terdapat hikmah agung yang dapat menjadi pelajaran bagi Muslimin. Membulatkan tekad sangat dibutuhkan Muslimin sebelum bertawakal kepada Allah. Hal tersebut tercantum dalam Alquran surah Ali Imran ayat 159, Allah berfirman, “…Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”

Dalam kisah, si pemuda menunjukkan sikap memenuhi janji dengan ketekadan yang luar biasa. Hingga kemudian, ia menyerahkan urusannya kepada Allah dengan mengirimkan sepotong kayu. Ia bertawakal kepada Allah agar suratnya sampai ke tujuan setelah memiliki tekad bulat dalam hatinya untuk memenuhi janji mengganti hutangnya

 

 

sumber:republika Online

Memberi Pangkal Kebahagiaan dan Kemudahan

Hidup tak selamanya lapang. Terkadang, seseorang kurang beruntung dalam menjalani hidup yang tak berkecukupan. Di sisi lain, ada pula mereka yang berkecukupan dan bergelimang harta. Islam mengajarkan agar mereka yang mempunyai harta mengulurkan tangan dan memberi pertolongan kepada mereka yang kekurangan.

Syekh Muhammad Thoriq Muhammad Shalih dalam bukunya Ensiklopedi Amalan Muslim mengatakan sudah semestinya seorang Muslim memberikan bantuan kepada saudara seiman yang membutuhkan. Ia mengutip hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar.

Menurut Rasulullah, seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya dan ia tak menzalimi saudaranya itu. Siapa saja yang memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah SWT akan menutupi kebutuhannya. Seorang Muslim yang mengeluarkan Muslim lainnya dari musibah, Allah akan menyelamatkannya dari musibah pada hari kiamat.”

Shaleh Ahmad Asy-Syaami mengatakan, mereka yang bersedia memberikan bantuan dan berbuat kepada sesamanya merupakan orang yang mempunyai kelapangan dada, kebaikan hati, dan jiwa yang lembut. Ia menyebut dalam bukunya, Beradab dan Berakhlak Mulia, orang yang suka menolong dan memberi itu adalah dermawan.

Mereka yang enggan berbuat demikian adalah orang-orang kikir. Nabi Muhammad memberikan perumpaan antara mereka yang dermawan dan kikir melalui hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Beliau menggambarkan orang dermawan dan kikir seperti dua orang yang mengenakan baju tameng dari besi.

Setiap bersedekah, baju  yang dipakai si dermawan itu melebar dan meluas sampai-sampai dia mampu menyeret baju yang dipakainya sehingga jejak telapak kakinya terhapus, sedangkan si kikir, setiap akan bersedekah, hatinya akan terasa berat. Baju tameng besi yang dikenakannya seolah semakin menyempit, membuatnya sesak.

 

sumber: Republika Online

Mulia dengan Memberi

Cendekiawan Muslim, Didin Hafiduddin, mengatakan betapa pentingnya Muslim menjadi sosok yang selalu memberi dalam kondisi sesulit apa pun. Hal ini bermakna bahwa si Muslim itu selalu berusaha sesuai dengan kemampuannya untuk menjadi orang yang bersedekah atau orang yang berinfak.

Rasulullah, kata dia, menyatakan bahwa tangan di atas (pemberi) itu jauh lebih baik dibandingkan dengan tangan di bawah (penerima). Dengan tekad ini, akan mendorong Muslim untuk menghindarkan diri dari sikap meminta dan menggantungkan diri pada orang lain. Ia selalu berusaha mengatasi ketiadaan dan ingin senantiasa memberi.

Terkait dengan hal ini, Rasulullah mengungkapkan semulia-mulianya orang mukmin adalah yang paling rajin bangun malamnya untuk beribadah. Dan, mukmin yang paling gagah adalah dia yang tidak mengandalkan hidupnya pada belas kasihan dari orang-orang lain yang ada di sekitarnya.

Berusaha memberi kepada orang lain, jelas Didin, merupakan pangkal utama kebahagiaan dan kemudahan. Sebaliknya, mereka yang terus-menerus bersandar pada orang lain, maka akan menuju pada sebuah kehinaan. Biasanya, hal ini disebabkan hilangnya rasa percaya diri dalam menghadapi hidup.

Adapun orang yang suka memberi dan bertakwa dan meyakini adanya pahala yang baik, akan Kami siapkan baginya kehidupan yang mudah,” demikian Surah al-Lail atau surah ke-92 ayat 5-7 yang dikutip oleh Didin dalam tulisannya Tangan di Atas” pada buku kumpulan tulisan berjudul Sederhana Itu Indah.

Maka itu, ia menyarankan meski dalam kondisi perekonomian yang berat, tetapi Muslim diharapkan tetap bersikukuh mempertahankan identitasnya sebagai sosok pemberi. Ringan tangan membantu orang-orang yang membutuhkan. Ia meyakinkan pula bahwa Allah SWT pasti akan memberi kelapangan rezeki.

Membantu kerabat

Selain itu, jika ada kerabat yang berada dalam kesulitan dan kemiskinan, saudara-saudaranya dituntut untuk memberikan bantuan berupa nafkah bagi mereka. Menurut Yusuf al-Qaradhawi, para ahli fikih mengemukakan ada dua syarat pokok atas wajibnya nafkah terhadap karib kerabat.

Pertama, orang yang miskin itu memang berhak mendapatkan nafkah dari kerabatnya. Bila dia berkecukupan dan memiliki harta serta usaha, tak ada kewajiban untuk memberinya nafkah. Sebab, nafkah yang diberikan itu diwajibkan sebagai bentuk bantuan untuk mengatasi kesulitan yang dihadapinya, sedangkan syarat kedua, si pemberi tentunya adalah orang yang memiliki kelebihan.

Artinya, ia telah mampu mencukupi kebutuhannya sendiri dan keluarganya. Karena nafkah kepada kerabat bersifat sumbangan, nafkah yang diberikan itu adalah kelebihan dari nafkah pokok baik untuk istri maupun anak-anaknya.

Mulailah dari dirimu kemudian kepada mereka yang berada dalam tanggung jawabmu,” demikian pernyataan Rasulullah melalui hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi.

 

sumber:RepublikaOnline

Teladan Abu Bakar Menjaga Risalah Rasulullah

Pada tahun 11 Hijriyah, Abu Bakar ash-Shidiq diamanati sebagai khalifah atau pemimpin politik pengganti Rasulullah SAW. Hal pertama yang dilakukan Abu Bakar adalah mempersatukan umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad. Seperti dinarasikan Muhammad Husain Haekal dalam buku Abu Bakr as-Sidiq, tanda-tanda pembangkangan memang sudah muncul.

Surat-surat datang kepada Abu Bakar dari para perwakilan kuasa Rasulullah di berbagai daerah Semenanjung Arab. Kebanyakan mereka mengungkapkan tentang adanya permusuhan dari kelompok-kelompok pemberontak yang di lain pihak juga tetap mempertahankan keislamannya. Potensi kekacauan sudah di ambang mata.

Abu Bakar menyadari, protes para pemberontak berfokus pada kewajiban menunaikan zakat. Mayoritas kabilah pemberontak merasa, sesudah wafatnya Nabi Muhammad, maka mereka tidak melihat alasan lagi untuk membayar zakat dan mengirimkannya kepada pusat. Keengganan membayar zakat itu beragam alasannya, mulai dari tabiat kikir hingga kelihaian mereka dalam menimbun harta.

Pokok persoalannya, para pemberontak ini menganggap zakat identik dengan upeti yang mesti dibayarkan pemuka-pemuka daerah kepada pemerintahan pusat. Maka setelah Nabi Muhammad  wafat, mereka merasa berlepas diri dari otoritas yang mewajibkan mereka menunaikan upeti.

Mereka menilai, sejak Nabi meninggal dunia, maka upeti tak berlaku lagi dan bisa dibayarkan kepada siapa saja yang mereka pilih sendiri sebagai pemimpin. Mereka menegaskan, tidak akan tunduk kepada Abu Bakar. Di antara kabilah-kabilah yang membangkang itu, terdapat kabilah Abs dan Zubyan yang dekat dengan Madinah.

 

Abu Bakar kemudian mengadakan rapat dengan para sahabat besar untuk menentukan langkah-langkah antisipatif. Di sinilah muncul perbedaan sikap antara Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Sosok Umar yang terkenal tegas dalam pertemuan itu menjadi cukup lunak dalam memandang para pemberontak.

Ia menilai tidak perlu memerangi mereka, tetapi cukup membujuk mereka agar sama-sama bersatu menghadapi musuh bersama. Seperti diketahui, pasukan Romawi di utara sudah dalam kondisi siaga tempur dengan pasukan Islam. Dalam pertemuan ini, Umar bin Khattab didukung mayoritas sahabat lainnya.

Namun, Abu Bakar berpandangan satu visi dengan minoritas dalam pertemuan ini. Bahkan, ia sampai menyampaikan orasi sebagai berikut, Demi Allah, orang yang keberatan menunaikan zakat kepadaku (sebagai khalifah-Red), yang dulu mereka lakukan kepada Rasulullah, akan kuperangi.

Abu Bakar berargumen bahwa kewajiban menunaikan zakat merupakan salah satu dari rukun Islam. Tidak sempurna Islam seseorang atau suatu kaum bila menafikan penunaian zakat. Apalagi, tegas Abu Bakar, di dalam Alquran perintah shalat beriringan dengan seruan menunaikan zakat.

Tanpa ragu, Abu Bakar menjawab pandangan Umar bin Khattab dan para sahabat di sana, Demi Allah, aku akan memerangi siapa pun yang memisahkan shalat dengan zakat. Atas respons Abu Bakar ini, Umar berubah pikiran dan menjadi pendukungnya. Demi Allah, tiada lain yang harus kukatakan. Semoga Allah melapangkan dada Abu Bakar dalam berperang. Aku tahu dia benar, kata Umar bin Khattab.

Inilah pertempuran pertama di era Khulafaur Rasyidin. Dalam masa menunggu tiga malam, akhirnya pasukan pembangkang itu menyerbu Madinah. Tujuannya meruntuhkan mental pasukan Abu Bakar sehingga menerima tuntutan mereka mengenai salah satu rukun Islam itu. Menghadapi situasi genting demikian, Abu Bakar memerintahkan tidak meninggalkan tempat.

Dengan menaiki unta, dia memberitahukan orang-orang yang berada di masjid. Kemudian, bersama-sama mereka berangkat menghadapi pasukan musuh yang merupakan gabungan kaum Gatafan, Abs dan Zubyan di malam gelap itu. Menjelang pagi, pasukan Abu Bakar terus mengejar dua kaum pemberontak itu hingga ke Zul Qassah. Begitu matahari muncul penuh di ufuk timur, kemenangan gemilang sudah diraih pasukan Abu Bakar.

Sebagai informasi, pasukan yang dipimpin Abu Bakar tidak sepenuhnya berasal dari unsur militer. Ada pula yang tidak cukup berpengalaman angkat senjata. Tetapi, keteguhan hati Abu Bakar telah menginspirasi mereka, bagaikan berperang di sisi Nabi Muhammad. Kemenangan ini lantas berpengaruh besar ke dalam hati kaum Muslim.

 

sumber:republikaOnline

Konsistensi Menjaga Risalah Muhammad SAW

Sejak semula, Abu Bakar bertekad tidak meninggalkan apa pun yang dikerjakan Rasulullah. Tidak ada tawar-menawar soal ini.

Sebagai contoh, selain ihwal kewajiban zakat, juga ketika para sahabat meminta Abu Bakar mengubah sikap terkait pengiriman pasukan Usamah. Abu Bakar tetap berpegang teguh agar pasukan tetap menjalani perintah sebagaimana yang telah dititahkan Rasulullah .

Inilah yang membuat kaum Muslimin kian respek terhadap Abu Bakar. Setelah kekalahan orang-orang murtad, mereka kemudian berlomba-lomba dalam menunaikan zakat kepada Khalifah. Demikianlah, Abu Bakar mengampuni kabilah-kabilah yang sempat membangkang tetapi akhirnya bersedia untuk menunaikan zakat.

Yang mula-mula datang membayar zakat ialah kabilah Safwan dan Zabriqan, para pemimpin Banu Tamim, serta Adi bin Hatim atas nama kabilahnya, Tayyi’. Ada pula beberapa suku yang jauh dari Madinah yang tetap bersikeras enggan membayar zakat. Sebab, mereka beranggapan zakat adalah upeti tanda ketundukan mereka kepada Madinah, padahal Nabi sudah wafat. Di sinilah tampak fanatisme kesukuan mereka.

Abu Bakar sendiri tidak memiliki fanatisme kesukuan. Ia hanya berpendirian bahwa Islam harus tegak di atas muka bumi. Atas sikap ini, sahabat Abdullah bin Mas’ud mengenangnya: Setelah ditinggalkan Rasulullah, keadaan kami (umat Islam) hampir binasa kalau tidak karena karunia Allah dengan Abu Bakar kepada kami. Kami sudah sepakat tidak akan memerangi anak-anak unta betina itu (kaum pemberontak). Kami akan beribadah kepada Allah hingga benar-benar yakin. Tetapi Allah telah memberikan keteguhan hati kepada Abu Bakar untuk memerangi mereka.

Menurut Muhammad Husain Haekal dalam buku Abu Bakr as-Sidiq, sekiranya Abu Bakar hendak berkompromi mengenai pesan Rasulullah  atau segala ketentuan agama ini, tentu risalah Islam mengalami keguncangan yang tak berkesudahan. Apalagi, dengan munculnya para nabi palsu, yakni orang yang mengaku dirinya utusan Tuhan pengganti Rasulullah.

Bila demikian, akan muncul jalan kebimbangan terhadap ajaran Nabi Muhammad. Semenanjung Arabia akan kembali tenggelam dalam era jahiliyah, ketika masing-masing kabilah berperang demi pamor dan bersekutu demi kepentingan politis sesaat, bukan membela kebenaran hakiki dan berjuang meneguhkan Islam.

Momentum ini, menurut Husain Haekal, sebenarnya serupa dengan yang pernah terjadi di zaman Nabi  masih hidup. Kala itu, ada delegasi dari Saqif yang mendatangi Rasulullah untuk berbaiat kepada beliau serta menyatakan diri dan kaumnya masuk Islam. Namun, pemuka Saqif meminta kepada Rasulullah agar dibebaskan dari kewajiban menunaikan shalat.

Maka, Rasulullah menjawabnya dengan mengatakan, Tidak baik agama yang tidak disertai shalat. Husain Haekal menilai, Abu Bakar mungkin juga menyandarkan pendapatnya pada sabda Nabi  demikian. Beragama Islam secara sempurna (kaffah) memang membutuhkan komitmen.

 

sumber: RepublikaOnline