Ucapan Selamat Natal Menurut Madzhab Syafi’i

Asy-Syarbini (wafat 977 H) –rahimahullah-, salah seorang ulama besar Madzhab Syafi’i mengatakan:

“Dan diberi hukuman ta’zir*, seorang yang mengikuti orang-orang kafir dalam merayakan hari raya mereka. Begitu pula orang yang memberikan ucapan selamat kepada seorang kafir dzimmi di hari rayanya” (Mughnil Muhtaj, Asy-Syarbini, 5/526).

Hal senada juga disebutkan dalam banyak kitab syafi’iyyah lainnya, diantaranya: Al-Iqna’ fi halli Alfazhi Abi Syuja’ (2/526), Asnal Matholib (4/162), Tuhfatul Muhtaj (9/181), Hasyiata Qolyubi wa Amiroh (4/206), Annajmul Wahhaj (9/244).

Bahkan lebih tegas lagi Ibnu Hajar Al-Haitami (wafat 982 H) –rahimahullah– mengatakan: “Kemudian aku lihat ada sebagian para imam kami yang muta’akhirin telah menyebutkan keterangan yang sesuai dengan apa yang telah kusebutkan, dia mengatakan:

‘Diantara bid’ah yang paling buruk adalah tindakan kaum muslimin mengikuti kaum Nasrani di hari raya – hari raya mereka, dengan menyerupai mereka dalam makanan mereka, memberi hadiah kepada mereka, dan menerima hadiah dari mereka di hari raya itu. Dan orang yang paling banyak memberi perhatian pada hal ini adalah orang-orang Mesir, padahal Nabi –shallallahu alaihi wasallam– telah bersabda: Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka‘.

Bahkan Ibnul Hajj mengatakan: ‘Tidak halal bagi seorang muslim menjual kepada seorang nasrani apapun yang termasuk kebutuhan hari rayanya, baik daging, atau lauk, ataupun baju. Dan mereka tidak boleh dipinjami apapun (untuk kebutuhan itu), walaupun hanya hewan tunggangan, karena itu adalah tindakan membantu mereka dalam kekufurannya, dan wajib bagi para penguasa untuk melarang kaum muslimin dari tindakan tersebut’” (Fatawa Fiqhiyyah Kubra, Ibnu Hajar Al-Haitami, 4/239).

Mungkin sebagian dari mereka beranggapan bahwa dengan mengucapkan selamat untuk hari raya mereka akan menjadikan mereka tertarik untuk masuk Islam. Tapi tidakkah mereka mengingat Firman Allah ta’ala (yang artinya):

Kaum Yahudi dan Kaum Nasrani TIDAK AKAN rela kepadamu, hingga kamu mengikuti agama mereka“. (QS. Al Baqoroh: 120).

Begitu pula firmanNya (yang artinya):

Orang-orang kafir akan TERUS memerangi kalian hingga mereka menjadikan kalian keluar dari agama kalian” (QS. Al Baqoroh: 217).

Jika mereka ingin umat lain masuk Islam, maka hendaklah mereka mendakwahi mereka dengan sesuatu yang dibenarkan oleh syariat, misalnya dengan akhlak mulia dan dakwah yang penuh hikmah. Ingatlah tujuan yang mulia haruslah ditempuh dengan jalan yang mulia pula. Wallohu a’lam.

*) ta’zir adalah hukuman yang diberikan waliyul amr dalam rangka untuk memberi efek jera, terhadap perbuatan yang melanggar syariat namun tidak ditentukan hukuman dan kafarah-nya dari syariat, karena melihat adanya maslahah, dan jenis hukumannya ditentukan berdasarkan ijtihad hakim.

Penulis: Ust. Musyafa Ad Darini, Lc., MA.

Artikel Muslim.Or.Id

Islam dan Kebebasan Berpikir

Islam adalah agama yang argumentatif. Setiap ingin menyampaikan sesuatu atau mengajak manusia untuk melakukan sesuatu, Islam selalu datang dengan dalil-dalil yang kuat dan argumentasi yang kongkrit.

Islam bukanlah agama doktrin yang membelenggu akal. Islam bukanlah agama kaku yang melarang pengikutnya untuk belajar sesuatu yang lain.

Islam membuka pintu lebar-lebar kepada siapapun yang ingin belajar, mencari dan mendengar pendapat yang lain. Karena Islam tidak pernah takut pengikutnya akan terpengaruh dengan ajaran ataupun pemikiran yang lainnya.

Mungkin kita pernah mendengar ajaran ataupun pemikiran yang melarang pengikutnya untuk mencari tau tentang ajaran lainnya, bahkan membaca buku dari pemikiran lain saja dilarang.

Hal ini muncul karena para elit dalam ajaran itu takut pengikutnya akan meninggalkan kepercayaan ini dan berpindah kepada keyakinan baru yang lebih masuk akal. Mereka sadar bahwa apa yang selama ini diyakini tidak memiliki argumentasi yang kuat sehingga mudah digoyang dengan pemikiran yang lain.

Namun Islam tidak lah demikian. Agama ini begitu percaya diri karena semua dalilnya sangat kuat dan berasal dari Tuhan Pencipta Alam.

Bahkan Al-Qur’an menyebut orang yang berakal adalah orang yang mau mendengar semua informasi, membaca segala macam buku, lalu ia memikirkan dan memilih yang terbaik untuk diikuti.

Bukankah Allah swt berfirman,

وَٱلَّذِينَ ٱجۡتَنَبُواْ ٱلطَّٰغُوتَ أَن يَعۡبُدُوهَا وَأَنَابُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ لَهُمُ ٱلۡبُشۡرَىٰۚ فَبَشِّرۡ عِبَادِ – ٱلَّذِينَ يَسۡتَمِعُونَ ٱلۡقَوۡلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحۡسَنَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ هَدَىٰهُمُ ٱللَّهُۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمۡ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ

“Dan orang-orang yang menjauhi Tagut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, mereka pantas mendapat berita gembira; sebab itu sampaikanlah kabar gembira itu kepada hamba-hamba-Ku, yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS.Az-Zumar:17-18)

Islam sangat yakin dan percaya diri bahwa orang yang berakal akan memilih yang terbaik dan tidak akan terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran lainnya. Mereka tidak takut membaca hal yang lain, tapi mereka juga tidak akan menerimanya begitu saja.

Islam mengajak setiap pengikutnya untuk membaca segala hal, tapi jangan lupa untuk memilih dan merenungkan mana yang terbaik.

Lebih dari itu, Islam juga mengecam orang-orang yang menutup telinga dari hal-hal yang baru karena mereka fanatik terhadap kepercayaan lama yang selama ini mereka pegang.

Sebagaimana Allah menceritakan umat Nabi Nuh as,

وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوۡتُهُمۡ لِتَغۡفِرَ لَهُمۡ جَعَلُوٓاْ أَصَٰبِعَهُمۡ فِيٓ ءَاذَانِهِمۡ وَٱسۡتَغۡشَوۡاْ ثِيَابَهُمۡ وَأَصَرُّواْ وَٱسۡتَكۡبَرُواْ ٱسۡتِكۡبَارٗا

“Dan sesungguhnya aku setiap kali menyeru mereka (untuk beriman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jarinya ke telinganya dan menutupkan bajunya (ke wajahnya) dan mereka tetap (mengingkari) dan sangat menyombongkan diri.” (QS.Nuh:7)

Jangan asal menerima tapi jangan menutup telinga dan fanatik terhadap pengetahuan yang selama ini engkau punya. Dunia ini luas, ilmu pengetahuan pun sangat luas !

Terbukalah dengan berbagai hal dan renungkan apa yang kau dengar. Karena Al-Qur’an sangat memuji dan menghargai orang yang mau mendengar berbagai pendapat lalu memilih yang terbaik. Mereka lah yang disebut orang-orang yang berakal dan merekalah orang-orang yang mendapat hidayah serta petunjuk dari Allah swt.

Semoga bermanfaat..

Ketika Orang-Orang Baik Diam!

Ada sebuah ungkapan Inggris mengatakan “enough for evil to thrive when the good people do nothing”. Arti dari ungkapan ini kira-kira: “cukuplah kejahatan itu akan merajalela ketika orang-orang baik tidak melakukan apa-apa”. 

Dalam Islam seruan kepada kebaikan dan larangan dari kejahatan atau keburukan menjadi salah satu fondasinya. Bahkan ada yang mengatakan seandainya ada rukun Islam yang keenam maka “amar ma’ruf dan nahi mungkar” adalah rukunnya yang keenam. 

Alqur’an pun mengaitkan antara kejayaan kolektif umat, bahkan menjadi karakteristik utama Umat ini sebagai Umat terbaik,  dengan tugas amar ma’ruf dan nahi mungkar ini. Alquran menyebutkan: “dan hendaklah ada di antara kalian yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemungkinan. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS Ali-Imran: 104). 

Lalu pada ayat 110 Allah menyampaikan: “dan kamu adalah Khaer Ummah (Umat terbaik) yang telah dihadirkan untuk manusia. Kamu menyeru kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran dan beriman kepada Allah”. 

Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa suatu ketika Allah memerintahkan malaikat untuk menghacurkan sebuah kota atau kampung (qaryah). Setiba di kampung itu sang malaikat ternyata menemukan ada seorang yang saleh, yang kerjanya hanya beribadah dan berdzikir. Malaikat pun menjadi ragu melakukan perintah Allah itu. Maka dia kembali menyampaikan kepada Allah bahwa ada seorang yang ahli ibadah dan dzikir di kampung itu. Kalau kampung itu dihancurkan maka dia akan ikut jadi korban. Mengejutkan, Allah ternyata berkata kepada sang malaikat itu: “hancurkanlah dulu orang itu. Karena dia sadar akan agama dan Tuhan, tapi tidak peduli dengan berbagai kejahatan dan dosa di kampung itu”. 

Di tengah dunia yang penuh gongangan dan fitnah saat ini, kewajiban mendasar Islam ini perlu diambil secara serius. Diam di hadapan kemungkaran sejatinya adalah kemungkaran itu sendiri. Diam di hadapan pelaku kemungkaran adalah melakukan kemungkaran tersendiri. 

Berbagai kezholiman dan ketidak adilan yang tidak saja tanpa lagi malu-malu dipertontonkan. Kezholiman dan ketidak adilan serta kesemena-menaan sebagian orang saat ini bahkan direkayasa diputar balik seolah kebaikan. Menzholimi orang lain tidak jarang dijuluki dengan menjaga keamanan, kedamaian dan stabilitas.

Di sinilah kewajiban amar ma’ruf nahi mungkin menjadi semakin menemukan tantangannya. Dan orang-orang beriman yang merasa mewakili kebenaran dan kebaikan secara langsung tertantang untuk bangkit dan menyuarakan resistensi itu. 

Tentu kita sadar dan harus saling mengingatkan bahwa dalam prosesnya amar ma’ruf dan nahi mungkar harus tetap menjaga norma-norma “al-ma’ruf” sehingga prosesnya justeru tidak menjadi “al-mungkar” dengan sendirinya. 

Artinya, amar ma’ruf dan nahi mungkar itu harus dilakukan dalam bingkai akhlakul karimah. Yaitu bersifat positif dan konstruktif. Tidak negatif dan destruktif. Dan pastinya dengan petimbangan asas “dar’u al-mafasid wa jalbu al-mafasid”. Yaitu pertimbangan yang selalu mengedepankan manfaat dan menghindari mudhorat yang lebih besar. 

Khusus dalam konteks keIndonesiaan pastinya proses amar ma’ruf dan nahi mungkar juga tidak boleh keluar dari batas-batas aturan/hukum nasional yang disepakati. Maknanya bahwa perjuangan menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar tetap harus memperhatikan aspek konstitusionalnya. 

Intinya adalah semua orang yang ada setitik cahaya Iman di dadanya wajib menyampaikan resistensi (penentangan) kepada kezholiman dan kesemena-semenaan sebagian manusia. Siapapun yang pelakunya, termasuk mereka yang sedang diamanahi oleh Allah dengan otoritas atau kekuasaan. 

Hadits populer yang kita kenal menyatakan: “siapa yang melihat kemungkaran di antara kalian maka hendaklah dirubah dengan tangannya. Jika tidak mampu maka dengan lisannya. Dan Jika masih tidak mampu maka dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemah iman”. 

Diam di hadapan kemungkaran, kezholiman dan kesemena-menaan itu pertanda jika iman anda sedang mengalami krisis berat. Anda perlu segera ke bengkel hati sebelum hati anda mengalami kematiannya.  Bahkan lebih jahat lagi orang yang diam di hadapan kemungkaran, kejahatan, kezholiman dan kesemena-menaan itu bagaikan syetan yang bisu (syaithoon akhrash). 

Tapi yang lebih berbahaya lagi adalah ketika diamnya anda ternyata memang bukti jika anda telah menjadi bagian kokaborasi yang terbangun antara anda dan kejahatan itu. Maklumlah Iblis dan konco-konconya itu cerdas dalam membangun networking dan kolaborasi. 

Alquran menggambarkannya dengan: “ba’dhuhum aulaiyaa ba’dha” (mereka para syetan dan penjahat itu saling berkolaborasi dan saling melindungi di antara mereka). Wa’iyadzy billah! 

Batam, 14 Desember 2020

Oleh Imam Shamsi Ali (Presiden Nusantara Foundation)

KHAZANAH REPUBLIKA

Cara Mengenal Allah Sehingga Hati Menjadi Tenang

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang cara mengenal Allah sehingga hati menjadi tenang.
selamat membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah ‘Azza wa Jalla selalu menjaga ustadz dan keluarga. Saya mau bertanya ustadz.Saya mau tanya. Bagaimana cara mengenal Allah, mengetahui siapa Allah itu? kemudian meyakini Allah sampai akhirnya mencintai Allah?
Sebab perkara ini membuat saya selalu bertanya-tanya dan hidup dengan hati ragu.

(Disampaikan oleh Fulan, Santri Kuliah Islam Online Mahad BIAS)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.Mengenal Allah harus dengan cara Allah, karena Allah belum pernah ada yang berjumpa langsung dengan-Nya  di dunia ini, maka tiada cara untuk mengenalnya kecuali melalui apa yang Allah beritahukan sendiri tentang dirinya kepada para hamba-Nya.Semua melalui lisan para nabi dan para Rasul-Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala:

 يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَآأُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللهَ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanatNya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”
(QS. Al Maidah:67)

Allah juga berfirman :

رُّسُلاً مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللهِ حُجَّةُُ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS An Nisaa’:165)

Dari para Nabi dan Rasul kita mengenal Allah dan mengenal kewajiban kita sebagai seorang hamba. Untuk menunjukkan bahwa memang benar seorang hamba mengenal RabbNya. Sebagaimana firman Allah ta’ala,

 وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُون

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu.”
[Adz Dzaariyaat:56].

Juga firmanNya:

وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّنُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لآ إِلَهَ إِلآ أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya : “Bahwasanya tidak ada Ilah(yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.”
(QS Al Anbiyaa’:25).

Dari sini maka kita tidak akan mungkin bisa mengenal Allah kecuali dengan mempelajari segala sesuatu yang telah diterangkan oleh Rasul-Nya tentang Dzat-NYa, apa hak-hak-Nya yang harus dijaga dan kewajiban apa yang semestinya para hamba jalankan untuk mengabdi kepada-Nya.

Hanya dengan cara itu seorang hamba mengenal Allah, dengan ilmu bukan dengan mimpi dan bualan dusta yang banyak disebarkan. Belajar dari sumbernya, dari alquran dan as-sunnah (hadits) dengan pemahaman yang dijelaskan oleh para sahabat Rasulullah. Kita tidak butuh khayalan dan kedustaan, yang kita butuhkan adalah penjelasan valid dari pihak dan sumber yang benar. tanpa penambahan dan pengurangan.

Dari bukti kenabian berupa al-quran dan al-hadist yang sahih kita bisa mengenal Allah, yang kemudian di dukung dengan bukti nyata dari alam semesta dan makhluk di sekitar untuk meyakinkan bahwa kita tidak mungkin tercipta tanpa adanya Dzat yang Maha Pencipta dan Maha Hebat dari seluruh makhluk-Nya.

Utamanya bila seseorang belajar tentang ilmu tauhid, ilmu tentang Allah dan kewajiban mengesakan Allah. Ilmu yang sangat di tekankan oleh Nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam ketika mendakwahkan ajaran islam. Tidak tanggung tangung, selama tiga belas tahun lamanya Rasulullah berjuang mengenalkan hakikat Allah ta’ala kepada kaumnya di Mekkah, walau banyak rintangan sampai akhirnya terusir dari tempat kelahirannya.

فقد قال ابن رجب: أفضل العلم: العلم بالله وهو العلم بأسمائه وصفاته وأفعاله، التي توجب لصاحبها معرفة الله وخشيته ومحبته وهيبته وإجلاله وعظمته والتبتل إليه والتوكل عليه والصبر عليه، والرضا عنه والانشغال به دون خلقه. انتهى

Berkata Ibnu Rajab, ”Paling mulianya ilmu adalah ilmu tentang Allah yaitu ilmu terhadap nama, sifat dan kehendak-Nya, yang menuntut kepada para hamba untuk mengetahui Allah, takut, cinta, tunduk, mengagungkan, memuliakan dan beribadah kepada-Nya, serta bertawakal kepada-Nya, bersabar atas kuasanya dan menyibukkan diri hanya kepada-Nya, bukan kepada makhluk-Nya.”

Bisa di ikhtisarkan, bahwa cara mengenal Allah  adalah dengan cara belajar  ilmu syar’i, atau dengan membaca ayat ayatnya yang syar’iyyah (dari dalil al-quran dan as-sunnah), dengan penuh tadabbur (penghayatan) . Atau juga dengan cara memperhatikan dengan segala makluk-Nya yang  bisa di rasakan dengan panca indera kita, untuk meyakinkan bahwa Allah dzat yang Maha Besar.

Itulah sekilas, usaha untuk lebih mengenal Allah, sampai akhirnya kita benar benar Mencintai Allah dan Allahpun cinta kepada hamba karena pengabdianNya.

Semoga dengan usaha kita mengenal Allah, Allah akan memberikan kebahagian kepada kita semua.

Wallahu ta’ala a’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh :
Ustadz Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله
Selasa, 30 Rabiul Akhir 1442 H/ 15 Desember 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Menyikapi Vaksin Covid, Apakah Dianggap Mendahului Takdir?

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang menyikapi vaksin covid.
selamat membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah ‘Azza wa Jalla selalu menjaga ustadz dan keluarga. Saya mau bertanya ustadz.

Bagaimana menyikapi jika pemerintah mewajibkan masyarakat untuk melakukan vaksinasi untuk mengendalikan keamanan dari wabah covid ini. Dan seperti wabah-wabah sebelumnya dengan vaksin yang berbeda.
Kemudian, apakah kita dianggap mendahului takdir jika melakukan vaksinasi sebagai ikhtiar mencegah terkena suatu penyakit?
Mohon penjelasannya secara detail ustadz. Jazakillahu khair.(Disampaikan oleh Fulan, Santri Kuliah Islam Online Mahad BIAS)


وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.

Imunisasi hukumnya boleh dan tidak terlarang, karena imunisasi termasuk penjagaan diri dari penyakit sebelum terjadi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَصَبَّحَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعَ تَمَرَاتِ عَجْوَةٍ لَمْ يَضُرَّهُ فِيْ ذَ لِكَ الْيَوْمِ سُمٌّ وَلاَ سِحْرٌ

“Barang siapa yang memakan tujuh butir kurma ajwah, maka dia terhindar sehari itu dari racun dan sihir.”
[HR. al-Bukhari: 5768 dan Muslim:4702]

Dari dalil di atas, menunjukkan bahwa ikhtiar yang di lakukan seseorang untuk mengantisipasi suatu penyakit atau hal yang dikhawatirkan atau ditakutkan supaya tidak terjadi adalah amalan yang dibolehkan oleh syariat dan tidak mendahului takdir. Terlebih bila vaksin tersebut di wajibkan oleh pemerintah karena ada pertimbangan yang di khawatirkan. Maka seyogyanya seseorang hendaknya mentaati pemimpinnya, selama tidak memerintakan kepada kemaksiatan.

Lalu bagaimana bila ada dzat yang diyakini berbahaya yang akan mencederai tubuh seseorang atau dianggap dalam vaksin tersebut ada bahan yang dilarang dikonsumsi oleh seorang muslim?

Selama meyakini adanya kedua hal tersebut, dari sumber dan dipercaya maka seseorang hendaknya tidak melakukannya, kecuali bila ada kedaruratan untuk melakukan vaksin, maka diperbolehkan menggunakan hal yang di haramkan. Sebagaimana sabda nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam,

 إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ، فَتَدَاوَوْا، وَلاَ تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan benda haram”
[ash-Shahihah 4/174]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارِ

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain.”

Silahkan lebih detailnya dapat dipelajari lebih lanjut pada link link berikut :

Referensi:
https://almanhaj.or.id/2536-kontroversi-hukum-imunisasi-polio.html
https://bimbinganislam.com/hukum-vaksin-mr-measles-and-rubela/
https://bimbinganislam.com/jika-wabah-telah-sampai-di-daerahmu-tentang-corona/

Wallahu ta’ala a’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh :
Ustadz Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله
Rabu, 01 Jumadal Ula 1442 H/ 16 Desember 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Benarkah Shaf Terdepan Paling Utama?

TERPUJILAH Allah semesta alam yang menjadikan salat berjemaah di masjid memiliki keutamaan yang jauh lebih besar dibandingkan salat sendirian di rumah. Selain itu, bergegas memenuhi seruan muadzin demi mendapatkan shaf pertama pun menjadi hal penting sebagaimana yang kita ketahui selama ini. Namun, apakah benar bahwa shaf terdepan adalah yang paling utama?

Marilah kita simak untaian kalimat dari baginda kita Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,

“Shaf salat laki-laki yang paling baik adalah yang paling depan, sedangkan shaf yang paling buruk adalah yang paling belakang. Sebaliknya, shaf salat perempuan yang paling baik adalah yang paling belakang, sedangkan shaf yang paling buruk adalah yang paling depan.” (HR Muslim)

Hadis ini menjelaskan bahwa tak selamanya shaf terdepan adalah yang paling utama apabila itu bagi perempuan. Hal ini disebabkan, shaf terdepan bagi perempuan lebih dekat kepada shaf laki-laki sehingga memungkinkan terjadinya fitnah dibandingkan shaf salat paling belakang yang dapat memperkecil kemungkinan terjadinya fitnah.

Selanjutnya, bagaimana cara mengantisipasi kondisi apabila shaf laki-laki berdekatan dengan shaf perempuan?

Adapun adab-adab yang dapat kita jaga di antaranya sebagai berikut:

1. Perempuan tidak mengangkat kepala dari ruku’ atau sujud sebelum laki-laki mengangkat kepala
2. Perempuan sebaiknya keluar dari masjid terlebih dahulu, bila tidak ada pintu khusus bagi masing-masing
3. Tidak memakai wewangian, perhiasan dan pakaian tertentu dengan tujuan memamerkan diri

Jadi, masihkah shaf terdepan menjadi yang paling utama bagi perempuan Shalihat? Mari berbenah bersama ya…

INILAH MOZAIK

Ini Niat Ketika Hendak Sujud Sahwi

Menurut ulama Syafi’iyyah, ketika seseorang hendak melakukan sujud sahwi, maka terlebih dahulu dia wajib melakukan niat ketika hendak sujud sahwi di dalam hatinya. Jika tidak melakukan niat di dalam hatinya dengan sengaja dan dia mengetahui mengenai hukum keharusan melakukan niat, maka shalatnya batal kecuali berstatus sebagai makmum. Jika berstatus sebagai makmum, maka baginya tidak wajib niat melakukan sujud sahwi karena sudah diwakili oleh niat imamnya.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah berikut;

الشافعية قالوا: سجود السهو هو أن يأتي المصلي بسجدتين كسجود الصلاة قبل السلام، وبعد التشهد والصلاة على النبي وآله بنية، وتكون النية بقلبه لا بلسانه، لأنه إن تلفظ بها بطلت صلاته..وإذا سجد بدون نية عامداً عالماً بطلت صلاته، وإنما تشترط النية للإمام والمنفرد، أما المأموم فإنه لا يحتاج للنية اكتفاء بنية الاقتداء بإمامه

Ulama Syafiiyah berkataSujud sahwi adalah dua sujud seperti sujud shalat yang dilakukan oleh orang yang shalat sebelum salam, setelah tasyahud serta shalawat atas Nabi Saw dan keluarganya dengan disertai niat. Niat tersebut wajib dilakukan di dalam hatinya, bukan dengan lisannya karena jika ia melafadzkan niat, maka shalatnya batal..Jika ia sujud sahwi tanpa niat dengan sengaja dan tahu, maka shalatnya batal. Syarat niat ini bagi imam dan orang yang shalat sendirian. Adapun makmum tidak perlu niat karena cukup hanya niat mengikuti imamnya.

Adapun niat ketika hendak sujud sahwi adalah sebagai berikut;

نَوَيْتُ سُجُوْدَ السَّهْوِ لله تَعَالَى

Nawaitu sujuudas sahwi lillaahi ta’alaa.

Aku berniat sujud sahwi karena Allah Ta’ala.

BINCANG SYARIAH

Nak, Jagalah Allah

ALLAH  SWT memiliki kekuasaan mutlak atas dunia seisinya. Lalu, mengapa anak disuruh menjaga Allah Yang Maha Kuasa dan bagaimana pula caranya?

“Nak, belajar yang rajin, ya. Nanti besar jadi seperti itu loh, yang banyak uangnya, bisa membangun sekolah, dan kamu bisa jadi orang terhormat, Nak!”

Ungkapan di atas adalah ilustrasi perihal harapan dan antusiasme para orangtua dalam mendidik anak-anaknya. Mereka berharap, anak-anaknya dapat menjadi orang yang berada, memiliki segalanya, kemudian bisa beramal baik.

Tentu sangat wajar jika orangtua berharap kebaikan dan kemudahan hidup bagi putra-putrinya. Tetapi, sadarkah kita sebagai orangtua, bahwa anak kita tidak saja hidup di dunia, tetapi juga di akhirat.

Dan, berkenaan dengan itu, Allah SWT secara tegas mengingatkan seluruh orangtua untuk benar-benar memperhatikan keluarganya, agar jangan sampai jatuh ke dalam neraka.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (HR: At-Tahrîm [66]: 6).

Terhadap makna ayat tersebut Abdullah bin Abbâs Radhiyallahu anhu berkata, “Lakukanlah ketaatan kepada Allâh dan jagalah dirimu dari kemaksiatan-kemaksiatan kepada Allâh, dan perintahkan keluargamu dengan dzikir, niscaya Allâh Azza wa Jalla akan menyelamatkanmu dari neraka.”

Jadi, yang prinsip sebenarnya, tidak begitu soal anak kita kelak menjadi apa, berapa penghasilannya, dan bisa memiliki apa. Tetapi yang paling inti adalah, mampukah anak-anak kita menjadi pribadi yang berpegang teguh pada tali (ajaran) Allah, sehingga mereka menjadi generasi yang cemerlang bagi tegaknya ajaran Islam.

Mungkin anak kita tidak kaya, tidak menjadi pejabat, atau bahkan tidak menjadi pengusaha, tetapi selama kelak mereka menjadi suluh di dalam gulita, dimana kehadirannya menjadi penawar bagi kegersangan ruhani umat, maka sungguh itu lebih dari apapun dari kehidupan dunia ini.

Hal itulah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ terhadap Ibn Abbas. Beliau berdoa kepada Allah SWT agar anak pamannya itu menjadi seorang ahli ilmu.

“Ya Allah,pahamkan dia terhadap agama dan ajarilah ia ilmu tafsir”.

Berkat berkah doa Rasulullah ﷺ ini ia menjadi seorang yang pakar dalam tafsir al-Quran dan pakar dalam ilmu agama lainnya, hingga beliau digelari “Habrul Ummah” (Ahli Ilmu Umat ini).

Dengan demikian, bukan perkara mudah, mengantarkan anak sampai pada tahap yang demikian. Butuh keuletan dan doa dari orangtua dalam membina anak-anak agar memiliki ilmu dan adab.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, berpesan, “Berikanlah kepada keluargamu itu ilmu, ajarkan kepada keluargamu itu adab.” Lantas, ilmu seperti apa yang dimaksudkan dalam nasihat suami Fatimah Az-Zahrah itu?

Tentu saja ilmu yang diajarkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah ﷺ, yakni ilmu yang mengantarkan anak mengenal Allah SWT, mengenal Rasulullah ﷺ, mengenal ajaran Islam, dan ilmu yang mengantarkan hati mereka memiliki ketaqwaan kepada-Nya.

Terkait ini, ada suatu kisah menarik yang dialami oleh Ibn Abbas radhiyallahu anhu.  Abdullah bin ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma– menceritakan, “Suatu hari saya berada di belakang Nabi ﷺ.

Beliau bersabda, “Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu.

Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. Tirmidzi).

Menjaga Allah SWT tentulah sebuah kata yang sangat singkat, namun dalam dan luas makna serta implementasinya. Menjaga Allah SWT berarti kita mendorong anak-anak kita mengenal perintah dan larangan-Nya, kemudian mengamalkannya.

Menanamkan hal ini tidaklah mudah. Sebab jangankan anak-anak, para orangtua pun tidak sedikit yang goyang keimanannya karena satu dan lain hal. Tetapi, bagaimana pun beratnya, tetaplah berupaya dan terus tanamkan kepada putra putri kita.

Sampaikan bahwa kelak akan ada kebahagiaan yang menyapa kehidupannya. “(Kepada mereka dikatakan), “Inilah nikmat yang dijanjikan kepadamu, kepada setiap hamba yang senantiasa bertobat (kepada Allah) dan menjaga (segala peraturan-peraturan-Nya).” ( Qaf [50]: 32).

Sisi yang paling penting ditanamkan kepada anak-anak agar mereka selamat dari neraka adalah mengenalkan kepada mereka perihal perkara yang sangat Allah SWT benci, yakni kemusyrikan, yang di dalam al-Qur’an disebut dengan adz-dzulmun adhim (kedhaliman yang besar).

‘Hak Allah atas hamba-Nya adalah beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya.” (HR. Bukhari).

Dan, secara operasional hal ini dapat dirujuk pada apa yang ditegaskan oleh Nabi, bahwa apabila siapapun mampu menjaganya dengan baik, niscaya surga akan menjadi tempatnya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Jika kalian bisa menjamin enam hal, maka aku akan jamin kalian masuk surga: [1] Jujurlah dalam berucap; [2] tepatilah janjimu; [3] tunaikanlah amanatmu; [4] jaga kemaluanmu; [5] tundukkan pandanganmu; [6] dan jaga perbuatanmu.” (HR. Al Hakim).

Pada akhirnya, kita akan menyadari sebagai orang tua, bahwa yang terpenting di dalam kehidupan ini adalah penjagaan Allah SWT atas kehidupan dan keimanan putra-putri kita. Dan, untuk sampai pada tahap Allah SWTmenjaga anak-anak kita, kita selaku orangtua harus berjuang mengantarkan mereka pada surga.

Hal itulah yang diteladankan oleh Nabi Ya’kub AS kepada putranya Nabi Yusuf AS. Dimana sekalipun hidup penuh dengan derita, ia tetap menjaga Allah SWT, sampai Allah SWT pun menjaganya dari rusaknya iman dan kehinaan.

كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

“Demikianlah kami palingkan Yusuf dari keburukan dan kekejian. Sungguh dia terasuk dari hamba kami yang terpilih.” (QS: Yusuf [12]: 24). Allahu a’lam.*/Imam Nawawi, Ketua Syabab Hidayatullah

HIDAYATULLAH

Benarkah Agama adalah Sebab dari Perselisihan dan Pertumpahan Darah?

Sebelum kita menjawab pertanyaan dalam judul diatas, perlu kita buka bahasan kali ini dengan firman Allah SWT,

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (QS.Ali Imran:19)

Jika kita perhatikan, ayat ini ingin menjelaskan bahwa perselisihan yang terjadi dalam lingkup agama bukan selalu disebabkan oleh kebodohan. Tapi penyebab utamanya adalah fanatisme, kedzaliman, ketamakan dan penyimpangan dari jalan kebenaran.

Andai setiap manusia (khususnya para ulama’ mereka) membuang sikap fanatik, iri, dengki, tamak, merebut hak orang lain dan kemudian fokus untuk memperdalam hukum Allah dengan hati yang terbuka dan netral maka segala perselisihan itu akan hilang dalam waktu yang singkat.

Ayat ini juga ingin menjawab berbagai tuduhan bahwa agama adalah penyebab dari perselisihan dan pertumpahan darah sepanjang sejarah manusia.

Mereka menyamakan antara “agama” dengan “fanatisme keagamaan”. Jika kita mau mempelajari semua agama samawi, maka akan kita temukan satu tujuan yang sama. Dan semua agama itu hadir untuk memberikan jalan kebahagiaan bagi manusia. Walaupun agama itu datang bertahap sesuai dengan zamannya.

Agama samawi itu seperti air hujan yang turun dari langit untuk memberi kehidupan. Air itu murni, namun bila jatuh ke tanah yang mengandung garam, maka air itu akan menjadi asin.

Begitulah agama yang turun dari Allah, semuanya hadir untuk mengantarkan manusia pada kebahagiaan. Namun ketika diterima oleh “orang yang bermasalah” maka agama itu bisa digunakan untuk berbagai kepentingan dan kejahatan. Perselisihan terjadi bukan karena agama yang diturunkan oleh Allah, tapi karena “para pengikutnya” yang bermasalah.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Allah SWT mengharuskan hamba-Nya berbaik sangka kepada orang lain

porsi haji

Sukarjakepada saya
1 jam yang laluDetailAllah SWT mengharuskan hamba-Nya berbaik sangka kepada orang lain

Di dalam banyak ayat Alquran dan hadits, berprasangka baik memang amat dianjurkan. Agama menjelaskannya dengan kata husnuzzhan, atau berbaik sangka. 

Menurut Syekh Mahmud Al-Mishri dalam Ensiklopedia Akhlak Rasulullah,  husnuzzhan, bahkan bisa dihukumi sebagai kewajiban ketika menyangkut hubungan manusia dengan Allah SWT. Nabi SAW bersabda: 

لا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إلَّا وَهو يُحْسِنُ الظَّنَّ باللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ “Jangan sampai kalian mati kecuali dalam keadaan husnuzzhan, kepada Allah SWT.” (HR Muslim).

Husnuzan juga dianjurkan dalam hubungan antarsesama manusia. Rasulullah SAW selalu mencontohkan kepada para sahabatnya untuk berbaik sangka terhadap setiap orang. 

عن أبي هُرَيْرةَ ، قالَ : بَعثَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ عُمرَ بنَ الخطَّابِ على الصَّدقةِ فمَنعَ ابنُ جميلٍ ، وخالدُ بنُ الوليدِ ، والعبَّاسُ ، فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ : ما يَنقِمُ ابنُ جميلٍ إلَّا أن كانَ فقيرًا ، فأغناهُ اللَّهُ ، وأمَّا خالدُ بنُ الوليدِ ، فإنَّكم تظلِمونَ خالدًا ، فقدِ احتَبسَ أدراعَهُ ، وأعتُدَهُ في سبيلِ اللَّهِ ، وأمَّا العبَّاسُ عمُّ رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ فَهيَ عليَّ وَمِثْلُها ،

Abu Hurairah RA meriwayatkan suatu ketika Rasulullah SAW mengutus Umar RA untuk menarik zakat. Namun, Ibnu Jamil, Khalid bin Walid, dan Abbas paman Rasulullah SAW tidak menyerahkan (zakat) sehingga beliau bersabda.

“Tidak ada sesuatu yang membuat Ibnu Jamil enggan untuk menyerahkan zakat kecuali karena dirinya fakir, kemudian Allah menjadikannya kaya. Adapun Khalid, sesungguhnya kalian berbuat zalim kepadanya (karena) ia menginfakkan baju besi dan peralatan perangnya di jalan Allah. Adapun Abbas, aku telah mengambil zakatnya dua tahun yang lalu.”

Sebaliknya, dengan suuzhan, yakni berprasangka buruk. Allah SWT mengingatkan kita agar menjauhi berprasangka jelek:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka. Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain…” (QS al-Hujurat: 12).

KHAZANAH REPUBLIKA