Mengapa Hari Wafat Nabi Muhammad Tidak Diperingati?

Tradisi maulid Nabi Muhammad saw. di Indonesia tahun ini terbilang masih semarak, meskipun pelaksanaannya harus mematuhi protokol kesehatan karena kita masih dalam bayang-bayang ancaman virus covid-19.  Melaksanakan tradisi maulid bagi Muslim merupakan ungkapan ekspresi kebahagiaan mereka dalam menyambut lahirnya nabi yang membawa rahmat bagi semesta alam. Namun masih ada beragam pertanyaan sekitar perayaan ini. Di antaranya, mengapa hari wafat Nabi Muhammad tidak diperingati juga?

Untuk menjawab pertanyaan ini, Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam kitab beliau, “Haul al-Ihtifal bi Dzikra al-Maulid an-Nabawi asy-Syarif” halaman 40, mengutip pernyataan Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitabnya “al-Hawi lil Fatawi (1/193) yang membantah pernyataan bahwa merayakan maulid nabi berarti merayakan kematian beliau, yang menurut beberapa riwayat sama-sama bertepatan tanggal 12 Rabiulawwal:

إِنَّ وِلَادَتَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْظَمُ النِّعَمِ عَلَيْنَا وَوَفَاتَهُ أَعْظَمُ المـَصَائِبِ لَنَا وَالشَّرِيْعَةُ حَثَّتْ عَلَى إِظْهَارِ شُكْرِ النِّعَمِ وَالصَّبْرِ وَالسُّكُوْنِ وَالْكَتْمِ عِنْدَ المـَصَائِبِ، وَقَدْ أَمَرَ الشَّرْعُ بِالعَقِيْقَةِ عِنْدَ الوِلَادَةِ وَهِيَ إِظْهَارُ شُكْرٍ وَفَرَحٍ بِالمـَوْلُوْدِ، وَلَمْ يَأْمُرْ عِنْدَ الـمَـوْتِ بِذِبْحٍ وَلَا بِغَيْرِهِ بَلْ نَهَى عَنِ النِّيَاحَةِ وَإِظْهَارِ الـجَزْعِ فَدَلَّتْ قَوَاعِدُ الشَّرِيْعَةِ عَلَى أَنّهُ يُحَسَّنُ فِيْ هَذَا الشَّهْرِ إِظْهَارُ الفَرَحِ بِوِلَادَتِهِ صلى الله عليه وسلم دُوْنَ إِظْهَارِ الحُزْنِ فِيْهِ بِوَفَاتِهِ.

“Kelahiran Nabi Muhammad merupakan nikmat terbesar bagi kita. Sebaliknya, wafatnya beliau adalah musibah terbesar bagi kita. Syariat telah mendorong kita untuk mengekspresikan rasa syukur akan nikmat, pun mendorong kita untuk sabar dan menahan diri saat terjadi musibah.

Oleh karena itu, Syariat memerintahkan pelaksanaan akikah ketika lahirnya seorang bayi dalam rangka mengekspresikan rasa syukur dan bahagia dengan adanya bayi tersebut. Namun syariat tidak memerintahkan kurban atau hal lain saat kematian, bahkan melarang meratap dan menampakkan keluhan.

Oleh karena itu, kaidah syariat memberi dalil bahwa di bulan ini (Rabiuwwal) baiknya menampakkan kebahagiaan dengan lahirnya Nabi Muhammad, bukan malah menampakkan kesedihan dengan wafatnya beliau”

Demikianlah, dapat disimpulkan bahwa umat Islam tidak memperingati hari wafatnya baginda Nabi- walaupun juga bertepatan dengan hari kelahiran beliau-karena momen kelahiran beliau merupakan momen kebahagiaan dan kegembiraan, sedangkan hari wafatnya beliau merupakan momen kesedihan dan duka lara bagi umat Islam, sehingga layak bagi kita untuk memperingati momen menggembirakan tersebut.

Wallahu al’lam

BINCANG SYARIAH


Orang-Orang Khusus diantara Umat Rasulullah saw

Rasulullah saw bersabda,

“Tidak akan selesai urusan umatku yang awam kecuali dengan (bantuan) orang-orang khusus dari mereka.”

“Siapa orang-orang khusus itu wahai Rasulullah?” tanya seorang sahabat.

“Orang-orang khusus dari umatku ada 4. Mereka adalah pemimpin, ulama, ahli ibadah dan pedagang.” jawab beliau.

“Bagaimana mereka bisa menjadi orang-orang khusus?” sahabat itu kembali bertanya.

Kemudian Rasul pun menjawab, “Seorang pemimpin adalah penggembala makhluk Allah. Jika gembalanya adalah serigala (buas), maka siapakah yang akan menggiring domba-domba?

Seorang ulama adalah dokter. Jika dokternya sakit, siapakah yang akan menyembuhkan orang yang sakit?

Seorang ahli ibadah adalah petunjuk bagi hamba Allah. Jika petunjuknya sesat, siapakah yang akan memberi hidayah?

Pedagang adalah orang-orang yang dipercaya oleh Allah diantara hamba-Nya. Jika yang diberi kepercayaan telah berkhianat, lalu siapa yang akan dipercaya?

Inilah 4 macam orang khusus dalam umat Rasulullah saw. Siapa yang berada dalam posisi ini memiliki tanggung jawab yang lebih dibanding umat yang awam.

Kepada para pemimpin, jadilah pemimpin yang tegas namun berhati lembut. Kepada para ulama, jadilah penyembuh bagi masyarakat yang sakit. Agar mereka dapat hidup damai dan tentram. Jangan malah menjadi corong provokasi dan permusuhan. Kepada para ahli ibadah, jadilah cahaya petunjuk yang menerangi jalan untuk meraih ridho Allah. Dan kepada para pedagang, jadilah orang-orang yang jujur karena Allah telah menjadikan kalian Umana’ullah, orang-orang yang dipercaya oleh-Nya.

كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته

“Setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.”

Semoga kita semua dapat menjalankan tugas kita masing-masing untuk mewujudkan umat Muhammad yang bersatu dan harmonis.

KHAZANAH ALQURAN

Rasulullah Saw Bagai Rembulan dan Matahari

Ketika Allah Swt menyifati rembulan, Dia Berfirman :

قَمَرٗا مُّنِيرٗا

“Bulan yang bersinar.” (QS.Al-Furqan:61)

Ketika Allah Swt menyifati matahari, Dia Berfirman :

سِرَاجٗا وَهَّاجٗا

“Pelita yang terang-benderang (matahari).” (QS.An-Naba’:13)

Dan ketika Allah Swt menyifati Al-Habibil Mustofa, Muhammad Saw, Dia Berfirman :

وَدَاعِيًا إِلَى ٱللَّهِ بِإِذۡنِهِۦ وَسِرَاجٗا مُّنِيرٗا

“Dan untuk menjadi penyeru kepada (agama) Allah dengan izin-Nya dan sebagai cahaya yang menerangi.” (QS.Al-Ahzab:46)

Allah Swt menggabungkan di antara dua sifat dari rembulan مُنِيرَا (bersinar) dan matahari سِرَاجًا (pelita yang terang benderang) sebagai wujud sempurnanya keindahan dan keagungan Baginda Nabi Muhammad Saw.

Semoga kita termasuk orang-orang yang mencintai dan di cintai oleh Baginda Nabi Muhammad Saw.

KHAZANAH ALQURAN

‘Bahaya’ Belajar Agama secara Autodidak

DI TERAS kehidupan dunia, mencari ilmu  sangatlah penting. Bahkan dalam kacamata Islam  mencari ilmu bukan semata-mata dianjurkan, tetapi diwajibkan atas setiap laki-laki dan perempuan. Kewajiban menuntut ilmu adalah satu proses yang berkelanjutan, dimana titik akhirnya adalah ketika seseorang meninggal dunia.

Islam merupakan agama yang sangat menghormati, memuliakan dan memberi penekanan pada kepentingan ilmu. Apa pun yang dihubungkan dengan ilmu akan menjadi mulia. Para ulama mulia karena penguasaan dan pengamalannya terhadap ilmu. Suatu tempat menjadi mulia bila ditempati untuk majelis ilmu. Allah Ta’ala berfirman:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Allah Ta’ala akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Dia Mahatahu atas apa yang kalian kerjakan.” (QS:  al-Mujadalah: 11).

Dari situ nampak jelas, bahwa sebuah kemuliaan bermula dari ilmu. Ilmu merubah seseorang yang mulanya hina menjadi mulia, yang bukan siapa-siapa menjadi didengar suaranya. Maka seyogyanya seorang muslim juga memuliakan ilmu. Diantaranya adalah dengan menjaga karakteristik ilmu itu sendiri. Khususnya ilmu agama Islam.

Ilmu agama tidak bisa dipahami hanya dengan modal membaca buku (autodidak) dan searching di internet saja. Melainkan juga perlu adanya bimbingan dari ustadz yang ahli di bidangnya.

Said bin Ya’kub suatu saat bertanya kepada Imam Ibnu Mubarak, “Kami menemui nasihat-nasihat di buku-buku, apakah kami bisa mengambilnya?” Imam Ibnu Mubarak menjawab, ”Tidak mengapa jika engkau mendapati di tembok tertulis nasihat-nasihat, ambilah maka engkau memperoleh nasihat.” Dikatakan lagi kepada Imam Ibnu Mubarak, ”Bagaimana dengan fiqih?” Imam Ibnu Mubarak menjawab, ”Tidak lurus (fiqih) kecuali dengan menyimak.” (al-Jami’ li al-Akhlak ar-Rawi, 2/318-319)

Berkaca kepada para ulama, ditemukan keteladanan yang sudah semestinya diamalkan kaum muslimin saat ini. Mari buka mata, lihatlah! Lihatlah  lembaran-lembaran sejarah generasi terbaik umat ini. Biarkan hidung meraba, mencium harum jejak kebaikan yang mereka tapaki.

Betapa menakjubkan, mereka sangat ketat dalam menjaga sanad keilmuan. Para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, juga ulama salaf terdahulu belajar langsung dari sumbernya, face to face (bertatap muka).

Perjalanan jauh ditempuh untuk menuntut ilmu, tidak peduli meski jaraknya ribuan kilo meter. Guru di negeri seberang didatangi, tidak peduli meski terik matahari memanggang sekujur tubuh. Karenanya, seorang ulama bernama Abdullah bin al-Mubarak menyebutkan;

Sanad adalah bagian dari agama. Tanpa adanya sanad, maka siapa saja akan berbicara sesuka hatinya .” (Muqaddimah Shahih Muslim, 1/15)

Sanad terbagi menjadi dua; riwayah dan dirayah. Kajian kelimuan secara sanad riwayah berguna agar teks yang dikaji tidak ada penyelewengan baik berupa pemalsuan teks maupun kesalahan tulisan yang akan berimplikasi terhadap kesalahan makna dan arti teks yang tertulis. Sementara kajian kelimuan berlandaskan sanad dirayah (kontekstual) mempunyai tujuan agar tidak terjadi kesalahan pemahaman dalam mengkaji suatu teks keilmuan.

Realita hari ini

Dalam bukunya A History of Knowledge: Past, Present, and Future, Charles Van Doren, seorang cendikiawan asal Amerika, menggambarkan bahwa zaman sekarang dikenal dengan zaman ledakan ilmu pengetahuan (knowledge explosion).  Gambaran Van Doren tersebut benar adanya.

Setiap tahun, ratusan buku dan jurnal diterbitkan. Ilmu pengetahuan baru dan laman web selalu bermunculan dan tersebar di mana-mana. Hanya dalam hitungan detik saja, melalui teknologi internet misalnya, kita dapat mengetahui berbagai kejadian di berbagai belahan dunia, dari ufuk Timur hingga ufuk Barat.

Dizaman yang serba canggih seperti  ini banyak hal instant yang mudah diperoleh. Dimanapun, dalam kondisi bagaimanapun, dan kapanpun kita dapat mengakses ilmu agama yang sedang dibutuhkan lewat media cetak, internet, dan lainnya.

Mengkaitkan dengan hukum pemanfaatnnya, tentu kesemuanya sah-sah saja, boleh hukumnya dalam Islam. Seandainya ada seorang muslim belajar dari sumber tersebut ia tidak berdosa sama sekali.

Hanya saja, alangkah lebih baiknya jika pemahaman dari buku bacaan dikonfirmasikan dengan bimbingan dari ustadz yang mumpuni di bidangnya. Orang bisa saja menggali ilmu sendiri secara autodidak, namun yakinlah bahwa ilmunya tidak akan sempurna.

Bahaya, selalu waspadai!

Lebih parahnya, belajar agama tanpa bimbingan ustadz sangat rawan gagal paham ilmu agama. Taruhlah seseorang yang ingin mengetahui makna al-Qur’an. Sesungguhnya lafadz al-Qur’an bisa berupa metafora, mengandung makna ganda dan sifatnya global. Sehingga perlu rincian untuk menemukan hakikat makna sebenarnya.

Tanpa belajar dan tanpa bertanya ke salah seorang ustadz, guru atau orang alim, maka dapat dipastikan dia akan menemui kesulitan. Dan seringnya kesulitan maupun kebingungan yang tidak terarah menyebabkan seorang gagal paham. Jika sudah gagal paham, justru kesimpulan yang dia ambil berpotensi salah dan menyesatkan.

Oleh karena itu, fungsi dari mencari ustadz merupakan satu proses untuk menjaga kemurnian agama dan memastikan keotentikan disiplin ilmu yang diwarisi. Hal ini berdasarkan perintah Allah Ta’ala di dalam al-Qur’an bahwa umat Islam diperintahkan untuk mengembalikan amanah kepada mereka yang berhak.

إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًا

Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil.” (QS: An-Nisa’: 58)

Juga memerintahkan untuk bertanya kepada orang yang berilmu (ahlu dzikir) jika tidak mengetahui sesuatu.

فَسۡ‍َٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl: 43). Wallahua’lam bish showab.*

Oleh: M Rizka Arrosyid , Ma’had Aly Annur, Waru Baki, Sukoharjo, Jawa Tengah

HIDAYATULLAH



Doa Rasulullah Saat Ditimpa Kesusahan

MANUSIA memiliki kelemahan dan kekurangan. Tanpa pertolongan-Nya, manusia tidak mungkin dapat berdiri dan melangkah dengan pasti. Salah satu pintu mendapat pertolongan-Nya adalah melalui doa. Doa mencitrakan ketundukan dan kepasrahan kepada Yang Maha Mengabulkan Doa. Justru ketundukan itu bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan yang bersinar terang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Doa itu adalah senjata orang beriman, sendi agama, dan cahaya langit serta bumi.” (HR. Al-Hakim)

“Tidak ada gunanya menghindar dari qadar, sedangkan doa mendatangkan manfaat terhadap apa yang sudah turun dan terhadap apa yang belum turun. Sesungguhnya, musibah itu benar-benar turun. Lalu, doa menghadangnya hingga keduanya saling menyerang sampai hari kiamat.” (HR. Al-Hakim)

Disebutkan di dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa saat ditimpa kesusahan, Laa ilaahailallahul adziimul haliim, laa ilaahailallahu rabbul arsyil adziim, laa ilaahailallahu rabbus samaa waati wa rabbul ardhi rabbul arsyil kariim. “Tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Agung lagi Maha Pemurah. Tiada Tuhan selain Allah Tuhan Arsy yang agung. Tiada Tuhan selain Allah Tuhan langit, Tuhan bumi, Tuhan Arsy yang mulia.”

Dari Anas, bahwa jika ada sesuatu yang membuat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersedih, beliau membaca, Ya hayyu ya qayyum birahmatika astaghiits. “Wahai Yang Maha Hidup, wahai Yang Maha Berdiri Sendiri, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Sunni)

Dari Abu Bakrah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, doa orang yang kesusahan adalah, Allahumma rahmataka arjuu, falaa takilnii ilaa nafsii tharfata aynin, wa ashlih lii syanii kulluh, laa ilaahailla anta. “Ya Allah, rahmat-Mu yang kuharapkan. Jangan biarkan aku sekejap mata pun, dan perbaikilah urusanku semuanya, tiada Tuhan selain Engkau.” (HR. Abu Daud, Ibnu Hibban, dan Ibnu Sunni)

Dari Asma binti Umais dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ketahuilah, akan kuajarkan kepadamu beberapa kalimat yang dapat engkau baca saat kesusahan, yaitu, “Allah, Allah laa usyriku bihi syai’ an” “Allah, Allah, Rabbi, aku tdak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya.” (HR. Abu Daud)

Dari Saad bin Abi Waqqash dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Doa Dzun-Nun (Nabi Yunus) yang dibaca saat dia berada di dalam perut ikan paus adalah, Laa ilaahailalla anta subhanaka inni kuntu minazh zhaalimiin. (Tiada Tuhan selain Engkau, sesungguhnya aku termasuk golongan orang-orang yang zalim) (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

Dari Abdullah bin Masud, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Tidak ada kekhawatiran dan kesedihan yang menimpa seorang hamba hingga dia mengucapkan, Allahumma inni abdukabnu abdikabnu amatik, naa shiyatii biyadik, maa dhin fiyya hurmuk, adlun fiyya qadhauk, as aluka bikullismin huwa lak, sammayta bihi nafsak, aw anzaltahu fii kitabik, aw allamtahu ahadan min khalqika awis tatsarta bihi fii alimil ghaibi indak, ant taj alal quraana rabbia qalbii, wa nuura basharii, wa jilaa a huznii wa dzahaaba hammiy. Melainkan Allah menghilangkan kekhawatiran dan kesedihannya serta mengubahnya menjadi kegembiraan.”

Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu yang laki-laki, anak hamba-Mu yang perempuan. Ubun-ubunku ada di tangan-Mu. Pengadilan-Mu terhadap diriku telah berlaku. Qadha-Mu terhadap diriku adil. Aku memohon kepada-Mu dengan setiap asma yang menjadi milik-Mu, yang Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau seperti yang Engkau turunkan di dalam Kitab-Mu, atau seperti yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau seperti yang Engkau khususkan di sisi-Mu dalam ilmu ghaib, agar Engkau jadikan Alquran sebagai musim semi hatiku, cahaya pandanganku, terangnya kesedihanku dan hilangnya kekhawatiranku. (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim) [*]

INILAH MOZAIK

Bagaimana Peran Kita Ketika Rasulullah Dihina?

Para ulama menjelaskan bahwa kita sebagai umat Islam memiliki peran yang berbeda-beda dalam menyikapi penghinaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Peran dari orang yang berada di pemerintahan, yang menjadi ulama, atau yang menjadi masyarakat umum (rakyat biasa), dalam membela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu bertingkat-tingkat sesuai dengan kemampuannya.

Ketika Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dihina dan dicaci, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk membela, menunjukkan ekspresi marah karena agama, serta tidak rida. Di satu sisi, kita juga perlu tetap tenang bersikap dan mengambil peran sesuai dengan wewenang kita yang diatur oleh syariat.

Syaikh Shalih bin ‘Abdillah Al-‘Ushaimi menjelaskan,

منازل نصرة المسلمين نبيَّهم ﷺ شرعًا درجاتٌ؛ فمنها ما هو لحكَّامهم، ومنها ما هو لعلمائهم، ومنها ما هو لعامَّتهم؛ وبيانها مذكورٌ في تصانيف الفقهاء وغيرهم، فعلى العبد أن يعرف ما عليه، ويجتنب الوقوع فيما يُخالف الشَّرع؛ لتقع نصرتُه موقعها، ويفوز بأجرٍ ولا يرجع بإثمٍ.

“Kedudukan kaum muslimin ketika membela Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam ada beberapa tingkatan secara syariat. Ada wewenang dari pemerintah/ulil amri, ada wewenang dari ulama, dan ada wewenang dari masyarakat awam (rakyat biasa). Penjelasannya ada dalam buku dan tulisan para ulama. Seorang muslim harus mengetahuinya dan menjauhi terjerumus dalam hal-hal yang menyelisihi syariat agar pembelaan tersebut sesuai dengan sasaran, mendapatkan pahala, dan tidak menjadi sebuah dosa.” [1]

Beberapa catatan yang perlu diperhatikan juga dalam masalah ini adalah:

Pertama, ketika ada yang menghina Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu kita sebagai muslim wajib menunjukkan sikap tidak rida dan marah karena agama. Akan tetapi, tentu kita perlu tetap bersikap tenang dan bertindak sesuai dengan wewenang kita yang telah diatur dalam syariat.

Kedua, terkait hukuman bagi penghina terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah kami tulis di artikel sebelumnya dengan kesimpulan: yang berhak menghukum penghina Nabi shallallahu’ alaihi wa sallam adalah ulil amri. Jika dia ada di negara muslim, maka ulil amri yang memiliki wewenang menjatuhkan hukuman mati. Jika dia di negara kafir, boleh dibunuh atas izin ulil amri muslim atau melalui jalan jihad yang syar’i.

Ketiga, sebagaimana penjelasan Syaikh Shalih Al-‘Ushaimi di atas, bahwa setiap kita memiliki wewenang masing-masing dan hendaknya tidak melampui wewenang tersebut. Mengingkari kemungkaran memiliki tingkatan, tidak semua harus dengan tangan atau pedang, karena mengingkarinya dapat dilakukan terkadang dengan lisan saja dan bahkan terkadang mengingkari dengan hati diiringi dengan kesabaran.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ

Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika tidak bisa, maka dengan lisannya. Jika tidak bisa juga, maka dengan hatinya, itulah selemah-lemahnya iman.”  [2]

Contoh: Apabila kita melihat seorang Muslim sedang mabuk (dengan kondisi Indonesia saat ini). Apakah kita sebagai rakyat jelata langsung memberikan hukuman hadd cambuk kepada dia? Apakah kita langsung marah-marah dan membuang botol khamrnya? Apakah kita langsung menghancurkan toko yang menjual minuman keras? Apakah bijak kita mengubah kemungkaran dengan tangan, namun status kita hanyalah sebagai rakyat jelata?

Keempat, terkadang mengingkari kemungkaran dengan cara yang tidak hikmah akan menghasilkan bahaya yang lebih besar. Misalnya penyerangan terhadap kantor media Charlie Hebdo pada tahun 2015 karena mereka melakukan penghinaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dampaknya sebagai berikut [3]:

1. Timbul serangan balasan kepada kaum muslimin berupa penembakan, pemboman, pembakaran, maupun kekerasan fisik lainnya [4].

2. Charlie Hebdo akan menerbitkan 1 juta eksemplar dari semula hanya 30 ribu eksemplar [5].

3. Timbul inisiatif mereproduksi karikatur Charlie Hebdo atau membuat karikatur sejenis yang menghina Islam dan kaum muslimin [6].

4. Timbul gerakan ‘solidaritas orang-orang kafir di berbagai tempat/negara [7].

5. Adanya kemungkinan naiknya gerakan Islamophobia [8].

Demikian, semoga kita bersikap dengan sempurna, kita sangat setuju dan sangat ingin penghina Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dihukum mati, akan tetapi cara dan prosedurnya harus tetap sesuai dengan bimbingan syariat.

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Arikel www.muslim.or.id

Fatwa Syaikh Ibrahim Ar Ruhaili Seputar Insiden Penembakan Pembuat Karikatur Nabi

(DIBACA HINGGA TUNTAS!)

Ibarat bintang, yang menjadi penunjukan arah bagi nelayan untuk menentukan arah di tengah lautan. Itulah perumpamaan ulama di tengah-tengah manusia. Bila bintang tidak terlihat di kegelapan malam, para nelayan akan kebingungan menentukan arah di tengah lautan yang luas. Demikianlah para ulama, mereka menjadi penunjuk umat untuk kembali kepada ajaran rabbani dan bersikap hikmah dalam menghadapi setiap problem yang menimpa umat ini.

Pasca penembakan kartunis penghina Nabi shallallahu’alaihiwasallam, di salah satu kantor redaksi media kafir pekan lalu (Rabu, 7/1/ 2015), beberapa media Islam mengapresiasi tiga orang pria yang melakukan eksekusi penembakan tersebut. Sehingga memunculkan mindset bahwa islam menyetujui aksi penembakan tersebut.

Benarkah sikap demikian?

Saudaraku yang dirahmati Allah. Tak diragukan lagi, kita semua cemburu terhadap Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, dan wajib marah saat beliau kehormatan beliau dihinakan. Dan para ulama telah sepakat, bahwa hukuman untuk penghina kehormatan Nabi shallallahu’alaihi wasallam adalah dibunuh. Hanya saja, ada satu hal pula yang perlu kita ketahui, yaitu para ulama juga telah menjelaskan, bahwa keputusan hukiman had ini, tidaklah diterapkan di setiap situasi dan kondisi.

Bila kita perhatikan seksama riwayat-riwayat yang menerangkan hukuman bunuh bagi penghina Nabi, maka kita akan mendapati bahwa hukuman tersebut diberlakukan saat suatu negeri berada di bawah kendali kaum muslimin. Sehingga eksekusi nantinya akan dilaksanakan atas perintah ulil amri. Seperti yang disebutkan dalam hadis ‘Ali radhiallahu ‘anhu berikut,

أَنَّ يَهُوْدِيَّةً كَانَتْ تَشْتِمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقَعُ فِيْهِ، فَخَنَقَهَا رَجُلٌ حَتَّى مَاتَتْ فأَبْطَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَمَهَا

Seorang wanita Yahudi mencela Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencaci maki beliau. Lantas seorang laki-laki mencekiknya sampai mati. (Ketika kejadian ini disampaikan kepada) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliaupun membatalkan (hukuman atas) penumpahan darah wanita yahudi tersebut. ” (HR. Abu Dawud dan Al-Baihaqi).

Ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin negara, maka hukuman terhadap penghina Nabi yang ada dalam riwayat ini disetujui oleh ulil amri. Di sisi lain, saat itu kaum muslimin berada pada posisi yang kuat.

Juga riwayat dari sahabat Jabir radhiyallahu’anhu, mengenai Ka’ab bin Al-Asyraf si penghina Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang mau membunuh Ka’ab bin Al-Asyraf? Sesungguhnya dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya.” Muhammad bin Maslamah berdiri dan berkata: “Wahai Rasulullah, apakah engkau suka jika aku membunuhnya?” Nabi menjawab: “Ya.” Singkat cerita, Ka’ab bin Al Asyraf pun dibunuh oleh Muhammad bin Maslamah” (Muttafaq ‘Alaih).

Ini juga terjadi di bawah kekuasaan pemerintahan islam. Dan instruksi tersebut dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, yang saat itu beliau menjabat sebagai pemimpin negara. Poin inilah yang tidak disadari oleh saudara-saudara kita yang mendukung insiden penembakan tersebut.

Kita tahu bahwa insiden tersebut terjadi di negeri kafir, dan kaum muslimin di sana berada pada posisi yang lemah. Oleh karenanya, kurang bijak bila seorang muslim mengambil langkah ini. Karena justru akan menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar.

Diantara mafsadah dari insiden tersebut, saudara-saudara kita di sana, baik para ulama maupun dai, harus bekerja dua kali lebih ekstra, dalam menyebarkan Islam dan membendung islamophobia yang semakin gencar pasca kejadian tersebut.

Dampak negatif lainnya, nyatanya mereka bukan malah jera. Namun justru lebih gencar menerbitkan karikatur penghinaan terhadap Nabi kita shallallahu’alaihi wasallam. Lihat beritanya di sini: http://www.foxnews.com/world/2015/01/13/charlie-hebdo-publishing-prophet-muhammad-cartoon-on-cover-new-issue/. Kemudian ada lagi mafsadat lainnya, yang nantinya akan kita simak dalam fatwa Syaikh Ibrahim Ar Ruhaili hafizhahullah.

Memang beda pertimbangan para ulama dengan kita yang masih awam. Terkadang, karena semangat yang tinggi dan bekal ilmu yang kurang, seorang melakukan tindakan yang kontraproduktif. Coba kita perhatian arah berfikir para ulama, mereka amat mempertimbangkan maslahat dan mafsadat. Dan pikirannya jauh menerawang ke depan.

Baiklah, sekarang mari kita simak nasehat Syaikh Ibrahim bin Amir Ar Ruhaili –hafizhahullah-, berkaitan dengan kejadian ini. Semoga membuka pikiran kita dan menjadi arahan yang bermanfaat untuk umat islam.

Sedikit mengenalkan tentang beliau, beliau adalah pengajar tetap di masjid Nabawi, sekaligus merangkap sebagai guru besar di jurusan akidah di Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia.

Pertanyaan:

Sebagaimana telah diketahui, di salah satu negara eropa ada dua orang pria yang melakukan penembakan terhadap 12 orang yang berpartisipasi dalam pembuatan karikatur yang menghina Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Apa nasehat Syaikh untuk kaum muslimin di negara tersebut? Dan bagaimana mereka harus bersikap terhadap orang-orang kafir tersebut?

Jawaban Syaikh –hafizhahullah– :

Kaum muslimin di negara tersebut, tidak dibolehkan melakukan aksi pembunuhan terhadap beberapa orang, yang tidak mengindahkan syari’at Allah ta’ala. Karena tindakan yang seperti ini, hanya akan menimbulkan mafsadah yang lebih besar. Diantaranya adalah, orang-orang kafir akan membunuh kaum muslimin dalam jumlah yang lebih besar, dari jumlah yang terbunuh dari pihak kafir.

Yang kedua, Islam tidaklah memerintahkannya untuk melakukan aksi pembunuhan seperti ini. Karena jihad di jalan Allah ada aturan dan ketentuannya, yang telah dijelaskan dalam hadits-hadits Nabi shallallahu’alaihi wasallam (pent. Seperti kasus membunuh penghina Nabi adalah wewenang penguasa muslim).

Adapun bila seorang muslim, yang posisinya sebagai mu’aahad (yang diberi suaka) atau musta’-man (yang diberi jaminan keamanan) di negeri kafir. Kemudian ia bertindak melakukan pembunuhan terhadap orang-orang kafir di negeri tersebut, maka yang seperti ini dilarang dalam Islam.

Membela Nabi shallallahu’alaihi wasallam adalah dengan mengikuti sunnahnya. Dahulu Nabi shallallahu’alaihi wasallam dicela oleh orang-orang kafir Quraisy. Sementara di sekeliling beliau ada para sahabat. Namun Allah menjaganya dari kejahatan dan makar kaum kafir tersebut. Oleh karenanya saat Nabi-Nya dicela, Allah ta’ala menurunkan ayat:

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ

Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dialah yang terputus” (QS. Al-Kautsar: 3)

Ayat ini menunjukkan bahwa, celaan orang-orang kafir sama sekali tidak membahayakan Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Bahkan celaan mereka kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam, merupakan pertanda nyata akan kehancuran negara kafir tersebut, disebabkan kelancangan mereka terhadap kehormatan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.

Sebagian ulama menyebutkan (sebuah atsar), “Bahwa kami (pasukan islam) dahulu hendak membuka sebuah kota. Namun kami tidak berhasil menaklukkannya. Jika mereka mulai mencela Nabi, berarti kami akan menang melawan mereka. Meski kami amat murka dengan kelancangan mereka. Akan tetapi kami yakin, bahwa diantara sebab turunnya pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala (kepada RasulNya dan kaum muslimin) adalah, kelancangan orang-orang kafir terhadap kehormatan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.

[selesai jawaban Syaikh]

Ada poin menarik dalam fatwa di atas, bahwa kelancangan orang kafir terhadap kehormatan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, merupakan sebab turunnya pertolongan Allah ta’ala kepada islam dan kaum muslimin. Meski kita sebagai seorang muslim wajib benci dan memusuhi orang-orang yang mencela Nabi shallallahu’alaihi wasallam.

Seperti ini sebenarnya sudah menjadi realita yang telah kita saksikan. Sebagai contoh adalah kejadian runtuhnya gedung WTC 11 September 2001 silam. Setelah kejadian tersebut, banyak penduduk Amerika yang masuk islam. Padahal orang-orang kafir hendak berbuat makar; melalui peristiwa tersebut. Mereka ingin menjatuhkan islam. Namun yang terjadi justru sebaliknya; Islam semakin tersebar setelah kejadian tersebut.

Kejadian yang terjadi di Perancis kemarin, bisa jadi demikian. Yang pada awalnya orang-orang kafir ingin menjatuhkan kehormatan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, namun bisa jadi karena perbuatan lancang tersebut, pertolongan Allah turun. Sehingga membuat banyak orang Perancis (Eropa pada umumnya), yang semakin penasaran dengan islam, yang pada akhirnya, mereka akan berbondong-bondong masuk islam. Allahua’lam.

Namun meskipun demikian, hal ini bukan berarti kaum muslimin tidak harus marah atas kelancangan orang-orang kafir terhadap kehormatan Nabi kita yang mulia –shallallahu’alaihi wasallam-. Kita tetap wajib marah dan benci, serta menjalankan hukuman hadd atas mereka, sesuai aturan. Hanya saja setelah ini terjadi, kelancangan mereka tersebut, pertanda turunnya pertolongan Allah. Allahu ta’ala a’lam

***

[Fatwa ini disampaikan saat sesi tanya jawab usai pelajaran risalah “Ushul Ats- Tsalastah” di masjid Nabawi, Madinah An-Nabawiyyah. Pada hari Ahad, 21 Rabi’ul Awwal 1436 / 11 Januari 2014

Rekamannya bisa didengar di sini: http://goo.gl/wvORuI. Pada menit ke 28.50 sampai selesai].

Penulis: Ahmad Anshari

Artikel Muslim.Or.Id

Alasan Astronom Barat Anggap Muhammad SAW Paling Berpengaruh

Nabi Muhammad SAW tidak hanya teladan bagi umat Islam tetapi juga dunia. Pengakuan ini bahkan pernah disampaikan cendekiawan Barat Michael H Hart, dalam The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History. 

“Michael H Hart mengakui bahwa Nabi Muhammad bukan hanya pemimpin akhirat tapi juga dunia,” kata  Pemimpin Pesantren Tahfizh Mutiara Darul Quran Bandung, Ustadz Teguh Turwanto, saat menyampaikan tausiyah virtualnya dalam rangka memperingati kelahiran Nabi Muhammad, Kamis (29/10). 

Ustadz Teguh Turwanto, menyampaikan bahwa pada 1978 dunia dikejutkan dengan buku berjudul The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History karya Michael H Hart. Buku ini membahas 100 orang yang dianggap sebagai orang yang paling berpengaruh sepanjang sejarah umat manusia. 

Penulisnya adalah seorang astrofisikawan asal Amerika Serikat, Michael H  Hart. Yang membuat terkejut, Michael H Hart menempatkan Nabi Muhammad SAW pada urutan pertama mengalahkan semua pembawa agama, ilmuwan, dan pemimpin manapun di dunia. “Hal yang lebih mengejutkan lagi bahwa dia sendiri adalah seorang Nasrani,” katanya.

Ustadz Teguh menuturkan, bahwa Michael Hart merupakan seorang ahli sejarah sekaligus penulis buku tersohor dari Amerika Serikat yang pernah bekerja sebagai guru besar astronomi dan Fisika di Universitas Maryland AS. 

Selain itu, dia pernah bekerja pada NASA (di Indonesia kita kenal LAPAN atau LIPI), sebuah lembaga riset ilmu pengetahuan pemerintah Amerika Serikat yang bertanggung jawab atas program penelitian luar angkasa.

“Dari segi pengalaman maupun keilmuan tentu kita tidak bisa meragukan kualitasnya,” katanya.

Banyak kontribusi dan karya besar yang telah dia hasilkan sepanjang hidupnya. Di antara karyanya yang monumental dan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa adalah The 100 yang menerangkan tokoh-tokoh berpengaruh sepanjang sejarah.  

Mengenai Muhammad, Micahel menerangkan dua hal pokok yang mendasari penempatan Muhammad di posisi satu. Pertama Muhammad memiliki peranan penting bagi pengembangan Islam ketimbang Nabi Isa dengan Nasrani.

Meskipun Isa bertanggung jawab penuh akan ajaran moral dan akidah Nasrani, namun penyebarannya lebih banyak di lakukan St Paul tokoh utama penyebar teologi Kristen.  

Kedua Muhammad bukan saja pemimpin agama tetapi pemimpin dunia. Fakta menunjukkan, pengaruh kepemimpinan politik Nabi Muhammad SAW, selalu berada dalam posisi terdepan sepanjang waktu.

KHAZANAH REPUBLIKA     

Wahai Dunia, Inilah Sayyidil Wujud Muhammad ! (Bag2 )

Nabi Muhammad Saw tidak di utus kecuali untuk menyempurnakan dakwah para Nabi menuju sempurnanya akhlak dan budi pekerti yang tinggi. Sebagaimana sabda beliau :

إِنَّمَا بُعثتُ لِأُتَمَِّمَ مَكَارِمَ الأَخلَاق

“Aku tidak di utus kecuali untuk menyempurnakan akhlak.”

Karena itu semua perangai indah telah digambarkan dalam dakwahnya dan telah di contohkan pula dalam kehidupan nyata beliau sehari-hari. Sehingga beliau sampai kepada puncak kesempurnaan yang tidak akan di raih oleh siapapun sebelum beliau dan tidak akan diraih oleh siapapun setelah Nabi Muhammad Saw.

Dengarkan pujian Allah terhadap kekasih-Nya Muhammad Saw !

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ

“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (QS.Al-Qalam:4)

Maka bagi setiap manusia yang ingi mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat, maka satu-satunya jalan adalah menjadikan beliau sebagai uswatun hasanah dan contoh nyata yang akan membawa kita menuju keselamatan di Hari Kiamat.

لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ

“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat.” (QS.Al-Ahzab:21)

Maka bukti kecintaan seorang hamba kepada Allah Swt adalah dengan mencintai dan mengikuti Kekasih-Nya, Sayyidil Wujud Muhammad Saw. Dengan tegas Allah Swt menyampaikan dalam Firman-Nya.

قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ

Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS.Ali ‘Imran:31)

Karena itu Allah telah memilih Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi terakhir dan tidak ada nabi lagi setelahnya. Tiada jalan kesuksesan kecuali beriman kepadanya dan mengikuti petunjuknya.

Semua jalan menuju kepada Allah akan tertutup kecuali melalui beliau, karena hanya Nabi Muhammad Saw satu-satunya wasilah yang akan mengantarkan manusia menuju kebahagiaan.

Karena itu Al-Qur’an yang di bawa oleh beliau akan menjadi hakim bagi seluruh kitab-kitab sebelumnya.

وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَمُهَيۡمِنًا عَلَيۡهِۖ

“Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya.” (QS.Al-Ma’idah:48)

Karena itu Allah jadikan kesempurnaan misi seluruh Nabi ada di tangan Nabi Muhammad Saw. Setelah kedatangan Nabi terakhir ini maka sempurnalah seluruh Risalah Allah swt.

ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” (QS.Al-Ma’idah:3)

Itulah beliau, kekasih Allah Sayyidul Wujud Muhammad Saw.

KHAZANAH ALQURAN

Apakah Hujan hujanan Itu Sunnah?

Dalam sebuah hadits yang shahih, diriwayatkan oleh Muslim dan juga Abu Dawud,

عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه، قَالَ: “أَصَابَنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَطَرٌ، قَالَ: «فَحَسَرَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ثَوْبَهُ، حَتَّى أَصَابَهُ مِنَ الْمَطَرِ»، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ؛ لِمَ صَنَعْتَ هَذَا؟ قَالَ: «لأَنَّهُ حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ تَعَالَى”

Dari Sahabat Anas bin Malik Semoga Allah meridhainya, “Ketika kami sedang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami pun kehujanan. Maka Anas pun berkata, “maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap baju beliau hingga hujan pun mengenai (tubuh) beliau.’
Maka kami pun bertanya, “Mengapa engkau melakukan hal tersebut wahai Rasulullah?”
Maka beliau pun menjawab, “Sesungguhnya hujan ini baru saja diciptakan oleh Rabnya (Allah) Ta’ala.”
(H.R Muslim (no. 898) dan Abu Dawud (no.5100)).

Mari kita simak komentar, atau penjelasan ulama’ mengenai makna hadits ini,

Yang pertama adalah perkataan Imam Nawawy Rahimahullah, dalam kitab beliau,

مَعْنَى حَسَرَ كَشَفَ أَيْ كَشَفَ بَعْضَ بَدَنِهِ

“Al imam Nawawy mengatakan, makna khasara (حسر) adalah kasyafa (menyingkap), yaitu menyingkap sebagian tubuhnya (agar terkena hujan).”
(Al Minhaj Syarah Shahih Muslim, 6/195)

Beliau melanjutkan syarahnya,

هَذَا الْحَدِيثِ دَلِيلٌ لِقَوْلِ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ عِنْدَ أَوَّلِ الْمَطَرِ أَنْ يَكْشِفَ غَيْرَ عَوْرَتِهِ لِيَنَالَهُ الْمَطَرُ

“Hadits ini terdapat dalil bagi pendapat madzhab kami, bahwasanya disunnahkan di awal kali hujan turun untuk menyingkap tubuh selain bagian aurat, agar (air) hujan mengenai dirinya.”
(Al Minhaj Syarah Shahih Muslim, 6/196)

Imam Suyuthi Rahimahullah juga mengatakan di dalam kitab Syarah Muslim miliknya,

وَالْمعْنَى أَن الْمَطَر رَحْمَة وَهِي قريبَة الْعَهْد بِخلق الله تَعَالَى فيتبرك بهَا

“Maknanya adalah bahwasanya hujan adalah rahmat, dan ia dekat waktunya dengan penciptaan Allah, maka (Rasulullah) bertabaruk karenanya.”
(Syarah Muslim 2/475)

Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan di dalam kitabnya Minhatul Allam juga mengatakan

“Hadits tersebut menunjukan atas sunnahnya “hujan-hujanan” di awal kali turunnya hujan, yaitu dengan menyingkap bajunya dan menyingkap badanya, seperti bagian kepalanya, lengan, betisnya dan semisalnya agar bisa terkena air hujan.
Dan ini sebagai bentuk rasa gembira dengan adanya nikmat Allah (turunya hujan). Dikarenakan (air) hujan senantiasa suci dan bersih selama belum terkena tanah dan bercampur dengan selainnnya. Dan inilah makna perkataan Rasulullah ﷺ, (“Sesungguhnya hujan ini baru saja diciptakan oleh Rabnya (Allah) Ta’ala.”).”

Dan juga Dr.Nuruddin ‘Itr dalam kitabnya I’lamul Anam, halaman 189 :
Disunnahkan Istimthor, yaitu hujan-hujanan agar badan dan baju sedikit terbasahi air hujan, dalam rangka tabaruk dengan rahmat ini, dan wujud rasa gembira dengannya.

Di hadits milik Bukhari juga ada isyarat akan disunahkannya membasahi diri dengan air hujan. Judul babnya adalah

باب من تمطر في المطر حتى يتحادر على لحيته

“Bab – Barangsiapa yang hujan-hujanan sampai-sampai air mengalir dijenggotnya,”

Lalu beliau Rahimahullah, membawakan sebuah hadits riwayat Anas bin Malik ketika Rasulullah ﷺ sedang di atas mimbar (shalat istisqa di mushala) meminta kepada Allah agar diturunkan hujan. Seketika itu pula hujan turun dan Anas pun berkata,

ثُمَّ لَمْ يَنْزِلْ عَنْ مِنْبَرِهِ حَتَّى رَأَيْتُ الْمَطَرَ يَتَحَادَرُ عَلَى لِحْيَتِهِ

“Beliau ﷺ tidaklah turun dari mimbarnya sampai aku melihat air hujan mengalir di jenggot beliau.”
(HR. Bukhari no. 1033)

Ibnu Hajar Rahimahullah, di dalam Fathul Bary (juz II/hal. 520) mengomentari,
“Penulis (Imam Bukhari) ingin menjelaskan bahwasanya mengalirnya air hujan pada jenggot beliau bukanlah suatu kebetulan semata, akan tetapi itu ada faktor kesengajaan. Oleh maka itu beliau membuat judul bab, barangsiapa yang hujan-hujanan, yaitu sengaja mengarahkan hujan pada dirinya. Karena jikalau bukan karena kesengajaan pastilah beliau waktu itu turun dari mimbarnya dan segera berteduh. Tetapi beliau malah melanjutkan khutbahnya sampai hujan pun menjadi deras dan membasahi jenggot beliau ﷺ.”

Kesimpulan

Dari berdasarkan kajian terhadap nash-nash hadits yang ada, dan beberapa perkataan ulama, Maka kami simpulkan, yaitu

1. ketika hujan pertama kali turun, disunnahkan bagi kita untuk membasahi tubuh dan pakaian kita dengan curahan air hujan tersebut.

2. Sunnahnya ada langsung dengan air yang jatuh dari langit, bukan yang mengenai genteng dulu, atau ditampung di bak terlebih dahulu. Berdasarkan dhahir perbuatan Rasulullah.

3. Adapun hujan setelahnya tidak beliau lakukan. Artinya terkadang dilakukan dan terkadang kita tinggalkan

Sebagaimana di dalam hadits Aisyah riwayat Imam Bukhari

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا رَأَى المَطَرَ، قَالَ: اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا

“Bahwasanya Rasulullah dahulu jika melihat hujan maka beliau berucap, yang artinya, ‘Ya Allah jadikanlah hujan yang bermanfaat’”

Dhahir hadits menunjukan Rasulullah hanya berdoa, tidak keluar untuk hujan hujanan.

Wallahu ‘alam.

Ditulis Oleh:
Ustadz Kukuh Budi Setiawan, S.S., S.H., حفظه الله
(Kontributor bimbinganislam.com)

BIMBINGAN ISLAM