Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 5)

Baca pembahasan sebelumnya Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 4)

Bismillah.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,

اعلم أرشدك الله لطاعته أن الحنيفية ملة إبراهيم أن تعبد الله وحده مخلصا له الدين

Ketahuilah -semoga Allah membimbingmu untuk taat kepada-Nya- bahwa Al-Hanifiyyah, yaitu agama Ibrahim, adalah kamu beribadah kepada Allah semata dengan memurnikan agama untuk-Nya.

Penjelasan :

Sebagaimana kebiasaan beliau, penulis rahimahullah mendoakan kebaikan untuk pembaca risalahnya. Hal ini mengandung sikap kelembutan seorang dai dan pengajar kepada orang yang dia ajari. Demikianlah semestinya profil seorang pendakwah. Kelembutan dan kasih sayang merupakan sifat utama yang harus ada pada seorang da’i ilallah.

Di dalam doa ini beliau memohon kepada Allah agar memberikan bimbingan kepada kita dalam hal ilmu dan amalan. Karena yang dimaksud dengan ar-rusyd adalah mengamalkan kebenaran yang telah diketahui. Lawan darinya adalah ghawayah/menyimpang, yaitu tidak mengamalkan ilmu. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disifati oleh Allah sebagai orang yang tidak dholla/sesat dan tidak ghowa/menyimpang. Yang disebut dholla atau dholal adalah tidak berilmu alias bodoh sehingga tersesat dari jalan yang benar. Adapun ghowa atau ghowayah adalah tidak mengamalkan ilmu alias meninggalkan kebenaran setelah mengetahuinya. Kedua sifat buruk ini ternafikan dari diri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Maka, demikianlah sifat yang dikehendaki ada pada diri setiap muslim. Menggabungkan antara ilmu yang bermanfaat dengan amal saleh. Saking beratnya dosa tidak mengamalkan ilmu, disebutkan dalam sebagian riwayat bahwa orang yang berilmu tetapi tidak beramal dengannya maka ia diazab sebelum para pemuja berhala. Semoga Allah melindungi kita darinya.

Di dalam doa ini, penulis mendoakan agar Allah memberikan bimbingan kepada kita untuk taat kepada Allah. Ketaatan kepada Allah merupakan sumber segala kebaikan dan asas kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Orang-orang yang mencapai tingkatan tinggi dalam tauhid senantiasa memiliki sifat taat dan patuh kepada Allah. Sebagaimana sifat yang ada pada diri Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang Allah kisahkan di dalam Al-Qur’an. Allah menyebut beliau sebagai sosok yang qaanitan lillaah, selalu patuh dan taat kepada Allah. Ketaatan kepada Allah merupakan bukti kecintaan seorang hamba.

Sebagaimana dikatakan dalam ungkapan orang arab innal muhibba liman yuhibbu muthii’u yang berarti bahwa orang yang mencintai tentu taat kepada siapa yang dia cintai. Ibadah kepada Allah merupakan kecintaan yang melahirkan ketaatan dan ketundukan. Karena ibadah itu tegak di atas dua pilar utama, perendahan seutuhnya kepada Allah dan kecintaan yang tinggi kepada-Nya, sebagaimana diterangkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah.  Dalam Nuniyah-nya beliau berkata,

Ibadah kepada Ar-Rahman merupakan puncak kecintaan kepada-Nya

Beserta perendahan diri sang hamba

Itulah dua poros agama

Di atas kedua poros itulah tata surya ibadah beredar

Ketaatan kepada Allah mencakup dua bagian utama:

– melaksanakan perintah-Nya

– menjauhi larangan-Nya

Millah Ibrahim

Kemudian, penulis rahimahullah menjelaskan kepada kita tentang makna Al-Hanifiyyah atau millah Ibrahim. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam mendakwahkan agama Islam, sebagaimana seluruh nabi yang lain. Karena semua nabi mengajarkan Islam. Meskipun demikian, Allah memilih Ibrahim sebagai teladan bagi para nabi sesudahnya. Dan Allah turunkan dari anak cucunya para nabi setelahnya sampai nabi yang terakhir, yaitu nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang mana beliau merupakan keturunan dari Nabi Isma’il bin Ibrahim ‘alaihimas salam.

Lebih daripada itu, Allah pun memilih Ibrahim sebagai khalil/kekasih-Nya. Tidak lain karena tingkat penghambaan beliau dan nilai ketauhidannya yang sangat mulia. Bagaimana tidak? Begitu banyak ujian dan cobaan yang beliau hadapi dalam memperjuangkan dakwah tauhid ini. Dan beliau pun mendapat taufik dari Allah untuk melalui segala ujian itu dengan penuh kesabaran dan keyakinan. Oleh sebab itu, masyhur perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, bahwa beliau mengatakan, “Dengan sabar dan keyakinan akan diraih kepemimpinan dalam agama.”

Ibrahim merupakan sosok yang sangat penting dalam dakwah tauhid ini. Bahkan sampai-sampai berbagai penganut agama pun menisbatkan diri sebagai penerus ajarannya. Walaupun pada umumnya, itu hanya klaim semata tanpa bukti. Orang-orang Yahudi mengaku sebagai penerus ajaran Ibrahim, padahal mereka pun telah menyelewengkan ayat-ayat Taurat, kitab suci yang Allah turunkan kepada Nabi Musa ‘alaihis salam. Mereka pun menolak untuk beriman kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Padahal, mereka mengenal dengan baik ciri-ciri beliau -yang telah dijelaskan di dalam Taurat- sebagaimana seorang bapak mengenali anak-anaknya sendiri. Begitu pula, orang Nasrani mengklaim sebagai penerus ajaran Ibrahim karena mereka mengaku sebagai pengikut ajaran Isa ‘alaihis salam yang mereka angkat sebagai Tuhan. Sehingga, jatuhlah mereka dalam sikap berlebihan dan mempersekutukan Allah Ar-Rahman. Mereka menisbatkan anak kepada Allah. Sesuatu yang sama sekali tidak diajarkan oleh Nabi Ibrahim, bahkan tidak juga oleh Nabi Isa ‘alaihis salam.

Bukan hanya itu, kaum musyrikin pun tidak mau kalah. Mereka yang sekian lama memenuhi pelataran Ka’bah dengan berhala pun menganggap bahwa merekalah yang paling pantas disebut sebagai pewaris ajaran Ibrahim. Karena merekalah yang mengagungkan Ka’bah yang dibangun oleh Ibrahim bersama Ismail putranya. Padahal, Ibrahim dan Ismail ‘alaihimas salam tidak pernah mengajarkan kepada umatnya untuk menyembah berhala. Demikianlah, setan mengelabui manusia dan menyesatkan mereka dari jalan yang lurus. Maka, siapa pun yang mengaku sebagai penerus ajaran Ibrahim wajib menyadari bahwa agama yang beliau sampaikan kepada manusia adalah Islam. Ajaran yang menuntut setiap hamba untuk memurnikan ibadahnya kepada Allah.

Ajaran Kitab Suci dari Langit

Allah berfirman,

وَمَاۤ أُمِرُوۤا۟ إِلَّا لِیَعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ حُنَفَاۤءَ وَیُقِیمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَیُؤۡتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَ ٰ⁠لِكَ دِینُ ٱلۡقَیِّمَةِ

“Dan tidak mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama untuk-Nya dengan hanif, dan supaya mereka mendirikan salat serta menunaikan zakat. Dan itulah agama yang lurus.” (Al-Bayyinah : 5)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Tidaklah mereka diperintahkan di dalam Taurat dan Injil kecuali supaya memurnikan ibadah kepada Allah dengan penuh ketauhidan.” (disebutkan oleh Imam Al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya Ma’alim At-Tanzil, hal. 1426)

Syekh ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, bahwa dari ayat ini kita bisa memetik pelajaran bahwasanya hakikat tauhid itu adalah keikhlasan kepada Allah tanpa ada sedikit pun kecondongan kepada syirik. Oleh sebab itu, barangsiapa yang tidak ikhlas kepada Allah bukanlah orang yang bertauhid. Begitu pula barangsiapa menjadikan ibadahnya, dia tujukan kepada selain Allah, maka dia juga bukan orang yang bertauhid. (lihat Syarh Tsalatsah Al-Ushul, hal. 76-77)

Ibadah itu sendiri merupakan perpaduan antara kecintaan dan ketundukan. Apabila ia ditujukan kepada Allah semata, maka jadilah ia ibadah yang tegak di atas tauhid. Sedangkan apabila ia ditujukan kepada selain-Nya, maka ia menjadi ibadah yang tegak di atas syirik. Ibadah kepada Allah yang sesuai dengan syariat disebut ibadah yang syar’iyah, sedangkan ibadah yang menyelisihi tuntunan syariat disebut sebagai ibadah yang bid’ah. (lihat Syarh Risalah Miftah Daris Salam oleh Syekh Shalih bin Abdillah Al-‘Ushaimi hafizhahullah, hal. 9)

Allah berfirman,

مَا كَانَ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمُ یَهُودِیࣰّا وَلَا نَصۡرَانِیࣰّا وَلَـٰكِن كَانَ حَنِیفࣰا مُّسۡلِمࣰا

“Bukanlah Ibrahim itu seorang Yahudi atau Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang hanif lagi muslim.” (Ali ‘Imran : 67)

Syekh Shalih alu Syekh hafizhahullah berkata, “Allah ‘Azza Wajalla menjadikan Ibrahim sebagai seorang yang hanif, dalam artian orang yang berpaling dari jalan syirik menuju tauhid yang murni. Adapun Al-Hanifiyah adalah millah/ajaran yang berpaling dari segala kebatilan menuju kebenaran dan menjauh dari semua bentuk kebatilan serta condong menuju kebenaran. Itulah millah bapak kita Ibrahim ‘alaihis salam.” (lihat Syarh al-Qawa’id Al-Arba’ dengan tahqiq ‘Adil Rifa’i, hal. 13-14)

Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Seorang yang hanif itu adalah orang yang menghadapkan dirinya kepada Allah dan berpaling dari selain-Nya. Inilah orang yang hanif. Yaitu orang yang menghadapkan dirinya kepada Allah dengan hati, amal, dan niat, serta kehendak-kehendaknya semuanya untuk Allah. Dan dia berpaling dari pujaan/sesembahan selain-Nya.” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 328)

Allah berfirman,

وَقَالُوا۟ كُونُوا۟ هُودًا أَوۡ نَصَـٰرَىٰ تَهۡتَدُوا۟ۗ قُلۡ بَلۡ مِلَّةَ إِبۡرَ ٰ⁠هِـۧمَ حَنِیفࣰاۖ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِینَ

“Mereka mengatakan ‘Jadilah kalian pengikut Yahudi atau Nasrani niscaya kalian mendapatkan petunjuk!’ Katakanlah, ‘Bahkan millah Ibrahim yang hanif itulah -yang harus diikuti- dan dia bukan termasuk golongan orang-orang musyrik.” (Al-Baqarah : 135)

Allah berfirman,

إِنَّ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمَ كَانَ أُمَّةࣰ قَانِتࣰا لِّلَّهِ حَنِیفࣰا وَلَمۡ یَكُ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِینَ

شَاكِرࣰا لِّأَنۡعُمِهِۚ ٱجۡتَبَىٰهُ وَهَدَىٰهُ إِلَىٰ صِرَ ٰ⁠طࣲ مُّسۡتَقِیمࣲ

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang umat/teladan yang senantiasa patuh kepada Allah lagi hanif dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik.  Dia selalu mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Allah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (An-Nahl : 120-121)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Jalan yang lurus itu adalah beribadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya di atas syariat yang diridai.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4/611)

Syekh Shalih alu Syekh hafizhahullah berkata, “Hakikat millah Ibrahim itu adalah mewujudkan makna laa ilaha illallah, sebagaimana yang difirmankan Allah ‘Azza Wajalla dalam surat Az-Zukhruf,

وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمُ لِأَبِیهِ وَقَوۡمِهِۦۤ إِنَّنِی بَرَاۤءࣱ مِّمَّا تَعۡبُدُونَ

إِلَّا ٱلَّذِی فَطَرَنِی فَإِنَّهُۥ سَیَهۡدِینِ

وَجَعَلَهَا كَلِمَةَۢ بَاقِیَةࣰ فِی عَقِبِهِۦ لَعَلَّهُمۡ یَرۡجِعُونَ

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari segala yang kalian sembah, kecuali Zat yang telah menciptakanku, maka sesungguhnya Dia akan memberikan petunjuk kepadaku.’ Dan Ibrahim menjadikannya sebagai kalimat yang tetap di dalam keturunannya, mudah-mudahan mereka kembali kepadanya.” (Az-Zukhruf : 26-28).” (lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, hal. 14)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Kalimat ini, yaitu beribadah kepada Allah Ta’ala semata yang tiada sekutu bagi-Nya dan mencampakkan segala berhala yang disembah selain-Nya, itulah kalimat laa ilaha illallah yang dijadikan oleh Ibrahim sebagai ketetapan bagi anak keturunannya supaya dengan sebab itu orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dari keturunan Ibrahim ‘alaihis salam tunduk mengikutinya.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7/225)

Syekh ‘Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya agama Allah yang dipilih-Nya bagi hamba-hamba-Nya, agama yang menjadi misi diutusnya para rasul, dan agama yang menjadi muatan kitab-kitab yang diturunkan-Nya ialah Al-Hanifiyah. Itulah agama Ibrahim Al-Khalil ‘alaihis salam. Sebagaimana itu menjadi agama para nabi sebelumnya dan para rasul sesudahnya hingga penutup mereka semua yaitu Muhammad, semoga salawat dan salam tercurah kepada mereka semuanya.” (lihat Al-Bayan Al-Murashsha’ Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, hal. 14)

Allah berfirman,

ثُمَّ أَوۡحَیۡنَاۤ إِلَیۡكَ أَنِ ٱتَّبِعۡ مِلَّةَ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمَ حَنِیفࣰاۖ

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu, ‘Hendaklah kamu mengikuti millah Ibrahim secara hanif.’” (An-Nahl : 123)

Allah berfirman,

قُلۡ إِنَّنِی هَدَىٰنِی رَبِّیۤ إِلَىٰ صِرَ ٰ⁠طࣲ مُّسۡتَقِیمࣲ دِینࣰا قِیَمࣰا مِّلَّةَ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمَ حَنِیفࣰاۚ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِینَ

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah diberikan petunjuk oleh Rabbku menuju jalan yang lurus, agama yang tegak yaitu millah Ibrahim yang hanif dan dia bukanlah termasuk golongan orang musyrik.’” (Al-An’am : 161)

Syekh Shalih bin Abdul Aziz alu Syekh hafizhahullah berkata, “Maka millah Ibrahim ‘alaihis salam itu adalah tauhid.” (lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba‘, hal. 15)

Syekh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri hafizhahullah berkata, “Millah Ibrahim itu adalah syariat dan keyakinan yang dijalani oleh bapaknya para nabi yaitu Ibrahim ‘alaihis salam. Dan Ibrahim adalah salah satu nabi yang paling utama dan termasuk jajaran rasul yang digelari sebagai ulul ‘azmi.” (lihat Syarh Mutun Al-‘Aqidah, hal. 224)

Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah ‘Azza Wajalla sebagaimana para nabi yang lain. Semua nabi mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya.” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 330)

Agama Para Nabi

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Para nabi itu adalah saudara-saudara sebapak, sedangkan ibu mereka berbeda-beda. Dan agama mereka itu adalah sama.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Allah berfirman,

وَمَاۤ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِیۤ إِلَیۡهِ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّاۤ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ

“Tidaklah Kami mengutus sebelum kamu (Muhammad) seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tiada sesembahan (yang benar) selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (Al-Anbiyaa’ : 25)

Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa dakwah para rasul ialah mengajak kepada tauhid dan meninggalkan syirik. Setiap rasul berkata kepada kaumnya,

یَـٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَـٰهٍ غَیۡرُهُۥۤۖ

“Wahai kaumku, sembahlah Allah (semata), tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (Huud : 50).

Inilah kalimat yang diucapkan oleh Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib, Ibrahim, Musa, ‘Isa, Muhammad, dan segenap rasul ‘alaihimush sholatu wassalam. (lihat Al-Irsyad ila Shahih Al-I’tiqad, hal. 19)

Abu Qilabah rahimahullah berkata, “Orang yang hanif adalah yang beriman kepada seluruh rasul dari yang pertama hingga yang terakhir.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1/448)

Qatadah rahimahullah berkata, “Al-Hanifiyah itu adalah syahadat laa ilaha illallah.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1/448)

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Seorang yang hanif itu adalah orang yang menghadapkan dirinya kepada Allah dan berpaling dari selain-Nya. Inilah orang yang hanif. Yaitu orang yang menghadapkan dirinya kepada Allah dengan hati, amal, dan niat serta kehendak-kehendaknya semuanya untuk Allah. Dan dia berpaling dari pujaan/sesembahan selain-Nya.” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 328)

Syekh Abdul Aziz Ar-Rajihi hafizhahullah berkata, “Al-Hanifiyah itu adalah tauhid. Yaitu kamu beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/amal untuk-Nya. Ini merupakan kandungan makna dari laa ilaha illallah. Karena sesungguhnya maknanya adalah tidak ada yang berhak disembah selain Allah.” (lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’, hal. 11)

Demikian sedikit kumpulan catatan. Semoga bermanfaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Bersambung insyaAllah.

Penulis: Ari Wahyudi

Sumber: https://muslim.or.id/69320-penjabaran-empat-kaidah-utama-bag-5.html

Ketika Nabi Melunakkan Hati Sahabat yang Cemburu karena Merasa Paling Islami

Alkisah, penaklukan Makkah atau lebih tren disebut “Fathu Mekah” berjalan tanpa aral lintang, nyaris tanpa pertumpahan darah. Ini sukses besar Nabi bersama sahabat-sahabatnya dalam dakwah dan politik. Menariknya lagi, bersama rombongan umat Islam kala itu ikut juga pelbagai suku Badui yang ikut secara sukarela. Penaklukan terbesar dalam sejarah tanpa tetesan darah sedikitpun.

Selepas itu, Nabi bersama rombongan bergerak menuju Ji’ranah untuk menaklukkan kelompok Hawazin yang berniat menyerang kaum muslimin. Tanpa halangan berarti juga Hawazin dilumpuhkan.

Usai menaklukkan Makkah dan kelompok Hawazin, Nabi mendapat banyak sekali ghanimah (harta rampasan perang). Dari data literatur-literatur sejarah, totalnya 24.000 ekor unta dan dan sekitar 40.000 ekor kambing dan domba. Angka yang fantastis.

Inilah yang kemudian menjadi asbabun nuzul (sebab turun) surat al Taubah ayat 60 yang berbicara tentang delapan golongan yang berhak menerima zakat. Satu di antaranya adalah muallafati qulubuhum, orang yang baru masuk Islam dan hatinya masih butuh untuk dibujuk.

Kemudian, berangkat dari wahyu tersebut, 100 unta diberikan kepada Abu Sufyan, muallaf dan masih keluarga Nabi. Padahal, sebagaimana diketahui, ia adalah salah seorang yang secara sengit menentang dan memusuhi Nabi dan umat Islam. Tidak cukup hanya itu, Abu Sufyan meminta tambahan 200 ekor unta untuk kedua anaknya Yazid dan Muawiyah. Nabi kembali mengiyakan.

Shafwan bin Suhail juga mendapat bagian. Ia diberi 100 ekor unta dari ghanimah. Saat itu Shafwan bukan muallaf, hampir muallaf. Ia menemani Nabi ketika menelusuri lembah Ji’ranah. Dalam perjalanan Shafwan terkagum melihat ladang hijau yang dipenuhi kambing, unta dan domba. Nabi menawarkan kepadanya, “Jika kamu ingin, ambillah”. Shafwan kegirangan, saat itu juga ia memeluk Islam.

Nabi juga memberi 100 ekor unta masing-masing kepada Uyaynah dari Ghathafan dan Aqra’ dari Bani Tamim. Tapi Ju’ayl dari Damrah tidak diberi bagian, padahal tergolong sahabat yang sangat taat dan miskin.

Desas-desus dan suara miring yang berasal dari kalangan sahabat terdengar. Terutama dari kalangan Anshar. Sebab, tak satupun dari mereka yang mendapat bagian ghanimah. Sementara enam belas tokoh Quraisy dan empat kepala suku yang mendapat bagian berlimpah semuanya adalah orang-orang kaya.

Kecemburuan ini sampai memunculkan riak-riak suara, Nabi telah berbuat nepotisme. Ketika perang sahabat Anshar yang terlibat, bahu-membahu dengan sahabat Muhajirin. Tetapi saat mendapat ghanimah yang mendapat bagian adalah kerabat Nabi, sementara sahabat Anshar hanya menonton pembagian tersebut.

Supaya tidak berkepanjangan, pihak Anshar mengutus Sa’ad bin Ubadah menemui Nabi. Agendanya, jika keputusan Nabi tersebut berdasarkan wahyu, kaum Anshar akan menerima dengan suka rela. Namun, jika itu semua hanya keputusan pribadi Nabi mereka juga menuntut bagian.

Setelah Sa’ad bin Ubadah bertemu dan menyampaikan suara kaum Anshar, dengan cepat Nabi mengumpulkan sahabat-sahabat Anshar. Beliau bersabda, “Wahai kaum Anshar, aku mendengar keluh kesah kalian semua, hati kalian sangat menentangku. Tetapi, bukankah kalian dulu tersesat dan aku yang membimbing kalian ke jalan Allah? Bukankah dulu kalian miskin dan kini Allah memberi kekayaan kepada kalian? Dulu, kalian saling bermusuhan dan Allah mendamaikan kalian”?

Ucapan baginda Nabi disampaikan secara halus ibarat seorang ayah menasehati anaknya. Masing-masing sahabat Anshor terkesiap dan terkesima. Dalam lubuk sanubari mereka mengatakan, “Nabi benar dan itu anugerah terbesar”.

Kemudian, Nabi melanjutkan dengan berkata, “Ingatlah, wahai sahabat-sahabatku, ghanimah hanya pintu masuk untuk melunakkan hati mereka yang keimanannya setipis sehelai benang, mereka masih meragu, belum yakin kalau Allah kuasa memberikan lebih dari itu semua.

Lalu, apa bagian kaum Anshar yang keimanannya telah terbukti bertahun-tahun dan tak diragukan”?

Lanjut beliau, “Wahai sahabat-sahabatku yang telah menerima aku di Madinah, kota kalian, apakah kalian tidak berbahagia, orang lain membawa onta dan domba, sementara kalian membawa Rasulullah ke negeri dan rumah-rumah kalian”?

Seketika itu, tangis tumpah. Sahabat-sahabat Anshar begitu terharu. Ternyata selama ini mereka telah merengkuh kebahagiaan tiada tara yang tak bisa diukur dengan dunia dan seisinya sekalipun, apalagi hanya 100 atau 200 ekor unta dan kambing. Mereka kemudian berkata, “Kami berbahagia bersama Rasulullah sebagai bagian dari kami”.

Inilah, bahwa perasaan sebagai “paling muslim” justru akan melupakan nilai-nilai paling esensi. Ego merasa paling benar pasti akan menutup hati untuk menerima kebenaran yang lain meskipun lebih benar. Kisah ini, menyindir kita semua yang dihatinya menyimpan, meskipun sekerat rasa, sebagai orang yang paling sunnah, paling Islam dan paling benar.

ISLAM KAFFAH

Apa Arti Masya Allah?

Tentu tidak asing lagi ucapan “Masya Allah“[1] (ما شاء الله) di tengah kaum Muslimin. Bahkan pembaca sekalian mungkin sudah sering mengucapkannya. Tapi apakah anda sudah tahu arti Masya Allah?

Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan, “disyariatkan bagi orang mukmin ketika melihat sesuatu yang membuatnya takjub hendaknya ia mengucapkan ‘Masya Allah‘ atau ‘Baarakallahu Fiik‘ atau juga ‘Allahumma Baarik Fiihi‘ sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاء اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu “MAA SYAA ALLAH, LAA QUWWATA ILLAA BILLAH”‘ (QS. Al Kahfi: 39)” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, no.39905).

Kita akan coba jelaskan apa makna dari ucapan “Masya Allah“? Simak penjelasan berikut:

Di dalam kitab Tafsir Al Quranul Karim Surat Al Kahfi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa kalimat “Masya Allah” (ما شاء الله) bisa diartikan dengan dua makna. Hal tersebut dikarenakan kalimat “maa syaa Allah” (ما شاء الله) bisa di-i’rab[2] dengan dua cara di dalam bahasa Arab:

  1. I’rab yang pertama dari “Masya Allah” (ما شاء الله) adalah dengan menjadikan kata “maa” (ما) sebagai isim maushul (kata sambung) dan kata tersebut berstatus sebagai khabar (predikat). Mubtada’ (subjek) dari kalimat tersebut adalah mubtada’ yang disembunyikan, yaitu “hadzaa” (هذا). Dengan demikian, bentuk seutuhnya dari kalimat “maa syaa Allah” adalah :هذا ما شاء الله/hadzaa maa syaa Allah/Jika demikian, maka artinya dalam bahasa Indonesia adalah: inilah yang dikehendaki oleh Allah.
  2. Adapun i’rab yang kedua, kata “maa” (ما) pada “maa syaa Allah” merupakan maa syarthiyyah (kata benda yang mengindikasikan sebab) dan frase “syaa Allah” (شاء الله) berstatus sebagai fi’il syarath (kata kerja yang mengindikasikan sebab). Sedangkan jawab syarath (kata benda yang mengindikasikan akibat dari sebab) dari kalimat tersebut tersembunyi, yaitu “kaana” (كان) . Dengan demikian, bentuk seutuhnya dari kalimat “maa syaa Allah” adalah:ما شاء الله كان/maa syaa Allahu kaana/Jika demikian maka artinya dalam bahasa Indonesia adalah: apa yang dikehendaki oleh Allah, maka itulah yang akan terjadi.

Ringkasnya, “maa syaa Allah” bisa diterjemahkan dengan dua terjemahan, inilah yang diinginkan oleh Allah atau apa yang dikehendaki oleh Allah, maka itulah yang akan terjadi. Maka ketika melihat hal yang menakjubkan, lalu kita ucapkan “Masya Allah” (ما شاء الله), artinya kita menyadari dan menetapkan bahwa hal yang menakjubkan tersebut semata-mata terjadi karena kuasa Allah.

Itulah arti Masya Allah yang bisa kita simpulkan. Semoga lisan-lisan kita dapat senantiasa dibasahi ucapan dzikir kepada Allah Ta’ala. Wabillahit taufiq.

***

Catatan Kaki[1] Sebagian orang mempermasalahkan penulisan Masya Allah yang benar, antara lain “Masya Allah” atau “Masha Allah” atau “Maasyaa Allah” atau “Masyallah”. Mungkin bagi mereka yang benar adalah “Maa Syaa-Allah” atau “Maa Syaa-a Allah”. Namun hal ini sebenarnya tidak patut dipermasalahkan, semuanya bisa digunakan. Karena memang tulisan huruf latin tidak bisa mengakomodasi bahasa arab dengan sempurna. Sehingga yang penting adalah pengucapan lisannya. Bahkan dalam tulisan formal, hendaknya mengikuti kaidah transliterasi berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K Nomor 158 tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987. Lihat disini.
Jika dengan pedoman ini, maka penulisan yang baku adalah: Māsyā-a Allāhu
Namun, sekali lagi, ini bukan masalah besar selama tidak terlalu jauh dari pengucapan arabnya.[2] I’rab adalah penjabaran struktur kalimat di dalam bahasa Arab.


Penulis: Muhammad Rezki Hr, ST., M.Eng

Sumber: https://muslim.or.id/21845-apa-arti-masya-allah.html

Merasa Senang karena Orang Lain Tahu Amal Baik Kita, Apakah Termasuk Riya?

Bismillahirrahmanirrahim..

Anda sudah berusaha menyembunyikan amal shalih, namun Allah buka sehingga orang lain tahu. Lalu, hati Anda bahagia dengan kenyataan tersebut. Apakah seperti ini termasuk riya’?

Termasuk atau tidaknya, tergantung pada motivasi bahagianya. Jika bahagia karena kemampuan dirinya yang bisa melakukan amal-amal kebaikan yang diketahui orang-orang, maka ini berbahaya. Karena bisa terjatuh ke dalam dosa ujub yang berdampak pada gugurnya pahala. Jika bahagianya karena kuasa dan rahmat Allah yang telah menampakkan kebaikan dan menutupi aib-aibnya, maka ini bukan ujub dan bukan riya’. Bahkan ini adalah nikmat dari Allah ‘azza wa jalla dan membuahkan pahala karena ada unsur syukur di dalamnya. Di antara bentuk syukur adalah bahagia atas nikmat yang telah Allah berikan.

Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَعْمَلُ الْعَمَلَ فَيُطَّلَعُ عَلَيْهِ فَيُعْجِبُنِي

“Ya Rasulullah, sesungguhnya saya telah melakukan suatu amalan, lantas amalan tersebut diperlihatkan kepadaku hingga saya kagum.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

لَكَ أَجْرَانِ أَجْرُ السِّرِّ وَأَجْرُ الْعَلَانِيَةِ

“Kamu mendapatkan dua pahala, pahala amalan yang dilakukan saat tak seorang pun yang melihat dan ketika ditampakkan.” (HR. Ibnu Majah)

Di dalam hadis yang lain, riwayat Imam Muslim dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu,

يا رسول الله، أرأيت الرجل يعمل العمل من الخير ويحمده الناس عليه؟

“Ya Rasulullah, seorang telah melakukan amal baik, lalu orang-orang memujinya?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

تلك عاجل بشرى المؤمن

“Itu adalah kabar gembira yang disegerakan untuk orang mukmin.”

Di dalam kitab Mukhtasar Minhaj Al-Qosidin (hal. 213 – 214), Ibnu Qudamah rahimahullah menerangkan,

أن السرور ينقسم إلى محمود ومذموم، فالمحمود: أن يكون قصده إخفاء الطاعة، والإخلاص لله، ولكن لما اطلع عليه الخلق، علم أن الله أطلعهم، وأظهر الجميل من أحواله، فيُسَرُّ بحسن صنع الله، ونظره له، ولطفه به، حيث كان يستر الطاعة والمعصية, فأظهر الله عليه الطاعة، وستر عليه المعصية، ولا لطف أعظم من ستر القبيح، وإظهار الجميل، فيكون فرحه بذلك، لا بحمد الناس وقيام المنزلة في قلوبهم، أو يستدل بإظهار الله الجميل، وستر القبيح في الدنيا، أنه كذلك يفعل به في الآخرة. فَأَمَّا إن كان فرحه باطلاع الناس عليه؛ لقيام منزلته عندهم حتى يمدحوه، ويعظموه، ويقضوا حوائجه، فهذا مكروه مذموم

“Bahagia karena amalan dilihat orang, hukumnya terbagi menjadi dua:

1. Terpuji

2. Tercela

Terpuji, jika tujuan awalnya menyembunyikan amal dan niatnya ikhlas. Akan tetapi, ketika kebaikannya itu dilihat orang lain, dia menyadari bahwa Allah yang telah menampakkan amal baiknya, Allah yang menampakkan keindahannya.

Dia pun bahagia atas kebaikan Allah, perhatian, dan kelembutan-Nya kepada dirinya. Dia berusaha menutupi amalan baik dan dosa, namun Allah tampakkan amalan baiknya dan Allah tutup dosa-dosanya. Tak ada kelembutan yang lebih berkesan dari kelembutan berupa ditutupi semua aib, kemudian ditampakkan keindahan.

Sehingga bahagianya karena itu, bukan karena pujian manusia atau kedudukan yang dia dapatkan di hati mereka.

Atau ia bahagia karena di saat Allah menampakkan kebaikannya di dunia dan Allah tutupi dosa-dosanya, itu isyarat bahwa Allah akan bersikap demikian pula di akhirat kelak.

Adapun jika bahagianya semata karena orang-orang tahu amal shalihnya, penghormatan orang-orang kepadanya sampai mereka menyanjung kebaikannya, memuliakan dan menuju kebutuhan-kebutuhannya, maka bahagia yang seperti ini dibenci Allah dan tercela.”

Wallahul Muwaffiq.

***

Ditulis oleh: Ahmad Anshori

Sumber: https://muslim.or.id/69238-merasa-senang-karena-orang-lain-tahu-amal-baik-kita-apakah-termasuk-riya.html

Covid-19: Azab atau Musibah?

Kehadiran virus Corona Covid-19 nyaris melumpuhkan aktivitas rutin umat manusia di kolom langit ini. Negara-negara adidaya yang memiliki kecanggian dunia kedokteran dan persenjataan super kuat sepertinya tidak berdaya menghadapi makhluk super mikro ini.

Mereka belum tuntas menyelesaikan satu jenis virus muncul lagi virus jenis baru. Akibatnya, anggara negara yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infra struktur dan peningkatan kesejahteraan masyarakat tersedot oleh penanggulangan Covid-19 ini.

Apa, siapa, dan untuk apa sebenarnya makhluk Covid-19 ini? Apakah Covid-19 azab atau musibah? Pertanyaan ini tidak cukup dijawab oleh hanya satu disiplin ilmu. Apalagi jika ditambahkan pertanyaan bagaimana dan dengan cara apa, serta siapa yang paling bertanggung jawab untuk mengatasi berbagai dampak Covid-19 ini? 

Dalam perspektif Al-Qur’an dikenal dua istilah, yaitu azab dan musibah. Azab  ialah siksaan yang ditimpakan kepada para pendosa dan pendurhaka yang melampaui batas dan biasanya ditimpakan kepada kaum kafir dan tidak ditimpakan kepada hamba Tuhan yang beriman, seperti seperti banjir besar yang menenggelamkan umat nabi Nuh, pandemi yang  membinasakan umat Nabi Saleh,  gempa dahsyat yang menelan umat Nabi Luth, serangan burung Ababil yang membawa virus membinasakan pasukan Abrahah. Kesemua bencana tersebut hanya menimpa orang-orang kafir yang durhaka dan tidak menimpa orang-orang yang beriman, sungguhpun orang-orang beriman itu berada di tengah-tengah mereka.

Sedangkan musibah ialah ujian yang ditimpakan kepada hamba Tuhan, baik yang beriman atau kafir, orang saleh maupun para pendosa, seperti dinyatakan dalam ayat: Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah mengampuni sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (Q.S. al-Syura/42: 30). Demikian pula dalam ayat: (Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (Q.S. al-Mulk/67:2).

Bagi umat Islam, khususnya kita dari kalangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah, meyakini virus Corona Covid-19 bukan azab melainkan musibah, dengan dasar dalil ‘aqli dan naqli. Dalil ‘aqli-nya yang terinveksi virus ini bukan hanya orang-orang kafir dan atau pendosa tetapi juga orang-orang beriman dan shaleh.

Siapapun yang lengah dan tidak mengindahkan protokol kesehatan berpotensi terinveksi. Dalil naqli-nya antara lain hadis Nabi yang menyatakan tiga doa yang diajukan Nabi Muhammad Saw untuk umatnya, pertama, agar umatnya tidak ditima azab seperti yang pernah ditimpakan pada umat-umat terdahulu; kedua, agar agama Islam terus berkembang hingga akhir zaman; dan ketiga,  agar umatnya tidak berkonflik satu sama lain. Allah Swt mengabulkan doa-doa tersebut kecuali yang terakhir (HR. Muslim & Turmudzi). Dari kenyataan tersebut maka dapat ditegaskan bahwa pandemi Covid-19 adalah musibah, bukan azab. 

Fungsi azab dan musibah berbeda. Azab sebuah siksaan yang lebih tegas untuk menyiksa orang-orang kafir dan melampaui batas. Azab itu merupakan siksaan prolog di dunia dan akan berlanjut di akhirat. Sedangkan fungsi musibah, sebagaimana disebutkan dalam hadis ialah sebagai pembelajaran dan pencucian dosa masa lampau.

Azab selalu berkonotasi negatif sedangkan musibah tidak selamanya berkonotasi negatif. Bahkan musibah bisa bermakna “surat cinta” (Devine invitation) Tuhan untuk hamba-Nya, sebagaimana diisyaratkan dalam hadis: 

“Tidaklah seorang muslim ditimpakan kelelahan, penyakit kronis, nerveous, kesedihan mendalam, marabahaya, kesusahan hingga stres yang mencemaskannya melainkan semuanya itu berfungsi sebagai pengampunan dosa”. (HR. al-Bukhari, al-Turmudzi dan Ahmad).

Dalam hadis lain juga ditegaskan: “Jika Allah berkehendak positif terhadap hamba-Nya, maka Dia akan mendahulukan siksaan terhadapnya di dunia. Dan jika Allah berkehendak negatif kepada hamba-Nya maka siksaan akibat dosa-dosanya ditunda sampai ke hari akhirat”. (HR. Turmudzi dari Anas)

Tentu kita berharap semoga musibah pandemi Covid-19 yang menimpa umat manusia saat ini mempunyai banyak hikmah yang penting untuk dijadikan sebagai proses pembelajaran (lesson learning) untuk menatap dan menjalani masa depan. Yang paling  penting semoga Allah Swt, Tuhan Yang Maha Kuasa sesegera mungkin mengangkat virus ini dan membantu kita semua untuk menyelesaikan berbagai dampak  yang ditimbulkannya di dalam masyarakat. 

Sudah tidak bijaksana lagi kita menuding seseorang, instansi, masyarakat, atau negara tertentu terhadap merebaknya virus mematikan ini. Yang diperlukan saat ini ialah kebersamaan dan  kebesaran jiwa untuk menerima kenyataan bahwa semua pihak mempunyai andil terhadap munculnya bencana masif ini.

Prof KH Nasaruddin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal)

KHAZANAH REPUBLIKA

Doa Bebas dari Utang, Dibaca Selepas Shalat Jumat

Anda sedang dililit utang? Utang Anda ada di mana-mana; bank, teman, kantor, pinjol, kantor lelang, dan rentenir. Saban hari Anda dikejar penagih hutang. Atau setiap bulan Anda dihantui oleh utang-utang yang menumpuk.

Lebih parah lagi, saudara, teman, dan tetangga sudah tak percaya pada Anda? Sebab utang yang dulu tak juga dibayar. Semua orang seperti menjauh dari Anda. Akibat utang yang tak kunjung lunas dan kian menumpuk.

Bila keadaan ini dibiarkan begitu saja, akan sangat berbahaya. Depresi bisa akan menimpa seseorang yang dalam hutang banyak. Lebih gawat lagi, bisa jadi mengakhiri hidup. Atau kemungkinan pertengkaran dalam rumah tangga, akibat suami atau istri dikejar utang.

Selain berusaha mencari kerja dan menyisihkan penghasilan, seorang yang dililit utang juga dianjurkan untuk memperbanyak doa agar bebas dari utang. Sebagai seorang muslim, seyogianya kita meminta dan mengharap belas kasih dari Tuhan. Bagaimana tidak? Ketika kita tak berdaya, Allah akan selalu menyapa dan membuka kasih pada hamba-Nya.

Salah satu amalan agar bebas dari hutan terdapat dalam kitab berjudul An Nawadir,  karya Syeikh Qolyubi. Dalam kitab ini, Syekh Qolyubi menjelaskan doa bebas dari utang tersebut dibaca selepas melaksanakan shalat Jumat. Di samping itu, doa ini juga bisa diamalkan selepas melaksanakan shalat fardu.

Simak penjelasan Syekh Qolyubi dalam kitab An Nawadir  berikut;

فائدة } من قال بعد صلاة الجمعة : ياغني يامبدئ يامعيد يارحيم ياودود أغنني بحلالك عن حرامك واكفني بفضلك عمن سواك قضى الله دينه وأغناه الله عن خلقه. قال بعض العلماء : فإن واظب على ذلك بعد كل فريضة فلا تأتيه الجمعة الأخرى إلا وقد أغناه الله تعالى

Artinya; Faedah; Barang siapa saja yang mengamalkan doa ini selepas melaksanakan shalat Jumat, maka Allah akan membebaskan hutangnya dan juga dilapangkan rezekinya.

Dan sebagian ulama mengatakan; apabila doa tersebut sering dibaca atau melaziminya selepas mengerjakan shalat wajib, maka dipastikan sepanjang hari sampai Jum’at yang akan datang, Allah akan memberikan kemudahan rezki bagi yang mengamalkannya.

Adapun doa bebas dari utang tersebut, adalah sebagai berikut ini :

يَاغَنِيُ يَاحَمِيْدُ يَامُبْدِئُ يَامُعِيْدُ يَارَحِيْمُ يَاوَدُوْدُ أَغْنِنِيْ بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَاكْفِنِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

Ya Ghaniyu Ya Hamid Yamu’idu Ya Rahim Ya Wadud A’nini bi halalika ‘an Haramika wakfini bi fadhlika

Artinya; Ya Allah, wahai Dzat yang Maha Kaya, Wahai yang Maha Mulia , Wahai zat yang menciptakan sesuatu dari awal dan Dzat yang mengembalikannya, ya Allah yang Maha Pengasih lagi dan Maha Penyayang berikanlah aku kekayaan dari rezeki yang halal sehingga aku terhindar dari rezeki yang haram,

Dan aku pinta cukupkanlah pada aku untuk melakukan ketaatan-Mu sehingga aku menjauhi hal-hal yang Engkau haramkan, dan jadikanlah kami hanya mengharap karunia-Mu sehingga aku terhindar dari mengharap karunia dari selain Engkau.

Demikian penjelasan doa Bebas dari utang yang biasa dibaca selepas Shalat Jumat. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Rahasia Sholat dan Zakat Disandingkan 82 Kali dalam Alquran

Sholat dan zakat mempunyai korelasi yang sangat kuat

Zakat merupakan pondasi sosial yang paling menonjol dalam rukun-rukun Islam. Zakat merupakan bagian dari ibadah dan hak harta, tugas sosial, dan kewajiban sosial yang bernuansa ibadah.

Jamal Muhammad Az Zaki dalam buku Sehat dengan Ibadah menjelaskan bahwa secara bahasa, makna zakat sendiri berasal dari kata az-zakah yang berarti an-numuw dan az-ziyadah (tumbuh dan bertambah). 

Dimaksudkan pula sebagai pujian dan kebaikan. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Alquran Surat An Najm ayat 32: 

فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ “Falaa tuzakkuu anfusakum.” Atinya: “Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci.” 

Jika dikatakan ‘zaka al-qadhi as-syuhud’ apabila hakim menjelaskan peningkatan kebaikan-kebaikan mereka.  Pengertian ini tercermin dalam firman Allah SWT: 

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا “Khudz min amwaalihim shadaqatan tuthahirruhum wa tuzakkihim biha.” 

Yang artinya, “Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka.” 

Zakat menurut syariat adalah sebagian harta yang ditentukan dan wajib dibayarkan orang yang memiliki nisab (batas minimal kewajiban mengeluarkan zakat) dengan niat untuk didistribusikan pada golongan-golongan tertentu. 

Para ahli fiqih menyebutnya dengan kata kerja al-ita, maksudnya adalah menunaikan kewajiban pada harta. Dinisbatkan pula pada sebagian harta dalam jumlah tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada kaum fakir yang berhak mendapatkannya.

Zakat dikenal juga dengan nama sedekah untuk membuktikan ketulusan hamba dalam beribadah dan taat kepada Allah SWT. Di samping itu, zakat yang merupakan rukun Islam ketiga ini dikenal telah diwajibkan dalam Islam pada tahun kedua Hijriyah. Alquran bersamaan dengan sholat dalam 82 tempat, realita ini membuktikan korelasi di antara keduanya.

Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Alquran Surat An Nur ayat 56, Allah berfirman: 

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ “Wa aqimusshalaata wa atuu az-zakaata wa athi’uu ar-rasula la’allakum turhamun.” 

Yang artinya: “Dan laksanakan lah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul (Muhammad) agar kamu diberi rahmat.” Dalam surat Al Hajj ayat 41, Allah juga berfirman: 

الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ

“Alladzina inna makkannahum fil-ardhi aqaamuu as-shalaata wa atuu az-zakaata wa amaruu bil-ma’rufi wa nahaw anil-munkari wallahi aqibatul-umuri.” 

Yang artinya: “(Yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di bumi, mereka melaksanakan shlat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan kepada Allah lah kembali segala urusan.”

Sebab itu, zakat merupakan kewajiban pada harta yang harus ditunaikan dan menjadi hak para penerimanya tanpa ada perbedaan di antara orang yang mengeluarkannya. Zakat diwajibkan bagi Muslim yang merdeka.

Dimensi sosial

Dimensi-dimensi sosial dari zakat pun sangat luas. Dapat menyasar kepada ranah sosial kemasyarakatan, pendidikan, kesehatan, hingga ekonomi. 

Dimensi-dimensi ekonomi misalnya, zakat berpotensi menjaga masyarakat dari keburukan. Sebab keburukan dapat memungkinkan orang untuk membuka pintu-pintu pencaharian yang keliru.

Di sisi lain, orang yang berzakat juga berhak menuai pembelanjaan hartanya di jalan Allah dengan menitiskan rasa cinta pada diri orang-orang dan senang berinteraksi dengannya. 

Dengan begitu maka bisnis dan proyek-proyeknya semakin berkembang dan membesar sehingga harta kekayaannya pun semakin melimpah. Hal ini sebagaimana janji Allah dalam Alquran surat Saba ayat 39: 

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ “Wa maa anfaqtum min syai’in fahuwa yukhlifuhu wa huwa khairurraziqin.” 

Yang artinya: “Dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya dan Dialah pemberi rezeki yang terbaik.”    

KHAZANAH REPUBLIKA

Hidup Mulia dengan Sikap Qana’ah

Arti kata qana’ah sangat luas. Percaya bahwa memang ada kekuatan yang melebihi kekuatan manusia, bersabar dalam menerima rezeki jika rezeki tidak berkenan pada diri sendiri, dan mensyukuri nikmat yang diberikan kepada kita, karena bagaimanapun nikmat itu akan sirna.

SERING orang salah paham dalam beragama. Mereka melemparkan tuduhan pada agama, bahwa agama membuat hati mati, otak tidak berpikir. Agama membuat orang malas, karena selalu mengajak umatnya untuk menjauhi dunia, dan menerima saja segala takdir.

Tuduhan semacam itu muncul karena kesalahpahaman masyarakat itu sendiri. Mereka beranggapan bahwa yang disebut qana’ah adalah menerima saja apa yang ada, sehingga mereka tidak mencoba lagi.

Mereka menyebut taqwa orang orang hanya tenggelam di mihrab dan mimbar masjid. Mereka mengatakan orang-orang shaleh yang memegang sorban besar, tetapi tidak memperhatikan urusan dunia, dan penderitaan orang lain.

Agama Islam memerintahkan umatnya untuk qana’ah. Itulah sebabnya di zaman para sahabat banyak orang kaya,  memiliki kekayaan miliaran,  memiliki banyak unta, berdagang ke luar negeri, tetapi mereka qana’ah.

Arti kata qana’ah sangat luas. Percaya bahwa memang ada kekuatan yang melebihi kekuatan manusia, bersabar dalam menerima rezeki jika rezeki tidak berkenan pada diri sendiri, dan mensyukuri nikmat yang diberikan kepada kita, karena bagaimanapun nikmat itu akan sirna.

Dalam kasus seperti itu diperintahkan untuk terus bekerja mencari rizki, kewajibannya belum berakhir. Kami bekerja bukan karena kami meminta tambahan yang sudah kami miliki dan tidak merasa cukup dengan apa yang ada, tetapi kami bekerja, karena orang yang hidup harus terus bekerja.

Demikianlah apa yang dimaksud dengan qana’ah. Jelas kesalahpahaman orang yang mengatakan qana’ah ini melemahkan hati, malas pikiran, mengajak bergandengan tangan.

Namun qana’ah merupakan modal terkuat untuk menghadapi subsistensi, sehingga menimbulkan kesungguhan hidup yang benar-benar (energi) mencari rezeki. Jangan takut dan gentar, jangan ragu dan ragu, kuatkan pikiran, kuatkan hati, percaya kepada Tuhan, berharap pertolongan-Nya, dan jangan putus asa.

Barang siapa yang telah memperoleh rezeki, dan telah dapat dimakan pada waktu pagi dan sore hari, hendaklah ia menenangkan hatinya, jangan merasa ragu dan kesepian. Anda tidak dilarang bekerja untuk mencari nafkah, Anda tidak disuruh bermalas-malasan karena harta sudah ada, karena itu bukan qana’ah, yaitu kemalasan.

Bekerjalah, karena manusia diutus ke dunia untuk bekerja, tetapi yakinlah, yakinlah bahwa dalam pekerjaan itu ada yang kalah dan yang menang. Jadi Anda bekerja karena Anda melihat bahwa kekayaan yang Anda miliki tidak cukup, tetapi Anda bekerja karena yang hidup tidak bisa menganggur.

Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash bahwa Rasulullah ﷺ bersabda

, قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ

“Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang Allah berikan kepadanya.”(HR: Muslim).

Hadits ini menunjukkan besarnya keutamaan seorang muslim yang memiliki sifat qana’ah. Karena dengan itu semua dia akan meraih kebaikan dan keutamaan di dunia dan akhirat, meskipun harta yang dimilikinya sedikit.

Qana’ah bukanlah berarti  hilang semangat untuk berkerja lebih keras demi menambah rezeki. Malah, ia bertujuan senantiasa bersyukur dengan rezeki yang dikurniakan Allah.

Kaya Hati

Karena sikap qana’ah tidak berarti fatalis, menerima nasib begitu saja tanpa ikhtiar. Orang-orang qana’ah bisa saja memiliki harta yang sangat banyak, namun semua itu bukan untuk menumpuk-numpuk kekayaan, mencintai dunia dan takut mati, lupa infak dan sedekah.

Dari Abu Hurairah Rasulullah ﷺ bersabda

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Yang namanya kaya bukanlah dengan memiliki banyak harta, akan tetapi yang namanya kaya adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR: Bukhari no. 6446)

Sikap qana’ah didefinisikan sebagai sikap merasa cukup, ridha atau puas atas karunia dan rezeki yang diberikan Allah SWT  qana’ah ialah kepuasan hati dengan rezeki yang ditentukan Allah.

Ibnu Qudamah dalam Minhajul Qashidin menyampaikan hadits dalam Shahih Muslim dan yang lainnya, dari Amr bin Al-Ash Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

قَدْ أفْلَحَ مَنْ أسْلَمَ وَرُزِقُ كَفَا فًا، وَ قَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ

“Beruntunglah orang yang memasrahkan diri, dilimpahi rizki yang sekedar mencukupi dan diberi kepuasan oleh Allah terhadap apa yang diberikan kepadanya.” (HR: Muslim, At-Tirmidzi, Ahmad dan Al-Baghawy).

Karenanya qana’ah itu mengandung lima perkara: Ikhlas menerima apa yang ada, selalu memohon kepada untuk mendapat tambahan rizki yang cukup, dan terus berusaha,  sabar dan menerima menerima ketentuan Allah, tawakal kepada Allah dan tidak tertarik pada tipu daya dunia.* Oase Iman

HIDAYATULLAH

Manfaat Surat Al Jumuah untuk Dapatkan Kekayaan, Ini Caranya

Surat Al Jumuah juga mempunyai banyak manfaat untuk umat Islam

Salah satu keutamaan mengalamkan atau membaca surat Al Jumuah adalah untuk mendapatkan kekayaan. 

Caranya adalah dengan membaca surat Al Jumuah satu kali kemudian membaca doa berikut ini 70 kali, yaitu:

اَللَّهُمَّ اكْفِنِيْ بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَ أَغْنِنِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ “Ya Allah, cukupkanlah aku dengan barang yang halal hingga aku tidak butuh kepada yang haram dan cukupkanlah aku dengan keutamaan-Mu hingga aku tidak butuh kepada selain-Mu.” (HR Turmudzi).

Dalam buku “Rahasia Keutamaan Surat Al-Qur’an” karya Muhammad Zaairul Haq dijelaskan bahwa jika amalan di atas dilakukan akan segera mendapatkan kekayaan yang luas dan berkah. 

Dalam kitab Khazinat Al-Asrar disebutkan sebuah riwayat yang mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang membaca doa:

اَللَّهُمَّ اكْفِنِيْ بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَ أَغْنِنِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ 

pada hari Jumat sebanyak 70 kali, maka dia tidak akan mendapati Jumat berikutnya, kecuali Allah membuatnya kaya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

Dalam kitab Khazinat Al-Asrar, menurut Zaairul Haq, juga disebutkan bahwa doa di atas baik sekali diamalkan pada Jumat atau setiap selesai melaksanakan sholat sebanyak 70 kali. 

Disebutkan bahwa barang siapa yang melakukan amalan seperti itu, maka Allah akan menyelesaikan utangnya walaupun utang tersebut setinggi gunung Uhud.

Selain itu, keutamaan lainnya mengamalkan surat Al Jumuah adalah bisa menghilangkan rasa waswas yang ditimbulkan kejahatan setan. 

Caranya dengan istiqomah membaca surat Al Jumuah setiap hari. Ini dijelaskan  Imam Syafii dalam kitab ad-Durr an-Nazhim fi Khawash al-Qur’an al-‘Azhim

KHAZANAH REPUBLIKA

3 Jenis Nazar yang tidak Boleh Diucapkan Muslim

Tidak semua nazar diperbolehkan dalam syariat

Nazar berarti mewajibkan kepada diri sendiri untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan dengan maksud mengagungkan serta mendekatkan diri kepada Allah SWT. 

Nazar telah disyariatkan kepada umat-umat terdahulu sebelum masa Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dijelaskan dalam Alquran surat Ali Imran ayat 35: 

إِذْ قَالَتِ امْرَأَتُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي ۖ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“(Ingatlah), ketika istri Imran berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepada-Mu, apa (janin) yang dalam kandunganku (kelak) menjadi hamba yang mengabdi (kepada-Mu), maka terimalah (nazar itu) dariku. Sungguh, Engkaulah Yang Mahamendengar, Mahamengetahui.” 

فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا

“Maka makan, minum, dan bersenang hatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Mahapengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.” (QS Maryam 26)   

Namun ada beberapa ketentuan yang harus dilakukan seseorang ketika bernazar, di antaranya adalah larangan-larangan dalam bernazar yaitu sebagai berikut.:  

Pertama, dilarang bernazar untuk menolak takdir.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا يَنْهَانَا عَنْ النَّذْرِ وَيَقُولُ إِنَّهُ لَا يَرُدُّ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنْ الشَّحِيحِ

Abdullah bin Umar RA, dia berkata, “Suatu hari Rasulullah SAW melarang kami bernadzar, beliau bersabda: “Sesungguhnya (nazar) tidak dapat menolak sesuatu, hanya saja ia untuk mengeluarkan sesuatu dari orang yang pelit (tidak mau beramal).” (HR Muslim)

Kedua, dilarang bernazar untuk mengubah takdir. Karena nazar tidak akan mempercepat terkabulnya keinginan atau memperlambat datangnya sesuatu. 

عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ النَّذْرُ لَا يُقَدِّمُ شَيْئًا وَلَا يُؤَخِّرُهُ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنْ الْبَخِيلِ

Dari Ibnu Umar RA, dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda, “Nazar itu tidak dapat mempercepat datangnya sesuatu dan tidak pula melambatkannya, akan tetapi ia untuk mengeluarkan sesuatu dari orang bakhil.” (HR Muslim).

Ketiga, dilarang bernazar untuk maksiat kepada Allah SWT.

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ كَانَتْ ثَقِيفُ حُلَفَاءَ لِبَنِى عُقَيْلٍ فَأَسَرَتْ ثَقِيفُ رَجُلَيْنِ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَسَرَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ بَنِي عُقَيْلٍ وَأَصَابُوا مَعَهُ الْعَضْبَاءَ فَأَتَى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْوَثَاقِ قَالَ يَا مُحَمَّدُ فَأَتَاهُ فَقَالَ مَا شَأْنُكَ فَقَالَ بِمَ أَخَذْتَنِي وَبِمَ أَخَذْتَ سَابِقَةَ الْحَاجِّ فَقَالَ إِعْظَامًا لِذَلِكَ أَخَذْتُكَ بِجَرِيرَةِ حُلَفَائِكَ ثَقِيفَ ثُمَّ انْصَرَفَ عَنْهُ فَنَادَاهُ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ يَا مُحَمَّدُ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحِيمًا رَقِيقًا فَرَجَعَ إِلَيْهِ فَقَالَ مَا شَأْنُكَ قَالَ إِنِّي مُسْلِمٌ قَالَ لَوْ قُلْتَهَا وَأَنْتَ تَمْلِكُ أَمْرَكَ أَفْلَحْتَ كُلَّ الْفَلَاحِ ثُمَّ انْصَرَفَ فَنَادَاهُ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ يَا مُحَمَّدُ فَأَتَاهُ فَقَالَ مَا شَأْنُكَ قَالَ إِنِّي جَائِعٌ فَأَطْعِمْنِي وَظَمْآنُ فَأَسْقِنِي قَالَ هَذِهِ حَاجَتُكَ فَفُدِيَ بِالرَّجُلَيْنِ قَالَ وَأُسِرَتْ امْرَأَةٌ مِنْ الْأَنْصَارِ وَأُصِيبَتْ الْعَضْبَاءُ فَكَانَتْ الْمَرْأَةُ فِي الْوَثَاقِ وَكَانَ الْقَوْمُ يُرِيحُونَ نَعَمَهُمْ بَيْنَ يَدَيْ بُيُوتِهِمْ فَانْفَلَتَتْ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنْ الْوَثَاقِ فَأَتَتْ الْإِبِلَ فَجَعَلَتْ إِذَا دَنَتْ مِنْ الْبَعِيرِ رَغَا فَتَتْرُكُهُ حَتَّى تَنْتَهِيَ إِلَى الْعَضْبَاءِ فَلَمْ تَرْغُ قَالَ وَنَاقَةٌ مُنَوَّقَةٌ فَقَعَدَتْ فِي عَجُزِهَا ثُمَّ زَجَرَتْهَا فَانْطَلَقَتْ وَنَذِرُوا بِهَا فَطَلَبُوهَا فَأَعْجَزَتْهُمْ قَالَ وَنَذَرَتْ لِلَّهِ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا فَلَمَّا قَدِمَتْ الْمَدِينَةَ رَآهَا النَّاسُ فَقَالُوا الْعَضْبَاءُ نَاقَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّهَا نَذَرَتْ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا فَأَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ بِئْسَمَا جَزَتْهَا نَذَرَتْ لِلَّهِ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا لَا وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةٍ وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ الْعَبْدُ وَفِي رِوَايَةِ ابْنِ حُجْرٍ لَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ

Dari ‘Imran bin Hushain dia berkata, bahwa Tsaqif adalah pelayan Bani ‘Uqail, lalu bani Tsaqif menawan dua sahabat Nabi SAW, sementara sahabat Rasulullah menawan seseorang dari Bani ‘Uqail bersama dengan seekor untanya. 

Rasulullah SAW kemudian mendatanginya sementara ia dalam keadaan terikat, laki-laki tawanan itu berkata, “Wahai Muhammad!” Beliau menimpalinya, “Ada apa denganmu?” laki-laki itu berkata, “Apa alasanmu menawanku, dan apa alasanmu menawan unta pacuanku yang larinya cepat?” beliau menjawab: “Itu aku lakukan sebagai pembalasan karena dosa sekutumu, Tsaqif!” Kemudian beliau beranjak pergi. 

Laki-laki itu kembali menyeru beliau seraya mengatakan, “Wahai Muhammad, wahai Muhammad! 

Rasulullah adalah sosok yang pengasih lagi santun lalu beliau kembali menemuinya dan bersabda, “Apa keperluanmu?” laki-laki itu menjawab, “Sekarang saya Muslim.” 

Beliau bersabda, “Sekiranya yang kamu katakan benar, sedangkan kamu dapat mengendalikan urusanmu, sungguh kamu akan mendapatkan segala keberuntungan.”  

Kemudian beliau beranjak pergi, namun laki-laki itu menyerunya sambil berkata, “Wahai Muhammad, wahai Muhammad.” Beliau lalu menemuinya sambil bersabda, “Apa keperluanmu?” Laki-laki itu berkata, “Aku lapar maka berilah makan kepadaku, dan aku juga haus maka berilah aku minum!” Beliau bersabda, “Ini kebutuhanmu.” 

Dikemudian hari, laki-laki itu ditebus dengan dua orang (sahabat Nabi).” Imran berkata, “Lalu seorang wanita Anshar tertawan (musuh) bersama dengan unta beliau yang biasa disebut dengan Adlba`, wanita Anshar tersebut dalam keadaan terikat, sedangkan waktu itu orang-orang (para perampok) tengah beristirahat, sementara unta-unta (hasil curian) mereka kandangkan di depan persinggahan-persinggahan mereka.

Kemudian wanita Anshar tersebut dapat melepaskan dari ikatannya, dan segera mendatangi kandang unta, namun setiap kali ia datangi unta untuk dikendarai, unta itu mendengus-dengus, ia pun meninggalkannya hingga dia temui ‘adlba’.  

Jadilah dia mengendarai unta penurut yang sudah terlatih itu di bagian belakangnya. Lalu dia menghardiknya hingga berlari kencang. Orang-orang yang ketiduran pun kaget dengan kaburnya wanita Anshar tersebut, lalu mereka mengejarnya, namun mereka tidak dapat menagkapnya.  

Wanita itu sempat bernazar, bahwa jika Allah menyelamatkannya, maka ia akan sembelih unta ‘adlba’ itu. Sesampainya di Madinah, orang-orang melihat unta tersebut, lalu mereka berkata, “Ini adalah adlba’, unta Rasulullah!” 

Wanita itu berkata (dengan redaksi), “Apabila Allah menyelamatkannya, sungguh unta tersebut akan disembelihnya.” Lalu orang-orang menemui Rasulullah SAW dan memberitahukan kepada beliau tentang nazarnya.

Maka Rasulullah berkomentar, “Subhanallah, alangkah jahatnya pembalasan dia kepadanya, ia bernazar kepada Allah apabila Allah menyelamatkannya, maka dia akan menyembelihnya, tidak ada kewajiban melaksanakan nazar dalam kemaksiatan kepada Allah dan tidak pula terhadap sesuatu yang tidak dimiliki seorang hamba.” Dalam riwayat Ibnu Hujr, disebutkan, “Tidak ada nazar dalam bermaksiat kepada Allah.”  

KHAZANAH REPUBLIKA